BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bermain 2.1.1 Pengertian bermain Bermain merupakan suatu aktifitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktikkan keterampilan, menberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (A.A. Aziz Hidayat, 2009). Menurut Miller B.F. (1983) dalam Sujono Riyadi (2009), bermain merupakan cara ilmiah bagi seorang anak untuk mengungkapkan konflik yang ada dalam dirinya yang pada awalnya anak belum sadar bahwa dirinya sedang mengalami konflik.
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola bermain pada anak Menurut Sujono Riyadi (2009), ada lima faktor yang mempengaruhi pola bermain pada anak, yaitu:
a. Tahap perkembangan Setiap perkembangan mempunyai potensi/keterbatasan dalam permainan. b. Status kesehatan Pada anak yang sedang sakit kemampuan psikomotor/kognitif terganggu. Sehingga ada saat-saat anak sangat ambisius pada permainannya dan ada saatsaat dimana anak sama sekali tidak punya keinginan untuk bermain. c. Jenis kelamin Pada saat usia sekolah biasanya anak laki-laki malu bermain dengan anak perempuan, mereka sudah bisa membentuk komunitas sendiri, dimana anak wanita bermain sesama wanita. Tipe dan alat permainan pun akan berbeda. d. Lingkungan
Universitas Sumatera Utara
Lokasi dimana anak berada sangat mempengaruhi pola permainan anak, seperti pola bermain anak-anak dikota-kota besar berbeda dengan pola bermain anak-anak di desa . e. Alat permainan yang cocok Disesuaikan dengan tahap perkembangannya sehingga anak menjadi senang untuk menggunakannya.
2.2 Video game 2.2.1 Pengertian video game Video game adalah permainan elektronik yang dibuat dari salah satu aplikasi yang memanfaatkan kemampuan komputansi maksimal dari komputer khususnya prosesor dan kartu grafis yang sangat detail sebagai perangkat keras yang utama. Video game berkembang dalam masyarakat sebagai bentuk sarana sosial dan hiburan masyarakat, dengan memainkan game terjadilah interaksi sosial bukan hanya bersifat lokal, namun saat ini juga berkembang sampai antar negara (Samuel Henry, 2010). Menurut Poggenpohi (2002) didalam Samuel Henry (2010), video game didefinisikan sebagai alat yang efektif untuk belajar karena game mampu menawarkan lingkungan hipotesis untuk siswa, dimana mereka dapat mengeksplorasikan berbagai keputusan alternatif tanpa risiko kegagalan. Pemikiran dan tindakan digabungkan menjadi perilaku yang bertujuan mencapai suatu tujuan. Video game mengajari kita cara menyusun strategi mempertimbangkan alternatif, dan berpikir fleksibel. 2.2.2 Jenis video game Video game hanyalah salah satu bentuk media yang ikut mempengaruhi kehidupan generasi muda disetiap negara. Bermula dengan bentuk lucu dengan karakter kartun, kini game semakin canggih dengan tingkat realistis dan grafis yang semakin maju. Menurut Samuel Henry (2010), jenis-jenis game menurut format atau gayanya adalah sebagai berikut :
a. Maze Game b. Board Game
Universitas Sumatera Utara
c. Card Game d. Battle card Game e. Quiz Game f. Puzzle Game g. Side Scroller Game h. Fighting Game i. Racing Game j. Turn-Based Strategy Game k. Real-Time Game l. SIM m. First Person Shooter n. First Person 3D Vehicle Based o. Third Person 3D Game p. Role Playing Game q. Adventure Game r. Education and Edutainment s. Sports 2.2.3 Perkembangan yang Dipengaruhi oleh Video game Beberapa ahli menemukan beberapa hal yang yang dipengaruhi saat bermain game :
a) Perkembangan Motorik, ketika anak memainkan game dengan tangkas, sistem motoriknya akan ikut berkembang sesuai dengan gerakan yang dilibatkannya b) Perkembangan Fisik, beberapa game melibatkan gerakan fisik, terutama game konsol yang menggunakan peralatan tertantu, contohnya Guitar Hero dan Dance Revolution c) Perkembangan Neurologi, melibatkan perubahan yang terjadi dalam otak dan saraf anak ketika memainkan game d) Perkembangan Kognitif, kemampuan mengatasi perubahan dari waktu ke waktu
Universitas Sumatera Utara
e) Perkembangan Moral, latar belakang yang mempengaruhi mereka dalam bermain f) Perkembangan Bahasa, kosakata dan pengucapan kata, baik bahasa asing maupun lokal g) Perkembangan Sosial, melibatkan interaksi, baik untuk jenis game LAN maupun online h) Perkembangan Peran, anak akan belajar mengenal peran mereka sebagai pria atau wanita. Ketika bermain video game, anak mengalami pengalaman yang jauh melebihi apa yang mereka dapatkan dikelas, yaitu melakukan interaksi dan pengambilan keputusan dengan pertimbangan berbagai kondisi, sedangkan kelas diterima sebagai standarisasi resmi proses belajar (Samuel Henry, 2010). 2.2.4 Manfaat Video game Seperti yang sudah diteliti oleh beberapa lembaga penilitian oleh beberapa negara ditemukan beberapa manfaat video game pada anak .
Samuel Henry (2010) dalam
bukunya Cerdas dengan Game juga menyebutkan beberapa manfaat video game yaitu :
1. Memainkan video game membuat anak mengenal teknologi komputer 2. Game dapat memberikan pelajaran dalam hal mengikuti pengarahan dan peraturan 3. Beberapa game menyediakan latihan untuk pemecahan masalah dan logika 4. Game menyediakan latihan penggunaan saraf motorik dan spatiall skill 5. Game menjadi sarana keakraban dan interaksi akrab antara orang tua dan anak ketika bermain bersama 6. Game mengenalkan teknologi dan berbagai fiturnya 7. Beberapa game mampu menyediakan sarana penyembuhan untuk pasien tertentu 8. Game menghibur dan menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Bahaya Video game Samuel Henry (2010) menjelaskan beberapa persepsi lazim yang dianut oleh orang tua mengenai dampak buruk video game adalah pandangan bahwa video game mengandung hahl-hal berikut :
a. Isolasi Sosial Pada anak yang mengalami kecanduan video game, ia akan menghabiskan waktunya dengan hanya bermain video game tanpa mau berhubungan dengan anggota keluarga lain. Tindakan menutup diri ini dianggap merugikan untuk hubungan sosial dan perkembangan kejiwaan anak. b. Intimidasi Jenis Kelamin Pada era sekarang makin banyak yang menampilkan karakter wanita, karakter wanita ini dibuat sebagai karakter antagonis, sering kali kekerasan dan kata-kata kasar digabung menjadi senjata verbal dalam pertikaian dengan model pertandingan, kompetisi, peperangan. Jika karakter wanita dibuat sebagai pihak protagonis, sering kali karakter itu dibuat lemah. Sehingga perubahan ini dianggap perubahan negatif karena sifat kasar, kekerasan, dan bentuk tubuh dipertahankan. Semakin banyak karakter wanita yang memamerkan kekerasan dianggap sebagai bentuk negatif dan memicu munculnya perilaku buruk bagi pemain game wanita. c. Kecanduan dan Ketergantungan Sejalan dengan semakin suksesnya game sebagai media, muncul masalah baru, yaitu kecanduan dan ketergantungan dengan tekhnologi baru ini. Game yang dimainkan dalam waktu yang sangat lama dan intensitas tinggi sering menjadi kendala orang tua dan para pendidik dalam mengarahkan anak sebagai pemain game itu sendiri. Di berbagai game station, para pemain memainkan game sampai larut malam bahkan ada yang sampai begadang dan menginap di pusat game online. Selain masalah uang yang sering dianggap terbuang percuma, masalah kesehatan dan perkembangan mental karena terus-terusan main game
Universitas Sumatera Utara
dianggap sebagai salah satu indikator gangguan serius yang sering ditoleransi masyarakat umum.
d. Perilaku Menyimpang Setiap aksi dalam permainan membutuhkan tindakan yang dilakukan pemain, untuk memenangkan permainan sering kali dibutuhkan alur cerita tertentu sebagai aturan dasar, dan ini membuat anak sulit membedakan mana perilaku yang benar dan yang tidak nyata dalam dunia yang sebenarnya. Anak cenderung mengulangi memainkan permainan demi mencapai tujuan menang dan nilai tertentu dianggap mengasah pola pikir dan membentuk perilaku menyimpang, baik disadari maupun tidak. e. Kekerasan Pada saat ini permainan yang mengandung kekerasan memang sukses, baik dari segi penjualan maupun peminat yang memainkan. Beberapa penelitian di Amerika terhadap sejumlah kasus kekerasan
menemukan korelasi yang
menyatakan bahwa video game memicu tindakan kekerasan karena lebih interaktif dibandingkan musik dan film/animasi karena di dalam game, pemain ikut berpartisipasi dan hal itu secara stimulan mempengaruhi cara berpikir mereka. 2.3 Anak Usia 7-15 tahun 2.3.1 Definisi A.A. Aziz Hidayat (2009) menyebutkan kelompok anak usia 7-15 tahun, terdiri dari masa sekolah dari usia kira-kira 6-11 tahun dan masa remaja/adolescent dari usia kira-kira 11-18 tahun. 2.3.2 Karakteristik a. Masa Sekolah Menurut A.A. Aziz Hidayat (2009), pada masa sekolah anak akan mengalami proses percepatan pertumbuhan dan perkembangan. Secara umum aktifitas fisik pada anak semakin tinggi
dan memperkuat kemampuan motoriknya. Kemampuan
kemandirian anak juga akan ikut berkembang, hal ini akan jelas terlihat di lingkungan luar rumah, anak sudah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada, dan
Universitas Sumatera Utara
mulai memiliki rasa tanggung jawab dan percaya diri untuk tugas yang diberikan kepadanya. Secara khusus perkembangan pada masa ini anak banyak mengembangkan kemampuan interaksi sosial, belajar tentang nilai moral dan budaya dari lingkungan keluarganya. Perkembangan yang lebih khusus lagi , terjadi perkembangan konsep diri, ketrampilan membaca, menulis serta berhitung, belajar menghargai di sekolah. Menurut Sujono Riyadi (2009), tumbuh kembang masa sekolah dapat dilihat dari motorik, social emosional, dan pertumbuhan fisik. Pada perkembangan motorik, anak lebih mampu menggunakan otot-otot kasar daripada otot-otot halus, misalnya loncat tali, bermain bola volley, dll. Pada perkembangan social emosional, anak ingin mencari lingkungan yang lebih luas sehingga cenderung sering keluar rumah hanya untuk bermain dengan teman, dan saat berada di sekolah anak akan berinteraksi dengan orang lain selain keluarganya, sehingga peranan sekolah, guru dan teman sangatlah penting. Sehingga Moehji (2009) mengatakan di dalam bukuanya, anak akan banyak berada di luar rumah untuk jangka waktu antara 4 sampai 5 jam. Pertumbuhan fisik anak juga akan meningkat dengan penambahan berat badan 23 kg/ tahun, tinggi badan meningkat 6-7 cm/tahun (Sujono Riyadi, 2009). b. Masa Remaja Menurut A.A. Aziz Hidayat (2009), proses pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja ditunjukkan dengan kematangan dalam beberapa fungsi endokrin, kematangan fungsi seksual sehingga jelas pada masa remaja sudah menunjukkan kedewasaan dalam hidup bermasyarat. Banyak kita jumpai berbagai permasalahan pada masa remaja karena masa ini merupakan proses menuju kedewasaan dan anak ingin mencoba bahwa dirinya sudah mampu sendiri. Perkembangan secara khusus pada masa ini adalah kematangan identitas seksual, merupakan masa krisis identitas dimana anak memasuki perkembangan dewasa yang akan meninggalkan masa kanak-kanak dalam pencapaian tugas perkembangannya membutuhkan fasilitas bantuan pada orang tua. Menurut Sujono Riyadi (2009), tumbuh kembang remaja meliputi pertumbuhan fisik dan sosial emosional. Pertumbuhan fisik pada masa ini merupakan tahap pertumbuhan yang sangat pesat, tinggi badan 25%, berat badan 50%. Perkembangan sosial emosionalnya meningkat, terutama kemampuan akan sosialisasi, relasi dengan teman wanita/pria akan tetap lebih penting dengan teman yang sejenis, penampilan fisik remaja sangat penting supaya mereka dapat diterima oleh teman-temannya, peranan orang tua/keluarga sudah tidak begitu penting tetapi sudah mulai beralih pada teman sebayanya. Anak akan banyak berada diluar rumah untuk jangka waktu antara 4 sampai 5
Universitas Sumatera Utara
jam. Aktifitas anak yang semakin meningkat seperti pergi dan pulang sekolah, bermain dengan teman. Pada usia ini juga anak akan mencari jati dirinya, dan akan sangat mudah terpengaruh dunia sekitarnya, terutama teman sebaya, dimana pengaruhnya sangat kuat, seperti anak akan mengalami berbagai perubahan termasuk perubahan kebiasaan bermain dan belajar. 2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Orang tua selalu mengaharapkan anaknya tumbuh dan berkembang secara sempurna tanpa mengalami hambatan apapun. Namun menurut Sujono Riyadi (2009), ada banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu: a. Faktor Herediter Faktor ini merupakan faktor yang tidak dapat untuk dimodifikasi, karena merupakan modal dasar untuk mendapatkan hasil akhir dari proses kegagalan pertumbuhan dan perkembangan anak. Yang termasuk dalam faktor genetik adalah jenis kelamin, suku bangsa/ras. b. Faktor Lingkungan Lingkungan Internal Terciptanya hubungan yang hangat dengan orang lain seperti ayah, ibu, saudara, teman sebaya, guru dan sebagainya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan emosi, sosial, dan intelektual anak. Cara seorang anak berinteraksi dengan orang tua akam mempengaruhi interaksi anak di luar rumah. Pada umumnya anak yang tahap perkembangannya baik akan mempunyai intelegensi yang tinggi dibandingkan dengan anak yang tahap perkembangannya terhambat. Lingkungan Eksternal Dalam lingkungan eksternal ini banyak sekali yang mempengaruhinya, diantaranya: Kebudayaan, suatu daerah akan mempengaruhi kepercayaan, adat kebiasaan, dan tingkah laku dalam cara orang tua mendidik anak. Status sosial ekonomi keluarga juga berpengaruh, orang tua yang ekonomi menengah ke atas dapat dengan mudah menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah yang berkualitas, sehingga mereka dapat menerapkan cara-cara baru bagaimana merawat anak yang baik. Status nutrisi pengaruhnya juga sangat besar, orang tua dengan ekonomi lemah bahkan tidak mampu memberikan makanan tambahan buat bayinya, sehingga bayi akan
Universitas Sumatera Utara
kekurangan asupan nutrisi yang akibat selanjutnya daya tahan tubuh akan menurun dan akhirnya bayi/anak akan jatuh sakit. c. Faktor Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan yang memadai di sekitar lingkungan tempat tinggal, akan dapat membantu untuk memantau tumbuh kembang anak. Sehingga apabila terdapat sesuatu hal yang menunjukkan adanya keterlambatan dalam perkembangan, anak dapat segera mendapatkan pelayanan kesehatan dan diberikan solusi pencegahannya. 2.4
Orang Tua 2.4.1 Definisi Orang Tua
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan. Namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu ibu dan ayah. Ibu dan ayah selain telah melahirkan kita ke dunia ini, ibu dan ayah juga yang mengasuh, membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu orang tua juga telah memperkenalkan anaknya kedalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak (Wahidin, 2008). 2.4.2 Peran Orang tua terhadap anak Menurut John W. Santrock (2007), pada tahun pertama, interaksi orang tua dengan anak bergeser dari fokus yang besar pada perawatan rutin ke aktivitas yang tidak berkaitan dengan perawatan. Selama tahun kedua dan ketiga kehidupan anak, orang tua sering kali menerapkan disiplin dengan manipulasi fisik. namun, ketika anak semakin besar, orang tua mulai mengajarkan logika, memberikan nasihat moral. Ketika anak memasuki masa sekolah dasar, orang tua menunjukkan kasih sayang fisik yang semakin sedikit. Hal ini akan terus berlanjut ketika anak beranjak ke pertengahan dan akhir masa kanak-kanak, orang tua semakin sedikit mengahabiskan waktu dengan mereka. Menurut John W. Santrock (2007), penurunan dalam interaksi anak ini mungkin lebih meluas dalam keluarga denga sedikit pendidikan pengasuhan. Walaupun orang tua menghabiskan waktu yang lebih sedikit dengan anak pada pertengahan dan akhir masa kanak-kanak, orang tua tetap menjadi agen sosialisasi yang sangat penting dalam kehidupan anak.
Universitas Sumatera Utara
Menurut John W. Santrock (2007), bagi orang tua disiplin selama pertengahan dan akhir masa kanak-kanak lebih mudah diterapkan dibanding pada awal masa kanak-kanak. Pembentukan disiplin mungkin juga lebih mudah selama masa remaja. Karena pada masa ini, perkembangan kognitif anak telah matang hingga tingkat dimana orang tua bisa mengajak mereka berpikir logis dalam menghindari penyimpangan dan mengendalikan perilaku mereka. Saat remaja, logika anak telah menjadi lebih kompleks, dan mereka mungkin kurang menerima disiplin orang tua.
Remaja juga mendesak lebih keras untuk mandiri, yang
menyebabkan kesulitan pengasuhan. John W. Santrock (2007), Selama pertengahan atau akhir masa kanakkanak, sebagian kendali berpindah dari orang tua kepada anak, walaupun prosesnya bertahap yang melibatkan kendali oleh anak dan orang tua. Selama proses perpindahan kendali ini orang tua hendaknya harus tetap melakukan perannya, seperti; memantau, membimbing, dan mendukung anak dari jauh; menggunakan waktu secara efektif ketika mereka memiliki kontak langsung dengan anak, dan menguatkan kemampuan anak untuk memantau perilakunya sendiri, menghindari risiko yang berbahaya, dan merasakan ketika dukungan orang tua dan anak sudah tepat. 2.4.3 Gaya pengasuhan anak Para ahli psikologi anak telah menyusun dimensi yang lebih tepat dari pengasuhan anak yang baik, di dalam buku John W. Santrock (2007), Diana Baumrind (1971) menjelaskan ada empat jenis gaya pengasuhan anak : 1. Pengasuhan otoritarian Merupakan gaya yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisirperdebatan verbal. Orang tua yang seperti ini mungkin juga sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku, tanpa menjelaskannya, dan menunjukkan amarah pada anak. Anak dari orang tua yang otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, tidak percaya diri ketika
Universitas Sumatera Utara
membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. 2. Pengasuhan otoritatif Gaya pengasuhan dengan cara mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Pada gaya ini kita masih dapat melihat adanya tindakan verbal memberi dan menerima, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua juga menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respon terhadap perilaku konstruktif anak, karena mereka mengharapkan perilaku anak yang dewasa, mandiri, dan sesuai dengan usianya. Anak yang memiliki orang tua yang seperti ini biasanya ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebayanya, dan bisa mengatasi stress denga baik. 3. Pengasuhan yang mengabaikan Gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, sehingga anak merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Mereka biasanya memiliki harga diri yang rendah tidak dewasa, mungkin terasing dari keluarga, sehingga pada saat remaja anak menunjukkan sikap suka membolos dan nakal. 4. Pengasuhan yang menuruti Gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat pada anak, namun tidak menuntut atau mengontrol mereka, biasanya orang tua membiarkan anak melakukan apa yang mereka inginkan. Sehingga anak tidak pernah belajar mengenadalikan
perilakunya
sendiri
dan
selalu
berharap
mendapatkan
keinginannya, jarang menghormati orang lain, mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, kesulitan dalam hubungan dengan teman sebayanya. 2.5
Pengetahuan 2.5.1 Definisi Pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). 2.5.2 Proses Pengetahuan
Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : 1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulu (objek) terlebih dahulu. 2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus. 3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden lebih baik lagi. 4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru. 5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Menurut Notoatmodjo (2007), Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu : 1.
Tahu (know) Tahu diartikan sebagau mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2.
Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat meninterpretasikan materi tersebut secara benar.
Universitas Sumatera Utara
3.
Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
4.
Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5.
Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6.
Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas. 2.6
Sikap 2.6.1 Definisi Sikap Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Alloport (1954) dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). 2.6.2 Tingkatan Sikap Seperti halnya pengetahuan, sikap juga terdiri dari beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2007), yakni : a) Menerima (receiving)
Universitas Sumatera Utara
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). b) Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. c) Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. d) Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Universitas Sumatera Utara