BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pernikahan Dini
2.1.1
Definisi Pernikahan Dini Pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan institusi agung
untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat disegala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap,dan cara berfikir serta bertindak, namun bukan pula orang dewasa yang telah matang (Zakiah, 2004). Menurut (Lutfiati, 2008;Nukman,2009) pernikahan dini adalah institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga, pernikahan dibawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. UNICEF (2011) menyatakan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia kurang dari 18 tahun yang terjadi pada usia remaja. Pernikahan dibawah usia 18 tahun bertentangan dengan hak anak untuk mendapat pendidikan, kesenangan, kesehatan, kebebasan untuk berekspresi. Untuk membina suatu keluarga yang berkualitas dibutuhkan kematangan fisik dan mental. Bagi pria dianjurkan menikah setelah berumur 25 tahun karena pada umur tersebut pria dipandang cukup dewasa secara jasmani dan rohani. Wanita dianjurkan menikah setelah berumur 20
tahun karena pada umur tersebut wanita telah menyelesaikan pertumbuhan dan rahim melakukan fungsinya secara maksimal. Pernikahan dini (early married) adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah usia 19 tahun (WHO, 2010). Hal ini sesuai dengan Undang Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 menyatakan pernikahan di usia 18 tahun ke bawah termasuk pernikahan dini (Lubis, 2008). Dalam Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) bab 1 pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan usia dini adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, batasan tersebut diatas jalan menegaskan bahwa anak usia dini adalah bagian dari usia remaja. 2.1.2
Hukum Menikah Dini Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub). Perintah untuk menikah
merupakan tuntutan untuk melakukan nikah. Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti atau keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut berupakan tuntutan yang tidak mengundang keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib. Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, tergantung keadaan orang melaksanakan hukum nikah. Rasulullah SAW menyarankan kepada orang yang sudah mampu agar segera menikah, sementara kepada yang belum mampu Rasulullah memberi jalan keluar untuk menangguhkan pernikahan yaitu dengan melaksanakan Shaum, karena
shaummerupakan
benteng.
Ungkapan
ini
merupakan
isyarat
bahwa
kita
diperbolehkan menangguhkan pernikahan untuk lebih mematangkan persiapan. Oleh karena itu para ahli Fiqih mendudukkan hukum pernikahan pada 4 hukum ; 1. Wajib nikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan mampu secara fisik, psikis, dan material, serta memiliki dorongan seksual yang tinggi sehingga
dikhawatirkan
kalau
pernikahan
itu
ditangguhkan
akan
menjerumuskannya pada zinah. 2. Sunnah (thatawwu’) menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan sudah mampu secara fisik, psikis, dan material, namum masih bisa menahan diri dari perbuatan zinah. 3. Makruh (tidak dianjurkan) menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami, namun belum mampu secara fisik, psikis atau material. Karenanya, harus dicari jalan keluar untuk menghindari diri dari zinah, misalnya dengan shaum dan lebih meningkatkan taqarrub diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah lainnya. 4. Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan merugikan pasangannya serta tidak menjadi kemaslahatan (kebaikan). Maupun menikah dengan tujuan menyakiti pasangannnya. Adapun menikah dini yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya. Menurut Syara’ adalah sunnah atau mandub. Pernikahan dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti para pelajar, mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada
pada semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi pelajar yang masih sekolah, bergantung pada orang tua dan belum mempunyai penghasilan sendiri, mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah. Hukum umum tersebut yang paling terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persyaratan sebuah pernikahan. Persiapan menikah dalam tinjauan fiqih paling tidak diukur dengan (tiga) hal : 1. Kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, pada saat nikah, maupun sesudah nikah. 2. Kesiapan materi atau harta, yang dimaksud harta disini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) dan harta sebagai nafkah suami kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhan pokok atau primer bagi istri yang berupa sandang, pangan, dan papan. Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada istrinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada istrinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain. 3. Kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shanaani dalam kitabnya Subulus Salam jus III hal.109 menyatakan bahwa Al Ba’ah dalam hadits
anjuran menikah untuk para syahbab diatas, maksudnya adalah jimaa. Ini menunjukkan keharusan kesiapan fisik sebelum menikah. 2.1.3
Jenis-Jenis Perspektif Pernikahan Dini
1.
Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi Sebenarnya kekhwatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis
dan sosial bahwa pernikahan dini dan masih di bangku sekolah bukan suatu penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali. Di sekitar kita ada banyak bukti empiris dan tidak perlu dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang. Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak (Adhim, 2010). Pernikahanakan mematangkan seseorang dan sekaligus
memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia,
yang pada gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan. Rosa (2011) menemukan ternyata setelah diteliti pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan,
bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat. Dari kacamata psikologi, pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari sebuah musibah yang sedang mengancam kaum remaja, tapi ia adalah motivator untuk melejitkan potensi diri dalam segala aspek positif. 2.
Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia 19-25 tahun,
maka bagaimana dengan agama? Rasullah saw. Bersabda : “ wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai baah, maka kawinlah. Karena sesunguhnya kawin lebih bisa menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual) (HR. Imam yang lima). Hadits diatas dengan jelas dialamatkan kepada Syabab (pemuda). Siapakah syabab itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah seorang yang telah mencapai aqil baligh dan usia belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau telah mencapai usia 15 tahun. Sekarang dengan kemajuan teknologi yang canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anakinngusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, sahabat Abdullah bin Mas’ud ra. Selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang masih
singel, dengan mengajak mereka berdoa bersama agar segera diberi istri yang shalihah. Salah satu faktor dominan yang serinng membuat kita terkadang takut melangkah adalah kesiapan dari segi ekonomi. Ini memang wajar sebagai hamba dalam sebuah rumah tangga ini. 2.1.4
Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Pernikahan Dini Faktor penyebab terjadinya pernikahan dini dalam Rafidah (2009) yaitu :
1.
Faktor internal (faktor yang datang dari dalam diri seorang) Adanya keinginan seorang melakukan perkawinan karena faktor ketertarikan mempunyai pasangan untuk hidup di masyarakat dari dalam dirinya sendiri. Alasan orang untuk menikah adalah stimulasi oleh dorongan-dorongan romantik, hasrat untuk mendapatkan kemewahan hidup, ambisi besar untuk mencapai status sosial yang tinggi, keinginan untuk mendapatkan asuransi hidup, untuk mendapatkan kepuasan seks dengan partner, atau hasrat untuk melepaskan diri dari belenggu kungkungan keluarga.
2.
Faktor eksternal (seseorang yang melakukan perkawinan berasal dari luar dirinya) a. Ekonomi Dengan keadaan ekonomi keluarga yang terbatas dan adanya sifat apatis, pasrah pada nasib maka terjadilah anak putus sekolah yang akhirnya kawin walaupun berumur belasan. Hal ini di dukung oleh pendapat dari Piere De Bie dari hasil penelitiannya yang mengemukakan bahwa pengeluaran untuk bahan
makanan lebih besar jika anak menegaskan bahwa harapan anak-anak untuk dapat bersekolah berkurang. b. Sosial budaya Pola perkawinan di Asia Tenggara ditandai oleh latar belakang kebiasaan setempat. Di pedesaan biasanya wanita akan segera dikawinkan setelah mencapai umur akil baliq (yang ditandai dengan datangnya menstruasi). Kemudian dari penelitian Pujiastuti(2010) di Kabupaten Karang Anyar memperoleh gambaran bahwa adat perkawinan anak-anak pada masyarakat suku Jawa dilatarbelakangi oleh kekuatan orangtua yang begitu kuat. Bahkan telah menjadi kebiasaan bahwa orangtua akan mengawinkan
anak
perempuannya segera setelah anak memperoleh haid. c. Pendidikan Pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap usia perkawinan, kenyataan seperti ini telah dikemukakan oleh Palmore dan Marzuki, dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan positif antara pendidikan dengan umur perkawinan, rata-rata lambat kawin dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan. d. Wanita hamil sebelum menikah Salah satu yang menyebabkan seseorang yang menikah dibawah umur adalah wanita sebelum menikah sedangkan anak yang dikandungnya harus disahkan sebelum lahir. Pentingnya hal ini ditekankan oleh Bronislow Malinowsky yang mengemukakan suatu hukum sosial prinsip yang menekankan bahwa
“janganlah anak itu dilahirkan ke dunia tanpa seorang laki-laki atau seorang ayah”. Tugas menjadi ayah yang bertanggung jawab, yaitu setiap anak yang mempunyai peraturan yang menetapkan bahwa setiap anak harus mempunyai bapak. Selain itu faktor wanita hamil diluar nikah yaitu disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang baik, dimana dalam dasawarsa terakhir ini perkembangan kemajuan ilmu teknologi berkembang sangan pesat sehingga membawa perubahan-perubahan yang sangat berarti tetapi juga timbul permasalahan yang sangat mengejutkan. e. Kuatnya tradisi dan budaya Dibeberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun. Jauh dibawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan undang-undang. Peran orang tua dalam menentukan jodoh anaknya cukup besar. Setidaktidaknya terdapat 49%. Perkawinan wanita belia merupakan perjodohan yang diatur oleh orang tua. Campur tangan orang tua dalam mencarikan dan menentukan pasangan hidup anak perempuannya (terutama pada perkawinan pertama) umumnya ditemukan di kalangan masyarakat jawa, terlebih lagi di daerah pedesaan (Sukron, 2003).
Praktek pernikahan dini sering dipengaruhi oleh tradisi lokal. Ternyata ada juga fasilitas dispensasi. Pengadilan agama dan kantor urusan agama sering memberi dispensasi jika mempelai wanita ternyata masih dibawah umur. Di Indonesia masih sering terjadi praktek pernikahan dibawah umur. UU perkawinan dari tahun 1974 juga tidak tegas melarang praktek itu. Menurut UU perkawinan seorang anak perempuan baru boleh menikah diatas umur 16 tahun, seorang anak lelaki diatas 18 tahun. Tetapi ada juga dispensasi. Jadi, Kantor Urusan Agama (KUA), masih sering memberi dispensasi untuk anak perempuan di bawah 16 tahun. Sutik, perempuan asal Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah ini, pertama kali dijodohkan orang tuanya pada umur 11 tahun. Kuatnya tradisi turun-temurun membuatnya tak mampu menolak. Terlebih lagi, Sutik juga belum mengerti arti sebuah pernikahan. Sutik adalah satu dari sekian banyak anak perempuan di Wilayah Tegaldowo, Rembang, yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya tradisi memaksa anak-anak perempuan desa ini melakukan pernikahan dini. Mengakarnya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos anak perempuan. Seperti diungkapkan Suwandi, pegawai pencatat nikah di Tegaldowo Rembang Jawa Tengah, “adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang lamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai tidak laku-laku”. Di daerah ini, anak umur belasan sudah menikah, bahkan banyak yang sudah menyandang status janda karena orang tua tidak memperdulikan, apakah anak bersedia dinikahkan atau tidak. Yang terpenting, menurut para orang tua, adalah menikahkan terlebih dahulu, meski kemudian diceraikan. Berbagai cara biasa
dilakukan agar pernikahan terlaksana, dari memaksa perangkat desa untuk mempermudah
urusan
administrasi,
memberi
uang
pelicin
hingga
harus
memanipulasi usia anak mereka. Seperti yang terjadi pada Sutik. Dalam surat nikahnya tercatat berumur 16 tahun, meski sebenarnya Sutik menikah berusia 13 tahun (Mukson, 2013). Hanum (2011) menyatakan bahwa nilai budaya lama yang menganggap bahwa menstruasi merupakan tanda telah dewasanya seorang anak gadis masih dipercaya oleh warga masyarakat, tidak hanya dikalangan orang tua saja melainkan juga dikalangan kaum muda. Hal ini akan membentuk sikap positif masyarakat dan kaum muda terhadap pernikahan dini. Perempuan dipedesaan diikuti dengan pernikahan di usia muda yang mengantarkan remaja pada kehamilan dan persalinan. Hal ini dapat meningkatkan resiko kematian maternal, yang mencakup 4 terlalu yaitu: terlalu muda untuk melahirkan, terlalu tua, terlalu sering dan terlalu banyak melahirkan anak. Umur ibu yang kurang dari 18 tahun meningkatkan resiko lahirnya bayi “berat bayi lahir rendah” (BBLR) dapat juga beresiko terkena kanker leher rahim, karena pada usia remaja, sel-sel rahim belum matang sehingga pertumbuhan sel akan menyimpang dan tumbuh menjadi kanker. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Perempuan Indonesia (KPI) Dr. Sukron Kamil UIN Cabang Rembang menyatakan bahwa, pernikahan dini karena perjodohan saat usia sekolah masih terbilang tinggi. Pada tahun 2006-2010, jumlah anak menikah dini (dibawah 15 tahun) masih meningkat. Beberapa penyebab terjadinya pernikahan usia dini, 62% wanita menikah karena hamil diluar nikah, 21%
dipaksa orangtua menikah dini karena ingin memperbaiki keadaan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, salah satu penyebab pernikahan dibawah umur adalah karena dipaksa orang tua. Hal tersebut memang sering terjadi. Perjodohan yang diterima anak dengan keterpaksaan bukan hanya menimbulkan dampak buruk bagi psikologisnya, tapi juga kesehatannya. Ancaman depresi pun dapat menyerangnya (Mukson, 2013). Dr. Sukron Kamil melanjutkan, beberapa fakta didapat dampak dari perjodohan diusia dini yang berujung pada pernikahan dini adalah (Mukson, 2013): 1.
Kekerasan terhadap anak Terkadang anak mengalami kekerasan dari orang tua atau keluarga apabila menolak untuk dinikahkan. Bahkan ditemukan juga kasus setelah dinikahkan anak mencoba bunuh diri dengan minuman cairan pestisida. Kekerasan juga bukan hanya dari lingkungan keluarga namun juga dari pasangan yang umumnya berusia lebih tua dari mereka.
2.
Tingkat perceraian yang tinggi Lebih dari 50% pernikahan tidak berhasil dan akhirnya bercerai. Bahkan ada juga kasus yang menjalani pernikahan hanya dalam hitungan minggu lalu berpisah. Dan biasanya hal ini terjadi karena anak perempuan tidak mau melakukan kewajiban sebagai istri dan kurangnya kesiapan masing-masing pasangan yang mau menikah.
3.
Kemiskinan meningkat, karena belum siap secara ekonomi.
4.
Trafficking/ eksploitasi dan seks komersial anak.
Beberapa faktor yang mempengaruhi suatu perkawinan menurut Khoirul, (2008) antara lain: 1. Ekonomi Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan. Untuk meringankan beban orangtuanya maka anak perempuannya dinikahkan dengan orang yang dianggap mampu. 2. Faktor orang tua Orangtua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan lakilaki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya. 3. Media massa Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modernkian permisif terhadap seks. Faktor media massa banyak menyajikan adanya pernikahan usia remaja saat ini. Adanya seks atau kenakalan remaja lainnya seringkali
disebabkan
oleh
kurang
adanya
kemampuan
remaja
untuk
mengarahkan emosinya secara positif. Berkurangnya kemampuan remaja ini berawal dari kurangnya dukungan yang posif. Selain itu, dipengaruhi lingkungan teerdekat remaja itu sendiri, termasuk orang tuanya sendiri. 4. Faktor adat Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dinikahkan.
2.1.5
Dampak Pernikahan Dini pada Remaja Resiko pernikahan dini berkaitan erat dengan beberapa aspek, baik yang
berupa dampak positif maupun dampak negatif. 2.1.5.1 Dampak Positif Pernikahan Dini Fadlyana (2009) menulis tentang efek positif pernikahan dini, diantaranya : 1. Pernikahan dini akan meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku menyimpang dikalangan muda-mudi. Presentase hubungan diluar nikah (zina) dan perilaku homoseksual di daerah-daerah pedesaan, lebih kecil dibandingkan dengan daerah-daerah perkotaan. Ini merupakan sebuah fakta yang begitu nyata. Pernikahan dini sudah menjadi hal yang biasa di desa-desa. Anak-anak muda yang melakukan liwath (hubungan sesama jenis), kebanyakan disebabkan oleh adanya faktor yang menghalangi mereka untuk menikah secara dini, seperti nilah mahar yang tinggi dan sebagainya. 2. Dekatnya jarak usia antara orang tua dan anak sehingga perbedaan umur di antara mereka tidak terlalu jauh. Dengan begitu, orang tua masih cukup kuat memperhatikan dan merawat anak-anak, sebagaimana anak-anak itu pun nanti dapat mengurus dan melayani mereka. Carell yang mengkritik peradaban materialistik berat melalui buku tersebut mengatakan : “semakin dekat jarak waktu yang memisahkan antara dua generasi, semakin kuat pengaruh moral orang tua terhadap anak-anak. Oleh karena itu, para wanita seharusnya menjadi ibu di usia muda, agar mereka tidak terpisahkan dari anak-anak mereka oleh jurang begitu lebar yang tidak mungkin ditutup sekalipun dengan cinta.”
3. Saat belum mampu menikah, anak-anak muda akan senantiasa dihinggapi lintasan-lintasan pemikiran yang mengganggu. Pelampiasan nafsu akan menjadi maksud dan tujuan yang paling penting. Apalagi saat mereka keluar bersama teman-teman sepergaulan yang tidak baik, ditambah keadaaan perilaku mereka sendiri yang buruk. Hal ini akan berdampak negatif terhadap agama mereka. Dan bekas dari dampak negatif ini akan tetap ada sekalipun mereka telah menikah. Ada sebagian dari mereka yang belum juga dapat mengatasi sisa dampak negatif tersebut. Sedangan pernikahan dini akan menghindarkan mereka dari dampakdampak negatif itu dan memalingkan perhatian mereka kepada hal-hal yang lebih utama untuk diri mereka sendiri. Olehkarena itu, banyak ditemukan anak-anak muda belia dari pedesaan yang datang ke kota untuk berusaha dan bekerja keras, mereka memeras keringan dan membanting tulang agar dapat mengirimkan uang kepada istri, anak, dan orang tuanya di kampung. Disamping itu, juga ditemukan anak-anak muda perkotaan yang lebih tinggi usianya, menghabiskan waktu berjam-jam di depan internet, menjalin hubungan dengan perempuan, disaat mereka sendiri masih menjadi beban tanggungan orang tua. 4. Memiliki tingkat kemungkinan hamil yang tinggi. Kehamilan pada masa menikah bagi perempuan di usia dini lebih tinggi kemungkinannnya dibandingkan pada usia lain sebagaimana yang dapat dilihat nanti dari keterangan para dokter. 5. Meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Umat yang kaum mudanya melakukan pernikahan dini, akan mengalami peningkatan jumlah populasi yang lebih besar dari umat lain.
6. Meringankan beban para ayah yang dianggap fakir, dan menyalurkan hasrat sang suami dengan cara yang syar’i. 7. Memenuhi kebutuhan sebagian keluarga, misalnya akan keberadaan seorang perempuan yang mengurus dan menangani keperluan rumah tangga mereka. 8. Kemandirian kedua suami istri dalam memikul tanggung jawab, dengan tidak bergantung kepada orang lain. 2.1.5.2 Dampak Negatif Pernikahan Dini Resiko pernikahan dini berkaitan erat dengan beberapa aspek,yaitu (Maroon, 2011) : 1. Segi Kesehatan Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak.Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun kebawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental, kebutaan dan ketulian. a. Kanker Leher Rahim Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun berisiko terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matanng. Jika terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi
kanker.Leher rahim adadua lapis epitel,epitel skuamosa dan epitel kolummer. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitelskuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Jika HPV menempel, perubahan menempel menjadi dysplasia yang merupakan awal dari kanker. Pada usia di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil.Gejala awal perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal atau perdarahan setelah senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher rahim bisa melakukan tes Pasmear 2-3 tahun sekali. b. Neoritis Depresi Depresi berat atau neuritis depresi akibat pernikahan dini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik iri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizofrenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedangkan depresi berat pada pribadi extrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja tordorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya. Dalam pernikahan dini sulit dibedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal. Sebaliknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi dari pada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak,
berubah100%. Jika berdua tanpa anak, mereka masih bisa senang, apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remajanya dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan. Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasarkan emosi ataumungkin mengatas-namakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tidak terjadi married by accident (MBA) atau menikah karena “kecelakaan”, kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja. 2. Segi Fisik Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampila fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa ketergantungan kepada orangtua harus dihindari. 3. Segi Mental/Jiwa Pasangan usia muda belum siap bertangggung jawap secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosinya. Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang
sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas keputusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak. 4. Segi Pendidikan Pendewasaan usia kawin ada kaitannya dengan usaha memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan persiapan yang sempurna dalam mengurangi bahtera hidup. 5. Segi Kependudukan Perkawinan usia muda ditinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan. Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyakat patriarki yang bias jender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmata lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang
bias gender yang akan melahirkan kekerasanterhadap
perempuan. 6. Segi Kelangsungan Rumah Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak terjadinya
perceraian.
Berbagai
konsekuensi
yang
diakibatkan
dari
pernikahan
dini
dikemukakan dari beberapa penelitian. Menurut Shawky (2010) yang melakukan penelitian di Jeda Arabia tentang pernikahan dini dan konsekuensi kehamilan, hasilnya mengatakan mereka yang menikah usia dini akan berisiko dua kali untuk mengalami keguguran secara spontan dan empat kali risiko mengalami kematian janin dan kematian bayi. Sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini. Positifnya ia mencoba bertanggung jawap atas hasil perbuatanya yang dilakukan bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan dini sering dituntut perceraian. Mengapa pernikahan dini yang umumnya dilandasi rasa cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja? Pernikahan dini mempunyai dua dampak buruk yang sangat berat. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu perempuan masa hamil sebaiknya dilakukan pada usis 20-30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil. Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Usia remaja boleh dikatakan berhenti pada usia 19 tahun. Dan usia 20-24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead adolescent. Pada masa ini, mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalaupernikahan diakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya. Bayangkan kalau orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus melayani suami dan suami tidak
bisa kemana-mana karena harus bekerja untuk belajar bertanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Hal ini yang menyebabkan gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian, dan pisah rumah. Pada masyarakat kulit hitam maupun masyarakat kulit putih didapatkan bahwa perkawinan dan kehamilan pada umur belia berkaitan dengan kondisi-kondisi yang serba merugikan. Kondisi-kondisi tersebut yaitu : rendahnya tingkat pendidikan wanita, rendahnya tingkat partisipasi kerja wanita dan pendapatan keluarga muda yang rendah. Hal ini berdampak pada taraf kesejahteraan yang kurang menugguntungkan. Bentuk-bentuk ketidakstabilan kehidupan berumah tangga, krisis keluarga, terputusnya kelanjutan sekolah, masalah mengasuh anak dan problema ekonomi merupakan bagian dari komplikasi yang diakibatkan dari perkawinan dan kehamilan usia muda (Bronars, 2010; Furstenberg, 2010). Kehamilan di kalangan remaja berimplikasi negatif terhadap tingkat pendidikan yang dicapai oleh wanita, posisi ekonomi di kemudian hari dan partisipasi angkatan kerja. Konsekuensi yang diakibatkan oleh pernikahan usia dini pada anak perempuan adalah penolakan terhadap pendidikan, anak perempuan cenderung tidak melanjutkan sekolah setelah menikah sehingga mendorong terjadinya kemiskinan, mengalami masalah kesehatan termasuk kehamilan remaja (adolescent pregnancy), dan terisolasi secara sosial. Selain itu konsekuensi dari pernikahan dini dan melahirkan di usia remaja adalah berisiko untuk melahirkan bayi prematur dan berat badan lahir rendah (Trussel, 2010; UNICEF, 2011; Aditya dkk, 2010).
Wanita yang menikah pada usia muda mempunyai waktu yang lebih panjang berisiko untuk hamil. Perkawinan usia remaja berdampak pada rendahnya kualitas keluarga, baik ditinjau dari segi ketidaksiapan secara psikis dalam menghadapi persoalan sosial maupun ekonomi rumah tangga. Risiko lain adalah ketidaksiapan mental untuk membina perkawinan dan menjadi orangtua yang bertanggung jawab. Dampak lain dari perkawinan dini adalah kehamilan usia muda yang berisiko terhadap kematian ibu dan bayinya karena ketidaksiapan calon ibu dalam mengandung dan melahirkan bayinya (Wilopo, 2005).
2.2
Konsep Perkawinan Defenisi perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun
1974 adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa hubungan seksual yang dilakukan pasangan suami istri yang telah disahkan dalam lembaga perkawinan. WHO (2010) telah menetapkan bahwa usia 10-24 tahun merupakan batasan remaja yang masih mendapat perhatian dan perlindungan oleh orangtua. Oleh karena itu perkawinan dini dan kehamilan dini merupakan praktik yang merugikan dan membahayakan perempuan dari segi medis dan psikis. Konvensi hak-hak anak menentukan 18 tahun sebagai usia minimum untuk menikah bagi laki-laki maupun perempuan. Adapun undang-undang perlindungan anak
menganggap, siapa saja
dibawah usia 18 tahun sebagai anak dan orangtua bertanggung jawab untuk mencegah pernikahan di bawah umur (pasal 26). Undang-undang perkawinan juga bertentangan dengan komitmen internasional dan undang-undang yang menghendaki hak-hak yang sama untuk menikah dan menetapkan 18 tahun sebagai usia minimum untuk menikah baik laki-laki maupun perempuan. Pernikahan dipandang sebagai suatu yang
harus dipatuhi dan dapat
menyebabkan kondisi dan posisi perempuan lenah. Budaya setempat membatasi ruangangerak perempuan. Bentuk pernikahan dini dapat pula sebagai pola yang melindungi atau lebih tepatnya mengekang perempuan untuk dapat berkembang dalam segala bentuk. Pernikahan dini dapat meningkat pada daerah-daerah krisis perang dengan alasan untuk peningkatan ekonomi dan untuk menghindari bahaya pelecehan dan perkosaan (UNICEF, 2010). Mathur (2003) juga mengemukakan beberapa penyebab lain
yang
menimbulkan pernikahan dini. Penyebab tersebut antara lain yaitu peran gender dan kurangnya alternatif (gender roles and lack ofalternatives).Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peran yang diharapkan pada anak laki-laki dan terhadap anak perempuan, serta kurang kesempatan yang diberikan pada pihak wanita seperti kesempatan pendidikan, olahraga, dan pekerjaan. Penyebab kedua adalah nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pernikahan (value of virginitas and fears abaut premarital sexual pregnant). Berkaitan dengan penyebab kedua, penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa pernikahan dini terjadi sebagai solusi kehamilan di luar nikah (premarital pregnancy) (Bennet, 1999).
Dalam UU PA pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa “perlindungan anak” adalah segala kegiatan unntuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam deklarasi hak asasi manusia, dikatakan bahwa pernikahan harus dilakukan atas persetujuan penuh kedua pasangan. Namun kenyataan yang dihadapi dalam pernikahan dini ini, persetujuan menikah sering kali merupakan akumulasi dari paksaan atau tekanan orangtua/wali anak, sehingga anak setuju untuk menikah seringkali merupakan rasa bakti dan hormat pada orang tua. Orangtua beranggapan menikahkan anak mereka berarti suatu bentuk perlindungan terhadap sang anak, namun hal ini justru menyebabkan hilangnya kesempatan anak untuk berkembang, tumbuh sehat, dan kehilangan kebebasan dalam memilih. Pernyataan senada juga dikeluarkan oleh International Humanist Ethical Union, bahwa pernikahan anak merupakan bentuk perlakuan salah kepada anak (childs abuse). Dalam hal ini, mengingat berbagai konsekuensi yang dihadapi anak terkait dengan pernikahan dini, maka pernikahan anak tentunya menyebabkan tidak terpenuhinya prinsip “yang terbaik untuk anak”, sehingga hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi anak. Dalam UU perlindungan anak dengan jelas disebutkan pula mengenai kewajiban orangtua dan masyarakat untuk melindungi anak, serta kewajiban orangtua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (pasal 26). Sanksi pidana berupa hukuman kurung penjara dan denda
diatur dalam pasal 77-90 bila didapatkan pelanggaran terhadap pasal-pasal perlindungan anak. 2.2.1
Tujuan Perkawinan Adapun tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
adalah : 1. Untuk membentuk keluarga dan mengatur rumah tangga Menurut ketentuan hukum agama yang berdasarkan Ketuhanan YME, sehingga suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dalam mencapai kesejahteraan spritual demi terwujudnya tujuan perkawinan. Rumahtangga merupakan landasan pertama masyarakat yang besar, diatas dasar kecintaan dan kasih sayang. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang kokoh yang menjalin suami istri, yang tadinya tidak ada ikatan, baik pertalian darah maupun pertalian keturunan, menjadi satu persekutuan hidup yang begitu kokoh. Unsur yang mengikat tali perhubungan tersebut ialah kecintaan dan kasih sayang. 2. Untuk memperoleh keturunan yang sah Memperoleh keturunan dalam kehidupan manusia itu mengandung 2 segi kepentingan, kepentingan diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum. Sudah menjadi kodrat manusia, bahwa manusia mempunyai keinginan untuk memperoleh keturunan. Katurunan akan menjadi belahan jiwa. Suami istri yang hidup sebagai keluarga tanpa anak akan merasa sepi dan hampa.
3. Pada prinsipnya membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia akan bersifat kekal dan tidak berakhir dengan perceraian. Adapun yang dimaksud dengan keluarga disini adalah satu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu, anak atau anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sangat penting artinya kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tidak dapat lain, masyarakat yang berbahagia akan terdiri atas keluarga-keluarga yang berbahagia pula. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Untuk dapat mencapai hal ini maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan, yaitu bahwa sekali orang melakukan perkawinan, tidak akan bercerai untuk selama-lamanya, kecuali cerai karena kematian. Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam UU NO.1 tahun 1974 bila kita rasakan adalah sangat ideal karena tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari segi lahiriah saja tetapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan Kehendak Tuhan YME. Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk memenuhi hajat dan tabiat kemanusiaan berhubungan anatara laki-laki dan
perempuan dalam rangka
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuanketentuan yang telah diatur dalam syariat. Dalam hukum Islam perkawinan juga
bertujuan menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat yang mendirikan suatu rumah tangga yang damai dan teratur. Sedangkan tujuan perkawinan menurut hukum adat adalah untuk melahirkan generasi muda, melanjutkan garis hidup orang tua, mempertahankan derajat memasuki inti sosial dalam masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara individu. Bambang Suando mengatakan bahwa tujuan perkawinan menurut hukum adat adalah secara sosiologi untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat setempat. 2.2.2
Syarat-Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa syarat-
syarat perkawinan tercantum pada pasal 6 sebagai berikut : 1. Perkawinan harus dilakukan menurut hukum agama 2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan 3. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai 4. Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat ijin orang tua. Syarat-syarat perkawinan menurut pasal 7 yaitu : 1. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. 2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau penjabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah satu atau kedua orangtua tersebut dalam pasal (6) ayat (3) dan(4) UU ini, berlaku yang dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6). 2.2.3
Perkawinan Menurut Hukum Agama Hadikusuma (2007) menyatakan bahwa pada umumnya menurut hukum
agama perbuatan suci(sakramen, samskara) yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Kuasa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetanggga berjalan dengan baik dan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan (dilarang). Oleh karena pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama. Perkawinan dalam arti”ikatan jasmani dan rohani” berarti suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan yang selamat bukan saja didunia tetapi juga diakhirat, bukan saja lahiriah tetapijuga batiniah, bukan saja gerak langkah yang sama dalam karya tetapi juga gerak langkah yang sama dalam berdoa. Sehingga kehidupan keluarga dalam rumah tangga itu rukun dan damai, dikarenakan suami dan istri serta anggota keluarga berjalan seiring bersama pada arah dan tujuan yang sama.
Menurut hukum Islam perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali wanita dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali siwanita dengan jelas dan ijab (serah) diterima (Kabul) oleh calon suami yang dilaksanakan di hadapan dua saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadis Nabi Muhamad SAW yang diriwayatkan Ahmad yang menyatakan “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”. Jadi perkawinan menurut agama Islam adalah perikatan antara wali perempuan (calon istri) dengan calon suami perempuan itu,bukan perikatan antara pria dengan wanita saja sebagai maksud pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 atau menurut hukum Kristen, kata “wali” berarti bukan saja”bapak” tetapi juga termasuk “datuk” (embah), saudara-saudara pria, anak-anak pria dari paman,kesemuanya menurut garis keturunan pria (patrinial) yang beragama Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikatan perkawinan dalam Islam berarti pula perikatan kekerabatan bukan perikatan perseorangan. Menurut Hukum Kristen Katolik, perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali (Budyapranata, 1992). Jadi perkawinan menurut Kristen Katolik adalah perbuatan yang bukan saja merupakan ikatan cinta antara kedua suami istri, tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis (Kan.1055).
Menurut hukum Hindu, perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan anak pria akan menyelamatkan orang tua dari neraka
Put, yang
dilangsungkan dengan upacara ritual menurut Agama Hindu Weda Smrti. Jika perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut Hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah (perhatikan G.Pudja,1974:9). Menurut Hukum Perkawinan Agama Budha (HPAB) keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977 pasal 1 “perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin anatara seorang pria sebagai seorang suami dan wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (Metta), Kasih sayang (Karuna) dan Rasa Sepenanggungan (Mudita) dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (Rumah Tangga) bahagia yang diberkati oleh Syanghyang Adi Budha/Tuhan yang Maha Esa, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa.” Perkawinan adalah sah apabila Hukum Perkawinan Agama Budha Indonesia (pasal 2 HPAB). 2.2.4
Perkawinan Menurut Hukum Adat Hadikusuma (2007) menyatakan bahwa hukum adat pada umumnya di
Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubunan manusia dengan Tuhan (ibadah) maupun hubunan manusia sesama manusia (mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan selamat di akhirat.
Haar dalam Hadikusuma (2007) menyatakan bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarat, urusan martabat, dan urusan pribadi dan begitu pula ia menyangkut urusan keagamaan. Sebagaimana dikatakan bahwa dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhungan degan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia (hoogere wereldorde). Perkawinan dalam arti “Perikatan Adat”, ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasan sanak” (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan “rasan tuhan” (hubungan antara orangtua keluarga dari pada calon suami, istri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga/kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan. Sejauhmana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum dalam “perikatan adat”,seperti pada kedudukan suami dan kedudukan suami dan kedudukan istri, begitu pula dengan kedudukan anak dan pengangkatan anak, kedudukan anak tertua, anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain, dan harta perkawinan, yaitu harta yang timbul akibat terjadinya perkawinan, tergantung pada bentuk dan sistem perkawinan adat setempat.
2.2.5
Batasan Usia untuk Suatu Perkawinan Dalam hubungan dalam hukum menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974,
usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (pasal 7). Jelas bahwa UU tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah, batasan usia ini dimaksud untuk mencegah perkawinan terlalu dini. Walaupu begitu selama seorang belum mencapai usia 21 tahun boleh menikah tanpa izin orang tua untuk menikahkan anaknya. Setelah berusia di atas 21 tahun masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan anaknya (pasal 6 ayat 2 UU No. 1/1974). Tampak disini bahwa walaupun UU tidak menganggap mereka yang diatas usia 16 tahun untuk wanita dan 19 untuk pria bukan anak-anak lagi,tapi belum dianggap dewasa penuh. Sehingga masih perlu izin untuk menikahkan mereka. Ditinjau dari segi kesehatan reproduksi, usia 16 tahun bagi wanita, berarti yang bersangkutan belum berada dalam usia reproduksi yang sehat. Meskipun batasan
usia pria maupun wanita untuk melangsungkan
perkawinan telah ditetapkan UU, namun pelanggaran masih banyak terjadi di masyarat terutama dengan cara menaikkan usia agar dapat memenuhi batas usia minimal tersebut (Sarwono, 2006). 2.2.6
Aspek Sosial Budaya pada Setiap Perkawinan Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan
dilakukan secara bertahap. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pemgetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan,
hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan atau ketidaktahuan seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan misalnya, pada dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlibat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pematangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu. Pada aspek sosial budaya penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap, yakni di antara : 1. Pada fase pertama adalah hukum bulan madu pasangan masih menjalani hidup dengan penuh kebahagian, dan hal itu karena didasari rasa cinta di awal perkawinan. Pada fase pengenalan kenyataan, pasangan mengetahui karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari pasangan. 2. Pada fase kedua mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses penyesuaian akan adannya perbedaan yang terjadi. Apabila sukses dalam menerima kenyataan maka akan dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan maka akan dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan. Apabila pasangan sukses mengatasi problem keluarga dengan berapatasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase kebahagiaan sejati akan diperolehnya. Menurut faktor pendorong keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal saling memberi dan menerima cinta, ekspresi afeksi, saling
menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami istri. Hal tersebut mencermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antar pribadi dan pola-pola prilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri, serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai. Menurut aspek sosial budaya faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal saling memberi dan menerima cinta, ekspresi efeksi, saling menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami istri. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antara pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri, serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai. Sedangkan menurut aspek sosial budaya faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal dimana baik suami maupun istri tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan di awal pernikahan.Suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah, perbedaan budaya dan agama di antara suami istri, suami maupun istri tidak tahu peran dan tugasnya dalam rumah tangga. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan, perbedaan, pola penyesuain yamg dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam perkawinan, yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga, sehingga masing-masing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain.
2.3 Kesehatan Reproduksi Menurut konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan, 1994, kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksi (BKKBN, 2010). Menurut Depkes RI, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat,secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kedudukan sosial yangberkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi, dan pemikiran kesehatan reproduksi bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit, melainkan juga bagaimana seseorang dapat memiliki seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sudah menikah (Widyastuti, 2009). 2.3.1
Tujuan Kesehatan Reproduksi Tujuan kesehatan reproduksi (Nugroho, 2010), adalah :
a. Meningkatnya kemandirian wanita dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksinya.
Termasuk
kehidupan
seksualitasnya,
sehingga
hak-hak
reproduksinya dapat terpenuhi yang pada akhirnya menuju peningkatan kualitas hidup. b. Meningkatnya hak dan tanggung jawab sosial wanita dalam menentukan kapan hamil, jumlah dan jarak kehamilan. c. Meningkatnya peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari perilaku seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anakanaknya.
d. Dukungan yang menunjang wanita untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan proses reproduksi, berupa pengadaan informasi dan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk mencapai kesehatan reproduksi secara optimal. 2.3.2 Hak-Hak Reproduksi Guna mencapai kesejahteraan yang berhubungan dengan fungsi dan proses sistem reproduksi, maka setiap orang (khususnya remaja) perlu mengenal dan memahami tentang hak-hak reproduksi (Depkes, 2010) berikut ini : 1)
Hak untuk hidup
2)
Hak mendapatkan kebebasan dan keamanan
3)
Hak atas kesetaraan dan terbebas dari segala bentuk diskriminasi
4)
Hak privasi
5)
Hak kebebasan berpikir
6)
Hak atas informasi dan edukasi
7)
Hak memilih untuk menikah atau tidak, serta untuk membentuk dan merencanakan sebuah keluarga
8)
Hak untuk memutuskan apakah ingin dan kapan mempunyai anak
9)
Hak atas pelayanan dan proteksi kesehatan
10) Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan 11) Hak atas kebebasan berserikat dan berpartisipasi dalam arena politik 12) Hak untuk terbebas dari kesakitan dan kesalahan pengobatan.
2.3.3
Reproduksi Sehat Reproduksi sehat yaitu umur 20-35 tahun karena berkaitan dengan kesehatan
reproduksi wanita. Secara biologis organ reproduksi lebih matang apabila terjadi proses reproduksi.Secara psikososial kisaran umur wanita yang mempunyai kematangan mental yang cukup memadai. Secara sosial demografi wanita telah menyelesaikan proses pendidikan. Pernikahan yang sehat memenuhi kaidah kesiapan pasangan
suami
istri
dalam
aspek
biopsikososial
ekonomi
dan
spiritual
(Wahyuningsih dkk, 2009). Agar dapat melaksanakan fungsi reproduksi secara sehat, dalam pengertian fisik, dan mental diperlukan beberapa syarat diantaranya : a. Agar tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis baik pada perempuan maupun laki-laki. Kelainan anatomis dan fisiologis dimaksud antara lain seorang perempuan harus memiliki rongga pinggul yang cukup besar untuk mempermudah kelahiran bayinya kelak. Ia juga harus memiliki kelenjar-kelenjar penghasil yang mampu memproduksi horman yang diperlukan untuk memfasilitasi pertumbuhan fisik dan fungsi dari organ reproduksinya. Perkembangan-perkembangan tersebut sudah berlangsung sejak usia yang sangat muda. Tulang pinggul berkembang sejak anak belum menginjak remaja dan berhenti ketika anak itu mencapai usia 20 tahun. Agar semua pertumbuhan itu berlangsung dengan baik, ia memerlukan makanan dengan mutu gizi yang baik dan seimbang. Hal ini juga berlaku bagi laki-laki. Seorang laki
laki memerlukan gizi yang baik agar dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang sehat. b. Baik laki-laki maupun perempuan memerlukan landasan psikis yang memadai agar perkembangan emosinya berlangsung dengan baik. Hal ini harus dimulai sejak anak-anak, bahkan sejak bayi. Sentuhan pada kulitnya melalui rabaan dan usapan yang hangat, terutama sewaktu menyusu ibunya, akan memberikan rasa terima kasih, tenang, aman dan kepuasan yang tidak akan ia lupakan sampai ia besar kelak. Perasaan semacam itu akan menjadi dasar kematangan emosinya dimasa yang akan datang. c. Setiap orang hendaknya terbebas dari kelainan atau penyakit, baik langsung maupun tidak langsung mengenai organ reproduksinya. Setiap kelainan atau penyakit pada organ reproduksi, akan dapat pula mengganggu kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas reproduksinya. Termasuk disini adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual-misalnya AIDS dan Hepatitis B,infeksi lain pada organ reproduksi, infeksi lain yang mempengaruhi perkembangan janin, dampak pencemaran lingkungan, tumor atau kanker pada organ reproduksi, dan ganguan hormonal terutama hormon seksual. d. Seorang perempuan hamil memerlukan jaminan bahwa ia akan dapat melewati masa tersebut dengan aman. Kehamilan bukanlah penyakit atau kelainan. Kehamilan adalah sebuah proses fisiologis. Meskipun demikian, kehamilan dapat pula mencelakai atau mengganggu kesehatan perempuan yang mengalaminya. Kehamilan dapat menimbulkan kenaikan
tekanan darah tinggi, pendarahan, dan bahkan kematian. Meskipun ia menginginkan datangnya kehamilan tersebut, tetap saja pikirannya penuh dengan kecemasan apakah kehamilan itu akan mengubah penampilan tubuhnya dan dapat menimbulkan perasaan bahwa dirinya tidak menarik lagi bagi suaminya. Ia juga merasa cemas akan menghadapi rasa sakit ketika melahirkan, dan cemas tentang apa yang terjadi pada bayinya. Adakah bayinya akan lahir cacat, atau lahir dengan selamat atau hidup. Perawatan kehamilan yang baik seharusnya dilengkapi dengan konseling yang dapat menjawab berbagai kecemasan tersebut. 2.3.4
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesehatan Reproduksi Secara garis besar dapat dikelompokkan empat faktor yang mempengaruhi
kesehatan reproduksi (Nugroho, 2010) yaitu: a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi, terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal. b. Faktor budaya dan lingkungan, misalnya praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rezeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain,dan sebagainya. c. Faktor psikologis, dampak pada keretakan orang tua dan remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang memberi kebebasan secara materi.
d. Faktor biologis, yaitu cacat sejak lahir pada saluran reproduksi, pasca penyakit menular seksual.
2.4
Sosial Budaya
2.4.1
Konsep Sosial Kata sosial berasal dari bahasa latin yaitu ‘socius’ yang berarti segala sesuatu
yang lahir,tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan bersama (Salim, 2002). Menurut Enda (2010), sosial adalah cara tentang bagaiman para individu saling berhubungan. Winandi (dalam Ibrahim, 2003) mendefinisikan struktur sosial sebagai seperangkat unsur yang mempunyai ciri tertentu dan seperangkat hubungan diantara unsur-unsur tertentu. Dapat disimpulkan bahwa sosial adalah segala sesuatu yang berrkenaan dengan masyarat yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan bersama. Faktor sosial menurut Anderson dalam Muzaham (1995) meliputi pendidikan dan suku bangsa, sedangkan Gottlieb (1983) dalam Kuntjoro (2002) menyebutkan dukungan keluarga sebagai faktor sosial. Dengan mengadopsi pendapat Anderson dan Gottlieb tersebut maka faktor-faktor sosial adalah pendidikan,suku, dukungan keluarga. 1. Pendidikan Pengertian pendidikan digunakan untuk menunjuk atau menyebutkan suatu jenis peristiwa yang dapat terjadi di berbagai jenis lingkungan. Jenis peristiwa ini ialah interaksi antara dua manusia atau lebih yang dirancang untuk menimbulkan atau
berdampak timbulnya suatu proses pengembangan atau pematangan pandangan hidup pribadi. Jenis lingkungan tempat terjadinya interaksi ini dapat berupa keluarga, sekolah,tempat kerja, tempat bermain, berolah raga atau berekreasi, ataupun tempat lain. 2. Suku Suku merupakan unit-unit kebudayaan, dimana latar belakang kebudayaan tersebut berbeda-beda. Perbedaan ini akan menghasilkan tingkah laku yang berbeda pula, baik itu tingkah laku individu maupun tingkah laku kelompok. Timgkah laku yang dimaksud bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran. Pada manusia, tingkah laku ini tergantung pada proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana dalam bertingkah laku dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi ke generasi di atasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekitarnya. 3. Dukungan keluarga Keluarga didefenisikan sebagai dua individu atau lebih yang bergabung bersama karena adanya ikatan saling berbagi dan ikatan kedekatan emosi yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian keluarga. Keluarga mengemban fungsi untuk kesejahteraan anggota keluarga yang mencakup 5 bidang yaitu biologi, ekonomi, pendidikan, psikologi, dan sosial budaya. Dukungan keluarga mengacu pada sistem atau jaringan yang membantu individu dalam proses kehidupan. Sebagai makhluk sosial tentunya individu tidak dalam tanpa bantuan orang lain, maka
manusia membutuhkan dukungan sosial dari orang sekitarnya berupa penghargaan, perhatian, dan cinta (Bobak, Lowdermilk, Jansen, 2005) 2.4.2
Konsep Budaya Kebudayaan menurut Koeber dan Kluckhohn (2008) adalah manifestasi atau
penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya. Kebudayaan berarti buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupan guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, hasil karya manusia, dan kebiasaan yang di dapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat yang diperoleh setelah proses belajar. Koentjaraningrat (1990) mendefenisikan kebudayaan sebagai seluruh total pikiran, karya, dan hasil manusia yang tidak berakar pada naluri, dan hanya biasa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Taylor (dalam Ibrahim, 2003) mendefenisikan
kebudayaan
sebagai
sesuatu
yang
termasuk
pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan lain yang dapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut pandangan para antropolog tradisional, bahwa budaya dibagi menjadi dua yaitu:
1. Budaya material; dapat berupa objek, seperti makanan, pakaian, seni, bendabenda kepercayaan. 2. Budaya non material; mencakup: a. Kepercayaan Menurut Roussou yang dikutip Andi (2006), kepercayaan adalah bagian psikologis terdiri keadaan pasrah untuk menerima kekurangan berdasarkan harapan positif dari niat atau prilaku orang lain. Sedangkan menurut Robinson yang dikutip Lendra (2006) kepercayaan adalah harapan seseorang, asumsiasumsi atau keyakinan akan kemungkinan tindakan seseorang akan bermanfaat, menguntungkan atau setidaknya tidak mengurangi keuntungan yang lainnya. b. Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan ini terjadi melalui panca indra manusia, yaitru indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya prilaku seseorang (Notoadmodjo, 2010). Pengetahuan adalah informasi yang merubah sesuatu atau seorang baik dengan menjadikannya sebagai dasar melakukan tindakan, maupun membuat individu atau organisasi menjadi cakap dalam melakukan tindakan yang lebih efektif.
c. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulasi tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai dengan adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berprilaku dalam cara tertentu uang dipilihnya (Notoadmodjo, 2010; Walgito, 2003). Faktor sosial budaya yang mempengaruhi pernikahan usia muda: a. Pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan menikah anaknya yang masih dibawah umur. Penelitian di Bangladesh dan Nepal, yang menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan pernikahan dini adalah pendidikan. Penelitian lain di Bengkulu dan Jawa Barat juga menguatkan bahwa faktor yang melatarbelakangi pernikahan dini adalah pendidikan. Pendidikan yang rendah akan berakibat terputusnya informasi yang diperoleh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi selain juga meningkatkan kemungkinan aktivitas remaja yang kurang (Rafidah, 2009).
b. Dukungan orang tua Keluarga dapat dikatakan sebagai salah satu badan suatu badan sosial yang berfungsi mengarahkan kehidupan efektif seseorang.Di dalam keluarga seseorang dapat mengalami kekecewaan, mendapat kasih sayang bahkan kemungkinan celaancelaan. Kemauan orang tua, dengan kata lain ada unsur dijodohkan untuk menikah bukanlah hal baru. Orang tua sendiri sering mendorong pernikahan anaknya dalam usia yang sangat muda. Orang tua menganggap bahwa pernikahan dalam usia muda mempunyai suatu faktor pematangan. Dibalik motivasi orang tua yang ingin sekali untuk segera mengawinkan anak-anaknya ialah demi melepaskan mereka dari tanggung jawab atas perilaku kejahatan dan kenakalan anaknya (Walgito,2003). c. Budaya Dalam budaya patriarkis, menikah tidak hanya berfungsi sebagai identitas sosial dan peningkatan status sosial tetapi juga agar perempuan kelihatan menjadi sempurna, yakni menjadi seorang istri dan kemudian ibu (Kartika,2002). Faktor budaya erat kaitannya dengan kebiasaan setempat. Di Indonesia, masing-masing daerah memiliki adat kebiasaan antara lain: pada masyarakat Jawa, mereka cepatcepat menikahkan anak gadisnya dengan alasan malu kalau anaknya dianggap perawan tua. d. Pengetahuan Menurut Notoadmodjo (2010) pengetahuan adalah hasil “tahu”, ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni : indra pengelihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh mata dan telinga. Pengetahuan kognitif merupan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan
seseorang.
Shappiro
(2002)
meyatakan
bahwa
ketidakbahagiaan dalam pernikahan sebagian pasangan yang memasuki jenjang pernikahan tidak mempunyai persiapan jiwa dalam arti sesungguhnya. Mereka tidak dibekali dengan cukup, hanya sekedar petuah-petuah dan kalimat-kalimat pendek. Mereka berfikir bahwa dengan hubungan cinta dan seks akan dapat memuaskan semua keinginan dan kebutuhan istrinya. Perempuan juga berfikir seperti itu. e. Pergaulan bebas Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dikota-kota besar. Perkawinan usia remaja pada akhirnya menimbulkan masalah tidak kalah peliknya. Jadi dalam situasi apapun tingkah laku seksual pada remaja tidak pernah menguntungkan, padahal masa remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa (Sarwono,2003).
2.5 Landasa Teori Winandi (dalam Ibrahim, 2003) mendefenisikan struktur sosial sebagai seperangkat unsur yang mempunyai ciri tertentu dan seperangkat hubungan diantara unsur-unsur tertentu. Dapat disimpulkan bahwa sosial adalah segala sesuatu yang berrkenaan dengan masyarat yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan bersama.Faktor sosial menurut Anderson dalam Muzaham (1995) meliputi pendidikan dan suku bangsa, sedangkan Gottlieb (1983) dalam Kuntjoro (2002)
menyebutkan dukungan keluarga sebagai faktor
sosial. Dengan mengadopsi
pendapat Anderson dan Gottlieb tersebut maka faktor-faktor sosial adalah pendidikan,suku, dan dukungan keluarga. Pola perkawinan di Asia Tenggara ditandai oleh latar belakang kebiasaan setempat. Di pedesaan biasanya wanita akan segera dikawinkan setelah mencapai umur akil baliq (yang ditandai dengan datangnya menstruasi). Kemudian dari penelitian Pujiastuti(2010) memperoleh gambaran bahwa adat perkawinan anak-anak pada masyarakat suku Jawa dilatarbelakangi oleh kekuatan orangtua yang begitu kuat. Bahkan telah menjadi kebiasaan bahwa orangtua akan mengawinkan anak perempuannya segera setelah anak memperoleh haid. Dibeberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun. Jauh dibawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan undang-undang. Peran orang tua dalam menentukan jodoh anaknya cukup besar. Setidaktidaknya terdapat 49%. Perkawinan wanita belia merupakan perjodohan yang diatur oleh orang tua. Campur tangan orang tua dalam mencarikan dan menentukan pasangan hidup anak perempuannya (terutama pada perkawinan pertama) umumnya ditemukan di kalangan masyarakat jawa, terlebih lagi di daerah pedesaan.
Praktek pernikahan dini sering dipengaruhi oleh tradisi lokal. Ternyata ada juga fasilitas dispensasi. Pengadilan agama dan kantor urusan agama sering memberi dispensasi jika mempelai wanita ternyata masih dibawah umur. Di Indonesia masih sering terjadi praktek pernikahan dibawah umur. UU Perkawinan dari tahun 1974 juga tidak tegas melarang praktek itu. Menurut UU perkawinan seorang anak perempuan baru boleh menikah diatas umur 16 tahun, seorang anak lelaki diatas 18 tahun. Tetapi ada juga dispensasi. Jadi, Kantor Urusan Agama (KUA), masih sering memberi dispensasi untuk anak perempuan di bawah 16 tahun. Mengakarnya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos anak perempuan. Seperti diungkapkan Suwandi, pegawai pencatat nikah di Tegaldowo rembang Jawa Tengah, “adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang lamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai tidak laku-laku” (Mukson, 2013). Hanum (2011) menyatakan bahwa nilai budaya lama yang menganggap bahwa menstruasi merupakan tanda telah dewasanya seorang anak gadis masih dipercaya oleh warga masyarakat, tidak hanya dikalangan orang tua saja melainkan juga dikalangan kaum muda. Hal ini akan membentuk sikap positif masyarakat dan kaum muda terhadap pernikahan dini. Perempuan dipedesaan diikuti dengan pernikahan di usia muda yang mengantarkan remaja pada kehamilan dan persalinan. Pada tahun 2006-2010, jumlah anak menikah dini (dibawah 15 tahun) masih meningkat. Beberapa penyebab terjadinya pernikaha usia dini, 62% wanita menikah karena hamil diluar nikah, 21% dipaksa orangtua menikah dini karena ingin
memperbaiki keadaan ekonomi. Perjodohan yang diterima anak dengan keterpaksaan bukan hanya menimbulkan dampak buruk bagi psikologisnya,
tapi juga
kesehatannya. Ancaman depresi pun dapat menyerangnya. Salah satu alasan perjodohan adalah untuk memperbaiki derajat keluarganya. Pada beberapa kasus, banyak keluarga yang merelakan anak perempuannya untuk dinikahi oleh anak terpandang dan keluarga dijanjikan harta atau kekayaan. Mathur (2003) juga mengemukakan beberapa penyebab lain yang menimbulkan pernikahan dini. Penyebab tersebut antara lain yaitu peran gender dan kurangnya alternatif (gender roles and lack ofalternatives).Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peran yang diharapkan pada anak laki-laki dan terhadap anak perempuan, serta kurang kesempatan yang diberikan pada pihak wanita seperti kesempatan pendidikan, olahraga, dan pekerjaan. Penyebab kedua adalah nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pernikahan (value of virginitas and fears abaut premarital sexual pregnant). Berkaitan dengan pennyebab kedua, penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa pernikahan dini terjadi sebagai solusi kehamilan di luar nikah (premarital pregnancy) (Bennet, 1999).
2.6 Kerangka Pikir Berdasarkan landasan teori yang diuraikan di atas, maka kerangka pikir penelitian sebagaimana bagan berikut ini.
Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang
Pernikahan dini
Masih banyak terjadi pernikahan dini
Analisis sosial budaya
1. Sosial: a. Usia Saat Menikah b. Pendidikan c. Suku d. Dukungan Keluarga Anderson dan Gottlieb (dalam Muzaham, 1995)
2. Budaya a. Pengetahuan b. Kepercayaan c. Pergaulan Bebas d. Agama e. Tradisi Lokal/ Kebiasaan Setempat Taylor (dalam Ibrahim, 2003)
Gambar 3.1 Kerangka Pikir
Sosial Budaya Pernikahan Dini di Desa Bangun Rejo Kec. Tanjung Morawa