BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stunting Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik adalah suatu bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan. Kurang gizi kronik adalah keadaan yang sudah terjadi sejak lama, bukan seperti kurang gizi akut. Anak yang mengalami stunting sering terlihat memiliki badan normal yang proporsional, namun sebenarnya tinggi badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki anak seusianya. Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh asupan zat-zat gizi yang tidak cukup atau penyakit infeksi yang berulang, atau kedua-duanya. Stunting dapat juga terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi yang sangat kurang saat masa kehamilan, pola asuh makan yang sangat kurang, rendahnya kualitas makanan sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga dapat menghambat pertumbuhan (UNICEF, 2009). Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak. Faktor dasar yang menyebabkan stunting dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunting adalah berat bayi lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi pernafasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan stunting mengkonsumsi makanan yang berada dibawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan (Gibson, RS, 2005).
12 Universitas Sumatera Utara
Stunting dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi retardasi pertumbuhan akibat defisiensi zat gizi saat dalam kandungan, artinya ibu yang kurang gizi sejak awal kehamilan hingga lahir akan berisiko melahirkan anak BBLR yang juga berisiko menjadi stunting. Salah satu studi yang dilakukan di kelurahan Tamamaung Makassar menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dengan kejadian stunting terhadap balita di kelurahan tersebut yang artinya balita yang lahir dengan berat badan rendah berpeluang menjadi pendek dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat badan normal (Mugni, 2012). Stunting yang terjadi pada anak merupakan faktor risiko meningkatnya kematian, kemampuan kognitif, dan perkembangan motorik yang rendah serta fungsifungsi tubuh yang tidak seimbang (Allen & Gillespie, 2001).
Stunting
menggambarkan keadaan gizi kurang yang berjalan lama dan memerlukan waktu bagi anak untuk berkembang serta pulih kembali. Hasil dari beberapa penelitian juga memperlihatkan anak-anak yang di lahirkan dalam keadaan BBLR dan dengan usia kehamilan yang kurang ternyata memiliki nilai IQ yang lebih rendah, keterampilan berbicara yang lebih buruk, kemampuan membaca yang lebih rendah, dan prestasi di sekolah yang lebih buruk (Gibney et.al 2009). Tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah indikator untuk mengetahui seorang anak stunting atau normal. Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap
13 Universitas Sumatera Utara
masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lampau serta erat kaitannya dengan sosial ekonomi (Supariasa et.al 2013). Salah satu metode penilaian status gizi secara langsung yang paling popular dan dapat diterapkan untuk populasi dengan jumlah sampel besar adalah antropometri. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter, sedangkan parameter adalah ukuran tunggal dari ukuran tubuh manusia. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang. Pengukuran tinggi badan atau panjang badan pada anak dapat dilakukan dengan alat pengukur tinggi badan/panjang badan dengan presisi 0,1 cm (Supariasa et.al 2013). Dalam melakukan pengukuran antropometri
terdapat
kelebihan dan
kelemahannya. Pengukuran indeks TB/U memiliki beberapa kelebihan antara lain : 1) merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada masa lampau, 2) alat mudah dibawa-bawa, murah, 3) Pengukuran objektif. Sedangkan kelemahannya antara lain : 1) dalam penelitian intervensi harus disertai dengan indeks lain (seperti BB/U), karena perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi dalam waktu singkat, 2) ketepatan umur sulit didapat (Supariasa et.al 2013). Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronik sebagai akibat dari keadaan berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Angka tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Z-score) menggunakan baku antropometri 14 Universitas Sumatera Utara
anak balita WHO 2005. Kategori dan ambang batas indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) menurut nilai standar Zscore menggunakan baku antropometri WHO 2005 adalah : Sangat pendek : Zscore < -3,0 Pendek
: Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0
Normal
: Zscore ≥ -2,0
2.2. Epidemiologi Gizi Epidemiologi gizi digunakan untuk mempelajari sebaran, besar, dan determinan masalah gizi dan penyakit yang berhubungan dengan masalah gizi, serta penerapannya dalam kebijakan dan program pangan dan gizi untuk mencapai kesehatan penduduk yang lebih baik. Definisi lain epidemiologi gizi merupakan ilmu terkait kesehatan yang membicarakan distribusi dan determinan kesehatan penyakit dalam populasi. Tujuan utama dari penelitian epidemiologi gizi adalah untuk menyediakan fakta ilmiah yang paling baik untuk mendukung pemahaman peran gizi dalam timbulnya penyakit atau mencegah terjadinya penyakit. Epidemiologi gizi memiliki tiga tujuan : 1. Untuk menggambarkan distribusi dan ukuran masalah penyakit pada populasi manusia, 2. Untuk menjelaskan etiologi penyakit terkait gizi, dan
15 Universitas Sumatera Utara
3. Untuk
menyediakan
informasi
penting
untuk
mengelola
dan
merencanakan layanan untuk pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit terkait gizi (Siagian, 2010). 2.2.1. Distribusi Menurut Orang (Person) a. Distribusi menurut umur Berdasarkan umur, prevalensi tertinggi status gizi kurang terdapat pada kelompok umur 48-59 bulan (16,7%), dan yang terendah pada kelompok umur 0-5 bulan (7,2%). Untuk status gizi balita pendek, terdapat kesamaan prevalensi tertinggi yaitu pada kelompok umur 48-59 bulan (22,0%), dan terendah pada kelompok umur 0-5 bulan (10,8 %). Sedangkan untuk status gizi balita sangat pendek, prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 24-35 bulan (20,6%) dan terendah pada kelompok umur 0-5 bulan (14,1%) (Riskesdas, 2013). Menurut Martorell et.al dalam Astari (2006), menyatakan, gangguan linier (stunting) postnatal terjadi mulai usia 3 bulan pertama kehidupan, suatu periode di mana terjadi penurunan pemberian ASI, makanan tambahan mulai diberikan dan mulai mengalami kepekaan terhadap infeksi. Studi gangguan pertumbuhan linier di Gambia melaporkan kejadian stunting pada anak 6-20 bulan berkorelasi dengan penyakit anemia, malaria parasitemia dan defisiensi protein akut. Dalam penelitian Rosha et.al (2007), menyatakan usia adalah faktor internal anak yang memengaruhi kejadian stunting. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan, anak berusia 0-12 bulan memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 41 persen terhadap stunting dibandingkan dengan anak berusia 13-23 bulan 16 Universitas Sumatera Utara
dengan nilai OR=0,59 (CI 95% ; 0,44-0,79). Hal ini diduga karena pada usia 0-6 bulan ibu memberikan ASI eksklusif yang dapat membentuk daya imun anak sehingga anak dapat terhindar dari penyakit infeksi, setelah usia 6 bulan anak diberikan makanan pendamping ASI dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga anak terpenuhi kebutuhan gizinya yang menghindarkannya dari stunting. b. Distribusi menurut jenis kelamin Data WHO (2005-2012), berdasarkan penelitian di beberapa negara diperoleh prevalensi stunting pada umur lima tahun dan dibawahnya, di negara miskin dan berkembang lebih rendah pada jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki yaitu 27,0% dan 30,9%. Penelitian yang dilaporkan Mahgoup (2006), di daerah kumuh di Afrika menunjukkan bahwa kejadian underweight dan stunting secara signifikan lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan gizi kurang pada balita prevalensinya lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki yaitu 14,0%, sedangkan 13,8% untuk balita dengan jenis kelamin perempuan. Sementara untuk status gizi balita dengan indeks TB/U hasil yang diperoleh tidak berbeda, dimana prevalensi balita pendek lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki sebesar 19,3% dibandingkan pada perempuan yaitu 19,1%. Prevalensi balita sangat pendek lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki sebesar 18,8%, dibandingkan pada perempuan yaitu 17,1% (Riskesdas, 2013). Sejalan dengan pernyataan diatas, dalam penelitian Rosha et.al (2007) terdapat hasil analisis regresi logistik menunjukkan, anak perempuan memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 29 persen terhadap stunting dibandingkan dengan 17 Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki (p=0,03) dengan nilai OR=0,71 (CI 95% ; 0,53-0,96). Hal ini diduga karena faktor kecemasan atau kekhawatiran ibu serta kedekatan ibu terhadap anak perempuan. Anak perempuan dianggap anak yang lemah sehingga mendapatkan perhatiaan ekstra dibandingkan dengan anak laki-laki yang dianggap lebih kuat. Selain itu anak laki-laki cenderung memiliki aktivitas bermain yang lebih aktif dibandingkan dengan anak perempuan sehingga banyak energi yang keluar. c. Distribusi menurut Etnik atau suku Di Etiopia, salah satu kelompok etnis memberi makan anak-anak mereka sebelum orang dewasa dan insidens stunting hanya sekitar 20%. Kelompok etnis lainnya dalam daerah geografik yang sama memberi makan anak-anak mereka sesudah orang dewasa makan, dan insiden stunting pada anak-anak tersebut mencapai 55% (Gibney et.al 2009). d. Faktor sosial ekonomi Salah satu faktor yang memengaruhi kurang gizi pada balita adalah tingkat pendapatan atau sosial ekonomi keluarga. Data yang di peroleh WHO (2005-2012), prevalensi stunting antara laki-laki dan perempuan lebih tinggi di negara miskin daripada negara berkembang. Di negara miskin, prevalensi pada jenis kelamin perempuan sebesar 30,0% dan di negara berkembang sebesar 21,1%. Prevalensi pada jenis kelamin laki-laki di negara miskin sebesar 41,7% dan di negara berkembang sebesar 24,1%. Hasil Riskesdas 2013, menunjukkan angka prevalensi gizi kurang tertinggi adalah pada orang tua dengan pekerjaan sebagai petani/nelayan/buruh yaitu sebesar 18 Universitas Sumatera Utara
15,8%. Prevalensi gizi kurang yang tertinggi berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, terdapat pada kuintil terbawah dengan angka sebesar 17,8%. Untuk prevalensi status gizi balita dengan indeks TB/U tidak berbeda, angka tertinggi terdapat pada jenis pekerjaan orang tua sebagai petani/nelayan/buruh sebesar 20,6% (sangat pendek) dan 21,7% (pendek). Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, prevalensi tertinggi berada pada kuintil terbawah sebesar 25,2% (sangat pendek) dan 23,2% (pendek). Balita yang tinggal di pedesaan, prevalensinya lebih tinggi dibandingkan yang tinggal di perkotaan (Riskesdas, 2013). 2.2.2. Distribusi Menurut Tempat (Place) Pada beberapa bagian negara di dunia terjadi masalah gizi kurang atau masalah gizi lebih secara epidemis. Negara-negara berkembang seperti sebagian besar Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan pada umumnya mempunyai masalah gizi kurang. Sebaliknya, negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat pada umumnya mengalami gizi lebih (Almatsier, 2004). Masih seperti yang dinyatakan oleh Almatsier (2004), pola pangan di daerah empat musim disamping makanan pokok, mengandung lebih banyak unsur makanan berasal dari hewan, seperti daging, telur, dan susu daripada pola pangan di daerah tropis. Akibatnya, penduduk di daerah tropis seperti di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia lebih banyak menderita akibat kekurangan protein (salah satu alasan mengapa penduduk di negara-negara tropis umumnya lebih pendek daripada penduduk di daerah empat musim).
19 Universitas Sumatera Utara
Data yang di peroleh WHO (2014), negara di Asia dengan prevalensi gizi kurang tertinggi adalah India (43,3%), negara di Afrika dengan prevalensi tertinggi adalah Niger (37,9%). Sementara data WHO (2005-2012), melalui penelitian di beberapa negara dimana terdapat perbedaan prevalensi stunting antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki yaitu 20,1% dibandingkan perempuan sebesar 19,3% (regional Amerika). Sementara prevalensi sebesar 40,4% pada laki-laki, dan 39,3% pada perempuan (regional Asia Tenggara). Kejadian stunting dipengaruhi oleh wilayah tempat tinggal. Penelitian di wilayah kumuh Kota Bostwana yang dilakukan oleh Mahgoup (2006), menunjukkan bahwa anak yang tinggal di wilayah ini signifikan terkena wasting, stunting, dan underweight. Berbeda dengan hasil penelitian tersebut, dalam penelitian Rosha et.al (2007), responden yang tinggal di wilayah kota memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 32 persen terhadap stunting dibandingkan dengan anak yang tinggal di perdesaan dengan nilai OR=0,68 (CI 95% ; 0,48-0,95). Fenomena ini diduga karena wilayah kota adalah tempat dimana terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih beragam sehingga orang tua lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dari pekerjaan di desa. Hal ini memungkinkan orang tua untuk memenuhi kebutuhan gizi dan makanan anak sehingga terhindar dari stunting. 2.2.3. Distribusi Menurut Waktu (Time) Riskesdas yang dilaksanakan pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U <-2 SD) adalah 18,4%. Prevalensi gizi kurang menurun menurut hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu 17,9%, kemudian meningkat lagi pada 20 Universitas Sumatera Utara
tahun 2013 sebesar 19,6%. Sedangkan pevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2%, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%) (Riskesdas, 2013). 2.2.4. Determinan Determinan merupakan bagian dari epidemiologi gizi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi terhadap timbulnya masalah gizi, termasuk kejadian stunting. Beberapa faktor-faktor yang memengaruhi terhadap kejadian stunting antara lain : 1. Riwayat berat badan lahir Berat badan lahir adalah berat badan bayi ketika lahir atau paling lambat sampai bayi berumur 1 hari dilihat dari KMS (Kartu Menuju Sehat) dimana bila berat badan lahir kurang dari 2500 gram berarti berat badan lahir rendah dan bila lebih dari atau sama dengan 2500 gram berarti normal. Berat badan lahir rendah banyak dihubungkan dengan tinggi badan yang kurang atau stunting pada balita (Kusharisupeni, 2002). BBLR dapat juga terjadi akibat kelahiran sebelum usia kehamilan yang sempurna, yaitu 37 minggu. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko lebih tinggi terhadap gangguan pertumbuhan, penyakit infeksi, perkembangan yang lambat dan kematian pada saat bayi dan anak-anak (WHO, 2011). Kondisi kesehatan status gizi ibu selama hamil dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu yang mengalami kekurangan energi kronis atau anemia selama kehamilan akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) (Keefe et.al 2008). 21 Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Rahayu & Mira (2011), ada hubungan antara kejadian BBLR, premature, dan panjang badan lahir kurang dengan kejadian stunting pada usia 6-12 bulan. Penelitian Arifin (2012), diperoleh hasil uji statistik p value=0,015, disimpulkan terdapat hubungan antara berat badan saat lahir dengan kejadian stunting. Hasil analisis di peroleh nilai OR=2,3 (CI 95% ; 1,17-4,711), artinya bahwa balita dengan berat badan lahir rendah mempunyai risiko 2,3 kali lebih besar terkena stunting dibandingkan balita dengan berat badan lahir normal. 2. Riwayat pemberian ASI Eksklusif Asupan makanan yang tepat bagi bayi dan anak usia dini (0-24 bulan) adalah Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. ASI Eksklusif yaitu pemberian ASI saja segera setelah lahir sampai usia 6 bulan yang diberikan sesering mungkin. Pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama dapat menghasilkan pertumbuhan tinggi badan yang optimal (Gibney et.al 2009). Setelah usia 6 bulan selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) harus diberikan kepada anak sejak usia 6 bulan karena dengan ASI saja (jumlah dan komposisi ASI mulai berkurang) tidak mampu mencukupi kebutuhan anak. Pada anak umur 1-2 tahun, ASI hanya berfungsi sebagai pendamping makanan utama. Namun, ASI tidak harus digantikan oleh makanan utama. Pemberian ASI dan MP-ASI yang terlalu dini juga berhubungan dengan kejadian stunting pada anak (Adair & Guilky, 1997). Rendahnya pemberian ASI merupakan ancaman bagi tumbuh kembang anak yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan kualitas sumber daya 22 Universitas Sumatera Utara
manusia secara umum. Masalah gizi kurang juga berkaitan dengan faktor umur dan jenis kelamin. Umur anak 6 bulan merupakan titik awal timbulnya masalah gizi kurang, hal ini disebabkan karena pada usia enam bulan kandungan zat gizi ASI sudah mulai berkurang, sedangkan pemberian MP-ASI tidak mencukupi (Tarigan 2003 dalam Arnisam 2006). Pertumbuhan setelah usia 6 bulan lebih dipengaruhi oleh pola asuh makan ibu yang baik dalam pemberian ASI Eksklusif, MP-ASI maupun perawatan kesehatan (Whitney & Rolfes, 2008). Penelitian Kusumaningsih (2012) dalam Andriani & Kartika (2011), menunjukkan bahwa ada hubungan pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi pada bayi usia 6–12 bulan. Sebagian besar bayi yang diberi makanan pendamping ASI (MP-ASI) sesuai dengan umur, jenis, dan jumlah pemberiannya maka bayi tersebut berstatus gizi baik. Penelitian Arifin (2012), hasil uji statistik di peroleh p value=0,0001, di simpulkan terdapat hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian stunting. Sedangkan hasil analisis di peroleh nilai OR=3,7 (CI 95% ; 1,740-7,940), artinya bahwa balita dengan ASI tidak eksklusif mempunyai risiko 3,7 kali lebih besar terkena stunting dibandingkan balita dengan ASI Eksklusif. 3. Pola Pengasuhan Pola pengasuhan anak berupa sikap dan prilaku ibu dalam hal kedekatannya dengan anak, memberi makan, merawat, memberi kasih sayang dan sebagainya (Depkes RI, 2001). Pengasuhan anak adalah praktek yang dijalankan oleh orang yang lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan 23 Universitas Sumatera Utara
pangan/gizi. Perawatan dasar (termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah atau tempat tinggal yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani. Pola pengasuhan anak sangat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak karena anak yang mendapat perhatian lebih baik secara fisik maupun emosional keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya yang kurang mendapat perhatian (Soetjiningsih, 2008). Pola asuh yang baik pada balita dapat dilihat pada praktek pemberian makanan yang bertujuan untuk mendapatkan zat-zat gizi yang cukup bagi pertumbuhan fisik dan mental anak. Zat gizi juga berperan dalam memelihara dan memulihkan kesehatan anak dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Aspek gizi juga mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang dan kecerdasan anak yang ditentukan sejak bayi, bahkan dalam kandungan (Suhardjo,1992). Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, UNICEF merumuskan tiga faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang secara tidak langsung (underlying factor), yaitu pangan rumah tangga, pengasuhan, dan sanitasi lingkungan. Ketiga faktor tersebut mempengaruhi status gizi dan juga tingkat kesehatan anak yang juga turut menentukan kualitas pertumbuhan serta perkembangan anak (UNICEF dalam Engel et.al 1997). Engel et.al (1997), menambahkan faktor ketersediaan sumber daya keluarga seperti pendidikan dan pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, pola pengasuhan, sanitasi dan penyehatan rumah, ketersediaan waktu serta dukungan ayah, sebagai faktor yang memengaruhi status gizi. Pola pengasuhan turut berkontribusi terhadap 24 Universitas Sumatera Utara
status gizi anak, salah satu pola pengasuhan yang berhubungan dengan status gizi anak adalah pola asuh makan. Hasil penelitian Kadir (1998), bahwa terdapat bayi dan balita mengalami status gizi rendah karena tidak menerima perawatan yang cukup dari ibu mereka, terutama yang berkenaan dengan makanan, sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan para istri, atau karena adanya kecenderungan pada para ibu untuk bersikap mengabaikan masalah kurang gizi. Penelitian Romeli (2007), dengan menggunakan variabel yang sama menyebutkan bahwa anak balita yang pola asuhnya tidak baik, secara bermakna proporsinya lebih tinggi pada kasus dibandingkan kontrol sebesar (15,8% vs 4,2%; OR Adjusted=4,896 CI 95% ; 1,592-15,059). Berdasarkan uraian di atas, maka pola pengasuhan terbagi menjadi : a. Pola asuh makan Pola asuh makan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan/gizi balita, yang artinya berkaitan pula dengan pola konsumsi makanan. Pola konsumsi makanan adalah susunan makanan yang biasa di makan mencakup jenis dan jumlah bahan makanan yang di konsumsi seseorang atau kelompok orang/penduduk dalam frekuensi dan jangka waktu tertentu serta bagaimana pengolahannya dan kapan di konsumsi (Supariasa & Kusharto, 2014). Menurut Andriani & Kartika (2011) yang mengutip pendapat Karyadi (1985), mendefinisikan pola asuh makan sebagai praktik pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak berkaitan dengan cara dan situasi makan. Selain pola asuh makan, pola asuh kesehatan yang dimiliki ibu turut memengaruhi status kesehatan balita 25 Universitas Sumatera Utara
dimana secara tidak langsung akan memengaruhi status gizi balita. Dalam tumbuh kembang anak, peran ibu sangat dominan untuk mengasuh dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkualitas. Pola asuh makan pada balita berkaitan dengan kebiasaan makan yang telah ditanamkan sejak awal pertumbuhan manusia. Konsumsi makanan oleh masyarakat atau oleh keluarga bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang di beli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini bergantung pula pada pendapatan, agama, adat kebiasaan, dan pendidikan masyarakat besangkutan. Tujuan akhir dari konsumsi dan penggunaan baik makanan oleh tubuh adalah tercapainya status gizi tubuh yang optimal (Almatsier, 2004). Penelitian yang dilakukan Campbell et.al yaitu proyek surveilan gizi di Banghladesh yang dilakukan sejak tahun 2000 sampai dengan 2005, yang merupakan konsep kerangka kerja dari UNICEF, memperoleh penelitian hasil bahwa rumah tangga dengan pembelanjaan bahan makanan dengan jenis beras memliki hubungan dengan terjadinya stunting pada usia 6-11 bulan (OR=1,11), usia 12-23 bulan (OR=1,09), dan usia 24-59 bulan (OR=1,13). Bila dibandingkan dengan rumah tangga yang membelanjakan bahan makanan selain beras memiliki hubungan dengan terjadinya stunting pada usia 6-11 bulan (OR=0,87), usia 12-23 bulan (OR=0,86), dan usia 24-59 bulan (OR=0,89). Dengan asumsi, rumah tangga yang mempunyai kesempatan membelanjakan makanan selain beras (seperti telur, sayuran, buah, dan bahan makanan lainnya) dengan proporsi lebih besar dan sedikit beras 26 Universitas Sumatera Utara
maka prevalensi kurang gizi pada balita lebih rendah daripada rumah tangga yang membelanjakan beras dengan proporsi lebih besar dibandingkan makanan selain beras. Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk energi mencerminkan rata-rata kebutuhan tiap kelompok penduduk. Kebutuhan energi berbeda menurut perorangan (Almatsier, 2004). Penelitian Pertiwi et.al (2011), menyebutkan bahwa hasil uji statistik menggunakan korelasi Chi-Square diperoleh nilai p=0,02, nilai OR=20.479 (CI 95% ; 2,109-20,479). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara Angka Kecukupan Gizi (AKG) dengan status gizi balita yang artinya balita yang memiliki Angka Kecukupan Gizi (AKG) baik memiliki peluang 20,479 kali untuk mengalami status gizi baik dibandingkan dengan yang memiliki Angka Kecukupan Gizi (AKG) buruk. Penelitian Fuada et.al (2010), diperoleh hasil anak balita dengan konsumsi protein yang tidak memadai (<80% kecukupan energi) berisiko menjadi pendek sebesar 0,94% (OR=94 CI 95% ; 0,82-1,07). Kondisi tersebut disebabkan ketersediaan makanan sumber protein di pedesaan relatif sulit. Di pedesaan umumnya hewan ternak dijual dengan harga yang tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Keadaan tersebut,
umum
terjadi di
negara-negara
berkembang. Penelitian Arifin (2012), berdasarkan uji statistik diperoleh hasil p value =0,007, maka terdapat kesimpulan ada hubungan antara asupan gizi balita dengan kejadian stunting. Nilai OR=2,6 (CI 95% ; 1,288-5,561) artinya bahwa balita dengan 27 Universitas Sumatera Utara
asupan gizi kurang mempunyai risiko 2,6 kali lebih besar terkena stunting dibandingkan balita dengan asupan gizi baik. b. Pola asuh perawatan kesehatan Masa anak usia 12-59 bulan (balita) adalah masa anak-anak yang masih tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Oleh karena itu pengasuh kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk perkembangan anak (Santoso, 2005). Asuh perawatan kesehatan yang termasuk di dalamnya antara lain, status imunisasi, frekuensi sakit dalam sebulan terakhir, tempat pencarian pengobatan ketika anak sakit, praktek pemberian makan pada saat anak sakit. Menurut Nuryanto (2012), faktor status gizi, status imunisasi, kepadatan tempat tinggal, keadaan ventilasi rumah, status merokok orang tua, pendidikan ibu, pengetahuan ibu, dan status sosial ekonomi keluarga mempunyai hubungan bermakna dengan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada balita. Asupan makanan dan penyakit infeksi merupakan faktor langsung penyebab terjadinya kurang gizi. Timbulnya kejadian kurang gizi tidak hanya karena konsumsi makanan yang kurang namun terdapat juga penyakit infeksi yang menyertainya. Interaksi infeksi dan gizi dalam tubuh seorang anak dikemukakan sebagai suatu peristiwa sinergistik; selama terjadinya infeksi, status gizi akan menurun dan dengan menurunnya status gizi, maka anak tersebut menjadi kurang resisten terhadap infeksi. Di negara berkembang masih banyak ditemukan angka vaksinasi yang rendah. Diare maupun infeksi pernafasan yang sering kambuh berkaitan dengan bentuk tubuh yang lebih pendek dalam masyarakat miskin di negara berkembang. (Gibney et.al 2009). 28 Universitas Sumatera Utara
Menurut Harsono (2009), menyatakan bahwa salah satu yang menunjang aspek tumbuh kembang anak adalah perawatan kesehatan dasar tepatnya imunisasi, karena dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas anak secara signifikan. Dengan menurunnya angka morbiditas dan mortalitas anak, akan memberi kesempatan anak dapat tumbuh kembang dengan baik. Dengan demikian dapat diketahui bahwa perawatan kesehatan dasar yang mencakup posyandu, pemberian ASI, pemberian imunisasi cenderung dapat menurunkan risiko kejadian kesakitan pada anak karena sistem imunitas anak cenderung lebih kuat, sehingga anak dapat tumbuh dengan baik. Penelitian Maria & Andriani (2009), diperoleh hasil uji statistik antara perawatan kesehatan dasar dengan pertumbuhan menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p=0,00). Sementara penelitian Hidayat & Fuada (2011), secara signifikan menunjukkan hubungan yang erat antara kejadian diare dan status gizi berdasarkan TB/U (p=0,001). Hasil uji statistik diperoleh nilai OR=1,19 (CI 95% ; 1,1-1,24) menunjukkan pada anak balita yang sering mengalami diare akan berpeluang menjadi pendek satu kali lebih besar dibandingkan anak balita yang normal. c. Pola asuh kebersihan diri Asuh kebersihan diri meliputi prilaku ibu memelihara kebersihan rumah, hygiene makanan, kebersihan perseorangan (Anwar, 2000). Perilaku higienis ibu merupakan variabel yang secara langsung berhubungan dengan kejadian penyakit infeksi pada anak dan secara tidak langsung akan memengaruhi status gizi anak
29 Universitas Sumatera Utara
tersebut. Pemberian nutrisi tanpa memperhatikan kebersihan akan meningkatkan risiko bayi mengalami infeksi seperti diare (Kusriadi, 2010). Salah satu komponen dalam perilaku higienis ibu adalah mencuci tangan. Cuci tangan merupakan salah satu komponen perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang memiliki manfaat besar. Menerapkan PHBS merupakan langkah ampuh untuk menangkal penyakit. Namun dalam prakteknya, penerapan PHBS yang kesannya sederhana tidak selalu mudah dilakukan, terutama bagi keluarga yang tidak terbiasa. Sejalan dengan penelitian Sartika (2010), didapatkan hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan status gizi balita berdasarkan TB/U (p=0,000). Penelitian Kusriadi (2010), hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,036 dan nilai OR=1,38 (CI 95% ; 1,02-1,87) hal ini berarti perilaku higienis ibu yang kurang baik dapat meningkatkan risiko kurang gizi pada anak sebesar 1,38 kali lebih besar. 4. Riwayat Penyakit Infeksi Penyakit infeksi pada anak-anak antara lain ISPA dan diare. Penyakit ISPA didefinisikan sebagai suatu penyakit infeksi pada hidung, telinga, tenggorokan (pharynx), trachea, bronchioli dan paru-paru yang kurang dari dua minggu (14 hari) dengan tanda dan gejala dapat berupa batuk dan atau pilek dan atau batuk pilek dan atau sesak nafas karena hidung tersumbat dengan atau tanpa demam, batasan waktu 14 hari diambil menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan diare didefinisikan sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan bercak cair lebih dari tiga kali sehari (Darmadi, 2008). 30 Universitas Sumatera Utara
Tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit infeksi adalah tindakan yang paling utama. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara memutuskan rantai penularannya. Rantai penularannya adalah rentetan proses berpindahnya mikroba sehari-hari, pathogen dari sumber penularan (reservoir) ke pejamu dengan atau tanpa media perantara. Sebagai sumber penularan atau reservoir adalah orang (penderita), hewan, serangga (arthropoda) seperti lalat, nyamuk, kecoa, yang sekaligus dapat berfungsi sebagai media perantara. Contoh lain adalah sampah, limbah, sisa makanan dan lain-lain. Apabila perilaku hidup sehat sudah menjadi budaya dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, serta sanitasi lingkungan yang sudah terjamin, diharapkan kejadian penularan penyakit infeksi dapat ditekan seminimal mungkin (Darmadi, 2008). Penyakit infeksi berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan penyakit pernafasan akut (ISPA). Faktor ini banyak terkait mutu pelayanan kesehatan dasar khusunya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana sanitasi dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan pakai sabun, buang air besar dijamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya (Abas 2012 dalam Marfina, 2014). Penelitian Arifin (2012), hasil uji statistik diperoleh p value=0,021, yang berarti terdapat hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting. Hasil analisis diperoleh pula nilai OR=2,2 (CI 95% ; 1,126-4,612) artinya bahwa balita dengan riwayat penyakit infeksi mempunyai risiko 2,2 kali lebih besar terkena 31 Universitas Sumatera Utara
stunting dibandingkan balita dengan tidak mempunyai riwayat penyakit infeksi. Sementara hasil penelitian Nashikhah & Margawati (2012), hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa riwayat diare akut merupakan faktor risiko kejadian stunting (p=0,011) dan nilai OR=2,29 (CI 95% ; 1,69-3,09) dimana balita yang sering mengalami diare akut berisiko 2,3 kali lebih besar tumbuh menjadi stunting. 5. Persediaan pangan Persediaan pangan dalam keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi seluruh anggota keluarga yang cukup baik jumlah maupun zat gizi pangan tersebut. Ketersediaan bahan makanan merupakan salah satu unsur yang menentukan status gizi warga suatu komunitas. Keluarga dengan bayi dan anak balita yang standar gizinya di bawah normal, atau berstatus gizi kurang, karena pemberian makanan yang kurang memberikan zat – zat yang diperlukan oleh tubuh (Kadir, 1998). Penelitian Ali et.al (2013), menyebutkan stunting dan underweight secara signifikan lebih tinggi pada keadaan ketersediaan pangan di rumah tangga yang sangat kurang yang terjadi di Bangladesh
(stunting; OR=1.36; underweight
OR=1.28) dan di Ethiopia (stunting OR=1.48; underweight OR=1.68). Sedangkan untuk ketersediaan pangan di rumah tangga dengan keadaan kurang, terdapat di Vietnam (stunting OR=1.39; underweight OR=1.69). 6. Pengetahuan ibu Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya. 32 Universitas Sumatera Utara
Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melaui indra pendengaran (telinga), dan indra penglihatan (mata). Pengetauan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010). Penelitian Munawaroh (2006), di dapatkan bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu baik dengan pola makan balitanya tidak baik 41,5%, dan pola makan balitanya baik 89,8%, sedangkan pengetahuan gizi ibu kurang baik dengan pola makan balitanya tidak baik 58,5%, dan pola makan balitanya baik 10,2% (OR=12,5). Pola makan baik pada kasus 36% dan kontrol 82%, sedangkan pola makan tidak baik pada kasus 64% dan kontrol 18% (OR=8,1). Pengetahuan gizi baik pada kasus 52% dan pada kontrol 88%, sedangkan pengetahuan kurang baik pada kasus 48% dan pada kontrol 12% (OR=6,8). Dari hasil penelitian terdapat kesimpulan, ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dan pola makan balita dengan status gizi balita. 7. Pelayanan kesehatan Status kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut pendapat Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (2010), terdapat faktor yang berpengaruh terhadap status kesehatan yaitu keturuanan, lingkungan, prilaku, dan pelayanan kesehatan. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu (tidak optimal), maka status kesehatan akan tergeser ke arah di bawah optimal. 33 Universitas Sumatera Utara
Pelayanan
kesehatan
dibutuhkan
oleh
masyarakat
untuk
membantu
memperoleh kebutuhan kesehatannya antara lain, pelayanan imunisasi, perawatan berkaitan dengan pertumbuhan, morbiditas dan mortalitas anak. Dalam penelitian Sartika (2010), menyatakan posyandu merupakan sarana yang memanfaatkan sumber daya masyarakat dan dikelola oleh masyarakat. Sebagai Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM), kegiatan posyandu yang paling memasyarakat dewasa ini adalah dengan lima (5) program pokok prioritas mencakup Keluarga Berencana (KB), Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare. Penelitian Mikrajab & Syahrianti (2011), menyatakan pelayanan kesehatan maternal khususnya fase kehamilan sangat esensial bagi ibu. Fase kehamilan menjadi perhatian khusus tenaga kesehatan terutama bidan karena pada fase ini kemungkinan buruk bisa terjadi yang dapat berakibat membahayakan ibu dan bayinya. Pada fase ini seorang ibu hamil dapat mengalami komplikasi kehamilan, bila dari awal kehamilan tidak dilaksanakan pelayanan kesehatan ibu hamil dan bayinya sesuai dengan pedoman standar yang telah ditetapkan. Partisipasi tenaga kesehatan terutama bidan dalam menjembatani pelayanan kesehatan maternal khususnya fase antenatal care (ANC/prenatal care) pada ibu hamil menjadi tujuan kunci strategi dalam upaya menurunkan AKI dan AKB di Indonesia seperti yang tertuang dalam tujuan 4 dan 5 Pembangunan Milenium (MDG) serta indikator outcomes pelayanan kesehatan maternal (KIA dan KB) di Indonesia pada tahun 2015. Penelitian Fuada et.al (2010), menyatakan bahwa yang berhubungan dengan status gizi kronis di pedesaan adalah pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, status 34 Universitas Sumatera Utara
ekonomi orang tua, tinggi badan orang tua, pemanfaatan pelayanan kesehatan, dan kecukupan energi protein. Keberadaan pelayanan kesehatan di pedesaan sangat penting. Anak balita yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan kemungkinan akan mengalami kependekan sebesar 1,19 kali (OR=1.19 CI 95% ; 1,03-1,38). Walaupun OR hanya 1,1 kali mengindikasikan faktor ini bukan faktor resiko, namun kenyataannya anak balita pendek yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan sebesar 43,5 % lebih banyak dibanding anak balita yang memanfaatkan sebesar 39%. Pemanfatan pelayanan kesehatan di wilayah perdesaan relatif sulit diakses oleh penduduk yang menyebar. 8. Sosial budaya Menurut ahli antropologi Margaret Mead, pola pangan, atau food pattern, adalah cara seseorang atau sekelompok orang memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan ekonomi dan sosio-budaya yang dialaminya. Pola pangan ada kaitannya dengan kebiasaan makan (food habit) (Almatsier, 2004). Aspek sosial budaya pangan adalah fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat tersebut. Konsumsi makanan adalah makanan yang dimakan seseorang. Kecuali peranan biologik, yaitu untuk memenuhi rasa lapar, makanan mempunyai peranan sosio-kultural (Almatsier, 2004). Mencermati akan adanya budaya, kebiasaan dan sistem sosial masyarakat terhadap makanan seperti pola makan, tabu atau pantangan, gaya hidup, gengsi dalam mengonsumsi jenis bahan makanan tertentu, ataupun prestise dari bahan makanan 35 Universitas Sumatera Utara
tersebut yang sering terjadi di kalangan masyarakat. Apabila keadaan tersebut berlangsung lama dan mereka juga belum memahami secara baik tentang pentingnya faktor gizi dalam mengonsumsi makanan, maka mungkin dapat berakibat timbulnya masalah gizi atau gizi salah (malnutrition) (Andriani & Wijatmadi, 2012). 9. Sosial Ekonomi Sosial ekonomi dapat dilihat antara lain dari pendidikan, pengetahuan, kepemilikan, dan pendapatan. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan, antara pendapatan dan gizi sangat erat kaitannya dalam pemenuhan makanan kebutuhan hidup keluarga, makin tinggi daya beli keluarga makin banyak makanan yang dikonsumsi dan semakin baik pula kualitas makanan yang dikonsumsi. Disini terlihat jelas bahwa pendapatan rendah akan menghalangi perbaikan gizi dan menimbulkan kekurangan gizi (Berg dalam Syafiq, 2012). Pendapatan keluarga turut memengaruhi gizi. Dampak beruntun dari krisis moneter, meningkatnya harga kebutuhan pokok serta kemiskinan yang kian merajalela berimbas pada perubahan pola konsumsi masyarakat (dalam hal ini mengarah pada penurunan). Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan ketahanan pangan masyarakat anjlok (Andriani & Wirjatmadi, 2012). Ketahanan pangan merupakan persoalan hidup dan mati suatu bangsa. Seseorang atau sekelompok masyarakat bila tidak makan dalam jangka waktu terentu akan menemui ajal. Bila makan, tetapi dengan asupan yang tidak memenuhi standar
36 Universitas Sumatera Utara
gizi pun hanya menghasilkan generasi yang lemah, kurang sehat, tidak cerdas, dan malas (Andriani & Wirjatmadi, 2012). Penelitian di Bangladesh dengan jumlah sampel 1.182 anak berusia 12-30 bulan menemukan prevalensi pendek sebesar 50,9% diantara mereka. Risiko kejadian pendek 3,6 kali lebih besar pada anak yang berasal dari rumah tangga paling miskin dibandingkan dengan anak yang berasal dari rumah tangga paling kaya (Hong et.al dalam Nurlinda, 2013). Kemiskinan yang berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan rumah tangga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan kuantitas dan kualitas yang baik (Soekirman, 2000). Penelitian di Maluku yang menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang rendah berhubungan dengan stunting (Ramli, 2009). Penelitian Kalsum (2013), diperoleh hasil pekerjaan ayah dan status sosial ekonomi keluarga, ayah yang tidak mempunyai pekerjaan atau memiliki status ekonomi keluarga yang rendah masing-masing berisiko 37% dan 42% lebih besar memiliki anak kurang berat badan. Sementara pendapatan perkapita merupakan faktor yang turut menentukan status gizi balita (Chaudhury, 2012). Penelitian Nasikhah & Margawati (2012) menunjukkan bahwa pendapatan perkapita merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 24-36 bulan. Pendapatan/penghasilan keluarga di Provinsi Aceh berdasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2015 dengan kategori : a. Tinggi apabila Upah Minimum Provinsi (UMP) ≥ Rp. 1.900.000, b. Rendah apabila Upah Minimum Provinsi (UMP) < Rp. 1.900.000.37 Universitas Sumatera Utara
Penelitian Romeli (2007), diperoleh hasil keluarga dengan pendapatan tidak cukup secara bermakna proporsinya lebih tinggi pada kasus dibandingkan kontrol (38,5% vs 15%; OR adjusted=2,762 CI 95% ; 1,397-5,461). Penelitian Arifin (2012), hasil uji statistik diperoleh p value=0,007, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting. Hasil analisis diperoleh nilai OR=2,8 (CI 95% ; 1,315-5,996), artinya bahwa balita dengan pendapatan keluarga rendah mempunyai risiko 2,8 kali lebih besar terkena stunting dibanding balita dengan pendapatan keluarga tinggi.
2.3. Kerangka Teori Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait. Penyebab langsung yang berpengaruh terhadap status gizi pada balita yaitu asupan makanan dan penyakit infeksi. Status gizi kurang pada dasarnya disebabkan oleh interaksi antara asupan makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Penyebab lain yaitu ketersediaan pangan di keluarga, khususnya pangan untuk bayi usi 0-6 bulan (ASI Eksklusif), usia enam bulan keatas (MP-ASI), dan pangan yang bergizi seimbang khususnya untuk ibu hamil. Semua itu terkait dengan pola asuh anak. Pola asuh anak, sanitasi lingkungan, ketersediaan pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan merupakan penyebab tidak langsung yang berpengaruh terhadap status gizi yang
dipengaruhi
oleh
kemiskinan,
pendapatan,
pendidikan,
keterampilan,
ketersediaan pangan dan kesempatan kerja sebagai akibat dari keadaan sosial ekonomi yang merupakan akar masalah gizi (UNICEF, 1998). Kondisi status sosial
38 Universitas Sumatera Utara
ekonomi memengaruhi konsumsi makanan. Konsumsi makanan yang rendah berakibat pada gizi buruk. Gizi buruk pada ibu hamil mengakibatkan anak yang dikandungnya mengalami BBLR (FAO, 2003). BBLR secara tidak langsung dipengaruhi oleh status gizi ibu buruk. Riwayat berat badan lahir rendah dapat memengaruhi secara langsung status gizi anak balita. Secara tidak langsung berat badan lahir rendah dipengaruhi oleh status gizi dan kesehatan ibu, paritas, jarak kelahiran, usia hamil pertama dan status sosial ekonomi ibu sebelum hamil (Mochtar, 1998). Kerangka Teori dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Kurang Gizi
Dampak
BBLR
Penyebab Langsung
Makanan tidak seimbang
Penyakit infeksi Status gizi ibu ketika hamil
Penyebab Tidak Langsung
Ketersediaan pangan tk. Rumah Tangga
Pokok masalah Di Masyarakat
Akar masalah nasional
Pola asuh
Pelayanan kesehatan & sanitasi
Kemiskinan, Pendapatan, Pendidikan, keterampilan, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja
Krisis ekonomi, politik dan sosial
- Status gizi dan kesehatan ibu - Paritas - Jarak kelahiran - Usia hamil pertama - Status sosial ekonomi ibu
Gambar 2.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi pada Anak Balita Modifikasi dari UNICEF (1998), FAO (2003), Mochtar (1998) 39 Universitas Sumatera Utara
2.4. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori diatas dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut : variabel dependen dalam penelitian ini adalah stunting pada anak balita, sedangkan variabel independen dari penelitian ini adalah riwayat berat badan lahir, riwayat pemberian ASI Eksklusif, pola asuh anak balita (pola asuh makan, pola asuh perawatan kesehatan, pola asuh kebersihan diri), riwayat penyakit infeksi, pelayanan kesehatan serta pendapatan keluarga yang memengaruhi kejadian stunting pada anak balita. Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Variabel independen
Variabel dependen
Riwayat berat badan lahir Riwayat pemberian ASI Eksklusif
Pola asuh anak balita 1. Pola asuh makan 2. Pola asuh perawatan kesehatan 3. Pola asuh kebersihan diri
Stunting
Riwayat penyakit infeksi Pelayanan kesehatan Pendapatan keluarga
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
40 Universitas Sumatera Utara