BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Komitmen organisasional Komitmen organisasional (organizational commitment), didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Pandangan mengenai Komitmen organisasi, menurut Porter (dalam Greenberg dan Baron: 1997:191) merupakan akibat dari tiga faktor yaitu: (1) penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan niliai-nilai yang dimiliki organisasi, (2) kemauan untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya, dan (3) hasrat atau keinginan untuk tetap berada dalam organisasi. Menurut Greenberg dan Baron (1997), komitmen organisasional adalah sejauh mana seorang individu mengidentifikasi dan terlibat dengan organisasinya ataukah bersedia untuk meninggalkannya. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu, sementara komitmen norganisasional yang tinggi berarti memilhak organisasi yang merekrut individu tersebut. (Robbins, 2008). Selanjutnya menurut Zeinabadi dan Salehi (2011), komitmen organisasional adalah kemauan untuk mengerahkan usaha ekstra untuk kepentingan organisasi, dan
keinginan
yang
kuat untuk
mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi. Dhar (2014) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai keadaan psikologis yang menyatukan individu ke dalam organisasi. Komitmen organisasional terdiri dari tiga dimensi: dimensi afektif, normatif dan kelangsungan. Komitmen afektif (AC) diukur dari emosional karyawan, identifikasi dengan, dan keterlibatan dalam organisasi tersebut. Komitmen normatif (NC) adalah tentang perasaan tanggung jawab karyawan untuk tinggal di organisasi, sedangkan komitmen
continuance (CC) adalah pengakuan biaya yang terkait dengan karyawan meninggalkan organisasi. Sehingga dapat disimpulkan dari beberapa uraian mengenai komitmen organisasional diatas, bahwa komitmen organisasional merupakan komitmen seseorang terhadap organisasi tempat dia bekerja, dari sejauh mana ia dilibatkan dalam pekerjaannya sehingga ada keinginan untuk membantu organasasi tersebut untuk mencapai tujannya dan tetap bertahan dalam organisasi.
2.1.2. Pelatihan Kerja Pelatihan
kerja
dapat
diartikan
sebagai
pengembangan
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan karyawan untuk melakukan tugas atau pekerjaan atau untuk meningkatkan kinerja di lingkungan kerja(e.g. see Goldstein, 1993;Aragon, A., Barba, M.I., Sanz, R., 2003). Pelatihan dapat dilihat juga sebagai praktik manajemen yang dapat dikendalikan atau dikelola untuk memperoleh sikap timbal balik dan perilaku, termasuk keterlibatan kerja, motivasi, dan komitmen organisasi, serta kualitas layanan yang akan dihasilkan.Persepsi pelatihan oleh karyawan telah dianalisis oleh beberapa peneliti(Ahmad, Bakar, 2003; Bartlett, 2001; Bartlett Kang, 2004; Cagri, Bulut, 2010). Pelatihan yang dirasakan karyawan diukur dan dinilai dalam struktur multidimensi yang terdiri dari kemudahan akses, manfaat, dan dukungan. a.
Kemudahan akses yang dirasakan ke pelatihan Adanya pelatihan yang dirasakan dapat dijelaskan dari sejauh mana karyawan
merasa mereka mampu mengakses kesempatan pelatihan (Newman, Rani Thanacoody dan Wendy Hui, 2011). Akses ke pelatihan mengacu pada persepsi karyawan dari kemungkinan kehadiran mereka di pelatihan organisasi, apakah ada atau tidaknya partisipasi berdasarkan kriteria selektif secara obyektif dan adil, apakah prosedur aplikasi disusun secara eksplicit atau tidak dan apakah pemohon didukung oleh manajer
mereka atau tidak (Bulut dan Osman Culha, 2010). Sehingga kemudahan akses yang dirasakan karyawan ke pelatihan dapat disimpulkan sebagai seberapa jauh karyawan merasakan adanya kemudahan dan kesempatan yang diberikan dari organisasi untuk mengikuti pelatihan yang telah disediakan. b.
Dukungan yang dirasakan dalam pelatihan Menurut Noe, dukungan dalam konteks sosial adalah suatu kondisi di mana
karyawan percaya bahwa orang lain memberi mereka kesempatan dan bantuan untuk melatih keterampilan atau untuk menggunakan pengetahuan yang diperoleh dalam pelatihan (Facteau et al., 1995). Dalam pengujian literatur pelatihan menunjukkan bahwa ada beberapa sumber potensial penting dari dukungan sosial untuk pelatihan. Meliputi top manajemen, supervisor, rekan-rekan, dan bawahan (Facteau et al., 1995). Sehingga dukungan yang dirasakan karyawan dalam pelatihan dapat diartikan sebagai dukungan yang diberikan dari atasan, rekan kerja, serta bawahan untuk mengikuti pelatihan yang ada sehingga dapat mengembangkan keterampilan, keahlian,
serta
menambah
pengetahuan
agar
dapat
digunakan
untuk
menyelesaikan pekerjaan agar lebih baik. c.
Manfaat yang dirasakan dari pelatihan Menurut Noe dan Wilk (1993), manfaat dari program pelatihan dapat dilihat dari
tiga perspektif yang berbeda: (a) manfaat pribadi, (b) manfaat terkait pekerjaan, dan (c) manfaat karir. Manfaat pribadi mengacu pada manfaat yang dapat karyawan harapkan ketika mengikuti program pelatihan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan mereka, mengembangkan jaringan mereka, dan mencapai pertumbuhan pribadi dan pengembangan.
Manfaat
pekerjaan
mengarah
pada
perkembangan antara
hubungan yang baik dengan rekan-rekan dan manajer dan memberikan waktu istirahat dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Manfaat karir dapat dianggap sebagai
hasil dari partisipasi karyawan dalam mengikuti program pelatihan, karena dapat membantu mereka dalam mencapai tujuan karir mereka dan mengejar jalur baru untuk memperluas dan mengembangkan karir mereka (Noe & Wilk, 1993). Sehingga manfaat yang dirasakan karyawan dari pelatihan dapat didefinisikan sebagai hasil yang dirasakan karyawan dari mengikuti pelatihan, berupa manfaat pribadi, pekerjaan, dan karir yang dapat membantu mereka dalam mengembangkan potensi diri, memudahkan menyelesaikan pekerjaan, serta membantu mereka dalam mencapai tujuan karir. 2.2. PERUMUSAN HIPOTESIS 2.2.1. Kemudahan
Akses
yang
Dirasakan
ke
Pelatihan
dan
Komitmen
organisasionalonal Kemudahan yang dirasakan ke pelatihan merujuk pada persepsi karyawan mengenai kesempatan yang diberikan untuk mengikuti program pelatihan, tanpa memperhatikan kelayakan, termasuk dukungan dari manajer, kriteria yang adil untuk dipilih dalam program atau mengikuti proses formal dalam pemilihan untuk pelatihan. Kesempatan dalam mendapatkan akses untuk program pelatihan dianggap sebagai faktor penting untuk mengembangkan organisasi dengan budaya yang kuat dan mempunyai hubungan positif dengan komitmen organisasional (e.g. see Bulut & Culha, 2010; Ehrhardt et al., 2011).Perusahaan dengantingkat kemudahan akses yang dirasakan pada program pelatihan organisasi yang tinggi akanmemungkinanjumlah karyawan yang berkomitmen dalam organisasi mereka meningkat (Bartlett & Kang, 2004). Studi yang dilakukan di Malaysia dan Amerika menunjukkan bahwa rasa kemudahan dalam pelatihan berhubungan positif dengan meningkatnya komitmen afektif (Ahmad & Bakar, 2003; Bartlett, 2001). Disebutkan juga dalam penelitian yang dilakukan oleh Dhar (2014), bahwa kemudahan akses ke pelatihan berhubungan positif dengan komitmen organisasional.
Berdasarkan dari temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa organisasi dapat meningkatkan tingkat komitmen
karyawan dengan
mempromosikan program
pelatihan dan memberikan kemudahan akses ke pelatihan untuk karyawan. Sehingga, hipotesis berikut diusulkan berdasarkan literatur diatas: Hipotesis 1: Akses ke pelatihan berpengaruh positif terhadap komitmen organisasionalonal. 2.2.2. Dukungan
yang
Dirasakan
dalam
Pelatihan
dan
Komitmen
organisasionalonal Karyawan
yang
merasa
bahwa
organisasi
mereka
mendukung
adanya
peningkatan dan pengembangan keahlian dengan tujuan untuk menemukan solusi terbaik dari masalah yang terkait dengan pekerjaan, akanmerasa berkewajiban untuk menunjukkan tingkat komitmen mereka terhadap organisasi (Brunetto et al., 2012; Teck-Hong & Yong-Kean, 2012). Menurut penelitian dari Noe dan Wilk (1993), menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat dukungan yang dirasakan oleh karyawan dari organisasi mereka, semakin mereka merasakan berpartisipasi dalam program tersebut. Demikian pula, Bartlett (2001) menemukan bahwa dukungan untuk pelatihan mempunyai hubungan langsung dengan tingkat komitmen afektif karyawan. Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Dhar (2014) juga menyebutkan bahwa dukungan yang dirasakan dalam pelatihan karyawan berhubungan positif terhadap tingkat komitmen organisasional mereka. Berdasarkan dari temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dukungan yang dirasakan karyawan dalam pelatihan dapat meningkatkan keterikatannya terhadap organisasi ketika mendapat dukungan yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis selanjutnya yang diusulkan: Hipotesis
2:
Dukungan
yang
dirasakan
karyawan
dalam
pelatihan
berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional. 2.2.3. Manfaat yang Dirasakan dari Pelatihan dan Komitmen organisasionalonal Ketika karyawan sadar bahwa mengikuti program pelatihan dapat memberikan
manfaat bagi organisasi dan diri mereka, mereka akan menunjukkan keinginan yang tinggi
untuk
berpartisipasi
dalam
program
tersebut
dan
selanjutnya
dapat
menunjukkan hasil yang lebih baik (Facteau, Dobbins, Russell, Ladd, & Kudisch, 1995). Beberapa peneliti yaitu Phillips dan Stone (2002) telah mengamati bahwa “Hasil dari program pelatihan yang sukses akan memberikan manfaat yang berharga. Manfaat berharga tersebut adalah hasil positif yang tidak dapat ditukar dengan nilai moneter” (hal.210). Ahmad dan Bakar (2003) menyarankan bahwa karyawan yang memahami akan keuntungan dari mengikuti program pelatihan akan menunjukkan tingkat komitmen yang tinggi terhadap organisasi sehingga mereka akan diizinkan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pelatihan yang diadakan oleh organisasi. Dan hasil temuan dari Ahmad dan Bakar (2003), menunjukkan hubungan yang kuat antara manfaat dari program pelatihan dan komitmen afektif. Didukung pula oleh penelitian Dhar (2014) yang menyebutkan bahwa adanya pengaruh positif antara manfaat dari pelatihan yang dirasakan oleh karyawan terhadap komitmen organisasional mereka. Manfaat yang diterima oleh karyawan didapatkan dari mengikuti program pelatihan yang diarahkan untuk meningkatkan tingkat komitmen mereka dan bertujuan untuk mencapai tujuan pribadi serta karir mereka. Oleh karena itu, hipotesis selanjutnya yang diusulkan: Hipotesis 3: Manfaat yang dirasakan karyawan dari pelatihan berpengaruh positif terhadapa komitmen organisasional. 2.3. KERANGKA KONSEPTUAL Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah penting (Sekaran, 2006). Suatu kerangka berpikir akan menghubungkan secara teoritis antara variabel penelitian, yaitu antara variabel bebas dan tergantung. Dengan demikian, kerangka berpikir merupakan penjelasan sementara gejala-gejala yang
menjadi obyek permasalahan atau sintesis tentang hubungan antarvariabel yang disusun dari berbagai teori yang telah diuraikan. Berikut bagan dari kerangka konseptual penelitian ini:
Gambar II.1 Kerangka Konseptual
Dalam kerangka konseptual diatas dijelaskan ada beberapa variabel yang akan diuji di penelitian ini. Kemudahan akses yang dirasakan ke pelatihan (perceived accessibility to training), dukungan yang dirasakan dalam pelatihan (perceived support for training), dan manfaat yang dirasakan dari pelatihan (perceived benefits from training) merupakan variabel independen dalam penelitian ini. Selanjutnya komitmen organisasional
(organizational
commitment)
berperan
sebagai
variabel
dependen.Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah usia (age) dan jenis kelamin (gender). Adanya variabel kontrol dalam penelitian ini digunakan untuk mengurangi bias pada pengaruh variabel independen dan variabel dependen. Penelitian ini akan menguji bagaimana pengaruh pelatihan karyawan (yang terdiri dari tiga indikator) pada komitmen organisasional sebagai variabel dependen.