Bab II Tinjauan Pustaka
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERFIKIR 2.1 Perkerasan Jalan Tanah saja biasanya tidak cukup kuat dan tahan, tanpa adanya deformasi yang berarti, terhadap beban roda berulang. Untuk itu perlu lapis tambahan yang terletak antara tanah dan roda, atau lapis paling atas dari badan jalan. Lapis tambahan ini dapat dibuat dari bahan khusus yang terpilih (yang lebih baik), yang selanjutnya disebut lapis keras/perkerasan/pavement. Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai antara lain adalah batu pecah, batu belah, dan batu kali. Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain adalah aspal, semen dan tanah liat. Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas: 1. Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan
aspal
sebagai
bahan
pengikatnya.
Lapisan-lapisan
perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Bahan konstruksi perkerasan lentur terdiri atas : bahan ikat (aspal, tanah liat) dan batu. Perkerasan ini umumnya terdiri atas 3 lapis atau lebih yaitu : lapis permukaan, lapis pondasi bawah, yang terletak diatas tanah dasar (subgrade). Berkaitan dengan istilah dalam perkerasan lentur, periksa Tabel 2.1.
II-1
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.1 Lapisan Perkerasan Lentur
Lapis Permukaan
USA
UK
Surface course :
Surfacing :
Wearing Course
Wearing Course
Binder Course
Base Course
Base Course
Road Base
Subbase Course
Subbase Course
Subgrade
Subgrade
Lapis Pondasi
Tanah Dasar
Sumber : Bahan Dan Struktur Jalan Raya (2004) 2. Konstruksi perkerasan kaku (Rigid Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen (portland Cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton. Perkerasan kaku umumnya terdiri atas dua lapis, yaitu : Lapis permukaan
: concrete slab
Lapis pondasi
: subbase course, yang diletakkan di atas tanah dasar (subgrade)
3. Konstruksi perkerasan komposit (Composite Pavement), yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur. II-2
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Perbedaan utama antara perkerasan kaku dan lentur diberikan pada tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 2.2 Perbedaan Antara Perkerasan Lentur Dan Perkerasan Kaku
1
Perkerasan lentur
Perkerasan kaku
Aspal
Semen
Bahan pengikat
Timbul Rutting 2
Repetisi Beban
(lendutan pada jalur roda)
3
permukaan
Penurunan tanah
Jalan bergelombang
Bersifat sebagai balok
dasar
(mengikuti tanah dasar)
diatas perletakan
Modulus kekakuan 4
Timbul retak-retak pada
Perubahan
berubah. Timbul
temperature
tegangan dalam yang kecil
Modulus kekakuan tidak berubah. Timbul tegangan dalam yang besar
Sumber : Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung (1992) Sesuai dengan pembatasan masalah, maka untuk pembahasan selanjutnya hanya akan dibahas tentang konstruksi perkerasan lentur saja. 2.2 Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Aspal itu sendiri adalah material berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang II-3
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
berbentuk padat sampai agak padat. Jika aspal dipanaskan sampai suatu temperatur tertentu, aspal dapat menjadi lunak /cair sehingga dapat membungkus partikel agregat pada waktu pembuatan aspal beton. Jika temperatur mulai turun, aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya (sifat termoplastis). Sifat aspal berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh sehingga daya adhesinya terhadap partikel agregat akan berkurang. Perubahan ini dapat diatasi/dikurangi jika sifat-sifat aspal dikuasai dan dilakukan langkahlangkah yang baik dalam proses pelaksanaan. Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan yang ada dibawahnya, sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban yang diterima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah dasar. Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari :
Lapisan Permukaan (surface course) Lapisan pondasi Atas (base course) Lapisan Pondasi Bawah (sub base course) Lapisan Tanah Dasar (subgrade) Gambar 2.1 Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur
II-4
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
1. Lapisan permukaan (Surface Course) Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak di atas lapis pondasi. Fungsi lapis permukaan antara lain : • Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda. • Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca. • Sebagai lapisan aus (wearing course) Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan. 2. Lapisan pondasi atas (Base Course) Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun diatas lapis pondasi bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah dasar.
II-5
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Fungsi lapis pondasi antara lain : • Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda. • Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan. Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam-macam bahan alam/setempat dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah yang distabilisasi dengan semen, aspal, pozzolan, atau kapur. 3. Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau lapisan tanah yang distabilisasi. Fungsi lapis pondasi bawah antara lain : • Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar beban roda. • Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan lapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya konstruksi). • Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi. • Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar. II-6
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Lapis pondasi bawah diperlukan sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat pelaksanaan konstruksi) atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam jenis tanah setempat yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland, dalam beberapa hal sangat dianjurkan agar diperoleh bantuan yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan. 4. Lapisan tanah dasar (Subgrade) Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan Modulus resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan hasil atau nilai tes soil index. Persoalan tanah dasar yang sering ditemui antara lain : • Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu sebagai akibat beban lalu-lintas. • Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air. • Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan konstruksi. II-7
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
• Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas untuk jenis tanah tertentu. • Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi. 2.3 Sifat Perkerasan Lentur Jalan Aspal yang dipergunakan pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi sebagai: •
Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dengan agregat dan antara aspal itu sendiri.
•
Bahan pengisi, mengisi rongga antara butir-butir agregat dan pori-pori yang ada dari agregat itu sendiri.
Dengan demikian, aspal haruslah memiliki daya tahan (tidak cepat rapuh) terhadap cuaca, mempunyai adhesi dan kohesi yang baik dan memberikan sifat elastis yang baik. •
Daya tahan (durability) Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. Sifat ini merupakan sifat dari campuran aspal, jadi tergantung dari sifat agregat, campuran dengan aspal, faktor pelaksanaan dan sebagainya.
II-8
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
•
Adhesi dan Kohesi Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. Kohesi adalah kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah terjadi pengikatan.
• Kepekaan terhadap temperatur Aspal adalah material yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperatur bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap hasil produksi aspal berbeda-beda tergantung dari asalnya walaupun aspal tersebut mempunyai jenis yang sama. • Kekerasan aspal Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat sehingga agregat dilapisi aspal atau aspal panas disiramkan ke permukaan agregat yang telah disiapkan pada proses peleburan. Pada waktu proses pelaksanaan, terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas (viskositas bertambah tinggi). Peristiwa perapuhan terus berlangsung setelah masa pelaksanaan selesai. Jadi selama masa pelayanan, aspal mengalami oksidasi dan polimerisasi yang besarnya dipengaruhi juga oleh ketebalan aspal yang menyelimuti agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi.
II-9
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
2.4 Standar Pengujian Semua prosedur pengujian yang dilakukan pada penelitian ini berdasarkan standar yang berlaku yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI) Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga. SNI 03-1968-1990
: Metode Pengujian Tentang Analisis Saringan Agregat Halus dan Kasar
SNI 03-1969-1990
: Metode Pengujian Berat Jenis Dan Penyerapan Air Agregat Kasar
SNI 03-1970-1990
: Metode Pengujian Berat Jenis Dan Penyerapan Air Agregat Halus
SNI 03-2417-1991
: Metode Pengujian Keausan Agregat Dengan Mesin Abrasi Los Angeles
SNI 06-2432-1991
: Metode Pengujian Daktilitas Bahan-Bahan Aspal
SNI 06-2433-1991
: Metode Pengujian Titik Nyala dan Titik Bakar dengan Alat Cleveland Open Cup
SNI 06-2434-1991
: Metode Pengujian Titik Lembek Aspal dan Ter
SNI 03-1737-1991
: Tata Cara Pelaksanaan Lapis Aspal Beton (LASTON) Untuk Jalan Raya
SNI 06-2441-1991
: Metode Pengujian Berat Jenis Aspal Padat
SNI 06-2456-1991
: Metode Pengujian Penetrasi Bahan-Bahan Bitumen
SNI 03-6723-2002
: Spesifikasi Bahan Pengisi Untuk Campuran Beraspal II-10
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
SNI 03-6819-2002
: Spesifikasi Agregat Halus Untuk Campuran Beraspal
SNI 15-2351-1991
: Berat Jenis Semen Portland
AASHTO T-245-74
: Metode Pengujian Campuran Beraspal Dengan Alat Marshall
2.5 Bahan Penelitian Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain : a. Agregat Sumber
: PT. Adhimix Karya
b. Aspal Jenis
: Aspal Minyak Pen 60/70
c. Semen Tipe
: Portland
d. Air Sumber
: Laboratorium Uji Bahan Universitas Mercu Buana
e. Serbuk Kaca Sumber
: Limbah kaca berupa botol
f. Abu Sekam Sumber
: Limbah hasil pembakaran sekam padi
II-11
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
2.6 Agregat Dan Karakteristiknya Agregat merupakan partikel mineral yang digunakan sebagai bahan campuran pada berbagai jenis campuran melekat seperti beton, pondasi dasar jalan, campuran aspal, dan lain-lain (Atkins,H.N.,PE., 1997). Agregat merupakan komponen pokok dalam perkerasan aspal bahkan prosentasenya mencapai 90%-95% dari berat keseluruhan campuran atau sekitar 77%-85% terhadap prosentase volume (Mutohar, Y., 2002). Kualitas suatu agregat sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dikandungnya. Diantara sifat-sifat yang ada yaitu strength atau kekuatan, durability atau keawetan, adhesiveness atau daya rekat terhadap aspal dan workability atau kemudahan dalam pelaksanaan. Sifat kekuatan dan keawetan (strength and durability) dipengaruhi oleh gradasi, kadar lumpur, kekerasan (hardness) dan bentuk butir (shape-grain). Gradasi merupakan ukuran luar dari agregat dan dibedakan menjadi agregat kasar, sedang dan halus menurut ukuran individunya atau dibedakan menjadi agregat seragam (uniform graded), gradasi rapat (dense graded) dan gradasi jelek (poorly graded) menurut kelompoknya (Krebs, D.R. and Walker, D.R., 1971). Gradasi yang baik, seragam dan seimbang dapat meningkatkan kekuatan dan keawetan karena rongga yang dibentuk mudah dimasuki oleh filler sehingga kerapatannya meningkat akibat tidak ada rongga yang kosong begitu saja. Kadar lumpur dapat mempengaruhi kekuatan campuran karena agregat dengan kadar lumpur tinggi akan memiliki daya rekat yang rendah terhadap aspal. Karenanya keberadaaan lumpur perlu dihilangkan dari agregat saat hendak dilakukan pencampuran dengan bahan perekat seperti aspal. II-12
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Sedangkan kekerasan dan bentuk butir akan mempengaruhi kekuatan dari sisi peningkatan ketahanan akibat tekanan beban dan peningkatan gaya geser antar agregat. Gaya geser yang baik pada dasarnya akan meningkatkan kekuatan saling kunci antar partikel sehingga menambah kekuatan campuran. Sifat adhessiveness atau kemampuan dilapisi aspal dipengaruhi oleh porositas dan bentuk batuan. Porositas memungkinkan molekul-molekul aspal menyusup ke dalam tubuh agregat melalui kemampuan serap mikroskopis (absorption). Sedangkan bentuk batuan membantu pecahnya aspal saat terjadi kontak. Agregat bersisi runcing biasanya lebih mudah memicu pecahnya aspal yang mengakibatkan rendahnya kemampuan penyelimutan (stripping). Sebaliknya, agregat bulat mempunyai kemampuan yang kuat dalam penyelimutan (anti stripping) karena tidak mudah memicu pemecahan aspal.
Gambar 2.2 Kemampuan Penyelimutan Aspal a) Kiri, Agregat Runcing Memiliki Kadar Penyelimutan Rendah (Stripping) Dan b) Kanan, Agregat Bulat Memiliki Kadar Penyelimutan Tinggi (Anti Stripping) (Sumber: Asphalt files.com (2004)) Sifat kemudahan pencampuran (Workability) atau dipengaruhi oleh tahanan geser (skid resistance) dan kondisi agregat. Tahanan geser berhubungan dengan nilai kekesatan yang dipengaruhi oleh tekstur, nilai abrasi, kadar aspal. Agregat dengan II-13
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
mikrotekstur yang tinggi dan nilai abrasi yang rendah mempunyai nilai kekesatan yang tinggi yang mengakibatkan tahanan geser yang kuat. Kadar aspal yang kurang atau terlalu berlebihan menyebabkan kekesatan menurun dan menyebabkan sifat workability menjadi rendah. 2.6.1 Jenis-Jenis Agregat Agregat secara umum dibedakan menurut ukurannya. Paling tidak ada jenis ukuran agregat yaitu (Atkins, H. N., PE, 1997): •
Agregat kasar Agregat kasar yaitu agregat yang tertahan saringan ukuran No.4 (4,75 mm) dan haruslah bersih, awet dan bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya dan memenuhi persyaratan pada tabel 2.2. Tabel 2.3 Persyaratan Agregat Kasar Jenis Pemeriksaan
Metode Pengujian
Persyaratan
SNI 03-1969-1990
Min. 2,5
SNI 03-1969-1990
Maks. 3%
SNI 03-2417-2008
Maks. 40%
Berat Jenis Bulk Berat Jenis SSD Berat Jenis Semu Penyerapan % Abrasi dengan mesin Los Angeles Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 Divisi 6 Perkerasan Aspal (2010)
II-14
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
• Agregat halus Agregat halus yaitu agregat yang berukuran antara 2,36 mm (lolos saringan No.8) dan (tertahan saringan No.200). Persyaratan umum agregat halus sesuai ketentuan diperlihatkan dalam tabel 2.3. Tabel 2.4 Ketentuan Agregat Halus Jenis Pemeriksaan
Metode Pengujian
Persyaratan
SNI 03-1969-1990
Min. 2,5
Penyerapan %
SNI 03-1969-1990
Maks. 3%
Kadar Lempung
SNI 03-4142-2008
Maks. 1%
Berat Jenis Bulk Berat Jenis SSD Berat Jenis Semu
Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 Divisi 6 Perkerasan Aspal (2010) • Agregat sangat halus Agregat sangat halus adalalah bahan yang lolos saringan No.200 (0,075 mm). Agregat sangat halus biasanya berfungsi sebagai bahan pengisi (filler). Pengukuran agregat biasanya menggunakan saringan dengan ukuran lubang tertentu dan ukuran agregat ditentukan menurut persen tertahan atau lolos dari masing-masing saringan. Gradasi agregat yang ditentukan pada Spesifikasi Bina Marga 2010 diperlihatkan pada tabel 2.4 khususnya pada campuran ACWC.
II-15
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.5 Gradasi Agregat Untuk Campuran AC-WC % Berat yang lolos terhadap total agregat dalam campuran laston (AC) Ukuran Ayakan (mm) Gradasi Halus
Gradasi Kasar
WC
WC
37,5
-
-
25
-
-
19
100
100
12,5
90-100
90-100
9,5
72-90
72-90
4,75
54-69
43-63
2,36
39,1-53
28-39,1
1,18
31,6-40
19-25,6
0,600
23,1-40
13-19,1
0,300
15,5-22
9-15,5
0,150
9-15
6-13
0,075
4-10
4-10
Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 Divisi 6 Perkerasan Aspal (2010)
II-16
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
2.7 Semen Semen portland adalah suatu jenis bahan yang memiliki sifat adhesif dan kohesif yang memungkinkan melekatnya fragmen-fragmen mineral menjadi satu massa yang padat. Semen portland atau biasa disebut semen merupakan bahan pengikat hidrolis berupa bubuk halus yang dihasilkan dengan cara menghaluskan klinker (bahan ini terdiri dari silika-silika kalsium yang bersifat hodrolis), dengan batu gips sebagai bahan tambahan. 2.7.1 Sifat-Sifat Semen Semen portland memiliki beberapa sifat yang diantaranya dijelaskan sebagai berikut : • Kehalusan butir Pada umumnya semen memiliki kehalusan sedemikian rupa sehingga kurang lebih 80% dari butirannya dapat menembus ayakan 44 mikron. Makin halus butiran semen, makin cepat pula persenyawaannya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menentukan kehalusan butir semen. Cara yang paling sederhana dan mudah dilakukan ialah dengan mengayaknya. •
Kekekalan bentuk Yang dimaksud dengan kekekalan bentuk adalah sifat dari bubur semen yang telah mengeras, dimana bila adukan semen dibuat suatu bentuk tertentu bentuk itu tidak berubah. Apabila benda menunjukkan adanya cacat (retak, melengkung, membesar atau menyusut), berarti semen itu tidak baik atau tidak memiliki sifat tetap bentuk.
II-17
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
•
Kekuatan semen Kekuatan mekanis dari semen yang mengeras merupakan sifat yang perlu diketahui di dalam pemakaian. Kekuatan semen ini merupakan gambaran mengenai daya rekatnya sebagai bahan perekat/pengikat.
2.7.2 Jenis-Jenis Semen Tabel 2.6 Jenis-Jenis Semen Portland Jenis Semen
Karakteristik Umum
Jenis I
Semen portland yang digunakan untuk tujuan umum
Jenis II
Jenis III
Jenis IV
Jenis V
Semen portland yang penggunaannya memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas hidrasi sedang Semen portland yang penggunaannya memerlukan persyaratan awal yang tinggi setelah pengikatan terjadi Semen portland yang dalam penggunaannya menuntut panas hidrasi yang rendah Semen portland yang dalam penggunaannya menuntut ketahanan yang kuat terhadap sulfat
Sumber : Teknologi Beton; Kardiyono Tjokrodimulyo(1994) 2.8 Abu Sekam Abu hasil pembakaran sekam padi, yang pada hakikatnya hanyalah limbah, ternyata merupakan sumber silika/karbon yang cukup tinggi. Pirolisis lebih lanjut dari hasil II-18
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
pembakaran sekam padi menunjukkan bahwa kandungan SiO2 mencapai 80 - 90%. Yang juga menarik, 15 % berat abu akan diperoleh dari total berat sekam padi yang dibakar. Pemanfaatan abu sekam padi, dengan demikian, layak untuk dipikirkan (Wanadri, A., 1999). Salah satu upaya pemanfaatan abu sekam padi yang telah banyak dicoba adalah mereaksikannya dengan larutan NaOH untuk menghasilkan natrium silikat yang luas penggunaannya dalam industri, seperti sebagai bahan filler dalam pembuatan sabun dan detergen, bahan perekat (adhesive), dan jeli silika (silica gel) (Kirk and Orthmer, 1969 dalam Wanadri, A., 1999). 2.8.1 Sifat Kimiawi Abu Sekam Sekam padi merupakan bahan ahsil sampingan produk pertanian, sekam yang dibakar mempunyai sifat pozzolan yang mengandung unsur silikat yang tinggi, rata-rata SiO2 96,70% dengan Pozzolanic Activity Index 87%. Pozzolan ini mengandung sifat sementasi jika bercampur dengan kapur padam dan air. Tabel 2.7 Sifat Kimiawi Abu Sekam No
Unsur
Kandungan (%)
1
CaO
0.49
2
K2O
0.91
3
MgO
0.22
4
Na2O
0.26
5
TiO2
0.16
II-19
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
No
Unsur
Kandungan (%)
6
Al2O3
1.01
7
P2O5
0.01
8
SiO2
96.70
9
Fe2O3
0.05
10
MnO
0.19
Sumber: Ceramic-Materials.com (2004) 2.8.2 Abu Sekam Sebagai Bahan Filler Filler adalah kumpulan mineral yang sebagian besar lolos saringan No.200. Fungsi dari filler adalah sebagai bahan pengisi rongga-rongga antar agregat (kasar) yang diharapkan dapat meningkatkan kerapatan dan memperkecil permeabilitas dari campuran. Disamping ukurannya yang harus relatif halus, bahan filler harus memiliki sifatsifat tertentu seperti bersifat sementasi jika terkena air dan memiliki daya rekat yang tinggi dengan agregat lainnya (Mutohar, Y., 2002). Diantara bahan-bahan yang memiliki sifat sementasi jika terkena air dan bayak dipakai sebagai bahan filler adalah abu batu (rock ash), abu terbang (fly ash), gypsum, portland cement (PC), abu genting dan lainnya. Penelitian dengan menggunakan abu sekam pada tahun 2009 dilakukan oleh Zulkifli Lubis dan Agus Zuliyanto yang berjudul “Kajian Penggunaan Filler Abu Sekam Padi Untuk Menguji Durabilitas Laston”. Pada penelitian ini, penggunaan abu sekam sebagai filler dapat memberikan kinerja yang cukup baik. Beberapa II-20
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
keuntungan yang jelas terlihat dari abu sekam sebagai bahan filler diantaranya keberlimpahan sekam sebagai residu padi memberikan prospek bagi pengadaan bahan filler yang relatif murah dibanding dengan bahan lain yang relatif mahal dan biasanya sulit didapat. 2.9 Kaca Kaca adalah salah satu produk industri kimia yang paling akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Dipandang dari segi fisika kaca merupakan zat cair yang sangat dingin. Disebut demikian karena struktur partikel-partikel penyusunnya yang saling berjauhan seperti dalam zat cair, namun kaca sendiri berwujud padat. Ini terjadi akibat proses pendinginan (cooling) yang sangat cepat, sehingga partikel-partikel silika tidak “sempat” menyusun diri secara teratur. Dari segi kimia, kaca adalah gabungan dari berbagai oksida anorganik yang tidak mudah menguap, yang dihasilkan dari dekomposisi dan peleburan senyawa alkali dan alkali tanah, pasir serta berbagai penyusun lainnya. Kaca memiliki sifat-sifat yang khas dibanding dengan golongan keramik lainnya. Kekhasan sifat-sifat kaca ini terutama dipengaruhi oleh keunikan silika (SiO2) dan proses pembentukannya. 2.9.1 Kandungan Dalam Kaca Ada beberapa kandungan kaca berdasarkan jenis-jenis kaca, yaitu: clear glass, amber glass, green glass, pyrex glass, dan fused silica. Kandungan bahan kimia dalam berbagai jenis kaca seperti dijelaskan pada Tabel 2.3 serta kandungan kimia di dalam bubuk kaca yaitu seperti SiO2, Al2O3, Fe2O3 dan CaO seperti Tabel 2.4 di bawah ini.
II-21
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.8 Kandungan Kaca
Jenis Kaca
Amber
Green
Pyrex
Fused
Glass
Glass
Glass
Silica
Clear Glass
SiO2
73,2 – 73,5
71,0 – 72,4
71,27
81
99,87
Al2O3
1,7 – 1,9
1,7 – 1,8
2,22
2
-
13,6 – 14,1
13,8 – 14,4
13,06
4
-
10,7 – 10,8
11,6
12,17
-
-
SO3
0,2 – 0,24
0,12 – 0,14
0,052
-
-
Fe2O3
0,04 – 0,05
0,3
0,599
3,72
-
Cr2O3
-
0,01
0,43
12,0 – 13,0
-
Na2O + K2O CaO + MgO
Sumber : Setiawan (2006)
Tabel 2.9 Kandungan Serbuk Kaca Unsur
Serbuk Kaca
SiO2
61,72%
Al2O3
3,45%
Fe2O3
0.18%
CaO
2.59%
Sumber : Hanafiah (2011) II-22
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
2.9.2 Serbuk Kaca Sebagai Bahan Filler Menurut survey di kota New York, limbah kaca terdiri dari 62% kaca bening, 19% kaca berwarna hijau, 14% kaca yang berwarna kekuningkuningan dan 5% kaca lainnya. Dari penelitian yang telah dilakukan, kaca mengurangi ekspansi dari pasir yang agak reaktif. Kaca yang digiling halus, merupakan cara untuk menekan efek dari ASR (alkali-silica reaction). Semakin halus kaca digiling, maka
tingkat
keefektifannya
semakin
meningkat.
Penelitian
dengan
menggunakan serbuk kaca pada tahun 2013 dilakukan oleh Rossian March Setiawan yang berjudul “Komparasi Penggunaan Filler Kaca Pada Campuran HRS dan SMA Terhadap Karakteristik Marshall dan Workabilitas”. Pada penelitian ini, penggunaan serbuk kaca sebagai filler dapat memberikan nilai stabilitas yang cenderung mengalami kenaikan seiring bertambahnya kadar filler. 2.10 Aspal Material berwarna hitam atau coklat tua. Pada temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat, jika dipanaskan sampai temperatur tentu dapat menjadi lunak /cair sehingga dapat membungkus partikel agregat pada waktu pembuatan campuran aspal beton atau sampai masuk kedalam pori-pori yang ada pada penyemprotan/penyiraman pada perkerasan macadam atau pelaburan. Jika temperatur mulai turun, aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya (sifat termoplastis).
II-23
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Jenis aspal berdasarkan cara mendapatkannya : 1. Aspal Alam : •
Aspal Gunung (Rock Asphalt) Contoh : Aspal P.Buton Asbuton pada umumnya tersusun dari : ➢
30% bahan bitumen
➢
65% bahan mineral
➢
5% bahan lain
• Aspal Danau (Lake Asphalt) Contoh : Aspal Bermudez, Trinidad Aspal dari Trinidad ini, jika diurai akan didapatkan bahan-bahan dengan komposisi kurang lebih sebagai berikut : ➢ 40% bitumen ➢ 30% bahan eteris ➢ 25% bahan mineral ➢ 5% bahan organic 2. Aspal Buatan : •
Aspal Minyak Merupakan hasil dari destilasi minyak bumi
II-24
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
• Tar Merupakan hasil penyulingan batu bara dan kayu (tidak umum digunakan, peka terhadap perubahan temperature dan beracun) Sesuai dengan pembatasan masalah, maka untuk pembahasan selanjutnya hanya akan dibahas tentang aspal minyak saja. Aspal minyak bumi adalah aspal yang merupakan residu destilasi minyak bumi. Setiap minyak bumi dapat menghasilkan residu jenis asphaltic base crude oil yang mengandung banyak aspal, paraffin base crude oil yang mengandung banyak parafin, atau mixed base crude oil yang mengandung campuran aspal dengan parafin. Untuk perkerasan jalan umumnya digunakan asphaltic base crude oil. Hasil destilasi minyak bumi menghasilkan bensin, minyak tanah, dan solar yang diperoleh pada temperatur berbeda-beda, sedangkan aspal merupakan residunya. Residu aspal berbentuk padat, tetapi dapat pula berbentuk cair atau emulsi pada temperatur ruang. Jadi, jika dilihat bentuknya pada temperatur ruang, maka aspal dibedakan atas beberapa bagian, yaitu : 1. Aspal padat (Asphalt Cemen, AC) Aspal padat adalah aspal yang berbentuk padat atau semi padat pada suhu ruang dan mencair jika dipanaskan. Aspal jenis ini digunakan dalam keadaan cair dan panas yang berbentuk padat pada temperatur ruang (25-30)° C dimana untuk pemanfaatannya
dibutuhkan
pemanasan
dengan
suhu
yang
tertentu.
Pengelompokan aspal ini didasarkan atas tingkat penetrasinya. Syarat-syarat umum aspal padat adalah :
II-25
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
•
Berasal dari destilasi minyak bumi
•
Mempunyai sifat yang homogeny
•
Kadar paraffin kurang dari 2%
•
Tidak mengandung air dan tidak berbusa jika dipanaskan sampai suhu 175°C
Berdasarkan tingkat kekentalan/kekerasannya, maka aspal semen dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu : •
AC pen 40/50, yaitu AC dengan nilai penetrasi antara 40-50
•
AC pen 60/70, yaitu AC dengan nilai penetrasi antara 60-70
•
AC pen 85/100, yaitu AC dengan nilai penetrasi antara 85-100
•
AC pen 120/150, yaitu AC dengan nilai penetrasi antara 120-150
•
AC pen 200/300, yaitu AC dengan nilai penetrasi antara 200-300
Angka-angka tersebut menunjukkan tingkat kekerasan aspal, yaitu yang paling keras adalah AC 40/50 dan yang terlunak adalah AC 200/300. Angka kekerasan menunjukkan berapa dalam masuknya jarum penetrasi ke dalam contoh aspal yang diuji. Aspal dengan penetrasi rendah digunakan di daerah bercuaca panas atau lalu lintas dengan volume tinggi, sedangkan aspal dengan nilai penetrasi tinggi digunakan untuk daerah bercuaca dingin atau lalu lintas dengan volume rendah. Di Indonesia umumnya dipergunakan aspal semen dengan penetrasi 60/70. Maka dari itu, penulis akan menggunakan aspal pen 60/70 pada penelitian ini.
II-26
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.10 Persyaratan Aspal Pen 60/70 Jenis Pengujian
Metode
Persyaratan
SNI 06-2456-1991
60-79
Titik Lembek, °C
SNI 06-2434-1991
48-58
Titik nyala, °C
SNI 06-2433-1991
Min 200
Daktilitas 25°C; cm
SNI 06-2432-1991
Min 100
Berat Jenis
SNI 06-2441-1991
Min 1,0
Penetrasi, 25°C; 100 gr; 5 detik; 0,1 mm
Sumber : Departemen pekerjaan umum (2007) 2. Aspal cair (asphalt cut-back) Aspal cair yaitu aspal yang berbentuk cair pada suhu ruang. Aspal cair merupakan semen aspal yang dicairkan dengan bahan pencair dari hasil penyulingan minyak bumi seperti minyak tanah, bensin, atau solar. Berdasarkan bahan pencairnya dan kemudahan menguap bahan pelarutnya, aspal cair terbagi 3 yaitu : • Slow Curing dengan bahan pencair solar • Medium Curing dengan bahan pencair minyak tanah • Rapid Curing dengan bahan pencair bensin 3. Aspal emulsi Aspal emulsi yaitu campuran aspal (55%-65%) dengan air (35%-45%) dan bahan pengemulsi 1% sampai 2% yang dilakukan di pabrik pencampur. Jenis II-27
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
aspal ini merupakan aspal hasil pencampuran antara aspal keras, air dan bahan pengemulsi. Dimana pada suhu normal dan tekanan atmosfir berbentuk cair. Berdasarkan kecepatan pengerasannya aspal emulsi dapat dibedakan atas : • Rapid Setting (RS), aspal yang mengandung sedikit bahan pengemulsi sehingga pengikatan yang terjadi cepat • Medium Setting (MS) • Slow Setting (SS), aspal yang paling lambat menguap 2.10.1 Metode Pencampuran Aspal Metode pencampuran aspal dapat dibedakan menjadi 3 kategori yakni pencampuran panas (HMA), pencampuran hangat (WMA), dan pencampuran dingin (CMA). Metode yang paling umum digunakan saat ini adalah pencampuran panas, karena karakteristik akhir campuran yang memenuhi persyaratan perkerasan. Namun untuk beberapa alasan, pencampuran aspal panas (HMA) diaanggap memiliki dampak negatif karena kebutuhan energi yang besar dan dampak samping terhadap lingkungan. Maka, WMA dan CMA adalah cara lain pencampuran aspal yang mengizinkan proses pencampuran dengan suhu yang lebih rendah atau tanpa pemanasan sama sekali. WMA diproduksi pada suhu 100°C-140°C, sedangkan CMA diproduksi tanpa proses pemanasan sama sekali. Namun
pada karakteristik
akhir CMA sangat
rentan terhadap
proses
pencampurannya. WMA diharapkan dapat menjadi jalan tengah antara HMA dan CMA untuk mendapatkan karakteristik campuran memenuhi syarat.
II-28
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
1. Hot Mix Asphalt (HMA) Aspal Hotmix merupakan campuran agregat kasar (batu screening/batu split), agregat halus (abu batu), filler, dengan mengunakan bahan pengikat aspal dalam kondisi suhu panas tinggi dengan komposisi yang teliti dan diatur oleh spesifikasi teknis. HMA diproduksi pada suhu 160°C-140°C. 2. Warm Mix Asphalt (WMA) Campuran aspal hangat (WMA) adalah campuran perkerasan yang proses pembuatan dan penghamparannya pada suhu yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan HMA. WMA memungkinkan produksi campuran pada suhu 100°C-140°C. 3. Cold Mix Asphalt (CMA) Campuran aspal dingin adalah campuran bahan perkerasan jalan lentur yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus, filler dan bahan pengikat aspal dengan perbandingan tertentu dan dicampur dalam keadaan dingin. 2.11 Metode Uji Marshall Konsep dasar metode Marshall dalam campuran beraspal ditemukan oleh Bruce Marshall. Prinsip dasar dari metode Marshall adalah pemeriksaan stabilitas dan kelelehan, serta analisis kepadatan dan pori dari campuran padat yang terbentuk. Dalam pengujian Marshall digunakan benda uji standar dengan tinggi 2.5 inci dan diameter 4 inci yang dibuat melalui proses pemanasan, baik pada pencampuran agregat hingga pemadatannya. Benda uji dibentuk dari gradasi agregat campuran tertentu sesuai spesifikasi campuran. Metode Marshall dikembangkan untuk rancangan campuran aspal beton bergradasi baik. II-29
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Pemeriksaan uji Marshall dimaksudkan untuk menentukan stabilitas terhadap kelelehan plastis dari suatu campuran beraspal. Stabilitas adalah kemampuan suatu campuran beraspal untuk menerima beban sampai terjadi kelelehan plastis yang dinyatakan dalam satuan kilogram ataupun poun. Kelelehan palstis adalah keadaan perubahan bentuk campuran beraspal yang terjadi akibat suatu beban sampai batas runtuh yang dinyatakan dalam satuan millimeter ataupun 0.0001 inci. Dari pengujian Marshall diperoleh data-data berikut : •
Kadar aspal, dinyatakan dengan bilangan desimal satu angka dibelakang koma.
•
Berat volume, dinyatakan dengan satuan ton/m3.
•
Stabilitas, dinyatakan dengan bilangan bulat.
•
Kelelehan plastis (flow), dinyatakan dalam mm atau 0.01 inci.
•
VIM, persen rongga dalam campuran dinyatakan dengan bilangan decimal satu angka di belakang koma.
•
VMA, persen rongga dalam agregat dinyatakan dengan bilangan bulat.
•
Penyerapan aspal, persen terhadap berat campuran sehingga diperoleh gambaran berapa kadar aspal efektifnya.
•
Tebal lapisan aspal, dinyatakan dengan satuan mm.
•
Kadar aspal efektif, dinyatakan dengan bilangan desimal.
II-30
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.3 Volumetrik Campuran Beraspal (Sumber : Jurnal Sipil Statik Vol.1 No.3 (Februari 2013)) Keterangan : VMA = Volume rongga diantara mineral agregat VIM
= Volume rongga dalam campuran
VFB
= Volume rongga terisi aspal
Vmb
= Volume bulk campuran padat
Vmm = Volume agregat tanpa rongga Vb
= Volume aspal
Vba
= Volume aspal yang diserap agregat
Vsb
= Volume mineral agregat (berdasarkan berat jenis bulk)
Vse
= Volume mineral agregat (berdasarkan berat jenis efektif)
II-31
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Bab II Tinjauan Pustaka
2.12 Hipotesa Penelitian Dengan adanya penambahan serbuk kaca dan abu sekam, akan menambah daya tahan lapis perkerasan aspal terhadap kerusakan yang disebabkan oleh air dan cuaca.
II-32
http://digilib.mercubuana.ac.id/z