BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian a. Pengertian Umum Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undangundang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak (Suharnoko, 2004: 117). Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrech (Kansil, 1991: 50). “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan” (Komariah, 2008: 169). Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau tertulis. Menurut pendapat R. Subekti (1987: 9) yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut: “Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. b. Perjanjian Pengangkutan Barang Dalam perjanjian pengangkutan, prestasinya berupa berbuat, yaitu melakukan perbuatan mengangkut barangdan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Apabila tidak memenuhi prestasinya maka dinyatakan telah wanprestasi (Suwardi, 2011: 24). Perjanjian pengangkutan barang pada dasarnya sama dengan perjanjian pengangkutan lainnya. Secara umum tidak ada definisi tentang perjanjian pengangkutan dimana yang ada 15
16
hanya pendapat dari para sarjana saja. Menurut Soekardono, perjanjian pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal balik dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan dan pihak lainnya yang mengikatkan untuk membayar harga angkutan (Soekardono, 1986: 12). Sedangkan menurut Subekti, perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa barang atau orang dari satu tempat ke tempat lain dan pihak yang lain membayar ongkosnya (Subekti, 1985:69). Dalam perjanjian pengangkutan barang tidak ada keharusan harus secara tertulis tetapi dapat juga melalui lisan. Sebagaimana perjanjian-perjanjian yang lainnya, kedua belah pihak diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri segala hal mengenai pengangkutan yang diselenggarakan itu. Sedangkan surat angkutan dalam perjanjian pengangkutan barang ialah sebagai suatu bukti adanya barang yang diangkut, bukan sebagai keharusan untuk mengadakan sebuah perjanjian. Menurut Soekardono (1986: 14), bahwa menurut sistim hukum yang dewasa ini masih berlaku di Indonesia, untuk mengadakan perjanjian pengangkutan barang itu tidak disyaratkan harus secara tertulis melainkan cukup diwujudkan dengan persetujuan kehendak secara lisan saja.
2. Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan a. Pengertian Pengangkutan Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan, maupun angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan (Hasim Purba, 2005: 4). Pengangkutan didefinisikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal menuju tempat tujuannya. Selanjutnya proses pengangkutan merupakan gerakan dari tempat asal, dimana kegiatan
17
angkutan dimulai, ke tempat tujuan, dan kegiatan pengangkutan diakhiri (M.N. Nasution, 2008: 3). Karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi (Sutio Usman Adji, 1991: 11). Menurut
pendapat
dari
Abdulkadir
Muhammad
(1998:12)
ia
menjelaskan istilah pengangkutan dengan mengatakan bahwa pengangkutan meliputi 3 (tiga) dimensi pokok yaitu : 1) Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement) Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara pihak pengangkut dan pihak pengirim barang. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi kewajiban dan hak, baik pengangkut dan pengirim barang. Kewajiban pengangkut adalah mengangkut penumpang atau barang sejak tempat pemberangkatan sampai ke tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat. Sebagai imbalan, pengangkut berhak memperoleh sejumlah uang jasa atau uang sewa yang disebut biaya pengangkutan. Kewajiban pengirim barang adalah membayar sejumlah uang sebagai biaya pengangkutan dan memperoleh hak atas pengangkutan barang tersebut sampai di tempat tujuan dengan selamat. Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan berfungsi sebagai bukti sudah terjadinya perjanjian pengangkutan dan wajib dilaksanakan pihakpihak. 2) Pengangkutan sebagai proses (process) Pengangkutan sebagai proses terdiri atas serangkaian perbuatan mulai dari permuatan ke dalam alat pengangkut. Kemudian dibawa oleh pengangkut menuju tempat tujuan yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Pengangkutan sebagai proses merupakan sistem yang mempunyai unsur-unsur sistem yaitu subjek pengangkutan,
18
status pelaku pengangkutan, objek pengangkutan, peristiwa pengangkutan dan hubungan pengangkutan. 3) Pengangkutan sebagai usaha (business) Pengangkutan sebagai usaha mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) Berdasarkan Perjanjian; Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara pihak pengangkut dan pengirim barang. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi kewajiban dan hak, baik pengangkut dan pengirim barang. b) Kegiatan Ekonomi di Bidang Jasa; Kegiatan ekonomi usaha di bidang jasa adalah jasa pengangkutan dimana adanya hubungan timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak pengirim barang. Kewajiban pengangkut sebagai penjual jasa adalah
mengangkut
penumpang
atau
barang
sejak
tempat
pemberangkatan sampai ke tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat. Sebagai imbalan pengangkut berhak memperoleh sejumlah uang jasa atau uang sewa yang disebut biaya pengangkutan. Kewajiban pengirim barang sebagai pengguna jasa adalah membayar sejumlah uang sebagai biaya pengangkutan dan memperoleh hak atas pengangkutan barang yang dikirimkan sampai di tempat tujuan dengan selamat. c) Berbentuk Perusahaan; Kegiatan usaha tersebut selalu dalam bentuk perusahaan perseorangan, persekutuan atau badan hukum, karena menjalankan perusahaan usaha jasa pengangkutan yang bertujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba. d) Menggunakan Alat Pengangkutan Mekanik/Mesin; Pengangkutan sebagai usaha adalah kegiatan usaha di bidang jasa pengangkutan yang menggunakan alat pengangkut mekanik.
19
b. Asas-Asas Hukum Pengangkutan Asas-asas hukum pengangkutan terbagi ke dalam 2 (dua) jenis (Abdulkadir Muhammad, 1998: 16) yaitu; 1) Bersifat publik Asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang berlaku dan berguna bagi semua pihak, yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah. Asas-asas yang bersifat publik biasanya terdapat di dalam penjelasan undang-undang yang mengatur tentang pengangkutan. Menurut Abdulkadir Muhammad (1998: 16-17) asas hukum pengangkutan yang bersifat publik, yaitu sebagai berikut: a) Asas Manfaat; Pengangkutan barang harus dapat memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan tingkat kehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara; b) Asas usaha bersama dan kekeluargaan; Penyelenggaraan usaha pengangkutan barang dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan; c) Asas adil dan merata; Penyelenggaraan pengangkutan barang harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat; d) Asas keseimbangan; Pengangkutan barang harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara
20
kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional; e) Asas kepentingan umum; Penyelenggaraan
pengangkutan
barang
harus
mengutamakan
kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas; f) Asas keterpaduan; Pengangkutan barang harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, dan saling menunjang; g) Asas kesadaran hukum; Mewajibkan kepada pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum; h) Asas percaya pada diri sendiri Pengangkutan barang harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri,
serta
bersendikan kepada
kepribadian bangsa; i) Asas keselamatan Setiap penyelenggaraan pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan.
2) Asas Hukum Pengangkutan Bersifat Perdata Asas-asas hukum pengangkutan yang bersifat perdata merupakan landasan hukum pengangkutan yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak dalam pengangkutan, yaitu pengangkut dan penumpang atau pengguna layanan pos barang. Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad (1998: 1819), asas hukum pengangkutan bersifat perdata terdiri dari: a) Asas konsensual; Perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup
dengan
kesepakatan
pihak-pihak.
Akan
tetapi,
untuk
21
menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan dengan atau didukung dengan dokumen pengangkutan; b) Asas koordinatif; Pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain meskipun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang atau pengirim barang, pengangkut bukan bawahan penumpang atau pengirim barang. Pengangkut merupakan salah satu bentuk pemberian kuasa; c) Asas campuran; Pengangkutan merupakan campuran dari 3 (tiga) jenis perjanjian yakni, pemberian kuasa, penyimpanan barang dan melakukan pekerjaan dari pengirim barang kepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan; d) Asas pembuktian dengan dokumen; Setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan, tidak ada dokumen pengangkutan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku umum.
c. Fungsi Pengangkutan Fungsi pengangkutan ialah untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai (HMN. Purwosutjipto, 1995: 1). Jadi dengan pengangkutan maka dapat diadakan perpindahan barang-barang dari suatu tempat ke tempat lain dimana kegiatan pengangkutan itu mempunyai fungsi bukan hanya dalam kegiatan perdagangan saja, tetapi juga mendukung di segala bidang kehidupan masyarakat.
22
Perpindahan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain yang diselenggarakan dengan pengangkutan tersebut harus dilakukan dengan memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan, yaitu harus diselenggarakan dengan aman, selamat, cepat, tidak ada perubahan bentuk tempat dan waktunya. Menurut Sri Rejeki Hartono (1980: 8) bahwa pada dasarnya pengangkutan mempunyai 2 (dua) nilai kegunaan yaitu: 1) Kegunaan tempat (place utility) Setelah adanya pengangkutan telah terjadi perpindahan barang atau orang dari suatu tempat, dimana barang atau orang yang sebelumnya dirasakan kurang bermanfaat berpindah ke tempat lain yang menyebabkan barang atau orang tadi menjadi lebih bermanfaat. 2) Kegunaan waktu (time utility) Setelah adanya pengangkutan telah dapat dimungkinkan terjadinya suatu perpindahan suatu barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dimana barang itu lebih diperlukan tepat pada waktunya.
d. Jenis Pengangkutan dan Pengaturannya Menurut pendapat HMN. Poerwosutjipto (2000; 54) jenis pengangkutan dibagi menjadi 3 (tiga) antara lain: 1) Pengangkutan darat yang diatur dalam: (a) KUHD, Buku I, Bab V, Bagian 2 dan 3, mulai Pasal 90-98; (b) Peraturan khusus lainnya, antara lain; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. 2) Pengangkutan laut (a) KUHD, Buku II, Bab V tentang Perjanjian Carter Kapal; (b) KUHD, Buku II, Bab V A tentang Pengangkutan Barang-Barang; (c) KUHD, Buku II, Bab V B tentang Pengangkutan Orang; (d) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
23
(e) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di perairan; Keputusan Menteri Nomor 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan laut. 3) Pengangkutan udara (a) Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) tahun 1939; (b) Konvensi Warsawa Tahun 1929; (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; (d) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
3. Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Barang a. Pengertian Pengangkutan Barang Dalam KUHD tidak ada definisi yang menjelaskan tentang barang, tetapi didalam ensiklopedi ekonomi, barang adalah suatu jumlah komoditi atau produk yang akan memenuhi suatu kendaraan muatan atau kereta atau jumlah yang cukup banyak untuk diperlakukan seakan-akan sudah memenuhi suatu kendaraan. Pengangkutan barang pada hakikatnya adalah menyewakan alat pengangkut kepada penumpang dan/atau pengguna layanan pos barang, baik dijalankan sendiri ataupun dijalankan orang lain (Abdulkadir Muhammad, 1998: 13).
b. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang Dalam pengangkutan terutama mengenai pengangkutan barang, maka perlu diperhatikan tiga unsur yaitu : pihak pengguna layanan pos barang, pihak penerima barang dan barangnya itu sendiri (Wiwoho Soedjiono,1982: 34). Sementara itu Abdulkadir Muhammad (2008: 45) menjelaskan, pihakpihak dalam perjanjian pengangkutan niaga adalah mereka yang langsung terkait memenuhi kewajiban dan memperoleh hak dalam perjanjian
24
pengangkutan niaga. Dalam perjanjian pengangkutan pengangkutan barang para pihak terkait terdiri dari (Hasim Purba, 2005: 12-13) : 1) Pihak
pengangkut
(penyedia
jasa
angkutan),
yakni
pihak
yang
berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan, barang dan berhak atas penerimaan pembayaran tarif angkutan sesuai yang telah diperjanjikan; 2) Pihak pengirim (pengguna jasa angkutan), yakni pihak yang berkewajiban untuk membayar tarif (ongkos) angkutan sesuai yang telah disepakati dan berhak untuk memperoleh pelayanan jasa angkutan atas barang barang yang dikirimnya; 3) Pihak penerima (pengguna jasa angkutan), yakni sama dengan pihak pengirim dalam hal pihak pengirim dan penerima adalah merupakan subjek yang berbeda. Namun adakalanya pihak pengguna layanan pos barang juga adalah sebagai pihak yang menerima barang yang diangkut ditempat tujuan.
c. Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Hak dan kewajiban timbul karena adanya peristiwa hukum yang berupa perbuatan, kejadian, atau keadaan. Hubungan hak dan kewajiban timbal balik antara pengangkut dan penumpang atau pengguna layanan pos terjadi karena perbuatan, kejadian, atau keadaan dalam proses pengangkutan. Menurut H.M.N Purwosutjipto (1995: 33-34), kewajiban-kewajiban dari pihak pengangkut adalah sebagai berikut: 1) Menyediakan
alat
pengangkut
yang
akan
digunakan
untuk
menyelenggarakan pengangkutan. 2) Menjaga keselamatan orang (penumpang) dan/ atau barang yang diangkutnya. Dengan demikian maka sejak pengangkut menguasai orang (penumpang) dan/ atau barang yang akan diangkut, maka sejak saat itulah pihak pengangkut mulai bertanggung jawab (Pasal 1235 KUHPerdata). 3) Kewajiban yang disebutkan dalam Pasal 470 KUHD yang meliputi:
25
(a) Mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat pengangkutnya; (b) Mengusahakan kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan; (c) Memperlakukan dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan yang diangkut. 4) Menyerahkan muatan ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengangkut, antara lain ( HMN Purwosutjipto,1995: 34) : (a) Pihak pengangkut berhak menerima biaya pengangkutan. (b) Pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam dan harga barang yang akan diangkut, yang disebutkan dalam Pasal 469, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD. (c) Penyerahan surat-surat yang diperlukan dalam rangka mengangkut barang yang diserahkan oleh pengguna layanan pos kepada pengangkut berdasarkan Pasal 478 ayat (1) KUHD. Kewajiban utama pihak pengirim dalam perjanjian pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan (Pasal 491 KUHD), selain itu pihak pengirim berkewajiban untuk memberitahukan tentang sifat, macam, dan harga barang yang akan diangkut (Pasal 469, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD), menyerahkan surat-surat yang diperlukan untuk pengangkutan barang tersebut (Pasal 478 ayat (1) KUHD). Hak yang dimiliki oleh pengirim barang antara lain menerima barang dengan selamat di tempat yang dituju, menerima barang pada saat yang sesuai dengan yang ditunjuk oleh perjanjian pengangkutan, dan
berhak
atas
Purwosutjipto,1995: 34).
pelayanan
pengangkutan
barangnya
(HMN
26
d. Tanggung Jawab Pengangkut Hak dan kewajiban pihak-pihak dalam pengangkutan barang erat sekali kaitannya dengan tanggung jawab pengangkut. Hukum pengangkutan terdapat 3 (tiga) macam prinsip atau teori mengenai tanggung jawab yang dikenal (Martono dan Amad Sudiro, 2010: 217) yaitu: a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle), menurut prinsip ini dinyatakan bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan membayar ganti rugi atas segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya itu. Menurut prinsip ini, beban pembuktian diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan kepada pengangkut (Pasal 1235 KUHPerdata, dan Pasal 1365 KUHPerdata). Tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) harus memenuhi unsur-unsur ada kesalahan, ada kerugian, yang membuktikan adalah pihak yang menderita kerugian tersebut. Kedudukan tergugat dengan penggugat sama tingginya dalam arti saling dapat membuktikan, bilamana terbukti ada kesalahan maka jumlah ganti kerugian tidak terbatas (unlimited liability) yang diderita oleh penumpang dan/ atau pengirim barang dalam arti berapapun kerugian yang diderita oleh pengirim barang harus dibayar penuh oleh perusahaan pengangkutan barang, kecuali atas dasar kesepakatan kedua belah pihak dan sebaliknya apabila tidak ada kesalahan atau tidak ada kerugian maka pihak perusahaan pengangkutan barang tidak akan membayar ganti kerugian yang diderita oleh pengirim barang. Para pihak baik pengirim barang atau perusahaan pengangkutan barang saling membuktikan satu terhadap yang lain. Dalam perkembangannya, tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan dapat diterapkan mengingat kedudukan dengan pengirim barang setara atau seimbang.
27
b. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga bersalah (presumption of liability), menurut prinsip ini dinyatakan bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Apabila pihak pengangkut dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka ia dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi tersebut. Maksud dari tidak bersalah ialah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang tidak mungkin dapat dihindari. c. Prinsip tanggung jawab tanpa bersalah (liability without fault) atau tanggung jawab mutlak (absolute liability), menurut prinsip tanggung jawab ini perusahaan bertanggung jawab mutlak terhadap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip tanggung jawab ini menitikberatkan pada penyebabnya bukan kesalahannya.
4. Tinjauan Umum Tentang Pos a. Pengertian Pos Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos, Pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum. PT. Pos Indonesia Persero adalah perusahaan milik Negara dalam bidang jasa (pos, keuangan, logistik, dan e-bisnis) dengan jangkauan operasi hampir di seluruh tanah air. Seiring perkembangan teknologi informasi PT Pos Indonesia kini tak hanya berkutat pada jasa pengiriman surat, dan uang namun memperluas usahanya dengan jasa layanan lain, salah satunya adalah jasa pengiriman barang. Terdapat 4 (empat) jenis dalam jasa pengiriman barang oleh PT. Pos Indonesia, yakni:
28
1) Paket Pos Standar Dalam Negeri Layanan hemat untuk pengiriman barang dalam negeri. 2) Paket Pos Standar Luar Negeri Layanan hemat untuk pengiriman barang luar negeri. 3) Paket Pos Kilat Khusus Layanan prioritas pengiriman barang untuk kota tujuan tertentu di Indonesia. Garansi waktu tempuh kiriman dan ganti rugi jika terjadi keterlambatan. 4) Paket Pos Perlakuan Khusus Layanan pengiriman barang dengan perlakuan khusus tersebut, dapat disesuaikan dengan permintaan pelanggan seperti permintaan : Berita Terima, Reporting, Track and Trace, Pick Up Service, Inserting dan Pra Posting. (http://www.posindonesia.co.id/index.php/produk diakses pada Selasa 10 November 2015 pukul 20.06 wib).
b. Tujuan Pos Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos, Pos diselenggarakan dengan tujuan untuk: 1) Meningkatkan dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
serta
meningkatkan
hubungan
antarbangsa dan antarnegara; 2) Membuka peluang usaha, memperlancar perekonomian nasional, dan mendukung kegiatan pemerintahan; 3) Menjamin kualitas layanan komunikasi tertulis dan surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos; dan 4) Menjamin terselenggaranya layanan pos yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
29
c. Hak dan Kewajiban Penyelenggara Pos Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Izin Penyelenggaraan Pos yang terdapat dalam Pasal 18 dijelaskan bahwa hak penyelenggara pos adalah: 1) Melakukan penyelenggaraan pos dengan memungut biaya; 2) Menetapkan syarat-syarat dan tata cara yang harus dipenuhi oleh pemakai jasa
sepanjang
tidak
bertentangan
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan, yang memuat: hak dan kewajiban; dan/atau tata cara tuntutan ganti rugi, resiko dan larangan-larangan serta hal-hal lain yang dianggap perlu. 3) Menyelenggarakan layanan pos dari dan ke luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Izin Penyelenggaraan Pos yang terdapat dalam dijelaskan bahwa hak penyelenggara pos adalah, kewajiban penyelenggara pos adalah sebagai berikut: (1) Penyelenggara Pos wajib: a. Melakukan penyelenggaraan pos paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberikan izin penyelenggaraan pos; b. Menempatkan surat izin penyelenggaraan pos, daftar tarif, syaratsyarat kiriman, dan Standar Operasional Prosedur (SOP) masingmasing layanan pada tempat yang mudah dilihat oleh pengguna jasa; c. Membayar ganti rugi kepada pengirim atas hilangnya, rusaknya sebagian, dan/atau rusaknya seluruh isi kiriman, yang dikirim sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan;
30
d. Memberikan tanda bukti kiriman kepada pengguna jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. Melaporkan kepada yang berwajib apabila mengetahui dan/atau menduga ada barang kiriman yang berisi benda-benda yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. Menyampaikan laporan kegiatan operasional setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Gubernur dan Bupati/ Walikota sesuai cakupan wilayah operasionalnya; g. Melaporkan setiap kali terjadi perubahan akta pendirian atau susunan pemegang saham dan/atau besaran kepemilikan saham, perubahan anggaran
dasar,
perubahan
alamat,
penggantian
penanggung
jawab/pimpinan penyelenggara paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah terjadinya perubahan tersebut kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Pemerintah Daerah. h. Melaporkan perluasan wilayah usahanya kepada Direktur Jenderal dan Pemerintah Daerah. (2) Laporan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, memuat paling sedikit: a. jenis layanan; b. jumlah produksi; c. tarif layanan; d. pencapaian terhadap standar layanan; e. analisis/laporan keuangan; f. wilayah operasi; dan g. jumlah sumber daya manusia. (3) Melaksanakan kegiatan sesuai Standar Pelayanan yang diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri. (4) Laporan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
31
B. Kerangka Pemikiran PT. Pos Indonesia Cabang Surakarta
Pengirim Barang
Perjanjian Pengangkutan Barang
Terjadi Kehilangan Barang / Rusak
Tanggungjawab dan Penyelesaiannya
Ligitasi
Non Litigasi
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Keterangan: Berdasarkan alur tersebut dapat menjelaskan peranan PT. Pos Indonesia sebagai salah satu penyedia jasa yang bergerak di bidang perusahaan ekspedisi khususnya pengangkutan barang adalah sangat besar, berdasarkan hal tersebut maka perlu sekali adanya sinergi antara pengguna layanan pos selaku pengguna jasa dengan pihak kantor pos selaku penyedia jasa pengangkutan barang dapat
32
benar-benar
dirasakan
manfaatnya
oleh
masyarakat
Indonesia
yang
memanfaatkan jasa pengangkutan barang melalui PT. Pos Indonesia Cabang Surakarta. Sesuai peranannya PT. Pos Indonesia Cabang Surakarta mampunyai tanggung jawab yang besar terhadap keselamatan dan keamanan barang yang menjadi obyek pengangkutan. Semakin majunya perkembangan perusahaan ekspedisi pengangkutan barang maka perlu diimbangi dengan peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan pembinaan dan penyelenggaraan pengangkutan barang khususnya oleh PT. Pos Indonesia yang sesuai dengan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia serta agar lebih berhasil guna dan berdaya guna, maka diterbitkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos. Adanya hubungan timbal balik antara pihak pengguna layanan pos dalam hal ini pengguna jasa kantor pos dengan pengangkut dalam hal ini ialah kantor pos, seharusnya mampu menempatkan kesetaraan kedudukan kedua belah pihak. Oleh sebab itu perlu pengetahuan hukum tentang bagaimana bentuk pertanggung jawaban pihak pengangkut dalam hal ini ialah PT. Pos Indonesia dan juga bagaimana upaya hukum apabila barang milik pengguna layanan pos didapati hilang dan atau rusak. Khususnya bagi pengguna layanan pos agar mendapat apa yang menjadi haknya dan juga pihak pengangkut menjalankan kewajibannya yaitu bertanggung jawab apabila pengguna layanan pos mengalami kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pihak pengangkut mendapat ganti kerugian yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mengangkat permasalahan tersebut untuk mengetahui dan memahami tentang tanggung jawab atas kehilangan dan/atau kerusakan barang-barang pengguna layanan pos selaku pengguna jasa pengangkutan barang khususnya di PT. Pos Indonesia Cabang Surakarta.