BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1.
Pemilihan Kepala Daerah Menurut I Gde Pantja Astawa (2008 : 21), otonomi daerah sangat erat kaitanya dengan demokrasi. Konsekuensinya, harus ada tata cara dan mekanisme pengisian jabatan-jabatan secara demokratis, terutama pada jabatan-jabatan politik di tingkat daerah utamanya kepala daerah. Dalam prespektif desentralisasi dan demokrasi prosedural, sistem pemilihan kepala daerah merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di aras lokal. Setidaknya sistem pemilihan kepala daerah memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem rekrutmen politik yang ditawarkan oleh model sentralistik (Suharizal, 2012 : 7). Colin Rallings dan Michael Thrasher (2003 : 9) lebih jauh menilai bahwa pemilihan umum ditingkat lokal menjadi sebuah indikator penting bagi berlangsunya pemerintahan daerah. Dalam bukunya Local Elections in Britain dijelaskan bahwa: “Local elections provide us with important indicators about the state of local goverment. Concerns about the health of local democracy can be adressed by comparing past and present levels of voter participation, the extent of competition and contestation for council seats, the role of non-party, minor and fringe party candidates, and other related issues”. Pemilihan kepala daerah bukan lagi merupakan rezim dari pemilihan umum, meskipun begitu pemilihan kepala daerah tetap menerapkan asas-asas pemilihan umum yaitu asas langsung, umum, bebas, dan rahasia; jujur dan adil. Hal tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUUXII/2013,
bahwa pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota yang
dilaksanakan secara demokratis berada dalam Bab VI Pemerintahan Daerah
bukan dalam bab VII B Pemilihan Umum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu pendapat hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUU-XII/2013 tersebut, menyatakan bahwa: “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota merupakan pemilihan kepala daerah langsung yang tidak termasuk dalam kategori Pemilihan Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Namun demikian pemilihan kepala daerah langsung adalah “Pemilihan Umum” secara materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945” Pengertian pemilihan kepala daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Propinsi dan Kabupaten / Kota berdasarkan
Pancasila
dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah yang meliputi Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Dinyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah selanjutnya disebut pasangan calon adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi persyaratan. Ketentuan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang menyatakan bahwa Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan kepala daerah adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di
Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat. Jika dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (5) tersebut maka pemilihan kepala daerah menjadi wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang tentu saja merubah rezim pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi tidak langsung. Pemilihan kepala daerah
secara tidak
langsung
yang dirasa tidak
menjamin prinsip demokratis sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka diubahlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota melalui beberapa kali perubahan yang pada akhirnya menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan Kepala Daerah adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis. Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, maka pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan melakukan perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dijalankan. Demokrasi langsung melalui pemilihan kepala daerah akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekrutmen calon ditangan segelintir orang di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Suharizal, 2012 : 38).
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung merupakan
instrumen
yang
sangat
penting
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan daerah dengan model otonomi daerah berdasarkan prinsip demokrasi, karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentukan kebijakan kenegaraan. Hal tersebut mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan negara ada pada rakyat. Melalui pemilihan kepala daerah, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan menjadi wakil dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah negara (Suharizal, 2012 : 40). Pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi sebuah perjalanan sejarah baru dalam dinamika kehidupan berbangsa di Indonesia. Perubahan sistem pemilihan mulai dari pemilihan legislatif, presiden,
dan
kepemimpinan
kepala yang
dekat
daerah dan
presiden
diharapkan mampu menjadi
dan
wakil
melahirkan
idaman seluruh
lapisan
masyarakat. Minimal secara moral dan ikatan dan pertanggungjawaban kepada konstituen pemilihnya yang notabene adalah masyarakat yang dipimpinnya. Seperti yang diungkap Abdul Asri (dalam Harahap 2005 : 122), mengatakan bahwa : “Pemilihan kepala daerah langsung merupakan tonggak demokrasi terpenting di daerah, tidak hanya terbatas pada mekanisme pemilihannya yang lebih demokratis dan berbeda dengan sebelumnya tetapi merupakan ajang pembelajaran politik terbaik dan perwujudan dari kedaulatan rakyat. Melalui pilkada langsung rakyat semakin berdaulat, dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya dimana kepala daerah ditentukan oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sekarang seluruh rakyat yang mempunyai hak pilih dan dapat menggunakan hak suaranya secara langsung dan terbuka untuk memilih kepala daerahnya sendiri. Inilah esensi dari demokrasi dimana kedaulatan ada sepenuhnya ada ditangan rakyat, sehingga berbagi distorsi demokrasi dapat ditekan seminimal mungkin.”
Lebih lanjut lagi dijelaskan oleh Ma’ruf (dalam Mubarok, 2005 : 5), ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia yaitu : “Pertama, Pemilihan kepala daerah langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat bahkan Kepala Desa selama ini telah dilakukan secara langsung; Kedua, Pemilihan kepala daerah langsung merupakan perwujudan konstitusi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seperti yang diamandemen pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah, Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah; Ketiga, pemilihan kepala daerah langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (Civil education); Keempat, pemilihan kepala daerah langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal, maka komitmen dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kepentingan dan aspirasi maysarakat; dan Kelima, pemilihan umum kepala daerah langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional.” Melalui pemilihan kepala daerah, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan arah masa depan daerah otonom. Seperti yang pernah dikatakan George Sorensen bahwa demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat (2003 : 38). Inti dari demokrasi politik adalah kompetensi, partisipasi, serta kebebasan sipil politik . Karena itu, konsepsi demokrasi harus mendapatkan atribut tambahan dari waktu ke waktu seperti “welfare democracy,
people’s
democracy,
participatory
democracy, social
democracy” (Titik Triwulan, 2006 : 220). Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses
politik
bangsa
menuju
kehidupan
yang
lebih
demokratik
(kedaulatan rakyat), transparan, dan bertanggungjawab. Selain itu, pemilihan kepala daerah menandakan
dan
wakil
kepala
daerah
secara
langsung
tersebut
adanya perubahan dalam demokratisasi lokal, yakni tidak
sekedar distribusi kekuasaan antar tingkat pemerintahan secara vertikal (Suharizal, 2012 : 39). 2.
Calon Kepala Daerah Pengertian kepala daerah bertumpu pada pengertian yang diberikan secara yuridis dalam hubungannya dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota yang dipilih secara demokratis. Selain itu UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah selaku aturan yang melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) diatas, dalam Pasal 59 ayat (1) menyatakan setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah yang disebut kepala daerah. Di samping itu, Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa kepala daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota disebut Walikota. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota atau selanjutnya disebut Calon Kepala Daerah adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; d. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; e. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; h. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian; i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi; j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; l. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi; m. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota; n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota;
o. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota; p. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota; q. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana; r. memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
bagi
anggota
Dewan
Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; s. mengundurkan diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon; dan t. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon. Berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, peserta pemilihan kepala daerah adalah: a. pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik; dan b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) hingga ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah dengan syarat-syarat sebagai berikut : a. partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan; b. dalam hal partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, jika hasil bagi jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas; c. dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah, ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan d. partai Politik atau gabungan Partai Politik hanya dapat mengusulkan 1 (satu) pasangan calon, dan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh PartaiPolitik atau gabungan Partai Politik lainnya. Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang, calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen); b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen); c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen); dan d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); Berdasarkan Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang, calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen); b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen); c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen); d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e. jumlah dukungan tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud. Berdasarkan Pasal 42 ayat (1) hingga ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, alur pendaftaran calon kepala daerah adalah sebagai berikut: a. pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didaftarkan ke KPU Provinsi oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan; b. pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota didaftarkan ke KPU Kabupaten/Kota oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan; c. calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota harus memenuhi persyaratan; d. pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat Provinsi disertai Surat Keputusan Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi; e. pendaftaran pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat kabupaten/kota disertai Surat Keputusan Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi; dan
f. pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota oleh gabungan Partai Politik ditandatangani oleh para ketua Partai Politik dan para sekretaris Partai Politik di tingkat Provinsi atau para ketua Partai Politik dan para sekretaris Partai Politik di tingkat kabupaten/kota disertai Surat Keputusan masing-masing Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat provinsi dan/atau Pengurus Parpol tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, masa pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang, pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota disertai dengan penyampaian kelengkapan dokumen persyaratan sebagai berikut: a. surat pernyataan, yang dibuat dan ditandatangani oleh calon sendiri, sebagai bukti pemenuhan syarat calon;
b. surat keterangan hasil pemeriksaan kemampuan secara rohani dan jasmani dari tim dokter yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, sebagai bukti pemenuhan syarat calon; c. surat tanda terima laporan kekayaan calon dari instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara, sebagai bukti pemenuhan syarat calon; d. surat keterangan tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan
dan/atau
tanggungjawabnya
secara
yang
badan
merugikan
hukum
yang
keuangan
menjadi
negara,
dari
Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon; e. surat keterangan tidak dinyatakan pailit dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon; f. surat keterangan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon; g. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama calon, tanda terima
penyampaian
Surat
Pemberitahuan
Tahunan
Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atas nama calon, untuk masa 5 (lima) tahun terakhir, dan tanda bukti tidak mempunyai tunggakan pajak dari Kantor Pelayanan Pajak tempat calon yang bersangkutan terdaftar; h. daftar riwayat hidup calon yang dibuat dan ditandatangani oleh calon perseorangan dan bagi calon yang diusulkan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik ditandatangani oleh calon, pimpinan Partai Politik atau pimpinan gabungan Partai Politik; i. fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik dengan Nomor Induk Kependudukan; j. fotokopi ijazah yang telah dilegalisir oleh pihak yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat calon;
k. surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon; l. pas foto terbaru Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; dan m. naskah visi dan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang, apabila dokumen persyaratan telah terkumpul, maka yang dilakukan selanjutnya adalah: a. komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten/kota meneliti kelengkapan persyaratan administrasi pasangan kepala daerah dan dapat melakukan klarifikasi kepada instansi yang berwenang jika diperlukan, dan menerima masukan dari masyarakat terhadap keabsahan persyaratan pasangan; b. penelitian persyaratan administrasi paling lama 7 (tujuh) hari sejak penutupan pendaftaran pasangan kepala daerah; c. hasil penelitian diberitahukan secara tertulis kepada Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau pasangan calon perseorangan paling lambat 2 (dua) hari setelah penelitian selesai; d. apabila hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat, Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau pasangan calon perseorangan diberi
kesempatan
untuk
melengkapi
dan/atau
memperbaiki
persyaratan
pencalonan
paling
lama
3
(tiga)
hari
sejak
pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi maupun Kabupaten/Kota; e. dalam hal pasangan kepala daerah yang diajukan Partai Politik atau gabungan Partai Politik berhalangan tetap sampai dengan tahap penelitian kelengkapan persyaratan, Partai Politik atau gabungan Partai Politik diberi kesempatan untuk mengajukan pasangan kepala daerah pengganti paling lama 3 (tiga) hari sejak pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU Provinsi diterima; f. komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota melakukan penelitian kelengkapan dan/atau perbaikan persyaratan pasangan calon kepala daerah dan memberitahukan hasil penelitian kepada pimpinan Partai Politik atau pimpinan gabungan Partai Politik paling lama 7 (tujuh) hari sejak kelengkapan persyaratan; g. dalam hal hasil penelitian menetapkan calon yang diajukan tidak memenuhi syarat, Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak dapat mengajukan pasangan Calon kepala daerah pengganti; h. dalam hal hasil penelitian menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari; i. komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan; j. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian persyaratan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang-Undang, Komisi Pemilihan Umum Provinsi menuangkan hasil penelitian syarat administrasi dan penetapan pasangan calon dalam berita acara penetapan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur. Melalui Berita Acara Penetapan tersebut, Komisi Pemilihan Umum Provinsi menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi. Sedangkan berdasarkan Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Komisi Pemilihan Umum Daerah menuangkan hasil penelitian syarat administrasi dan penetapan pasangan calon dalam berita acara penetapan pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Melalui berita acara penetapan tersebut, Komisi Pemilihan Umum Provinsi menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah. Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, pasangan calon yang berhalangan tetap sejak penetapan pasangan calon sampai pada saat dimulainya hari kampanye, partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap dapat mengusulkan pasangan calon pengganti paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak pasangan calon berhalangan tetap. Sementara itu, apabila pasangan berhalangan tetap sejak penetapan pasangan calon sampai pada saat dimulainya hari kampanye sehingga jumlah pasangan calon kurang dari 2 (dua) orang, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Uumum Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran pengajuan pasangan calon paling lama 7 (tujuh) hari. Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur. Selanjutnya,
apabila pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara pasangan calon kurang dari 2 (dua) orang, tahapan pelaksanaan pemilihan ditunda paling lama 14 (empat belas) hari. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian persyaratan pasangan calon kepala daerah diatur dalam Pasal 89 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernu dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota yang menjelaskan sebagai berikut: a. dalam hal berdasarkan hasil penelitian perbaikan persyaratan pencalonan dan persyaratan calon tidak ada atau hanya 1 (satu) Pasangan Calon yang memenuhi persyaratan, Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran Pasangan Calon paling lama 3 (tiga)hari; b. pasangan Calon yang telah ditolak atau telah dinyatakan tidak memenuhi persyaratan tidak dapat diusulkan dalam pendaftaran; c. dalam hal sampai dengan berakhirnya pembukaan kembali masa pendaftaran hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon atau tidak ada Pasangan Calon yang mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan Pemilihan diselenggarakan pada Pemilihan serentak berikutnya. 3.
Mahkamah Konstitusi Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide Constitutional Court dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
hasil perubahan ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20 (www.mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada tanggal 12 Februari 2016 pukul 18.30 WIB). Setelah disahkan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Perubahan Keempat. Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu juga (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Pembentukan Mahkamah Konstitusi disepakati pada Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berawal dari proses perubahan politik kekuasaan yang otoriter menuju demokratis yang keberadaan Mahkamah Konstitusi lebih untuk menyelesaikan konflik antar lembaga negara karena dalam proses perubahan negara yang demokratis tidak bisa dihindari munculnya pertentangan antar lemabga negara. Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi juga terbentuk dengan latar belakang antara lain adanya: a.
impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid;
b.
beralihnya paradigma dari supremasi MPR ke supremasi konstitusi (checks and balances system);
c.
konsekuensi dari demokrasi yang menganut rule of law dan rule of law yang demokratis; dan
d.
adanya potensi konflik konstitusional yang tidak tepat bila diselesaikan oleh peradilan yang ada (Ni’matul Huda, 2003 : 223).
Secara teoritis, kebutuhan adanya lembaga Mahkamah Konsitusi merupakan tren yang berkembang di negara-negara yang mengalami transisi demokrasi. Pelembagaan Mahkamah Konstitusi lahir di atas spirit konstitusionalisme sebagai dasar dari era politik yang baru, yang merupakan negasi terhadap pengabaian konstitusi pada era otoritarian sebelumnya. Lembaga ini akan berperan sebagai pengawal konstitusi (the guardians of constitution) (Janedjri M. Gaffar, 2013 : 28). Dalam konteks Indonesia, kehadiran Mahkamah Konsitusi merupakan reaksi, koreksi dan reformasi terhadap praktek politik yang diterapkan orde baru selama 32 tahun kekuasaannya, yang hanya menempatkan Undang-Undang Dasar sebagai alat kekuasaannya dan orde baru memiliki kekuasaan mutlak untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar
sesuai kepentingan kekuasaannya. Kehadiran
Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari upaya bangsa ini untuk mengembalikan sebuah republik konstitusional, bukan republik yang diatur berdasarkan kehendak politik rejim yang berkuasa (Mahfud MD, 2010 : 118119). Indonesia adalah negara ke-78 yang menempuh jalan membentuk Mahkamah Konstitusi, sejak lembaga seperti ini terbentuk pertama kali di Austria pada tahun 1920. Sebanyak sembilan hakim konstitusi ditunjuk guna menjalankan fungsi strategis mahkamah penjaga konstitusi ini. Dalam posisinya sebagai penengah, para hakim datang dari tiga pilar tradisional demokrasi: tiga hakim Mahkamah Konstitusi diusulkan oleh lembaga Mahkamah Agung selaku lembaga yudikatif, tiga hakim diusulkan oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan tiga hakim diusulkan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemegang kekuasaan legislatif. Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard)
konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir akhir konstitusi (Maruarar Siahaan, 2006 : 9). Di berbagai negara, Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung (protector) konstitusi. Sejak diinkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya (Maruarar Siahaan, 2006 : 11). Tetapi dalam penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sebagai berikut: ”Salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi” Jimly
Asshiddiqie
mengatakan
bahwa
dalam
konteks
ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksiskan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat,
Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan
menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab (Maruar Siahaan, 2011 : 8). Untuk mengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menangani perkara-perkara konstitusi / ketatanegaraan tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai berikut : a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan penjelasan sebagai berikut :
1) subyek Hukum yang dapat menjadi pemohon adalah i) perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang memiliki kepentingan sama; ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; iii) badan hukum publik atau privat; dan iv) lembaga negara, yang menganggap hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, yaitu hak/kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Abdul Mukhtie 2006 : 121); 2) obyek permohonan adalah konstitusionalitas sebuah undangundang yang meliputi pengujian secara formil, yaitu pengujian mengenai apakah pembentukan dan bentuk undang-undang sesuai atau tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan pengujian secara materiil, yaitu pengujian mengenai apakah materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Abdul Mukhtie 2006 : 121); dan 3) dalam kurun waktu dua tahun usia Mahkamah Konstitusi telah dilakukan pengujian tidak kurang dari 65 undang-undang, dengan putusan ada yang dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, tidak diterima, dan ada yang ditolak (Abdul Mukhtie 2006 : 121). b. memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dengan penjelasan sebagai berikut : 1) pemohon adalah lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sedangkan termohon adalah lembaga negara yang mengambil kewenangan lembaga negara lainya (Abdul Mukhtie 2006 : 122);
2) obyek sengketa adalah kewenangan yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Abdul Mukhtie 2006 : 122); dan 3) dalam kurun waktu dua tahun usia Mahkamah Konstitusi baru ada satu perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi, yaitu permohonan dari Dewan Perwakilan Daerah yang terkait dengan pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Abdul Mukhtie 2006 : 121). c. memutus pembubaran partai politik, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) pemohon adalah pemerintah, sedangkan termohon adalah partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan (Abdul Mukhtie 2006 : 122); 2) alasan pembubaran adalah ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Abdul Mukhtie 2006 : 122); dan 3) jika permohonan dikabulkan, partai politik yang bersangkutan dibatalkan pendaftaranya sebagai badan hukum pada pemerintah (Abdul Mukhtie 2006 : 122). d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) pemohon adalah perorangan peserta pemilu Dewan Perwakilan Daerah,
Partai
Politik
peserta
pemilu,
dan
Pasangan
Capres/Cawapres peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden; sedangkan termohon adalah Komisi Pemilihan Umum (Abdul Mukhtie 2006 : 122); dan 2) obyek perselisihan adalah Penetapan Hasil Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (Abdul Mukhtie 2006 : 121).
e. memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden / Wakil Presiden yang selanjutnya disebut impeachment, dengan penjelasan sebagai berikut : 1) pemohon adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang disetujui oleh minimal 2/3 dari minimal 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna (Abdul Mukhtie 2006 : 123); 2) alasan impeachment sendiri adalah: i) Presiden/Wakil Presiden melanggar hukum karena penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya, dan melakukan perbuatan tercela, dan ii) Presiden / Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 (Abdul Mukhtie 2006 : 123); dan 3) putusan menyatakan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat terbukti atau tidak terbukti (Abdul Mukhtie 2006 : 123). Dengan demikian, perkara-perkara ketatanegaraan lainya seperti pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan impeachment DPRD terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak termasuk dalam kewenangan
Mahkamah
Konstitusi
melainkan
menjadi
kewenangan
Mahkamah Agung (Abdul Mukhtie 2006 : 120). 4.
Hak Konstitusional Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoneisa Tahun 1945 sebagai hukum yang tertinggi (The Supremacy of Law) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan, pengakuan dan penjaminan akan hakhak dasar warga negara. Dari berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik, kajian tentang ruang
lingkup
paham
konstitusi
(konstitusionalisme) terdiri dari (Dahlan Thaib dkk, 2008 : 2): a. anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum; b. jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
c. peradilan yang bebas dan mandiri; dan d. pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat. Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2000 mengenai ketentuan hak asasi manusia dan hak-hak warga negara telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan Kedua termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Karena itu, perumusan tentang hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Republik Indonesia sangat lengkap dan menjadikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Pasal-pasal tentang hak asasi manusia itu sendiri, terutama yang termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, untuk memahami konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara lengkap dan historis, ketiga instrumen hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dapat dilihat dalam satu kontinum (Satya Arinanto, 2003 : 21-30). Hak Konstitusional (constitutional rights) dapat diartikan sebagai hak asasi manusia yang telah tercantum dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga juga telah resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara. Perbedaan antara hak konstitusional dengan hak legal, bahwa hak konstitusional adalah hakhak yang dijamin di dalam dan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan hak-hak hukum (legal right) timbul
berdasarkan jaminan Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya (subordinate legislations) (Jimly Asshidiqie, 2006 : 134). Secara
tersurat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan negara
Undang-Undang
harus memenuhi hak
Hak Asasi Manusia memuat bahwa
konstitusional setiap
warga
negaranya,
khususnya berkaitan dengan hak politik warga negara dan secara lebih khusus lagi berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum. Menurut Jimly Assidiqie, hak konstitusional yang diatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat terbagi ke dalam beberapa kelompok (Jimly Assidiqie, 2005 : 220-223). 1) kelompok
yang pertama adalah kelompok ketentuan
yang
menyangkut hak-hak sipil yaitu, bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya; setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman
lain
yang
kejam,
tidak
manusiawi,
dan
merendahkan martabat kemanusiaan; setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan; setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; setiap orang bebas untuk memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani; setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan; setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku membentuk perkawinan
surut;
keluarga yang
sah;
setiap
orang
berhak
untuk
dan melanjutkan keturunan melalui setiap
orang
berhak
atas
status
kewarganegaraan; setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya; setiap orang berhak memperoleh suaka politik; serta setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut;
2) kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yaitu bahwa setiap warga negara berhak
untuk
berserikat,
berkumpul, dan menyatakan pendapatnya secara damai; setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat; setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik; setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan; setiap
orang
berhak
untuk
bekerja,
mendapat
imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan; setiap orang berhak untuk mempunyai hak milik pribadi, setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat; setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi; setiap orang berhak untuk pengajaran;
memperoleh setiap
dan
memilih
orang berhak
pendidikan
mengembangkan
dan dan
memperoleh manfat dari ilmu pengetahuan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia; Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa; Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional; Negara menjamin agamanya
kemerdekaan tiap-tiap masing-masing
dan
penduduk
untuk
memeluk
untuk beribadat menurut
kepercayaannya itu; 3) ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yaitu bahwa setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama; Hak
perempuan
dijamin
dan
dilindungi
untuk
mendapat
kesetaraan gender dalam kehidupan nasional; Hak khusus yang melepat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum; Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara untuk perkembangan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya; Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam; Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat; Serta kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang
sah
yang
Perkembangan
dimaksud
untuk
kelompok tertentu
menyetarakan
yang
pernah
tingkat.
mengalami
perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam diskriminasi; dan 4) keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggungjawab negara dan kewajiban asasi manusia yaitu bahwa Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan
yang
ditetapkan
oleh
Undang-Undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis; Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia; serta untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat
independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang; Hak-hak dan kebebasan tersebut
ada
yang tercantum
dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ada pula yang tercantum hanya dalam undang-undang tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki “constitutional importance” yang sama dengan yang disebut eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jimly Assidiqie, 2005 : 220-223). 5.
Hak Memilih Hak memilih adalah hak warga negara untuk memilih wakilnya di dalam suatu pemilihan umum. Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yaitu apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum (Ramlan Surbakti, 2007 : 145). Hak memilih secara konstitusional masuk dalam hak konstitusional warga negara yang secara tersirat diatur dalam Pancasila pada sila keempat ”Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan perwakilan” dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat jaminan pengakuan hak politik warga negara yang tersirat Pasal-Pasal sebagai berikut: Pasal 27 ayat (1) : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28D ayat (1) : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28D ayat (3) : Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 28E ayat (2) : Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pasal 28E ayat (2) : Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28E ayat (3) : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28 I ayat (2) : Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Hak Konstitusional warga negara untuk memilih dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 tentang Pulihnya Hak Politik Partai Komunis Indonesia dan Organisasi lainya yang menyebutkan (Irfan Nur, 2013 : 312): “Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.” The Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia juga mengatur mengenai hak-hak politik setiap orang, secara tegas menjelaskan dalam Pasal 21 yang terkait dengan hak setiap orang yang berbunyi: Ayat (1) : “Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakilwakil yang dipilih dengan bebas.” Ayat (2) : “Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.” Ayat (3) : “Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.” International Covenant On Civil And Political Rights yang telah disahkan pada tanggal 16 Desember 1966, melalui resolusi 2200A (XXI) Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa berkaitan dengan hak memilih warga negara juga menegaskan dalam Pasal 25 yang menyebutkan bahwa (Caroline Carter, 2011 : 257):
Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions: (a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen representatives; (b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors. Yang artinya : “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tanpa pembedaan apapun tanpa pembatasan yang tidak wajar baik untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan untuk mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan.” Indonesia sebagai negara hukum yang berusaha menjunjung penegakan dan penghormatan hak asasi manusia, telah meratifikasi Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Hal ini disertai konsekuensi bahwa Pemerintah Indonesia memiliki tanggungjawab untuk memenuhi pelaksanaan hak sipil danpolitik setiap warga negara (Penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang HakHak Sipil Dan Politik)). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga secara nyata memberikan pengakuan terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Atas dasar hak-hak tersebut, Negara memberikan pengakuan kepada setiap warga Negara untuk ikut serta dalam pemerintahan.
Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa: “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Demokrasi yang diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat, maka konsep untuk rakyat ini seharusnya diterjemahkan dengan pengertian sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga Negara berkewajiban untuk memenuhi hak-hak rakyat termasuk dalam hak politik. Campur tangan negara dalam pemenuhan hak politik ini dapat dilakukan melalui perumusan kebijakan dan melakukan pengaturan. Namun, kewenangan yang dimiliki oleh negara tidak boleh bertentangan atapun menghilangkan hak memilih dan dipilih yang merupakan manifestasi dari hak dasar warga negara yang dipilih (Sarbaini, 2015 : 116).
A. Kerangka Pemikiran
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XII/2013
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahanya.
Pemilihan Kepala Daerah bukan
Setiap daerah dipimpin oleh kepala
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Komisi Pemilihan
pemerintahan daerah
merupakan rezim
Umum menetapkan
yang disebut Kepala
paling sedikit 2 (dua)
pemilihan umum.
Daerah dan Ketentuan
100/PUUXIII/2015
pasang calon kepala
mengenai pemilihan
daerah.
kepala daerah diatur dalam undang-undang
Solusi: Problematika:
Muncul putusan Mahkamah
Pemilihan kepala daerah akan ditunda hingga pemilihan berikutnya apabila terdapat calon tunggal yang maju dalam pemilihan kepala daerah dan akan menyebabkan hilangnya hak konstitusional warga negara untuk memilih.
Konstitusi Nomor 100/PUXIII/2015yang memperbolehkan calon tunggal maju dalam pemilihan kepala daerah.
Pemenuhan Hak Konstitusional warga negara untuk memilih
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan: Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yang diangkat penulis. Pemikiran penulis dimulai dari Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa apabila terdapat hanya satu pasangan calon atau calon tunggal dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah maka pelaksanaan pemilihan kepala daerah akan dituda hingga pemilihan berikutnya. Ketentuan di atas sangatlah merugikan hak konstitusional warga negara untuk memilih, hak untuk memilih warga negara menjadi hilang dikarenakan pemilihan kepala daerah harus diundur hingga pemilihan kepala daerah serentak periode berikutnya. Atas dasar tersebut munculah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015, dimana Mahkamah Konstitusi melakukan uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengabulkan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undangdengan memperbolehkan calon tunggal untuk maju dalam pemilihan kepala daerah.
Konsekuensi atas munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 adalah adanya sistem mekanisme pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal yang berbeda dari mekanisme pemilihan kepala daerah dengan dua pasang calon atau lebih. Jadi pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal dilakukan dengan mekanisme yang benar-benar baru yang belum pernah dipraktekan di pemilihan sebelumnya. Pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal tersebut dilaksanakan bertujuan untuk memenuhi hak konstitusional warga untuk memilih agar tetap terjaga. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mengangkat permasalahan di atas untuk mengetahui dan memahami tentang pelaksanaan pemilihan umum dengan calon tunggal terkait putusan mahkamah konstitusi nomor 100/PUU-XIII/2015 ditinjau demi pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memilih.