BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Hukum Kontrak a. Pengertian Hukum Kontrak Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract, sedangkan
dalam
bahasa
Belanda
disebut
dengan
perjanjian
(overeentkomst). Black, Henry Campbell dalam Munir Fuady (2001: 4) mengartikan kontrak sebagai suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. Pengertian perjanjian atau kontrak diatur lebih lanjut dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang bunyinya “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Wirjono Prodjodikoro (2000: 4) memberi arti bahwa perjanjian merupakan suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak untuk melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut. Berbeda lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal, mereka menyatakan bahwa kontrak merupakan suatu persetujuan antara dua orang atau lebih tidak hanya memberikan kepercayaan, tetapi secara bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka (Salim H.S, Abdullah, dkk, 2011: 8). Berdasar pada berbagai definisi para ahli yang telah diuraikan diatas, Salim H.S., dkk dalam bukunya yang berjudul Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU) (2011: 9) menyatakan bahwa terdapat satu hal yang kurang dalam berbagai definisi tersebut dimana dalam setiap definisi, subjeknya terbatas pada orang-perorangan
22
23
semata, padahal dalam prakteknya bukan hanya perorangan saja yang membuat kontrak tapi juga badan hukum yang mempunyai kedudukan sebagai subjek hukum pula. Maka dari itu, diperlukan upaya untuk melengkapi dan menyempurnakannya sehingga definisi kontrak tersebut akan menjadi “suatu hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai yang telah disepakati”. Berdasar pada definisi kontrak di atas, para ahli turut merumuskan pula definisi Hukum Kontrak. Lawrence M Friedman dalam Salim H.S. (2004: 3) menyatakan definisi hukum kontrak sebagai “perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu”. Hukum Kontrak pada dasarnya merupakan bagian dari hukum perikatan. Sebagian ahli hukum menempatkannya sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak ditempatkan sebagai perjanjian tertulis (Munir Fuady, 2015: 1). Lebih lanjut, Munir Fuady (2015: 180) menyatakan bahwa hukum kontrak adalah suatu perangkat kaidah hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara dua orang atau lebih untuk yang satu mengikat dirinya pada orang lain, atau diantara keduanya saling mengikatkan dirinya kepada yang lain yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban satu sama lain, untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu. Michael D Bayles dalam Salim H.S. (2005: 3) menyatakan bahwa “contract of law, might then taken to be the law pertaining to enporcement of promise or agreement” (hukum kontrak adalah sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan). Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari dimensi pelaksanaan perjanjian yang dibuat para pihak, namun Michael D Bayles tidak melihat pada tahap pra kontraktual dan kontraktual. Menurut Ensiklopedia Indonesia, hukum kontrak adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur berbagai pesetujuan
24
dan ikatan antar warga hukum (Salim H.S., 2005: 4). Definisi menurut Ensiklopedia Indonesia ini mengkaji dari aspek ruang lingkup pengaturan, yaiu persetujuan dan ikatan warga hukum. Berdasar pada definisi yang dikemukakan di atas, Salim H.S. (2005: 4) melakukan penyempurnaan definisi hukum kontrak sehingga definisi hukum kontrak menjadi “keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. b. Asas-Asas Hukum Kontrak Perspektif Hukum Kontrak termaktub dalam KUH Perdata, yang mana terdapat asas-asas dalam pelaksanaannya: 1) Asas Konsensualisme Salim H.S. (2005: 10) menyatakan bahwa Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata tentang Syarat sahnya perjanjian yaitu “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Pasal tersebut menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan (konsensus) diantara kedua belah pihak. Maksud dari asas konsensual ini adalah suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, tentunya selama syaratsyarat sahnya kontrak lainnya sudha terpenuhi. Munir Fuady (2001: 31) berpandangan bahwa dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum, sehingga mulai pada saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban diantara para pihak. 2) Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract) Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (Open system) artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Merujuk pada sistem tersebut, maka konsepsi kebebasan berkontrak dapat diartikan bahwa para pihak secara bebas
25
untuk menentukan hal-hal apa saja yang mereka ingin uraikan dalam kontrak atau perjanjian tersebut (Munir Fuady, 2015: 181). Asas kebebasan berkontrak pada dasarnya dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang bunyinya “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Subekti dalam Christina Tri Budhayati (2009: 233) menyatakan bahwa keberadaan pasal tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa para subjek hukum diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat subjek hukum sebagaimana mengikatnya undang-undang. Kata “semua” dalam bunyi pasal tersebut di dalamnya terkandung asas partij autonomie, freedom of contract, beginsel van de contract vrijheid, yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada para pihak, mengenai isi
maupun
bentuk
perjanjian
yang
akan
dibuat,
termasuk
penuangannya ke dalam kontrak, dengan kata lain melalui asas kebebasan berkontrak subjek hukum mempunyai kebebasan dalam membuat perjanjian. Asas Kebebasan Berkontrak memberi peluang bagi subjek hukum untuk membuat perjanjian baru yang belum diatur dalam KUH Perdata,
agar
dapat
mengikuti
kebutuhan
masyarakat
sesuai
perkembangan jaman. Walaupun demikian asas ini tidaklah bersifat mutlak, bekerjanya asas ini dibatasi agar perjanjian yang dibuat tidak merugikan salah satu pihak (Christina Tri Budhayati, 2009: 234). Salim H.S. (2005: 9) berpendapat bahwa kebebasan dalam berkontrak terletak pada kebebasan dalam hal berhak membuat atau tidak membuat perjanjian; bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun; bebas menentukan bentuk maupun isi perjanjiannya, dimana asas ini harus dilaksanakan secara bertanggungjawab yang dibatasi agar tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, maupun kesusilaan.
26
3) Asas Pacta Sunt Servanda Asas Pacta Sunt Servanda sering juga disebut dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Hakim tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak (Salim H.S., 2005: 10). Asas Pacta Sunt Servanda (janji itu mengikat) ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. KUH Perdata juga menganut prinsip ini dengan melukiskan bahwa suatu kontrak itu berlaku sebagaimana undangundang bagi para pihak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) yang bunyinya: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang” (Munir Fuady, 2001: 30). 4) Asas Iktikad Baik Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Kalimat dari pasal tersebut berbunyi “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik merupakan asas yang mengamanatkan para pihak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak (Salim H.S., 2005: 11). Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik yang mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai kedaan (penilaian tidak memihak) berdasar norma yang objektif (Salim H.S., 2005: 11). Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul Kontrak dan Perancangan Kontrak (2008: 5) menyatakan bahwasanya hakikat pengadaan dan pelaksanaan perjanjian terletak pada pemenuhan norma-norma keadilan dan
27
kepatutan. Setiap pihak yang hendak membuat perjanjian berkewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawannya sebelum mereka menandatangani perjanjian dengan memperhatikan asas iktikad baik. Asas iktikad baik pada dasarnya dipahami sebagai salah satu asas yang penting dan berpengaruh dalam hukum perjanjian, namun tidak ada definisi yang komprehensif yang dapat menjelaskan pengertian iktikad baik itu sendiri (Arkie V. Y Tumbelaka, 2012: 78). Ridwan Khairandy dalam Arkie (2012: 79) menyatakan bahwa salah satu permasalahan dalam kajian iktikad baik adalah keabstrakan maknanya, sehingga timbul pengertian iktikad baik yang berbedabeda. Iktikad baik tidak memiliki makna tunggal, dan hingga sekarang masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna atau arti iktikad baik. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa pada prinsipnya, iktikad baik harus tercermin dalam setiap tahapan perjanjian, mulai dari pembentukan, pelaksanaan, hingga pengakhiran perjanjian. 5) Asas Kepribadian (Personalitas) Salim H.S. (2005: 12) menyatakan bahwa Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”, yang intinya seseorang yang mengadakan perjanjian pasti hanyalah untuk kepentingan dirinya sendiri. Ketentuan dalam Pasal 1340 KUH Perdata memberikan penekanan akan berlakunya asas ini dengan menyatakan “perjanjian hanya berlaku antar pihak yang membuatnya”, yang artinya perjanjian yang dibuat para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan pasal di atas dikecualikan sebagaimana diintrodusir dalam
28
ketentuan Pasal 1317 KUH Perdata yang pada intinya adalah perjanjian diperbolehkan dibuat untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang telah ditentukan, dan pengecualian lainnya terdapat dalam ketentuan Pasal 1318 KUH Perdata yang pada intinya perjanjian dapat dibuat tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, sehingga ruang lingkup pasal ini lebih luas (Salim H.S., 2005: 13). 6) Asas Obligatoir Berdasar hukum kontrak, suatu kontrak bersifat obligatoir. Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak tersebut pada dasarnya sudah mengikat namun baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban antar pihak, tetapi pada taraf tersebut hak kepemilikan belum berpindah ke pihak lain, diperlukan kontrak lain
yang
berkaitan
dengan
kontrak
kebendaan
(zakelijke
overrenskomst) yang sering disebut “penyerahan” (levering) (Munir Fuady, 2001: 31). Terkait sifat kontrak yang berkaitan dengan saat mengikatnya suatu kontrak dan saat peralihan hak milik tersebut, berbeda-beda dari masing-masing sistem hukum yang ada, yang terbagi dalam 3 (tiga) teori (Munir Fuady, 2001: 31-32), yaitu: a) Kontrak bersifat Obligatoir Sebagaimana telah dinyatakan dalam asas obligatoir, sistem yang dianut KUH Perdata dalam penyelenggaraan kontrak adalah obligatoir dimana saat suatu kontrak telah sah maka kontrak tersebut telah dapat dikatakan memiliki kekuatan mengikat namun baru sebatas pada hak dan kewajiban para pihak saja. b) Kontrak bersifat Riil Teori ini menyatakan bahwa kontrak bersifat riil, dimana di dalamnya diajarkan bahwa suatu kontrak baru dianggap sah jika telah dilakukan secara riil. Artinya kontrak tersebut baru mengikat
29
bila telah dilakukan kesepakatan kehendak dan telah dilakukan levering sekaligus. Kata sepakat saja belum punya arti apa-apa menurut teori ini. c) Kontrak bersifat Final Teori ini mengajarkan bahwa jika suatu kata sepakat telah terbentuk, maka kontrak sudah mengikat dan hak kepemilikan sudah berpindah tanpa perlu adanya kontrak khusus (levering). Teori ini dianut dan biasa diberlakukan di negara anglo saxon. 7) Asas Proporsionalitas/Keseimbangan Pengertian asas proporsionalitas dapat dirunut dari asal kata “proporsi” (proportion-Inggris; proportie-Belanda) yang berarti perbandingan, perimbangan, sedangkan “proporsional” (proportionalInggris
proportioneel-Belanda) berarti sesuai proporsi, sebanding,
seimbang, berimbang (Agus Yudha Hernoko, 2013: 29). Menurut Herlien Budiono dalam Agus Yudha hernoko (2013: 29) menyatakan bahwa asas keseimbangan (even-wichtsbeginsel) diberi makna dua hal, yaitu: pertama, asas keseimbangan sebagai asas etikal yang bermakna suatu keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Makna keseimbangan tersebut, berarti pada satu sisi dibatasi kehendak (berdasar pertimbangan atau keadaan yang menguntungkan) dan di lain sisi keyakinan (akan kemampuan). Kedua, asas keseimbangan sebagai asas yuridikal artinya asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak atau adil, dan selanjutnya diterima sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam hukum kontrak Indonesia. Asas proporsionalitas dalam kontrak diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi dan bagiannya. Proporsionalitas pembagian hak dan kewajiban ini diwujudkan dalam seluruh proses kontraktual, baik pada fase pra kontraktual, pembentukan kontrak, maupun pelaksanaan kontrak (Agus Yudha Hernoko, 2013: 32). Lebih lanjut, Agus Yudha
30
Hernoko (2013: 84) menyatakan bahwa asas proporsionalitas tidak dilihat dari konteks keseimbangan matematis (equilibrium), tetapi pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair. Menurut pendapatnya, untuk mencari makna asas proprsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofis keadilan. Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai “justitia est constants et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing yang menjadi haknya “to give everybody his own”). Artinya keadilan dapat terwujud apabila sesuatu yang diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima. c. Syarat Sahnya Kontrak Suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mampu mengikat kedua belah pihak apabila kontrak tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat sah kontrak termaktub dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Syarat pertama ini, dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan (dwaling), atau diperoleh dengan paksaan (dwang) atau penipuan (bedrog)”. Unsur kesepakatan ini, merupakan unsur penting dalam kontrak tanpa adanya paksaan atau penipuan. Munir Fuady (2001: 35) menyatakan bahwa menurut sistem hukum manapun di dunia ini, kesepakan kehendak merupakan unsur esensial (penting) sahnya kontrak. Suatu kesepakatan kehendak terhadap suatu kontrak dimulai dari adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti oleh penerimaan (acceptance) dari pihak lainnya, sehingga akhirnya terjadi suatu kontrak yang seringkali dilakukan secara tertulis.
31
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Syarat kedua ini, dapat disimpulkan dari Pasal 1329 KUH Perdata yang berbunyi: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Merujuk pada Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1. orang-orang yang belum dewasa; 2. mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; 3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu Apabila kontrak yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap berbuat tersebut yang menjadikan kontrak batal, maka para pihak haruslah menempatkan seolah-olah kontrak tersebut tidak pernah ada. Jadi setiap benda atau prestasi yang telah diberikan haruslah dikembalikan atau dinilai secara wajar. 3) Suatu hal tertentu Hal tertentu sebagaimana dimaksud sebagai salah satu syarat kontrak tidak lain merupakan objek dari suatu kontrak, sehingga kontrak haruslah mempunyai objek tertentu. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, barang yang menjadi obyek suatu kontrak harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya. Jumlah sesuatu itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Salim H.S. (2004: 24) menyatakan bahwa di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek kontrak ialah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban suatu pihak dan menjadikannya sebagai hak bagi pihak lain. Prestasi ini terdiri dari perbuatan yang positif maupun negatif, yang terdiri atas: a) Memberikan sesuatu; b) Berbuat sesuatu; atau c) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
32
4) Suatu sebab yang halal Halal merupakan syarat keempat sebagai sahnya suatu kontrak. Pasal 1335 KUH Perdata menegaskan “jika kontrak tanpa sebab, atau kontrak karena sebab palsu atau terlarang maka tidak mempunyai kekuatan”. Ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan “suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”, namun demikian ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak secara gamblang dijelaskan mengenai pengertian orzaak (causa yang halal) sedangkan ketentuan dalam Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan tentang causa yang terlarang bukan
pada
definisi
halalnya.
Hal
inilah
yang
selanjutnya
menimbulkan berbagai penafsiran terkait batasan halal itu sendiri tanpa adanya suatu konsep tunggal. Berdasar pada syarat sahnya kontrak sebagaimana telah diuraikan di atas, dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan (Subekti, 2002: 17). Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan, sedangkan bila yang tidak terpenuhi adalah syarat ketiga dan keempat maka perjanjian itu batal demi hukum atau dianggap perjanjian itu tak pernah ada (Subekti, 2002: 17). d. Momentum Terjadinya Kontrak Ketentuan dalam KUH Perdata memang tidak secara pasti menyebutkan secara jelas tentang momentum terjadinya kontrak. Pasal 1320 KUH Perdata yang merupakan pasal yang memuat syarat sah terjadinya kontrak saja hanya cukup menyebutkan adanya konsensus para pihak, namun demikian dalam berbagai literatur yang disitir oleh Salim
33
H.S., dkk (2011: 25) disebutkan bahwa terdapat 4 (empat) teori yang membahas momentum terjadinya kontrak, yaitu: 1) Teori Pernyataan (Uitingstheorie) Teori ini menyatakan bahwa kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran yang dimaksud. Jadi, bila dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menyatakan menerima maka kesepakatan
sudah
terjadi.
Teori
ini
menganggap
terjadinya
kesepakatan secara otomatis. 2) Teori Pengiriman (Verzendtheorie) Teori ini menyatakan, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan jawaban atas penawaran yang diberikan, namun demikian terdapat beberapa kekurangan dalam teori ini dikarenakan bila hanya didasarkan pada pengiriman jawaban melalui alat telekomunikasi bisa saja pihak yang menawarkan tidak mengetahui bahwa pihak penerima tawaran telah menerima tawaran tersebut. 3) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie) Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi bila pihak yang yang menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan (acceptatie), namun penerimaan tersebut belum diterimanya atau bisa dikatakan tidak diketahui secara langsung. Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya. 4) Teori Penerimaan (Ontsvangstheorie) Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang melakukan penawaran mengetahui bahwa penawarannya telah diketahui oleh pihak yang menerima penawaran tersebut. Kelemahan teori ini antara lain memungkinkan terlambat lahirnya perjanjian karena menunda-nunda untuk membuka surat penawaran
34
dan sukar untuk mengetahui secara pasti kapan penerima tawaran mengetahui isi surat penawaran. e. Tahapan Dalam Kontrak Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne dalam Salim. H.S., dkk (2011: 8) mengartikan “perjanjian/kontrak adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori baru tersebut menyatakan bahwa kontrak tidak hanya dikaji pada tahap kontraktual semata, melainkan juga harus
diperhatikan
hubungan
hukum
yang
mendahului
maupun
sesudahnya, yang mencakup tahap pra contractual maupun post contractual. Menurut teori baru, ada tiga tahap dalam membuat perjanjian/kontrak yaitu : 1) Tahap Pra Contractual Tahap ini merupakan tahap terjadinya penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance). Setiap kontrak pada dasarnya dimulai dengan adanya penawaran dan penerimaan. Penawaran ialah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penawaran ini ditujukan pada orang yang mempunyai kapabillitas dan kemampuan untuk melaksanakan kontrak (Salim H.S., dkk, 2011: 11). Salim H.S., dkk (2011: 11-12) lebih lanjut menyatakan bahwa yang berhak dan berwenang mengajukan penawaran adalah setiap subjek hukum yang yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Penawaran yang disampaikan akan menghasilkan 2 (dua) macam kontrak, yaitu: (1) kontrak bilateral, dan (2) kontrak unilateral. Kontrak bilateral merupakan kontrak yang diadakan antara dua pihak dimana kedua belah pihak harus memenuhi janjinya, sedangkan kontrak unilateral dilalui dengan penawaran yang hanya membutuhkan tindakan saja, karena hanya berisi satu janji dari satu pihak saja. Penawaran dalam kontrak pada prinsipnya tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu atau belum dicabut. Suatu
35
penawaran dianggap berakhir bila: (1) si pemberi penawaran atau penerima penawaran dinyatakan tidak cakap secara hukum atau meninggal dunia sebelum penerimaan penawaran dilakukan, (2) penawaran
dicabut,
dalam
hal
ini
pihak
penawar
harus
memberitahukan sebelum penawaran diterima. Bila suatu penawaran tersebut ditentukan dalam waktu tertentu, penawaran tersebut tidak dapat dicabut sebelum waktunya berakhir, dan (3) penerima tawaran tidak menerima penawaran namun justru membuat kontra penawaran (Salim H.S., dkk, 2011: 12). Penerimaan (acceptance) adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar. Salim H.S., dkk (2011: 12) menyatakan bahwasanya penawaran tersebut hakikatnya harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar tawaran, dengan ketentuan penerimaan tersebut bersifat absolut dalam artian tanpa syarat balik akan tawaran tersebut. Penerimaan yang belum diketahui oleh pemberi tawaran dapat dinyatakan belum berlaku sebagai penerimaan penawaran. Akan tetapi, menurut Salim H.S., dkk (2011: 84) bila penawaran tersebut dilakukan secara korespondensi (surat menyurat) penerimaan yang dikirim dengan media yang sama dianggap sudah disampaikan, bila penawaran dilaksanakan dalam pelelangan umum maka berlaku ketentuan dengan prosedur yang khusus. Bilamana memungkinkan seyogyanya baik tawaran maupun penerimaan penawaran dinyatakan secara tertulis dan jelas, kemudian haruslah diterima sendiri, serta suatu penawaran tersebut janganlah dibuat dan diberikan dalam keadaan yang belum dapat diketahui keadaannya. 2) Tahap Contractual Tahap ini ditandai dengan adanya persesuaian
pernyataan
kehendak antara para pihak. Berdasar pada pendapat Hikmahanto Juwana dalam Salim H.S., dkk (2011: 84) dalam tahap ini ditandai dengan adanya kesepakatan para pihak yang mana merupakan tahap
36
persesuaian kehendak para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontrak itu dikatakan sah. Persesuaian kehendak tersebut haruslah dilakukan secara jujur, tanpa adanya unsur penipuan (fraud),
kesalahan
(mistake),
paksaan
(duress),
maupun
penyalahgunaan keadaan (undue influence) yang mengakibatkan kontrak menjadi tidak sah dan dapat dibatalkan. 3) Tahap Post Contractual Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan perjanjian, dimana tahap ini dilakukan implementasi terhadap kontrak yang dibuat oleh para pihak seperti para pihak harus melaksanakan hak dan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam kontrak sebagai bentuk implementasi dari substansi kontrak yang telah disepakati bersama (Salim H.S., dkk, 2011: 85). Berdasar
pada
pernyataan
yang
menyatakan
bahwa
pelaksanaan kontrak merupakan implementasi dari substansi kontrak yang
telah
disepakati
bersama,
tidak
jarang
menimbulkan
permasalahan terkait dengan tidak dilaksanakannya substansi kontrak dengan baik oleh satu pihak ataupun kedua belah pihak yang berujung pada sengketa. Hal tersebut bila terjadi maka akan diselesaikan melalui tahap penyelesaian sengketa yang tujuannya adalah untuk mengurai konflik yang timbul antara kedua belah pihak sehingga pertentangan dapat diakhiri (Salim.H.S., dkk, 2011: 85). 2. Tinjauan Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah a. Gambaran Umum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Perubahan Keempat Perpres PBJP yang dimaksud dengan PBJP yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Perangkat
barang/jasa Daerah/Institusi
oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan
lainnya
yang
prosesnya
dimulai
Kerja dari
perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Ketentuan tentang kontrak pengadaan termuat
37
dalam ketentuan Pasal 1 angka 22 Perubahan Keempat Perpres PBJP yang bunyinya “Kontrak pengadaan barang/jasa yang selanjutnya disebut dengan kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola”. Menurut Yohanes Sogar Simamora (2013: 47) dalam kajian praktek penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah dapat mengikatkan diri secara kontraktual, dalam bidang: 1) Kontrak pengadaan barang/jasa Kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa pemerintah, baik melalui proses tender atau lelang atau melalui penunjukan langsung kepada pihak penyedia dan kontrak ini menimbulkan beban pembayaran; dan 2) Kontrak non pengadaan barang/jasa Kontrak ini lebih ditujukan kepada peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah dan menghasilkan pemasukan. Terkait dengan kontrak PBJP, maka pemahaman mengenai jenis kontrak dalam pelaksanaan pengadaan barang/ jasa perlu dilakukan untuk mengetahui jenis hubungan hukum yang mengikat para pihak dan aturan hukum yang berlaku (Made Dwi Mariani, 2015: 52). Penyelenggaraan kontrak PBJP berpijak pada prinsip kebebasan berkontrak yang memungkinkan pemerintah secara bebas untuk mengatur standarisasi syarat dan ketentuan dalam hubungan hukum itu. Standarisasi ini menjadi hal yang penting selain untuk tujuan efisiensi tetapi juga memudahkan kontrol terhadap praktek pelaksanaan kontrak pengadaan oleh berbagai lembaga pemerintahan. b. Subjek dan Objek Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 1) Subjek Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Subjek dalam kontrak pengadaan barang/jasa terdiri dari dua pihak, yaitu: a) Pemerintah yang merupakan pihak pemberi kerja, yang mana dalam penyelenggaraannya dilaksanakan
oleh Kementerian/
38
Lembaga/Satuan
Kerja
Perangkat
Daerah/Institusi
yang
selanjutnya disebut K/L/D/I. Definisi tersebut merujuk pada penjelasan Perubahan Keempat Perpres PBJP yang mengartikan bahwa “pemerintah” dalam pengadaan barang/jasa adalah K/L/D/I, namun dalam hal penandatangan kontrak pengadaan, pemerintah yang dalam hal ini K/L/D/I diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen (yang selanjutnya disebut PPK). Pasal 1 angka 2 Perubahan Keempat Perpres PBJP merumuskan bahwa K/L/D/I adalah instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). b) Penyedia Barang/Jasa, Made Dwi Mariani dalam penelitian hukumnya (tesis) (2015: 61) menyatakan bahwa pihak kedua yang merupakan bagian penting setelah pihak pemerintah dalam pengadaan barang/jasa adalah penyedia barang/jasa. Merujuk pada Pasal 1 angka 12 Perubahan Keempat Perpres PBJP dinyatakan bahwa Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultasi/jasa lainnya. Jadi dapat dinyatakan bahwa badan usaha atau perseorangan yang menyediakan pekerjaan konstruksi masuk dalam klasifikasi penyedia barang/jasa. 2) Objek Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah a) Barang, ketentuan dalam Pasal 1 angka 14 Perubahan Keempat Perpres PBJP menyatakan bahwa barang adalah setiap benda baik yang berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai dipergunakan atau dimanfaatkan oleh pengguna barang. b) Objek Pekerjaan Konstruksi, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15 Perubahan Keempat Perpres PBJP adalah keseluruhan pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya.
39
c) Objek jasa konsultasi dirumuskan terkait dengan layanan profesional yang membutuhkan keahlian tertentu di berbagai bidang
keilmuan
yang
mengutamakan
adanya
oleh
pikir
(brainware) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 16 Perubahan Keempat Perpres PBJP. d) Objek yang terakhir
dari
kontrak
pengadaan barang/jasa
pemerintah adalah jasa lainnya yang dirumuskan sebagai jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem
tata kelola
yang
telah dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain jasa konsultasi, pelaksanaan pekerjaan konstuksi dan pengadaan barang (Pasal 1 angka 17 Perubahan Keempat Perpres PBJP). Terkait dengan objek PBJP sebagaimana telah diuraikan diatas, Agus Kuncoro penulis buku Begini Tender Yang Benar dalam Rivondy Refky Nitaka (skripsi) (2015: 22-23) pengadaan barang/jasa dapat dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu: a) Barang Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh Pengguna Barang. Meliputi namun tidak terbatas pada bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi/peralatan dan makhluk hidup. b) Pekerjaan Konstruksi Pekerjaan Konstruksi adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainya, yang dapat diklasifikasikan: (1) Pelaksanaan konstruksi bangunan meliputi keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan pelaksanaan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata
40
lingkungan, masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan. (2) Pembuatan wujud fisik lainnya meliputi keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan pelaksanaan yang mencakup pekerjaan untuk mewujudkan selain bangunan, antara lain namun tidak terbatas pada: (a) Konstruksi bangunan kapal, pesawat atau kendaraan tempur; (b) Pekerjaan yang berhubungan dengan persiapan lahan, penggalian dan penataan lahan (landscaping); (c) Perakitan atau instalasi komponen pabrikasi; (d) Penghancuran (demolition) dan pembersihan (removal); atau (e) Reboisasi. c) Jasa Konsultasi Jasa
Konsultasi
adalah
jasa
layanan
professional
yang
membutuhkan keahlian tertentu di berbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah piker (brainware). Jasa Konsultasi meliputi, namun tidak terbatas pada: (1) Jasa rekayasa (engineering); (2) Jasa
perencanaan
(planning),
perencanaan
(design),
pengawasan (supervision) untuk pekerjaan konstruksi; (3) Jasa
perencanaan
(planning),
perencanaan
(design),
pengawasan (supervision) untuk pekerjaan selain konstruksi, sepert
transportasi,
perikanan,
kelautan,
pendidikan,
kesehatan,
lingkungan
hidup,
kehutanan,
kedirgantaraan,
pengembangan usaha, perdagangan, pengembangan SDM, pariwisata, pos dan telekomunikasi, pertanian, perindustrian, dan energi;
41
(4) Jasa keahlian profesi, seperti jasa penasehatan, jasa penilaian, jasa pendampingan, bantuan teknis, konsultan manajemen, konsultan hukum; atau (5) Pekerjaan survei yang membutuhkan telaah tenaga ahli. d) Jasa Lainnya Jasa lainnya adalah jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata kelola yang telah dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain jasa konsultasi, jasa pelaksanaan konstruksi, dan pengadaan barang. c. Pelaksanaan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pengadaan barang/jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang/jasa yang diinginkannya, dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Agar hakikat atau esensi pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilaksanakan sebaikbaiknya, maka kedua belah pihak yaitu pihak pengguna dan penyedia haruslah selalu berpatokan kepada filosofi pengadaan barang/jasa, tunduk kepada etika dan norma pengadaan barang/jasa yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metode dan proses pengadaan barang/jasa yang baku (Made Dwi Mariani, 2015: 62). Pelaksanaan kontrak Pengadaan Barang/Jasa dimulai dengan penerbitan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) oleh PPK. Kemudian PPK menerbitkan Surat Pemesanan (SP) selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal penandatanganan kontrak. Surat Pemesanan harus sudah disetujui/ditandatangani oleh penyedia sesuai dengan yang dipersyaratkan dengan dibubuhi materai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender sejak tanggal penerbitan SP (Purwosusilo, 2014: 298). Terkait dengan pelaksanaan kontrak bila masih terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan dengan gambar dan/atau
42
spesifikasi teknis yang ditentukan dalam dokumen kontrak, maka PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan pada kontrak yang meliputi (Purwosusilo, 2014: 301-302): 1) menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak; 2) menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan; 3) mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau 4) mengubah jadwal pelaksanaan. perubahan kontrak tersebut hanya berlaku untuk pekerjaan yang menggunakan Kontrak Harga Satuan atau bagian pekerjaan yang menggunakan harga satuan dari Kontrak Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan saja. d. E-procurement Merujuk pada pendapat Susan Andriyani dalam penelitian hukumnya (tesis) (2012: 60) e-procurement atau pengadaan secara elektronik adalah proses pengadaan barang/jasa dalam lingkup pemerintah yang menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi dalam setiap proses dan langkahnya. Secara umum, e-procurement dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu e-tendering dan e-purchasing, yaitu: 1) E-Tendering Tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem elektronik dengan cara menyampaikan satu kali penawaran sampai dengan waktu yang telah ditentukan. Ruang lingkup e-tendering sebagaimana termaktub dalam Pasal 109 ayat (1) dan ayat (3) Perpres PBJP meliputi proses pengumuman pengadaan barang/jasa sampai dengan pengumuman pemenang yang dilaksanakan dengan menggunakan
sistem
pengadaan
secara
elektronik
yang
diselenggarakan oleh LPSE (Susan Andriyani, 2012: 61). Lebih lanjut, Pasal 109 ayat (4) Perpres PBJP menyatakan bahwa dalam
43
pelaksanaannya aplikasi e-tendering sekurang-kurangnya memenuhi unsur perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual dan kerahasian dalam pertukaran dokumen, serta tersedianya sistem keamanan dan penyimpanan dokumen elektronik yang menjamin dokumen elektronik tersebut hanya dapat dibaca pada waktu yang telah ditentukan dikarenakan kegiatan yang dilaksanakan melalui alat elektronik disebut dengan Transaksi Elektronik. Merujuk pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) dinyatakan bahwa Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
Komputer,
jaringan
Komputer,
dan/atau
media
elektronik lainnya. Penyelenggaran Transaksi Elektronik haruslah berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi (Pasal 3 UU ITE). Merujuk pada Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2015 tentang e-tendering ditentukan bahwa dalam penyelenggaraan etendering dilaksanakan melelui beberapa metode, diantaranya: a) E-lelang untuk pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya; b) E-lelang Cepat untuk pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya; c) E-seleksi untuk pemilihan penyedia jasa konsultasi; dan d) E-seleksi Cepat untuk pemilihan penyedia jasa konsultasi. Berdasar pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Percepatan Pelaksanaan PBJP, mengacu pada perubahan pasca diundangkannya Perubahan Keempat Perpres PBJP dinyatakan bahwa Pelaksanaan e-tendering dilakukan dengan ketentuan: a) tidak diperlukan Jaminan Penawaran; b) tidak diperlukan sanggahan kualifikasi;
44
c) apabila
penawaran yang masuk kurang dari 3 (tiga) peserta,
pemilihan penyedia dilanjutkan dengan dilakukan negosiasi teknis dan harga/biaya; dan d) tidak diperlukan sanggahan banding selain itu, e-tendering dapat dipercepat dengan e-tendering cepat, yang mana e-tendering cepat dapat dilakukan untuk pengadaan dengan: a) pekerjaan
dengan
spesifikasi/metode
teknis
yang
dapat
distandarkan dan tidak perlu dikompetisikan; b) metode kerja sederhana/dapat ditentukan; dan/atau c) barang/jasa yang informasi spesifikasi dan harganya sudah tersedia di pasar. E-tendering cepat sebagaimana dimaksud di atas memiliki ketentuan dan spesifikasi sebagai berikut: (1) dilakukan dengan aplikasi Sistem Informasi Kinerja Penyedia Barang/Jasa (SIKaP). (2) data bersumber dari input data yang dilakukan oleh Penyedia, Pokja Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan, Pejabat Pembuat Komitmen, LKPP atau hasil penarikan data dari SPSE atau sistem lain yang terkoneksi dengan SPSE. (3) penyedia
hanya
memasukkan
penawaran
harga
untuk
PengadaanBarang/Jasa yang tidak memerlukan penilaian kualifikasi, administrasi dan teknis. 2) E-Purchasing Tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik. Tujuan diselenggarakannya e-purchasing agar tercipta proses pemilihan barang dan jasa secara langsung melalui sistem katalog elektronik sehingga memungkinkan semua ULP atau Pejabat Pengadaan dapat memilih barang dan jasa pada pilihan terbaik serta meningkatkan efisiensi biaya dan waktu proses pemilihan barang dan jasa dari sisi penyedia barang dan jasa dan pengguna (Susan Andriyani, 2012: 64). Ketentuan Pasal 110 Perpres PBJP tentang epurchasing menyatakan bahwa dalam rangka e-purchasing, sistem
45
katalog
elektronik
(e-catalogue)
sekurang-kurangnya
memuat
informasi teknis dan harga barang/jasa yang diselenggarakan oleh LKPP dengan melaksanakan kontrak payung dengan penyedia barang/jasa untuk barang/jasa tertentu. Terkait pelaksanaannya, e-procurement ini dikelola oleh LPSE dengan menggunakan SPSE, yang mana akan dijelaskan sebagai berikut: a) Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Unit kerja yang dibentuk di berbagai instansi dan pemerintah untuk melayani Unit Layanan Pengadaan (ULP) untuk menyelenggarakan system pelayanan pengadaan barang/jasa secara
elektronik
(SPSE)
dan
memfasilitasi
instansi
dan
pemerintah kepada portal pengadaan nasional (Susan Andriyani, 2012: 66), yang mana secara umum LPSE memiliki 2 (dua) tipe yaitu LPSE System Provider dan LPSE Service Provider. Perbedaan di antara keduanya adalah LPSE System Provider menjalankan seluruh tugas LPSE, memiliki alamat website sendiri dan mengelola sistem (database) sendiri. Sedangkan LPSE Service Provider tidak memiliki tugas mengelola sistem (database) dan tidak memiliki alamat website sendiri, namun menggunakan sistem/website LPSE lain (Susan Andriyani, 2012: 67). Merujuk pada ketentuan Bagian Keempat Pasal 111 ayat (1) sampai ayat (6) Perpres PBJP tentang Layanan Pengadaan Secara
Elektronik,
diatur
tentang
LPSE
dimana
dalam
pelaksanaannya K/L/I dapat membentuk LPSE untuk memfasilitasi ULP/Pejabat
Pengadaan
dalam
melaksanakan
pengadaan
barang/jasa secara elektronik, dimana fungsi pelayanan LPSE paling kurang meliputi administrator sistem elektronik; unit registrasi dan verifikasi pengguna; dan unit layanan pengguna. Selain itu, LPSE juga berkewajiban untuk menyusun dan melaksanakan standar prosedur operasional serta menandatangani
46
kesepakatan tingkat pelayanan (Service Level Agreement) dengan LKPP. b) Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) merupakan aplikasi perangkat lunak berbasis web yang terpasang di server LPSE yang
dapat diakses melalui website LPSE yang menggunakan
aplikasi SPSE. Aplikasi SPSE sendiri dikembangkan oleh pusat pengembangan kebijakan pengadaan barang/jasa Bappenas sejak tahun 2006. SPSE merupakan aplikasi e-pengadaan yang dikembangkan
oleh
Direktorat
e-procurement LKPP (Susan
Andriyani, 2012: 69). Berdasar pada ketentuan Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 menggunakan Aplikasi SPSE yang dikeluarkan oleh LKPP, ditentukan bahwa dalam rangka pemenuhan kewajiban penggunaan sistem Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik sebagaimana diatur dalam Perubahan Keempat Perpres PBJP, aplikasi SPSE versi 3.5 akan di update menjadi aplikasi SPSE versi 3.6. Letak perbedaan dalam kedua versi SPSE tersebut terletak pada perubahan ketentuan pasal yang terdapat dalam Perubahan Keempat Perpres PBJP, diantaranya: (1) Perubahan e-tendering yang diatur dalam Pasal 109 Perubahan Keempat Perpres PBJP tentang penambahan 2 (dua) ayat, yaitu ayat (7) dan ayat (8) ketentuan e-tendering yang bunyinya: Pasal 109 (7) Dalam pelaksanaan e-tendering dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. tidak diperlukan Jaminan Penawaran; b. tidak diperlukan sanggahan kualifikasi; c. apabila penawaran yang masuk kurang dari 3 (tiga) peserta, pemilihan penyedia dilanjutkan dengan dilakukan negosiasi teknis dan harga/biaya; d. tidak diperlukan sanggahan banding; e. untuk pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi:
47
1) daftar pendek berjumlah 3 (tiga) sampai 5 (lima) penyedia Jasa Konsultansi; 2) seleksi sederhana dilakukan dengan metode pascakualifikasi. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai e-tendering ditetapkan oleh LKPP. dan perubahan pengguna e-purchasing yang diatur Pasal 110 Perubahan Keempat Perpres PBJP diakomodir dalam SPSE versi 3.6. (2) Percepatan e-tendering sebagaimana diatur pasal 109A Perubahan Keempat Perpres PBJP telah diakomodasi dalam SPSE versi 4.0, yang bunyinya: Pasal 109A (1) Percepatan pelaksanaan e-tendering dilakukan dengan memanfaatkan Informasi Kinerja Penyedia Barang/Jasa (2) Pelaksanaan e-tendering sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan hanya memasukan penawaran harga untuk Pengadaan Barang/Jasa yang tidak memerlukan penilaian kualifikasi, administrasi, dan teknis, serta tidak ada sanggahan dan sanggahan banding. (3) Tahapan e-tendering sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang terdiri atas: a. undangan; b. pemasukan penawaran harga; c. pengumuman pemenang. 3. Tinjauan Tentang Pekerjaan Konstruksi a. Gambaran
Umum
tentang
Perkembangan
Istilah
Pekerjaan
Konstruksi Masyarakat secara umum masih sering mengkonotasikan definisi konstruksi dengan istilah pemborongan, mengacu pada pendapat Munir Fuady (2002: 12) dalam bukunya yang berjudul Kontrak Pemborongan Mega Proyek menyatakan bahwa pada dasarnya kedua istilah tersebut memiliki kesamaan baik dalam teori maupun praktek hukum, terutama bila dikaitkan dengan istilah hukum/kontrak konstruksi atau hukum/kontrak pemborongan. Lebih lanjut Munir Fuady (2002: 12) menyatakan bahwa
48
bahwa meski terdapat kesamaan, sebenarnya istilah “pemborongan” memiliki cakupan yang lebih luas bila dibandingkan dengan istilah “konstruksi”, sebab dengan istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang diborong tersebut bukan hanya terbatas pada konstruksinya saja (pembangunan) melainkan tercakup pula pengadaan barang. Keberadaan dari kontrak konstruksi ini merupakan implikasi dari adanya sifat terbuka (open system) buku ke-III KUH Perdata yang menjadi dasar paham hukum akan asas kebebasan berkontrak yang menyatakan bahwa para pihak bebas untuk mengadakan kontrak dengan siapa pun, menentukan syaratsyaratnya, pelaksanaannya, bentuk kontrak baik lisan ataupun tertulis, serta diperkenankan pula para pihak untuk membuat kontrak baik yang telah dikenal dalam Buku III KUH Perdata maupun diluar KUH Perdata (Salim H.S, 2004: 4). Bidang konstruksi selanjutnya diatur secara khusus dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK). Ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJK menyatakan bahwa yang dimaksud dengan jasa kontruksi adalah layanan jasa konsultasi perancangan pekerjaan kontruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan kontruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Sedangkan yang dimaksud dengan kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (Pasal 1 angka 5 UUJK). Bidang konstruksi yang dilakukan dalam rangka PBJP ketentuan berlaku ialah Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perubahan Keempat Perpres PBJP). Ketentuan dalam Perubahan Keempat Perpres PBJP tersebut, istilah yang dipakai untuk menyebut bidang konstruksi beralih dari kontrak kerja konstruksi atau jasa konstruksi menjadi pekerjaan konstruksi, namun demikian hal tersebut tanpa mengalami pergeseran makna yang berarti. Berdasar pada ketentuan Pasal 1 angka 15 Perubahan
49
Keempat Perpres PBJP Pekerjaan Konstruksi dinyatakan sebagai “seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya”. Konsep antara jasa konstruksi, kontrak kerja konstruksi ataupun pekerjaan konstruksi memiliki ruang lingkup yang sama yaitu pada bangunan atau wujud fisik lainnya. b. Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi Pekerjaan Konstruksi dalam lingkup PBJP dilaksanakan dengan tunduk pada ketentuan Perpres PBJP dan perubahannya, baik Perubahan Pertama hingga Perubahan Keempat Perpres PBJP. PBJP tersebut diselenggarakan secara elektronik berdasarkan prinsip-prinsip pengadaan yang menerapkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan, keterbukaan, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses Pengadaan Barang/Jasa, karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis dan keuangan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 Perubahan Keempat Perpres PBJP. Seiring dengan perkembangan teknologi, dengan melaksanakan amanat perubahan Pasal 106 Perubahan Keempat Perpres PBJP yang menyatakan bahwa “Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dilakukan secara elektronik”, membawa konsekuensi pada kewajiban penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi PBJP dikelola pula oleh LPSE dengan metode SPSE yang mana akan didasarkan pada kegiatan etendering maupun e-purchasing. Merujuk pada ketentuan Pasal 35 ayat (3) Perpres PBJP dinyatakan bahwasanya Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi dapat dilakukan melalui; Pelelangan Umum; Pelelangan Terbatas; Pemilihan Langsung, Penunjukan Langsung; atau Pengadaan Langsung, yang lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Pelelangan Umum Pasal 36 ayat (3) Perpres PBJP menyatakan bahwa pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya melalui metode pelelangan umum diumumkan paling kurang di website K/L/D/I, dan
50
papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE, sehingga masyarakat luas dan dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya, dimana dalam pelaksanaannya hal tersebut tanpa dilalui dengan negosiasi teknis dan harga. 2) Pelelangan Terbatas Khusus untuk pekerjaan konstruksi yang bersifat kompleks dan diyakini jumlah penyedianya terbatas, pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dilakukan dengan pelelangan terbatas (Pasal 36 ayat (2) Perpres PBJP). 3) Pemilihan Langsung Pasal 37 Perpres PBJP mengatur bahwa terkait pengadaan pekerjaan
yang
tidak
kompleks
dan
bernilai
paling
tinggi
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dilaksanakan dengan metode pemilihan langsung untuk pekerjaan konstruksi dimana hal tersebut diumumkan melalui website K/L/D/I dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE, sehingga masyarakat luas dan dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. 4) Penunjukan Langsung Penunjukan
Langsung
terhadap
1
(satu)
penyedia
barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dapat dilakukan dalam hal: a) keadaan tertentu; dan/atau b) pengadaan barang khusus/pekerjaan konstruksi khusus/jasa lainnya yang bersifat khusus. penunjukan langsung ini dilakukan dengan mengundang 1 (satu) penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang dinilai mampu melaksanakan pekerjaan dan/atau memenuhi kualifikasi, dimulai dengan negosiasi baik teknis maupun harga sehingga diperoleh harga yang sesuai dengan harga pasar yang berlaku dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 38 Perpres PBJP).
51
5) Pengadaan Langsung Ketentuan Pasal 39 Pepres PBJP mengatur bahwa pengadaan langsung dapat dilakukan terhadap pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan sebagai berikut: a) merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I; b) teknologi sederhana; c) risiko kecil; dan/atau d) dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa usaha orang-perseorangan dan/atau badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil. Pengadaan Langsung ini dilaksanakan berdasarkan harga yang berlaku di pasar kepada Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya. Pengadaan Langsung dilaksanakan oleh 1 (satu) Pejabat Pengadaan. Pengguna Aanggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dilarang menggunakan metode Pengadaan Langsung sebagai alasan untuk memecah paket pengadaan menjadi beberapa paket dengan maksud untuk menghindari pelelangan. Ketentuan Pasal 47 Perpres PBJP menyatakan bahwa dalam rangka pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya diawali dengan penyampaian dokumen penawaran, yang dibedakan menjadi 3 (tiga) metode yaitu: 1) Metode Satu Sampul Metode
satu
sampul
ini
digunakan
untuk
pengadaan
barang/jasa yang sederhana dan memiliki karakteristik sebagai berikut: a) Pengadaan barang/jasa yang standar harganya telah ditetapkan pemerintah; b) Pengadaan jasa konsultansi dengan Kerangka Acuan Kerja yang sederhana; atau
52
c) Pengadaan
barang/pekerjaan
konstruksi/jasa
lainnya
yang
spesifikasi teknis atau volumenya dapat dinyatakan secara jelas dalam Dokumen Pengadaan. selain itu, metode satu sampul digunakan dalam Penunjukan Langsung/ Pengadaan Langsung/ Kontes/ Sayembara. 2) Metode Dua Sampul Metode dua sampul digunakan untuk: a) Pengadaan barang/jasa lainnya yang menggunakan evaluasi sistem nilai atau sistem biaya selama umur ekonomis. b) Pengadaan jasa konsultansi yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) dibutuhkan penilaian yang terpisah antara persyaratan teknis dengan
harga
penawaran,
agar
penilaian
harga
tidak
mempengaruhi penilaian teknis; atau (2) pekerjaan bersifat kompleks sehingga diperlukan evaluasi teknis yang lebih mendalam. 3) Metode Dua Tahap Metode dua tahap digunakan untuk pengadaan barang/ pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya yang memiliki karakteristik sebagai berikut: a) pekerjaan bersifat kompleks; b) memenuhi kriteria kinerja tertentu dari keseluruhan sistem, termasuk pertimbangan kemudahan atau efisiensi pengoperasian dan pemeliharan peralatannya; dan/atau c) mempunyai beberapa alternatif penggunaan sistem dan desain penerapan teknologi yang berbeda. Berkait
dengan
penawaran
yang
disampaikan,
selanjutnya
dilakukan evalusi terhadap dokumen penawaran tersebut. Berdasar pada ketentuan Pasal 48 ayat (1) Perpres PBJP, evalusi dilakukan dengan cara: 1) sistem gugur; 2) sistem nilai; dan 3) sistem penilaian biaya selama umur ekonomis.
53
c. Tahapan Kontrak Pekerjaan Konstruksi Berdasar pada ketentuan Perpres PBJP, dalam penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi dilaksanakan dalam 3 tahapan, yaitu: a) Persiapan Pengadaan, tahap ini merupakan tahap persiapan sebelum penawaran dilaksanakan atau diumumkan. Ruang lingkup tahap ini berada dalam konteks persiapan baik dari segi administrasi maupun teknis yang dilaksanakan dalam lingkup intern K/L/D/I atau ULP saja, yang meliputi: perencanaan pemilihan penyedia barang/jasa; pemilihan sistem pengadaan yang akan dilaksanakan; penetapan metode penilaian
kualifikasi;
penyusunan
jadwal
pemilihan
penyedia
barang/jasa; penyusunan dokumen pengadaan barang/jasa yang diperlukan; penentuan Harga Perkiraan Sendiri; dan penentuan jaminan pengadaan barang/jasa. b) Pelaksanaan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa, bila dikaitkan dengan tahapan dalam kontrak sebagaimana telah diuraikan di awal tahap ini dapat dikategorikan sebagai: (1) Tahapan pra contractual dengan disampaikannya penawaran dan penerimaan, dalam PBJP penyampaian penawaran tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam e-tendering. Berdasar pada ketentuan Pasal 1 angka 39 Perubahan Keempat Perpres PBJP e-tendering adalah tata cara pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/Jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan cara menyampaikan 1 (satu) kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan. Pelaksanaan e-tendering ini dibatasi pada lingkup pengumuman pengadaan barang/jasa sampai pada pengumuman pemenang (Pasal 109 ayat (1) Perubahan Keempat Perpres PBJP), yang mana penawaran tersebut haruslah di dasarkan pada rumusan waktu yang telah ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Perpres PBJP
54
(1) ULP/Pejabat Pengadaan menyusun dan menetapkan jadwal pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. (2) Penyusunan jadwal pelaksanaan Pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan alokasi waktu yang cukup untuk semua tahapan proses Pengadaan, termasuk waktu untuk: a. pengumuman pelelangan/seleksi; b. pendaftaran dan pengambilan dokumen kualifikasi atau dokumen pengadaan; c. pemberian penjelasan; d. pemasukan dokumen penawaran; e. evaluasi penawaran; f. penetapan pemenang; dan g. sanggahan dan sanggahan banding. Sebagaimana telah djelaskan di atas, pemilihan Penyedia Barang/Jasa dapat dilaksanakan melalui pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, penunjukan langsung, ataupun pengadaan langsung. Pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi bila tidak ditentukan lain dalam Perpres PBJP biasanya dilaksanakan melalui pelelangan umum, dimana setiap penyedia pekerjaan konstruksi yang memenuhi syarat dapat mengajukan penawaran secara terbuka. Dokumen penawaran pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dapat disampaikan melalui metode satu sampul untuk pengadaan yang sifatnya sederhana dengan standar harga yang telah ditetapkan pemerintah dan spesifikasi teknis pekerjaan konstrukai dan volumenya dapat dengan jelas dicantumkan dalam dokumen pengadaan, dua sampul khusus untuk pengadaan yang menggunakan evaluasi sistem nilai atau sistem biaya selama umur ekonomis yang berdasar evaluasi teknis penyedia pekerjaan konstruksi akan mempengaruhi harga atau metode dua tahap yang khusus diperuntukan bagi pekerjaan komplek yang memakan waktu lama dalam evaluasi teknis. Perlu diketahui bahwa metode ini haruslah sudah ditentukan terlebih dahulu saat poses persiapan pengadaan oleh pejabat pengadaan.
55
Pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi PBJP selain harus memperhatikan
metode
dokumen
penawaran
sebagaimana
dimaksud diatas, perlu pula memperhatikan metode evaluasi apa yang akan diterapkan terhadap penawaran yang akan diajukan oleh penyedia pekerjaan konstruksi yang mana haruslah sudah ditetapkan saat persiapan pengadaan dilaksanakan. Metode penilaian kualifikasi dokumen pengadaan ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu prakualifikasi ataupun pascakualifikasi. Perbedaan dari dua metode penilaian kualifikasi ini terletak pada kapan dilaksanakannya evaluasi kualifikasi. (a)
Metode Penilaian Prakualifikasi dilaksanakan sebelum penawaran diajukan, dengan kata lain sebelum undangan lelang diberikan bagi penyedia barang/jasa, terlebih dahulu undangan metode
prakualifikasi prakualifikasi
yang
disampaikan.
dilaksanakan
untuk
Biasanya pemilihan
penyedia pekerjaan konstruksi yang bersifat kompleks melalui pelelangan umum, pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi yang menggunakan metode penunjukan langsung kecuali dalam keadaan darurat, serta pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dengan metode pengadaan langsung. (b)
Metode Penilaian Pascakualifikasi dilaksanakan setelah penawaran diajukan, dengan kata lain undangan lelang pekerjaan konstruksi telah disampaikan dan para penyedia pekerjaan konstruksi telah mengajukan dokumen penawaran barulah dilaksanakan evaluasi kemampuan usaha penyedia pekerjaan
konstruksi.
Biasanya
Metode
Penilaian
Pascakualifikasi dilaksanakan untuk pengadaan pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan melalui pelelangan umum kecuali untuk pekerjaan kompleks melalui pelelangan umum, atau pelelangan sederhana penyedia pekerjaan
56
konstruksi serta pemilihan langsung penyedia pekerjaan konstruksi. tahapan pra contractual yang dilaksanakan melalui tata cara etendering ini dilaksanakan sampai pada pengumuman pemenang pengadaan pekerjaan konstruksi yang bila tidak ditentukan lain dalam Perpres PBJP dilaksanakan melalui evaluasi dengan sistem gugur. (2) Tahapan contractual, tahap ini ditandai dengan adanya persesuaian pernyataan kehendak kedua belah pihak yaitu dalam pelaksanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa terkait dengan penandatanganan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) yang diikuti dengan penandatangan kontrak PBJP oleh kedua belah pihak setelah
Daftar Isian
Pelaksana
Anggaran/Daftar Pelaksana
Anggaran (DIPA/DPA) ditetapkan. c) Pelaksanaan Kontrak, dalam pelaksanaan kontrak ini masuk dalam tahapan post contractual yang ditandai dengan pelaksanaan kontrak oleh penyedia pekerjaan konstruksi sebagai bentuk implementasi hak dan kewajiban kedua belah pihak dari substansi kontrak yang telah di sepakati. Pelaksanaan kontrak dalam pekerjaan konstruksi PBJP dilaksanakan dalam lingkup perubahan kontrak bila terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam dokumen kontrak; pembayaran uang muka yang diberikan pada Penyedia Pekerjaan Konstruksi untuk mobilisasi alat atau tenaga kerja, pembayaran uang tanda jadi, atau persiapan teknis lain yang diperlukan; pembayaran prestasi kerja yang dapat dilaksanakan secara bulanan, atau per termin pekerjaan; pelaksanaan kontrak dalam keadaan tertentu; ketentuan terkait kemungkinan keadaan kahar yaitu suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya; penyesuaian harga bila terdapat perubahan kontrak; pemutusan kontrak bila telah ditemukan suatu keadaan yang mengakibatkan tidak
57
terpenuhinya prestasi; pilihan penyelesaian sengketa bila kemungkinan terjadi sengketa; hingga serah terima pekerjaan konstruksi bila telah selesai 100 % dan pemeliharaan pekerjaan konstruksi. 2. Kerangka Pemikiran Hukum Kontrak (KUH Perdata)
Open system (Anvulend Recht Buku III)
Pekerjaan Konstruksi Pemerintah
Perpres PBJP
SPSE
e-procurement
Ketidakoptimalan pelaksanaan PBJP
Pengoptimalan Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Pembatasan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Peserta E-Tendering dalam Perspektif Hukum Kontrak di Indonesia Gambar 1. Kerangka Pemikiran. Keterangan: Hukum Kontrak berdasar KUH Perdata merupakan standar materiil dalam hubungan hukum keperdataan di Indonesia. Sebagai implikasi dari sifat buku III KUH Perdata tentang Perikatan yang bersifat terbuka (open system) membawa dasar konsepsi asas kebebasan berkontrak maka berkembanglah berbagai macam
58
kontrak yang dibuat para pihak berdasar dengan asas kebebasan berkontrak, baik yang diatur maupun tidak dalam buku III. Salah satunya ialah kontrak dalam bidang pekerjaan konstruksi yang diakomodir UUJK. Seiring berkembangnya jaman berkembang pula kontrak pekerjaan konstruksi tersebut dalam bagian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP). Dengan adanya amanat dari Perpres 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah . Berdasar pula pada perkembangan teknologi di era globalisasi diberlakukanlah sistem pengadaan secara elektronik (e-procurement) dengan menggunakan aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), dengan adanya inovasi dalam bidang pengadaan tersebut tentu merupakan
suatu
manifestasi
perlindungan
hukum
bagi
terjaminnya
penyelenggaraan PBJP pada umumnya dan pekerjaan konstruksi pada khususnya. Namun, ternyata dengan adanya inovasi tersebut masih belum mampu menangani berbagai macam persoalan dalam bidang penyelenggaraan PBJP yang ditengarai dengan masih adanya ketidakoptimalan proses dalam pelaksanaan kontrak konstruksi mulai dari tahap pra contractual hingga post contractual dalam bidang PBJP, maka dari hal itu diperlukanlah sebuah mekanisme Pengoptimalan Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Pembatasan Peserta E-Tendering dikaitkan dengan perspektif Hukum Kontrak di Indonesia.