perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Aspek Hukum Pertambangan Meskipun pertambangan umum merupakan istilah yang sudah sering digunakan dalam bidang pertambangan, namun pengertian pertambangan umum belum dijelaskan dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Pengertian pertambangan baru dijelaskan pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Pengertian pertambangan menurut Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara adalah: “Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan paska tambang”. Pengertian tersebut dalam arti luas karena meliputi berbagai kegiatan pertambangan yang ruang lingkupnya dapat dilakukan sebelum proses pertambangan, saat proses penambangan, dan sesudah proses penambangan. Proses penambangan merupakan salah satu kegiatan pertambangan yang berfungsi untuk menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematik. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam kaitannya dengan mineral dan batubara, maka yang disebut dengan pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah (Pasal 1 angka 4). Sedangkan pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal (Pasal 1 angka 5). Pertambangan itu sendiri meliputi pertambangan umum dan pertambangan minyak dan gas bumi. Pertambangan umum merupakan pertambangan bahan galian di luar minyak dan gas bumi. Pertambangan umum digolongkan menjadi lima golongan, yaitu: commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Pertambangan mineral radioaktif; b. Pertambangan mineral logam; c. Pertambangan mineral non logam; d. Pertambangan batu bara, gambut, dan bitumen padat; dan e. Pertambangan panas bumi (Salim HS, 2010 : 10-11). Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terdapat empat asas yang berlaku dalam penambangan mineral dan batu bara, yaitu: a. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan Asas manfaat maksudnya adalah asas yang menunjukkan bahwa dalam melakukan penambangan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang besar bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Asas keadilan adalah dalam melakukan penambangan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara adil bagi seluruh warga negara. Asas keseimbangan adalah dalam melakukan kegiatan penambangan wajib memperhatikan bidang-bidang lain, terutama yang berkaitan langsung dengan dampaknya. b. Keberpihakan kepada kepentingan negara Menurut asas ini, dalam melakukan kegiatan penambangan harus berorientasi pada kepentingan negara. Meskipun dalam melakukan usaha pertambangan tersebut menggunakan modal asing, tenaga asing, maupun perencanaan asing, tetapi seluruh kegiatan dan hasilnya tetap untuk kepentingan nasional. c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas Asas partisipatif adalah asas yang menghendaki bahwa dalam melakukan kegiatan pertambangan dibutuhkan peran serta masyarakat untuk penyusunan kebijakan, pengelolaan, pemantauan, dan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Asas transparansi adalah keterbukaan dalam penyelenggaran kegiatan pertambangan diharapkan masyarakat luas dapat memperoleh informasi yang jelas. Masyarakat juga dapat memberikan masukan kepada pemerintah. Asas akuntabilitas adalah kegiatan pertambangan dilakukan dengan cara-cara yang benar sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada Negara dan masyarakat d. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Yang dimaksud dengan asas ini adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batu bara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan di masa yang akan datang. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara terdapat beberapa tahapan-tahapan kegiatan penambangan, yaitu: a. Penyelidikan umum, tahap kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi; b. Eksplorasi, tahap kegiatan pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup; c. Studi kelayakan, tahap kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan paska tambang; d. Operasi
produksi,
tahap
kegiatan
pertambangan
yang meliputi
konstruksi,
penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan; e. Konstruksi, kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan; f. Penambangan, bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya; g. Pengolahan dan pemurnian, kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan; h. Pengangkutan, kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan; i. Penjualan, kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara; commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
j. Reklamasi, kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya; dan k. Kegiatan paska tambang, kegiatan terencana, sistematis dan berkelanjutan setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. 2. Tinjauan tentang Kontrak Kontrak tidak lain adalah perjanjian itu sendiri (perjanjian yang mengikat). Dalam pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari : a. Perjanjian; dan b. Undang-undang Kontrak dalam Hukum Indonesia, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) disebut overeenkomst yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, berarti perjanjian. Salah satu sebab mengapa perjanjian oleh banyak orang tidak selalu dapat mempersamakan dengan kontrak adalah karena dalam pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUH Perdata tidak memuat kata “perjanjian dibuat secara tertulis”. Pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, hanya menyebutkan sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih (Daeng Naja, 2006 : 1-2). Dalam hukum kontrak dikenal beberapa asas, di antaranya adalah sebagai berikut. a. Asas Konsensualisme (Consensus) Asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligator, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut. commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Asas konsensualisme terdapat terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata bersifat dan berasas konsensualisme, kecuali ada beberapa perjanjian merupakan pengecualian dari asas tersebut, misalnya seperti perjanjian perdamaian, perjanjian perburuhan, dan perjanjian penghibahan. Kesemua perjanjian yang merupakan pengecualian tersebut, belum bersifat mengikat apabila tidak dilakukan secara tertulis. b. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada pasal 1320 BW bahwa semua perjanjian yang menerangkan tentang syarat sahnya perjanjian. Maksud dari asas kebebasan berkontrak artinya para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut. 1) Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak; 2) Tidak dilarang oleh undang-undang; dan 3) Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik. c. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda) Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. d. Asas Itikad Baik (Goede Trouw) Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik (goeder trouw, bona fide). Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata. Itikad baik disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan suatu kontrak. Sebab, unsur “itikad baik” dalam hal commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “kausa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut (Munir Fuady, 1999 : 30).
Selanjutnya syarat sah kontrak berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata adalah sebagai berikut. a. Kesepakatan Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis. Para pihak yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu. Berbeda dengan akta di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta autentik adalah karena jika para pihak lawan mengingkari akte tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta di bawah tangan disangkali oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan dibebani untuk membuktikan kaslian akta tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik disangkali pemegang akta autentik tidak perlu membuktikan keaslian akta autentik tersebut tetapi pihak yang menyangkal yang harus membuktikan bahwa akta autentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik adalah pembuktian kepalsuan. b. Kecakapan Syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan, harus dituangkan secara jelas mengenai jati diri para pihak. Pasal 1330 KUH Perdata, menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1) Orang-orang yang belum dewasa, belum berusia 21 tahun dan belum menikah commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Berusia 21 tahun tetapi di bawah pengampuan seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros dan; 3) Orang yang tidak berwenang. Sebetulnya ada satu lagi yang dianggap oleh KUH Perdata tidak cakap hukum yaitu perempuan, akan tetapi saat ini undang-undang sudah menetapkan lain yaitu persamaan kedudukan perempuan dan laki-laki. c.
Hal Tertentu
Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga”. d.
Sebab yang Halal
Istilah kata halal yang dimaksud di sini bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Isi perjanjian harus memuat/kausa yang diperbolehkan. Apa yang menjadi obyek atau isi dan tujuan prestasi yang melahirkan perjanjian harus tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Berakhirnya perikatan diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata. Yang diartikan dengan berakhirnya perikatan adalah selesainya atau hapusnya sebuah perikatan yang diadakan oleh dua pihak yaitu kreditor dan debitor tentang sesuatu hal. Pihak kreditor adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan debitor adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak, bisa jual beli, utang piutang, sewa menyewa, dan lain-lain (Salim HS, 2006 : 187). Disebutkan dalam KUH Perdata tentang berakhirnya perikatan diantaranya yaitu: 1) Karena pembayaran; 2) Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 3) Karena pembaharuan hutang (novasi); commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Karena kompensasi; 5) Karena percampuran hutang (konfusio); 6) Karena pembebasan hutang; 7) Karena musnahnya barang yang terutang; 8) Karena batal atau pembatalan; 9) Karena berlakunya suatu syarat batal; dan 10) Karena lewatnya waktu (kadaluwarsa) (Daeng Naja, 2006 : 23). 3. Tinjauan tentang Kontrak Karya (KK) Dalam pertambangan umum kita mengenal istilah kontrak karya (KK). Kontrak karya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Umum. Pengaturan mengenai Kontrak Karya tersebut telah dibuat sebelum Penanaman Modal Asing (PMA) diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang menjadi pintu masuk investor asing untuk menanamkan modalnya. Pasal 8 Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, menyebutkan bahwa: “penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai ketentuan perundangan yang berlaku”. Istilah kontrak karya merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu work of contract. Dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan Umum, istilah yang lazim digunakan adalah perjanjian karya, tetapi di dalam penjelasannya, istilah yang digunakan adalah kontrak karya (Salim HS, 2010 : 127). Pengertian kontrak karya menurut Pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara adalah: “suatu perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dengan nasional (dalam rangka PMA) untuk pengusahaan mineral dengan berpedoman kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Umum”. commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam definisi ini, kontrak karya diinstruksikan sebagai perjanjian. Subjek perjanjian itu adalah Pemerintah Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau joint venture antara perusahaan asing dengan perusahaan nasional. Objeknya adalah pengusahaan mineral (Salim HS, 2010 : 128). Definisi dari kontrak karya juga terdapat pada Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Dalam Keputusan Menteri tersebut, disebutkan bahwa definisi dari kontrak karya adalah: “perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif, dan batubara”. Dari definisi kontrak karya tersebut, subjek di dalamnya hanyalah antara Pemerintah Indonesia dan badan hukum Indonesia, berbeda dengan subjek pada definisi kontrak karya dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (Salim HS, 2010 : 128-129). Menurut Ismail Sunny, kontrak karya adalah kerja sama modal asing dalam bentuk kontrak karya (contract of work) terjadi apabila penanaman modal asing membentuk satu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan kerjasama dengan satu badan hukum yang menggunakan
modal
dari
dalam
negeri
atau
nasional
(http://hukumpedia.com/index.php?title=Pembicaraan:Halaman_Utama diakses pada tanggal 20 September 2012 pukul 14.10 WIB). Sedangkan menurut Salim HS bahwa yang diartikan dengan kontrak karya adalah suatu kontrak yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan asing semata-mata atau merupakan patungan badan hukum asing dan badan hukum domestik dalam bidang pertambangan di luar minyak dan gas bumi sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh kedua belah pihak (Salim HS, 2010 : 130). Penulis sependapat dengan definisi yang dikemukakan oleh Salim HS bahwa definisi kontrak karya tersebut,merupakan definisi yang lengkap. Alasannya adalah karena dalam kontrak karya commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak hanya mengatur tentang para pihak, namun juga mengatur tentang objek kontrak karya. Dengan demikian unsur-unsur yang melekat pada kontrak karya, yaitu: a. adanya kontraktual, yaitu adanya perjanjian yang dibuat oleh para pihak; b. adanya
subjek
hukum,
yaitu
pemerintah
Indonesia/pemerintah
daerah
(provinsi/kabupaten/kota) dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau gabungan antara pihak asing dengan pihak Indonesia; c. adanya objek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi; d. dalam bidang pertambangan umum; dan e. adanya jangka waktu di dalam kontrak. Pengertian kontrak karya menurut website Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara. Bentuk investasi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dapat dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA), sedangkan KK hanya dalam rangka PMA. Dalam kaitan investasi asing dalam hubungannya dengan Kontrak Karya atau PKP2B, Indonesia telah terikat pada Konvensi Bank Dunia tahun 1966 “Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals from other States” yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 (http://www.djmbp.esdm.go.id/modules/news/index. diakses pada tanggal 20 September 2012 pukul 15.30 WIB). Dengan demikian pengingkaran terhadap suatu perizinan dan/atau kontrak kerja sama dengan pihak ketiga yang berkaitan dengan investasi asing akan berakibat Pemerintah dapat digugat ke Lembaga Arbitrase Internasional. Dalam hukum Perjanjian Internasional terdapat adagium hukum yang berbunyi “Pacta Sunt Servanda” yang juga dianut oleh hukum positif kita sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang mengandung pengertian suatu penghormatan terhadap kontrak/perjanjian(The Sanctity of the Contract). Kontrak karya adalah salah satu dari jenis-jenis kerjasama dalam usaha pertambangan. Selain kontrak karya ada juga Kuasa Pertambangan (KP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Objek dari kontrak karya adalah perjanjian-perjanjian commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertambangan di luar minyak bumi dan gas bumi seperti emas, tembaga, batu bara. Pengusahaan pertambangan umum mencakup kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan serta penjualan bahan galian. Khusus untuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) mencakup pula kegiatan
studi
kelayakan
dan
konstruksi(http://hukumpedia.com/index.php?title=Pembicaraan:Halaman_Utama. diakses pada tanggal 20 September 2012 pukul 15.30 WIB). Bentuk kontrak karya yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan penanaman modal asing atau joint venture antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik adalah bersifat tertulis. Substansi kontrak disiapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Energi dan sumber Daya Mineral (ESDM) dengan calon penanam modal. Substansi dari kontrak karya tersebut meliputi: a.
Tanggal persetujuan dan tempat dibuatnya kontrak karya;
b.
Subjek hukum yaitu: Pemerintah dan penanam modal;
c.
Definisi, yaitu: Pengertian perusahaan affiliasi, perusahaan subsidair, pengusahaan, individu asing, mata uang asing, mineral-mineral, penyelidikan umum, eksplorasi, wilayah pertambangan, pemerintah, menteri, rupiah, mineral ikutan, penambangan, pemanfaatan lingkungan hidup, pencemaran, kotoran, dan wilayah proyek;
d.
Penunjukan dan tanggung jawab perusahaan;
e.
Modus operandi, yaitu memuat tentang kedudukan perusahaan, yurisdiksi pengadilan, kewajiban perusahaan untuk menyusun program, mengkontrakkan pekerjaan jasa-jasa teknis, manejemen dan administrasi yang dinggap perlu;
f.
Wilayah kontrak;
g.
Periode penyelidikan umum;
h.
Periode eksplorasi;
i.
Laporan dan deposito jaminan;
j.
Periode studi kelayakan;
k.
Periode konstruksi;
l.
Periode operasi;
m. Pemasaran; n.
Fasilitas umum dan re-ekspor; commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
o.
Pajak-pajak dan lain-lainkewajiban keuangan perusahaan;
p.
Pelaporan,inspeksi dan rencana kerja;
q.
Hak-hak khusus pemerintah;
r.
Ketentuan-ketentuan kemudahan;
s.
Keadaan memaksa (force majure);
t.
Kelalaian;
u.
Penyelesaian sengketa;
v.
Pengakhiran kontrak;
w. Kerja sama para pihak; x.
Promosi kepentingan nasional;
y.
Kerja sama daerah dalam pengadan prasarana tambahan;
z.
Pengelolaan dan perlindungan lingkungan;
aa. Pengembangan kegiatan usaha setempat; bb. Ketentuan lain-lain; cc. Pengalihan hak; dd. Pembiayaan; ee. Jangka waktu; dan ff. Pilihan hukum (Yohanes Sogar Simamora, 2005 : 289). 4. Tinjauan tentang Mineral dan Batubara (MINERBA) MINERBA merupakan sebuah istilah yang sering kita dengar. MINERBA merupakan singkatan dari kata Mineral dan Batubara. Antara mineral dan batubara tersebut memiliki definisi yang berbeda. Undang-undang yang mengatur mengenai MINERBA adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Definisi batubara dimuat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yaitu: “senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu”. Para ahli geologi memiliki definisi masing-masing mengenai mineral, antara lain sebagai berikut. a. Menurut L.G Berry dan B. Mason (1959) commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Mineral adalah suatu benda padat homogen yang terdapat di alam terbentuk secara anorganik, mempunyai komposisi kimia pada batas batas tertentu dan mempunyai atom atom yang tersusun secara teratur”. b. Menurut D.G.A Whitten dan J.R.V. Brooks (1972) “Mineral adalah suatu bahan padat yang secara structural homogen mempunyai komposisi kimia tertentu, dibentuk oleh proses alam yang anorganik”. c. Menurut A.W.R. Potter dan H. Robinson (1977) “Mineral adalah suatu bahan atau zat yang homogen mempunyai komposisi kimia tertentu atau dalam batas batas dan mempunyai sifat sifat tetap, dibentuk dialam dan bukan hasil suatu kehidupan” (http://infomineralindonesia.com/definition-of-mineral/ diakses pada tanggal 20 September 2012 pukul 17.30 WIB). Definisi dari batubara menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah: “endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan”. Dalam website resmi PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. menguraikan beberapa definisi batubara yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain: a. Menurut Spackman (1958 ) “Batubara adalah suatu benda padat karbonan berkomposisi maseral tertentu”. b. Pada buku The lnternational Hand Book of Coal Petrography (1963) ”Batubara adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tanaman dalam variasi tingkat pengawetan, diikat oleh proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi, dari dangkal sampai dalam”. c. Menurut Thiessen (1974) “Batubara adalah suatu benda padat yang kompleks, terdiri dari bermacam-macam unsur kimia atau merupakan benda padat organik yang sangat rumit”. d. Menurut Achmad Prijono, dkk. (1992) “Batubara adalah bahan bakar hydro-karbon padat yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh temperatur serta tekanan yang berlangsung sangat lama”(http://ptba.co.id/id/library/detail/1 diakses pada tanggal 20 September 2012 pukul 18.15 WIB).
commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari beberapa definisi tersebut diatas, dapat dirangkum suatu definisi yaitu, “Batubara adalah berupa sedimen organik bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang telah mengalami pembusukan secara biokimia, kimia dan fisika dalam kondisi bebas oksigen yang berlangsung pada tekanan serta temperatur tertentu pada kurun waktu yang sangat lama”. 5. Tinjauan tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Untuk melakukakan suatu usaha tertentu diperlukan suatu perijinan, termasuk usaha di bidang pertambangan. Usaha pertambangan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang. Mining Business is categorized in two, Mineral Mining and Coal Mining and there are three form of Mining Business which are, (i) Mining Business License (Izin Usaha Pertambangan), license to do mining business; (ii) Public Mining License (Izin Pertambangan Rakyat) (“IPR”), license to do mining business in the area of public mining area and with limited area width and investment; and (iii) Special Mining Business License (Izin Usaha Pertambangan Khusus) (“IUPK”), license to do mining business in the area of Special Mining Business License (http://www.hg.org/article.asp?id=18651 diakses pada tanggal 21 September 2012 pukul 11.43 WIB) Izin untuk melakukan usaha pertambangan disebut dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Definisi IUP menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral
dan
Batubara
adalah
izin
untuk
melaksanakan
usaha
pertambangan.Prinsip pemberian IUP sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah hanya diperbolehkan untuk satu jenis tambang. Satu IUP diberikan untuk satu jenis mineral atau batubara. Pemberian IUP tidak boleh lebih dari satu tambang (Gatot Supramono, 2012 : 23). Menurut website resmi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diuraikan bahwa Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dilakukan dengan cara permohonan wilayah. Permohonan wilayah maksudnya adalah setiap pihak badan usaha, koperasi atau perseorangan yang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepada Menteri, gubernur atau bupati walikota sesuai kewenangannya. Kewenangannya adalah sebagai berikut. (http://www.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/4387-tata-cara-pemberian-izinusaha-pertambangan-batuan.html?tmpl=component&print=1&page= diakses pada tanggal 21 September 2012 pukul 16.45 WIB) a. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai; b. Gubernur, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 provinsi atau wilayah laut 4 sampai dengan 12 mil; dan c. Bupati/walikota, untuk permohonan wilayah yang berada di dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil. IUP mineral batuan diberikan oleh Menteri ESDM (selanjutnya disebut Menteri), gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: badan usaha berbadan hukum, koperasi, dan perusahaan perseorangan. IUP dikenal ada dua macam, yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Keduanya memiliki perbedaan dimana perbedaan tersebut didasarkan pada kepentingannya masing-masing. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara definisi IUP Eksplorasi adalah: “izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan”, sedangkan definisi dari IUP Operasi Produksi adalah “izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi”. IUP consists of two stages: a. Exploration IUP, including activities of general investigation, exploration, and feasibility study; and b. Production Operation IUP, including activities of construction, mining, utilization and
purification,
and
also
transportation
and
sales.
(http://www.hg.org/article.asp?id=18651 diakses pada tanggal 21 September 2012 pukul 17.00 WIB) IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Kegunaan IUP Eksplorasi dibedakan untuk kepentingan jenis pertambangan mineral logam dan commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mineral bukan logam. Untuk jenis pertambangan mineral logam, IUP Eksplorasinya dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama delapan tahun. Untuk jenis pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu tiga tahun. IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu antara lain seperti batu gamping untuk industri semen, intan, dan batu mulia dapat diberikan izin tersebut dalam jangka waktu paling lama tujuh tahun. Kemudian IUP Eksplorasi untuk kepentingan pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama tiga tahun. Yang terakhir IUP Eksplorasi untuk kepentingan pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama tujuh tahun. Dalam pemberian IUP Eksplorasi memiliki beberapa ketentuan, yaitu: a. IUP Eksplorasi diberikan oleh: 1) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), untuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada dalam lintas wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai; 2) Gubernur, untuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada dalam lintas kabupaten/kota dalam 1 provinsi atau wilayah laut 4 - 12 mil dari garis pantai; dan 3) Bupati/walikota, untuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai. b. IUP Eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan memenuhi persyaratan c. Menteri atau guberrnur menyampaikan penerbitan peta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) batuan yang diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada gubernur atau bupati/walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi. Gubernur atau bupati/walikota memberikan rekomendasi paling lama 5 hari kerja sejak diterimanya tanda bukti penyampaian peta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral batuan d. Badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan koordinat dalam waktu paling lambat 5 hari kerja setelah penerbitan peta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral batuan harus menyampaikan commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
permohonan IUP Eksplorasi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dan wajib memenuhi persyaratan e. Bila badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam waktu 5 hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi milik Pemerintah atau pemerintah daerah dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) menjadi wilayah terbuka. Dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara diatur mengenai persyaratan untuk memperoleh IUP Eksplorasi, yaitu: a. Persyaratan administratif 1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk badan usaha meliputi: a) Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara: (1) surat permohonan; (2) susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan (3) surat keterangan domisili. b) Untuk IUP Eksplorasi mineral bukan logam dari batuan: (1) surat permohonan; (2) profil badan usaha; (3) akta pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; (4) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); (5) susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan (6) surat keterangan domisili. 2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk koperasi meliputi: a) Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara: (1) surat permohonan; (2) susunan pengurus; dan (3) surat keterangan domisili.
commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Untuk IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan batuan: (1) surat permohonan; (2) profil koperasi; (3) akta pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; (4) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); (5) susunan pengurus; dan (6) surat keterangan domisili. 3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk orang perseorangan, meliputi: a) Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara: (1) surat permohonan; dan (2) surat keterangan domisili. b) Untuk IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan batuan: (1) surat permohonan; (2) Kartu Tanda Penduduk (KTP); (3) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan (4) surat keterangan domisili. 4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk perusahaan firma dan perusahaan komanditer meliputi: a) Untuk IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara: (1) surat permohonan; (2) susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan (3) surat keterangan. b) Untuk IUP Eksplorasi mineral bukan logam dari batuan: (1) surat permohonan; (2) profil perusahaan; (3) akta pendirian perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan; (4) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); (5) susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan (6) surat keterangan domisili.
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Persyaratan teknis, meliputi: 1) daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit tiga tahun; dan 2) peta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional. c. Persyaratan lingkungan untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. d. Persyaratan finansial, meliputi: 1) bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan eksplorasi; dan 2) bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi hasil lelang WIUP mineral logam atau batubara sesuai dengan nilai penawaran lelang atau bukti pembayaran biaya pencadangan wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan logam atau batuan atas permohonan wilayah. IUP Operasi Produksi adalah Izin yang diberikan untuk kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan dalam rangka pertambangan. IUP tipe ini diberikan kepada badan usaha, koperasi atau perseorangan atas hasil pelelangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi. Pasal 46 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. Jaminan dari pemerintah ini hanya akan berlaku dalam hal pemegang IUP Eksplorasi memenuhi seluruh kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam IUP Eksplorasi. IUP Operasi Produksi dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing selama 10 tahun, untuk pertambangan mineral logam. Sedangkan untuk pertambangan mineral bukan logam, dapat diberikan untuk jangka waktu IUP selama 10 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing selama 5 tahun. Untuk pertambangan batuan, commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diberikan jangka waktu paling lama 5 tahun dan paling lama 20 tahun untuk pertambangan batubara. Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan bahwa dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian, kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki: a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan; b. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian; dan/atau c. IUP Operasi Produksi. Pejabat yang berwenang memberikan IUP Operasi Produksi antara lain: a. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Menteri ESDM berwenang memberikan IUP Operasi Produksi apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Gubernur Gubernur berwenang memberikan IUP Operasi Produksi apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. Bupati/walikota Bupati/walikota berwenang memberikan IUP Operasi Produksi apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota, maka bupati/walikota yang memberikan izin tersebut. 6. Tinjauan tentang Investasi Investasi merupakan salah satu aspek penting dalam perencanaan keuangan setiap individu, dimana keputusan melakukan investasi pada umumnya dilandasi oleh banyaknya ketidakpastian yang akan dihadapi di masa depan. Hal ini dikarenakan kebutuhan di masa yang akan datang sangat mungkin berubah sehingga perencanaan masa depan melalui investasi perlu dilakukan. commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jones (2007) mendefinisikan investasi sebagai komitmen yang dilakukan di masa sekarang dengan menempatkan dana pada aset-aset finansial maupun non finansial selama periode waktu tertentu di masa mendatang. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa investasi merupakan suatu proses untuk meningkatkan kesejahteraan individu, dimana individu melakukan pengorbanan dalam bentuk penundaan pengeluaran sekarang untuk memperoleh keuntungan yang lebih baik di masa depan (http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/127755T%2026511-Analisis%20reksa-Tinjauan%20literatur.pdf). Secara umum investasi dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu investasi riil dan investasi finansial. Investasi riil adalah kegiatan investasi yang dilakukan dengan menanamkan modal dan terlibat langsung di sektor riil, seperti mendirikan pabrik, membangun gedung, maupun investasi pada aset berwujud lainnya. Sedangkan investasi finansial adalah kegiatan investasi yang dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui instrumen keuangan atau surat berharga seperti saham, obligasi, sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan sebagainya. Selain investasi di atas, terdapat pula jenis investasi komoditas yang obyek investasinya berupa komoditas dalam arti barang komoditi. Investasi ini seringkali disebut sebagai perdagangan berjangka (future trading). Pada perekonomian modern, kegiatan investasi yang lebih banyak dilakukan individu adalah investasi finansial. Hal ini salah satunya dikarenakan investasi ini relatif lebih mudah dan praktis. Namun tidak berarti investasi finansial lebih baik dibandingkan dengan investasi riil ataupun sebaliknya, karena kedua bentuk investasi ini bersifat komplementer dengan segala kelebihan
dan
kekurangannya
masing-masing
(http://repository.upi.edu/operator/upload/s_pe_033108_chapter2.pdf). Pada dasarnya tujuan setiap individu dalam melakukan investasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya secara finansial. Tandelilin (2002) menjelaskan bahwa alasan yang mendorong individu untuk melakukan investasi adalah sebagai berikut. a. Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak di masa datang; b. Mengurangi tekanan inflasi; dan c. Dorongan untuk menghemat pajak (http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/127755-T%2026511-Analisis%20reksaTinjauan%20literatur.pdf).
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Tinjauan tentang Penanaman Modal Asing (PMA) Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk ke negaranya (Ahmad Yulianto, 2003 : 39). Masuknya modal asing bagi perekonomian Indonesia merupakan tuntutan keadaan baik ekonomi maupun politik Indonesia. Alternatif penghimpunan dana pembagunan perekonomian Indonesia melalui investasi modal secara langsung jauh lebih baik dibandingkan dengan penarikan dana international lainnya seperti pinjaman luar negeri (Yulianto Syahyu, 2003 : 46). Modal asing yang dibawa oleh investor merupakan hal yang sangat penting sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi global. Selain itu, kegiatan investasi akan memberikan dampak positif bagi negara penerima modal, seperti mendorong pertumbuhan bisnis, adanya supply teknologi dari investor baik dalam bentuk proses produksi maupun teknologi permesinan, dan menciptakan lapangan kerja (Delisa A. Ridgway dan Mariya A.Talib, 2003 : 355). Istilah penanaman modal berasal dari bahasa Inggris yaitu Investment. Menurut Pasal 1 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, definisi Penanaman Modal Asing (PMA) adalah: “kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”. Secara umum, Penanaman Modal Asing merupakan sumber daya asing yang diinvestasikan di suatu negara guna kepentingan suatu kegiatan usaha tertentu, contohnya pertambangan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pelaku Penanaman Modal Asing adalah perseorangan warga negara negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. Landasan hukum penanaman modal di Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang mengikutinya. Diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2007 tentang Penanaman Modal. Perkembangan penanaman modal asing di Indonesia dari tahun ke tahun dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Tahun 1970, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang–Undang Nomor 12 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Hal ini meningkatkan tingkat investasi yang ditanamkan di Indonesia. Akan tetapi, penanaman modal asing masih belum terlalu tinggi, dan cenderung didominasi oleh investasi masyarakat dan pemerintah; b. Tahun 1980, pemerintah mengeluarkan sejumlah paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi. Hal ini mempermudah modal asing untuk masuk dan berinvestasi di Indonesia. Indonesia menjadi lebih terbuka terhadap modal asing. Sehingga penanaman modal asing dari dunia usaha mengalami peningkatan pesat; c. Awal 1990, seiring dengan meningkatnya penanaman modal asing, investasi pemerintah pun bertambah karena ada peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana lainnya. Hal ini diiringi juga dengan lonjakan transaksi pasar uang yang sangat besar; d. Tahun 1997 – 1998, munculnya indikasi krisis Indonesia karena ada penarikan kapital secara besar – besaran. Penarikan kapital ini disebabkan adanya krisis kepemimpinan, sehingga investor menilai Indonesia akan jatuh dan harga di Indonesia akan kacau. Selain itu, dipicu juga dengan krisis yang melanda Thailand; e. Tahun 1999, adanya perbaikan ekonomi, pertumbuhan ekonomi di Indonesia mulai meningkat di banding tahun 1998, walaupun perbaikan ini sangat kecil, yaitu sekitar 0.8% Akan tetapi Foreign Direct Investment (FDI) di Indonesia tidak mengalami perbaikan, net Foreign Direct Investment (FDI) masih negatif; f. Tahun 2000 – 2003, pertumbuhan ekonomi terus ditingkatkan dengan konsumsi publik dan swasta. Sedangkan Penanaman Modal Asing di Indonesia menunjukkan angka yang negatif; dan g. Tahun 2004 – 2006, terjadi peningkatan dalam penanaman modal asing. Sebagian besar investasi dalam bidang property, di mana 80% nya di dominasi fixed investement. Pada rentang tahun ini nilai net Foreign Direct Investment (FDI), sudah meningkat, hanya saja masih jauh di bawah net Foreign Direct Investment (FDI) pada awal tahun 1990-an.
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Investasi dibedakan atas investasi asing langsung (foreign direct investment) dan investasi portofolio (portofolio investment). Investasi asing langsung dikenal dengan Penanaman Modal Asing (PMA),
meliputi
investasi
ke
dalam
aset-aset
secara
nyata
yaitu
berupa
pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, pembelanjaan berbagai peralatan inventaris dan sebagainya. Investasi asing langsung adalah penanaman modal yang bersifat jangka panjang. Sebagian besar praktek investasi asing langsung yang terjadi di Indonesia adalah perusahaan asing seperti Commonwealth Bank membuka kantor cabang di berbagai kota di Indonesia. Sedangkan investasi portofolio dilakukan melalui pasar dengan instrument surat berharga, seperti saham, obligasi yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional dan melibatkan hanya aset-aset finansial saja. Investasi portofolio ini bisa bersifat jangka panjang maupun jangka pendek. Persyaratan mengenai pemilikan saham dalam Penanaman Modal Asing (PMA) diatur dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing yang dapat disimpulkan sebagai berikut. a. Jumlah investasi minimal US $ 1.000.000; b. Jumlah Modal Peserta Nasional minimal 20% dari seluruh nilai modal saham (Equity) dan dapat ditingkatkan menjadi 51% dalam waktu 20 tahun sejak perusahaan berproduksi komersil; c. Penanaman Modal Asing dapat didirikan dengan jumlah investasi US $ 250.000, apabila memenuhi salah satu syarat: 1) Bersifat padat karya (menyerap tenaga kerja langsung minimal 50 orang) 2) Menghasilkan bahan baku/penolong/bahan setengah jadi untuk memenuhi kebutuhan industri lain. Bergerak di bidang jasa tertentu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku; d. Jika Penanaman Modal Asing bersifat padat karya, berorientasi ekspor 65% menghasilkan bahan baku/penolong/bahan setengah jadi maka pemilikan saham peserta nasional pada saat perusahaan didirikan dapat mulai dengan 5% dari nilai modal saham dan dapat ditingkatkan menjadi minimal 20% dalam waktu sepuluh commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tahun dari saat mulai produksi komersil serta dapat ditingkatkan lagi menjadi 51% dari modal saham dalam waktu 20 tahun sejak berproduksi komersil; e. Penanaman Modal Asing dapat didirikan dengan modal saham yang seluruhnya 100% dimiliki oleh peserta asing, apabila salah satu syarat: 1) Jumlah modal yang disetor minimal US $ 50.000.000. 2) Berlokasi di salah satu provinsi Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Bengkulu dan Jambi. Berlokasi di kawasan berkaitan dan seluruh hasil produksinya untuk ekspor. 8. Tinjauan tentang Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional memiliki banyak pengertian. Berikut pengertian perjanjian internasional menurut para ahli: a. Mochtar Kusumaatmadja Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antar bangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum tertentu (Mochtar Kusumaatmaja, 2002 : 117). b. I Wayan Parthiana Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional (I Wayan Parthiana, 2002 : 12). c. Konvensi Wina tahun 1969 “An International Agreement concluded between States and International Organizations in written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation” Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan sebagai setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh
hukum
internasional,
dan
dibuat
oleh
pemerintah
dengan
negara
(http://e-
library.kemlu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65:apa-perjanjianinternasional).
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional Perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuanketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan. Dalam perjanjian internasional, terdapat beberapa istilah yang kita kenal dalam perjanjian. Berikut istilah-istilah tersebut: (Eddy Pratomo, 2011 : 101-117) a. Treaty (Traktat) Yaitu, perjanjian paling formal yang merupakan persetujuan dari dua negara atau lebih. Perjanjian ini khusus mencakup bidang politik dan bidang ekonomi. b. Convention (Konvensi) Yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral. Ketentuan-ketentuannya berlaku bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Persetujuan ini harus dilegalisasi oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh. c. Protocol (Protokol) Yaitu persetujuan yang tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala negara. Mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausal-klausal tertentu. d. Agreement (Persetujuan) Yaitu perjanjian yang berifat teknis atau administratif. Agreement tidak diratifikasi karena sifatnya yang tidak resmi seperti traktat atau konvensi. e. Arrangement (Perikatan) Yaitu istilah yang digunakan untuk transaksi-transaksi yang bersifat sementara. Perikatan yang tidak resmi seperti traktat dan konvensi. f. Proses Verbal Yaitu catatan-catatan, ringkasan-ringkasan, atau kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatik, atau catatan-catatan suatu permufakatan. Proses verbal tidak diratifikasi. g. Statute (Piagam)
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan interna-sional baik mengenai pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan. Piagam dapat digunakan sebagai alat tambahan untuk pelaksanaan suatu konvensi. h. Declaration (Deklarasi) Yaitu perjanjian internasional yang berbentuk traktat, dan dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai traktat bila menerangkan suatu judul dari batang tubuh ketentuan traktat, dan sebagai dokumen tidak resmi apabila merupakan lampiran pada traktat atau konvensi. Deklarasi sebagai persetujuan tidak resmi bila mengatur hal-hal yang kurang penting. i. Modus Vivendi Yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara sampai berhasil diwujudkan persetujuan yang lebih permanen, terinci, sistematis, dan tidak memerlukan ratifikasi. j. Exchange of Notes (Pertukaran Nota) Yaitu metode tidak resmi yang biasanya dilakukan oleh wakil-wakil militer atau wakil-wakil negara yang bersifat multilateral. Pertukaran nota ini dapat menimbulkan kewajiban diantara mereka yang terikat. k. Final Act (Ketentuan Penutup) Yaitu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara peserta, namun utusan yang turut diundang, serta masalah yang disetujui konvensi dan tidak memerlukan ratifikasi. l. General Act (Ketentuan Umum) Yaitu traktat yang dapat bersifat resmi dan tidak resmi. m. Charter Yaitu istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif, misalnya Atlantic Charter. n. Pact (Pakta) Yaitu perjanjian yang lebih khusus, pada umumnya berisi materi politis dan membutuhkan ratifikasi. Contoh, Pakta Warsawa. commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
o. Covenant Yaitu Anggaran Dasar Liga Bangsa-Bangsa (LBB). p. Memorandum of Understanding (MOU) Yaitu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan. Tahapan dalam perjanjian internasional antara lain sebagai berikut. a. Negotiation (Perundingan) Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan. b. Signature (Penandatanganan) Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh pejabat yang berwenang di negara-negara yang menandatangani perjanjian. c. Ratification (Pengesahan) Ratifikasi adalah pengesahan naskah perjanjian internasional yang diberikan oleh badan yang berwenang di suatu negara. Dengan demikian, meskipun delegasi negara yang bersangkutan sudah menandatangani naskah perjanjian, namun negara yang diwakilinya tidak secara otomatis terikat pada perjanjian. Negara tersebut baru terikat pada materi perjanjian setelah naskah perjanjian tersebut diratifikasi. Ratifikasi suatu konvensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh kepala negara/kepala pemerintahan. Pasal 14 Konvensi Wina 1969 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi suatu perjanjian. commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Namun bila suatu negara telah meratifikasi Perjanjian Internasional maka negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut. Sebagai konsekuensinya negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditandatangani, selama materi atau subtansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan Nasional. Dalam sistem Hukum Nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional dijelaskan dalam Pasal 1 Undang–Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Mengenai berlakunya suatu perjanjian internasional, menurut 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties Pasal 24 disebutkan bahwa mulai berlakunya sebuah Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut. a. Mulai berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh negara perunding; b. Jika tidak ada ketentuan atau persetujuan, perjanjian mulai berlaku segera setelah persetujuan diikat dan dinyatakan oleh semua negara perunding; c. Bila persetujuan suatu negara untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian itu berlaku, maka perjanjian mulai berlaku bagi negara itu pada tanggal tersebut, kecuali bila perjanjian menentukan lain; dan d. Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan persetujuan suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan, fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang timbul yang perlu sebelum berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujuinya teks perjanjian itu. Terdapat perbedaan arti antara berlakunya perjanjian internasional dan keterikatan suatu negara. Negara yang terikat pada suatu perjanjian internasional belum tentu perjanjian tersebut langsung berlaku. Tergantung daripada pengaturan dalam perjanjian itu sendiri seperti empat poin yang sudah Penulis jabarkan diatas. Persetujuan untuk mengikat diri tersebut dapat diberikan dengan berbagai cara, tergantung pada persetujuan mereka. Negara dapat dikatakan terikat pada perjanjian internasional setelah dilakukan pengesahan baik dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), maupun persetujuan (approval). Terkait bentuk dari perjanjian internasional pada dasarnya ada dua, yaitu: commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Perjanjian Internasional Tidak Tertulis atau Perjanjian Internasional Lisan (Unwritten Agreement atau Oral Agreement) Yaitu perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang bersifat tidak terlalu kompleks dan dapat disepakati secara lisan. Perjanjian ini biasanya dilakukan oleh kepala negara/pemerintahan, menteri luar negeri yang mengatasnamakan negara masing-masing mengenai masalah tertentu yang ditanggapi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Namun perjanjian ini kurang menjamin kepastian hukum para pihak, karena hanya secara lisan tidak ada hitam di atas putih, walaupun kedudukannya sama dengan perjanjian internasional secara tertulis. b. Perjanjian Internasional Secara Tertulis (Written Form) Hampir semua perjanjian internasional dilakukan dalam bentuk tertulis, bahkan Konvensi Wina 1969 menegaskan bentuk sebuah perjanjian internasional adalah perjanjian yang berbentuk tertulis (written form). Perjanjian ini banyak digunakan oleh negara-negara di dunia, karena perjanjian ini menjamin kepastian hukum, serta adanya suatu ketegasan dan kepastian dalam merinci
suatu
aturan
yang
disepakati
bersama
(http://mahendraputra.net/wp-
content/uploads/2012/02/MATERI-PERKULIAHAN-HUKUM-INTERNASIONAL-6.pdf). Mengenai pembatalan dalam perjanjian internasional, Mochtar Kusumaatmadja dalam buku Pengantar Hukum Internasional mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir karena hal-hal berikut ini: a.
Telah tercapai tujuan dari perjanjian internasional itu;
b.
Masa beraku perjanjian internasional itu sudah habis;
c.
Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian itu;
d.
Adanya persetujuan dari peserta-peserta untuk mengakhiri perjanjian itu;
e.
Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang terdahulu;
f.
Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sudah dipenuhi; dan
g.
Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima oleh pihak lain (Mochtar Kusumaatmadja, 2010 : 137).
Asas-asas tentang perjanjian internasional antara lain sebagai berikut. a.
Courtesy, yaitu asas saling menghormati dan saling menjaga kehormatan negara; commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Bonafides, yaitu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dilakukan harus didasari oleh iktikad baik;
c.
Reciprositas, yaitu asas yang menyatakan bahwa tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal;
d.
Egality Rights, yaitu asas yang menentukan bahwa pihak yang saling mengadakan perjanjian memiliki kedudukan yang sama;
e.
Rebus Sig Stantibus, yaitu asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu; dan
f.
Pacta Sunt Servanda, yaitu asas yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati (http://id.shvoong.com/books/dictionary/2297914-asas-perjanjianinternasional/).
9. Tinjauan tentang Pertanggungjawaban Negara Pertanggungjawaban negara (state responsibility) mempunyai kaitan erat dengan hak dan kewajiban dasar negara. Pertangungjawaban negara akan berkenaan dengan penentuan atas dasar apa dan pada situasi yang bagaimana negara dianggap telah melakukan tindakan yang salah secara internasional (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003 : 3). Pertanggungjawaban negara berhubungan erat dengan suatu keadaan bahwa terhadap prinsip fundamental dari hukum internasional, negara atau suatu pihak yang dirugikan menjadi berhak untuk mendapat ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Zwanzerberger, menjelaskan bahwa suatu prinsip fundamental harus memiliki arti penting luar biasa dalam hukum internasional dibandingkan dengan prinsip lainnya. Apabila sifat-sifat ini diterapkan, akan timbul tujuh prinsip fundamental dalam tubuh hukum internasional, yaitu kedaulatan, pengakuan, itikad baik, hak membela diri, tanggung jawab internasional dan kebebasan di laut lepas (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003 : 4-5). Dalam doktrin hukum Internasional terdapat 2 teori tentang kesalahan negara yang membahas apakah negara atau kelalaian itu mutlak atau apakah perlu adanya pembuktian kesalahan atau niat dan kehendak dari tindakan pejabat atau agen negara. Teori yang pertama, yaitu teori obyektif atau disebut teori resiko. Menurut teori ini, manakala suatu pejabat atau agen negara telah melakukan tindakan yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain, maka negaranya commit to user 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bertanggung jawab menurut hukum internasional tanpa dibuktikan apakah tindakan tersebut dilaksanakan dengan maksud baik atau jahat. Teori yang kedua adalah teori subjective atau teori kesalahan. Menurut teori ini tanggung jawab negara ditentukan oleh adanya unsur kealpaan (dolus) atau kelalaian (culpa) pada pejabat atau agen negara yang bersangkutan (Huala Adolf, 2002 : 187). Dasar suatu negara atau suatu pihak dapat menuntut adanya kewajiban dari negara pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya terlebih dahulu harus dilihat kewajiban yang timbul dari perjanjian. Dibuatnya suatu perjanjian oleh anggota masyarakat bangsa-bangsa mempunyai tujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu (Mochtar Kusumaatmadja, 2010 : 117). Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki berbagai hak dasar disamping kewajiban dasar yang diatur oleh hukum internasional. Hak yang paling sering dikemukakan adalah kedaulatan. Pelanggaran terhadap hak negara lain mewajibkan negara pelaku untuk mengadakan perbaikan sehingga suatu negara tidak mungkin dapat menikmati hak-haknya tanpa mengakui atau menghormati hak-hak negara lain. Apabila kewajiban internasional ini dilanggar sehingga merugikan pihak lain, lahirlah tanggungjawab negara (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003 : 7-8). Negara sebagai suatu entitas abstrak tidak mungkin dapat melakukan tindakan sendiri dan dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Dalam kaitannya dengan masalah tanggung jawab negara, dikenal doktrin imputabilitas yang menyatakan bahwa suatu negara bertanggung jawab atas kesalahan yang ditimbulkan organnya (Huala Adolf, 2003 : 173). Doktrin ini merupakan salah satu fiksi dalam hukum internasional. Latar belakang doktrin ini yaitu, bahwa negara sebagai suatu kesatuan hukum yang abstrak tidak dapat melakukan “tindakan-tindakan” yang nyata. Negara baru dapat melakukan tindakan hukum tertentu melalui pejabat atau perwakilan yang sah. Negara tidak bertanggungjawab menurut hukum internasional atas semua tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negaranya. Jadi, doktrin ini “mengasimilasikan” tindakan-tindakan pejabat negara dengan negaranya yang menyebabkan negara tersebut bertanggungjawab atas semua kerugian atau kerusakan terhadap harta benda orang asing (Huala Adolf, 2003, 190-191). Mengenai doktrin imputabilitas, F. Sugeng Istanto berpendapat, “untuk menentukan adanya pertanggungjawaban negara atas kejahatan internasional itu dikenal ajaran pembebanan commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesalahan kepada petugas negara (“the doctrine of imputability” atau “attributability”). Ajaran ini menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh petugas negara atau orang yang bertindak atas nama negara dapat dibebankan kepada negara. Karenanya pembebanan itu, kejahatan yang dilakukan oleh petugas tersebut menimbulkan pertanggungjawaban negara (F. Sugeng Istanto, 1998 : 81). Lauterpacht membagi tanggung jawab negara atas original responsibility dan vicarious responsibility. Original resposibility, adalah tanggung jawab suatu negara sebagai akibat dari tindakan-tindakan pemerintah atau badan-badan yang lebih rendah atau orang perorangan yang bertindak atas perintah atau dengan wewenang pemerintahnya. Vicarious responsibility, adalah tanggung jawab atas tindakan-tindakan tertentu dari subyeknya, yaitu tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian oleh badan-badan (agent) yang melampaui kewenangannya, atau oleh warganya bahkan oleh orang asing selama mereka berdiam di wilayah negara itu. Ditinjau dari obyek hukumnya, tanggung jawab negara dapat dibedakan atas: (Lauterpacht, 1995 : 336) a. Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian (Contractual Liability) 1) Pelanggaran perjanjian Pelanggaran atas perjanjian yang dibuat dengan negara lain yang menimbulkan kerugian menimbulkan kerugian yang mengakibatkan tanggung jawab bagi negara yang melakukan pelanggaran itu, dalam bentuk keharusan membayar ganti rugi. Sifat dan besarnya ganti rugi itu dapat ditentukan oleh Mahkamah Internasional, pengadilan, peradilan arbitrase atau melalui perundingan. 2) Pelanggaran kontrak Negara-negara dapat mengadakan kontrak dengan negara-negara lain atau dengan perusahaan asing. Terjadinya pelanggaran atas isi kontrak tersebut oleh salah satu pihak atau oleh organ atau pejabat negara mungkin saja terjadi. Para pejabat negara dapat saja melakukan suatu pelanggaran berupa tindakan melampaui wewenangnya (ultra vires). Tindakan para pejabat negara yang melampaui wewenangnya itu tetap dibebankan kepada negaranya. b. Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum (tort) adalah segenap tindakan yang mengakibatkan kerugian terhadap orang asing baik di dalam wilayah negaranya maupun di dalam wilayah negara lain.
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam hukum internansional ada kemungkinan suatu negara diharuskan memberikan ganti rugi (kompensasi) sebagai akibat dari tindakan yang melanggar hukum. Contohnya pengusiran warga negara asing secara semena-mena, dapat dijadikan dasar untuk negara bersangkutan bertanggung jawab atas tindakannya itu. Tindakan ini dalam hukum internasional disebut penyalahgunaan hak (abuse of right). Kerugian timbul dari adanya pelanggaran kewajiban internasional oleh suatu negara. Pelanggaran kewajiban menunjuk kepada suatu tindakan tidak sah atau pelanggaran yang menimbulkan injury (kerugian) dalam arti luas. Injury harus dibedakan dengan damage. Yang terakhir menunjuk kepada kerugian baik yang dapat dihitung atau ditaksir dengan uang maupun kerugian fisik atau akibat lain dari pelanggaran kewajiban. Sama halnya dengan kerugian, ganti kerugian juga mempergunakan beberapa istilah, tergantung pada luas dan sempitnya pengetian kerugian tersebut. Istilah-istilah yang digunakan selain ganti kerugian ialah reparasi (perbaikan), restitusi (pemulihan atau ganti rugi berupa uang), satisfaction (penunaian/pelunasan), declaratory judgment, dan kompensasi (ganti rugi berupa uang) (Sujoko, 2008 : 176). Reparasi digunakan untuk menunjuk semua tindakan yang dapat diharapkan oleh negara penuntut berupa ganti rugi uang, atau pemulihan atau penyesalan (permohonan maaf), penghukuman atas orang perorangan yang bertanggung jawab, mengambil langkah-langkah pencegahan pengulangan pelanggaran kewajiban dan bentuk-bentuk lain dari pelunasan. Sedangkan kompensasi dipergunakan untuk menetapkan reparasi dalam arti sempit berupa pembayaran sejumlah uang sebagai harga (taksiran) perbuatan salah itu. Decalaratory judgment (penetapan pengadilan) mengenai tindakan melawan hukum negara tergugat merupakan tindakan satisfaction (pelunasan). Misalnya, dalam Case Concerning United States Diplomatic and Consulars Staff in Teheran, Mahkamah Internasional juga menyatakan bahwa putusan itu mencakup penghentian penyanderaan tidak sah oleh orang-orang tersebut (Sujoko, 2008 : 177). Demikian juga dalam kasus Nicaragua, yang mewajibkan Amerika secepatnya menghentikan dan mengendalikan diri untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan pelanggaran kewajiban hukum terus-menerus. Satisfaction (pelunasan), merupakan reparasi dalam arti luas. Pelunasan ini meliputi tiga hal yang acap bersifat kumulatif yaitu: (Sujoko, 2008 : 178)
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
a)
digilib.uns.ac.id
penyesalan (permohonan maaf) atau pengakuan perbuatan salah lainnya dengan cara penghormatan bendera atau pembayaran ganti rugi (indemnity);
b)
menghukum orang perorangan yang bersalah, dan
c)
melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah terulangnya tindakan merugikan itu.
Restitusi dapat berupa restitution integrum dan restiution in kind. Restitution integrum adalah pernyataan pengadilan berkaitan dengan reparasi berupa restitusi hukum (legal restitution) dalam bentuk pernyataan bahwa pelanggaran traktat, atau tindakan eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah tidak sah. Restitution in kind merupakan pengecualian, dan sebagian terbesar tuntutan konvensi dan compromis (persetujuan yang diajukan ke lembaga perwasitan) menentukan ganti kerugian itu berupa apa saja. Jadi, restitusi ini merupakan restitusi khusus (Sujoko, 2008 : 179). Pertanggungjawaban negara berkaitan dengan tindakan yang dinyatakan dengan tindakan yang salah secara internasional yang dibatasi oleh prinsip-prinsip hukum internasional mengenai sejauh mana negara dianggap melanggar hukum. Apabila suatu negara melanggar kewajiban yang telah ditetapkan oleh hukum internasional, terhadapnya dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Sekalipun tanggung jawab negara sering dikaitkan dengan tindakan yang salah atau kelalaian yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, perkembangan menunjukan, bahwa faktor kesengajaan dari negara pelaku atas pelanggaran yang terjadi lagi merupakan suatu unsur mutlak untuk lahirnya suatu tanggung jawab (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003 : 8). 10. Tinjauan tentang ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) ICSID (International Center for the Settlement of Investment Disputes) adalah badan yang dibentuk oleh bank dunia. Tujuan utama dari ICSID adalah untuk menyediakan fasilitas konsiliasi dan arbitrase sengketa investasi internasional. Pembentukan ICSID termuat dalam Konvensi Washington D.C. 18 Maret 1965. Badan Arbitrase ICSID atau The Centre berkedudukan di Washington D.C. dan berafiliasi dengan World Bank. Konvensi mulai berlaku pada 14 Oktober 1996, sebulan setelah 20 negara meratifikasinya. Terbentuknya Konvensi ini adalah sebagai akibat dari situasi perekonomian dunia pada waktu 1950-1960-an yaitu khususnya dikala beberapa negara berkembang menasionalisasi atau mengekpropriasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di dalam wilayahnya. Tindakan ini commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengakibatkan konflik-konflik ekonomi yang dapat berubah menjadi sengketa politik atau bahkan sengketa terbuka (Huala Adolf, 2005 : 315). ICSID tidak berwenang menyelesaikan sengketa antar subyek hukum perdata. ICSID menyelesaikan sengketa antar pemerintah sebagai subyek publik dan para investor sebagai subyek hukum perdata. Kedudukan pemerintah sebagai subyek hukum publik karena pemerintah yang mengeluarkan berbagai izin terkait dengan investasi. Ada dua tujuan utama dibentuknya konvensi ini yaitu: pertama, menjembatani jurang atau kekosongan upaya hukum di dalam menyelesaikan kasus-kasus penanaman modal yakni dengan memberikan suatu mekanisme khusus berupa fasilitas arbitrase dan konsiliasi. Kedua, mendorong dan melindungi arus modal dari negara maju kepada negara ketiga (developing countries). Wewenang badan arbitrase khusus dan terbatas pada penanaman modal saja yang salah satu pihaknya adalah negara penerima penanaman modal (host state). Hingga saat ini, ICSID dianggap lembaga arbitrase internasional terkemuka yang ditujukan untuk menyelesaikan sengketa antara investor dengan negara (http://icsid.worldbank.org/ ICSID/Index.jsp diakses pada tanggal 10 Oktober pukul 16.30 WIB). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tentang penyelesaian sengketa mengenai penanaman modal antarnegara dan warga negara lain (Convention on the Settlement of Investment Dispute Between States and Nationals of Other States). Undang-Undang ini berisi 5 pasal. Pasal 2 menyatakan bahwa sesuatu perselisihan mengenai penanaman modal antara Republik Indonesia dengan warga negara asing diputuskan menurut konvensi ICSID dan mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut untuk hak substitusi. Kemudian dalam pasal 3 disebutkan bahwa untuk melaksanakan putusan mahkamah arbitrase ICSID di wilayah Indonesia, maka diperlukan pernyataan Mahkamah Agung untuk melaksanakannya. Peranan badan arbitrase ICSID dalam Penyelesaian Sengketa Internasional antara lain: a.
Pada beberapa perundang-undangan nasional, persyaratan penunjukan badan arbitrase ICSID sebagai badan arbitrase yang akan menangani sengketa-sengketa yang timbul dari adanya kontrak penanaman modal asing telah dicantumkan di dalamnya. Kebijaksanaan hukum seperti ini dilakukan oleh Afganistan, Kongo, Niger dan Tunisia; dan
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Peran yang dimainkan oleh Bank Dunia dalam memberikan bantuan biaya pembangunan proyek di banyak negara. Peran yang dimainkannya yaitu memonitor atau mengawasi kontrak yang dibuat untuk pelaksanaan proyek tersebut. Disini Bank Dunia bisa saja “merekomendasikan” kepada negara-negara yang bersangkutan dalam membuat kontrak-kontraknya dan menggunakan sarana arbitrase ICSID tersebut (Huala Adolf, 2002 : 39-40).
Perbedaan antara badan arbitrase ICSID dengan lembaga atau badan-badan arbitrase lainnya yaitu: a.
Tidak seperti lembaga-lembaga arbitrase komersial lainnya, ICSID merupakan suatu organisasi internasional yang dibentuk oleh Konvensi Washington yang berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966;
b.
ICSID adalah suatu organisasi yang terkait dengan Bank Dunia, tujuan utama badan ICSID adalah untuk meningkatkan iklim saling percaya dan menguntungkan antara negara dengan investor untuk meningkatkan arus sumber kekayaan kepada negaranegara berkembang berdasarkan syarat yang reasonable. Oleh karena itu ICSID tidak dapat dipandang semata-mata sebagai suatu mekanisme penyelesaian sengketa, namun juga meningkatkan perkembangan ekonomi negara sedang berkembang. Akibat lain dari adanya keterkaitan antara ICSID dan bank dunia yaitu bahwa karena bank dunia mensubsidi ICSID, maka biaya arbitrase menjadi relatif lebih murah;
c.
Persidangan arbitrase ICSID dapat dilaksanakan dalam konteks hukum internasional yang ditetapkan dalam konvensi ICSID dan the Regulation and Rules yang dibuat guna pelaksanaannya. Tidak seperti arbitrase komersial lainnya, ICSID merupakan suatu perangkat/mekanisme penyelesaian sengketa yang berdiri sendiri, terlepas dari sistem-sistem hukum nasional suatu negara tententu;
d.
Dalam konteks ICSID, peranan utama pengadilan nasional adalah menguatkan dan meningkatkan pengakuan atas eksekusi putusan-putusan badan arbitrase ICSID. Jika salah satu pihak bersikap apatis dan tidak mau ambil bagian dalam prsidangan, ICSID akan tetap melanjutkan persidangannya dan mengeluarkan putusannya; dan
e.
Arbitrase ICSID dimaksudkan untuk menjaga atau memelihara keseimbangan antara kepentingan investor dengan negara penerima modal (host state) (Huala Adolf, 2005 : 320-323).
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Churchill Mining Plc
Investasi
Ridlatama Group
Kabupaten Kutai Timur
75% saham IUP Ridlatama Group
dicabut bupati Kutai Timur
Churchill merasa dirugikan
melalui
menggugat
International Centre for Settlement of Investment Dispute(ICSID)
Ditinjau dari
UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Pemerintah Republik Indonesia
commit to user 55
United Kingdom – Republic of Indonesia Bilateral Investment Treaty
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional, Indonesia membutuhkan banyak modal. Salah satu jalan untuk memperoleh modal tersebut yaitu melalui penanaman modal baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing. Penanaman modal tersebut juga dimungkinkan dalam bidang pertambangan. Penanaman modal asing diperlukan guna menunjang kelangsungan pembangunan nasional yang lebih baik. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia sangat membutuhkan investasi yang besar untuk mengelola sumber daya alamnya yang sangat melimpah. Penanaman modal, terutama penanaman modal asing, memberikan dampak positif maupun negatif terhadap Indonesia. Dampak positifnya antara lain berperan dalam meningkatkan pendapatan mata uang asing, penanaman modal asing juga tidak melahirkan utang baru. Selain itu, negara penerima tidak perlu menghadapi resiko manakala suatu penanaman modal asing yang masuk negerinya tidak mendapatkan keuntungan dari modal yang ditanamkannya. Penanaman modal asing tidak hanya memberikan dampak negatif bagi suatu negara tetapi juga dapat memberikan dampak negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah dimungkinkannya terjadi sengketa investasi antara investor dan negara penerima seperti kasus sengketa antara Churchill Mining dengan pemerintah Republik Indonesia. Sejak tahun 2007, sebuah perusahaan Inggris yang bernama Churchill Mining Plc melakukan investasi pada sektor pertambangan batubara dengan Ridlatama Group, yaitu perusahaan pertambangan milik Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan. Proyek tersebut dinamakan East Kutai Coal Project (EKCP). Churchill Mining Plc menanamkan sahamnya sebesar 75% pada Ridlatama Group. Namun setelah itu, Izin Usaha Pertambangan milik Ridlatama Group dicabut oleh Bupati Kutai Timur, Isran Noor karena beberapa alasan, salah satu diantaranya adalah tuduhan bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik Ridlatama Group untuk Proyek Batu Bara Kutai Timur adalah palsu. Churchill Mining Plc yang memiliki 75% saham pada Ridlatama Group tidak terima dengan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut, sehingga pada 22 Mei 2012 lalu Churchill Mining Plc menggugat pemerintah Republik Indonesia untuk membayar biaya ganti rugi sebesar US$ 2 miliar atau sebesar Rp 18 triliun melalui International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) di Washington DC. Pemerintah Republik Indonesia yang turut commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
digugat oleh Churchill Mining Plc antara lain adalah Presiden Republik Indonesia, Bupati Kutai Timur, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Kehutanan, Menteri Luar Negeri, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dalam penulisan hukum ini, Penulis melakukan penelitian tentang penyelesaian kasus sengketa investasi pertambangan antara Churchill Mining dengan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan United Kingdom – Republic of Indonesia Bilateral Investment Treaty (UK-RI BIT).
commit to user 57