BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) untuk Industri Rumah Tangga IRTP semakin banyak bermunculan di Indonesia sebagai salah satu dampak dari krisis moneter yang terjadi saat ini. Keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sedikit modal menyebabkan IRTP berkembang pesat dan tumbuh dalam skala usaha yang beragam. Untuk menghasilkan produk pangan yang aman dikonsumsi serta pengolahannya telah sesuai dengan standar keamanan pangan, dipandang perlu untuk dilakukan pembinaan kepada IRTP. Untuk menertibkan IRTP dalam mengolah makanan, pemerintah menerbitkan standar bagi IRTP yaitu CPPB. CPPB merupakan faktor penting yang harus dipenuhi agar standar mutu pangan tercapai. Disamping itu, CPPB wajib dilaksanakan oleh IRTP agar kegiatan yang dilakukan sesuai dengan persyaratan pengolahan pangan. CPPB penting bagi kelangsungan industri pangan karena dengan menerapkan CPPB, produk pangan yang dihasilkan IRTP menjadi baik mutunya, layak dikonsumsi dan aman bagi kesehatan serta kejadian gangguan kesehatan akibat pangan dapat dikendalikan (BPOM RI, 2012a). Beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh IRTP dikelompokkan untuk pengelola dan untuk penjamah makanan. Aspek-aspek ini hendaknya diterapkan dengan tujuan yaitu menghasilkan produk pangan yang aman dan mutunya sesuai standar. Aspek yang diatur untuk pengelola diantaranya adalah mengenai lingkungan produksi, bangunan dan fasilitas IRTP, peralatan produksi,
pengendalian hama dan pengendalian proses. Sementara, untuk penjamah makanan diatur mengenai perilakunya terkait higiene dan sanitasi. Lokasi dan lingkungan produksi IRTP hendaknya berada di lokasi yang tidak berdekatan dengan sumber pencemaran misalnya tempat pembuangan sampah. Kebersihan lokasi dan lingkungan IRTP harus selalu dijaga agar tidak terjadi kontaminasi pada makanan (BPOM RI, 2012a). Bangunan IRTP yang sesuai dengan standar dari pemerintah memiliki lantai dan dinding yang kedap air dan mudah dibersihkan. Langit-langit diupayakan agar terbuat dari bahan yang licin untuk mencegah penempelan debu dan kotoran. Sirkulasi udara melalui jendela dan pintu juga harus diperhatikan. Fasilitas IRTP dikatakan lengkap apabila tersedia sarana cuci tangan lengkap dengan sabun dan pengeringnya serta tersedianya tempat sampah yang sudah dipilah menjadi sampah organik dan anorganik serta memiliki fasilitas penunjang lain seperti sarana pencucian bahan dan alat, toilet, dan sistem pembuangan limbah (BPOM RI, 2012a). Proses pengolahan makanan di IRTP membutuhkan peralatan produksi. Peralatan produksi sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat serta mudah dibersihkan. Penempatan peralatan dilakukan sedemikian rupa untuk menghindari kontaminasi. Selain peralatan, ketersediaan air menjadi aspek vital dalam kegiatan di IRTP sehingga ketersediaan air senantiasa harus dijaga agar mencukupi kebutuhan dalam proses produksi (BPOM RI, 2012a). Sarana
yang telah disediakan juga
harus
mendapat
pemeliharaan.
Pemeliharaan dan kegiatan pembersihan dilaksanakan secara berkala. Untuk menghindari kontaminasi cemaran terhadap pangan. Cemaran dapat berasal dari
sisa-sisa makanan, hama seperti tikus, serangga dan hewan pemeliharaan, serta sampah yang dihasilkan dari proses produksi. Penumpukan sampah terutama di ruang pengolahan harus dihindari dengan melakukan pengangkutan sampah secara berkala. Aspek yang juga diatur untuk pengelola dalam CPPB adalah penyimpanan bahan makanan, penyimpanan makanan jadi dan penyimpanan bahan berbahaya. Penyimpanan bahan makanan hendaknya terpisah dari penyimpanan makanan jadi dan bahan berbahaya. Penyimpanan bahan makanan harus terhindar dari kontak langsung dengan lantai, dinding dan langit-langit ruangan. Sistem penggunaan bahan menggunakan sistem FIFO (First In First Out) yaitu bahan yang lebih dulu masuk atau memiliki tanggal kedaluwarsa lebih awal harus digunakan terlebih dahulu. Penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi masih dapat dilakukan dalam satu ruangan, namun untuk bahan berbahaya seperti sabun, detergen, racun serangga dan tikus harus disimpan dalam ruangan terpisah (BPOM RI, 2012a). Menurut BPOM RI (2012a), beberapa aspek penting dari penjamah makanan yang wajib dipenuhi untuk menghindari pencemaran pangan adalah kesehatan, kebersihan dan kebiasaan atau perilaku penjamah makanan. Perilaku penjamah makanan yang diatur dalam CPPB IRTP adalah sebagai berikut: 1. Mencuci tangan Kebersihan tangan sangat penting bagi setiap orang terutama bagi penjamah makanan. Kebiasaan mencuci tangan harus dibiasakan karena sangat membantu dalam mencegah penularan bakteri dari tangan ke makanan. Mencuci tangan sebaiknya menggunakan sabun dan air yang mengalir
kemudian dikeringkan. Kebiasaan mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum dan setelah menjamah makanan, sebelum menangani bahan/alat yang kotor, setelah menangani bahan mentah dan setelah keluar dari toilet. Cara mencuci tangan yang benar adalah basahi tangan dengan air mengalir sampai pergelangan tangan, gunakan sabun cuci tangan dan ratakan di seluruh tangan dan telapak tangan, sela-sela jari dan ujung kuku-kuku, gosok tangan dengan sabun ini kurang lebih 15-20 detik, bilas dengan air mengalir hingga bersih, keringkan dengan pengering tangan atau tisu sekali pakai dan tutup kran dengan tisu yang tadi sudah dipakai. 2. Menggunakan celemek Tujuan penggunaan celemek bagi penjamah makanan adalah mencegah pencemaran makanan dari pakaian yang digunakan oleh penjamah makanan. Selain itu, dengan menggunakan celemek dapat menunjukkan penampilan yang rapi dari penjamah makanan itu sendiri. 3. Menggunakan penutup kepala Penutup kepala digunakan oleh penjamah makanan untuk menghindari pencemaran terhadap makanan dari rambut penjamah makanan. Tanpa penutup kepala, kemungkinan helai rambut, ketombe atau kutu rambut dapat mengkontaminasi makanan yang sedang diolah. 4. Menggunakan masker Penjamah makanan wajib menggunakan masker saat mengolah makanan dengan tujuan menghindari pencemaran berupa air liur atau kotoran dari hidung penjamah makanan. Masker juga membantu menghindari terjadinya
pencemaran saat penjamah makanan batuk atau bersin ke arah makanan. Masker juga sebaiknya tidak digunakan berkali-kali. Apabila masker terbuat dari bahan yang dapat dicuci, setelah masker digunakan harus dicuci sebelum digunakan kembali. 5. Menggunakan sarung tangan Sarung tangan berfungsi agar tangan tidak kontak langsung dengan makanan sehingga apabila tangan sedang mengalami luka, makanan tidak akan tercemar oleh luka tersebut. Disamping itu, sarung tangan juga berfungsi sebagai perlindungan tambahan sekalipun penjamah makanan telah mencuci tangannya sebelum bekerja. 6. Menggunakan alat bantu atau penjepit saat mengambil makanan Alat bantu/penjepit biasanya digunakan untuk mengambil makanan matang saat melakukan pengemasan agar tidak terjadi kontak langsung dengan tangan penjamah makanan. 7. Menutupi makanan matang Perilaku menutupi makanan matang bertujuan untuk menghindari pencemaran dari serangga, debu atau kotoran dan menghindari kontaminasi silang dari bahan makanan lain. Selain harus ditutup, makanan matang sebaiknya ditempatkan pada wadah yang tertutup, disimpan pada suhu yang tepat, terpisah dari bahan makanan yang belum diolah.
8. Tidak bercakap-cakap Kebiasaan yang harus dihindari oleh penjamah makanan adalah bercakapcakap saat mengolah makanan untuk menghindari pencemaran makanan oleh air liur penjamah makanan. 9. Tidak menggaruk-garuk anggota tubuh Penjamah makanan sebaiknya tidak menggaruk-garuk anggota tubuh karena dapat menyebabkan tangan menjadi kotor sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran terhadap makanan. 10. Tidak mengunyah makanan Kebiasaan mengunyah makanan saat mengolah makanan juga harus dihindari oleh penjamah makanan, karena saat mengunyah makanan, kemungkinan air liur dapat menyebabkan terjadi pencemaran pada makanan yang sedang diolah. 11. Tidak menggunakan perhiasan Perhiasan penjamah makanan seperti cincin, gelang, jam tangan dan anting sebaiknya tidak digunakan saat bekerja karena kulit dibawah perhiasan dan pada perhiasan itu sendiri dapat menjadi tempat berkumpulnya kuman. Perhiasan seperti anting dikhawatirkan dapat jatuh ke dalam makanan tanpa dapat dicegah atau tanpa disadari sehingga dapat mengotori makanan, 12. Tidak memanjangkan kuku Penjamah makanan sebaiknya memotong kukunya menjadi pendek karena dalam kuku berkumpul kotoran yang menjadi sumber kuman penyakit yang akan mencemari makanan. Kuku dipotong pendek, sebab dalam kuku akan
terkumpul kotoran yang menjadi sumber kuman penyakit yang akan mencemari makanan. Hasil penelitian Mudey,dkk (2010) diketahui bahwa 97% dari penjamah makanan terinfeksi satu atau lebih parasit disebabkan oleh tinja dan kuku. Tingginya angka parasit pada penjamah makanan sebagian besar disebabkan oleh rendahnya praktek higiene perorangan dan sanitasi lingkungan sehingga dapat meningkatkan resiko kontaminasi makanan. 13. Memisahkan bahan mentah dengan produk akhir Bahan dan produk akhir harus disimpan terpisah dalam ruangan yang bersih, sesuai dengan suhu penyimpanan, bebas hama dan penerangan yang cukup. Pemisahan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang antara bahan dengan produk akhir tersebut. 14. Tidak makan dan minum selama bekerja Penjamah makanan sebaiknya tidak makan dan minum selama bekerja dengan tujuan menghindari sisa-sisa makanan dan air ludah mencemari makanan yang sedang diolah. 15. Membuang sampah pada tempatnya Penanganan sampah yang wajib dilakukan penjamah makanan adalah membuang sampah dengan memilah sesuai dengan jenis sampahnya. Sampah daun, kertas, sisa makanan merupakan jenis sampah organik sedangkan plastik dan kaleng merupakan jenis sampah anorganik. 16. Menutup luka pada bagian tubuh Penjamah makanan wajib menutup luka pada bagian tubuh untuk mencegah pencemaran bakteri dan kuman pada luka terhadap makanan yang diolah.
Luka yang dimaksud adalah luka terbuka atau koreng, bisul dan bernanah. Kulit dalam keadaan normal mengandung banyak bakteri penyakit. Sekali kulit terkelupas akibat luka atau teriris, maka bakteri akan masuk ke bagian dalam kulit dan terjadilah infeksi. 17. Tidak meludah Perilaku meludah dapat menyebabkan terjadinya pencemaran makanan yang menggunakan perantara serangga seperti lalat dan semut. Hal yang mungkin terjadi adalah gangguan pencernaan pada penjamah makanan. 18. Tidak merokok Merokok dilarang saat mengolah makanan atau berada di dalam ruang pengolahan makanan. Kebiasaan merokok dapat menimbulkan resiko bakteri atau kuman dari mulut dan bibir dapat dipindahkan ke tangan sehingga tangan menjadi semakin kotor dan kemudian akan mengotori makanan, abu rokok dapat jatuh ke dalam makanan secara tidak disadari dan sulit dicegah, disamping itu, bau asap rokok yang dapat mengotori udara sehingga terjadi sesak yang mengganggu pekerja lain dan bau rokok dapat meresap ke dalam makanan. 19. Tidak bersin dan batuk ke arah pangan Bersin dan batuk menghasilkan partikel kecil di udara yang dapat mencemari makanan, sehingga diharapkan penggunaan alat pelindung diri berupa masker untuk meminimalisir kemungkinan tersebut.
2.2 Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB Penjamah makanan adalah setiap orang yang terlibat langsung dalam proses produksi makanan baik dari tahap pemilihan bahan makanan, proses pengolahan, maupun tahap pengemasan dan penyajian makanan (BPOM, 2012). Penjamah makanan pada umumnya memiliki kualifikasi pendidikan khusus di bidang tata boga, namun dengan pesatnya perkembangan IRTP dan permintaan akan penjamah makanan meningkat maka kualifikasi pendidikan formal menjadi hal yang tidak lagi diprioritaskan.
2.2.1 Pengetahuan Pengetahuan penjamah makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilakunya. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seorang manusia terhadap objek melalui indera yang dimiliki baik itu indera pengelihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan mengenai CPPB dapat diperoleh dari informasi yang diperoleh baik dari media televisi, sosialisasi oleh dinas terkait, maupun dari pengelola IRTP. Pengetahuan yang diperoleh penjamah makanan mengenai CPPB umumnya diperoleh dari proses melihat dan mendengar. Penjamah makanan biasanya melihat penerapan CPPB dari pengelola maupun rekan kerja dan biasanya mendengar informasi mengenai CPPB dari pelatihan mengenai keamanan pangan. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, faktor sikap juga disebutkan mempengaruhi perilaku seseorang.
2.2.2 Sikap Sikap merupakan konsep penting dalam psikologi sosial yang membahas unsur sikap baik sebagai individu maupun kelompok. Banyak kajian dilakukan tentang sikap kaitannya dengan efek dan perannya dalam pembentukan karakter manusia (Notoatmodjo, 2010). Sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan faktor emosional. Budiyono (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pengetahuan penjamah makanan mengenai higiene sanitasi masih kurang, yaitu sebesar 63%. Senada dengan Budiyono, Meikawati dkk (2010) menyebutkan bahwa pengetahuan tidak memegang peranan penting terhadap higiene sanitasi makanan. Hal ini mungkin disebabkan karena responden kurang mengetahui benar tentang higiene sanitasi makanan, kurang mengetahui manfaat pemakaian perlengkapan khusus seperti pakaian kerja, penutup rambut dan celemek. Responden hanya mengikuti aturan dari atasannya tanpa tahu apa manfaatnya, sehingga tujuan pemakaian perlengkapan khusus tidak tercapai dan ada yang tidak memakainya karena alasan tidak nyaman dan mengganggu saat bekerja. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rodmanee dkk (2013) di Thailand menyebutkan bahwa hanya 10% penjamah makanan yang mendapat pengetahuan dari mengikuti pelatihan tentang higiene dan sanitasi makanan, namun perilakunya dalam menerapkan kebersihan masih sangat kurang. Pendapat berbeda yang menyatakan adanya keterkaitan antara tingkat pengetahuan dengan sikap dan tindakannya, tingkat pengetahuan yang baik akan memiliki sikap yang
baik dan sikap yang baik ini akan mendorong untuk bertindak baik (Fatima dkk, 2002). Pendapat yang sama disampaikan juga oleh Rahmawati (2005) di Tembalang Semarang bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, sikap dan perilaku penjamah makanan dalam menerapkan higiene sanitasi di tempat kerjanya.
2.2.3 Penyuluhan Keamanan Pangan Penyuluhan keamanan pangan sebaiknya diberikan kepada pengelola dan karyawan IRTP dengan tujuan meningkatkan pengetahuan pengelola dan karyawan mengenai pangan yang aman. Pada penyuluhan keamanan pangan akan diberikan pemahaman materi mengenai bahan pangan yang baik, bahan tambahan pangan, higiene sanitasi baik pada saat pemilihan bahan pangan, pengolahan, maupun penyajian makanan. Pemilik dan karyawan IRTP juga harus mengetahui tentang bahaya biologis,bahaya kimia, dan bahaya fisik yang mungkin terjadi pada makanan (BPOM RI, 2013c). Penyuluhan keamanan pangan dapat diberikan oleh BPOM atau diadakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Materi penyuluhan diberikan oleh Penyuluh Keamanan Pangan (PKP). PKP yang memberikan materi penyuluhan telah memiliki kualifikasi dan kompetensi dalam bidang produksi pangan serta telah ditunjuk oleh organisasi yang kompeten. Pengelola dan Karyawan IRTP yang telah mengikuti pelatihan akan memperoleh sertifikat penyuluhan keamanan pangan yang menjadi persyaratan mutlak dalam penerbitan Sertifikat Produksi Pangan (BPOM RI, 2012). Penelitian
yang dilakukan Thimoteo dkk (2014) menyebutkan bahwa pelatihan tidak berhubungan langsung dengan sikap dan praktek penjamah makanan dalam menerapkan higiene dan sanitasi, namun pelatihan merupakan alat yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan. Sebuah penelitian meta analisis dilakukan oleh Jan Mei Soon dkk (2012) di Malaysia memperoleh hasil yang berbeda, program pelatihan keamanan pangan meningkatkan pengetahuan dan sikap penjamah makanan khususnya tentang praktek kebersihan tangan. Penelitian yang dilakukan Tokuca (2009) di Turki menyebutkan sangat diperlukan penyuluhan atau pelatihan bagi tenaga penjamah makanan untuk meningkatkan pengetahuan penjamah makanan dalam menyiapkan makanan pasien.
2.2.4 Ketersediaan Fasilitas IRTP Adanya fasilitas higiene sanitasi di IRTP bertujuan untuk menjamin ruang produksi dalam keadaan bersih dan terbebas dari cemaran serta produk pangan yang dihasilkan bebas dari cemaran. Syarat mutlak dari fasilitas di IRTP adalah tersedianya air bersih. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sumber air berasal dari sumber yang aman, memenuhi persyaratan baku air serta cukup untuk melakukan proses produksi. Fasilitas higiene karyawan disediakan untuk menjamin kebersihan karyawan. Fasilitas yang sebaiknya tersedia adalah bak untuk mencuci tangan lengkap dengan sabun dan handuk atau alat pengering tangan, tempat ganti pakaian karyawan, toilet atau jamban dalam jumlah yang cukup serta terjaga kebersihannya. Jumlah toilet yang cukup adalah satu buah
untuk 10 karyawan pertama dan 1 buah untuk setiap penambahan 25 karyawan (BPOM RI, 2012).
2.2.5 Dukungan Pengelola Dukungan pengelola IRTP merupakan faktor berikutnya yang mempengaruhi perilaku penjamah makanan. Dukungan pengelola merupakan salah satu faktor penguat (reinforcing factors) bagi penjamah makanan untuk menerapkan CPPB IRTP di tempat kerjanya. Dukungan yang diberikan pengelola IRTP kepada penjamah makanan dapat berupa ucapan, sikap, serta pemberian reward bagi penjamah makanan. Reward yang diberikan dapat berupa imbalan atau insentif serta pemberian kesempatan untuk mengikuti penyuluhan keamanan pangan. Insentif atau bonus diberikan dengan tujuan menstimulasi dorongan internal dari penjamah makanan. Dengan pemberian insentif, diharapkan pengetahuan, sikap dan kemauan untuk menerapkan CPPB lebih meningkat (Dewi, 2014). Dukungan pengelola merupakan salah satu dukungan organisasi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Schappe (1998) dan Moorman dkk (1998) menemukan bahwa penilaian karyawan terhadap keadilan, berbagai kebijakan, atau peraturan perusahaan juga ikut mempengaruhi perilaku karyawan. Karyawan yang merasa diperlakukan secara adil oleh perusahaan dalam hal peraturan atau kebijakannya, maka akan meningkat perilakunya. Begitu pula sebaliknya, karyawan yang merasa diperlakukan tidak adil akan semakin menurun perilakunya. Eisenberger dkk (1986) mengemukakan dua aspek untuk mengetahui kondisi dukungan organisasi yang dirasakan karyawan. Kedua aspek tersebut adalah penghargaan
organisasi terhadap kontribusi karyawan dan perhatian organisasi terhadap kesejahteraan karyawan. Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002), terdapat tiga bentuk umum perlakuan dari organisasi yang dianggap baik dan akan dapat meningkatkan dukungan organisasi yang dirasakan karyawan yaitu keadilan, dukungan atasan dan imbalan dari organisasi dan kondisi kerja.
2.3 Keamanan Pangan Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 sampai dengan 2010 terlihat kecenderungan insiden naik. Pada tahun 2000 IR penyakit diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %). Menurut catatan World Health Organization (WHO), diare membunuh dua juta anak di dunia setiap tahun. Diare hingga kini masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak. Sebuah penelitian menunjukkan adanya hubungan antara praktek higiene produk
makanan, higiene peralatan, higiene perorangan dan praktek higiene sanitasi makanan dengan frekuensi diare pada anak. Praktik higiene dan higiene peralatan yang rendah akan menyebabkan meningkatnya kejadian diare pada konsumen makanan tersebut (Kusumawardani, 2010). Pemberlakuan UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan merupakan terobosan pemerintah dalam melindungi konsumen untuk serta menjamin masyarakat memperoleh pangan yang aman. Pangan yang aman dan bermutu dihasilkan oleh industri pangan dan industri rumah tangga yang telah menerapkan CPPB. Sehingga dalam hal ini, IRTP merupakan penentu bagi beredarnya pangan yang sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah. Jaminan akan pangan yang aman merupakan hak asasi konsumen. Sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen berhak mendapatkan pangan yang aman karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Selain harus mengandung cukup gizi, pangan yang dikonsumsi harus diolah secara benar dan aman. Namun pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan masih sangat kurang, hal ini tercermin dari rendahnya keluhan konsumen akan produk pangan yang telah mereka beli. Konsumen sangat jarang melaporkan ketidaksesuaian pangan dengan informasi produk pada kemasan. Padahal, kepedulian konsumen sangat mendukung peningkatan pengetahuan produsen serta perubahan tata cara pengolahan pangan ke arah yang lebih baik yaitu sesuai dengan syarat pangan yang aman (Cahyono, 2002).
Keamanan pangan di suatu tempat dibuktikan dengan terbebasnya masyarakat dari beredarnya pangan yang membahayakan kesehatan. Menurut Fardiaz (2006), masalah keamanan pangan biasanya terjadi karena produk pangan terpapar dengan lingkungan yang kotor, sehingga pangan menjadi tercemar oleh bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Bahan-bahan berbahaya yang dimaksud adalah cemaran kimia, fisik maupun mikrobiologi. Pada usaha perdagangan baik nasional maupun internasional, keamanan pangan menjadi pertimbangan pokok karena keamanan pangan memiliki peranan yang sangat vital. Pemerintah memberlakukan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan dengan tujuan melindungi masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi persyaratan dan standar kesehatan. Adapun sasaran dari program keamanan pangan yang dicanangkan pemerintah adalah untuk melindungi masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan yaitu yang terlihat dari meningkatnya pengetahuan serta kesadaran produsen terhadap keamanan pangan. Sasaran yang kedua yang termuat dalam peraturan ini adalah memantapkan kelembagaan pangan yaitu antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundangan yang mengatur keamanan pangan. Sasaran yang ketiga adalah meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Cahyono (2002) menyatakan bahwa banyak pangan yang berbahaya yang masih beredar di masyarakat. Penggunaaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai takaran standar juga masih menjadi permasalahan pangan di masyarakat. Pemasalahan yang tidak kalah penting yaitu beredarnya pangan yang telah
kedaluwarsa, pangan impor tanpa izin edar, serta makanan yang pengolahannya tidak mengikuti kaidah higiene dan sanitasi. Harapan untuk mewujudkan kemanan pangan harus ditunjang dengan pendekatan dari good practices, quality control dan penerapan sanitasi yang baik. Tidak kalah pentingnya diperhatikan adalah penjamah makanan (food handler) yang bekerja pada penyelenggaraan makanan (Nurlaela, 2011). Quality control merupakan suatu sistem pengawasan dan pencegahan sejak awal untuk menghindari terjadinya pencemaran yang berlanjut dalam suatu proses produksi sehingga keamanan produk dapat dipertanggungjawabkan (quality assurance) bagi konsumen. Penerapan quality control dalam pengolahan pangan IRTP secara terpadu memungkinkan untuk mengantisipasi terjadinya bahaya (hazard) yang mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaklayakan mutu produk IRTP. Penerapan quality control juga membantu tugas pengawasan rutin oleh pemerintah dan memfokuskan pengawasan pada makanan yang berisiko tinggi bagi kesehatan dan meningkatkan kepercayaan dalam perdagangan lokal (Kemenkes RI, 2012). Setiap orang yang terlibat dalam rantai pangan wajib mengendalikan risiko bahaya pada pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi maupun dari perseorangan sehingga keamanan pangan terjamin serta wajib memenuhi persyaratan sanitasi yang meliputi sarana prasarana, penyelenggaraan kegiatan dan sanitasi personal. Pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan pada IRTP dilakukan dengan menerapkan CPPB IRTP. Keberhasilan penerapan CPPB IRTP membutuhkan komitmen yang penuh dari
semua pihak termasuk keterlibatan pengelola dan penjamah makanan (Kemenkes RI, 2012).
2.4 Teori yang mendukung perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB IRTP Menurut Green (1994), kesehatan individu sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor perilaku dan faktor luar perilaku. Selanjutnya faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor yang meliputi faktor predisposisi mencakup karakteristik, pengetahuan, persepsi, sikap, norma sosial, tradisi, keyakinan dan sebagainya. Faktor pemungkin atau pendukung adalah tersedianya fasilitas, biaya serta tersedianya cukup informasi dan faktor penguat yaitu dukungan pengelola dan kebijakan yang ditetapkan sarana untuk menguatkan keputusan seseorang 1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) Faktor karakteristik penjamah makanan merupakan faktor predisposisi yang memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi perilaku penerapan CPPB. Umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan adalah tiga faktor yang akan diteliti pengaruhnya terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada penelitian ini. Apabila dikaitkan dengan perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP, maka pengetahuan yang dimaksud adalah sejauh mana penjamah makanan mengetahui kegiatan higiene sanitasi dan praktek higiene karyawan sedangkan sikap adalah tanggapan karyawan terhadap penerapan CPPB IRTP.
Masa kerja adalah lama bekerja penjamah makanan di satu sarana IRTP. Penjamah makanan yang mengikuti penyuluhan juga merupakan faktor predisposisi, karena dengan mengikuti penyuluhan, diharapkan pengetahuan penjamah makanan tentang penerapan higiene sanitasi dan CPPB IRTP dapat meningkat
sehingga
perilakunya
juga
sejalan
dengan
peningkatan
pengetahuannya.
2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors) Faktor pemungkin berupa ketersediaan fasilitas yang mendukung penjamah makanan dalam pelaksanaan CPPB IRTP. Fasilitas yang dimaksud adalah fasilitas yang tersedia baik di ruang produksi maupun ruang penyimpanan. Sementara itu, jumlah informasi yang dimaksud apakah penjamah makanan pernah mendapat informasi mengenai pelaksanaan higiene sanitasi karyawan seperti yang dituangkan dalam peraturan mengenai penerapan CPPB IRTP.
3. Faktor Penguat (Reinforcing Factors ) Faktor penguat dalam penerapan CPPB adalah dukungan pengelola IRTP yaitu dalam memberikan reward dan punishment bagi penjamah makanan yang bekerja di sarana IRTP yang dikelola. Serta adanya kebijakan yang mengatur pelaksanaan CPPB IRTP di sarana tempat penjamah makanan bekerja. Reward dari pengelola dapat berupa insentif yaitu uang tambahan atau bonus apabila penjamah makanan menerapkan CPPB dengan baik. Faktor penguat dapat juga
berupa pujian dan penghargaan berupa rekomendasi bagi penjamah makanan yang ingin meningkatkan karirnya di bidang pengolahan makanan. Secara matematis, determinan perilaku menurut Green dapat digambarkan sebagai berikut:
B=F(Pf, Ef,Rf) Keterangan : B = Behaviour F
= Fungsi
Pf = Predisposing factors Ef = Enabling factors Rf = Reinforcing factors