40
BAB II PERBUATAN YANG DIKATEGORIKAN KE DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA DENGAN CARA PENELANTARAN RUMAH TANGGA Tindak pidana penelantaran dalam lingkup keluarga merupakan jenis tindak pidana yang keempat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga. 1 Perbuatan materiil yang diatur dalam Pasal 49 huruf a Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga terkait erat dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT yang menentukan bahwa “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Maka setiap orang yang terbukti secara sah menelantarkan rumah tangganya dapat dijerat dengan ketentuan pidana. Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT tidak memberikan pengertian secara sistematis yang dimaksud dengan memberikan kehidupan, perawatan dan pemeliharaan, begitu pula dengan kualifikasi yang mengkibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sebagai yang termuat didalam Pasal 9 ayat (2). Oleh karena perbuatan yang dicantumkan didalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) merupakan perbuatan materiil, maka untuk mengetahui makna dan perbuatan penelantaran
1
Guse Prayudi, Op.Cit, hal. 92.
40 Universitas Sumatera Utara
41
dari ketentuan pasal tersebut telah dilakukan penelitian. Berikut paparan berdasarkan tabel di bawah ini. Tabel 2: Perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan penelantaran rumah tangga n=100 N o
Jenis perbuatan
1
Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif Melarang korban bekerja tetapi menelantar kan Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban Tidak memberikan nafkah kepada keluarga Tidak memberikan kasih sayang kepada keluarga Tidak memberikan perawatan kepada keluarga Tidak memberikan pendidikan kepada anak Jumlah
2
3
4
5
6
7
Pns
Irt
5
Pekerjaan responden Pegawai Buruh Lain swasta Nya 4 2 3
3
Wira Swasta 1
Tni/ Polri 1
Jumlah
persentase
19
3%
29
15
9
3
13
8
22
99
18%
5
4
5
1
5
2
7
29
5%
29
15
9
3
13
8
23
100
18%
29
15
9
3
13
8
23
100
18%
29
15
9
3
13
8
23
100
18%
29
15
9
3
13
8
23
100
18%
155
82
51
17
74
44
124
547
Sumber : hasil kuisioner dengan masyarakat Aceh dan Medan
Universitas Sumatera Utara
42
Jumlah responden dalam penelitian ini berjumlah 100 (seratus) orang. Yang terdiri dari masyarakat Aceh dan Medan. Setelah dilakukan penelitian dapat dilihat bahwa jumlah keseluruhan adalah 547 (lima ratus empat puluh tujuh) dari 100 (seratus) responden. Hal ini disebabkan pemilihan jawaban dalam kategori perbuatan penelantaran rumah tangga di mana kuisionernya berbentuk terbuka, responden bisa memilih menjawab lebih dari satu jawaban yang ditawarkan, sehingga masing-masing responden ada kemungkinan menjawab 2 (dua) sampai 3 (tiga) jawaban, bahkan bisa menjawab 7 (tujuh) jawaban sekaligus. Sehingga hasil keseluruhan berjumlah 547 (lima ratus empat puluh tujuh). Cara penghitungan tabel ini mengunakan rumus koefisiensi kontingansi. Rumus ini digunakan untuk menghitung hubungan antara variabel bila hasil penelitian yang didapat berbentuk dominal atau ganda. 1 Untuk memudahkan menghitung hasil penelitian. Maka hasil penelitian disusun berdasarkan tabel yang modelnya seperti tabel 2 untuk mendapat persentase dari masing-masing perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan penelantaran rumah tangga, maka dicari tau lebih dahulu berapa jumlah masing-masing responden yang memilih perbuatan tersebut dan hasilnya akan dihitung satu persatu-satu berdasarkan jenis pekerjaan responden. 2 Berdasarkan Tabel 2 diatas, terdapat 7 (tujuh) perbuatan yang ditawarkan kepada responden sebagai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan penelantaran rumah tangga yaitu: 1.
Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran; 1 2
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 239. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
43
2.
Melarang korban bekerja tapi menelantarkannya;
3.
Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban;
4.
Tidak memberikan nafkah kepada keluarga.;
5.
Tidak memberikan kasih sayang kepada keluarga;
6.
Tidak memberikan perawatan kepada keluarga dan;
7.
Tidak memberikan pendidikan kepada anak. Ketujuh perbuatan tersebut di atas masing-masing mempunyai persentase
tersendiri yaitu memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif 3% dari 19 responden, melarang korban bekerja tetapi menelantarkan dengan jumlah 99 responden dengan persentase 18%, mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban sebanyak 5% dari 29 responden, tidak memberikan nafkah kepada keluarga, tidak memberikan kasih sayang kepada keluarga, tidak memberikan perawatan kepada keluarga dan tidak memberikan pendidikan kepada anak jumlah 100 responden dengan masing-masing persentase 18%. Ketujuh perbuatan tersebut akan disesuaikan dengan maksud dari Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) yaitu “ Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeriharaan kepada orang tersebut dan penelantaran yang menyebab ketergantungan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
44
A. Tidak Memberikan Kehidupan Kepada Keluarga Ketentuan tidak memberikan kehidupan kepada keluarga merupakan salah satu syarat untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana penelantaran rumah tangga. Meskipun UU PKDRT tidak memberikan penjelasan secara sistematis mengenai tidak memberikan kehidupan. Namun berdasarkan hasil kuisioner tidak memberikan kehidupan diartikan sebagai tidak memberikan nafkah, termasuk di dalamnya memberikan kebutuhan-kebutuhan anak. 1.
Nafkah a. Nafkah dan sebab-sebabnya Kata nafkah berasal dari Infak yang artinya mengeluarkan dan kata ini tidak digunakan selain untuk hal-hal kebaikan. Bentuk jamak dari kata nafkah adalah nafaqaat yang secara bahasa artinya sesuatu yang diinfakkan atau dikeluarkan oleh sesorang untuk keperluan keluarga. Dan sebenarnya nafkah itu berupa dirham, dinar, atau mata uang yang lainnya. Adapun nafkah menurut syara’ adalah kecukupan yang diberikan seseorang dalam hal makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Akan tetapi, umumnya nafkah itu hanyalah makanan. Termasuk dalam arti makanan adalah roti, lauk, dan minuman. Sedangkan, dalam hal pakaian ketentuannya bisa dipakai untuk menutupi aurat, sedangkan tempat tinggal termasuk di dalamnya rumah, perhiasan, minyak, alat pembersih, perabot rumah tangga, dan lain-lainnya sesuai adat dan kebiasaan umum. 1
1
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (jilid 10)¸ (Jakarta: Gema Insani, 2011),
hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
45
Berdasarkan kamus bahasa Indonesia maksud memberikan kehidupan adalah memberikan nafkah kepada anggota keluarga, yang dimaksud dengan nafkah adalah belanja untuk hidup, uang pendapatan, selain itu juga berarti bekal hidup sehari-hari. Dalam hal ini nafkah adalah nafkah dalam suatu perkawinan, yaitu uang yang diberikan oleh suami untuk belanja hidup keluarganya. 1 Pengertian nafkah juga dapat merujuk pada ketentuan Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung: 2 1.
Nafkah, kiswah dan tempat kediaman istri;
2.
Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan istri dan anak;
3.
Biaya pendidikan bagi anak. Pengaturan Nafkah dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam undang-undang perkawinan tidak menetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan suami. Pengaturan mengenai nafkah juga dapat dilihat dalam undang-undang hukum perdata (KUHPer) Pasal 107 ayat (2) KUHPer, yang mengatakan bahwa suami wajib untuk melindungi istrinya dan memberikan kepada isterinya segala apa yang perlu dan patut sesuai dengan kedudukan dan kemampuan suami. 1
http://hukumonline.com, diakses tanggal 24 Februari 2015. Lihat: Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam Bab XIII tentang hak dan kewajiban suami Isteri bagian ketiga. 2
Universitas Sumatera Utara
46
Ada dua macam nafkah yaitu: 1 1. Nafkah yang wajib dikeluarkan oleh seseorang untuk dirinya sendiri jika memang mampu. Nafkah ini harus didahulukan daripada nafkah untuk orang lain. 2. Nafkah yang wajib atas diri seseorang untuk orang lain. Sebab jadikan nafkah ini wajib ada tiga, yaitu sebab nikah, hubungan kekerabatan, hak kepemilikan. b. Pokok kecukupan Nafkah Bagi Kerabat dan Istri Para ulama sepakat bahwa nafkah untuk kerabat dan istri itu wajib hanya sekedar memenuhi kecukupan roti, lauk, pakaian, dan tempat tinggal sesuai dengan keadaan orang yang memberi nafkah dan sesuai kebiasaan yang sudah berlaku di negara tempat tinggalnya. Rasulullah SAW, berkata kepada Hindun “Ambillah harta suamimu dengan cara baik sekadar untuk mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu” batasan banyak sedikitnya nafkah untuk istri dan anak adalah sesuai kebutuhan. Jika istri atau kerabat membutuhkan pembantu maka orang yang memberinya nafkah
harus mengusahakan
pembantu karena itu termasuk bagian dari kebutuhan. 2 Ahli fikir telah menetapkan nafkah yang terdiri dari: 3 a. b. c. d. e. c.
Makanan, kesehatan Pakaian Tempat tinggal (rumah) Pendidikan Keadilan.
Syarat-syarat wajibnya nafkah. Wajibnya nafkah untuk kerabat dekat harus dengan tiga syarat. 4
1
Wahbah Az-Zuhaili, Loc.Cit, hal. 94. Ibid, hal. 98. 3 H.M.Hasballah Thaib, dan Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, ( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hal. 234. 4 Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit, hal. 98. 2
Universitas Sumatera Utara
47
Pertama, kerabat dekatnya itu miskin, tidak punya harta, dan tidak punya kekuatan untuk bekerja, disebabkan karena masih kecil, sudah lanjut usia, idiot, atau sakit menahun, kecuali kedua orang tua yang tetap wajib nafkah meskipun keduanya sehat dan mampu bekerja. Jika kerabat itu hidpnya kecukupan mana tidak perlu dinafkahi. Akan tetapi, pendapat yang rajih
madzhab Maliki
menyebutkan bahwa menafkahi kedua orang dua atas anak hukumnya tidak wajib jika keduanya masih mampu bekerja. Kedua, orang yang berkewajiban memberi nafkah itu berkecukupan dan mempunyai kelebihan harta. Orang seperti ini wajib memberi nafkah kepada kerabat dekatnya yang miskin, terkecuali bagi ayah. Nafkah anak kepadanya tetap wajib meskipun ia sendiri masih kesulitan, demikian juga suami. Nafkah istrinya wajib ia tanggung meski ia dalam kesulitan. Ketiga, orang yang memberi nafkah masih terhitung kerabat mahram dari orang yang diberi nafkah dan berhak mendapatkan warisan menurut madzhab Hanafi. Adapun menurut madzhab Hanabillah, syaratnya hanya satu, yaitu orang yang memberi nafkah itu termasuk ahli waris, Dalilnya adalah Al-Quran surat alBaqarah:233. Menurut Malikiyyah, orang tersebut haruskah seorang ayah atau anak, sedangkan menurut Syafi’iyyah syaratnya orang tersebut termasuk ushul ataupun furu’ sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan yang telah lewat. Seorang ayah tetap harus memberi nafkah kepada anaknya selama ia masih dalam tahap belajar meskipun sudah balig. 1
1
Ibid, hal. 99.
Universitas Sumatera Utara
48
d. Batasan lapang dan sempit. Orang yang ekonominya lapang wajib memberi nafkah kepada kerabat dekatnya. Ulamanya Hanafiyyah dalam pendapat arjah yang difatwakan menjelaskan bahwa yang dimaksud ekonomi lapang adalah yasaarul fithrah. Artinya seseorang memiliki harta yang wajib dikeluarkan zakatnya meski harta itu tidak berkembang namun hartanya sudah melebihi kebutuhan pokok. Nishab zakat harta adalah dua puluh mitsqal atau satu dinar dari uang emas atau dua ratus dirham dari uang perak. Siapa saja yang hartanya sudah wajib dikeluarkan zakatnya maka ia wajib memberi nafkah kepada kerabatnya, dengan syarat harta itu termasuk harta lebih dari nafkahnya dan nafkah kebtuhan keluarga. e.
Mampu dan tidak mampu bekerja Para ulama sepakat akan wajibnya memberi nafkah kepada kerabat yang
fakir, tidak mampu bekerja. Yang dimaksud tidak mampu bekerja adalah tidak mampu mengusahakan atau menghasilkan kebutuhan seharinya dengan cara yang masyru’ dan layak. Keadaan orang tersebut bisa jadi salah satu dari beberapa contoh dibawah ini. Orang tersebut wanita, sedang sakit tahunan, anak kecil, idiot, gila, buta, lumpuh, atau orang yang tidak mendapat pekerjaan karena banyaknya saingannya. Seseorang yang masih mampu untuk bekerja maka ia tidak berhak menerima nafkah dari kerabat dekatnya yang kaya karena dengan mampu bekerja maka ia juga termasuk kaya. Akan tetapi, dalam hal ini kedua orang tua dikecualikan. Menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, kedua orang tua tetap harus diberi nafkah oleh anak meskipun mereka masih mampu bekerja. Karena furu’
Universitas Sumatera Utara
49
diperintahkan agama untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, dan termasuk tidak berbuat baik jika ia membebani orang tua untuk tetap bekerja padahal mereka yang rajih dalam madzhab Malikiyyah dan Hanabilah, seseorang anak tidak wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya jika keduanya masih mampu bekerja. f. Kemandirian seorang ayah atas nafkah anak-anaknya. Tidak ada seorang pun yang ikut membantu ayah dalam memberi nafkah kepada anak-anaknya, tetapi juga nafkah suami terhadap istrinya karena mereka telah menjadi bagian yang tidak terpisahkann sehingga menjaga diri sendiri. Allah SWT berfirman yang artinya, “dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut”(al-Baqarah:233). g. Kemandirian anak atas nafkah orang tuanya Seorang anak tidak dibantu oleh orang lain dalam memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya, karena hanya dialah yang paling dekat dengan mereka. Jika orang tua mempunyai beberapa anak yang ekonominya mapan maka nafkah untuk orang tua ditanggung mereka sesuai kadar kekayaan masing-masing. Ini menurut pendapat yang rajih
dalam madzhab Malikiyyah. Pendapat lain
mengatakan , “kewajiban nafkah itu dibagikan kepada anak, dan bagian lelaki sama dengan perempuan.” Akan tetapi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa pembagian kewajiban nafkah dibagikan kepada anak sesuai aturan warisan, yaitu seorang lelaki berbanding dua orang perempuan. 1
1
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
50
h. Nafkah istri Nafkah istri adalah nafkah yang wajib diterima oleh istri dari suaminya karena sebab akad nikah. Pembahasan ini akan memuat empat point penting yaitu: Pertama, macam, wajibnya nafkah, orang yang berkewajiban, dan sebab-sebab wajib nafkah. Kedua, syarat wajib nafkah. Ketiga, cara mengatur jumlah nafkah dan macam-macamnya serta hukum mahkamah dalam hal itu. Keempat, hukumhukum nafkah (bagi orang yang menolak memberi nafkah, ekonomi suami dengan sulit, nafkah istri yang tidak ada) 1. Macam, wajibnya nafkah, orang yang berkewajiban, dan sebab-sebab wajibnya nafkah. Nafkah merupakan sesuatu yang diinfakkan oleh seseorang untuk keluarganya, menurut syara’ nafkah terdiri dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Adalah makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Namun, umumnya fuqaha hanya membatasi dalam makanan saja. Karena itu, mereka kemudian menambahkan pakaian dan tempat tinggal. 1 Hukum wajibnya nafkah: para fuqaha sepakat akan wajibnya nafkah untuk istri baik Muslimah maupun kafir jika memang di nikah dengan akad yang sah. Akan tetapi, jika ternyata pernikahannya fasid atau batal maka suami berhak meminta nafkah yang telah di ambil oleh istrinya. Wajibnya memberi nafkah kepada istri ini dijelaskan oleh Al-qur’an. Sunnah. Ijma, dan akal. Kewajiban memberikan nafkah kepada istri: fuqaha sepakat bahwa nafkah istri itu wajib hukumnya atas suami yang merdeka dan hadhir atau ada. Jika seorang wanita sudah menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki dengan cara 1
Ibid, hal.110.
Universitas Sumatera Utara
51
pernikahan yang sah maka ia berhak mendapatkan nafkah dan segala kebutuhannya dari suami, baik makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Sebab wajibnya nafkah: ulama mempunyai dua pendapat dalam hal ini. Ulama hanafiyyah berpendapat sebab wajibnya nafkah atas suami adalah karena suami adalah karena suami berhak menahan istrinya untuk tidak keluar rumah atau pun bekerja setelah akad nikah yang sah. Artinya, jika akad nikahnya itu batal maka nafkah menjadi tidak wajib, karena tidak ada sebab yang mewajibkannya, yaitu hak menahan istri setelah akad nikah, dan hak itu tidak berlaku jika akad nikahnya fasid atau batal. 2.
Cara mengatur jumlah nafkah Nafkah untuk istri meliputi beberapa hal berikut ini. a. Makanan, minuman, dan lauk. b. Pakaian. c. Tempat tinggal. Undang-undang Negara Syria pasal 71 menegaskan bahwa ragam dan kirakira nafkah diambil dari wajibnya nafkah berobat dan pengobatan: a.
Nafkah untuk istri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan secara umum, dan pembantu bagi istri.
b.
Seorang suami diwajibkan dengan paksa untuk memberikan nafkah kepada istrinya jika ia menolak memberi nafkah.
a) Makanan dan sejenisnya Para ulama menetapkan bahwa nafkah yang wajib untuk istri adalah makanan dan pelengkapnya seperti minuman, lauk, air, cuka, minyak, kayu
Universitas Sumatera Utara
52
bakar, dan sejenisnya. Tetapi. Buah tidak termasuk dalam hitungan nafkah wajib. 1) Cara mengira-ngira nafkah makanan Mayoritas ulama selain Syafi’iyyah berpendapat bahwa nafkah berupa makanan di kira-kirakan dengan kadar kecukupannya. Artinya, makanan yang dapat mencukupi istri sebagai nafkah kerabat karena Rasulullah saw. Bersabda kepada Hindun, “Ambilah harta suamimu yang engkau anggap cukup untuk mu dan untuk anakmu”. Hadist ini tidak menjelaskan jumlah atau bilangan, hanya membatasi dengan ketentuan cukup. Artinya, sesuai kebutuhan istri dan anak. Allah berfirman SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya, “ dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selam dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut...” (alBaqarah:233) Mewajibkan kadar atau jumlah nafkah dibawah standar cukup adalah sikap yang tidak baik, karena dalil-dalil di atas mengharuskan standar nafkah itu harus cukup. Tidak sah hukumnya megira-ngirakan nafkah makanan dengan denda kafarat, karena kafarat itu semua rata tidak pandang miskin dan kaya. Pemasukan kafarat ke dalam jenis nafkah itu hanya dalam jenisnya saja, bukan dalam ukuranya. Jika suami sendiri yang langsung menangani nafkah istri maka ia tidak boleh meminta jumlah tertentu untuk ia gunakan sendiri. Dan jika suami memberikan nafkah di bawah standar cukup maka ia boleh mengadukannya ke pengadilan
untuk
mencukupi
kebutuhannya.
Ukuran
wajib
nafkah
dikembalikan kepada suami jika tidak ada kesepakatan antara suami istri.
Universitas Sumatera Utara
53
Wajib hukumnya menyerahkan makanan kepada istri baik secara harian maupun bulanan. Akan tetapi, Hanafiyyah dan Malikiyyah membolehkan uang kepada istri sebagai ganti makanan agar ia sendiri yang membelanjakannya. Pendapat inilah yang sekarang berlaku dalam hukum pengadilan, karena dinilai lebih mudah dan tepat. Ulama hanabilah berpendapat bahwa seorang hakim tidak berhak menentukan selain wajibnya makanan pokok yang sering digunakan dalam daerah tersebut, seperti dirham misalnya, kecuali dengan kesepakatan dari pihak suami istri. Kadar nafkah makanan disesuaikan dengan kebiasaan dan adat yang berlaku dimasing-masing daerah. Atau, bisa juga berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Jika seorang hakim telah menentukan jumlah nafkah kemudian ekonomi sang suami berubah maka ketentuan itu juga diubah sesuai dengaan perubahan ekonomi. Artinya, jika ekonomi membaik maka nafkahnya bertambah, dan jika ekonomi melemah maka nafkahnya berkurang. 2) Masa pemberian nafkah makan Pemberian
nafkah
makan
menurut
Malikiyyah
dan
Hanafiyyah
disesuaikan dengan keadaan ekonomi suami, baik harian, mingguan, bulanan, maupun tahunan. Pekerjaan kasar mungkin nafkahnya diberikan harian atau mingguan. Pegawai mungkin lebih mudah mengunakan hitungan bulanan, sedangkan orang-orang kaya mungkin mampu mengunakan hitungan tahunan. Untuk nafkah yang diberikan harian maka diberikannya pada sore hari untuk nafkah besok. Atau pada akhir minggu bagi yang nafkahnya diberikan
Universitas Sumatera Utara
54
mingguan, atau pada awal atau akhir bulan sesuai dengan gaji yang diterima. Bisa juga tiap tahun bagi orang orang. b) Pakaian Para ulama sepakat bahwa suami berkewajiban memberikan pakaian untuk istrinya sebagai bagian dari nafkah wajib karena Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupanya...”(al-Baqarah:233) Standar pakaian telah ditentukan oleh para ulama hingga ulama Syafi’iyyah sesuai dengan keadaan ekonom suami. Ketentuannya bukan dengan syara’, namun dengan ijtihad hakim sesuai dengan kecukupan keluarga. Jika keluarganya kaya maka pakaiannya dari bahan yang halus dan bagus, sedangkan bagi keluarga miskin maka kainnya yang kasar. Batas minimal nafkah wajib adalah qamish, yaitu sepotong pakaian yang dapat menutup seluruh badan. Lantas celana, yaitu kain yang menutupi bagian bawah anggota badan dan menutup aurat. Kemudian kerudung, yaitu kain yang menutup kepala. Kemudian sandal atau sepatu, atau sejenisnya. c)
Tempat Tinggal Seorang istri berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak, baik dengan
membeli ataupun menyewa karena Allah SWT bersabda, “Tempatlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.... ”(ath-Thalaaq:6)
Universitas Sumatera Utara
55
Menyediakan tempat tinggal yang layak termasuk bagian dari berbuat baik terhadap istri. Selain itu, tempat tinggal sangat penting karena digunakan sebagai tempat menyimpan harta dan berlindung dari pandangan mata orang lain. Karena itu, dalam hal tempat tinggal harus memenuhi kriteria berikut: 1. Tempat tinggal itu sesuai dengan ekonomi suami karena Allah berfirman “...menurut kemampuanmu...”(ath-Thalaaq:6). 2. Tempat tinggal harus milik sendiri, tidak ada keluarga suami yang ikut menempatinya, kecuali atas permintaan istrinya. Syarat ini menurut Hanafiyyah karena tempat tinggal termasuk kebutuhan istri sehingga hukumnya wajib sebagai nafkah, dan Allah sendiri telah mewajibkan tempat tingga beriringan dengan nafkah. Nafkah tempat tinggal menjadi hak istri, jadi suami tidak berhak menempatkan orang lain selain istrinya karena bisa menyebabkan isti tidak merasa tentram. Selain itu, rumah yang dihuni lebih dari satu keluarga dapat menganggu hubungan intim suami istri, dan juga khawatir akan keamanan harta yang mereka miliki. 3. Hukum-hukum nafkah istri Banyak sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan nafkah istri, namun yang terpenting adalah hukum-hukum berikut ini. 1) Hukum menolak memberikan nafkah a. Jika suami yang menolak memberi nafkah pada istrinya itu kaya dan punya benda berharga yang layak jual maka hakim berhak menjualnya dengan paksa untuk kemudian hasilnya diberikan kepada istri sebagai nafkah. Akan tetapi, jika tidak ada benda yang berharga yang bisa dijual, namun suami itu kaya maka hakim berhak menahan atau memenjarakan suami berdasarkan gugatan istri, karena Rasulullah saw. Bersabda,
Universitas Sumatera Utara
56
“Membiarkan hukum yang harusnya dilaksanakan terhadap orang kaya (mampu) adalah suatu kezhaliman. Dan yang berhak boleh meminta orang tersebut untuk diadili atau dipenjara”. Orang kaya tersebut tetap mendekam dalam penjara selama ia belum membayar nafkah yang menjadi kewajibannya. Akan tetapi jika hal tersebut memang tidak mampu membayar maka hakim boleh memberikan keringanan sebagaimana firman Allah SWT dalam AlQur’an yang artinya, “dan jika (orang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kami menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Al- Baqarah: 280) b.
Adapun jika suami termasuk orang miskin maka ia tidak dipenjara meskipun tidak memberi nafkah wajib pada istri karena ia tidak dianggap berbuat zhalim, dan lagi tidak ada manfaatnya menahan orang itu.
2) Jika suami kesulitan memberi nafkah Ada beberapa ulama yang berkiatan dengan hal di atas. Mayoritas ulama selain Malikiyyah berpendapat nafkah wajib atas suami tidak gugur meskipun ekonominya sedang sulit. Nafkah itu menjadi tanggungannya utangnya yang harus dibayar jika sudah mampu. Adapun menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, jika suami tidak mampu memberi nafkah maka istri berhak untuk meminta cerai. Tetapi, istri tidak boleh meminta cerai jika suami masih mampu memberi nafkah di atas yang standar nafkah orang miskin karena penambahan nafkah gugur dengan keadaannya yang miskin.
Universitas Sumatera Utara
57
Dalil bolehnya meminta cerai adalah sebuah hadist riwayat Abu Hurairah r.a., bahwa nabi saw. Pernah bersabda ketika ada seseorang suami yang tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya, “ pisahkan keduanya”. Dan juga, hadists riwayat Abu Hurairah dalam Sunan an-Nasa’i, “Mulailah memberikan nafkah kepada orang yang ada dalam tanggung jawabmu.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang ada dalam tanggungannya saya?” beliau menjawab, “ Istrimu berkata, “berilah akan makan, jika tidak maka ceraikanlah aku”. Suami yang tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya maka penentuannya hukum cerai bagi suami yang lemah syahwat dan kebiri. Bahkan, dalam hal nafkah lebih layak karena lebih dibutuhkan. Jika seorang istri boleh meminta cerai karena suaminya tidak mampu menafkahi kebutuhan biologis-nya atau tidak mampu melakukan hubungan intim padahal mudharatnya lebih kecil maka meminta cerai karena suami tidak mapu memenuhi kebutuhan makan lebih aula karena mudharatnya lebih besar. 2. Memberikan Kebutuhan Anak Anak adalah amanah dan karunia dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam diri anak melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Disamping itu anak sebagai tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis dalam upaya menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab maka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial
Universitas Sumatera Utara
58
dan berakhlak mulia. Untuk itu perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan
kesejahteraan
anak
dengan
memberikan
jaminan
terhadap
pemenuhan hak-haknya guna mendapat perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi berdasarkan prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak. 1 Lingkungan keluarga merupakan basis awal kehidupan bagi setiap insan dan menjadi tempat pertama dan utama bagi anak untuk memperoleh hak mempertahankan kelangsungan hidup (survival), hak untuk tumbuh kembang secara wajar (deverlopmental), hak untuk mendapatkan perlindungan (protection), dan hak untuk ikut berpartisipasi membangun masa depannya (participation). 2 Setiap anak harus memdapatkan hak-haknya, selain hak tersebut setiap anak harus diberikan segala kebutuhan. Memberikan kebutuhan anak adalah kewajiban setiap orang tua, apabila kebutuhan anak tidak terpenuhi maka akan terjadi penelantaran anak, Penelantaran anak merupakan penyiksaan secara pasif, yaitu segala keadaan perhatian yang tidak memadai, baik fisik, emosi maupun social. Penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih
1
http://www.kpai.go.id/artikel/potret kesenjangan perlindungan anak. diakses tanggal 16
Mei 2015. 2
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
59
sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) , atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter). 1 Apabila tidak terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang dan kelembutan karena diabaikan, dikerasi, dan banyak diancam serta dihukum akan menyebabkan timbulnya goncangan terhadap rasa aman, dan ini akan menyebabkan pengaruh negatif terhadap perkembangan fisiknya, intelegensinya dan emosinya. 2 Orang tua berkewajiban memenuhi segala kebutuhan anak agar tidak terjadinya penelantaran terhadap anak. Pusat perhatian orang tua haruslah kepada 2 aspek yaitu bagaimana membentuk aspek fisik dan psikologi sosial anaknya. Kedua aspek ini harus berjalan beriringan. Dalam upaya mencapainya yang harus dilakukan adalah memperhatikan proses yang dilakukan agar si kecil tumbuh dan berkembang secara optimal. 3 Kebutuhan anak pada umunya membutuhkan: 1) Kebutuhan Jasmani Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan untuk makan, minum, dan nutrisi. 4 Seorang anak samasekali tidak boleh tidak diberikan makanan atau dihukum dengan tidak diberi makan atau disuruh untuk berpuasa. Karena, nutrisi memainkan peran yang penting dalam perkembangan anak dan dalam membekali tubuhnya dengan kemampuan yang dibutuhkan olehnya. 5
1
http://rotsania.blogspot.com/2012/11/penelantaran-anak. diakses tanggal 17 Mei 2015. Muhammad Sa’id Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah (suatu terobosan Baru Dunia Pendidikan Modern), (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1998), hal.17. 3 http://family.fimela.com. Kebutuhan dasar anak yang harus terpenuhi agar anak tumbuh dengan optimal, diakses tanggal 10 Mei 2015. 4 http://www.tabloid-nakita.com, diakses tanggal 10 Mei 2015. 5 Muhammad Sa’id Mursi, Loc. Cit. 2
Universitas Sumatera Utara
60
Kebutuhan jasmani juga meliputi pakaian 1 dan tempat tinggal yang sesuai. 2 Kebutuhan jasmaniah di atas harus dipenuhi dengan baik agar anak bahagia. 2) Cinta dan kebutuhan kasih sayang Seorang anak butuh merasakan bahwa orang-orang lain mencintainya dan senang kepadanya, terutama kedua orangtua dan para gurunya. Mereka harus menunjukan hal itu kepadanya dengan bersikap lemah lembut kepadanya, walaupun ketika ia melakukan kesalahan. Kebutuhan kasih sayang berkaitan erat dengan kebutuhan anak untuk diperhatikan, diterima, dan diakui. Oleh karenanya, limpahkan perhatian yang tulus kepada anak. 3 3) Penghargaan Orangtua harus berusaha agar anak merasa menjadi orang yang menyenangkan dan membanggakan ayah, ibu, keluarganya, gurunya, dan orang-orang lain. Anak juga harus diperlakukan sebagai pribadi yang bernilai dan merasa bahwa usahanya dan keberadaanya penting bagi orang lain. Untuk membuat anak merasa dipentingkan kita dapat menyuruhnya melakukan pelayanan-pelayanan yang
1
Kebutuhan pokok anak adalah pakaian. Pakaian tentu tidak asal pakai, karena anak butuh memakai pakaian yang sesuai dengan iklim yang sedang dialami. Pada musim panas, pakaian anak haruslah yang ringan/tipis sehingga dapat memantul panas matahari; sedangkan pada musim dingin, pakaian yang dipakai anak harus yang berta/tebal sehingga dapat memberikan kehangatan, misalnya pakaian dari bahan wool, Lihat: Muhammad Sa’id Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah (suatu terobosan Baru Dunia Pendidikan Modern), (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1998). hal. 18 2 Tempat tinggal yang baik adalah yang memiliki udara yang bersih, dapat memasuki sinar matahari, dan suasananya tenang. Anak-anak yang tinggal di pedesaan dan daerah pantai, lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan anak-anak yang tinggal di kota-kota yang berpenduduk padat. Dari sebuah studi Komparatif, tampak bahwa presentase orang-orang yang terkena gangguan sistem pernafasan di daerah-daerah yang kotor karena asap pabrik dan sebagainya 46% lebih tinggi dibandingkan orang-orang yang tinggal di daerah-daerah yang bersih. Ibid. 3 http://www.tabloid-nakita.com, diakses tanggal 10 Mei 2015. Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
61
sederhana kepada orang-orang di sekitarnya serta mengajaknya ikut mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dirumah sebatas kemampuannya. 1 4) Keberhasilan Anak butuh mendapatkan keberhasilan. Suatu keberhasilan akan membawa kepada keberhasilan yang lebih besar lagi dan ia akan mengetahui bahwa setiap kesungguhannya yang ia kerahkan akan membawa kepada keberhasilan. Maka ia pun menjadi senang untuk mengerahkan kemampuan, dimana hal
itu akan
membuatnya merasa percaya diri dan merasa aman sehingga akan mendorongnya untuk terus berusaha memperbaiki perilakunya dan mendapatkan berbagai pengetahuan. 2 5) Kebebasan Seorang anak butuh untuk bebas bergerak, berjalan, berlari, berbicara,bermain dengan segala fenomenanya bersama dirinya, bersama anak-anak lainnya. Karena itu, jangan sampai kekhawatiran terhadap anak mencegah seseorang untuk membiarkan anaknya dengan kebebasannya tanpa dibatasi dengan arahan yang terlalu ketat atau selalu ditolong sekalipun usianya telah meningkat. Apabila seorang anak dijaga secara berlebihan maka hal itu akan menghilangkan aktivitasnya karena takut terkena sesuatu yang tidak disukai atau terkena infeksi. 3 Kebutuhan anak yang telah disebutkan di atas juga dijelaskan KPAI bahwa setiap anak membutuhkan stimulasi mental (asah) yang menjadi cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan), perkembangan psikososial, kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, moral, kepribadian dan produktivitas. 1
Muhammad Sa’id Mursi Op.Cit. hal.24. Ibid. 3 Ibid.hal. 26. 2
Universitas Sumatera Utara
62
Kebutuhan akan kasih sayang (asih) dari orang tua akan menciptakan ikatan yang erat (bounding) dan kepercayaan dasar (basic trust) antara anak dan orang tua. Kebutuhan fisik biomedis (asuh) meliputi pangan, gizi dan pemenuhan kebutuhan dasar anak. 1 Berdasarkan paparan yang telah diuraikan diatas dapat diketahui bahwa kewajiban memberikan kehidupan kepada keluarga lebih ditujukan
kepada
kewajiban seorang suami kepada istri dan anaknya untuk memberikan kehidupan kepada keluarganya, yang dikatakan sebagai kewajiban memberikan kehidupan adalah memberikan nafkah kepada keluarga, dimana nafkah untuk keluarga mencakupi makanan, minuman, lauk pauk, pakaian, tempat tinggal, termasuk di dalamnya memberikan segala kebutuhan anak. sehingga apabila kewajiban memberikan kehidupan ini tidak terpenuhi maka menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat
dikatakan sebagai penelantaran rumah tangga dalam
kategori tidak memberikan kehidupan kepada keluarga. B.
Tidak Memberikan Perawatan atau Pemeliharaan Kepada Keluarga. Sasaran utama dalam memberikan perawatan adalah keluarga. Menurut
Tinkham dan Voorhies keluarga menyediakan sumber-sumber yang penting untuk memberikan pelayanan perawatan bagi dirinya dan orang lain dalam keluarga. Mengacu pada keluarga sebagai komunitas dengan fokus utamanya pada kebutuhan keluarga dan resolusinya.
1
http://www. kpai.go.id, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
63
Keluarga sebagai satu unit, disfungsi apa saja (penyakit, cedera, perpisahan) akan mempengaruhi satu atau lebih anggota keluarga dalam hal tertentu. Keluarga merupakan jaringan yang mempunyai hubungan erat serta bersifat mandiri, dan masalah seorang individu dapat mempengaruhi anggota keluarga yang lain serta seluruh sistem. Memberikan perawatan kepada keluarga juga diartikan memberikan kasih sayang kepada keluarga, kasih sayang dapat dilambangkan pada hubungan biologis dan lain sebagainya, sebagaimana di dalam surat Al Baqarah ayat 228 Allah berfirman: “ Para isteri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf akan tetapi para suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka (isteri)”. Derajat itu adalah ke lapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagaian kewajiban istrinya. 1 Ayat diatas memerintahkan kepada suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik dan sabar agar si suami memperoleh satu derajat atas istri. Salah satu ayat yang sering digunakan ulama yang berkaitan dengan hak wanita ialah firman Allah yang artinya adalah: “ Dan orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebagaian mereka adalah Auliya bagi sebahagian yang lain, mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, mencegah yang mungkar mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya mereka itu akan diberikan rahmat oleh Allah sesungguhnya Allah maha perkasa dan maha bijaksana”
1
H.M.Hasballah Thaib, dan Iman Jauhari, Op.Cit, hal. 235.
Universitas Sumatera Utara
64
Ayat diatas secara umum menggambarkan tentang kewajiban bekerjsama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang sosial, politik. 1 Kata Auliya mencakup kerjasama bantuan dan penguasaan dan saling nasehat menasehati, kewajiban wanita mencakup hal-hal sebagai berikut: a.
Terhadap orang tua
b.
Terhadap suami
c.
Terhadap anak Thabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir sama. Allah
telah memberikan potensi kepada perempuan seperti yang diberikan kepada lakilaki. Dari kewajiban terhadap orangtua bukan saja kewajiban anak laki-laki tapi juga kewajiban anak perempuan baik dalam bentuk mengasuh, memelihara, menyayangi bahkan memberikan nafkah bila orangtua kita itu miskin. 2 Wirjono
Prodjodikoro
mengemukan
bahwa
kualifikasi
kewajiban
memberikan perawatan atau pemeliharaan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT adalah kewajiban memberikan perawatan kepada keluarga misalnya kewajiban suami atau istri untuk merawat anaknya yang sedang sakit begitu pula sebaliknya kewajiban seorang anak berkewajiban merawat orangtuanya yang sakit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbuatan kedua dari penelantaran rumah tangga sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 ayat (1) adalah tidak memberikan perawatan kepada kelurga, perbuatan tidak memberikan perawatan kepada keluarga lebih ditujukan kepada perawatan 1
Ibid. Ibid, hal. 236.
2
Universitas Sumatera Utara
65
apabila salah satu daripada anggota keluarga sakit, maka apabila salah satu dari anggota keluarga sakit baik suami, istri atau anak maka keluarga wajib memberikan perawatan kepada orang tersebut. Apabila salah satu diantara anggota keluarga menolak untuk merawat yang sedang sakit maka sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dapat dikategorikan sebagai perbuatan penelantaran rumah tangga dalam kategori tidak memberikan perawatan kepada keluarga. Perbuatan ketiga dari perbuatan penelantaran rumah seperti yang telah ditentukan oleh ketentuan Pasal 9 ayat (1) adalah perbuatan kewajiban memberikan
pemeliharaan
kepada
keluarga.
Kewajiban
memberikan
pemeliharaan misalnya seorang anggota keluarga yang cacat (invalid) atau gila baik suami, istri, ataupun anak yang harusnya dipelihara. Maka apabila salah satu anggota keluarga (suami, istri, atau anak) tidak melakukan pemeliharaan kepada anggota keluarga lainnya maka di katakan penelantaran dalam kategori tidak memberikan pemeliharaan kepada keluarga. Pada umumnya orang yang tidak dapat memelihara dirinya sendiri menjadi tanggungjawab keluarga untuk memelihara anggota keluarga tersebut. Hal ini juga dapat dilihat seperti di dalam ketentuan Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan menyebutkan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun kewajiban antara kedua orang tua putus. Beberapa contoh kasus penelantarkan rumah tangga yang dijatuhi pidana karena tidak memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan.
Universitas Sumatera Utara
66
1.
Putusan Mahkmah Agung Nomor: 467K/Pid.Sus/2013 atas nama Qiez (nama disamarkan) pembahasan putusan ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bab IV pada tesis ini.
2.
Putusan MA No. 111K/Pid.Sus/2007 jo putusan Pengadilan Tinggi Denpasar 15
maret
2007
2007
jo
putusan
Pengadilan
Negeri
Tabanan
No.114/Pid.B/2006/PN.TBN tanggal 2 januari 2007. Perbuatan terdakwa terkualifikasikan
sebagai “menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya” oleh karena: -
Terdakwa yang semenjak bulan September 2005 meninggalkan istri dan kedua anaknya dengan alasan tidak ada kecocokan;
-
Bahwa pada tanggal 3 Oktober 2005 terdakwa mengajukan surat izin permohonan untuk menceraikan istrinya namun tidak mendapatkan izin dari atasan terdakwa;
-
Bahwa selama terdakwa meninggalkan istri dan kedua orang anaknya, terdakwa tidak pernah memberikan kehidupan lahir dan bathin, perawatan, atau pemeliharaan kepada istri dan kedua anaknya, dimana pada saat istri terdakwa mengalami kecelakaan pada bulan September 2005 dan operasi usus buntu pada tanggal 21 juni 2006 s/d 24 juni 2006 terdakwa tidak membiayai semua pengobatan selama dirumah sakit, namun semua biaya rumah sakit ditanggung oleh istri terdakwa bersama-sama dengan orang tuanya. Sehingga Mahkamah Agung menganggap tidaklah benar jika perkara quo merupakan urusan rumah tangga semata sehingga dapat diselesaikan
Universitas Sumatera Utara
67
tanpa peradilan pidana, perkara a quo bukan merupakan pengalihan perkara perdata ( urusan hukum keluarga)kecelah-celah tindak pidana. 3.
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1715K/Pid.Sus/2008 tanggal 23 Januari 2009 jo Putusan PT Sulawesi Tenggara Nomor: 15/Pid/2008/PT.Sutra tanggal 25 April 2008 jo Putusan PN Kendali Nomor: 359/PID.B/2007/PN.KDI Tanggal 16 Januari 2008. -
Terdakwa FS menikah dengan seorang perempuan yang AE, setelah menikah saksi korban tinggal bersama-sama serumah. Selama tinggal hidup bersama dengan terdakwa saksi korban mendapat perlakuan yang tidak wajar pernah ditampar satu kali dan didorong ketembok sebanyak dua kali dan terdakwa saksi korban mendapat perlakuan yang tidak wajar pernah ditampar satu kali dan didorong ketembok sebanyak dua kali dan terdakwa pernah berkata-kata kasar kepada saksi korban “lebih baik saya dipecat daripada saya meninggalkan Nur” dan terdakwa pernah melempar uang sebanyak Rp.300.000,- dengan pecahan Rp.100.000,sebanyak 3 lembar ke muka saksi korban sambil berkata “ kamu makan semua uang itu” sambil memukul pintu selanjutnya menendang pintu sehingga korban menangis saksi korban juga dalam keadaan hamil 4 bulan pernah diusir oleh terdakwa dengan mengatakan “pulang saja kerumah orang tuamu karena saja sudah tidak sanggup hidup bersama kamu dan tidak bisa membiayaimu”.
-
Bahwa selama hidup bersama kurang lebih 3 bulan saksi korban diberi nafkah sebanyak 1 kali sebesar Rp.300.000-, (tiga ratus ribu rupiah) dan
Universitas Sumatera Utara
68
uang tersebut diminta kembali oleh terdakwa dengan alasan untuk membayar utang kemudian pada bulan Oktober sampai maret 2007 saksi korban sudah tidak diberi nafkah lagi dan saksi korban meminta tanggung jawab kepada terdakwa dengan meminta uang gajinya tetapi tidak diberi dengan alasan banyak potongan dan akhirnya saksi korban meminta uang kepada orang tua korban dan dikirimkan uang sebanyak Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk biaya hidup; -
Setelah saksi korban diusir oleh terdakwa kemudian saksi korban tinggal bersama orang tuanya sampai saksi korban melahirkan seorang anak yang diberi nama MAF yang berumur 4 bulan itupun biaya kebutuhan sehari-hari dan biaya persalinan semuanya ditanggung oleh orang tua saksi korban dan selama saksi korban hidup dengan orang tuanya, terdakwa tidak pernah memberikan nafkah kepada istri dan anaknya dna tidak pernah mendapatkan kasih sayang, perlindungan, perhatian dari terdakwa;
4.
Putusan Mahkmah Agung Nomor: 1786K/Pid.Sus/2009 tanggal 28 Desember 2009 jo putusan PT Medan Nomor: 220/PID/209/PT.Mdn tanggal
27
April
2009
jo
Putusan
PN
Medan
No.
2829/Pid.B/2008/PN.Mdn tanggal 27 Januari 2009. -
Bahwa sejak tahun 2003 terdakwa, tidak lagi memenuhi kewajiban sebagai suami dan sebagai kepala rumah tangga terhadap istrinya yaitu saksi J dan terhadap anaknya yaitu SWS dengan cara tidak lagi memberikan gaji kepada istrinya untuk biaya kehidupan sehari-hari,
Universitas Sumatera Utara
69
untuk biaya pendidikan dan kesehatan anaknya, bahkan sejak tahun 2005 terdakwa tidak pernah lagi datang untuk menjenguk anak dan istrinya, padahal pada bulan Februari 2005 anak terdakwa sakit dan dirawat di Islam Hospital Penang Malaysia; -
Bahkan sejak Tahun 2005 sampai tahun 2008 ini seluruh biaya pendidikan, kesehatan dan biaya hidup SWS seluruhnya ditanggung oleh J, sementara terdakwa mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan anaknya
Beberapa contoh kasus di atas menunjukan bahwa pelaku penelantaran hanya suami, akan tetapi setelah dilakukan penelitian pelaku tindak pidana penelantaran rumah tangga yaitu: Tabel 3: Pelaku tindak pidana penelantaran rumah tangga N o 1 2 3
Pelaku penelantaran rumah tangga Suami dan istri Suami Istri Jumlah
Pns
Irt 15
Wiras wasta 8
Tni/ Polri 2
26 3 29
15
1 9
1 3
Pekerjaan responden Pegawai Buruh Lain swasta Nya 12 8 19 1 13
8
4 23
n=100
Jumlah
Persentase
90
90%
10 100
10% 100%
Sumber: kuisioner dengan masyarakat Aceh dan Medan Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa menurut responden yang dapat menjadi pelaku tindak pidana penelantaran rumah tangga tidak hanya suami akan tetapi istri juga dapat menjadi pelaku tindak pidana penelantaran rumah tangga, 90 responden dengan persentase 90% berpendapat yang dapat menjadi pelaku penelantaran rumah adalah suami dan istri, 10 responden dengan persentase 10% memilih hanya suami yang melakukan tindak pidana ini, sehingga
Universitas Sumatera Utara
70
disimpulkan bahwa tindak pidana penelantaran rumah tangga dapat dilakukan oleh suami maupun istri. Suami dikatakan melakukan tindak pidana penelantaran rumah tangga apabila berkaitan dengan pemberian nafkah atau penghidupan kepada anggota keluarga. Seorang istri (perempuan) juga dapat menjadi pelaku penelantaran rumah tangga apabila dikaitkan dengan kewajibannya terhadap suami, misalnya suami (laki-laki) tersebut dalam keadaan sakit keras sehingga tidak mampu mengurus dirinya sendiri ternyata istri tidak mau merawat suami tersebut, di mana istri malah menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Apabila hal ini dibawa ke ranah hukum pidana, perbuatan istri tersebut bisa diarahkan ke tindak pidana “menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga” dan isteri tidak bisa berkelit dengan alasan “suami adalah kepala keluarga” dan “istri hanya ibu rumah tangga”. Dengan demikian dapat diketahui tindak pidana penelantaran rumah tangga dapat juga dilakukan oleh istri apabila dihadapkan dengan kewajiban tertentu dalam keluarga. Setelah melihat pelaku penelantaran rumah tangga, maka selanjutnya akan dibahas korban dari tindak pidana penelantaran rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
71
Tabel 4: korban tindak pidana penelantaran rumah tangga No
1 2 3
Korban tindak pidana penelantaran rumah tangga Suami, istri, dan anak. istri dan Anak Suami, istri, anak dan pembantu rumah tangga Jumlah
n=100
Pekerjaan responden Pns
Irt
Wiras Wasta
Tni/ Polri
Pegawai Swasta
Buruh
Lain Nya
Jumlah
persentase
22
15
7
3
13
7
15
82
82%
3
-
2
-
-
1
4
10
10%
4
-
-
-
4
8
8%
29
15
3
13
23
100
100%
9
8
Sumber: hasil kuisioner dengan masyarakat Aceh dan Medan Berdasarkan tabel di atas 82 responden dengan persentase 82% menyatakan bahwa yang dapat menjadi korban penelantaran rumah tangga adalah suami, istri dan anak, 10 responden dengan persentase 10% memilih istri dan anak saja yang dapat menjadi korban tindak pidana penelantaran rumah tangga, dan 8 responden dengan persentase 8% memilih suami, istri, anak dan pembantu rumah tangga yang dapat menjadi korban penelantaran rumah tangga, dengan demikian dapat diketahui menurut responden yang dapat menjadi korban tindak pidana penelantaran rumah tangga yaitu suami, istri, dan anak. Akhir-akhir ini dapat dilakukan oleh
dilihat contoh kasus penelantaran anak
yang
Utomo dan istrinya Nurindra, kepada kelima anaknya di
perumahan Citra Gran Cibubur, Cluster Nusa Dua Blok E8 Nomor 37, Jakarta Timur. 1 salah satu dari lima anak pasangan ini yang berinisial D berusia 8 1
Terungkapnya kasus Utomo Perbowo dosen sebuah perguruan tinggi swasta di Cileungsi, yang menelantarkan anak. Menurut Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (Muslimah HTI) Iffah Ainur Rochmah merupakan alarm adanya pola asuh salah, disfungsi keluarga dan cacat produk pendidikan sekuler.“Kasus penelantaran dan kekerasan anak yang dilakukan Utomo Perbowo harus menjadi alarm bagi semua. Alarm pertama, buruknya pola asuh
Universitas Sumatera Utara
72
(delapan) tahun, benar-benar ditelantarkan oleh orangtuanya. Ia dilarang masuk ke rumah lebih dari sebulan hingga berkeliaran di sekitar komplek perumahan tempat tinggalnya.
1
penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan, berakal
dari rumah tangga, orang tua mengabaikan tanggungjawab, melalaikan kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak. 2Tugas orang tua adalah untuk menstimulasi anak agar mereka dapat tumbuh dengan maksimal, jika hal seperti kasus ini terjadi pada anak maka dapat dikatakan sebagai child neglect (penelantaran anak). 3 tanggung jawab orangtua tidak semata materi, tetapi juga
keluarga. Anak dianggap tidak tahu apa-apa bahkan dianggap sebagai bagian kepemilikan yang bisa diperlakukan sesuka pemiliknya. Sebenarnya tidak sedikit keluarga Indonesia yang memiliki kondisi serupa. Padahal ini bisa berpengaruh besar pada corak generasi bangsa ini di masa depan. Pendidikan keluarga dengan kekerasan menghasilkan generasi yang rendah kepercayaan diri, bersikap negatif, membangkang dan berpotensi mereproduksi kekerasan berikutnya. Alarm kedua, disfungsi keluarga mencapai level semakin buruk. Keluarga tidak lagi bisa menjadi tempat yang mengayomi, merawat dan memberi teladan bagi anggotanya, tapi malah menjadi horor dan contoh buruk bagi anak. Orang tua mengkonsumsi miras dan pecandu narkoba. Anak-anak jadi korban ketidakmampuan hadapi stres. “Disfungsi keluarga semakin banyak terjadi seiring modernitas dan kehidupan berbasis demokrasi,” ungkapnya. Alarm ketiga, bukti pendidikan sekuler cacat. Bisa menghasilkan orang yang cakap ilmu, tapi bobrok perilaku. Ini karena sistem pendidikan saat ini sekular, memisahkan urusan agama, moralitas dari keahlian. Dari kasus ini semestinya ada evaluasi mendasar terhadap peran negara dalam mewujudkan keluarga yang mampu melakukan fungsinya secara memadai.Lihat: http://hizbut-tahrir.or.id diakses tanggal 18 Mei 2015, lihat juga: http://news.detik.com. Penelantaran anak oleh Utomo dan istrinya, diakses tanggal 18 Mei 2015. 1 Www.cnnindonesia.com/nasional 2015, diakses tanggal 18 Mei 2015. 2 Www. Rotsania, blogspot.com. Penelantaran anak. diakses tanggal 18 Mei 2015. 3 Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan anak Indonesia Erlinda mengatakan pasangan orangtua yang diduga menelantarakan anak-anak mereka, dapat dijerat hukuman penjara maksimal 15 (lima belas) tahun. Hukuman itu dijatuhkan kepada pelaku (Utomo dan Nurindra) apabila unsur-unsur kejahatan terbukti dilakukan keduanya. Kedua pasangan ini akan dijerat hukuman penjara maksimal 15 tahun dan minimal 5 tahun. Saat ini kedua pasangan ini masih diperiksa oleh diperiksa dan masih berstatus terlapor. Dalam perkara ini, KPAI lah yang menjadi pelapor. Ada sejumlah pasal yang akan menjerat kedua pasangan ini apabila keduanya terbukti melakukan penelantaran dan tindak kekerasan kepada anak-anak. Erlinda mengatakan kemungkinan Pasalpasal yang bisa menjerat kedua pasangan ini misalnya Pasal 76B dan 76C undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 76B berbunyi, “ Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran”. Sementara Pasal 76C berbunyi “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”. Erlinda juga mengatakan kedua pasangan ini juga dapat dikenakan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) Pasal 44 dan Pasal 45, kedua pasal yang tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga memang mengatur hukuman pidana penjara
Universitas Sumatera Utara
73
tanggungjawab emosi dan sosial. 1 Kasus tersebut menunjukan bahwa korban penelantaran rumah tangga juga dapat terjadi kepada anak-anak. Dengan demikian dapat diketahui bahwa korban dari tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga dapat terjadi kepada siapa saja dalam lingkup rumah tangga sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 2 UU PKDRT. C. Penelantaran yang Mengkibatkan Ketergantungan Ekonomi Dengan Cara Membatasi dan/atau Melarang Untuk Bekerja. Persoalan penelantaran ekonomi dalam rumah tangga telah diakui sebagai kekerasan ekonomi. Pasal 49 ayat (2) Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak menyebutkan kekerasan ekonomi namun penelantaran ekonomi. 2 untuk terbuktinya pasal ini harus dipenuhi unsur-unsur: a. Setiap orang; b. Menelantarkan orang; c. Ketergantungan ekonomi; 1. Karena dibatasi dan/atau dilarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah. 2. Sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Ketentuan
pertama
yang
harus
dikonstruksikan
adalah
adanya
pembatasan/pelarangan orang untuk bekerja sehingga orang tersebut di bawah kendali orang lain.
minimal lima tahun bagi penelantar anak dan penyiksa anak. Lihat: www. Cnnindonesia.com. diakses tanggal 18 Mei 2015. 1 www.cnnindonesia.com/gaya hidup 2015, diakses tanggal 18 Mei 2015. 2 Http://solider.or.id/2014/07/14/panduan hukum memahami kekerasan dan penelantar an ekonomi, diakses tanggal 11 Mei 2015.
Universitas Sumatera Utara
74
Kekerasan ekonomi tidak hanya terbatas pada penelantaran ekonomi semata. Kekerasan ekonomi bisa terbagi dalam kekerasan ekonomi berat dan ringga. Kekerasan ekonomi berat pada dasarnya adalah tindakan yang mengekploitasi secara ekonomi, memanipulasi dan mengendalikan korban lewat sarana ekonomi, berapa bentuk kekerasan ekonomi adalah: 1 2.
Memaksa korban bekerja;
3.
Melarang
korban
bekerja
namun
tidak
memenuhi
haknya
dan
menelantarkannya; 4.
Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban; Kekerasan ekonomi yang dikategorikan ringan, yaitu tindakan yang berupa
upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpebuhi kebutuhan dasarnya. Kehidupan masyarakat seringkali dijumpai perempuan yang bekerja ketika menikah keluar dari pekerjaannya. Perempuan diharapkan lebih fokus mengurusi urusan rumah tangga, mempersiapkan kehamilan, kelahiran, memberikan ASI hingga 2 (dua) tahun, dan pengasuhan pertama bagi anak-anak. karena kondisi inilah, maka menjadi alasan penting mengapa laki-laki bertanggungjawab terhadap kehidupan dan keberlangsungan ekonomi keluarga. Banyak sekali perempuan yang meninggalkan pekerjaan publiknya dan menyerahkan dirinya untuk keluarga. Namun, ada banyak kasus suami yang seharusnya menjalankan
1
Hasil penelitian dengan kuisioner dengan Masyarakat Medan dan Aceh mengenai perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan penelantaran rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
75
tanggungjawabnya untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, ternyata tidak dilakukan. Beberapa contoh kasus misalnya: 1 1.
2.
3.
Ibu A menikah dengan seorang pejabat desa, tetapi untuk kebutuhan sharihari diberi uang yang sangat terbatas. Pernah mengatakan kurang dan meminta tambahan untuk bisa memberli kebutuhan sehari-hari namun malah dimarahi. Sejak saat itu ibu A tidak pernah meminta nafkah, hanya menerima bila diberi. Meski istri pejabat namun ibu A merasa tertekan karena benarbenar sangat tergantung secara ekonomi pada suami, sementara suami hanya memberikan uang dengan sangat terbatas bahkan sebenarnya tidak cukupp untuk kebutuhan sehari-hari. Ibu B diberi semua sisa penghasilan suami yang setiap beberapa bulan pulang dari bekerja dari luar kota, setelah dikurangi dengan biaya hidup saat suami merantau. Namun, setiap akan kembali ke tempat dia merantau, suami selalu meminta uang kepada istri dengan jumlah yang tidak jauh besarnya dengan memberikan. Sementara ibu B harus menyediakan semua kebutuhan suami dengan jumlah yang bila dinilai dengan uang jumlahnya juga tidak sedikit. Ibu B terpaksa kerja serabutan untuk menutup kebutuhan rumah tangga. Kasus ibu C tidak jauh berbeda dengan ibu A. Ibu C menikah dengan suami yang mempunyai pekerjaan baik dengan gaji cukup. Ibu C selalu mendapat jatah uang bulanan dari suami. Namun seiring berjalannya waktu ternyata jatah uang bulanan berkurang bahkan akhirnya sering tidak diberikan. Suami malah menpunyai WIL (wanita idaman lain) dan tidak peduli terhadap anak dan istrinya. Terpaksa ibu C pontang panting memenuhi kebutuhan seharihari, bahkan anak-anaknya juga terpaksa putus sekolah dan membantu mencari nafkah, harta benda juga banyak diambil suami dan dijual tanpa sepengetahuan ibu C, termasuk barang-barang yang diberi sendiri dari hasil kerja keras ibu C. Suamipun meninggalkan keluarga, padahal ibu C masih harus menutup pinjaman bank yang digunakan oleh suami karena mengunakan namanya. Persoalan seperti ini banyak sekali terjadi. Biasanya suami mempunyai uang
namun hanya sebagian kecil yang diberikan pada istri untuk menutup semua kebutuhan keluarga. Sebagian masyarakat mengenal istilah “ duwit lanang, duwit wedhok” (uang laki-laki, uang perempuan) artinya uang yang diperuntukkan bagi suami dan uang bagian istri untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Uang yang diberikan kepada istri dengan jumlah terbatas memaksa istri untuk mengatur 1
Http://solider.or.id/2014/07/14/panduan hukum memahami kekerasan dan penelantar an ekonomi, diakses tanggal 11 Mei 2015.
Universitas Sumatera Utara
76
dengan sangat cermat pengeluaran keluarga, dan seringkali mengorbankan kebutuhan-kebutuhan pribadi. Hal semacam ini biasanya tidak dianggap sebagai persoalan bila tidak dibarengi dengan persoalan-persoalan lain seperti perselingkuhan, kekerasan fisik atau berbagai bentuk kekerasan lainnya. 1 Kasus lainnya, adalah suami yang tega menjual istrinya demi meraup rupiah. Seperti kisah ibu D dimana martabatnya sebagai perempuan, istri, dan seorang ibu ditukar televisi dan beberapa barang lain oleh suaminya. Ibu D yang tinggal di sebuah desa pernah kanget bukan kepalang. Karena suami yang selama ini dipercayai ternyata tega membawa ibu D kepada mandor suaminya untuk disetubuhi. Awalnya ibu D tidak tahu bahwa perkosaan yang dilakukan mandor suaminya tersebut atas rencana suami dengan perjanjian akan mendapatkan sejumlah uang. Ibu D hanya tahu suami membeli beberapa perabot baru seperti televisi. Ternyata uang membeli perabot tersebut dari si mandor. Anak-anak juga tidak luput menjadi korban kekerasan ekonomi dari orangorang yang seharusnya bertanggungjawab atas dirinya. Kasus penelantaran anakanak untuk bekerja, pemaksaan anak-anak untuk bekerja, bahkan menjual kegadisan anak untuk mendapatkan sejumlah uang tertentu pernah terjadi. 2 Tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 49 ayat (2) UU PKDRT hampir sama dengan konstruksi di dalam Pasal 333 KUHP, yang menyatakan: (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan 1 2
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
77
yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Menurut R.Soesilo menahan (merampas kemerdekaan orang lain) itu dapat dijalankan misalnya dengan mengurung, menutup dalam kamar, rumah, mengikat dan sebagainya, akan tetapi tidak perlu, bahwa orang itu tidak dapat bergerak sama sekali. Disuruh tinggal dalam suatu rumah yang luas tetapi bila dijaga dan dibatasi kebebasan hidupnya juga masuk arti kata “menahan”. Larangan dalam Pasal 49 ayat (2) UU PKDRT merupakan hal baru yakni melarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga yang dibatasi dan/atau dilarang untuk bekerja yang di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut dan akhirnya korban mengalami ketergantungan ekonominya kepada pelaku. Dengan melihat konstruksi “larangan” pasal ini, maka terlibat unsur pokok adalah “merampas kemerdekaan korban” dengan bentuk: 1. Membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah. Pembatasan dan pelarangan oleh pelaku ditujukan kepada korban, agar korban tidak melakukan sesuatu pekerjaan di dalam maupun diluar rumah. Dimana pembatasan dan pelarangan ini dilakukan oleh pelaku dengan mengunakan sarana yang melawan hukum, yakni dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan. 2. Menyebabkan korban berada di bawah kendali orang tersebut. Dimana akibat pembatasan dan pelarangan tersebut menjadikan pelaku dapat mengendalikan
Universitas Sumatera Utara
78
korban, jadi kehendak dan keinginan korban adalah sesuai dengan kehendak dan keinginan pelaku. 3. Korban mengalami ketergantungan ekonominya kepada pelaku. Pada akhirnya pembatasan/pelarangan dan pengendalian korban oleh pelaku menyebabkan pelaku mengalami ketergantungan ekonomi kepada pelaku. 4. Korban tersebut ditelantarkan. Unsur ini menjadi inti dari tindak pidana jenis ini, dimana orang yang tergantung
secara
ekonomi
kepada
pelaku
karena
adanya
pembatasan/pelarangan dan pengendalian tersebut kemudian diterlantarkan oleh pelaku. Dengan melihat syarat-syarat tersebut di atas, maka pasal ini mensyaratkan timbulnya akibat dari perbuatan menelantarkan tersebut yakni adanya korban yang tergantung secara ekonomi kepada pelaku menjadi “terlantar”
Universitas Sumatera Utara