Foto Penulis
(ARTIKEL 1)
KEZALIMAN DALAM SEBUAH RUMAH TANGGA “Pendidikan bagi Perempuan dalam Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)” Penulis lulusan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah. Penulis mengambil jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Saat ini penulis mengambil Pasca Sarjana Universitas Indonesia dengan jurusan yang sama, yaitu Sosiologi. Penulis bekerja pada Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Ditjen PAUDNI, Kemdikbud.
SEKAPUR SIRIH TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah fenomena dari dulu hingga saat ini merupakan kekejaman yang menimpa anggota keluarga khususnya kaum perempuan dan anak-anak yang sulit dipantau. Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak mengenal batasan usia, pendidikan, ras atau suku bahkan ekonomi dan sosial di manapun berada. Pemerintah Indonesia melalui UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mempunyai misi yang sangat ideal untuk mengurangi jatuhnya korban KDRT yang mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan yang signifikan ini menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya belum sadar akan akibat langsung maupun tidak langsung tersebut. Pendidikan Perempuan Dalam Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bertujuan untuk mengurangi jatuhnya korban dan mempermudah siapa saja untuk mengatasi seandainya menemukan kejadian tersebut dilingkungannya. Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan masalah kita semua, mari kita
bertindak secara bersama-sama menghadapi tindakan kekerasan yang membelenggu hakekat perempuan Indonesia. TATANAN masyarakat Indonesia umumnya menganut sistem patriarkhal yang mendudukkan kaum lelaki sebagai pemegang kekuasaan ini dipandang memperlemah posisi perempuan. Akibat dari adanya pandangan tersebut sebagian besar masyarakat menganggap kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Sehingga banyak yang beranggapan tindak kekerasan terhadap perempuan (istri), merupakan masalah keluarga dan sebaiknya diselesaikan dalam keluarga. Karena anggapan itu membuat Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau disingkat KDRT terus berlangsung. Kenyataan itu menunjukkan, persoalan kekerasan dalam rumah tangga tidak mengenal ras, suku, atau agama. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan dominasi masyarakat menengah-bawah, di kalangan menengah-atas pun demikian. Pelaku dan korbannya juga bisa dari tingkat pendidikan rendah hingga yang mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan meskipun ada undang-undang yang melindungi perempuan atau korban dan tahu bahwa kekerasan yang menimpa dirinya tidak baik serta berharap tindakan itu dihentikan, namun tidak mudah bagi perempuan untuk melakukan tindakan nyata agar 1
KDRT itu berhenti. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah perempuan harus menyembunyikan aib keluarga. Mereka berpendapat jika masalah tersebut dibeberkan justru akan mencoreng muka sendiri. Benarkah demikian? Kekerasan dalam Rumah tangga (KDRT) merupakan fenomena yang sangat merisaukan bagi para perempuan, terutama ibu rumah tangga dan anakanak. Dari tahun ke tahun kekerasan terhadap perempuan menunjukkan kecenderungan peningkatan bahkan sejak sebelum diterbitkannya UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau disingkat UU PKDRT. Pengundangan UU No. 23 tahun 2004 bisa dipastikan merupakan tonggak untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Tujuan utama penerbitan UU tersebut adalah untuk menghapuskan atau mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Jika dilihat dari karakteristik KDRT, maka penyelesaian masalah ini dianggap cukup pelik karena menyangkut siklus kekerasan. Faktanya kekerasan dalam rumah tangga selalu melibatkan perempuan sebagai sasaran utama oleh pelaku tindakan yang kemudian diikuti oleh anak-anak, dan terakhir adalah pekerja rumah tangga. Di lain pihak terdapat penjelasan lain mengenai fakta kekerasan terhadap perempuan (Violence Againts Women) yaitu dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993 yang mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan adalah berupa setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Pendapat lainnya juga mengemukakan bahwa kekerasan terhadap perempuan, adalah setiap tindakan kekerasan berdasarkan gender yang menyebabkan, atau dapat menyebabkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual, atau psikologis terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk melaksanakan tindakan tersebut dalam kehidupan masyarakat dan pribadi (Beijing Platform of Action No. 113 dalam Herlina, Apong: 1998).
ADA APA DENGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang PKDRT menyebutkan bahwa kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan mengenai kekerasan. Penjelasan kekerasan menurut WHO dalam konsultasi global dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993 menyebutkan bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Sedangkan lingkup rumah tangga seperti yang dimaksud dalam dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari: a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga). Data dari berbagai sumber menyebutkan bahwa perempuan sebagai korban kekerasan umumnya mengalami berbagai kondisi yang berupa : a. kekerasan fisik, psikologis, dan ekonomis b. kekerasan fisik, psikologis, ekonomis, dan juga seksual. Menurut Lutri (2004) peneliti dari Lembaga Pemberdayaan Wanita Unpad, umumnya kekerasan fisik bukan tindakan pertama yang dialami korban. Biasanya sebelum mengalami kekerasan fisik korban juga mengalami kekerasan psikologis, ekonomis, atau seksual. Sebagai contoh, awalnya perempuan melawan dahulu, ketika ia mengalami kekerasan 2
psikologis, sebut saja ketika mendengar kata-kata yang menyakitkan. Balasan yang tidak enak ini membuat suami semakin keras hingga tak jarang menggunakan kontak fisik. Dalam banyak kejadian, ada pula seorang ibu dengan alasan kasih sayang atau menegakkan aturan rumah tangga melakukan kekerasan seperti pemukulan, pemaksaan hak terhadap pihak yang lebih lemah seperti anak atau pembantu/pekerja rumah tangga. Bila dilakukan terhadap anak, biasanya berujung pada perhatian suami yang kurang. Dengan kata lain untuk menarik perhatian suami, seorang isteri tega berbuat kasar terhadap anak-anaknya.
BAGAIMANA BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Dalam Pasal 5 UU PKDRT membedakan bentukbentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dijabarkan dalam pasal-pasal selanjutnya: 1. Kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Contoh: tamparan, pemukulan menggunakan benda tumpul atau benda tajam, pemerkosaan, pemaksaan, pemukulan yang berujung pada pembunuhan, penganiayaan, dan lain sebagainya. 2. Kekerasan psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Contoh: teror, umpatan, makian, gila, dan lain sebagainya. 3. Kekerasan seksual, adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran rumah tangga, adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Hukum Indonesia Sebelum diundangkannya UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka masalah utama yang berkaitan dengan hukum berpusat pada tidak adanya hukum yang secara khusus memberikan perlindungan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut. Bahkan istilah “kekerasan terhadap perempuan” tidak dikenal dalam hukum Indonesia, meski fakta kasus ini marak terungkap di berbagai penjuru Indonesia. Dalam KUHP yang ada saat ini, sebagian kasus-kasus yang tergolong kekerasan terhadap perempuan hanya dapat dijaring dengan pasal-pasal kejahatan namun terbatas pada tindak pidana umum (baik, korban laki-laki atau perempuan) seperti: kesusilaan, perkosaan, penganiayaan, pembunuhan dll. Tindak pidana ini dirumuskan dalam pengertian sempit (terbatas sekali), meskipun ada pemberatan pidana (sanksi hukuman) bila perbuatan tersebut dilakukan dalam hubungan keluarga seperti terhadap ibu, istri, dan anak. Tindakan kekerasan terhadap isteri termasuk sebagai tindakan pidana. Hal tersebut telah diatur dalam pasal 351 jo 356 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu kesimpulan dari pasal-pasal ini adalah, bila penganiayaan dilakukan terhadap keluarga dekat/orang yang seharusnya dilindungi, maka hukumannya ditambah sepertiga dari 3
jumlah hukuman apabila penganiayaan dilakukan terhadap orang lain. Selain itu, dalam kasus isteri (perempuan) di bawah umur (16 tahun), maka apabila laki-laki (suaminya) menyebabkan luka-luka dalam proses hubungan seksual maka si suami bisa didakwa melanggar pasal 288 KUHP. Bentuk lain kekerasan terhadap perempuan adalah pelecehan seksual. Tidak ada perundangan yang khusus mengatur pelecehan seksual. Tapi dalam KUHP ada ketentuan tentang “perbuatan cabul”, yang pengertiannya adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang terjadi di lingkungan nafsu birahi kelamin. Pasalpasal tersebut antara lain (Kalyanamitra, 1999): Pasal 281 KUH Pidana 1. Barangsiapa dengan sengaja merusak kesopanan di muka umum; 2. Barangsiapa dengan sengaja merusak kesopanan di muka orang lain yang kehadirannya di sana tidak dengan kemauannya sendiri
Pokok penting pasal ini adalah: ” Suatu hubungan dimana korbannya mempunyai ketergantungan dengan si pelaku. Pasal ini menghukum orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungut, anak peliharaannya atau dengan seorang yang belum dewasa yang dipercayakan kepadanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang bawahnya yang belum dewasa. Hukumannya adalah penjara selama-lamanya tujuh tahun. Selanjutnya pasal ini menghukum pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di bawah perintahnya atau dengan orang dipercayakan kepadanya untuk dijaga. Demikian pula pengurus, tabib, guru, pegawai, mandor (opzichter) atau bujang dalam penjara, rumah tempat melakukan pekerjaan untuk negara (landswerkinrichting), rumah pendidikan, rumah piatu, rumah sakit ingatan atau balai derma, yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang ditempatkan di situ.”
Pemerintah menyadari bahwa untuk mengeliminir kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak cukup hanya dengan meratifikasi konvensi, akan tetapi perlu dijabarkan lebih jauh dalam undang-undang. Karena itu pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tugas dan tanggung jawab pemerintah telah diatur dengan tegas dalam kedua undang-undang ini, baik itu yang berkaitan dengan tanggung jawab untuk melakukan pencegahan, memberi perlindungan, menindak pelaku dan pelayanan pemulihan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga maupun penyelenggaraan perlindungan anak. Dalam konteks ini perlu kiranya dicermati apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana pemerintah daerah di era otonomi daerah dengan kewenangan yang lebih besar memberi perhatian yang sungguh-sungguh dalam perumusan kebijakan dan program mencegah terjadinya kekerasan dan memberi perlindungan kepada perempuan dan anak.
Fakta Kekerasan terhadap Perempuan yang berlaku di Indonesia dan dunia (Artikel 2) Berdasarkan jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan yang telah diungkapkan diatas, maka dicoba untuk merangkum berbagai fakta yang terjadi baik di dunia maupun di Indonesia dalam tabel berikut ini:
DAMPAK YANG DITIMBULKAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Isu adanya KDRT dalam masyarakat kita beberapa tahun terakhir mulai banyak diperbincangkan di berbagai forum, meskipun masalah ini kebanyakan hanya sekedar wacana. Permasalahannya adalah dampak dari terjadinya KDRT tersebut harus ditangani agar tidak membuat fatal. Dampak KDRT antara lain adalah: Sosial Dampak dari KDRT di bidang sosial antara lain korban perlakuan KDRT pada umumnya 1. takut mendapat cemooh dari masyarakat 2. takut pembalasan 3. merasa tidak dihargai 4. selalu merasa curiga Kesehatan 4
Praktek kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak hanya merupakan bentuk pelanggaran norma sosial dan kemanusiaan, tetapi juga merupakan wujud pengingkaran kewajiban untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang tinggi. Segala bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh seorang pria/suami merupakan bentuk kekerasan yang sering terjadi dalam kehidupan seorang perempuan, bahkan lebih sering dibandingkan kekerasan atau perkosaan yang dilakukan oleh orang asing maupun orang yang dikenal. Perempuan yang menjadi korban KDRT memiliki masalah kesehatan baik fisik maupun non fisik dua kali lebih besar dibandingkan perempuan yang tidak menjadi korban KDRT Fisik Dampak KDRT secara fisik terhadap perempuan mengakibatkan a. timbulnya rasa sakit, b. jatuh sakit, c. luka berat. Non Fisik/Psikis Selain bentuk kekerasan fisik, ada juga bentuk kekerasan non fisik/psikis yaitu yang mengakibatkan a. ketakutan, b. hilangnya rasa percaya diri c. hilangnya kemampuan untuk bertindak d. rasa tidak berdaya e. penderitaan psikis berat pada seseorang Dampak atas kekerasan seksual Dampak pada kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku terhadap korbannya antara lain dapat menimbulkan trauma, takut dan bahkan dapat tertanam di bawah sadarnya sehingga menimbulkan ketakutan yang menahun. Sebagai contoh, seorang lelaki yang melakukan pelecehan seksual terhadap isterinya dihadapan anakanaknya yang masih kecil. Ekonomi Faktor ekonomi sering menjadi penyebab munculnya KDRT di masyarakat manapun dewasa ini. Adapun dampak dari KDRT di bidang ekonomi antara lain adalah: 1. kaum perempuan hanya sebagai alat eksploitasi dan komoditi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya 2. ketergantungan ekonomi
Politik Dampak KDRT di bidang politik antara lain adalah 1. kader perempuan kurang diberi kesempatan untuk tampil dan menduduki posisi penting 2. orang lebih menyorot kelemahannya 3. takut berbuat kesalahan 4. selalu dinomorduakan 5. suaranya sering tidak didengar Hukum Dampak KDRT di bidang hukum antara lain 1. Belum ada perangkat hukum yang membahas mengenai kekerasan terhadap perempuan 2. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dianggap biasa. 3. Kekerasan terhadap perempuan dianggap belum masuk pelanggaran 4. tidak dipercaya ketika mengungkapkan masalahnya
ANALISIS PENYEBAB & PELANGGENG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Dari berbagai media, kita dapat melihat bahwa angka kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Berbagai pemerhati masalah perempuan seperti Kalyanamitra mengungkapkan bahwa dewasa ini kekerasan terhadap perempuan makin meningkat. Namun angka yang mereka dapatkan masih jauh dari fakta di lapangan. Bisa jadi kasus KDRT tidak dilaporkan atau terlaporkan ke polisi, lembaga pendamping korban, maupun media. Akibatnya seringkali KDRT menjadi hal yang wajar terjadi dalam sebuah keluarga. Menurut kaum feminis, penyebab utama dari masalah kekerasan terhadap perempuan adalah Budaya yang masih melekat kuat di masyarakat Indonesia atau masyarakat di beberapa negara maju maupun belum maju yang dikenal sebagai budaya patriarkhis. Budaya patriarkhi adalah budaya yang menomorsatukan laki-laki disegala bidang. Akibat yang terjadi kemudian adalah kaum perempuan tersubordinasi dan mengalami penindasan. Budaya patriarkhi bekerja dan terimplementasi melalui berbagai cara dalam kehidupan sehari-hari baik ditingkat individu, keluarga, masyarakat maupun 5
bangsa/Negara. Budaya patriarkhi ini telahmempengaruhi dengan sangat kuat relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan telah mengakibatkan terjadinya diskriminasi, ketidakadilan, kekerasan, pelecehan dan sebagainya terhadap sebagian besar kaum perempuan. Budaya patriarkhi ini juga merupakan salah satu penyebab terjadinya KDRT sekaligus sebagai penyebab tidak banyak terungkapnya mengapa KDRT kasusnya banyak yang tidak terungkap. Menurut Julia Suryakusuma, hampir semua institusi sosial memakai nilai-nilai patriarkhi termasuk di dalamnya lembaga Negara, hukum, pendidikan, agama, norma-norma media massa, keluarga, dan tentunya militer (www.kompas.com) Dari contoh berikut dapat dilihat pengaruh budaya patriarkhi dalam kehidupan sehari-hari: 1. Adat Di masyarakat dewasa ini masih berlaku adat yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki untuk memiliki/menguasai seorang perempuan. Mereka beranggapan bahwa seorang perempuan ketika masih muda/gadis dianggap sebagai milik bapaknya, setelah menikah menjadi milik suaminya, dan ketika sudah tua menjadi milik anak lelakinya. Akibatnya seorang perempuan tidak memiliki kesempatan untuk dirinya sendiri 2. Sistem Politik Di Indonesia sudah pernah ada seorang presiden dari kaum perempuan, tetapi sistem politik formal belum kondusif bagi perempuan untuk berpartisipasi di dalamnya. Seperti kita tahu bahwa tidak ada larangan seorang perempuan untuk menduduki posisi-posisi politik dalam Undang-undang, namun kesempatan untuk perempuan masih sangat dibatasi. Misalnya pada saat pemilu 2004 kemarin, banyak calon/kader partai perempuan yang memiliki kemampuan dan wawasan politik yang luas tidak mendapat kepercayaan partainya untuk maju. Mereka (kaum perempuan) hanya dicalonkan di nomor urut terbawah sehingga suara pemilih jatuh pada kader laki-laki meski kemampuannya jauh di bawah kader perempuan. Contoh lain adalah sebuah partai politik yang lebih memilih kader laki-laki dari pada perempuan untuk menjadi calon gubernur Banten. 3. Tafsir Agama
Penafsiran agama dan kepercayaan memiliki pertalian yang erat dengan budaya patriarkhi yang memberikan kelebihan pada kaum laki-laki. Banyak penafsiran agama dan kepercayaan yang sangat merugikan kaum perempuan dan melanggengkan pembagian peran, fungsi, posisi perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat. Dampak dari penafsiran ini menyebabkan adanya pembatasan-pembatasan bagi perempuan yang terburuk adalah mendorong seorang suami melakukan kekerasan terhadap istri dan anak perempuannya yang dirasanya tidak menurut. Misalnya ayat tentang nusyuz dalam al-Qur’an membuat banyak orang berkeyakinan bahwa suami sah-sah saja memukul isterinya, padahal jika dipelajari secara seksama justru pesan yang dikandung menyiratkan perintah agar suami berlaku baik terhadap isteri. Menurut Hj Enung Nursaidah Rahayu dalam Suara Rahima tahun 2006 bahwa dari ayat dalam al-Qur’an sebenarnya dapat diambil kesimpulan bahwa ada dua tahapan yang harus ditempuh seorang suami yang ingin memperingati isterinya yaitu pertama memberi nasihat dan kedua pisah ranjang. Pada kenyataannya kedua tahapan ini tidak ditempuh oleh suami yang memukul isterinya. Islam pada dasarnya tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan, apalagi melegalkan kekerasan terhadap perempuan. Ada banyak pendapat tentang hal ini, diantaranya dari Karen Armstrong dalam “Muhammad The Prophet” yang menyatakan bahwa Islam sebagai sebuah sistem yang berisi nilai-nilai, sesungguhnya tidak mengajarkan para pengikutnya untuk memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil. Bahkan alih-alih menganjurkan penindasan, dalam suatu kesempatan seusai menjalankan haji wada, secara tegas Muhammad menyerukan umatnya untuk peduli dan menghormati para perempuan (Suara Rahima 2006). Namun pada kenyataannya, pernyataan Rasulullah tersebut seakan kurang bergema. Hal ini dapat kita lihat bahwa setelah lebih dari 1500 tahun sejak berpulangnya Nabi kehadirat Allah azza wa Jalla, situasi yang dialami oleh perempuan bukannya membaik, bahkan seolah-olah kembali ke jaman Jahiliyah. Pada saat ini terdapat puluhan bahkan ratusan juta perempuan di berbagai Negara, terutama di Negara-negara Muslim yang hidup dalam situasi terdiskriminasi dan menjadi objek tindak kekerasan. Agama apapun sebenarnya tidak mendukung adanya diskriminasi apalagi melakukan tidak kekerasan 6
khususnya terhadap perempuan, dan ini dapat dilihat dari berbagai ayat/surat yang terdapat di berbagai kitab suci baik Islam, Kristen maupun Hindu dan Buddha. Namun umat sendiri yang menafsirkan kitab agama masing-masing yang menjadikan kekerasan terhadap perempuan menjadi wajar. Oleh karena itu perlu dilakukan penafsiran kembali ajaran-ajaran agama dan kepercayaan dengan perspektif keadilan gender.
Institusi yang melanggengkan KDRT Beberapa institusi yang melanggengkan KDRT diantaranya adalah 1. Keluarga yang merupakan institusi pertama dan utama yang mensosialisasikan nilai-nilai yang mengutamakan kaum laki-laki mendapatkan perlakuan yang berbeda. Sejak kecil, seorang anak perempuan biasanya sudah diberikan pemahaman oleh orang tuanya terutama oleh ibunya tentang dominasi laki-laki. Misalnya dalam hal pendidikan, laki-laki lebih diberi kesempatan untuk sekolah dari pada perempuan. Atau perempuan harus selalu menurut apa kata orang tua, saudara laki-laki, dan kelak kata suami dan mertua. 2. Media massa yang merupakan wadah untuk mensosialisasikan dan penyebaran informasi yang sangat efektif. Misalnya banyak sinetron terutama sinetron keagamaan dimana kekerasan terhadap perempuan terjadi karena pihak perempuan sendiri yang mengundang, dan permasalahan selesai hanya dengan ucapan minta maaf. 3. Hukum, perangkat hukum belum memiliki wadah untuk mengatasi permasalahan terhadap perempuan. Sehingga kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga seringkali dianggap bukan kejahatan melainkan bagian dari pendidikan keluarga 4. Sistem ekonomi yang tidak adil dimana perempuan ditempatkan sebagai objek dan menjadi korban di dalamnya seperti dijadikan alat dan komoditi yang dieksploitasi untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Karena dalam posisi tawar yang lemah, maka perempuan semakin terpuruk dalam ketergantungan.
FAKTOR-FAKTOR PEMICU KDRT Beberapa faktor pemicu terjadinya kekerasan ialah : a. Faktor masyarakat: 1. Kemiskinan, 2. Urbanisasi yang terjadi disertainya kesenjangan pendapatan diantara penduduk kota, 3. Masyarakat keluarga ketergantungan obat, 4. Lingkungan dengan frekwensi kekerasan dan kriminalitas tinggi. b. Faktor keluarga: 1. Perlakuan budaya yang terkadang memaksa anak perempuan untuk menempuh jalan yang kurang menguntungkan, misalnya menikah di usia muda tanpa bekal pendidikan yang memadai, perjodohan di usia yang amat sangat muda atau masih bayi, perdagangan anak perempuan sebagai pekerja seks komersiil dengan tujuan agar dapat menyelamatkan kehidupan keluarganya; 2. Adanya anggota keluarga yang sakit yang membutuhkan bantuan terus menerus seperti misalnya anak dengan kelainan mental, orang tua yang sudah uzur dan sakit-sakitan; 2. Kehidupan keluarga yang kacau tidak saling mencinta dan menghargai, serta tidak menghargai peran wanita; 3. Korban perkosaan dan kekerasan seksual, sehingga mengganggu hubungan jaringan sosial pada keluarga, c. Faktor Individu, Di berbagai negara termasuk juga di Indonesia, perempuan yang mempunyai resiko lebih besar mengalami kekerasan dalam rumah tangga ialah 1. Perempuan yang lajang, perempuan ingin bercerai atau bercerai, 3. Ketergantungan obat atau alkohol atau memiliki riwayat ketergantungan kedua zat itu, 4. Perempuan yang sedang hamil, dan 5. Perempuan yang mempunyai partner/pacar/suami yang memiliki sifat cemburu yang berlebihan.
Apa yang anda lakukan jika anda mengalami kekerasan? 7
Apabila Anda menjadi korban kekerasan, maka yang penting harus diingatlah adalah tak seorangpun berhak dianiaya anatu menjadi korban apapun alasannya. Kekerasan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan oleh hukum adat, hukum positif, norma apapun termasuk oleh agama maupun sosial. Berikut ini ada beberapa tahapan yang dapat dilakukan bila Anda mengalami kekerasan, yaitu (Kalyanamitra,1999): a. Bicarakan persoalan ini dengan orang yang Anda percaya b. Mintalah bantuan dari lembaga yang mengerti dan menangani persoalan ini. c. Mulai mendekati keluarga atau teman yang bisa menampung seandainya diperlukan. Untuk menjaga keselamatan Anda, sebaiknya keluarga atau teman itu tidak dikenal oleh pelaku. d. Susunlah rencana perlindungan diri, siapkan kebutuhan anak-anak, uang, tabungan, baju, kunci rumah/mobil, selamatkan surat-surat penting, dan siapkan obat-obatan yang diperlukan. Sembunyikan di tempat yang aman agar mudah dibawa dalam situasi darurat. e. Laporkan ke polisi jika penganiayaan tersebut mengancam jiwa Anda dan/atau anak-anak. Setidaknya Anda akan mendapatkan perlindungan hukum. f. Kalau Anda luka atau cedera karena penganiayaan, potretlah bagian tubuh yang terluka. Foto ini bisa dipakai sebagai bukti di kemudian hari. g. Pergilah ke dokter untuk memeriksakan lukaluka yang diderita. Data yang ada di dokter akan berguna jika kasusnya menjadi kasus hukum.
Pembuktian atas kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Artikel 3) Dalam UU No. 23 tahun 2004 dalam pasal 55 telah menentukan mengenai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Alat bukti yang sah lainnya itu adalah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk/foto; e. Keterangan terdakwa.
Upaya dalam rangka perlindungan KDRT Dalam kaitan kekerasan dalam rumah tangga, selama ini yang banyak dilakukan di Indonesia adalah upaya pendampingan korban. Ini dilakukan oleh Organisasi non pemerintah, kegiatan itu terutama pada pendampingan korban kekerasan yang dari segi kesehatan masyarakat termasuk pencegahan sekunder khususnya pada pencegahan cacat. Terhadap kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian (pasal 26 ayat 1). Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian (pasal 26 ayat 2). Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (pasal 27). Selama ini masih sedikit pendamping yang memihak korban, dalam arti berperspektif korban, padahal tidak ada jaminan bahwa si pendamping tidak akan melukai hati atau melanggar hak asasi lainnya dari korban. Karena prinsip memihak korban harus dikaji secara terus menerus sebab prinsip ini dapat diartikan “melanggar” prinsip impartial. Prinsip impartial mewajibkan pendamping bersikap netral, tetapi di sisi korban selama ini perspektif mereka 8
diabaikan. Maka, memihak korban tidak berarti meninggalkan prinsip impartial, tetapi dengan sikap empati, pendamping terus menerus menyuarakan korban yang tidak mampu bersuara. Selama ini ada empat aspek penanganan korban, yaitu secara medis, hukum, psikologi dan sosial budaya, bekerja sendiri-sendiri tanpa memperhatikan keterkaitan satu sama lain. Padahal penangan dapat dilakukan secara efektif jika dilakukan dengan pelayanan terpadu. Pelayanan terpadu yang semacam ini sudah dilaksanakan: 1. Jakarta, yaitu RSCM dengan Kepolisian DKI, Women Crisis Center, dan masyarakat. 2. Yogyakarta, yaitu RS Panti Rapih, WCC (Rifka Annisa, Suara Nurani Perempuan, dll), 3. Kepolisian, 4. Masyarakat umum.
Apa yang dilakukan jika Anda menemui atau hendak membantu korban kekerasan? a. Kalau Anda perempuan yang mau melakukan tindakan praktis membantu korban kejahatan ini, hubungi organisasi-organisasi perempuan yang memberi pelayanan kepada korban. Anda mungkin orang yang tepat untuk dilatih menjadi konselor. Bisa juga Anda membantu dengan cara lain. b. Bila Anda mengetahui ada orang yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, segeralah memberi pertolongan agar korban berada dalam keadaan aman. Jangan menunda karena kekerasan dalam rumah tangga sering menyebabkan kematian atau luka parah. c. Membantu perempuan memperoleh tempat aman. Dengan melakukan ini tidak berarti membantunya meninggalkan perkawinan. Korban mungkin hanya perlu tempat lain yang aman untuk sementara waktu dan ia kemudian bisa memutuskan apa yang akan dilakukannya. Ingat bahwa banyak perempuan tidak ingin perkawinannya hancur, yang mereka inginkan adalah suaminya tidak lagi memukulinya. d. Ciptakan suasana yang membuat korban merasa aman untuk menumpahkan isi hatinya. e. Dengarkan korban. Berbicaralah sopan padanya. Dia telah dipermainkan oleh suami/pasangannya. Kita jangan mempermainkan juga.
f. Jangan menyalahkan korban. Salahkan orang yang seharusnya disalahkan, yakni pelaku kekerasan. g. Memberi informasi dan menghubungkannya dengan lembaga/perorangan yang bisa membantunya. h. Meyakinkan bahwa dialah yang harus menolong dirnya sendiri dan anak-anaknya. Bagaimana menghadapi persoalan ini pada akhirnya tergantung pada dirinya. Seorang konselor terlatih bisa membantunya memilih apa yang akan dilakukan, tetapi keputusan harus terletak ditangannya sendiri. i. Kalau anda mengetahui ada seorang perempuan sedang dipukuli, anda bisa mengajak beberapa orang tetangga untuk memukul-mukul panci dan kaleng di luar rumah mereka. Ini akan membuat si suami tahu bahwa orang-orang melihat dan mendengarkan sehingga lebih baik ia berhenti. j. Percayailah seorang perempuan yang mengatakan bahwa dirinya diperlakukan kejam oleh pasangannya. Perempuan tidak memperoleh keuntungan dengan membuat cerita tentang kekerasan rumah tangga. Dari pengalaman kami, perempuan lebih banyak menutup-nutupi atau menyangkal terjadinya perlakuan kejam dari pada mengungkapkannya. Biasanya setelah mengungkapkannya, seorang perempuan akan diperlakukan kejam lagi untuk waktu yang lama. Kebanyakan korban mengungkapkan yang dialaminya setelah penganiayaan berakhir karena kekhawatiran akan keselamatan anak-anaknya. k. Ajaklah perempuan korban pemukulan pergi ke dokter. Pertama, karena ia mungkin memerlukan perawatan untuk luka-lukanya. Kedua, untuk membuat pemukulan ini masuk dalam surat keterangan dokter. Surat ini akan menjadi bukti penting kalau korban memutuskan mengajukan tuntutan hukum terhadap pelaku. l. Kalau seorang perempuan tidak berada dalam keadaan yang berbahaya, tetapi hanya perlu berbicara kepada orang lain yang telah terlatih untuk memberikan bantuan, hubungi organisasiorganisasi perempuan yang memberi pelayanan kepada perempuan korban kekerasan. Mereka punya konselor terlatih yang bisa membantu. m. Banyak perempuan dan anak-anak terus menanggung kekerasan hanya karena mereka tidak punya tempat tinggal lain, dan tidak punya uang. Kita harus berbuat sesuatu untuk memberi 9
alternatif kepada isteri yang menjadi korban pemukulan sehingga mereka tidak harus terus menerus hidup dengan kekerasan hanya karena tidak ada tempat lain. Kita perlu rumah dan dana untuk perempuan dan anak-anak agar mereka bisa berdikari kalau mereka memutuskan pergi meninggalkan rumah yang keras. Untuk memenuhi keperluan ini memang diperlukan kerja yang sangat keras tetapi kalau kita tidak mulai berbuat kearah sana sekarang, kita tidak akan pernah bisa membantu mereka dengan baik. n. Jangan diam, membiarkan orang lain mempromosikan kekerasan dalam rumah tangga. Kita harus menentang pandangan yang salah (mitos) yang dimiliki orang-orang. Lelucon mengenai KDRT itu sama sekali tidak lucu. o. Kalau Anda tahu ada lelaki yang menyerang isteri, cobalah menunjukkan padanya bahwa yang diperbuatnya itu tidak bisa diterima. Sebelum lakilaki mengakui bhawa tanggungjawab atas kekerasan itu ada padanya, dan ia berhenti membenarkan tindakannya, maka ia tidak akan berubah. Kekerasan tidak akan terhenti. p. Kalau ada lelaki pelaku kekerasan yang menyadari dan ingin menghentikan perbuatannya, berikan bantuan. Pelaku sangat membutuhkan bantuan untuk menghentikan kebiasaannya melakukan pemukulan.
Daftar Pustaka ________. 2006. Catatan Tahunan Kekerasan terhadap perempuan Tahun 2005. Komnas Anti Kekerasan Terhadap Permpuan. Jakarta. ___________. 2005. Kekerasan Terhadap Perempuan: Perspektif dan Penanganan. CHPSS. Yogyakarta. ___________. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak: Panduan Mengajar. Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan bekerjasama dengan Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Bidan Indonesia. Jakarta. ___________. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak: Panduan Mahasiswa. Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan bekerjasama dengan Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Bidan Indonesia. Jakarta. Anggarawaty, H. 2006. Isu KDRT: Antara Fakta dan Propaganda. Catatan Akhir Tahun LBH APIK Jakarta Tahun 2003. LBH APIK Jakarta. Fakta Kekerasan terhadap Perempuan (Violence Againts Women), Mitra Inti Foundation, dalam
http://www.genderkesepro.info yang diakses tanggal 1 Februari 2007. Faktor Resiko dan Protektif, dalam http://www.kdrt.com yang diakses tanggal 1 Februari 2007. Hartiningsih, Maria dan Mardiana, Ninuk P. 2005. Pemerintah belum Begitu melek terhadap persoalan KDRT. Artikel dalam http://www.kompas.com/kompascetak/0511/26/swara/2241726.htm yang diakses tanggal 31 Januari 2007. Herlina, Apong. 1998. Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia Kerja. Seminar Gender dan Kekerasan: Gambaran Masalah dan Tinjauan ke Depan dan Peluncuran Paket Prosiding Studi Gender dan Pembangunan. Depok: Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, September 1998 Isu KDRT Menyerang Hukum Islam. Artikel dalam Radar Banjarmasin Online.htm tanggal 18 Januari 2007 yang diakses tanggal 30 Januari 2007. Kalyanamitra. 1999. Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kalyanamitra Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan. Jakarta. Kasus KDRT bahkan cenderung Meningkat, UU No. 23 tahun 2004 belum hapus Kekerasan Rumah Tangga, dalam http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0805/01/0310.htm yang diakses tanggal 30 Januari 2007. Kasus Kejahatan atas Perempuan: Hukum yang Berat Pelakunya. Berita tanggal 1 Mei 2006 dalam http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=246014 &kat_id=286, yang diakses tanggal 1 Februari 2007. Kekerasan di Balik Pernikahan. Hikmah Suplemen Pikiran Rakyat untuk keluarga, tanggal 21 November 2004. yang di akses tanggal 10 Februari 2007. Komnas Perempuan. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2005: KDRT dan Pembatasan Atas Nama Kesusilaan. Komnas Perempuan. Lembaga Konseling KDRT harus Independen. Artikel dalam Kompas tanggal 3 Januari 2007. Muchtar, Yanti dan Missiyah. 2005. Modul Pelatihan untuk Menumbuhkan & meningkatkan Sensitifitas Keadilan Gender. Seri Pendidikan Feminis. Kapal Perempuan. Jakarta. Perempuan dan KDRT Fenomena memprihatinkan. Artikel dalam http://pikas.bkkbn.go.id/article_detail.php?aid=230 yang diakses tanggal 31 Januari 2007. Refleksi Advokasi Hukum dan Perempuan Tahun 2004. LBH APIK Jakarta. Sakreti, Anna, N. 2004. Peliknya Penanganan KDRT. Kompas tanggal 12 Juli 2004. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
10
Contoh-contoh Kasus KDRT (Artikel 4) Studi Kasus Suyatmi Berikut ini adalah sebuah contoh kasus dengan judul "Kejahatan yang Tidak Dihukum”. Kasus ini diadaptasi dari sebuah contoh dari kasus KDRT yang menimpa seorang wanita bernama Suyatmi yang pada akhir cerita harus menjalani hukuman. Suyatmi sebagai korban KDRT dari suaminya sendiri tetapi Suyatmi juga menjadi pelaku penusukan terhadap Ismail (suami dari Suyatmi) yang mengakibatkan kematian Ismail.
KRONOLOGI KASUS SUYATMI Suyatmi bercerai dengan suami pertama tahun 1988, lalu Suyatmi menikah dengan Ismail bulan Agustus tahun 1989 dan mempunyai 1 orang anak. Ismail seorang supir taksi, sedangkan Suyatmi seorang Ibu RT. Ismail seorang suami yang suka bermain judi & berselingkuh. Suyatmi hampir di aniaya oleh Ismail 3 kali dalam sebulan. Ismail juga pernah memukul ibu Suyatmi & juga mencuri uang sebesar Rp. 60.000 . Ismail jarang memberi uang belanja & pernah meninggalkan suyatmi & anaknya selama beberapa bulan tanpa meninggalkan uang belanja. Karena tidak ada uang belanja suyatmi bekerja sebagai tukang cuci & pernah sebagai tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Ismail selalu menceritakan setiap pertengkaran ke tetangganya, beda dengan Suyatmi, Suyatmi adalah seorang istri yang pendiam & tidak bergaul dengan tetangga. Karena tidak tahan dengan tingkah laku suaminya, Suyatmi melaporkan pertengkarannya ke KUA, tapi Ismail memarahi Suyatmi & merobek surat panggilan dari KUA. Akhirnya Suyatmi melaporkan ke kakaknya agar kakaknya menasehati, tapi tidak berhasil. Sejak itu Suyatmi tidak melakukan apa-apa. Ismail juga pernah membohongi Suyatmi karena dia membutuhkan uang untuk SIM tapi uang itu malah di gunakan untuk judi, & Ismail juga menyuruh Suyatmi menyerahkan anaknya ke kakaknya. Akhirnya pada tanggal 13 November 1997 kejadian diatas terulang lagi. Ismail pulang ke rumah dengan wajah murung dan mengatakan bahwa hari itu ia tidak mendapat uang sedangkan SIM –nya sudah habis masa berlakunya. Ismail menyuruh Suyatmi untuk berhutang ke tetangga-tetangganya. Suyatmi menolak,
mereka bertengkar hingga akhirnya Ismail mejambak serta membenturkan kepala Suyatmi ke dinding kemudian ke lantai. Suyatmi pingsan, lsaat siuman Suyatmi mendengar Ismail menceritakan kejadian barusan kepada salah seorang tetangganya, Suyatmi kemudian masuk ke kamar, menangis dan tertidur. Lalu kira-kira pukul 14:30 WIB, Suyatmi terbangun & merenung, dia melihat Ismail teridur disampingnya. Suyatmi melihat ada sebilah pisau dapur, lalu diambil pisau terebut dan kemudian dipakai untuk menusuk Ismail. Setelah kejadian itu Suyatmi melapor ke polisi. Setelah persidangan diputuskan bahwa Suyatmi bersalah serta di hukum 4 tahun penjara. Tapi akhirnya Suyatmi tidak di hukum sepenuhnya. Juni Tahun 2000 Suyatmi bebas, sejak itu Suyatmi tinggal dengan kakaknya di Jakarta timur & bekerja sebagai pencuci mobil di salah satu bengkel di Jakarta Timur.
ANALISA PROSES PENANGANAN KASUS Dibagi dalam 3 tingkatan proses pemeriksaan, yaitu: - Di tingkat kepolisian - Di tingkat kejaksaan - Di tingkat pengadilan
PROSES PEMERIKSAAN KASUS DI TINGKAT KEPOLISIAN Suyatmi sebagai tersangka ditemui di Rutan Pondok Bambu, kemudian dengan Asnifrianti Damanik sebagai Koordinator Divisi Bantuan ukum LBH APIK Jakarta, dilakukan wawancara seputar kejadian terbunuhnya Ismail. Asnifrianti akhirnya menawarkan bantuan hukum secara cuma-cuma, setelah Suyatmi bersedia dibentuklah sebuah tim penasehat hukum. Tim penasehat hukum yang selanjutnya lebih sering diwakili oleh Asnifrianti kemudian melakukan serangkaian kegiatan yang meliputi: 1. Menggali semua aspek yuridis dan non yuridis yang terkait dengan peristiwa tersebut. Mulai dari sebelum Suyatmi menikah dengan almarhum Ismail sampai dengan upaya-upaya yang dilakukan Suyatmi dalam mengatasi persoalan perkawinannya dengan almarhum. 2. Menjelaskan hak-hak Suyatmi sebagai tersangka yang dijamin dalam KUHP. Antara lain hak mendapat penasehat hukum dan bebas berkonsultasi kapan saja, hak atas pelayanan dokter, hak untuk mengajukan saksi-saksi ahli yang menguntungkan Suyatmi.
11
3. Melakukan investigasi TKP. Dengan tujuan mengumpulkan bukti-bukti yang dapat meringankan Suyatmi atau bahkan membebaskannya dari tuntutan hukum. Dalam kesempatan itu Tim Penasehat juga mencari informasi dengan mewawancarai masyarakat sekitar atau tetangga Suyatmi mengenai seputar kasus tersebut. 4. Melakukan pendekatan dan meminta beberapa tetangga Suyatmi (yang mempunyai informasi yang menguntungkan Suyatmi) untuk menjadi saksi dalam pengadilan. 5. Mendatangi kantor Kepolisian Sektor Makasar untuk memperkenalkan diri sebagai Penasehat Hukum Suyatmi. Diperoleh keterangan bahwa saat itu Suyatmi telah selesai menjalani pemeriksaan dari pihak kepolisian serta telah dibuat BAP-nya. 6. Meminta salinan BAP Suyatmi yang digunakan dalam menyusun pembelaan serta diketahui sejauh mana keterangan yang telah disampaikan tersangka di hadapan Kepolisian dan juga mengethui siapa-siapa saja saksi yang akan diajukan Penuntut Umum dalam Pengadilan. 7. Menanyakan siapa saja saksi yang telah dimintai keterangan dan sejauh mana proses pemeriksaan di tingkat Kepolisian tersebut.
PROSES PEMERIKSAAN KASUS DI TINGKAT KEJAKSAAN Dari kejaksaan diperoleh keterangan bahwa pemeriksaan terhadap Suyatmi tidak diperlukan lagi karena pemeriksaan dari Kepolisian dianggap cukup. Selama menunggu pelimpahan perkara ke Pengadilan, Tim Penasehat Hukum tetap melanjutkan pencarian bukti dan saksi a-de charge. Pencarian saksi difokuskan kepada orang yang mengetahui kehidupan rumah tangga Suyatmi-Ismail selama kurun waktu 8 tahun terakhir sebelum peristiwa penusukan tersebut. Tim Penasehat Hukum juga merasa perlu adanya pemeriksaan mengenai kondisi psikologis Suyatmi, yang saat ini ststusnya sebagai terdakwa. Diharapkan, Pengadilan akan membuat surat pengantar ke lembaga terkait untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan surat Keterangan Kondisi Psikis. Surat keterangan ini dibuat oleh seorang dokter spesialis jiwa. Selain itu Tim Penasehat Hukum juga menilai perlu adanya pemeriksaan dari seorang psikolog untuk menggali kepribadian Suyatmi serta latar belakan peristiwa penusukan yang terjadi.
PROSES PEMERIKSAAN KASUS DI TINGKAT PENGADILAN
Proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dimulai pada tanggal 28 Januari 1998 sampai dengan 15 juni 1998. Inti dari Dakwaan Penuntut Umum adalah tuduhan yang bersifat alternatif atau yang sering disebut sebagai tuduhan berlapis, antara lain adalah: Primer melanggar pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana) Subsidiar melanggar pasal 338 KUHP ( pembunuhan ) Subsidiar melanggar pasal 354 KUHP ( penganiayaan yang mengakibatkan kematian ) Subsidiar melanggar pasal 351 KUHP ( penganiayaan berat ) Proses selanjutnya adalah dipanggilnya 6 saksi dari Penuntut umum, 2 orang merupakan polisi dan 4 lainnya adalah tetangga Suyatmi, namun dari ke-6 saksi tersebut tidak ada yang secara langsung menyaksikan peristiwa penusukan tersebut dengan kata lain tidak ada saksi yang memberatkan. Selanjutnya adalah saksi yang meringankan, yaitu tetangga, kakak, istri dari saudara sepupu Suyatmi dan 2 orang saksi ahli ( psikiater dan psikolog ). Namur hasilnya tidak jauh beda dengan saksi sebelumnya yang hanya bisa menerangkan pertengkaran yang sering terjadi dan tidak tahu apa-apa saat Suyatmi melakukan perbuatannya. Dari 2 orang saksi ahli, yang melakukan observasi singkat selama beberapa jam di Rutan Pondok Bambu, menunjukan bahwa perbuatan Suyatmi merupakan sifat agresif yang timbul akibat dari kekerasan yang selama beberapa tahun diterimanya. Penusukan terhadap suaminya dilakukan Suyatmi dalam kondisi tidak dapat mengontrol perilakunya, setelah sebelumnya menerima kekerasan dari suaminya bahkan sampai pingsan. Proses selanjutnya adalah pemeriksaan Suyatmi sebagai terdakwa, dimana diakui Suyatmi bahwa ia telah menusuk leher suaminya dengan sebilah pisau dapur., karena ia sudah tidak tahan lagi akan kelakuan suaminya. Setelah pemeriksaan saksi dan terdakwa selesai, dibacakan Surat Tuntutan, penuntut Umum menyatakan bahwa Suyatmi bersalah melakukan pembunuhan berencana dan menuntut hukuman 7 tahun penjara (pasal 340 KUHP). Berdasarkan ini, Nota Pembelaan dari Tim Penasehat Hukum adalah bahwa justru Suyatmi-lah yang sebetulnya korban kekerasan. Tidak saja korban kekerasan dari suaminya tapi jaga korban dari sistem hukum, social dan ekonomi yang gagal memberikan perlindungan terhadap Suyatmi dan juga suaminya, sehingga kekerasan terhadap keduanya terjadi. Akibat kekerasan yang dialaminya terus menerus itu, akhirnya Suyatmi melakukan perbuatannya dan mengakibatkan hilangnya nyawa Ismail. Berdasar argumen tersebut Tim Penasehat Hukum mengajukan permohonan agar Suyatmi dilepaskan dari tuntutan hukum. Dalam persidangan Suyatmi juga sempat 12
membacakan nota pembelaannya sendiri yang intinya Suyatmi merasa khilaf dan tidak pernah berencana membunuh suaminya serta adanya 3 anak sebagai tanggungannya, maka Suyatmi meminta hukuman seringan-ringannya. Dalam melakukan pembelaannya, Tim Penasehat Hukum juga melakukan kampanye dengan mengundang media massa untuk meliput jalannya persidangan, namun tidak ada respon dari media massa, hingga akhirnya Tim Penasehat Hukum menerbitkan Pers Release. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan membentuk opini masyarakat bahwa kasus ini merupakan dampak dari kekerasan domestik yang dialami terdakwa secara terus menerus. Setelah semua proses pemeriksaan berlangsung, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan putusan yang menyatakan Suyatmi terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar tindak pidana pembunuhan berdasar pasal 338 KUHP dan dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun potong masa tahanan. Atas putusan Pengadilan Negeri tersebut, Suyatmi melalui Tim Penasehat Hukum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Selang 1 bulan, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan Suyatmi secara sah dan meyakinkan telah melanggar tindak pidana pembunuhan dengan hukuman penjara selama 4 tahun potong masa tahanan. Terhadap putusan ini Suyatmi menyatakan menerimanya. Sumber: http://www.freewebs.com/kdrt/kejahatanyangtakdihukum. htm
ANALISA PROSES PENANGANAN KASUS Catatan terhadap Proses Penanganan Kasus Catatan yang patut diperhatikan, yaitu : a. sikap suyatmi - Suyatmi tidak pernah bisa menerima kekerasan yang dialaminya. - Beritikad baik menyelesaikan kasus tersebut sesuai prosedur hukum yang berlaku. b. sikap masyarakat setempat - Mengakui bahwa sering terjadi keributan diantara keduanya. - Memandang keributan dan pertengkaran yang terjadi merupakan masalah pribadi suami-istri sehingga tidak pantas untuk mencampuri urusan tersebut. Masyarakat menghentikan pertengkaran tersebut bila telah mengganggu ketentraman warga setempat. - Tidak ada kekuatan masyarakat untuk memberikan sanksi atas kekerasan yang dilakukan ismail terhadap istrinya. - Bersikap menyalahkan suyatmi, terlihat dengan tidak bersimpati terhadap kejadian tersebut. c. sikap aparat penegak hukum Kepolisian :
- menurut suyatmi bersikap baik dan tidak kasar, menyarankan untuk mengakui saja perbuatannya tanpa berbelit-belit. - dua hal yang tidak dilakukan kepolisian, yaitu : 1. tidak melakukan pemeriksaan fisik atas diri suyatmi (visum et repertum). Padahal terungkap bahwa suyatmi mengalami pemukulan dan kepalanya dibenturkan ke lantai oleh ismail. 2. tidak menyediakan penasihat hukum bagi suyatmi saat pemeriksaan dikepolisian. Hal ini bertentangan dengan pasal 56 ayat 1 KUHAP kewajiban bagi pejabat yang melakukan pemeriksaan untuk menunjuk penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana. Kedua hal tersebut terjadi karena polisi beranggapan bahwa ketika suyatmi ditanya tentang kondisinya, suyatmi menyatakan bawha ia sehat secara jasmani maupun rohani. Yang kedua, kepolisian hanya mengajukan pertanyaan mengenai kesediaannya untuk didampingi penasehat hukum tanpa harus menunjuk atau mencarikannya dan tidak dilengkapi bahwa tersangka tidak perlu megeluarkan biaya untuk bantuan hukum tersebut. Juga tidak memberikan informasi yang lengkap kepada tersangka mengenai fungsi bantuan hukum dan peranan penasehat hukum. Kedua hal tersebut mengakibatkan kerugian pada diri suyatmi. Penuntut Umum : bersikap memberatkan suyatmi dan memberikan pendapat yang kontradiktif. Disatu sisi mengakui penganiayaan yang sering dialami oleh suyatmi, namun tidak ingin memahami bahwa “cara penyelesaian” yang dilakukannya adalah untuk mengakhiri kekerasan yang selama ini dialaminya. Disisi lain menganggap bahwa “cara penyelesaian” tersebut telah direncanakan dan disengaja. Penuntut umum tidak melihat kenyataan saat itu bahwa suyatmi tidak mempunyai pilihan lain untuk menyelesaikan permasalahannya dan tidak ada unsur kesengajaan atau perencanaan dalam tindakan tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Negeri : Majelis Hakim yang memeriksa kasus Suyatmi, sama sekali tidak melihat bahwa kasus ini terjadi tidak lain sebagai dampak dari kekerasan domestik yang dialami Suyatmi selama perkawinannya. Majelis Hakim cenderung melihat kasus ini sebagi kasus pembunuhan biasa. Hal ini terlihat dari pandangan dan sikap Majelis Hakim yang pada awal persidangan mempertanyakan banyaknya Penasehat Hukum yang mendampingi Suyatmi dan penolakan secara tidak langsung terhadap kehadiran media massa. Majelis Hakim juga sempat menolak permohonan Tim Penasehat Hukum agar dilakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap Suyatmi untuk memperoleh Visum et Repertum 13
Psikiatricum dari Psikiater. Padahal latar belakang pengajuan permohonan ini adalah untuk melihat kemampuan Suyatmi bertanggung jawab atas penusukan tersebut. Majelis Hakim menolak menggunakan keterangan dari para saksi ahli yang menyatakan bahwa Suyatmi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, karena kurang sempurna akalnya dan dalam keadaan terpaksa yang tidak dapat dihindarkan. Terdapat ketimpangan Majelis Hakim dalam menimbang, untuk dua permasalahan yang sangat menentukan dalam kasus ini, yakni peristiwa penusukan dan penganiayaan. Kedua permasalahan ini, sama-sama tidak ada saksi yang melihat dan hanya berdasarkan pengakuan Terdakwa, tetapi dilihat oleh Majelis Hakim sebagai dua masalah yang berbeda. Selain itu tidak dipertanyakan lebih lanjut alasan tidak memeriksakan keadaan fisik Suyatmi ke dokter, padahal saat BAP, Suyatmi menyatakan dirinya telah dianiaya oleh suaminya sebelum penusukan tersebut. Majelis Hakim juga tidak peduli dengan sistem hukum dan sistem ekonomi yang turut mendukung terjadinya peristiwa ini. Sehingga dalam membuat pertimbangan hukum, Majelis Hakim terlihat sangat legalistik menyatakan secara sah Suyatmi melakukan tindakan pidana pembunuhan tanpa melihat kondisi social dan psikologis korban saat itu. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi : Pandangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi terhadap kasus ini sama saja dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang tetap nganggap Suyatmi sebagai orang yang telah menghilangkan nyawa Ismail dengan sengaja tanpa melihat kondisi Suyatmi pada saat kejadian dan selama perkawinannya. Hanya saja, menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi pemidanaan yang diputuskan pengadilan sebelumnya terlalu berat bagi Suyati mengingat Suyatmi mempunyai tanggungan seorang anak yang masih kecil dan membutuhkan perawatan serta kasih sayangnya. d. sikap lembaga penasehat perkawinan. Pihak KUA yang memberikan surat panggilan kepada Ismail melalui Suyatmi dinilai kurang tepat, karena jika diberikan melalui ketua RT atau aparat desa lainnya, atau diserahkan langsung oleh petugas KUA (nb: orangorang yang disegani), maka akan ada rasa sungkan jika tidak menanggapinya. Selain itu, KUA juga tidak memberikan respon ketika Ismail tidak muncul pada tanggal yang ditentukan. Seharusnya KUA mengadakan komunikasi dengan petugas kelurahan dan menginformasikan adanya masalah dalam keluarga/perkawinan Suyatmi dan suaminya, sehingga ada pengawasan yang lebih lanjut. e. respon pemerhati kdrt,agamawan dan pemuka masyarakat Ketika kasus ini diangkat di media massa, tidak satupun respon positif yang diberikan oleh pemerhati masalah kekerasan terhadap perempuan, agamawan dan pemuka
masyarakat. Sebetulnya, banyak cara yang dapat mereka lakukan, seperti membuka pintu hati warganya atau umatnya dengan menjadikan kasus ini sebagai contoh dan tidak akan membiarkan kekerasan domestic muncul ditenga-tengah lingkungannya. Dengan tidak adanya respon positif dari kalangan ini dikhawatirkan kekerasan domestic akan terus berlangsung dan akan merugikan masyarakatnya sendiri. f. Respon media Peliputan dan pemberitaan yang dilakukan media hanya ketika pertama kali kasus ini terjadi, tanpa mau membahas lebih lanjut. Disini terlihat media menganggap kasus ini hanyalah sebagai kasus biasa, bukan kasus public yang harus diangkat guna mendapat respon masyarakat luas. Seandainya kasus seperti ini diangkat secara rutin oleh media maka proses pemeriksaan dapat dipantau oleh masyarakat, selain itu juga akan tersosialisasi tentang dampak dari kekerasan domestic yang pada kenyataannya banyak terjadi di masyarakat kita. Juga diharapkan dapat membuka mata dan hati para pembuatan kebijakan bahwa kekerasan domestic bukan masalah pribadi melainkan masalah social yang harus ditanggulangi bersama. Sumber: http://www.freewebs.com/kdrt/analisapenanganankasus.htm
14