RISE T
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA Dewi Ulya Mailasari*)
ABSTRACT: The division of roles of men and women particularly within the scope of the household becomes a crucial problem, especially if it is viewed from a gender perspective. And the extent to which equality is to fulfill a sense of justice for each part--husband and wife--in American households will be studied further.Feminism has changed the lives of American society in many aspects to come an equality so that men and women are in the same position. They eliminate gender role stereotype that classifies the working area into two: public and domestic. Balance position bargaining colors the division of roles in American households. Keywords: gender role, household, equity, equality,
A. Pendahuluan Menarik mencermati seperti apa pembagian peran dijalankan dalam rumah tangga di Amerika Serikat. Sebagai sebuah negara besar Amerika menjalani serangkaian fase yang panjang dalam perjalanan warganya menggapai kesetaraan gender. Istilah gender sendiri baru dikenal di Amerika sekitar tahun 1970-an ketika Anne Oakley, seorang psikolog, berusaha mencari definisi yang tepat untuk membedakan laki-laki dan perempuan dalam konteks pembedaan peran sosial yang harus dijalankan. Sejak itu istilah ‘gender’ seringkali dipakai dalam forum-forum ilmiah di berbagai tempat di Amerika kemudian meluas di seluruh dunia. )
Penulis adalah dosen di STAIN Kudus
362
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Sama halnya dengan Indonesia—sebagai sebuah masyarakat—Amerika pun senantiasa berkembang dan berubah tak terkecuali dalam hal tatanan nilai yang dianut. Konsep persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sudah terdengung lama yaitu sejak tahun 1790-an. Ketika itu, istri presiden Amerika, Abraham Lincoln menyerukan pada suaminya agar peran perempuan tidak dinafikan dalam pembangunan negara. Amerika saat itu baru saja memproklamirkan diri sebagai sebuah negara yang mandiri terlepas dari Inggris. Menilik dari itu, maka sebenarnya ketimpangan dan ketidakadilan adalah sesuatu yang telah terasakan selama lebih dari dua dekade yang lalu.
B. Usaha Perempuan Amerika dalam Kesetaraan Usaha perempuan Amerika agar setara dengan laki-laki dimulai sejak lama. Secara formal terhitung sejak tahun 1848, dengan adanya konferensi di Senecal Falls. Berkumpulnya para perempuan itu dipicu oleh adanya ketidakadilan yang dirasa perempuan sebagai sesama warga negara (McMillen, 2008:3). Waktu itu stereotype yang muncul di masyarakat Amerika menurut William L. O’Neill dalam Feminism in America, wanita adalah malaikat dalam rumah tangga dan penjaga moral. Karena itu akses mereka menjadi terbatasi hanya di ranah domestik, sebagai penjaga anak-anak. Mereka tidak mempunyai akses publik (O’Neill, 1994: 7). Berkumpulnya kaum perempuan tersebut dalam memperoleh hak politik, dan itu disebabkan karena mereka ingin diakui sebagai layaknya manusia dan warga negara. Hak tersebut baru terperoleh pada tahun 1920. Setelah itu timbul perang dunia yang membuat banyak para laki-laki turun di medan perang. Hal ini menimbulkan kurangnya tenaga kerja di dalam negeri, maka pemerintah memutuskan untuk mulai membuka lapangan pekerjaan di sektor publik bagi para perempuan. Kaum perempuan pun berbondong-bondong memasuki ranah publik tersebut. Hal ini pada akhirnya nanti mengubah paradigma berpikir perempuan Amerika. Mereka mulai merasakan bagaimana nyamannya memperoleh uang dari hasil jerih payah mereka sendiri. Hal ini menimbulkan rasa kemandirian dalam diri perempuan Amerika. Setelah perang usai, dan para lakilaki kembali ke rumah, timbul masalah mengenai pengaturan tenaga kerja yang telah dipegang oleh perempuan. Pemerintah
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
pun melakukan kampanye agar para wanita kembali ke rumah kembali sebagai penjaga anak-anak. Namun, seiring dengan tingkat pendidikan yang diraih para perempuan yang semakin tinggi, maka perempuan mulai sadar untuk mengembangkan karier sesuai dengan tingkat pendidikannya. Dengan demikian, peran gender di Amerika mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada prinsipnya, perempuan ingin diakui hak-haknya sebagai manusia dan karena itu berhak melakukan hal sama seperti yang dilakukan laki-laki, seperti berpolitik, didengar pendapatnya, bekerja, menentukan nasib sendiri dan rasa independen tidak tergantung pada orang lain. Selama ini, banyak hal dilihat dan diinterpretasi dari sudut pandang laki-laki. Joan C. Chrisler dalam Lectures on The Psychology of Women mengatakan bahwa Amerika adalah suatu masyarakat yang laki-lakinya dipandang lebih tinggi dibanding perempuan. Sehingga penting bagi psikologi feminis untuk menelaah perempuan berikut segala pengalamannya. Perempuan telah lama dibungkam. Kontribusi mereka terhadap masyarakat belum pernah terekam dalam buku-buku sejarah, dan pengalaman merekapun tidak pernah didengar atau dianggap secara serius (Chrisler, 2004: xiv). Pembagian kerja masih menjadi isu penting di Amerika. Seperti dikatakan Ashcraft dalam The Sage Handbook of Gender and Communication: “Everywhere we turn, we see a clear distinction between ‘men’s work’ and ‘women’s work’ (Aschcraft, 2006:102). Perempuan sering dikaitkan dengan pekerjaan bersifat merawat seperti guru, perawat sedangkan laki-laki bekerja di bidang teknik. Ada suatu kecenderungan di dalam budaya di negaranegara Barat seperti Eropa dan Amerika untuk memberlakukan stereotype peran gender, mengkaitkan suatu aktifitas atau tingkah laku tertentu pada suatu jenis kelamin. Jennifer Maher Saul dalam Feminism; Issues & Arguments mengatakan bahwa di negara-negara seperti Inggris dan Amerika, saat ini anakanak telah diberi pengajaran bahwa urusan rumah tangga dan mengurus anak adalah pekerjaan perempuan (Saul, 2003: 20). Stereotype gender semacam itu akan berpengaruh pada masalah psikologis di antara laki-laki yang mengambil peran atau di pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan perempuan, dan juga sebaliknya.
363
364
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Pada era 1990-an perempuan Amerika telah banyak berkarir. Namun dalam kenyataannya, mereka masih menghadapi kendala berupa “glass ceiling” yaitu “… an unofficial, invisible barrier that prevents women and minorities from advancing in businesses. (http://en.wikipedia.org/wiki/Glass_ceiling). Hal ini menunjukkan bahwa di Amerika masih ada ketidakadilan gender. Dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarir belum serta merta merasakan keadilan gender. Mereka seringkali merasa bersalah karena meninggalkan anak-anak di rumah untuk bekerja. Akibatnya, memunculkan masalah yang diistilahkan dengan “double burden”. Dua hal tersebut mengindikasikan bahwa perempuan Amerika belum merasa merdeka menentukan pilihan. Hubungan dengan pasangan masih diwarnai rasa kebersalahan hanya karena ia melakukan sesuatu yang sesungguhnya sama dilakukan oleh pasangannya (suami) yaitu bekerja. Di sini, tampak ketidakseimbangan dalam hubungan pasangan suami istri. Suami masih memposisikan dirinya sebagai ‘breadwinner’, meski gaji sang istri mungkin lebih tinggi. Sebagai breadwinner ia merasa berkuasa menentukan apa-apa yang baik dan buruk buat istri dan anak-anaknya. Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam rumah tangga sudah semestinya terjalin rasa kerjasama, bukan berkompetisi mengenai siapa yang lebih berkuasa dan patut didengar. Amerika dikenal sebagai negara yang dinamis dan diwarnai dengan perjalanan panjang kaum perempuannya dalam memperjuangkan persamaan hak dengan laki-laki. Gerakan tersebut dikenal sebagai gerakan feminisme. Definisi feminisme menurut Bell Hook dalam Feminist Theory; From Margin to Center adalah perjuangan melawan penindasan berdasarkan karena perbedaan jenis kelamin. Maka sangatlah perlu dilakukan perjuangan untuk menghapus segala dominasi yang telah merasuk ke dalam budaya mereka (di Barat) di segala bidang. Sehingga akan muncul pemberdayaan diri untuk terlepas dari imperialism atau penjajahan dari pihak yang berkuasa, dari ekspansi ekonomi dan hal yang bersifat materi (Hook, 2000: 26). Maggie Humm dalam Feminism; A Reader, mengungkapkan bahwa feminisme gelombang pertama berpusat pada perdebatan
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
mengenai materialisme, keinginan untuk menyampaikan pikiran atau berpendapat dan menentukan hidupnya sendiri tanpa dibayang-bayangi oleh laki-laki. Dalam memperjuangkan persamaan hak sebagai warga negara tersebut, mereka bekerja bersama-sama dengan kaum buruh, kaum perempuan pekerja dan organisasi anti kolonial. Mereka berkeyakinan bahwa ketidaksejajaran tersebut dapat dihilangkan jika institusi seperti keluarga terlebih dahulu berhenti menghalangi kaum perempuan untuk berkiprah sesuai potensi yang dimilikinya. Jika feminisme gelombang pertama memperjuangkan hak pilih yang tercapai pada tahun 1920, maka dalam gerakan feminisme gelombang kedua, perjuangan difokuskan pada diakhirinya diskriminasi terutamanya dalam upah. Ketika Amerika terlibat dalam Perang Dunia II, perempuan berbondong-bondong bekerja di pabrik dikarenakan Amerika kekurangan tenaga kerja. Namun setelah kembali dari medan perang, para lakilaki tersebut kesulitan masuk kembali ke pekerjaan mereka. Kemudian pemerintah melakukan himbauan memalui media massa kepada perempuan untuk kembali ke wilayah domestik. Akan tetapi, ternyata tidak mudah bagi perempuan-perempuan tersebut yang sudah terlanjur mandiri secara fisik dan finansial untuk meninggalkan pekerjaannya. Maka kemudian timbul gerakan feminisme gelombang kedua yang menuntut agar perempuan diberi hak yang sama di segala bidang. Upaya ini berhasil dengan ditetapkannya persamaan upah bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini terjadi pada tahun sekitar 1970-an (Humm, 1992: 11-13). Pada awal tahun 1990-an, muncul gerakan kembali sebagai respon terhadap gerakan feminisme gelombang kedua, yang selanjutnya dikenal sebagai gerakan feminisme gelombang ketiga. Mereka mengkritik gerakan sebelumnya sebagai bias kelas dan hanya berfokus pada perempuan kulit putih. Maka isu mereka bergerak ke isu tentang ras, kelas sosial dan seksualitas. Mereka juga mempedulikan masalah ‘glass-ceiling’, pelecehan seksual, kebijakan cuti ibu bekerja yang tidak adil, memberi dukungan bagi ibu ‘single parent’ untuk penyediaan penitipan anak dan memberi penghargaan bagi ibu bekerja yang memutuskan meninggalkan karir untuk membesarkan anak secara penuh (www.wikipedia.org)
365
366
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
C. Relasi Gender di Amerika Sejarah perempuan ditandai dengan posisi perempuan yang senantiasa berubah dalam rumah tangga maupun di tengah masyarakatnya. Stereotipe yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan adalah mahluk yang inferior dibanding lakilaki turut mempengaruhi posisi perempuan dalam masyarakat. Perubahan masyarakat yang terjadi turut mempengaruhi peran yang dijalankan perempuan khususnya dalam wilayah domestik. Posisi perempuan dengan demikian berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain dan dalam satu era dengan era yang lain.
1. Pada Masa Awal Berdiri Negara Antara tahun 1760-an dan 1790-an, menjadi masa transisi dimana standar maskulinitas dan feminitas mulai berubah. Pengaruh laki-laki yang selama ini mendominasi standar nilai moral masyarakat mulai terkikis dengan mulai diperhatikannya pengaruh perempuan. Kewajiban sebagai warga negara yang semula berfokus pada sisi militer dan pemerintahan kini beralih dengan lebih memperhatikan institusi gereja dan keluarga. Suatu pandangan baru yang mengedepankan hubungan yang baik di dalam keluarga telah menaikkan posisi para istri dan ibu, yang mana kefemininan kini dipandang sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka menjaga nilai-nilai negara. Pengembangan peran istri dan ibu juga terjadi dalam lingkup kaum borjuis. Pada masa kolonial Inggris, perempuan yang mencari nafkah biasanya bekerja sebagai penjahit atau pemilik rumah sewa. Tetapi beberapa perempuan juga bekerja pada bidangbidang yang diperuntukkan bagi laki-laki. Ada dokter, pengacara, pengkhotbah, guru, penulis, dan penyanyi. Pada awal abad 19, pekerjaan yang bisa diterima oleh masyarakat bagi perempuan bekerja adalah terbatas pada buruh pabrik dan di rumah tangga. Perempuan tidak diperbolehkan bekerja pada sektor lain kecuali menulis dan mengajar. Mereka bekerja selama 12 jam per hari. Namun tidak sampai tahun 1910, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang membatasi jam kerja perempuan dan memperbaiki kondisi kerja mereka. Perempuan selama periode ini menurut Michael Goldberg dalam Breaking New Ground (1800-1848) sebagaimana dikutip
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
American Women History: 79 mengalami pasang surut antara idealisme dan realita menyangkut hal pendidikan, agama, pekerjaan, kewarganegaraan dan hubungan keluarga. Bagi kebanyakan perempuan ini, pola hubungan keluarga seperti dengan suami atau sebagai ibu dengan anak masih berubahubah. Begitu norma baru dibuat maka norma yang lama ada yang masih dipertimbangkan atau bahkan diperkuat kembali. Berbagai tingkat kekuasaan perempuan dan ketidakberdayaan mereka menjadi terungkap. Hal ini merefleksikan status mereka dalam masyarakat secara luas. Begitu era industrialisasi muncul, orang-orang bekerja di pabrik-pabrik dan kantor di kota-kota. Keluarga kelas menengah menggunakan sebagian besar penghasilan mereka untuk membeli barang-barang siap pakai dari sabun sampai sepatu yang dulunya pernah dibuat perempuan di rumah. Orang-orang kelas menengah tidak lagi membutuhkan keluarga besar untuk membantu mereka bekerja di sawah. Pada akhirnya, sebuah keluarga yang besar malah dipandang sebagai beban ekonomi. Ada satu masa ketika orang New England memandang keluarga sebagai suatu hierarki yang cukup ketat dimana ayah sebagai pengatur segalanya, ibu di bawah sang ayah dan secara teoritis, anak-anak berada di tingkat paling bawah. Setelah tahun 1800, standard tersebut berubah. Buku-buku dan majalah mulai memotret keluarga dimana laki-laki mengontrol sektor publik seperti politik dan bisnis dan perempuan mengambil tanggung jawab di sektor domestik atau rumah tangga. Pernikahan dipandang lebih sebagai hubungan partner; dengan istri sebagai partner yunior, tetapi model lama dimana laki-laki sebagai pengatur absolut sudah tidak lagi dipakai dalam keluarga kelas menengah di Amerika tenggara. Tetapi meskipun perempuan menguasai sektor domestik, hal ini tidak menjadikan mereka mempunyai hak-hak seperti hak pilih, hak kepemilikan atas sesuatu atas nama mereka sendiri setelah menikah, mengajukan perkara hukum, atau membuat wasiat. Perubahan pandangan dalam pernikahan ini memberikan pemahaman kepada kita mengapa perempuan muda enggan untuk menikah. Karena menikah dipandang sebagai kemitraan, masa berkenalan menjadi masa untuk membuktikan adanya kesesuaian di antara pasangan. Setelah menikah, pihak laki-laki sering melupakan janji
367
368
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
setia yang berapi-api dulu. Meskipun banyak pasangan menjadi lebih kuat, dan terjalin ikatan yang dalam, namun pembagian wilayah kerja domestik dan publik yang mana perempuan harus tinggal di rumah dan laki-laki pergi keluar membuat pasangan suami istri terpisah cukup lama selama beberapa jam. Buku-buku khutbah dan yang berisi nasihat menekankan bahwa istri harus membuat rumah sebagai tempat istirahat yang nyaman bagi suami mereka. Pemisahan wilayah kerja ini membuat perempuan mempunyai ikatan persahabatan di antara perempuan juga. Persahabatan di antara perempuan tumbuh seiring pemahaman bahwa kehidupan mereka berbeda dengan laki-laki. Tidak seperti hubungan istri dengan suaminya, hubungan dengan sesame perempuan didasarkan pada kesetaraan (hal. 80-81). Jika seorang perempuan berhasil menuntut perceraian, ia takjub akan harga atas kebebasannya. Tunjangan suami untuk bekas istri jarang diberikan, meskipun hakim memerintahkan penggantian sejumlah uang pada perempuan yang dizalimi oleh suaminya. Jika seorang perempuan membawa harta dalam pernikahannya, maka tidak mungkin untuk mengambilnya kembali. Begitu ia dan suami mengatakan ‘ya’ saat janji pernikahan, maka suaminya resmi menguasai semua harta yang ia miliki. Kesempatan perempuan untuk bekerja sangat kecil, terlebih jika ia mendekati usia paruh baya. Pernikahan yang dipandang baik bagi orang Amerika tenggara adalah jika sang istri mengabaikan segala ambisi pribadinya dengan tujuan melayani suami dan anak-anaknya. Tetapi bagi perempuan kesetiaan pada suami dijunjung tinggi, sehingga secara moral perempuan pada masa itu dipandang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini memberikan kemungkinan peran perempuan lebih besar di masyarakat dan pada bangsanya. Perempuan mulai memahami bahwa sebagai suatu kelompok yang berbeda dari laki-laki, mereka mempunyai sesuatu untuk ditawarkan kepada masyarakat. Mereka bisa menjadi penjaga, pendidik moral bagi calon generasi penerus mereka. Begitu Amerika berkembang, para perempuan pun demikian dalam visi mereka mengenai kedudukan mereka di rumah (hal.82). Selama masa kekacauan revolusi, Amerika kurang memberi perhatian kondisi keruhaniaan dibanding dengan masalah kebebasan warganya. Pemuka agama khawatir akan matinya rasa keagamaan dan mencela jamaahnya karena gagal
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Pada tahun 1790-an banyak orang merasakan pentingnya mengembalikan pemikiran dan energi mereka ke gereja. Dalam atmosfir inilah Kebangkitan Kedua (Second Awakening) dimulai, pertama di area frontier yang haus akan petunjuk agama dan kemudian di daerah yang lebih padat penduduk yaitu di Amerika sebelah Timur. Selama Kebangkitan Kedua, penghidupan kembali nilai-nilai agama membawa ribuan pemeluk agama baru masuk ke beberapa macam perkumpulan agama. Kelompok yang tergolong radikal pada waktu itu seperti Baptist dan Shakers tumbuh kuat secara dramatis dari akhir abad 18 sampai pertengahan abad 19 dan pendirian gereja diperluas (hal. 172). Bagi kaum perempuan, Kebangkitan Kedua sebagai sarana semakin meningkatkan pengaruh keagamaan mereka yang telah cukup signifikan selama ini. Perempuan telah lama menjadi mayoritas jemaah gereja. Selama kebangkitan ini, jumlah mereka semakin membengkak. Pertumbuhan ini semakin menguatkan kedominanan mereka atas kehidupan keagamaan di Amerika (hal. 174). Sejak akhir abad 17, lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang mencari penghiburan di gereja-gereja dengan alasan yang bermacam-macam. Pertama, mereka telah terbiasa untuk mengorbankan diri mereka sendiri demi kepentingan yang lain. Karena itu, perempuan merasa lebih nyaman dengan pengajaran Kristen yang mengedepankan pengorbanan diri. Kedua, dibanding dengan laki-laki, perempuan lebih riskan menghadapi resiko kematian dan luka permanen karena melahirkan. Dihadapkan pada resiko kematian yang lebih sering membuat mereka lebih memperhatikan kebutuhan ruhani mereka. (Bukan hal yang kebetulan, perempuan sering ikut dalam kegiatan gereja begitu mereka menikah.) Tingkat kematian bayi tetap tinggi selama abad 18, dan hamper setiap perempuan mempunyai pengalaman teman atau famili yang meninggal karena melahirkan atau luka yang diderita karenanya. Hal ini menjadi sebab kesetiaan perempuan pada perkumpulan keagamaan (hal. 174). Pemuka agama mungkin juga mendapatkan dukungan dari jemaat perempuannya dengan mengajarkan pada mereka bahwa hanya dengan prinsip-prinsip Kristen-lah perempuan
369
370
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dinaikkan ke posisi yang sejajar dengan laki-laki. Tema yang senantiasa ada dalam khutbah-khutbah selama Kebangkitan Kedua adalah peran gereja dalam memperbaiki kedudukan sosial perempuan. Hanya dengan pengajaran Kristen, laki-laki akan memperlakukan perempuan dengan baik seperti yang sepantasnya diterima oleh perempuan. Budaya dan agama lain tidak berhasil dalam menaikkan status perempuan, tetapi Kristen telah memuliakan perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki. Itulah yang membuat perempuan mendukung gereja dan pendeta (hal. 174). Meskipun perempuan tidak dimasukkan dalam posisi kepemimpinan di kebanyakan gereja, pemuka agama merasa perlu untuk memperhatikan kebutuhan dan pendapat mereka ketika menyusun khutbah, menyusun kebijakan gereja atau mengatur dana gereja. Karena perempuan mendominasi gereja dan pemberi terbanyak donasi gereja, semakin banyak pemuka agama merasa berhutang atas posisi, status dan gaji mereka. Sehingga penggambaran tentang perempuan menjadi lunak pada abad 18. Yang telah berlalu adalah prinsip lama dimana kaum Puritan menekankan pada peran Hawa yang menyebabkan Adam berada dalam dosa. Dalam posisinya, muncullah pandangan yang lebih lunak tentang perempuan sebagai sosok yang bijaksana, berhati lembut, dan cocok bagi tugas-tugas keagamaan. Perempuan yang baik, dalam pandangan pemuka agama, adalah pendukung utama agama di dalam keluarga dan masyarakat. Tanpa mereka, orang Kristen dalam bahaya seperti dikatakan oleh salah satu pendeta dalam pujiannya terhadap Ibunya: “ Siapa yang dapat menemukan seorang istri yang baik? Dia lebih berharga daripada batu berlian…ia letakkan satu tangannya pada keluarganya dan kedua tangannya memegang kumparan. Ia membuka tangannya untuk kaum miskin dan membuka tangannya untuk orang yang membutuhkan…ia membuka mulutnya hanya untuk mengatakan hal-hal yang bijak dan mengajarkan akan kebaikan. Ia kelihatan gesit dalam urusan rumah tangga dan tidak membiarkan kemalasan menghampirinya. Anak-anak memuliakannya dan suamipun memujinya.” Pendeta tersebut mengatakan hal ini dalam kaitan mengajarkan perempuan mengenai kewajiban sosial dan kewajiban domestiknya. Dalam setiap isi khutbah kemudian senantiasa memotret sifat perempuan sebagai sosok ibu yang bijaksana, pekerja keras
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
dan berkemauan kuat untuk membawa anak-anaknya kepada Jesus dan mencontohkan jiwa penolong. Penekanan para pemuka agama pada sosok perempuan melengkapi keyakinan bangsa bahwa ibu ada dalam posisi yang penting untuk mendukung kesejahteraan bangsa. Selama masa awal berdirinya Negara Amerika Serikat, seorang laki-laki memiliki istri dan anak-anaknya hamper seperti layaknya harta milik. Jika seorang laki-laki miskin memilih untuk mengirimkan anak-anaknya ke lembaga panti asuhan karena kemiskinannya, sang ibu tidak mempunyai kekuatan untuk melawannya. Beberapa masyarakat mengubah hukum yang telah ada dengan mengijinkan perempuan bertindak sebagai pengacara di pengadilan, menuntut hak kepemilikan dan memiliki harta atas nama mereka jika suami menyetujuinya. Pada awal abad 19, anak secara resmi dibawah kekuasaan ayahnya dan perempuan seringkali tidak berdaya menghadapi penculikan atau pemenjaraan oleh suami dan anggota keluarga laki-lakinya. Abad 19 didominasi pemikiran pembedaan gender secara alami, dan oleh konsepsi seksualitas yang bersifat normatif yang berpusat pada keluarga kelas menengah. Budaya kelas menengah yang masuk di Amerika sebagai hasil urbanisasi, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang kuat memunculkan dua wilayah berbeda yang saling melengkapi yaitu wilayah publik dan wilayah domestik. Wilayah publik yang menjadi bagian laki-laki yaitu wilayah bisnis dan uang, wilayah politik dan kekuasaan, dan industri. Wilayah domestik di sisi lain dianggap sebagai wilayah feminin, identik dengan tempat tinggal dan tungku dapur, simpati dan pemeliharaan, kesalihan dan pemeliharaan anak. Perempuan mempunyai batasan dalam wilayah publik. Akhir abad 19 ditandai dengan munculnya definisi baru New Woman atau perempuan baru. Perempuan Baru menjungkirkan sejumlah stereotip model Victorian yang kuno. Ia identik dengan kecerdasan, lawan dari emosional, sangat publik lawan dari domestik atau privat, aktif lawan dari pasif, dan dalam banyak kasus, tidak reproduktif, lawan dari bersifat keibuan. Ia menyebabkan kegemparan bukan hanya karena ia menolak peran tradisional perempuan tetapi juga karena ia kelihatan lebih sesuai dengan yang laki-laki.
371
372
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
2. Perkembangan Feminisme di Amerika Gerakan feminisme di Amerika dan luar negeri adalah gerakan sosial dan politik yang ingin membangun kesetaraan bagi perempuan. Gerakan itu mengubah kehidupan beberapa perempuan dan memberi efek yang luar biasa pada kehidupan masyarakat Amerika sepanjang abad 20. Sebagai sebuah kekuatan yang terorganisasi, feminisme bermula dari abolisi pada awal tahun 1830-an. Abolisionisme adalah gerakan anti budak yang radikal yang menuntut penghapusan perbudakan dengan segera. Setiap orang adalah pemilik dirinya sendiri. Itu adalah gerakan yang terorganisasi dan yang radikal untuk pertama kali dimana didalamnya perempuan mengambil peranan yang penting dan cikal bakal berseminya gerakan perempuan. Sebelum Perang Sipil, feminis memperjuangkan hakhak kaum kulit hitam, mengidentififkasikan diri mereka sama dengan nasib kaum kulit hitam. Sikap mereka terhadap lakilaki secara umum baik. Pada konvensi perempuan tahun 1858, feminisme politik telah menunjuk ke suatu titik tujuan bahwa hak pilih adalah tujuan yang hampir tak terbantahkan dalam gerakan ini. Secara umum, feminis mendukung perang sebagai sarana mengakhiri perbudakan; mereka mengesampingkan isu-isu hak perempuan. Setelah perang berakhir, isu kunci feminisme arus utama adalah amandemen ke 13, 14 dan 15 dari konstitusi, semuanya bertujuan tercapainya kebebasan kaum kulit hitam. Tetapi, kemudian abolisionis laki-laki hampir semuanya menolak tuntutan kaum perempuan akan hak pilih, mengatakan bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk menekankan hak kaum perempuan. Seperti dikatakan oleh Abraham Lincoln, satu perang satu waktu, satu pertanyaan pada satu waktu. Masa sekarang adalah masanya orang kulit hitam (Anthony,et al., History of Woman Suffrage: 59.) Gerakan feminis berubah. Penolakan abolisionis laki-laki untuk mendukung usaha perempuan menimbulkan kecurigaan diantara tokoh-tokoh feminis. Sikap dalam bidang politik juga telah berubah. Sebelum Perang Sipil, para feminis cenderung kepada strategi yang bukan politik. Feminisme baru kemudian memusatkan perhatian pada hak pilih. Sementara feminis berkonsentrasi pada hak pilih, feminis
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
yang lebih radikal melihat hal lain demi kemajuan. Feminis individualis berfokus pada perbaikan pengaturan kelahiran dan undang-undang perkawinan. Tujuan mereka kebebasan. Para feminis percaya bahwa perempuan seharusnya mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Tetapi arti kesetaraan berbeda-beda di dalam tubuh gerakan feminisme itu sendiri. Melalui sejarah diketahui bahwa feminisme di Amerika menganggap kesetaraan sebagai perlakuan yang sama di bawah hukum dan keterwakilan mereka dalam institusi. Fokusnya bukan pada merubah kondisi yang ada, tetapi lebih terlibat pada kondisi yang sudah ada tersebut. Feminis yang lebih radikal memprotes undang-undang dan institusi yang ada sebagai sumber ketidakadilan dan karena itu tidak bisa dirubah. Para feminis ini melihat ada sesuatu yang salah secara mendasar mengenai masyarakat, disamping adanya diskriminasi terhadap perempuan. Bagi individualis, kesetaraan adalah suatu definisi politis yang mengacu pada perlindungan akan hak-hak pribadi yaitu perlindungan hukum moral yang setiap orang punya atas badan mereka sendiri. Bagi feminis sosialis, maka definisinya dalam term sosio-ekonomis. Perempuan dapat setara hanya setelah hak milik pribadi dan hubungan keluarga dibatasi. Maka dalam rangka menghargai tradisi dalam feminisme, kita hendaknya memperhatikan konteks dalam setiap gerakan yang timbul. Di samping industrialisasi, tiga perkembangan penting dilihat sebagai pengubah struktur kehidupan orang Amerika pada akhir abad 19; imigrasi besar-besaran, urbanisasi, dan perkembangan kemajuan gerakan perempuan. Wanita Baru mengubah dasar organisasi keluarga dan perilaku seksual. Perempuan tumbuh lebih mandiri di lingkungan kota dan pada tahun 1898 seorang tokoh feminis Charlotte Perkins Gilman menerbitkan buku Women and Economics, dia meminta perempuan untuk membuang status ketergantungan mereka dan berkontribusi pada kehidupan kemasyarakatan secara lebih luas melalui keterlibatan yang produktif dalam bidang ekonomi. Menolak semua klaim yang mengatakan bahwa faktor biologi telah memberikan keberbedaan karakter yang mendasar di antara perempuan dengan laki-laki. Dia berpendapat bahwa tugas ibu yang sangat khusus tidaklah semenguntungkan dengan yang dikira selama ini. Ia mendukung diaadakannya tempat pengasuhan anak dan dapur umum untuk mendukung
373
374
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
keikutsertaan perempuan dalam dunia kerja. Gerakan feminis telah tampak pada beberapa fase dalam sejarah Amerika. Selama Perang Sipil perempuan menelorkan gender yang didasarkan pada diskriminasi. Selama Era Progresif, mereka mencari dan akhirnya memperoleh hak pilih. Gerakan itu mencapai titik yang paling aktif pada tahun 1960an ketika gerakan anti-diskkriminasi berada di barisan depan. Dengan meratifikasi ERA, pemerintah harus menyadari bahwa perempuan tidak hanya secara biologis sama dengan laki-laki tetapi juga mereka berhak mendapat perlakuan yang sama di dalam rumah, tempat kerja, dan masyarakat. Sayangnya, tiga perempat dari seluruh negara bagian tidak meratifikasinya. Dengan menafikan kegagalan ERA, feminis sebenarnya telah membawa perubahan yang substansial dalam kehidupan Amerika. Memberikan pilihan yang positif pada perempuan untuk pemenuhan diri pribadi di luar rumah dan hal tersebut pun pada akhirnya akan membawa kemanfaatan bagi Amerika. Tahun-tahun setelah Perang Dunia II terlihat ada dorongan dari masyarakat agar perempuan kembali ke posisi awal sebelum perang yaitu sebagai ibu rumah tangga. Beberapa perempuan tidak menemukan kepuasan hidup dalam membesarkan anak dan cenderung memenuhi kebutuhan suami. Sentiment ini dan kondisi sosial lain yang menyertai membawa pada kebangkitan kembali gerakan feminis. Setelah Perang Dunia II, feminis terus berjuang untuk mengimplementasikan kesetaraan hak di semua bidang yang terus bergulir hingga sekarang dalam usaha memecahkan penghalang kaca (glass-ceiling) yang membuat perempuan berbeda dan terhalangi dari koleganya laki-laki pada pencapaian karir yang lebih tinggi. Seperti pengalaman yang sudah lalu, para feminis selalu tidak berada dalam kesamaan pendapat mengenai cara terbaik untuk memperoleh tujuan-tujuan tersebut. Warren Hedges di Southern Oregon University mengemukakan tentang “Taxonomy of Feminist Intellectual Traditions,” dengan mengkategorikan feminisme sebagai berikut: 1) liberal feminism, yaitu feminisme yang mencari kesamaan hak perempuan melalui jalur politik dan sipil; 2) cultural feminism, yang berusaha menemukan kembali suara-suara perempuan pada masa lalu dan kemudian memperluas pembelajaran karya-karya canon di sekolah-sekolah; 3) separatism, yaitu untuk membangun ruang
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
gerak dan dimana perempuan dapat menentukan nasib berdasar pada nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka pegang; and 4) “queer theory,” yang berusaha menggali marjinalisasi, radikalisme dan nilai identitas seksual yang terpinggirkan seperti contohnya homoseksualitas. Selama periode tahun 1980-an, masyarakat Amerika diwarnai oleh iklim politik konservatif yang terus meningkat dan gerakan feminis menerima reaksi yang kurang baik dari pihak mereka sendiri dan dari golongan anti feminis. Feminisme telah selalu dikritik karena mengutamakan kulit putih, kelas atas dan disorot karena kegagalannya untuk memahami dan memperhatikan perempuan golongan orang miskin, AfrikaAmerika dan hispanik. Pada tahun 1990-an, muncullah feminisme gelombang ketiga yang masih memperhatikan masalah-masalah yang sama seperti pendahulunya tetapi sekarang lebih terlibat pada bidang politik daripada mengkritisi saja dari luar. Kebanyakan dari generasi muda feminis ini menekankan pada kebutuhan memperluas wilayah feminisme, menekankan pada jaringan global, hak-hak asasi manusia, keadilan ekonomi meliputi seluruh dunia dan isu-isu berkaitan dengan ras, gender dan kelas. Bagi perempuan Afrika-Amerika, mereka tidak mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai bagian feminis, bagaimanapun, keyakinan dan aktivitas mereka selama ini sudah menyalakan semangat anti rasisme dan gerakan politik anti pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Mereka menyebut diri mereka sebagai “Black American Feminism”. Hingga kini pun, mereka masih berusaha mendapatkan kebebasan. Mereka telah mengalami penekanan di rumah, di tempat kerja, di komunitas mereka dan terlebih lagi dalam suatu budaya yang mendominasi.
3. Konstruksi Gender pada tahun 1900-an sampai 1990an Pada akhir abad 19, cita-cita domestik yang diinginkan oleh masa Victorian telah pudar. Era Jazz tahun 1920-an muncul, yaitu suatu era ketika perempuan mulai melawan konvensi mengenai kepantasan sikap bagi perempuan, suatu perlawanan yang ditunjukkan baik dalam gaya berpakaian yang berubah
375
376
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dan gaya hidup yang berubah seperti merokok, minum, dan mencoba hal-hal yang berbau seksualitas. Peran domestik dan peran sosial perempuan beberapa kali mengalami pasang surut antara tahun 1920 sampai 1950. Keberlebihan dan kekurangan yang ditunjukkan dalam setiap periode menyebabkan naik turunnya peran-peran ini. Kejadiankejadian penting yang membawa pengaruh antara lain Perang Dunia I (tahun 1920-an), Masa Depresi dan New Deal, Perang Dunia II dan Setelah Perang Dunia II (tahun 1950-an). Kaum perempuan secara keseluruhan terpengaruh tetapi seberapa jauh dan dengan cara bagaimana mereka terpengaruh sungguh berbeda-beda. Perempuan kulit putih yang telah menikah sangat dipengaruhi oleh ikon-ikon sosial sebagai ibu rumah tangga yang modern pada tahun 1920-an. Mereka juga cakap dalam hal pendidikan, karir dan kehidupan rumah. Dilihat dari sisi keidealan, mereka telah mempunyai segalanya. Depresi telah merusak impian-impian mereka dan mendorong keluar perempuan dari kancah dunia kerja sehingga kesempatan dikembalikan kembali kepada laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Depresi finansial ini membawa implikasi sosial juga. Dengan timbulnya Perang Dunia II, maka ketenagakerjaan disodorkan kembali kepada istri-istri dan ibu-ibu ini. Kepentingan Negara terpaksa melukai kehidupan keluarga karena perempuan mengikuti apa yang dulu telah ditetapkan sebagai pekerjaan laki-laki. Setelah Perang Dunia II, dengan tujuan untuk mengamankan kembali pekerjaan-pekerjaan laki-laki, sosialisasi dilakukan dengan sasaran perempuan yang telah menikah untuk mengembalikan mereka kembali ke wilayah domestik. Perempuan kulit putih yang lajang berhasil baik pada tahun 1920-an tetapi gagal pada masa Depresi. Selama Kebangkitan Kedua posisi-posisi professional yang sekali waktu pernah dipegang oleh perempuan kulit putih lajang yang berpendidikan, kemudian menjadi diperuntukkan untuk laki-laki. Kesempatan bagi para perempuan ini hilang. Selama Perang Dunia II ketenagakerjaan seperti halnya kesempatan politik terbuka lebar bagi perempuan kulit putih yang masih lajang. Mereka juga diperbolehkan bekerja di bidang militer. Tetapi kurangnya laki-laki dan kuatnya propaganda yang muncul setelah Perang pada tahun 1950-an membuat perempuan kulit putih lajang
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
ini menjadi rentan terhadap teknik sosialisasi yang membawa mereka kembali ke rumah. Hal ini menarik bagi perempuan muda tetapi tidak bagi perempuan yang berpendidikan dan professional. Ini adalah sebuah langkah mundur bagi aspirasi mereka. Perempuan Amerika-Afrika menjalani kisah hidup mereka sendiri dan meskipun banyak perubahan telah terjadi akibat dari serangkaian kejadian, tetaplah ada masalah yang sama yang belum terselesaikan, diantaranya adalah diskriminasi dalam lapangan kerja. Mereka adalah pihak yang paling akhir diberi kesempatan dalam hal ketenagakerjaan ketika itu dibuka dan yang pertama disuruh menyingkir ketika kesempatan ditutup. Apalagi mereka tidak diberikan dukungan dan sarana untuk kembali menjadi ibu rumah tangga. Pada kenyataannya, perempuan Amerika-Afrika disamping perjuangannya, tetaplah menjadi kontributor finansial rumah tangga mereka. Mereka pada akhirnya naik menjadi kepala rumahtangga sebagai kesempatan yang paling mungkin bagi mereka daripada pasangan mereka. Peran yang diharapkan perempuan secara drastis berubah sejak tahun 1950-an. Perang Dunia II menghilangkan banyak lakilaki dari rumah-rumah dan pekerjaan mereka, meninggalkan banyak pekerjaan terbuka yang hanya perempuanlah yang dapat mengisinya. Perempuan mengambil pekerjaan-pekerjaan yang secara tradisional hanya laki-laki yang memegangnya. Akhir perang membawa kepada kembalinya para prajurit dan kembali ke pekerjaan masing-masing sebelum perang dan membuat perempuan kembali ke posisinya sebagai ibu rumah tangga. Tahun 1950-an dan 1960-an, peran gender perempuan melukiskan mereka sebagai ibu-ibu rumah tangga yang bahagia yang ingin kelihatan senantiasa cantik, dapat menata rumah, mengasuh anak dan melayani suami. Tidak ada kebutuhan atau keinginan dari perempuan pada masa ini untuk dipekerjakan karena kepuasan diri sebagai pekerja sama saja dengan kepuasan menjalani peran sebagai istri (Barnet: 1182). Mendekati tahun 1970-an, perempuan mulai tidak mengindahkan peran gender yang telah diterima secara luas yang dahulunya dipegang. Kini ia berusaha mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan mendapatkan tempat dalam dunia kerja. Hal ini adalah awal dari apa yang disebut “one of the most significant social and economic trends in modern U.S. history”.
377
378
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Melalui sejarah, laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah keluarga atau “men were [typically] the family breadwinners (www.pbs.org). perempuan jarang dididik di tingkat perguruan tinggi karena peran mereka adalah sebagai ibu rumah tangga. Tetapi hal ini berubah pada tahun 1970-an ketika gerakan feminisme dimulai. Sekarang ini, perempuan telah mengambil kontrol penuh atas pemilihan peran yang ingin dimainkannya dan sebagai hasilnya lebih banyak perempuan yang bekerja sekarang ini dibandingkan dengan sebelumsebelumnya (www.ilo.org). Naiknya jumlah perempuan dalam lapangan kerja dikarenakan kesempatan yang lebih besar yang diberikan pada perempuan dalam pasar kerja, pencapaian tingkat pendidikan yang terus menaik, ukuran keluarga yang mengecil, kemandegan atau bahkan turunnya upah bagi laki-laki, naiknya biaya untuk mempertahankan gaya hidup kelas menengah, semakin panjangnya rentang hidup seseorang dan pembebasan dalam hal tingkah laku berkaitan dengan peran yang cocok bagi laki-laki maupun perempuan dalam keluarga. Biaya hidup yang naik pada tahun-tahun terakhir ini merupakan faktor utama kebutuhan perempuan untuk bekerja daripada hanya sekedar keinginan belaka. Perubahan yang paling kentara diantara laki-laki dan perempuan adalah perubahan dalam pandangan peran gender yang stereotip. Lakilaki tidak lagi mengharapkan istrinya yang mencucikan bajunya dan perempuan pun tidak lagi mengharapkan laki-laki menjadi satu-satunya pemberi nafkah dalam keluarga. Peran gender menjadi kurang stereotip, membiarkan perempuan merasakan kemandirian dan berkontribusi pada keberlangsungan keluarga dalam peran yang dianggap cocok, tidak mengacu pada masa lalu di tahun 1950-an. Fenomena buku Betty Freidan yang berjudul The Feminine Mystique (1963) memberikan perempuan kesempatan untuk memeriksa kembali kehidupan mereka sendiri. Buku ini memberikan kepada perempuan yang selama ini dibesarkan dengan kepercayaan bahwa peran alam mereka adalah sebagai ibu rumah tangga, suatu wawasan akan hal kemungkinan lain demi pemenuhan kepuasan diri secara pribadi. Feminis berpendapat bahwa tak ada seorang perempuan pun yang dapat menemukan kepuasan pribadi sejati dalam peran sebagai ibu rumah tangga. Meskipun banyak perempuan yang tidak puas dengan gaya hidup seperti ini, tetapi juga tetap ada beberapa
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
yang senang sebagai istri dan ibu. Sejak revolusi seks pertengahan tahun 1960-an, segala skenario hubungan antara laki-laki dan perempuan telah berubah kearah nilai-nilai liberal. William Chafe dalam tulisannya The Road to Equality (1962-today) yang tertuang dalam buku American Women History menulis bahwa begitu Amerika menyambut tahun 2000, beberapa isu bermunculan tentang perempuan. Meskipun mengalami kemajuan, perempuan tetaplah korban utama ketidaksetaraan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Meskipun 40 % perempuan kulit hitam berpartisipasi di dalam kelas menengah dan sebagai pengacara, dokter dan eksekutif, 40 % yang lain terperangkap dalam kumparan kemiskinan, pengangguran dan masalah sosial. Pada pertengahan 1990-an pembuat kebijakan dan orangorang Amerika secara umum kelihatannya telah menemukan kompromi dalam hukum dan konstitusi mengenai status perempuan. Di balik keengganan badan pembuat undangundang Negara untuk mengesahkan ERA—Amandemen hakhak kesetaraan (1982) tersimpan ketakutan pihak konservatif bahwa perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki akan dihilangkan. Akhirnya ERA gagal karena orang-orang semacam Judy Morgan dan Dianne Chavis tidak berharap pembuat undang-undang mereka betul-betul meninggalkan nilai-nilai tradisional (hal.83-84). Perempuan berusaha memperoleh jabatan-jabatan politik pada tahun 1990-an. Pemerolehan jabatan itu lebih banyak pada tingkat lokal dibanding nasional. Masih terus adanya sekat gender dalam pemilihan suara—perempuan lebih memperhatikan isu sosial seperti pendidikan, pengawasan senjata, kesehatan, dan keamanan masyarakat—membuat para politisi mengabaikan kehadiran perempuan. Pilihan reproduktif terus menjadi isu yang penting dalam politik khususnya oleh kaum Kristen fundamentalis yang menolak aborsi sebagai perampasan hak hidup. Mahkamah Agung Amerika telah memperbolehkan beberapa Negara bagian mengatur kondisi darurat yang memungkinkan perempuan memilih aborsi, dan itu diputuskan pada tahun 1992. Hal ini untuk menjaga kemajemukan masyarakat Amerika. Namun, banyaknya gerakan anti aborsi, dimana diantaranya ada yang
379
380
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
menggunakan cara-cara kekerasan telah berhasil mengurangi secara drastis jumlah penyedia jasa aborsi. Baik dalam ERA maupun aborsi tampak adanya kecenderungan membalik keadaan dengan cara yang ekstrim baik itu dari yang pro maupun yang anti feminisme. Pertanyaan lebih besar adalah apakah program-program feminisme seiring sejalan dengan program dari kelompok masyarakat lain yang peduli untuk memperjuangkan masyarakat yang lebih adil. Pada tahun 1990-an kebijakan Amerika mengesahkan cuti bekerja selama 12 minggu bagi ibu melahirkan tetapi menyerahkan urusan gaji pada yang mempekerjakan. Para ibu mungkin pihak yang paling besar mendapat keuntungan, tetapi hal ini sebenarnya untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Tidak ada isu yang lebih besar di Amerika selain isu tentang gender, ras dan kelas. Melalui pengorbanan dari beberapa aktivitas yang tak terhitung jumlahnya, masyarakat Amerika diminta untuk terus mendengungkan masalah ras dan gender yang terus ada di bidang hukum maupun di dalam kehidupan masyarakat pada pertengahan kedua abad 20, untuk juga mengurangi ketimpangan yang dialami oleh mereka hanya karena lahir tidak sebagai laki-laki atau kulit putih. Amerika yang baru dan yang lebih bebas masih menjadi angan-angan, dengan jutaan orang tidak dapat mengambil manfaat dari perubahan yang dihasilkan dari penyokong hak asasi manusia dan feminis. Jika saja Amerika dapat bergerak sebesar mungkin tenaga yang dibutuhkan, maka tujuan memperluas hak asasi manusia dan kehidupan yang layak bagi masyarakat kelas bawah dan juga perjuangan panjang penyetaraan antara laki-laki dan perempuan akan dapat terwujud (hal. 85-86). Kondisi Amerika sekarang telah menerima perempuan sebagai partner yang setara, tetapi perempuan ingin lebih setara. Selama tahun 1990-an, pilihan peran tradisional perempuan terus terkikis dan sekat gender mulai menyempit. Tahun 1990an juga memunculkan fenomena laki-laki kulit putih yang marah (angry white man), laki-laki Amerika merasa terdesak, ditekan untuk menjadi maskulin dalam budaya yang tidak lagi menghargai laki-laki dalam peran tradisionalnya. Stiffed Faludi dalam The Betrayal of the American Man (1999) seperti dikutip dalam www.encyclopedia.com, menulis bahwa kebanyakan laki-laki tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
dalam kehidupan masyarakat dengan secara lebih berarti. Di tengah krisis, beberapa melihat bahwa masa sekarang adalah kesempatan baru bagi laki-laki untuk lepas dari stereotip lama dan memunculkan paradigma baru kemaskulinan ; tugas mereka bukan untuk menetapkan bagaimana manjadi maskulin tetapi kemaskulinan tersebut terletak pada bagaimana menjadi manusia seutuhnya. “Their task is not, in the end, to figure out how to be masculine; rather their masculinity lies in figuring out how to be human”.
D. Perempuan dan Keluarga Beberapa artikel mengungkapkan peran perempuan dalam rumah tangga dan dalam hubungannya dengan pasangan mereka. Seperti Letitia Anne Peplau dan Susan Miller Campbell dalam artikelnya “The Balance of Power in Dating and Marriage” mengatakan bahwa istilah kekuasaan (power) dalam suatu hubungan laki-laki dan perempuan sulit untuk didefinisikan. Banyak kesimpulan yang bisa didapat dalam penelitian barubaru ini. Mayoritas pasangan menggambarkan hubungan mereka sebagai egaliter, sebagian yang lain mengungkapnya adanya dominasi laki-laki dan yang paling sedikit menyatakan didominasi perempuan. Pasangan yang egaliter tidaklah serta merta berbagi semua keputusan penting yang perlu diambil. Masing-masing berpengaruh pada bidang-bidang yang berbeda. Suami mengambil keputusan yang berkaitan dengan keuangan, sedangkan istri mengambil keputusan yang berkaitan dengan masalah rumah tangga. Sedangkan dalam hal rekreasi anggota keluarga, mereka memutuskan bersamasama. Semua masih mengacu pada peran tradisional, sehingga mereka mengkombinasikan kesetaraan kekuasaan dengan peran tradisional. Penelitian menunjukkan tampaknya pasangan yang sejajar dalam kekuasaan adalah pasangan yang memang menganut kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan, yang masingmasing mempunyai sumber penghasilan sendiri yang sama, dan sama-sama saling bergantung atau terikat dengan hubungan yang mereka jalin. Tidak ada satupun faktor yang bisa menjadi acuan bahwa suatu hubungan dikatakan mempunyai kekuasaan yang setara. Ada kalanya pasangan yang menganut kesetaraan, ternyata tidak memperoleh hubungan yang setara. Sedangkan
381
382
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
yang menganut paham peran tradisional justru menganggap hubungan mereka telah sejajar dalam hal kekuasaan atau pengaruh. Penelitian empiris telah menolak adanya mitos bahwa orang kulit hitam bersifat matriarkal dan orang keturunan Amerika latin sebagai patriarkal dalam hubungan antara lakilaki dan perempuannya. Pernyataan yang skeptis muncul setelah melihat beberapa hasil penelitian yaitu bahwa pernikahan yang benar-benar egaliter sebenarnya hanyalah mitos. Secara awam orang berpikir bahwa suatu hubungan mempunyai kekuasaan yang setara jika secara kasat mata kelihatan sebagai hubungan yang adil, jika mereka tidak merasa tereksploitasi satu sama lain, jika mereka masing-masing dapat melakukan hal-hal yang mereka ingin lakukan dan terlebih lagi jika mereka merasa dapat mempercayai pasangan mereka dan percaya bahwa mereka memang mempunyai hubungan yang baik. Sesungguhnya kepercayaan dan komitmen-lah yang bisa mengurangi ketimpangan kekuasaan di antara pasangan. Pada akhirnya kesetaraan sejati dalam sebuah pernikahan tidak dapat diperoleh sampai perempuan sebagai kelompok masyarakat mempunya status yang sejajar pula di masyarakat. Jika hanya laki-laki yang diberi kesempatan lebih besar mengembangkan kemampuan mereka, maka sulit perempuan memperoleh kesetaraan kekuasaan (Peplau dalam Freeman, 1989: 121-136). Janice M. Steil dalam “Marital Relationships and Mental Health: The Psychic Costs of Inequality” mengatakan bahwa prinsip keadilan (equity) dan persamaan (equality) semestinya dibedakan, karena keadilan diasosiasikan dengan tercapainya tujuan produktifitas ekonomi dan orang hanya dilihat dari segi kemanfaatan ekonomi. Sedangkan prinsip persamaan (equality) memandang semua keadaan dan sarana harus sama-sama dibagi secara sama. Persamaan (equality) diasosiasikan dengan tujuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang nyaman. Hubungan pernikahan sekarang ini lebih condong kepada equity atau asas keadilan. Hal ini berakar dari pandangan masyarakat yang memandang segala sesuatu yang bernilai itu hanya dari sudut ekonomi. Namun mengapa seorang perempuan yang merelakan dirinya untuk fokus pada rumah tangga menjadi sosok yang kurang berpengaruh dalam kehidupan, padahal dia sudah melakukan hal yang berharga dan bernilai ekonomis
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
yaitu mengurus keluarga. Hal ini disebabkan oleh adanya nilai dan pembedaan peran gender yang memberikan peran dan tanggung jawab tertentu berdasar pada jenis kelamin. Dahulu kala perempuan dipandang sebagai property atau hak milik dan sekarang mengarah pada hubungan yang sejajar. Hubungan yang sejajar tidak dapat tercapai manakala sistem masyarakat masih membedakan peran dan tanggungjawab atas dasar jenis kelamin. Suatu perubahan tidak akan diperoleh sampai peran gender stereotip diterima sebagai sesuatu yang tidak adil. Keyakinan yang ada dalam masyarakat tersebut mempengaruhi pandangan perempuan tentang hal-hal yang mungkin mereka capai, tentang tanggungjawab mereka, tentang keinginankeinginan mereka dan tentang hak-hak mereka. Karena itu perempuan harus disadarkan atau kalau tidak, dia sendiri yang akan menjadi penyokong dominasi laki-laki karena menganggap perannya hanya sebagai nurturer baik untuk suami maupun untuk anak-anaknya, sementara suami sebagai pencari nafkah. Jika masyarakat tidak memberi dukungan kepada khususnya ibu-ibu bekerja, maka ditakutkan akan muncul keluargakeluarga yang kecil dan perempuan yang tidak menginginkan anak (Steil dalam Freeman, 1989: 138-146). Janet Saltzman Chafetz dalam artikelnya “Marital Intimacy and Conflict: The Irony of Spousal Equality” mengatakan bahwa kebebasan dan kesetaraan adalah hal yang baik namun kestabilan dan keharmonisan tampaknya bukanlah bagian dari itu. Karena dalam hubungan yang setara, justru akan lebih sering muncul konflik dan lebih sulit pula untuk diselesaikan. Dan perceraian lebih mungkin menjadi alternatif (Chafetz dalam Freeman, 1989: 149-155). Michele Hoffnung dalam artikelnya “Motherhood: Contemporary Conflict for Women” mengatakan bahwa merubah nilai-nilai sosial itu perlu, tapi hampir tidak dapat menjadi jawaban bagi perempuan yang sekarang ini sedang merenungkan peran sebagai ibu. Diakui bahwa seorang ibu bekerja akan lebih puas terhadap dirinya sendiri dan harga diri mereka meningkat dibanding ibu yang tidak bekerja. Faktor dukungan keluarga cukup berperan. Suami dan anak yang tidak mendukung akan mengurangi tingkat kepuasan ibu bekerja terhadap hidup mereka dan dalam pekerjaan mereka. Baik ibu yang bekerja maupun tidak sama-sama memandang peran ibu sebagai peran yang penting. Namun ibu yang bekerja merasa hubungan kedekatan dengan
383
384
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
anak tidaklah harus berdasar fisik semata. Sedangkan ibu di rumah menganggap kedekatan dengan anak secara fisik adalah keharusan. Sekali lagi, jika dukungan keluarga diperoleh, maka ibu bekerja tetap akan puas dan bahagia meski jauh dari anaknya karena bekerja. Dari sebuah kuesioner oleh Janet Gray yang dibagikan kepada professor, pengacara, dan doktor perempuan yang menikah, disimpulkan bahwa demi keprofesionalan dalam bekerja, dan nantinya ini berimbas pada tingkat kepuasan dalam hidup mereka, maka ada 5 strategi yang digunakan oleh mereka dalam pernikahan, yaitu: 1) meminta anggota keluarga berbagi pekerjaan rumah, 2) Mengurangi standar dalam hal tertentu seperti standar kerapian atau kebersihan rumah, 3) Menjadwal dan mengatur kegiatan secara teliti, 4) Meminta anggota keluarga membantu mengatasi konflik peran yang timbul, 5) Menghargai dan menganggap penting minat dari setiap anggota keluarga. Selain 5 hal diatas, maka ada 5 hal negative yang harus dihindari menurut mereka, yaitu: 1) Menghilangkan peran, 2) Membiarkan adanya pembedaan peran seolah-olah peran tersebut tidak bisa dipertukarkan, 3) Berusaha memenuhi semua harapan anggota keluarga, 4) Peran yang tumpang tindih, dan 5) Tidak mempunyai strategi nyata ketika terjadi konflik peran. Menolak peran-peran dan hubungan-hubungan yang bersifat stereotip dan meletakkan karir dan keluarga –baik bagi suami maupun istri—pada pijakan yang lebih sejajar dapat membuat karir dan keluarga tersebut sama-sama berhasil. Perubahan nilai sosial ini meskipun tidak menghilangkan namun bisa mengurangi konflik yang dihadapi perempuan modern (Hoffnung dalam Freeman, 1989: 157-172).
E. Simpulan Pembagian peran di Amerika bersifat dinamis mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Serangkaian peristiwa dan kejadian tampaknya mendewasakan pola pikir masyarakat Amerika hingga pada akhirnya sampai pada kesetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan seperti sekarang. Seiring dengan munculnya kebutuhan akan eksistensi diri, maka perempuan Amerika meningkatkan kemampuan dan keahlian di bidangnya dalam rangka memperoleh kesetaraan dengan pasangannya dan dalam rangka menghindarkan diri dari rasa tereksploitasi oleh pasangan. Perempuan dan laki-laki Amerika
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
sama-sama meninggalkan stereotip yang selama ini berlaku dan memulai fase hidup baru dengan bernegoisasi dengan pasangan dalam segala hal. Sehingga yang dikedepankan adalah prinsip persamaan atau equality bukan keadilan atau equity. Karena dalam equality mengandung pengertian adanya semangat kerjasama dalam memperoleh satu tujuan, bukan kesamaan dalam segala bidang yang pada akhirnya hanya akan berkutat pada saling menuntut.
385
386
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
SUMBER RUJUKAN Anthony,et al., History of Woman Suffrage. California: Sage Publishing Company, 2006. Ashcraft, Karen Lee. “Back to Work: Sights/Sites of Difference in Gender and Organizational Communication Studies.” Ed. Bonnie Dow and Julia Wood. California: Sage Publishing Company, 2006. Barnet, Rosalind. “Work-Family Balance”. Encyclopedia of Women and Gender. Academic Press. 2001. Chadwik, Bruce A. Statistical Handbook on the American Family. Phoenix, Arizona: Greenwood Publishing Group, 1999. Chafetz, Janet Saltzman in Jo Freeman’s The Women, “The Irony of Spousal Equality”, California: Mayfield Publishing Company, 1989. Chrisler, Joan C. Lectures on the Psychology of Women. New York: McGraw-Hill, 2004. Hoffnung, Michele in Jo Freeman’s The Women, “Motherhood: Contemporary Conflict for Women”, California: Mayfield Publishing Company, 1989. Hook, Bell. Feminist Theory: From Margin to Center. Cambridge: South End Press, 2000. Humm, Maggie. Feminism; A Reader. Great Britain: BPC Wheatons, Ltd., 1992. McMillen, Sally Gregory. Seneca Falls and the Origins of the Women’s Rights Movement. Oxford: Oxford University Press, Inc., 2008. Michael Goldberg in Breaking New Ground (1800-1848) in Nancy F. Cott’s (eds.) A History of Women in the United States. New York: Oxfrd University Press, 2000. O’Neill, William L. Feminism in America. New Jersey: Quadrangle Books, Inc., 1994. Peplau, Letitia Anne and Susan Miller Campbell in Jo Freeman’s The Women, “The Balance of Power in Dating and Marriage”, California: Mayfield Publishing Company, 1989.
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari)
Saul, Jennifer Maher. Feminism; Issues & Arguments. New York: Oxford University Press, Inc., 2003. Steil, Janice M. in Jo Freeman’s The Women, “Marital Relationships and Mental Health: The Psychic Costs of Inequality”, California: Mayfield Publishing Company, 1989. William Chafe in The Road to Equality (1962-today) in Nancy F. Cott’s (eds.) A History of Women in the United States. New York: Oxfrd University Press, 2000. http://en.wikipedia.org/wiki/Glass_ceiling www.wikipedia.org
387