BAB II PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS A. Perkembangan Governance
Konsep
Corporate
Governance
dan
Good
Corporate
1. Perkembangan Konsep Corporate Governance (CG) Sebagai Tonggak Awal Good Corporate Governance (GCG) Menurut Black’s Law Dictionary, prngertian prinsip atau principle yaitu: 72 A fundamental truth or doctrine,as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others; a settled rule of action, procedure, or legal determination. A truth proposition so clear that it can not be proved or contradicted unless by a proposition which is still clearer. That which constitutes the essence of a body or its constituent parts. That which pertains theoretical part of a science. Prof. Tan Kamello secara etimologi maupun dalam pengertian yuridis menjelaskan tentang asas, bahwa kata “principle” atau asas adalah sesuatu yang dijadikan sebagai dasar, tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan. Principle is a fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others. Pengertian ini belum memberikan kejelasan dalam ilmu hukum, tetapi sudah memeberikan arahan tentang hal yang menjadai essensi dari asas yakni ajaran atau kebenaran yang mendasar untuk pembentukan peraturan hukum yang menyeluruh.
72
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minn, 1983., dikutip dari Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO: Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 53.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian asas dalam bidang hukum yang lebih memuaskan dikemukakan oleh para ahli hukum antara lain, “a principle is the board reason which lies at the base of a rule of law”. 73 Ada dua hal yang terkandung dalam makna asas tersebut, yakni pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum, abstrak (the board reason); kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya norma hukum (the base of rule of law). Oleh karena itu, asas hukum tidak sama dengan norma hukum, walaupun adakalanya norma hukum itu sekaligus merupakan asas hukum. Karakter asas hukum yang umum, abstrak itu memuat citacita, harapan (das sollen), dan bukan aturan yang akan diperlakukan secara langsung kepada subjek hukum. 74 Asas hukum bukanlah suatu perintah hukum yang konkret yang dapat dipersalahgunakan terhadap peristiwa konkret dan tidak pula memiliki sanksi yang tegas. Hal-hal tersebut hanya ada dalam norma hukum yang konkret seperti peraturan yang sudah dituangkan dalam wujud pasal-pasal perundang-undangan. Dalam peraturan-peraturan (pasal-pasal) dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum yang merupakan cita-cita dari pembentuknya. Asas hukum diperoleh dari proses analitis (konstruksi yuridis) yaitu dengan menyaring (abstraksi) sifat-sifat
73
George Whitecross Paton, A Textbook of Jurisprudence, second Edition, (Oxford: At The Clarendon Press, 1951) sebagaimana dikutip dalam buku Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia : Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung: Penerbit Alumni), 2004, hlm. 158-159 74 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia : Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung: Penerbit Alumni), 2004, hlm. 158-159
Universitas Sumatera Utara
khusus yang melekat pada aturan-aturan yang konkret, untuk memperoleh sifatsifatnya yang abstrak. 75 Dari pengertian prinsip tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip hukum adalah suatu yang sangat mendasar bagi suatu sistem hukum atau konsep hukum. Prinsip hukum dalam pengertian substantif tidak merupakan bagian terpisah dari kategori norma-norma hukum melainkan hanya berbeda dalam isi dan pengaruhnya. 76 Suatu prinsip hukum adalah norma yang abstrak, dan jika tidak dituangkan lebih lanjut ke dalam normal lain hanya akan berfungsi sebagai petunjuk bagi para pembentuk peraturan atau pelaksananya atau sebagai subjek hukum pada umumnya, dan bukan sebagai aturan yang meletakkan hak dan kewajiban secara konkret. Secara substantif dapat disimpulkan bahwa prinsip hukum umumnya mengandung ukuranukuran yang dalam pandangan pihak yang telah merumuskannya atau bagi mereka yang telah memasukkannya dalam suatu perjanjian internasional atau instrument hukum lain, bersifat sangat penting atau memiliki nilai yang sangat mendasar. 77 Secara konseptual, keberadaan konsep Corporate Governance (CG) dapat ditelusuri kembali hingga ke akhir abad ke – 18. Para ahli di bidang CG sepakat untuk menyatakan bahwa Adam Smith (1776) merupakan filosof pertama yang dianggap menjadi peletak dasar dalam memformalisasikan konsep CG dalam karya
75
Ibid. Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO: Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 53. 77 Ibid, hlm. 54 76
Universitas Sumatera Utara
tulisnya yang berjudul The Wealth of Nations. 78 Adam Smith memiliki pemahaman bahwa sebuah sistem terdiri dari berbagai komponen (sub-system) seperti perusahaan dan kelembagaan (institusi) yang saling berinteraksi di dalam sistem tersebut. Adam Smith mengibaratkan sistem ini melalu permainan papan catur, maksudnya bahwa setiap bidak yang berada di papan permainan mempunyai fungsi/peranan serta aturan main (motion) yang berbeda-beda. Agar semua tidak berfungsi/berperan dan berjalan sesuai dengan aturan mainnya, sehingga permainan dapat dilaksanakan secara baik. Intinya yaitu bahwa sistem adalah kesatuan antar komponen sehingga bila satu komponen berjalan menyimpang, maka sistem akan menjadi kacau. Dari metafora tersebut jelas bahwa CG sebenarnya merupakan suatu sistem 79, yang terdiri dari berbagai perangkat/kelembagaan serta aturan main (code of conduct) dan hukum yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan (checks and balances) agar sistem dapat bekerja secara optimal. Sejarah perkembangan konsep corporate governance hingga permulaan abad ke-21 telah melalui dua tahapan generasi. Generasi pertama di pelopori oleh Berle dan Means (1932) dengan penekanan pada konsekuensi dan terjadinya pemisahan 78
Dalam karya tulisnya, Smith menyatakan terdapatnya salah satu dilemma dalam bentuk atau struktur perusahaan melalui pemisahan antara pemilik dan manjemen. Secara konkrit Smith menyatakan “The directors of…companies…being the managers of other people moneys and their own, it cannot well expected, that they should watch over it with the same vigilance with which the partners in a partners ia a private copartnery frequently watch over their own…negligence and profusion, therefore, must always prevail more or less, in the management of the affairs of such a company…” 79 Sebagai suatu sistem, Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai “the whole set of legal , cultural and institutional arrangements that determines what publicy tradedcorporation can do, who controls them, how that control is exercised, and how the risk and returns from the activities they undertake are allocated. Dikutip dari Nikki Lukviarman, Etika Bisnis Tak Berjalan Di Indonesia: Ada Apa dengan GCG (Padang: Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang, Siasat Binis, 2004), hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
antara kepemilikan dan kontrol atas suatu Perseroan modern (The modern corporation). Menurut kedua ahli tersebut, sejalan dengan berkembangnya Perseroan menjadi semakin besar, maka pengelolaan Perseroan yang semula dipegang oleh pemilik (owner manager) harus diserahkan pada kaum professional. Dalam kaitan ini isu yang dianggap dominan adalah perlunya suatu mekanisme untuk menjamin bahwa manajemen (agent) yang merupakan orang yang digaji oleh pemilik modal (principal), akan mengelola perseroan sesuai dengan kepentingan pemilik. Dari penjelasan ini terdapat hal penting yaitu terdapatnya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) antara pihak agent dan principal. 80 Adolf Berle dan Gardiner Means melalui tulisan fundamental mereka tentang pemisahan pemilik dan pengelola perusahaan, dianggap sebagai dua dari diantara ilmuwan yang berpengaruh dalam bidang corporate governance. Dengan melakukan studi tentang perusahaan-perusahaan besar Amerika – setelah the Wall Street Crash of 1929, mereka sampai pada kesimpulan bahwa pemilik dan pengontrol perusahaan disebabkan oleh pemilikan perusahaan yang menyebar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa fokus studi Berle dan Means adalah tentang penyimpangan investasi milik pemilik atau pemegang saham perusahaan oleh manager sebagai konsekuensi dari terpisahnya antara pemilik dan pengontrol perusahaan. 81 Perkembangan signifikan dalam konsep corporate governance pada generasi pertama ditandai dengan kemunculan Jensen dan Meckling (1976). Kedua ekonom 80 81
Akhmad syahroza , Op.cit. hlm. 8 Konsep Corporate Governance di Indonesia : Kajian atas Kode Corporate Governanance
hlm 2
Universitas Sumatera Utara
ini terkenal dengan Agency Theory yang menandai tonggak perkembangan riset yang luar biasa di bidang governance. Melalui teori ini, berbagai ilmu sosial lainnya seperti; sosiologi, manajemen strategik, manajemen keuangan, akuntansi, etika bisnis dan organisasi mulai menggunakan pendekatan teori keagenan untuk memahami fenomena corporate governance. Akibatnya perkembangan corporate governance menjadi multidimensi, Turnbull (1997) menyebutkan sebagai sebuah multi disiplin ilmu. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, dimana pemanfaatan teori dimaksud masih didominasi oleh para ahli hukum (legal) dan ekonom (economist). Pada era generasi pertama pula muncul berbagai derivasi teori keagenan hasil dari sintesis melalui proses dialektika dan berbagai bidang keilmuan yang multi disiplin tersebut. 82 Pendapat Jensen dan Meckling sejalan dengan hasil studi Berle dan Means yang menyatakan bahwa “the aim of all governance mechanism is to reduce the agency costs that exist due to the separation of ownership and control especially in large public corporation”. Perkembangan yang secara efektif dianggap sebagai awal munculnya generasi kedua corporate governance ditandai dengan hasil karya La-Porta dan koleganya pada tahun 1998. Secara signifikan LLSV 83 mengidentifikasikan kecenderungan terdapatnya konsentrasi kepemililkan Perseroan pada pihak-pihak tertentu. Berbeda
82
Ibid La-Porta, Lopez-de-Silanes, Shleifer dan Vishny disingkta LLSV lebih dikenal sebagai para ahli yang memperkenalkan dan mempopulerkan pendekatan legal keuangan (legal and finance approach) di dalam memahami fenomenan corporate governanace 83
Universitas Sumatera Utara
dengan Berle dan Means, menurut LLSV, penerapan corporate governance di suatu negara sangat dipengaruhi oleh kondisi perangkat hukum di negara tersebut dalam upaya melindungi kepentingan berbagai pihak yang terkait dengan Perseroan, terutama pemilik minoritas. Jika sebelumnya konflik kepentingan dianggap terjadi antara pemilik modal (principal) dengan pengelola (agent), LLSV menyatakan bahwa di berbagai negara lainnya di luar AS dan Inggris, kepemilikan Perseroan sangat terkonsentrasi. Akibatnya konflik kepentingan akan terjadi antara “pemilik mayoritas yang kuat” dengan “pemilik minoritas” yang berada pada posisi yang lemah. Lebih lanjut, LLSV berpendapat bahwa sistem hukum yang tidak kondusif dan belum berpihak pada kepentingan umum, mengakibatkan konflik menjadi semakin tajam sehingga berpotensi merusak sistem perekonomian secara keseluruhan. 84 Istilah Corporate Governance (CG) atau tata kelola pertama kali diperkenalkan oleh Cadburry Committee tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report . Cadbury Report adalah hasil dari laporan sebuah lembaga Cadbury Committee, yaitu suatu lembaga yang dibentuk oleh Bank of England dan London Stock Exchange pada tahun 1992 sebagai usaha untuk melembagakan corporate governance, yang bertugas menyusun corporate governance code yang menjadi acuan (benchmark) di banyak negara.
84
Akhmad Syahroza, op.cit, hlm 9
Universitas Sumatera Utara
Terdapat dua teori yang terkait dengan corporate governance, yaitu Stewardship Theory dan Agency Theory: 85 Stewardship Theory didasari atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integrasi dan kejujuran terhadap pihak lain. Hal ini yang tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki oleh para pemegang saham. Stewardship Theory memandang manajemen sebagai institusi yang dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan stakeholders pada umumnya maupun shareholders pada khususnya. Agency Theory memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents” bagi pemegang saham, yang akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingan sendiri, bukan sebagai pihak yang aktif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana yang diasumsikan dalam Stewarship Theory. Bertentangan dengan stewardship Theory, agency theory memandang bahwa manajemen tidak dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan stakeholders secara umum maupun khusus. Agency theory ini dianggap lebih sesuai dengan kenyataan. Dengan pemikiran bahwa corporate governance dalam pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan yang berlaku. Upaya ini menimbulkan agency cost, yaitu biaya yang harus
85
Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Ray Indonesia, 2006), hlm. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
dikeluarkan untuk mengurangi kerugian yang timbul karena ketidakpatuhan. Oleh karena itu dikeluarkan biaya ini dikeluarkan oleh manajemen utnuk pengawasan oleh pemegang saham, menghasilkan laporan yang transparan, termasuk biaya audit independen dan pengendalian internal. Cadbury Committee memberikan definisi corporate governance sebagai berikut: 86 Corporate Governance adalah sistem yang mengarahkan dan mengendalikan Perseroan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh Perseroan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham, dan sebagainya. Terdapat banyak definisi tentang CG yang pendefinisiannya dipengaruhi oleh teori yang melandasinya. Perusahaan atau korporasi dapat dipandang dari dua teori, yaitu : 87 a. teori pemegang saham (shareholding theory) dan b. teori pemegang kepentingan (stakeholding theory). Shareholding Theory
mengemukakan bahwa perusahaan didirikan dan
dijalankan untuk tujuan memaksimumkan kesejahteraan pemilik atau pemegang saham sebagai akibat dari investasi yang dilakukannya. Shareholding theory ini sering disebut sebagai teori korporasi klasik yang sudah diperkenalkan oleh Adam Smith pada tahun 1776. Definisi CG yang berdasar pada shareholding theory diberikan oleh Monks dan Minow yaitu hubungan berbagai partisipan (pemilik atau 86
Indra Surya dan Ivan Yustiavanda, Penerapan Good Corporate Governance; Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 8. 87 Mas Acmad Daniri, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
investor dan manajemen) dalam menentukan arah dan kinerja korporasi. Definisi lain diajukan oleh Hleifer dan Vishny yang menyebutkan bahwa CG sebagai cara atau mekanisme untuk meyakinkan para pemilik modal dalam memperoleh hasil (return) yang sesuai dengan investasi yang ditanamkan. Stakeholding theory,
diperkenalkan oleh Freeman pada tahun 1984,
menyatakan bahwa perusahaan adalah organisasi yang berhubungan dengan pihak lain yang berkepentingan, baik yang ada di dalam maupun yang di luar perusahaan. Definisi stakeholders ini termasuk karyawanm pelanggan, kreditur, supplier, dan masyarakat sekitar dimana perusahaan tersebut beroperasi. Definisi Good Corporate Governance berdasarkan stakeholder theory diberikan oleh dari Cadbury Comitte sebagai berikut: ”A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the government, employees and internal anad external stakeholders in respectto their rights and responsibility.” (Seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer,
kreditur,
pemerintah,
karyawan,
dan
pihak-pihak
yang
berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka) Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) tahun 2000 juga memberikan definisi tentang corporate governance, yaitu : 88
88
Iman Sjahoutra Tunggal dan Amin WIdjaja Tunggal, Memahami Konsep Corporate Governance hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
“Corporate Governance can be defined as a set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the government, employess, and other internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities, or the system by which companies are directed and controlled. The objective of corporate governance is to create added value to the stakeholders.”
Artinya bahwa corporate governance
adalah seperangkat peraturan yang
menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Setelah dikenalkan oleh Cadbury Comitte 89, berkembanglah berbagai definisi berkenaan dengan GCG yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua perspektif atau sudut pandang, yaitu: 90 Definisi dari perspektif stakeholders, Forum for Corporate Governance (FCGI) tahun 2002 mengungkapkan bahwa GCG adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antar pemegang, pengurus, (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pemegang saham internal dan eksternal lainnya
89
Cadburry Report adalah sebutan lazim untuk the report of the Cadburry Comitte on Financial Aspects of Corporate Governance: The Code of Best Practice sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Cadbury-Scheppes di tahun 1992. Komite ini dibentuk pada bulan Mei 1991 oleh London Stock Exchange dan profesi akuntan dan diketuai oleh Sir Adrian Cadbury untuk membahas aspek-aspek financial corporate governance. Komite yang terbentuk sebagai wujud keprihatinan terhadap aktifitas perusahaan-perusahaan seperti Maxwell Communications ini kemudian menghasilkan code of the best practice yang kemudian dilaksanakan oleh semua perusahaan terbuka Inggris. 90 Wilson Arafat, Op.cit. hlm.3
Universitas Sumatera Utara
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suau sistem yang mengendalikan perusahaan. Definisi dari perspektif shareholders. Sebagaimana Donaldson dan Davis mendefinisikan GCG sebagai “the structure wherely managers at the organizational apex are controlled through the board of directors, its associated structures, executive incentive, and other schemes of monitoring and bonding.” Pengertian tentang corporate governance juga diberikan melalui Surat Edaran Meneg. PM & P. BUMN No. S 106/M.PM P.BUMN/2000, tanggal 17 april 2000 tentang kebijakan penerapan corporate governance. Good Corporate Governance diartikan sebagai suatu hal yang berkaitandengan pengambila keputusan yang efektif yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, nilai, sistem, proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi perusahaan yang bertujuan untuk mendorong dan mendukung: a. Pengembangan perusahaan b. Pengelolaan sumber daya dan resiko secaa lebih efisien dan efektif, dan c. Pertanggungjawaban
peusahaan
kepada
pemegang
saham
dan
stakeholders lainnya. Terdapat dua “kutub” menyangkut implementasi dari berbagai model governance yang ada. Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, sebelum generasi kedua, para ahli governance masih membicarakan model yang bersifat universal. Pengikut paham ini seringkali disebut sebagai penganut pandangan konvergensi (convergence) di dalam memahami fenomena governance. Penganut
Universitas Sumatera Utara
paham konvergensi pada prinsipnya memahami perbedaan di dalam praktik governance secara umum 91, seperti antara model Anglo Saxon versus Continental Eropa. Namun demikian mereka cenderung beranggapan berbagai prinsip dasar atau karakteristik di antara keduanya adalah sama. 92 Kalaupun terdapat perbedaan di dalam penerapannya, penyesuaian hanya akan untuk mengakomodasi berbagai faktor yang bersifat konteks spesifik seperti tipikal truktur governance” di masing-masing di tiap negara. 93 Setelah pada tahap kedua inilah OECD (1999) menyadari bahwa terdapat perbedaan yang fundamental pada sistem corporate governance di setiap negara, sehingga memunculkan konsep divergensi (divergence) dari model corporate governance. Beberapa ahli mulai mengembangkan teorinya dengan mengaitkan hal tersebut pada masalah perbedaan budaya serta sejarah perkembangan hukum dan struktur kelembagaan sebagai faktor yang dominana. Secara umum, dari berbagai tahapan perkembangan corporate governance, permasalahan yang paling mendasar adalah terdapatnya konflik kepentingan (conflict of interest) yang berpotensi
91
Misalnya secara umum praktik-praktik governance dapat dibedakan berdasarkan Anglo Saxon model (sebagaimana yang terdapat di Amerika, Inggris, dan Australia) serta model Continental European model (model dataran eropa seperti Jerman, Prancis, Belanda) dengan varianya sebagaimana diterapkan oelh Jepang. 92 Berbagai prinsip dasar corporate governance, seperti accountability, trasparency, responsibility, fairness, menjadi acuan pokok untuk kedua model governance baik Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental. 93 Dalam kaitan ini perbedaan struktur governance misalnya dapat dilihat dengan dikenalnya istilah two tier board system untuk model Continental European serta single (unitary) board untuk model Anglo Saxon. Perbedaan struktur ini membawa implikasi luas , terutama pada berfungsinya mekanisme “board governance” di antara keduanya. Misalnya, isu semacam “Independent board of directors” sangat relevan untuk model Anglo Saxon, karena CEO akan bertindak langsung sebagai Chairman of the board of Director dan kemungkinan masuknya bebrapa anggota manajemen tim di dalam jajran Board of Director”.
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan biaya keagenan (agency costs) yang sangat signifikan, sehingga dikhawatirkan menurunkan nilai perusahaan (value of the firm). Konsep corporate governance dan berbagai aturan implementasinya (code of best practice) diadopsi dari negara barat. Pembahasan pembagian model governance antara Anglo Saxon dengan Continental European. Lebih lanjut, jika dihubungkan dengan “sistem” yang akan digunakan di dalam menjalankan konsep corporate governance, dapat diklasifikasikan menjadi sistem (1) yang berdasarkan pada “dominasi pasar” (market dominated) atau (2) sistem yang berdasarkan “dominasi bank” (bank dominated) atau ada jugayang mengklasifikasikan sebagai market based system dalam model Anglo Saxon dan group based system dalam model Continental European. 94 Sistem yang bercirikan dominasi pasar biasanya ditemukan pada negaranegara yang mengadopsi model Anglo Saxon dan di dalam sistem ini pasar modal memegang peranan penting di dalam perekonomiannya. Pada negara yang menganut sistem ini mekanisme pengendalian oleh kekuatan pasar bertindak sebagai pusat dari sistem pengendalian (control system) korporasi yang mereka anut. Dengan dasar ini, mekanisme governance (governance mechanism) yang digunakan disebut juga dengan sistem control pihak eksternal (outsider conrol system). Sementara itu untuk negara-negara yang menganut sistem model continental eropa termasuk Jepang secara umum dikategorikan sebagai penganut sistem governance yang didominasi oleh perbankan. Pada sistem ini, menurut Schmidt dan 94
Akhmad syahroza, Op.Cit. hlm 19.
Universitas Sumatera Utara
Tyrell (1997) peranan mekanisme pasar sebagai bagian dari mekanisme governance tidaklah signifikan sifatnya. Dengan demikian, penganut sistem ini tidak menyandarkan diri pada kekuatan mekanisme pasar sebagai alat control dalam mekanisme pengendaliannya. Sistem governance ini sering juga disebut dengan :insider dominated control” yang didasarkan pada karakteristik relative stabil dan terkonsentrasinya kepemilikan (saham) perusahaan pada sekelompok orang. 95
2. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG) Prinsip-prinsip yang diberlakukan Organization for Economic Corporation and Development (OEDC), mencakup lima bidang, yaitu: 96 1) Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (The Rights of Shareholders) Kerangka yang dibangun dalam GCG harus mampu melindungi hakhak para pemegang saham. Hak-hak tersebut meliputi hak dasar pemegang saham, yaitu untuk: (a) menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan, (b) mengalihkan atau memindahkan saham yang dimilikinya, (c) memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, (d) ikut berperan dan memberikan suara dalam RUPS, (e) memilih anggota dewan komisaris dan direksi, serta (f) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan. 2) Persamaan perlakuan terhadap selurh pemegang saham (The Equitable Treatment of Shareholders) Kerangka CG harus menjamin adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Seluruh pemegang saham harus memiliki kesempatan mendapatkan 95 96
Ibid. Wilson Arafat, Op.cit., hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
penggantian atau perbaikan atas pelanggaran dari hak-hak mereka. Prinsip ini juga mensyaratkan adanya perlakuan yang sama atas saham-saham yang berada dalam satu kelas, melarang praktek-praktek insider trading dan self dealing, dan mengharuskan anggota dewan komisaris harus mengungkapkan (disclose) suatu fakta material dalam transaksi dan permasalahan yang mempengaruhi Perseroan. 3) Peranan stakeholders yang terkait dengan perusahaan (The Role of Stakeholders in CG) kerangka GCG harus memberikan pengakuan terhadap hak-hak stakeholders, seperti yang ditentukan undang-undang, dan mendorong kerjasama aktif antara perusahaan dengan para stakeholders dalam rangka menciptakan kesejahteraan, lapangan kerja dan kesinambungan usaha. 4) Keterbukaan dan transparansi (Disclosure and Transparency) Kerangka CG menjamin adanya pengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan yang berkaitan dengan perusahaan. Pengungkapan ini meliputi informasi mengenai keadaan keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Disamping itu, informasi yang diungkapkan harus disusun, diaudit dan disajikan sesuai dengan format standar yang berkualitas tinggi. Manajemen diharuskan meminta auditor eksternal melakukan audit yang bersifat independen atas laporan keuangan. 5) Akuntabilitas Direksi dan Dewan Komisaris (The Responsibilities of The Board) Kerangka CG harus menjamin adanya pedoman strategis perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris, dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham. Prinsip ini juga memuat kewenangankewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris beserta kewajiban profesionalnya kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya.
Prinsip-prinsip
Corporate
Governance
yang
disusun
oleh
OECD
(Organizationfo Economic Cooperation and Development) tersebut di atas menjadi salah satu acuan universal yang menjadi pijakan dalam pengembangan di banyak negara. Sehingga dikenal dengan empat prinsip dasar Good Corporate Governance, yaitu fairness, transparency, accountability, and responsibility. a. Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran) b. Transparency (Keterbukaan Informasi)
Universitas Sumatera Utara
c. Accountability (Akuntabilitas) d. Responsibility (Pertanggungjawaban) Manajemen dalam setiap suatu perusahaan yang menginginkan pengelolaan perusahaannya berjalan secara sehat harus berpedoman pada prinsip-prinsip GCG, yang oleh OECD telah dijadikan suatu acuan dalam menilai suatu perusahaan dalam upaya menumbuhkan iklim usahan dan kepercayaan masyarakat sebagai mitra bisnis dalam perdagangan global. Kepercayaan
investor
dan
efisiensi
pasar
sangat
tergantung
dari
pengungkapan kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Agar informasi tersebut bernilai di pasar global, informasi yang disajikan harus jelas, konsisten, dan dapat dibandingkan serta menggunakan standar akutansu yang diterima di seluruh dunia, atau dengan kata lain setiap perusahaan harus menerapkan prinsip transparansi. Dampak positif dari prinsip transparansi adalah bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan dapat memperhitungkan resiko bertransaksi dengan perusahan. Salah satu solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah antara direksi dan pemegang saham adalah dengan menerapkan prinsip akuntabilitas. Akuntabiltas yang didasarkan pada sistem internal checks and balances, juga mencakup praktik audit yang sehat. Akuntabilitas juga dapat dicapai melalui pengawasan efektif yang didasarkan pada keseimbangan kewenangan antara pemegang saham, komisaris, dan direksi. Praktik audit yang sehat dan independen mutlak diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
menerapkan akuntabilitas perusahaan. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan mengefektifkan Komite Audit. Untuk mencapai tujuan perusahaan, selain dengan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, juga harus memperhatikan hak-hak pemegang saham dengan prinsip fairness. Dalam hal ini, fairness meliputi kejelasan hak-hak pemegang saham untuk melindungi kepentingan pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas, dari kecurangan seperti pratik insider trading 97 yang merugikan atau dari keputusan direksi atau pemegang saham mayoritas yang merugikan kepentingan pemegang saham secara keseluruhan. Para pengelola perusahaan seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk ketentuan yang mengatur lingkungan hidup, perlindungan konsumen, perpajakan, ketenagakerjaan, larangan monopoli dan praktik persaingan yang tidak sehat, kesehatan dan keselamatan kerja, dan peraturan lainya yang mengatur kehidupan perusahaan dalam menjalankan aktivitas usaha.
3. Perkembangan konsep Corporate Governance di Indonesia Berawal dari kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) dengan ditandantanganinya Letter of Intent (LOI) untuk pelaksanaan penerapan corporate governance, Pemerintah Indonesia mendirikan
97
James D. Cox, dkk, corporations, (Aspen Law & Business, A Division of Aspen Publisher, inc., 1997), hlm. 275-276
Universitas Sumatera Utara
lembaga khusus yang bernama Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Nomor: KEP-31/M.EKUIN/06/2000. Tugas pokok KNKCG adalah merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional mengenai GCG, serta memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang corporate governance di Indonesia. 98 KNKCG pertama kali mengeluarkan pedoman umum GCG pada tahun 2001, pemdoman CG di bidang Perbankan tahun 2004 dan pedoman CG bidang Perbankan tahun 2004 dan Pedoman Komisaris Independen dan Pedoman Pembentukan Komite Audit yang Efektif. Tahun 2004 Pemerintah Indonesia memperluas tugas KNKCG melalui surat Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian RI No. KEP49/M.EKON/II/2004 tentang Pembentukan Komite Nasioal Governance (KNKG) yang memperluas cakupan tugas sosialisi governance bukan hanya di sektor koprporasi tapi juga sektor pelayanan public. KNKG pada tahun 2006 menyempurnakan pedoman CG yang telah diterbitkan pada tahun 2001. 99 Kemudian dipertegas dengan ditetapkannya Tap MPR No. VII tahun 2001 tentang visi Indonesia masa depan dalam bab IV ayat 9 butir a, yaitu terwujudnya penyelenggaraan negara yang professional, transparan, akuntabel, memiliki kredibilitas dan bebas KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). LOI dan Tap MPR ini
98
Akhmad Syahroza, op.cit. hlm. 3 Sejarah Lahir GCG dan Perkembangannya di Indonesia, http://gustiphd.blogspot.com/2011/10/sejarah-lahir-gcg-dan-perkembangannya.html, diakses pada tanggal 30 Juni 2012. 99
Universitas Sumatera Utara
kemudian dilanjutkan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan oleh pemerintah untuk mewujudkan corporate governance. 100 Letter of Intent (LOI) yang yang ditandatangani pemerintah RI menjadi tonggak awal dimulainya reformasi sistem CG di Indonesia secara legal formal. Hal ini diwujudkan melalui pembentukan Komite Nasional Mengenai Kebijakan Corporate Governance melalui keputusan Menteri Koordinator bidang Ekuin tahun 1999. Pada tahun berikutnya, dihasilkan kode etik untuk pelaksanaan CG melalui ”Code for Good Corporate Governance”. Organisasi-organisasi di bidang corporate governance terbentuk pada tahun 1999 oleh Pemerintah yaitu Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKCG) yang kemudian pada tahun 2004 komite ini berubah menjadi Komite Kebijakan Governance, dimana lingkup tugasnya lebih luas tidak hanya membuat kebijakan governance di sektor korporasi tetapi juga di sektor publik. Krisis moneter yang melanda hampir ke seluruh negara, terutama di negaranegara berkembang di kawasan Asia, termasuk Indonesia terjadi sejak dasawarsa terakhir ini. Krisis moneter yang berkepanjangan menjalar menjadi krisis ekonomi, bahkan meluas menjadi krisis politik yang pada akhirnya menjadi krisis kepercayaan. Dampak dari krisis dimaksud bukan hanya terhadap tatanan penyelenggaraan negara, pemerintah dana pembangunan, namun meluas mempengaruhi berbagai sektor dan dimensi, baik yang ada pada pusat-pusat kegiatan pemerintahan, maupun pada pelaku-pelaku ekonomi dan masyarakat. 100
Akhmad Syahroza, Op.cit. hlm 4.
Universitas Sumatera Utara
Pada sektor pelaku ekonomi, baik milik negara maupun swasta menunjukkan kinerja yang rendah, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi secara optimal, baik untuk kepentingan para pemilik, stakeholders, karyawan, masyarakat maupun pihak terkait lainnya. Para pelaku ekonomi swasta pada umumnya menunjukkan kesalahan manajemen, sehingga tidak memiliki keunggulan atau daya saing yang kuat di pasar internasional, bahkan kondisi internal perusahaan masuk dalam kualifikasi tidak sehat. Pada pelaku ekonomi milik negara, sudah bukan merupakan rahasia umum, bahwa sebagian besar kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) jauh dari apa yang diharapkan masyarakat, dalam arti kontribusi BUMN terhadap negara masih belum memadai, padahal dengan asset diatas 900 Triliun yang tersebar di berbagai sektor usaha, potensinya cukup besar. 101 Para ahli sepakat menyatakan bahwa sistem CG yang dianut Indonesia mengikuti pola Continental European system, hal tersebut karena melihat dari cirri berikut ini, yaitu: 102 (1) dianutnya sistem dan perangkat hukum yang bersumber pada tradisi French-Civil Law, (2) digunakannya dua struktur dewan perusahaan (two-tier board system),
101
Sedarmayanti, Good Governance dan Good Corporate Govenance, (Bandung,: CV.Mandar Maju, 2007), hlm. 50. 102 Niki Lukviarman, “Etika Bisnis Tak Berjalan Di Indonesia: Ada Apa dalam Corporate Governance” , JSB No. 9 Vol. 2 Desember 2004
Universitas Sumatera Utara
(3) terkonsentrasinya kepemilikan perusahaan (concentrated ownership structure), dan (4) dominannya sumber pembiayaan perusahaan dari luar perusahaan berupa hutang (external financing). Munculnya berbagai karakteristik ini, dalam hubungannya dengan sistem CG yang dianut Indonesia, dapat dijelaskan dengan menggunakan teori path-dependence. Menurut teori ini struktur suatu perusahaan dan ekonomi di suatu negara sangat ditentukan oleh struktur awal dimulainya kegiatan perekonomian negara tersebut, dan pada tahapan berikutnya struktur hukum dan perundang-udangan akanberjalan mengikuti pola ini. Sejarah membuktikan munculnya perusahaan berskala relatif besar
di
Indonesia
dimulai
pada
periode
setelah
kemerdekaan,
dengan
dinasionalisasikannya berbagai perusahaan milik Belanda oleh pemerintah Indonesia . “Penggantian” kepemilikan ini hanya ditandai dengan “pemindahan” kepemilikan, karena sejak saat itu “struktur perusahaan” maupun hukum perusahaan - serta perangkat lainnya- menggunakan sistem yang di ciptakan oleh Belanda. Walaupun di akhir paruh 1990-an telah dikeluarkan berbagai undang- undang yang baru, misalnya Undang-undang tentang Perseroan Terbatas namun semua perundang-udangan dan praktik bisnis di Indonesia masih berdasarkan pada pola yang diadopsi dari Belanda. Sistem pengelolaan perusahaan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor ketergantungan (path dependencies) pada struktur perusahaan dan hukum yang diwarisi dari Belanda. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, problem
Universitas Sumatera Utara
mendasar dari CG yang dimulai sejak era Adam Smith, adalah akibat dari pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian terhadap perusahaan. Kondisi ini jelas akan menimbulkan “konflik kepentingan” yang dapat mempengaruhi upaya pencapaian tujuan perusahaan. Untuk itu dibutuhkan suatu mekanisme yang bekerja di dalam suatu sistem yang berfungsi sebagai “kekuatan pengendali” (disciplinary forces) agar konflik kepentingan tidak merugikan perusahaan ataupun berbagai pihak lainnya yang mempunyai kepentingan lain dengan perusahaan (stakeholders). Di dalam setiap sistem CG, mekasnime kontrol yang bekerja dapat dibedakan atas dua kelompok; pertama, mekanisme eksternal dari perusahaan (the market for corporate control), serta kedua mekanisme yang bersifat internal dalam perusahaan (internal control mechanisms). Berdasarkan pendekatan “no-one-size-fits-all” (OECD 1999), mekanisme kontrol dalam sistem CG yang dianut oleh suatu negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara lainnya. Misalnya, diberbagai negara Anglo-Saxon yang sistem keuangannya berbasis pasar (market- oriented) dapat lebih mengandalkan mekanisme yang pertama. Alasannya adalah karena hukum pasar (pasar modal, produk dan tenaga kerja) akan “mendisiplinkan” perusahaan yang tidak mematuhi aturan CG, disamping mekanisme internal yang juga bekerja secara baik (properly). Sebaliknya di negara-negara yang sedang berkembang, dan umumnya mempunyai sistem keuangan berbasis jaringan (network-oriented), belum dapat sepenuhnya mengandalkan mekanisme pasar sebagai perangkat kontrol. Salah satu alasannya
Universitas Sumatera Utara
adalah karena mekanisme pasar dan perangkat pendukungnya belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendisiplinkan perusahaan, sebagaimana halnya kondisi di negara maju. Hal yang sama juga terjadi pada mekanisme kontrol internal yang relatif tidak efektif, misalnya karena tidak independennya dewan komisaris dari intervensi pemilik saham mayoritas. 103 Penerapan sistem tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governanace) menjadi salah satu fokus utama dalam pengembangan iklim usaha di Indonesia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pentingnya penerapan praktikpraktik corporate governance di seluruh sektor semakin meningkat seiring dengan peningkatan daya saing dalam menghadapi pasar global. Penerapan GCG mendorong terciptanya persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif. Oleh karena itu diterapkannya GCG oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia sangat penting untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan. Pedoman Umum Good Corporate Governance (GCG) dikeluarkan oleh KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) pada tahun 1999 dan terakhir disempurnakan pada tahun 2006, upaya menerapkan GCG di kalangan dunia usaha mengalami perbaikan. 104 Secara global, kesadaran akan penerapan tentang corporate governance muncul sejak terjadinya serangkaian skandal keuangan di perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat, seperti Enron, WorldCom, Global Crossing, dan 103
Niki Lukviarman, “Etika Bisnis Tak Berjalan Di Indonesia: Ada Apa dalam Corporate Governance” , JSB No. 9 Vol. 2 Desember 2004 104 A. Prasetyantoko. Op.cit. hlm xvi
Universitas Sumatera Utara
sebagainya. 105 Amerika Serikat sebagai negara besar dengan sistem dinamis yang mampu melakukan fungsi kontrol pada perilaku manajemen serta sistem regulasi yang kuat ternyata masih bisa terjadi berbagai praktik kecurangan manajemen. Dalam kasus krisis Asia, salah satu sumbernya adalah lemahnya tata kelola perusahaan atau corporate governance. Kebijakan utang yang eksesif dalam bentuk valuta asing serta pemberian kredit perbankan pada perusahaan dalam grupnya sendiri adalah hal yang biasa terjadi pada perusahaan-perusahaan di Asia, khususnya Indonesia, Thailand, dan Korea. Akibatnya, manakala terjadi gejolak pada sistem financial, perusahaan mengalami kebangkrutan dan menimbulkan efek berantai yang massif sehingga stabilitas ekonomi makro terkena dampaknya. Fenomena global, regional, dan domestik memberikan pelajaran bahwa untuk membangun sistem ekonomi yang berkesinambungan, harus memperhatikan praktik tata kelola korporasi yang baik. Corporate governance cenderung dihubungkan dengan dengan masalah kinerja organisasi, seperti hubungan antara corporate governance dan penciptaan nilai perusahaan. Beberapa studi menekankan pentingnya penerapan corporate governance. Misalnya saja, pada tahun 1997, The European
105
pemerintah A.S. mengeluarkan aturan baru yang dikenal dengan The Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOA Act) pada tanggal 30 Juli 2002. Aturan baru ini dianggap sebagai ‘the most seeping change in corporate governance and the regulator of accounting practices’ semenjak dikeluarkannya the Securities and Exchange Act of 1934. SOA Act ini pada intinya memberikan penekanan pada prinsip keterbukaan (disclosure), perlunya komite audit (audit committees) yang beranggotakan komisaris independen, serta larangan untuk memberikan pinjaman kepada dewan komisaris perusahaan. Aturan ini menekankan (imposes) hukuman yang lebih berat untuk setiap tingkat pelanggaran yang dikategorikan sebagai corporate wrongdoing seperti: criminal, fraud dan other wrongful act.
Universitas Sumatera Utara
Bank for Reconstruction and Development menulis dalam laporannya yang berjudul :Sound Business Standards and Corporate Practices”: 106 “It is essential for investors and also for lenders to understand clearly and to be satisfied with the manner in which shareholders can oversee the performance of the management and participate in key decisions.” Pada tahun 1999, The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagaimana tercantum dalam “Principle of Corporate Governance” mengatakan: 107 “Good corporate governance helps to ensure that corporations take into account the interests of a wide range of constituencies and their boards are accountable to the company an the shareholders. This, in turn, helps to maintain the confidence of investors-both foreign and domestic-and to attract more long term capital.” OECD adalah suatu organisasi internasional kerjasama ekonomi dan pembangunan yang anggota-anggotanya antara lain terdiri atas: 108 a. Amerika Serikat b. Eropa ( Belgia, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, yunani, Irlandia, Italia, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Pol;andia, Portugal, Spanyol Swedia, Swiss, Turki, Inggris). c. Asia Pasifik (Australia, Jepang, Korea, Selandia Baru) Pada tahun 1999, Bank Dunia juga mengeluarkan sebuah laporan berjudul “The Business Environment and Corporate Governance”. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa krisis yang melanda kawasan Asia dan Rusia pada tahun 1997 adalah bukti rapuhnya sistem corporate governance di negara-negara yang terserang krisis tersebut, atau tertulis: 109
106
A. Prasetyantoko.Op.cit hlm. 33 Ibid 108 Ibid. hlm. 41 109 Ibid 107
Universitas Sumatera Utara
“The recent financial crises in East Asia, Rusia, and other emerging markets have revealed several underlying weaknesses relating to the functioning of corporate and financial sectors, at the forefront of which is corporate governance.” Asian Development Bank (ADB) sebagai suatu organisasi yang mendorong perkembangan ekonomi negara-negara di benua Asia juga menaruh perhatian besar terhadap corporate governance. Dalam laporannya sebagai hasil penilaian terhadap kondisi corporate governance di 5 negara Asia, mendefinisikan corporate governance sebagai berikut” “A corporate governance system consists of a set of rules that define the relationship of shareholders, managers, creditors, the government and other stakeholders (their respective rights and responsibilities) and a set of mechanism that help directly or indirectly to enforce these rules” Terdapat karakteristik penerapan GCG di Indonesia, yaitu: 110 a. Kepemilikan perusahaan terkonsentrasi pada individu atau keluarga, sehingga pihak ini mempunyai pengaruh kuat untuk menentukan arah perusahaan. Akibatnya problem keagenan (the agency problem) lebih terarah pada benturan kepentingan antara pemilik mayoritas ini dengan pemilik minoritas. Secara umum pemilik saham minoritas selalu berada pada posisi yang lemah. b. Kepemilikan saham dengan penguasaan mayoritas oleh keluarga, diikuti dengan
ikut
campurnya
anggota
keluarga
atau
orang
dekat
kepercayaannya untuk menduduki posisi direksi dan/atau komisaris di
110
Nikki Lukviarman,Op.cit., hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
dalam suatu perusahaan. Akibatnya posisi komisaris, yang seharusnya menjadi pengawas manajemen, menjadi tidak kapabel serta tidak independen di dalam menjalankan tugasnya. c. Kepemilikan saham keluarga juga diikuti dengan berkembangnya kelompok bisnis keluarga berpola konglomerat (conglomeration) dengan bidang usaha yang sangat ter-diversifikasi. Berbagai perusahaan yang menjadi anggota kelompok bisnis tersebut dikuasai melalui “penguasaan bertingkat dengan pola piramida” (pyramidal ownership structure). d. Perusahaan publik di Indonesia pada umumnya mempunyai tingkat hutang yang sangat besar dan sebahagian besar dalam bentuk mata uang asing yang tidak dilindung-nilaikan (un-hedge), sehingga sangat rentan terhadap perubahan kondisi perekonomian. Pada beberapa kasus, dana pinjaman yang diperoleh dialokasikan pada kegiatan investasi lainnya yang tidak produktif, sehingga menurunkan nilai perusahaan. e. Pasar modal relatif kecil dan tidak “likuid” sehingga tidak mampu secara efektif berperan sebagai mekanisme kontrol eksternal dalam upaya penerapan
prinsip
CG.
Untuk
mengatasinya,
kelompok
bisnis
(konglomerat) menjadikan organisasi ini sebagai internal capital market dalam memfasilitasi pemindahan dana dari berbagai perusahaan dalam kelompok bisnis mereka.
Universitas Sumatera Utara
f. Kombinasi antara relatif kecilnya pasar modal Indonesia dengan sedikitnya proporsi kepemilikan perusahaan (dalam bentuk) saham yang dijual kepada publik, membuat pemilik mayoritas berada pada posisi yang sangat kuat. Terutama dengan tidak mampunya mekanisme control eksternal lainnya, seperti merger dan akuisisi, untuk ikut mendisiplinkan perusahaan yang tidak menerapkan prinsip CG yang sehat. g. Lemahnya penegakan hukum dan lembaga pendukungnya di dalam menjaga berjalannya sistem secara benar, sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan. Kondisi ini semakin memperlemah pemilik minoritas namun, sebaliknya, akan memperkuat posisi pemilik saham mayoritas untuk mengeksploitasi sumber daya perusahaan untuk kepentingannya, namun merugikan kepentingan pihak lainnya (terutama pemegang saham minoritas). h. Belum terdapat upaya perbaikan menyeluruh yang mencakup pembenahan seluruh komponen sistem CG guna mendukung terlaksananya penerapan mekanisme kontrol untuk menjamin berjalannya sistem ini secara seimbang dan berkesinambungan. Dari keempat prinsip dasar GCG oleh OECD, di Indonesia berkembang menjadi lima prinsip dengan menambahkan prinsip Indepedency (Kemandirian) sebagaimana yang dituangkan dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance
Universitas Sumatera Utara
2006 yang disusun oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang mengemukakan lima prinsip dasar Good Corporate Governance sebagai berikut: 111 Pedoman umum Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance pada tahun 2006 tersebut sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya menjadi acuan bagi pelaksanaan GCG oleh pelaku usaha di Indonesia. Pedoman tersebut berlaku bagi semua perusahaan yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Meskipun pada awalnya pedoman tersebut hanya meliputi perseroan terbuka, badan usaha milik negara dan perusahaan yang menggunakan atau mengelola dana public saja, namun pada akhirnya juga berlaku bagi semua perusahaan yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia termasuk perusahaan yang beroperasi atas dasar prinsip syariah. Pedoman ini memuat prinsip dasar dan pedoman pokok pelaksanaan GCG, merupakan standar minimal yang oleh masingmasing perusahaan perlu membuat aturan yang lebih operasional mengingat adanya perbedaan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, pelaksanaan pedoman ini juga mempertimbangkan kekhususan karakter setiap perusahaan, seperti besarnya modal, pengaruh dari kegiatan terhadap masyarakat dan tingkat internasionalnya. Pedoman penerapan GCG ini merupakan pembaharuan dan penyempurnaan dari yang pernah dikeluarkan sebelumnya yang antara lain memuat : (a) asas GCG;
111
Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia ( Komite Nasional Kebijakan Governance,2006), hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
(b) etika bisnis dan pedoman perilaku; (c) organ perusahaan; (d) pemangku kepentingan; dan (e) pedoman praktis penerapan GCG. 112 Forum for Corporate Governance (FCGI) menjabarkan prinsip-prinsip GCG sebagaimana yang diuraikan OECD tersebut di atas dengan tujuan untuk mensosialisasikan prinsip-prinsip GCG, sebagai berikut: 113 a. Fairness. Perlakuan yang sama terhadap pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan pemegang saham oleh orang dalam (insider trading). Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan membuat peraturan korporasi yang melindungi kepentingan minoritas, membuat pedoman perilaku perusahaan dan atau kebijakan-kebijakan yang melindungi korporasi terhadap perbuatan buruk orang dalam, selfdealing, dan konflik kepentingan; menetapkan peran dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi, dan Komite, termasuk sistem remunerasi menyajikan informasi secara wajar/pengungkapan penuh material apapun; mengungkapkan equal job opportunity. b. Disclosure dan Transparency. Hak-hak para pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai
112
KNKG, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia; (Jakarta, Komite Nasional Kebijakan Governance 2006); hlm. 5-6 113 Wilson Arafat, Op.cit., hlm 3.
Universitas Sumatera Utara
perubahan-perubahan mendasar atas perusahaan dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan dan turut memperolrh bagian dari keuntungan perusahaan. Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan mengembangkan sistem akuntansi yang berbasiskan standar akuntansi dan best practice yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas; mengembangkan information technology (IT) dan management information system (MIS) untuk menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif oleh manajemen yang memastikan bahwa semua resiko signifikan telah diidentifikasi, diukur dan dapat dikelola pada tingkat toleransi yang jelas, mengumumkan jabatan kosong serta terbuka. c. Accountability. Tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif berdasarkan balance of power antara manajer, pemegang saham, dewan
komisaris
dan
auditor.
Hal
ini
merupakan
bentuk
pertanggungjawaban manajemen kepada perusahaan dan para pemegang saham. Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan menyiapkan laporan keuangan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat, mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi audit internal sebagai mitra bisnis strategic berdasarkan best practices. Transformasi menjadi risk-base audit; menjaga manajemen kontrak yang bertanggung
Universitas Sumatera Utara
jawab dan menangani pertentangan; penegakan hukum; menggunakan external auditor yang memenuhi syarat. d. Responsibility. Peranan pemegang saham harus diakui sebgaimana ditetapkan oleh hukum dan kerjasama aktif antara perusahaan serta para pemegang kepentingan dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja, dan perusahaan yang sehat dari aspek keuangan. Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang menyadari adanya tanggung jawab social; menghindari penyalahgunaan kekuasaan; menjadi professional dan menjunjung etika; memelihara lingkungan bisnis yang sehat.
B. Penerapan Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Berdasarkan prinsip GCG, pemerintah Indonesia melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT). Pada saat pemerintah memberikan keterangan rancangan undang-undang tersebut kepada DPR, salah satu tujuan pembaharuan
undang-undang
perseroan
terbatas
adalah
untuk
mendukung
implementasi GCG. Alasan pemerintah berdasarkan hasil dari riset, seperti laporan Credit Lyonnais Securitas Asia (CLSA) tentang corporate governance tahun 2003, di mana posisi Indonesia berada paling bawah di kawasan Asia dengan memberikan
Universitas Sumatera Utara
skor 1,5 untuk masalah penegakan hukum, 2,5 untuk mekanisme institusional, dan 3,2 untuk budaya corporate governance. Hasil riset ini menunjukkan bahwa dunia usaha Indonesia paling buruk dalam menerapkanprinsip-prinsip GCG. 114 Pada bulan Juni 2006, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) merilis persepsi standar corporate governance. Dari 12 negara yang di survei, Indonesia menduduki posisi ke-10. Hal tersebut menunjukkan meski sejak diperkenalkan prinsip GCG di tahun 1999, dan terbentuknya Komite Nasional Corporate Governance yang kemudian berhasil melahirkan Code for Good Corporate Governance, ternyata belum membawa perubahan yang signifikan bagi perkembangan perusahaan di Indonesia. Padahal dalam GCG banyak isu-isu yang terkait, seperti insider trading, transparansi, akuntabilitas, independensi, etika bisnis, tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility (CSR)), dan perlindungan terhadap investor. 115 Konsep GCG ini di Indonesia diperkenalkan oleh International Monetary Fund (IMF) pada saat melakukan “economy recovery” pascakrisis, khususnya dalam upaya melindungi pemegang saham (shareholders) dan kreditor untuk dapat memperoleh kembali investasinya. Konsep GCG menekankan pada sistem pengelolaan perusahaan yang saling sinergi antara shareholders dan stakeholders. 116
114
Busyra Azheri, Op.cit., hlm. 178 Joni Emirzon, Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance, (Yogyakarta: Genta Perss, 2007), hlm. 6-7 116 Indra Surya & Ivan Yustiavandana, Op.cit., hlm. 24 115
Universitas Sumatera Utara
Terminologi coporate governance dalam konteks perusahaanlebih terfokus pada perusahaan untuk menjamin pelaksanaan semua kewajiban yang dibebankan kepadanya, dan sekaligus sebagai jaminan bahwa direksi hanya melakukan kegiatan bisnis semata-mata demi kepentingan perusahaan. Dalam perkembangannya, pemahaman corporate governance menjadi lebih luas, tidak hanya kewajiban direksi kepada perusahaan, tetapi mencakup kewajiban direksi kepada perusahaan dalam arti keseluruhan. Sehingga corporate governance lebih mengarah pada jaminan board directors untuk melaksanakan segala kewajibannya kepada ownership dan perusahaan dikendalikan serta dijalankan hanya untuk tujuan menambah nilai kekayaan ownership itu sendiri. 117 Stakeholders adalah kelompok atas individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh aktivitas Perseroan. Dari definisi tersebut terlihat bahwa stakeholders dapat diartikan sebagai semua pihak yang mempunyai kepentingan atau berhubungan dengan kegiatan Perseroan. 118 Menurut David Wheeler dan Maria Sinlapaa berdasarkan prioritasnya, stakeholders dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori: 119 a. Primary Stakeholders yaitu para pemegang saham, investor, karyawan dan manajer, supplier dan rekanan bisnis serta masyarakat setempat.
117
Kala Anandarajah, “The New Corporate Governance Code in Singapore”, Journal of International Finansial Markets, Volume 3 (6), 2001, hlm. 262. Dalam Ridwan Khairandy & Camelia Malik, Good Corporate Governance, (Yogyakarta: Total Media), 2007, hlm. 61. 118 Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Ray Indonesia), hlm. 50. 119 Ibid
Universitas Sumatera Utara
b. Secondary stakeholder yaitu pemerintah, institusi (asosiasi) bisnism kelompok social masyrakat, media, akademis, dan pesaing. Sebagaimana diketahui bahwa prinsip dasar good corporate governance secara umum di Indonesia ada 5 (lima) yaitu: a. b. c. d. e.
Transparency (Transparansi) Accountability (Akuntabilitas) Responsibility (Pertanggungjawaban) Independency (kemandirian) Fairness (kewajaran dan kesetaraan)
Dari kelima prinsip tersebut yang menjiwai dasar GCG, OECD sebagai salah satu organisasi yang menjadi pionir dalam pengembangan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG), memasukkan primary stakeholders dalam hal ini Pemegang Saham (pemegang saham mayoritas maupun minoritas, asing maupun domestic) sebagai kepentingan utama dalam pengembangan perusahaan. Hal ini cukup logis, mengingat perusahaan pasa dasarnya timbul dari perjanjian 120 yang dibuat oleh para pemegang saham. Hanya saja karena, bentuk perusahaan berupa badan hukum, maka terjadi pemisahan antara kepemilikan dan control atas perusahaan. Berdasarkan pemisahan tersebut, kepentingan pemegang saham harus lebih diutamakan, karena pemegang saham hanya dapat mengawasi jalannya usaha, yang biasanya diwakili oleh dewan komisaris. 121
120
Perjanjian ini berupa perjanjian mengambil bagian dalam modal saham yang berarti selanjutnya pemegang saham menjadi debitor bagi perseroan. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa pada saat pendirian paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh. 121 Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance: Mengesampingkan Hak-hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2006), hlm.74.
Universitas Sumatera Utara
Kepentingan sebagaimana
pemegang
diungkapkan
saham
dalam
teori
semata-mata
merupakan
stakeholders. 122
Teori
kepentingan stakeholders
(Stakeholders theory) dikembangkan oleh Stanford Research Institute (SRI) di tahun 1960, sebagai reaksi pemahaman lama mengenai perusahaan perseroan, yang sematamata demi kepentingan pemegang saham. Menurut teori Stakeholders, Stakeholders mencakup semua pihak yang berkepentingan dalam perseroan, tetapi tidak terbatas pada pemegang saham, karyawan, pemasok, pelanggan, distributor dan masyarakat yang ikut memberikan kontribusi untuk terhadap keberhasilan perseroan serta menanggung dampak dari kegiatan usaha perseroan. Teori Stakeholders tersebut dikemukakan oleh Thomas Donaldson yang menyatakan bahwa manajemen suatu Perseroan harus memperhatikan kepentikan stakeholders , baik yang berasal dari grup atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh maksud dan tujuan Perseroan. Seperangkat prinsip umum yang dikembangkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), dapat disimpulkan bahwa corporate governance berkaitan dengan upaya menciptakan hubungan manajemen perusahaan yang efektif antara struktur yang ada, sehingga terwujud suatu sistem check and balance, serta mencegah mismanajemen dan penyalahgunaan asset serta memberikan rangsangan pada manajemen untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. 123
122
Misahardi Wilamarta, Pertangungjawaban Direksi dan Komisaris Atas Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perseroan Terbatas Serta Perlindungan Hukum Terhadap Shareholders Dan Stakeholder. (Depok: Center for Education and Legal Studies, 2006), hlm.30. 123 Busyra Azheri, Op.cit., hlm. 186
Universitas Sumatera Utara
Atas dasar prinsip GCG tersebut, maka Pasal 2 Keputusan Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembina Badan Usaha Milik Negara No. KEP-23/M-PM.PBUMN/2000 tanggal 13 Mei 2000 tentang Pengembangan Praktik Good Corporate Governance dalam Perusahaan (Persero) menegaskan bahwa Good Corporate Governance adalah prinsip perusahaan yang sehat yang perlu diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan. Oleh karena itu, penerapan prinsip GCG amat tergantung pada kondisi perusahaan, sehingga masing-masing perusahaan diharapkan membuat standar GCG (best practices) dengan memperhatikan bebrapa aspek GCG, yaitu: 124 a. Tujuan Perusahaan (corporate objective) Berkaitan dengan upaya perusahaan menjamin sustainable bisnis untuk jangka panjang dan menjaga hubungan dengan shareholders yang efektif. Perusahaan seharusnya mengungkapkan informasi secara akurat, memadai, dan tepat waktu, transparan terhadap investor tentang akuisisi, hak dan kewajiban kepemilikan, serta penjualan saham. b. Hak suara (voting rights) Perusahaan harus menjamin hak suara dari setiap ownership dan mewajibkan adanya keterbukaan (disclosure) yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan.
124
Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini, Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahan, (Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia, 2004), hlm. 16-17.
Universitas Sumatera Utara
c. Non-Executive Corporate Board Melibatkan anggota non-executive yang independen dalam jumlah dan kompetensi yang memadai. Non-executive sebaiknya tidak kurang dari 2 (dua) orang yang sama banyaknya dengan substansial majority. Komite audit, remunerasi, dan nominasi sebaiknya beranggotakan non-executive. d. Kebijakan Remunerasi Perusahaan (corporate remuneration policy) Sebaiknya dalam laporan tahunan perusahaan mengungkapkan (disclose) kebijakan board tentang remunerasi, sehingga investor dapat memutuskan apakah praktik dan kebijakan remunerasi telah sesuai dengan standar, kepatutan, dan kepatuhan. e. Fokus Strategi (strategic focus) Setiap modifikasi atas bisnis utama (core business) harus dilakukan atas persetujuan shareholders. Begitu pula halnya bila terjadi perubahan yang signifikan pada perusahaan dan secara materiil berperngaruh melemahkan ekuitas atau mengikis economic interest atau hak kepemilikan saham dari pemegang saham yang ada. f. Kinerja Operasional (operating performance) Board directors harusnya memfokuskan perhatiannya pada corporate governance framework dalam upaya mengoptimalkan kinerja perusahaan. g. Shareholders Returns
Universitas Sumatera Utara
Board directors
harus memfokuskan perhatiannya pada corporate
governance framework dalam upaya mengoptimalkan returns
kepada
shareholders. h. Corporate Citizenship Perusahaan harus tunduk dan taat pada berbagai ketentuan perundangundangan yang berlaku pada ketentuan undang-undang yang berlaku pada wilayah hukum di mana perusahaan melakukan bisnisnya. i. Implementasi Corporate Governance Apabila suatu negara telah mempunyai code dalam rangka praktik GCG, maka perusahaan harus melaksanakannya. Prinsip GCG dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang 2007 (UUPT) dalam memberikan perlindungan terhadap pemegang saham: a.
Transparency
Merupakan kepentingan dari para pemegang saham untuk mendapatkan informasi material suatu Perseroan. Hal ini akan berkaitan dengan dua permasalahan, yaitu: 125 (1) Pemenuhan informasi penting yang berkaitan dengan kinerja suatu Perseroan sebagai bahan pertimbangan bagi para pemegang saham atau calon investor untuk menanamkan modalnya.
125
Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance: Mengesampingkan Hak-hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2006), hlm.74.
Universitas Sumatera Utara
(2) Perlindungan terhadap kedudukan pemegang saham dari penyalahgunaan wewenang dan penipuan yang dapat dilakukan oleh direksi Perseroan. Pemenuhan informasi material 126Perseroan secara tepat waktu, benar dan teratur yang dapat mempengaruhi pertimbangan para pemegang saham dalam pengambilan keputusan, merupakan kewajiban dari Direksi dan atas pengawasan Dewan Komisaris untuk mengungkapkannya (disclosure), kewajiban tersebut terkait dengan prinsip accountability (akuntabilitas) dari Direksi dan Dewan Komisaris. Kewajiban Direksi mengenai pengungkapan informasi Perseroan di dalam UUPT harus dilakukan dalam bentuk laporan tahunan, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) dan (2) UUPT yang menyatakan bahwa : 127 (1) Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat sekurang-kurangnya: a. laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir tahun buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan tersebut; b. laporan mengenai kegiatan Perseroan; c. laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; d. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha Perseroan; e. laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Dewan Komisaris selama tahun buku yang baru lampau; 126
Informasi atau Fakta Material adalah informasi atau fakta penting dan relevan, mengenai peristiwa, kejadian atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek dan atau keputusan pemodal, calon pemodal atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. 127 Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 tahun 2007, LN No. 106 tahun 2007, TLN No. 4756, ps. 66 ayat (1) dan (2).
Universitas Sumatera Utara
f. nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; g. gaji dan tunjangan bagi anggota Direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris Perseroan untuk tahun yang baru lampau. Berkaitan dengan kewajiban Direksi tersebut diatas dalam memberikan laporan tahunan, UUPT kembali menitikberatkan pada pemberian informasi mengenai laporan keuangan dengan sanksinya apabila informasi yang diberikan tidak benar atau menyesatkan. 128 Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada para pemegang saham mengenai keadaan finansial suatu Perseroan, dimana memberikan jaminan dan kepastian bahwa harta kekayaan dari para pemegang saham dipergunakan oleh Perseroan sesuai peruntukannya. Perlindungan terhadap para pemegang saham dan calon pemegang saham yang cenderung melihat kondisi Perseroan dari laporan keuangan untuk menanamkan uangnya tanpa melihat kondisi Perseroan secara mendalam. Kewajiban akan memberikan informasi Perseroan secara tepat waktu, benar dan teratur juga diatur dalam hal penyelenggaran Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi wajib memberikan informasi Perseroan yang berhubungan dengan mata acara rapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa : 129 “Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang
128
Pasal 69 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal laporan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan… pasal 69 ayat (3) 129 Pasal 75 ayat (2) UUPT
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan.” Hal tersebut dimaksudkan memberikan perlindungan terhadap pemegang saham agar dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai hal-hal yang mempengaruhi eksistensi perusahaan dan hak pemegang saham. Meskipun dalam kenyataannya masih banyak Perseroan yang mengabaikan hal ini dalam memberikan bahan yang berkaitaan dengan agenda rapat. Sebagimana diatur di dalam UU Perseroan, bahan-bahan RUPS harus disediakan pada saat pemanggilan dilakukan yaitu 14 hari sebelum RUPS dilaksanakan. Biasanya pengumuman pemanggilan tersebut dicantumkan pula tentang tersedia bahan RUPS di kantor Perseroan. Praktek yang dijumpai dalam riset, dengan mengambil RUPS tahunan hanya, hanya 34% responden yang menyediakan pada saat pemanggilan sedangkan sisanya memberikan pada saat pemanggilan sedangkan sisanya memberikan pada saat RUPS . Hal ini tentu saja mengurangi hak pemegang saham untuk memperoleh informasi yang tepat waktu serta memberikan kesempatan yang cukup mempelajari bahan-bahan RUPS. Akibatnya yang terjadi, RUPS hanya sekedar “seremonial” pengesahan agenda-agenda yang sudah disusun berdasarkan keinginan pemegang saham mayoritas. 130 Prinsip perolehan informasi yang relevan mengenai perseroan pada waktu yang tepat seringakali tidak diterapkan, kecuali pada perseroan publik, itupun tidak 130
Hindarmojo Hinuri, ed., The Essence of Good Corporate Governance; Konsep dan Implementasi pada Perusahaan Publik dan Korporasi Indonesia (Jakarta: Yayasan pendidikan Pasar Modal Indonesia & Sinergy Communication, 2002), hlm. 65.
Universitas Sumatera Utara
semuanya. Terlebih perseroan privat yang berskala menengah dan kecil yang kebanyakan tidak tercatat, bahkan sangat jarang dilakukan pertanggungjawaban Direksi pada tiap akhir tahun buku perseroan apalagi dilakukan audit. b. Accountability Prinsip akuntabilitas berkaitan erat dengan prinsip transparansi, karena dengan prinsip akuntabilitas, segala informasi material yang telah diberikan dapat diolah sedemikian rupa sehingga didapatkan bahan yang komprehensif dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja suatu Perseroan. Prinsip ini juga turut mendukung keberadaan doktrin fiduciary duties yang pada dasarnya memberikan konsep normatif mengenai wewenang dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris dalam menjalankan Perseroan, sehingga doktrin tersebut dapat diimplementasikan secara konkret. 131 Doktrin dari fiduciary duties dimaksud adalah berkaitan dengan tugas kepercayaan yang diberikan oleh Perseroan dalam melakukan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan itu sendiri, dimana Direksi dalam melaksanakan fiduciary duties-nyadituntut untuk bertindak dengan asas: 1. duty of good faith, dan 2. duty of disclousure. Asas pertama dari fiduciary duties, yaitu duty of good faith terkandung kewajiban bagi Direksi untuk hanya mengutamakan kepentingan perseroan sematamata, serta tidak untuk memanfaatkan kedudukannya (corporate opportunity) sebagai 131
Ibid., hlm 78
Universitas Sumatera Utara
Direksi untuk memperoleh manfaat baik langsung maupun tidak langsung dari Perseroan secara tidak adil. Hal ini dicontohkan dalam kewajibannya untuk sebisa mungkin menghindari terjadinya keadaan dimana kepentingan dan kewajiban pribadi Direksi berada dalam benturan kepentingan dengan kepentingan Perseroan dan atau kewajiban Direksi terhadap Perseroan (conflict of interest), serta untuk memanfaatkan harta kekayaan Perseroan untuk kepentingan dirinya sendiri (self dealing). 132 Terkait dengan asas duty of good faith dimana Direksi maupun Dewan Komisaris diharuskan untuk mengutamakan kepentingan Perseroan semata-mata dan dengan itikad baik dalam menjalankan Pengurusan Perseroan di dalam UUPT bagi : Fiduciary Duties dari Direksi, diatur dalam Pasal 92 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa : 133 (1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Kemudian dipertegas dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) UUPT yang terkandung asas good faith dimana menyatakan bahwa : 134 (1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). (2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
132
Gunawan Widjaja, Resiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hlm 47. 133 Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 tahun 2007, LN No. 106 tahun 2007, TLN No. 4756, ps. 92 ayat (1). 134 Pasal 97 ayat (1) dan (2)
Universitas Sumatera Utara
Selain wewenang diatas, di ayat berikutnya UUPT juga mengatur pertanggungjawaban atas wewenang yang diberikan apabila Direksi salah atau lalai dalam menjalankan wewenangnya : (3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Fiduciary Duties dari Dewan Komisaris, diatur dalam Pasal 108 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa : 135 (1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan member nasihat kepada Direksi. Kemudian dipertegas dalam Pasal 114 ayat (1) dan (2) UUPT yang terkandung asas good faith dimana menyatakan bahwa : 136 (1) Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) (2) Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Selain wewenang diatas, di ayat berikutnya UUPT juga mengatur pertanggungjawaban atas wewenang yang diberikan apabila Dewan Komisaris salah atau lalai dalam menjalankan wewenangnya : 137
135
Pasal 108 UUPT Pasal 114 ayat (1) dan (2) UUPT 137 Pasal 114 ayat (3) 136
Universitas Sumatera Utara
(3) Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Kemudian asas duty of good faith mensyaratkan agar Direksi tidak mengambil keuntungan pribadi atas setiap transaksi yang dilakukannya. Pada pokoknya terkait dengan masalah benturan kepentingan (conflict of interest), yaitu adanya pertentangan kepentingan antara kepentingan dan kewajiban anggota direksi pribadi dengan kepentingan perseroan atau kewajiban anggota direksi tersebut terhadap perseroaan. Benturan kepentingan ini merupakan bagian dari prinsip independency (kemandirian). Dengan mengetahui ada tidaknya keadaan benturan kepentingan ini, maka efek dari kemungkinan terjadinya kerugian bagi perseroan khususnya pemegang saham sebagai akibat dari benturan kepentingan ini dapat dihindari atau dihilangkan sama sekali. Untuk itulah maka pada umumnya setiap anggota direksi diwajibkan untuk melaporkan pemilikan saham miliknya dan keluarganya sebagaimana diatur dalam Pasal 101 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa : 138 (1) Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.
138
Pasal 101 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
Selain itu Direksi juga harus bertanggungjawab atas kerugian sebagai akibat dari benturan kepentingan sebagaimana diatur dalam ayat berikutnya: 139 (2) Anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan tersebut. Selanjutnya asas kedua dari fiduciary duties, yaitu duty of disclousure merupakan kewajiban bagi Direksi maupun Komisaris, yang berkaitan dengan prinsip yang pertama yaitu prinsip transparency (transparansi), yaitu pengungkapan secara tepat waktu, benar dan teratur dalam hal pemberian laporan tahunan khususnya laporan keuangan 140 dan begitu juga tranparansi dalam memberikan bahan rapat sebagai perlindungan terhadap pemegang saham agar dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Akuntabilitas Direksi kepada pemegang saham di atas tidak dapat dijalankan dengan baik tanpa pengungkapan informasi Perseroan secara transparan. Hal itu disebabkan karena pengungkapan informasi Perseroan secara transparan, akurat dan tepat waktu merupakan salah satu sarana penting bagi pemegang saham untuk mengawasi jalannya Perseroan. Pengungkapan informasi Perseroan secara transparan menjadi salah satu sarana untuk menerapkan sistem pengendalian intern Perseroan. Dengan sistem pengendalian intern yang efektif, Perseroan dapat terhindar dari kerugian besar karena hal-hal yang sebelumnya tidak pernah diduga bakal terjadi.
139 140
Pasal 101 ayat (2) Pasal 66 ayat (1) dan (2)
Universitas Sumatera Utara
c. Responsibility Prinsip responsibility merupakan perwujudan dari tanggung jawab suatu Perseroan untuk mematuhi dan menjalankan setiap aturan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara asalnya atau tempatnya berdomisili secara konsekuen. Termasuk peraturan di bidang lingkungan hidup, persaingan usaha, ketenagakerjaan, perpajakan, perlindungan konsumen dan sebagainya, sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di tiaptiap negara. 141 Pertanggungjawaban Perseroan dalam mematuhi peraturan perundangundangan merupakan kerangka dari tata kelola Perseroan yang baik yaitu sebagai wujud dari hukum itu ditegakkan atau dipatuhi. Dengan dipatuhinya semua peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh Perseroan akan memberikan citra positif bagi suatu Perseroan, baik di mata pemerintah maupun di mata masyarakat luas. Sedangkan bagi pemegang saham akan berdampak pada nilai dari saham itu sendiri dan memberikan kepastian mengenai kelanjutan usaha . Perseroan (corporate sustainability), begitu juga dengan calon investor mempunyai alasan yang kuat untuk menanamkan modalnya. Pertanggungjawaban Perseroan pada masyarakat dan lingkungan, merupakan usaha untuk menjaga kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
141
Joni Emirzon, Op.cit., hlm. 98
Universitas Sumatera Utara
corporate citizen, pertanggungjawaban tersebut telah diatur dalam Pasal 74 UUPT yang menyatakan bahwa : 142 (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. d. Independency Independensi atau kemandirian adalah suatu keadaan dimana Perseroan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak maupun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Independensi atau kemandirian fungsi masing-masing Organ Perseroan di dalam Perseroan, merupakan suatu hal yang sangat krusial untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Perseroan begitu juga pemegang saham. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di dalam prinsip accountability (akuntabilitas), dimana self dealing sebagai bagian dari benturan kepentingan dapat dicegah dengan memberiakn kewajiban bagi Direksi dan Dewan Komisaris maupun keluarganya melaporkan kepemilikan sahamnya.
142
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas
Universitas Sumatera Utara
Selain itu juga dalam menjaga kemandirian masing fungsi Organ Perseroan, yaitu diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa : 143 (1) Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki oleh Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan. Ketentuan diatas dikenal dengan kepemilikan silang (cross holding) yang terjadi apabila Perseroan memiliki saham yang yang dikeluarkan oleh Perseroan lain yang memiliki saham Perseroan tersebut. Ada beberapa alasan dimana kepemilikan silang dilarang, dimana salah satunya berkaitan dengan prinsip independency (kemandirian) yaitu dilihat dari sisi manajemen, bahwa kepemilikan silang cenderung menyebabkan terjadinya percampuran antara pemilikan dan pengurusan Perseroan sehingga dalam hal ini manajemen tidak lagi independen satu terhadap yang lainnya. Akan tetapi hal tersebut terdapat pengecualian, dalam hal Perseroan membeli kembali saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan: a. pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih Perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan; dan b. jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh Perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh Perseroan sendiri dan/atau Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh Perseroan, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan 143
Pasal 36 UUPT
Universitas Sumatera Utara
dalam Perseroan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang undangan di bidang pasar modal. e. Fairness Prinsip fairness merupakan keharusan bagi sebuah Perseroan untuk memberikan kedudukan yang sama terhadap para pemegang saham (baik pemegang saham mayoritas atau minoritas, asing atau domestik), sehingga kerugian akibat perlakuan diskriminatif dapat dicegah sedini mungkin. Fairness diharapkan membuat seluruh asset Perseroan dikelola secara baik dan prudent (hati-hati) sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair (jujur dan adil). Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan. Fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin perlakuan yang adil diantara beragam kepentingan dalam perusahaan. Namun seperti halnya sebuah prinsip, fairness memerlukan syarat agar bisa diberlakukan secara efektif. Syarat itu berupa peraturan perundang-undangan yang jelas, tegas, konsisten dan dapat ditegakkan secara efektif. Hal ini dinilai penting karena akan menjadi penjamin adanya perlindungan atas hak-hak pemegang saham manapun, tanpa pengecualian. Peraturan perundang-undangan ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menghindari penyalahgunaan lembaga peradilan (litigation abuse). Diantara litigation abuse ini adalah penyalahgunaan ketidakefisienan lembaga peradilandalam mengambil keputusan sehingga pihak yang beritikad baik mengulur-ngulur waktu
Universitas Sumatera Utara
kewajiban yang harus dibayarkannya atau bahkan dapat terbebas dari kewajiban yang harus dibayarkan. Perlindungan hak-hak pemegang saham. Hak-hak dasar pemegang saham yang harus dilindungi dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu: 1. Hak-hak yang berkaitan dengan kepemilikan perusahaan, dan 2. Hak-hak yang diciptakan sebagai konsekuensi pemisahan fungsi pemegang saham dan Dewan Pengurus atau Board of Directors serta manajemen perusahaan. Hak yang kedua ini lazim disebut hak ikut mengambil keputusan penting. 144 Atas saham yang dimiliki pemegang saham, maka saham tersebut memberikan secara prorata kepada pemegang saham ikut memiliki Perseroan. Hakhak yang dimiliki pemegang saham yang berkaitan dengan kepemilikan Perseroan, yaitu : 1. Menghadiri RUPS dan secara prorata ikut melakukan pemungutan suara; 2. Hak untuk menerima pembagian keuntungan Kedua hal tersebut diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa : 145 (1) Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk: a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; b. menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan likuidasi; c. menjalankan hak lainnya berdasarkan undang-undang ini.
144 145
Ibid Pasal 52 UUPT
Universitas Sumatera Utara
3. Hak untuk memperoleh laporan tentang kondisi dan perkembangan usaha dan keuangan Perseroan secara teratur dan akurat dan diungkapkan secara benar dan tepat waktu, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) dan (2) UUPT. Hak pemegang saham karena konsekuensi pemisahan antara pemilikan dan kontrol Perseroan yang lazim disebut hak ikut memutuskan hal-hal penting antara lain dalam hal: 1. Merger dan akuisisi 2. Penjualan atau pembelian harta tetap Perseroan Dalam Pasal 102 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa : (1) Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk: a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak. Dimana untuk persetujuan untuk kedua tindakan tersebut diatas harus dengan persetujuan mayoritas pemegang saham sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa : (1) RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
Universitas Sumatera Utara
suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Pelakuan adil terhadap seluruh pemegang saham. Di banyak Negara anggota dan non-anggota OECD perlakuan yang adil kepada seluruh pemegang saham dilakukan dengan jalan berikut: 146 1. Menetapkan semua pemegang saham yang setingkat (misalnya pemegang saham biasa) mempunyai hak yang sama. Hal tersebut secara tegas di dalam UUPT diatur dalam Pasal 53 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa : (2) Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama. Pada prinsipnya ketentuan ini mencerminkan perlakuan yang sama (fairness) diantara pemegang saham lainnya dengan klasifikasi saham yang sama yaitu dengan memberikan perlakuan satu saham satu suara (one share one vote), sebagaimana diatur dalam Pasal 84 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa: (1) Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain.
146
Studi Penerapan Prinsip-Prinsip OECD 2004 Dalam Peraturan BAPEPAM Mengenai Corporate Governance, Departemen Keuangan Republik Indonesia Bdan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu karakteristik perseroan di kawasan Asia Tenggara adalah terjadinya konsentrasi kepemilikan dan pengendalian pada sekelompok keluarga/grup usaha. Mengutip data PDBI misalnya pada tahun 1996, 58% dari 300 Perseroan besar (konglomerat) di Indonesia merupakan perusahaan yang mempunyai afiliasi pada keluarga (family business). Sedangkan dari 52 responden riset IICG terlihat bahwa pemegang saham pengendali (diatas 51%) terdapat di 31 perusahaan (59,8% dari seluruh responden). Jika sebelumnya konflik kepentingan dianggap terjadi antara pemilik modal (principal) dengan pengelola (agent), namun konsentrasi kepemilikan di suatu Negara mengakibatkan konflik kepentingan antara “pemegang saham mayoritas” dengan “pemegang saham minoritas” yang lemah kedudukannya. Namun demikian, Undang-undang Perseroan terbatas berdasarkan prinsip perlindungan dan kesetaraan (fairness) dalam GCG memberikan perlindungan yang diperlukan oleh pemegang saham minoritas dimana seringkali kedudukan pemegang saham minoritas berada di posisi yang lemah. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham minoritas tersebut berasal dari negaranegara yang menganut sistem common law, yang kemudian diadopsi oleh UUPT antara lain: 147 1. Perlindungan Hukum menurut Hak Perorangan (Personal Right) Personal Right merupakan hak perorangan yang dimiliki pemegang saham sebagai subjek hukum untuk menggugat kelalaian maupun kesalahan Direksi dan
147
Joni Emirzon, Op.cit. hlm. 98
Universitas Sumatera Utara
Dewan Komisaris sehingga merugikan pemegang saham. Hal tersebut diatur dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2) UUPT yang menyatakan bahwa : 148 (1) Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan yang wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. 2. Perlindungan Hukum melalui Appraisal Right. Appraisal Right merupakan hak pemegang saham agar sahamnya dinilai secara wajar dalam hal pemegang saham tidak menyetujui tindakan Perseroan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 62 ayat (1) dan (2) UUPT yang menyatakan bahwa : 149 (1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa: a. perubahan anggaran dasar; b. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dan 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; dan c. penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan atau Pemisahan. (2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga. 3. Perlindungan Hukum melalui Pre-emptive Right. Pre-emptive Right adalah kewajiban dari Perseroan terbatas untuk menawarkan terlebih dahulu kepada seluruh pemegang saham yang ada dalam Perseroan terbatas, dalam setiap penerbitan saham baru Perseroan terbatas dengan
148 149
Pasal 61 UUPT Pasal 62 UUPT
Universitas Sumatera Utara
tujuan peningkatan modal Perseroan terbatas, Hak untuk mengambil bagian saham baru tersebut besarnya harus sama dan seimbang dengan bagian kepemilikan saham masing-masing pemegang saham dalam Perseroan terbatas. Hal tersebut diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa : 150 (1) Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama. 4. Perlindungan Hukum melalui Derivative Right Derivative Right merupakan hak yang diberikan kepada seorang atau lebih pemegang saham untuk bertindak, untuk dan atas nama Perseroan melakukan tindakan hukum dalam bentuk pengajuan suatu gugatan terhadap anggota Direksi Perseroan yang telah melakukan pelanggaran terhadap fiduciary duties-nya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 97 ayat (6) UUPT yang menyatakan bahwa : (7) Atas nama Perseroan pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dan jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan gugatan melalui pengadilan negeri tehadap anggota Direksi yang karena kesalahannya atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Pasal 114 ayat (6) UUPT yang menyatakan bahwa : (6)Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri. 5. Perlindungan Hukum melalui Enqueterecht (Hak Angket) Enqueterecht merupakan hak yang diberikan kepada pemegang saham untuk mengajukan
150
Pasal 43 UUPT
Universitas Sumatera Utara
permohonan pemeriksaan terhadap Perseroan yang diduga telah melakukan kecurangan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 138 UUPT yang menyatakan bahwa : 151 (1) Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa : a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh: a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dan jumlah seluruh saham dengan hak suara; b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundangundangan, anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau c. kejaksaan untuk kepentingan umum. Kerangka GCG harus menjamin adanya pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif terhadap manajemen yang dilaksanakan oleh Dewan Komisaris, serta akuntabilitas dewan komisaris terhadap pemegang saham maupun perseroan. Jika dicermati prinsip ini juga tidak atau belum terakomodasi secara hakiki dalam hukum korporasi yang berlaku. Jika dicermati secara detail prinsip-prinsip GCG belum terakomodasi dalam aturan-aturan hukum perusahaan di Indonesia. Oleh karena itum prinsip-prinsip GCG menjadi salah satu alternatif dalam upaya mempercepat pemulihan sektor korporasi di Indonesia. Namun, ditemukan beberapa
151
Pasal 138 UUPT
Universitas Sumatera Utara
aspek dari prinsip-prisnip GCG yang belum diatur dalam hukum perusahaan di Indonesia sehingga penyalahgunaan wewenang masih sulit diatasi melalui hukum yang ada secara transparan. 152
152
Joni Emirzon, Op.cit. hlm. 169
Universitas Sumatera Utara