33
BAB II PRINSIP RESPONSIBILITAS DALAM KERANGKA GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)
A. Pengertian dan Latar Belakang Good Corporate Governance (GCG) Good Corporate Governance (GCG) atau dalam bahasa Indonesia yang berarti tata kelola perusahaan yang baik berasal dari istilah corporate governance. Istilah corporate governance sendiri berasal dari istilah governance yang secara umum diartikan dalam bahasa Indonesia disebut tata kelola. Sir Adrian Cadbury memberikan pengertian corporate governance yaitu keseimbangan antara tujuan ekonomi dan sosial serta tujuan individu dan tujuan komunitas. Di samping itu juga menekankan akuntabilitas dalam pengelolaan segala sumber daya yang memperhatikan seluruh kepentingan, baik individu, perusahaan dan masyarakat. 34 Menurut Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117 / M-MBU / 2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan Good Corporate Governance (GCG) pada BUMN, Corporate Governance adalah suatu prosedur struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika. Definisi ini menekankan pada keberhasilan usaha dengan memperhatikan akuntabilitas yang berlandaskan pada peraturan perundangan dan nilai-nilai etika serta memperhatikan stakeholders 34
BAPEPAM-LK, Studi Penerapan Prinsip – Prinsip OECD 2004 dalam Peraturan BAPEPAM mengenai Corporate Governance, (Jakarta: Departemen Keuangan RI BAPEPAM LK, 2006), hlm 6.
Universitas Sumatera Utara
34
yang tujuan jangka panjangnya adalah untuk mewujudkan dan meningkatkan nilai pemegang saham. 35 Corporate governance menurut John Lowry dan Alan Dignam adalah subjek yang memiliki banyak aspek. Tema utama dari corporate governance adalah masalah akuntabilitas dan tanggung jawab mandat. Hal terkait namun merupakan pembahasan yang terpisah dari fokus pembahasan pada dampak dari sistem corporate governance yaitu dalam efisiensi ekonomi dengan perhatian yang lebih besar pada kesejahteraan para pemegang saham. Selain itu ada aspek lain dari corporate governance seperti sudut pandang pemangku kepentingan atau stakeholders yang menuntut perhatian, transparansi, pertanggungjawaban atau responsibilitas serta keadilan lebih terhadap pihak-pihak selain pemegang saham misalnya terhadap karyawan, masyarakat, dan lingkungan. 36 Perhatian terhadap praktik tata kelola perusahaan di perusahaan modern telah meningkat pada awal tahun 2000-an hingga sekarang, terutama sejak keruntuhan perusahaan-perusahaan besar AS seperti Enron Corporation, Worldcom, dan Parmalat di Italia. Pentingnya penerapan Good Corporate Governance dalam suatu perusahaan baru diakui banyak pihak setelah terjadi skandal korporasi terbesar beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat seperti Enron Corporation, Health South, Tyco, dan WorldCom yang telah menurunkan tingkat kepercayaan investor dan publik terhadap perusahaan. 37 Dari hasil penyelidikan para regulator pemerintah dan analisis para cendekiawan manajemen 35 36
Ibid, hlm 8. http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_governance, diakses tanggal 29 September
2010. 37
Anup Agrawal & Sahiba Chadha, “Corporate Governance and Accounting Scandals”, Journal of Law and Economics, (Vol. 48, Oktober 2005), hlm 371.
Universitas Sumatera Utara
35
dapat disimpulkan penyebab utama tumbangnya perusahaan–perusahaan besar itu adalah karena lemahnya penerapan prinsip–prinsip good corporate governance mereka. Kelemahan penerapan prinsip good corporate governance itu dapat ditandai empat macam hal. Pertama adalah lemahnya peranan the board of directors dalam mengendalikan pengelolaan perusahaan. Board of directors kurang aktif dalam menganalisis startegi bisnis perusahaan. Kedua yaitu semakin bebasnya manajemen perusahaan mengelola harta dan utang perusahaan dan mengambil
keputusan–keputusan
penting
yang
bersangkutan
dengan
kelangsungan hidup perusahaan. Ketiga adalah tidak transparan, akurat dan tepat waktunya pengungkapan laporan perkembangan bisnis dan keuangan oleh board of directors kepada pemagang saham dan kreditor. Keempat yaitu dalam banyak kasus auditor yang mengaudit laporan keuangan perusahaan tidak bekerja di bawah pengawasan langsung komite audit dan tidak bebas dari pengaruh manajemen senior. 38 Sebagai reaksi terhadap kejatuhan banyak perusahaan publik di dunia secara tidak wajar. Pemerintah Amerika Serikat mengundangkan undangundang reformasi corporate governance yang sering disebut Sarbanes-Oxley Act. 39 Kejatuhan perusahaan–perusahaan besar belum berakhir. Kejatuhan perusahaan–perusahaan besar di Amerika Serikat berlanjut pada krisis ekonomi global pada tahun 2008. Krisis ekonomi global ini dimulai dari krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat (AS). Krisis ekonomi yang menimpa Amerika 38 39
Siswanto Sutojo et al, op.cit, hlm 32 Ibid, hlm 62.
Universitas Sumatera Utara
36
Serikat berasal dari kredit macet sektor perumahan AS atau hipotek/ mortgage. Krisis hipotek/mortgage berawal dari gagal bayarnya sejumlah kredit perumahan oleh warga Amerika Serikat sendiri. 40 Puncaknya Bear Stearns, perusahaan investasi dan keuangan terbesar di Amerika Serikat tumbang pada 11 Juli 2008. Mencegah hal serupa, pemerintah federal melalui Federal Housing Finance Agency (FHFA) pada 7 September 2008 mengambil alih dua perusahaan yaitu Fannie Mae dan Freddie Mac. Krisis keuangan di Amerika Serikat ini benar– benar menjadi krisis berskala global. Lehman Brothers pada 14 September 2008 mengajukan pailit ke pengadilan dan dikabulkan. 41 Kebangkrutan Lehman Brothers adalah yang terbesar sepanjang sejarah kebangkrutan AS. 42 Pada hari yang sama muncul pengumuman dijualnya perusahaan investasi dan keuangan Merryl Linch karena mengalami masalah likuiditas. 43 Krisis berlanjut setelah perusahaan asuransi American International Group (AIG) pada 16 September 2008 turut mengalami kelangkaan likuiditas dan gagal menemukan investor strategis, AIG masih bertahan dengan pemberian pinjaman penyelamatan dari bank sentral Amerika Serikat The Fed. 44 Begitu juga dengan Washington Mutual pada tanggal 26 September 2008 mengajukan pailit. Washington Mutual, Inc segera delisting dari perdagangan di New York Stock Exchange. 45
40
http://antoderman.blogspot.com/, diakses tanggal 1 Januari 2009. Faisal Basri & Haris Munandar, Lanskap Ekonomi Indonesia, (Penerbit : Kencana Prenada Media Group ,2009), hlm 544. 42 http://nasional.kompas.com/read/2008/09/17/07380260/lehman.menggoyang.dunia, diakes tanggal 17 September 2008. 43 Faisal Basri et al, op.cit, hlm 544. 44 Ibid, hlm 545. 45 http://en.wikipedia.org/wiki/Washington_Mutual, 2 Oktober 2010. 41
Universitas Sumatera Utara
37
Masalah krisis belum selesai muncul lagi skandal Goldman Sachs. Goldman Sachs melakukan ommision dalam investasi perbankan terhadap informasi vital tentang produk portofolio. 46 Ada dua kesalahan Goldman Sachs, yakni mengakali investor dan tak jujur kepada para investornya. 47 Ommision yang dilakukan Goldman Sachs ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance yaitu prinsip transparansi atau keterbukaan terutama mengenai informasi yang mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan dan mempengaruhi harga. Menurut ekonom A Prasetyantoko ada salah satu inti masalah yang menyebabkan kehancuran finansial Amerika Serikat adalah semata–mata kesalahan prosedur tata kelola yang mengakibatkan fenomena kegagalan (market failure). 48 Menurutnya, secara teknis krisis terjadi karena pelaku ekonomi terlalu ekspansif dan spekulatif dalam kebijakan keuangan sehingga tak mampu membayar kewajibannya. Untuk melunasi utangnya, seluruh aset harus dijual. Tipikal ini menurutnya disebut ekonomi gelembung (bubble). 49 Jadi dari pendapat ekonom A Prasetyantoko dapat diketahui salah satu penyebab krisis global 2008 adalah kesalahan dalam penerapan corporate governance di Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat akhirnya mengesahkan Undang-Undang Reformasi Sektor Keuangan yang lebih sering disebut Dodd-Frank Wall Street Reform Act dengan ditandatanganinya undang-undang tersebut oleh Presiden
46
TIME, 3 May 2010, hlm 22. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/17/12265119/Inilah.Dosa.Ganda.Gold man.Sachs, diakes tanggal 17 April 2010. 48 A. Prasetyantoko, Krisis Finansial Dalam Perangkap Ekonomi Neoliberal, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm 228. 49 Ibid, hlm 229. 47
Universitas Sumatera Utara
38
Barack Obama tanggal 21 Juli 2010 sebagai salah satu upaya untuk mengatasi krisis global di Amerika Serikat. 50 Undang-Undang ini memberi kewenangan baru kepada pemerintah untuk mengeluarkan perusahaan gagal keuangannya yang berpotensi membahayakan seluruh sistem. 51 Undang-undang juga menetapkan standar yang ketat dan pengawasan untuk melindungi konsumen dan ekonomi Amerika Serikat, investor dan bisnis, berakhir didanai dana talangan wajib pajak dari lembaga keuangan, memberikan sistem peringatan lanjutan pada stabilitas ekonomi, menciptakan aturan tentang kompensasi eksekutif dan tata kelola perusahaan, dan menghilangkan celah yang mengarah ke resesi ekonomi. 52 Presiden Barack Obama dalam pidatonya saat penandatanganan Dodd-Frank Wall Street Reform Act menyatakan undang-undang ini dirancang agar semua orang mengikuti aturan yang sama sehingga perusahaan bersaing dengan sehat berdasarkan harga dan kualitas bukan dengan trik dan jebakan. Menurutnya ini menuntut akuntabilitas dan pertanggungjawabkan dari semua pihak. 53 Konsep good corporate governance (GCG) di Asia juga mulai menjadi perhatian sejak terjadi krisis ekonomi Asia 1998 yang melanda negara-negara kawasan Asia dan juga Indonesia. Krisis ekonomi Asia 1998 ditandai dengan gejala keguncangan keuangan di Thailand sudah terlihat beberapa bulan
50
Undang - Undang tersebut diberi nama Dodd-Frank Wall Street Reform. Dodd diambil dari nama senator wakil Connecticut, Christopher Dodd, sedangkan Frank berasal dari nama anggota Kongres wakil Massachusetts, Barney Frank. 51 http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-internasional/1id194976, diakses tanggal 22 Juli 2010. 52 http://en.wikipedia.org/wiki/DoddFrank_Wall_Street_Reform_and_Consumer_Protecti on_Act, diakes tanggal 16 Oktober 2010. 53 http://www.whitehouse.gov/the-press-office/remarks-president-passage-financialregulatory-reform, diakes tanggal 15 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
39
sebelumnya, tetapi mulai terasa di negara-negara tetangga setelah Thailand mengambangkan kursnya pada awal Juli 1997. 54 Pada tahun 1999, Asian Development Bank (ADB) mengadakan survei tentang kelemahan penerapan corporate governance and finance di negara– negara Asia yang ekonominya paling parah terkena imbas krisis moneter tahun 1997. Negara-negara tersebut adalah Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Dalam survei ini ditemukan salah satu ciri khusus struktur kepemilikan dan kepengurusan perusahaan–perusahaan di kelima negara tersebut yaitu adanya konsentrasi kepemilikan perusahaan pada keluarga atau kelompok keluarga, bahkan pada perusahaan sekalipun. 55 Para pelaksana proyek riset Bank Dunia menulis sebuah paper untuk American Economic Review bulan Maret 2001 bahwa problem pengelolaan korporat Asia timur tiada lain lebih parah dari yang dikemukan para pengamat ketika puncak–puncaknya krisis finansial. Para peneliti juga menyimpulkan bahwa konsetrasi pengambilan dalam segelintir kelompok yang cukup besar untuk memanipulasi sistem politik negara berarti isu pentingnya adalah kemauan politik untuk menegakkan hukum dan regulasi yang tertulis. Poin terakhir ini penting karena ketidakmauan politisi yang duduk di pemerintahan untuk menegakkan norma–norma regulasi paling tidak sama pentingnya dengan kurangnya undang– undang sehingga menyebabkan para konglomerat bisa berbuat semaunya. 56 Jadi
54
Boediono, Ekonomi Indonesia Mau ke Mana? Kumpulan Esai Ekonomi, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm 83. 55 Siswanto Sutojo et al, op.cit, hlm 17. 56 Joe Studwell, op.cit, hlm 166.
Universitas Sumatera Utara
40
krisis Asia terjadi karena penerapan prinsip good corporate governance yang lemah dan sistem penegakan hukum yang lemah. Hal yang sama juga dijumpai pada waktu krisis Asia tahun 1998 melanda Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru di mana krisis ini mempengaruhi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menunjukkan faktor-faktor yang memberi kontribusi pada krisis di Indonesia. Pertama, konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi. Kedua, tidak efektifnya fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Ketiga, inefisiensi dan rendahnya transparansi mengenai prosedur pengendalian merger dan akuisisi perusahaan. Keempat, terlalu tingginya ketergantungan pada pendanaan eksternal dan kelima yaitu tidak memadainya pengawasan oleh para kreditor. 57 Selain itu, kajian Booz-Allen & Hamilton pada tahun 1998 menunjukkan bahwa indeks good corporate governance Indonesia adalah yang paling rendah di Asia Timur
dibandingkan Malaysia, Thailand, Singapura
dan Jepang. Hal
tersebut diperparah oleh inefisiensi hukum dan peradilan. Dalam studi yang sama ditemukan bahwa indeks efisiensi hukum dan peradilan di Indonesia paling rendah apabila dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Singapura dan Jepang. 58 Rendahnya good corporate governance adalah rendahnya transparansi dalam lingkungan bisnis di Indonesia. Indeks transparansi lingkungan bisnis yang dikeluarkan oleh Political & Economic Risk Consultancy (PERC) menunjukkan bahwa lingkungan bisnis di Indonesia relatif tidak transparan.Ketidaktransparanan 57
Mas Achmad Daniri, op.cit, hlm 63. Sofyan Djalil, “Good Corporate Governance”, Disampaikan pada Seminar Good Corporate Governance di Universitas Sumatera Utara pada tanggal 26 Juni 2000, hlm 3. 58
Universitas Sumatera Utara
41
ini memungkinkan tumbuh berkembangnya praktik-praktik korporasi yang tidak sehat yang tidak saja merugikan pemegang saham (publik/minoritas) dan Pemerintah, menyulitkan investor atau mitra memperhitungkan dengan cermat kualitas perusahaan mitra atau proyek investasi, meningkatkan premi resiko, dan pada akhirnya juga akan menyuburkan praktik KKN. 59 Jika ini dibiarkan terus berlanjut maka rendahnya transparansi dalam lingkungan bisnis, rendahnya efisiensi penegakan hukum, dan suburnya praktik KKN akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada praktik kroniisme, kolusi antara penguasa dan pengusaha, serta praktik–praktik monopolistik lainnya mungkin dapat menghasilkan laju yang tinggi tapi tidak sustainable karena tidak melahirkan kelompok yang mau memperjuangkan demokrasi, good governance, dan kepastian hukum. Yang muncul bukanlah kelompok pembaharu melainkan kelompok pemburu rente, bukan sistem ekonomi pasar yang penuh vitalitas, melainkan kapitalisme palsu, yang lebih kompatibel dengan oligarki daripada dengan demokrasi. 60 Jadi penerapan prinsip corporate governance dan penegakan hukum yang benar dan baik menjadi suatu kebutuhan di tengah-tengah rendahnya penerapan prinsip corporate governance oleh korporasi–korporasi di Indonesia dan penegakan hukum yang lemah di Indonesia.
59 60
Ibid, hlm 4. Boediono, op.cit, hlm 22.
Universitas Sumatera Utara
42
B. Konsep dan Pengaturan Good Corporate Governance (GCG) Konsep
tata
kelola
perusahaan/corporate
governance
merupakan
perkembangan dari konsep governance. Menurut Faisal Basri, konsep governance jika ditinjau secara umum dan dilhat dari aspek pelaku utamanya, konsep governance dapat dipilah menjadi tiga bagian. Pertama, public/political governance, yaitu proses di mana suatu masyarakat mengelola dirinya sendiri dan mengatasi berbagai persoalannya, dengan negara sebagai institusi utamanya. Kedua, economic governance, yaitu keseluruhan proses produksi dan distribusi berbagai barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat itu, dengan pihak swasta (perusahaan–perusahaan) sebagai institusi utamanya. Ketiga, social governance, yang berkenaan dengan sistem nilai dan keyakinan yang diharapkan dapat melandasi perilaku sosial dan pembuatan berbagai keputusan publik, dengan masyarakat sipil (civil society) sebagai institusi utamanya. 61 Dalam berbagai pembahasan, konsepsi governance secara umum mengacu pada public/political governance. Namun dari waktu ke waktu, situasi di lapangan menunjukkan bahwa yang harus disoroti dari jatuh bangunnya suatu bangsa, bukan hanya pemerintah/negara saja, melainkan juga perusahaan–perusahaan dan masyarakat sipilnya. 62 Maka untuk mewujudkan good governance tidak hanya negara tetapi juga perusahaan dan masyarakat sipil. Dalam konteks pembangunan ekonomi, maka negara dan pasar lebih dikedepankan sementara masyarakat sipil merupakan fokus pembangunan politik dan sosial. 63
61
Faisal Basri et al, op.cit, hlm 232. Ibid. 63 Ibid. 62
Universitas Sumatera Utara
43
Dalam konteks ekonomi, baik tidaknya negara dan pasar di suatu perekonomian dalam menjalankan tugasnya masing-masing dapat diukur dari berupa tinggi rendahnya daya saing perekonomian yang bersangkutan. Ada empat faktor utama yang menentukan daya saing secara langsung yaitu infrastruktur fisik, kinerja makroekonomi, efisiensi pemerintah, dan efisiensi bisnis. Pada hakekatnya, efisiensi pemerintah dapat dipadankan dengan kualitas political governance negara. Sedangkan efisiensi bisnis dapat disetarakan dengan tata kelola perusahaan/corporate governance. Dari apa yang diuraikan dapat dilihat akan pentingnya kerangka institusional publik dan privat yang menjelma sebagai political governance dan economic/ corporate governance.64 Seiring dengan modernisasi dan kemajuan ekonomi, seperti di negara– negara maju, peran langsung pemerintah atau negara dalam perekonomian semakin terbatas/dibatasi dan pada unumnya hanya sampai pada peran sebagai inisiator, regulator dan pengawas. Kedudukan negara sebagai pedagang dan pencari laba melalui perusahaan negara dianggap bertentangan dengan perannya yang lebih mendasar sebagai regulator sehingga lambat laun kegiatan itu ditinggalkan. Sebagai gantinya peran pelaksana berbagai kegiatan ekonomi khususnya sebagai produsen, distributor, dan pengelola segenap kegiatan pendukungnya diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta atau perusahaan– perusahaan. 65 Semakin maju sebuah perekonomian, semakin berperan sektor swasta sehingga peran, karakter, dan kualitas perusahaan semakin penting. Perusahaan 64
Ibid. Ibid, hlm 233.
65
Universitas Sumatera Utara
44
pada hakikatnya memang sebuah institusi pencetak keuntungan bagi pemilik perusahaan dan tidak ada kewajiban legal baginya untuk memperhatikan kepentingan pihak lain. Dalam perkembangannya, pemahaman akan hakikat perusahaan bergeser, karena perusahaan itu hidup di tengah masyarakat sehingga sesungguhnya perusahaan tidak mungkin mengabaikan kepentingan masyarakat di mana perusahaan itu hidup. Pengabaian kepentingan umum pada akhirnya akan merugikan perusahaan itu sendiri. Dengan demikian, sebuah perusahaan yang baik sesungguhnya bukan sekadar perusahaan yang mampu mencetak laba (untuk kepentingan shareholders), namun juga yang peka dan mau membantu pemenuhan kepentingan masyarakat banyak (stakeholders). 66 Bertolak dari hal yang diuraikan di atas, maka konsepsi good corporate governance pun menjadi semakin penting. Grup Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menetapkan empat prinsip umum good corporate governance yaitu keadilan (fairness), keterbukaan (transparency), tanggung jawab (accountability), dan pertanggungjawaban (responsibility). 67 Prinsip– prinsip dasar tersebut diuraikan sebagai berikut: 68 1. Keadilan (Fairness) Prinsip ini tercermin melalui keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan memberikan 66
Ibid. Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi (I), (Bandung : Books Terrace & Library, 2007), hlm 152. 68 I Nyoman Tjager, dkk., Corporate Governance-Tantangan dan Kesempatan bagi Komuitas Bisnis Indonesia, (Jakarta: PT. Prenhallindo, 2004), hlm 49. 67
Universitas Sumatera Utara
45
perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, melalui keterbukaan informasi serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam. Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan membuat peraturan korporasi yang melindungi kepentingan minoritas, membuat pedoman perilaku perusahaan (corporate conduct) dan/atau kebijakan-kebijakan yang melindungi korporasi terhadap perbuatan buruk orang dalam serta konflik kepentingan. Hal ini direalisasikan dengan menetapkan peran dan tanggung jawab dewan komisaris, direksi, dan komite, termasuk sistem remunerasi, penyajian informasi secara wajar dan pengungkapan
material
secara
penuh,
serta
mengedepankan
kesempatan kerja yang seimbangan (equal job opportunity). 69 2. Keterbukaan (Transparency) Prinsip ini menekankan pada keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Dalam hal ini, hak-hak para pemegang saham harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya serta dapat ikut berperan serta serta dalam pengambilan
69
keputusan
mengenai
perubahan-perubahan
yang
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
46
mendasar atas perusahaan dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan. 70 Prinsip
keterbukaan
diwujudkan
dengan
perusahaan
harus
menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Setiap perusahaan diharapkan dapat mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Selain itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan. 71 3. Akuntabilitas (Accountability) Prinsip ini terlihat melalui tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif antara manajer, pemegang saham, dewan komisaris, dan auditor secara seimbang. Hal ini merupakan bentuk kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban organ secara efektif. 72 Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan menyiapkan laporan keuangan
(financial
statement)
pada
waktu
yang
tepat;
mengembangkan komite audit dan resiko untuk mendukung fungsi pengawasan oleh dewan komisaris; mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit sebagai mitra bisnis yang strategis; menjaga manajemen kontrak yang bertanggung jawab dan 70
Ibid. Mas Achmad Daniri, op.cit, hlm 10. 72 I Nyoman Tjager, dkk., op.cit, hlm 49. 71
Universitas Sumatera Utara
47
menangani pertentangan (dispute); penegakan hukum melalui sistem penghargaan dan sanksi; serta menggunakan external auditor yang professional. 73 4. Responsibilitas (Responsibility) Prinsip responsibilitas adalah kesesuaian atau kepatuhan di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. 74 Prinsip responsibilitas ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggung jawab sosial, menghindari penyalahgunaan kekuasaan, menjadi profesional dengan tetap menjunjung etika dalam menjalankan bisnis, dan menciptakan dan memelihara lingkungan bisnis yang sehat. Selain itu, prinsip ini juga mengandung prinsip yang mencerminkan kinerja pengelolaan perusahaan yang baik dan mengakui stakeholders serta mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dengan stakeholders untuk menciptakan kemakmuran. Juga menciptakan kesempatan kerja yang didukung oleh kesehatan finansial dan adanya kerjasama antara perusahaan dengan stakeholders yang sangat membantu kinerja perusahaan dan tindakan perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial. 75 Selain itu, perusahaan dalam memenuhi pertanggungjawabannya kepada para pemegang saham dan stakeholders harus sesuai dengan hukum dan perundang–undangan yang berlaku. Juga perusahaan dituntut tidak hanya tunduk 73
Ibid. Mas Achmad Daniri, op.cit, hlm 9. 75 Ridwan Khairandy et al, op.cit, hlm 85. 74
Universitas Sumatera Utara
48
kepada Undang–Undang Perseroan Terbatas saja tetapi juga tunduk pada undang– undang yang lain seperti Undang–Undang Ketenagakerjaan, Undang–undang Anti monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Undang–undang Lingkungan Hidup. 76 Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: KEP117/M-MBU/2002 bahwa di samping keempat prinsip di atas, masih ada satu prinsip tambahan lagi, yaitu prinsip kemandirian (Independence). Prinsip ini diartikan sebagai suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Azhar Maksum mengatakan bahwa prinsip independence lebih mengarah kepada perusahaan berbentuk BUMN. 77 Prinsip–prinsip pokok corporate governance yang diuraikan di atas menurut A. Sofyan Djalil dapat dijabarkan ke dalam lima aspek utama. OECD menyusun prinsip-prinsip corporate governance yang dikelompokkan ke dalam kategori 78: a. Hak–hak pemegang saham. b. Perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham. c. Peranan stakeholders dalam corporate governance. d. Kewajiban pengungkapan (disclosure) dan transparansi (transparency).
76
Ibid, hlm 86. Azhar Maksum, “Tinjauan Atas Good Corporate Governance di Indonesia”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Akutansi Manajemen pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 17 Desember 2005, hlm 14. 78 Sofyan A. Djalil, op.cit, hlm 6. 77
Universitas Sumatera Utara
49
e. Tanggung jawab direksi dan komisaris. Terkait pengaturan good corporate governance dalam kerangka hukum nasional, Indonesia telah dilanda krisis ekonomi di sekitar tahun 1997/1998, sementara gerakan ke arah pembenahan kondisi corporate governance baru dimulai di tahun 1999 dengan terbentuknya Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG atau NCCG). 79 Pembentukan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance
melalui Surat Keputusan Nomor: KEP-
10/M.EJUIN/08/1999 tanggal 19 Agustus 1999. Keputusan ini diperbarui kembali dengan penggantian keanggotaan melalui Surat Keputusan Nomor KEP31/M.EKUIN/06/2000
tentang
pembentukan
Komite
Nasional
Mengenai
Kebijakan Corporate Governance. Komite Nasional Mengenai Kebijakan Corporate Governance kemudian berubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance dengan keputusan KEP-49/M.EKO/11/2004.80 Namun momen penting yang amat menentukan perjalanan konsep corporate governance di Indonesia lebih lanjut baru terjadi di tahun 2001, yaitu dengan tersusunnya sebuah pedoman good corporate governance (Indonesian Code) oleh NCCG bersama para pelaku bisnis. 81 Penerapan GCG dalam undang–undang Indonesia yang terkait dengan korporasi sudah diatur dalam Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007. Maka
79
Azhar Maksum, op.cit, hlm 15. Mas Achmad Daniri, op.cit, hlm 65. 81 Azhar Maksum, op.cit, hlm 15. 80
Universitas Sumatera Utara
50
menurut Dyah Permata Budi Asri, pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 harus mencerminkan pada hal-hal sebagai berikut : 82 a. Transparansi; yaitu
keterbukaan yang diwajibkan oleh Undang–Undang
seperti misalnya mengumumkan pendirian Perseroan Terbatas dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia ataupun Surat Kabar. Serta keterbukaan yang dilakukan oleh perusahaan menyangkut masalah keterbukaan informasi ataupun dalam hal penerapan management keterbukaan, informasi kepemilikan Perseroan yang akurat, jelas dan tepat waktu baik kepada shareholders maupun stakeholders. b. Akuntabilitas; yaitu dengan adanya keterbukaan informasi dala m bidang financial dalam hal ini ada dua pengendalian yang dilakukan oleh direksi dan komisaris. Direksi menjalankan operasional perusahaan, sedangkan komisaris melakukan pengawasan terhadap jalannya perusahaan oleh Direksi. Sehingga sudah sepatutnya dalam suatu perseroan, Komisaris Independen mutlak diperlukan kehadirannya. Sehingga adanya jaminan tersedianya mekanisme, peran dan tanggung jawab jajaran manajemen yang professional atas semua keputusan dan kebijakan yang diambil sehubungan dengan aktivitas operasional perseroan. c. Responsibility; yaitu pertanggungjawaban perseroan baik kepada shareholders maupun stakeholder dengan tidak merugikan kepentingan para shareholders maupun anggota masyarakat secara luas. Yang ditekankan dalam UndangUndang ini perseroan haruslah berpegang pada hukum yang berlaku. 82
http://www.janabadra.ac.id/docs/00-2411-7401.pdf, hlm 4-5, diakses tanggal 14 Agustus 2009.
Universitas Sumatera Utara
51
d. Fairness; yaitu prinsip ini menjamin bahwa setiap keputusan dan kebijakan yang diambil adalah demi kepentingan seluruh pihak yang berkepentingan baik itu pelanggan, shareholders ataupun masyarakat luas. Selain itu prinsip fairness ini tercermin dalam Pasal 53 ayat 2 “ Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama.” Pasal ini menunjukkan unsur fairness (non diskriminatif) antarpemegang saham dalam klasifikasi yang sama untuk memperoleh hak-haknya, seperti hak untuk mengusulkan dilaksanakannya RUPS, hak untuk mengusulkan agenda tertentu dalam RUPS dan lain–lain. Di pasar modal, penerapan GCG terutama yang berkaitan dengan keterbukaan telah diatur Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1995 yaitu termuat dalam Bagian kelima, Pasal 82-84, yaitu mengenai hal memesan efek terlebih dahulu, benturan kepentingan, penawaran tender, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. 83 Selain itu beberapa peraturan BAPEPAM terkait penererapan prinsip good corporate governance yaitu: 84 1. Peraturan BAPEPAM Nomor X.K.2 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan 2. Peraturan BAPEPAM No. VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan 3. Peraturan BAPEPAM No. IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu 83
Indra Surya & Ivan Yustiavanda, Penerapan Good Corporate Governance Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, (Jakarta : PT Kencana Prenada Media Group), hlm 119. 84 M. Irsan Nasarudin & Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm 235-236.
Universitas Sumatera Utara
52
4. Peraturan BAPEPAM No.IX.I.1 tentang Rencana dan Pelaksanaan RUPS 5. Peraturan BAPEPAM No. X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik 6. Peraturan BAPEPAM No. X.K.4 tentang Laporan Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum 7.
Peraturan BAPEPAM No. IX.H.1 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka
8.
Peraturan BAPEPAM No. IX.F.1 tentang Penawaran Tender
9.
Peraturan BAPEPAM No. X.K.5 tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimhonkan Pernyataan Pailit
10. Peraturan Bapepam No. IX.D.3 yaitu tentang Pedoman mengenai Bentuk dan Isi Prospektus dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. Pada tahun 2000, BAPEPAM juga mengeluarkan Surat Edaran Ketua BAPEPAM Nomor SE-03/PM/2000 tentang komite audit yang berisi himbauan perlunya komite audit dimiliki oleh setiap emiten. 85 Selain itu, dalam hal regulatory framework/kerangka regulasi terdapat beberapa peraturan yang terkait dengan GCG dan reformasi hukum pada umumnya yaitu Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Bank Indonesia, Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, Undang– Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan perubahan Undang–Undang Nomor 20
85
http://cgcgindonesia.org/.../PERKEMBANGAN%20GCG%20DI%20INDONESIA%20 short.ppt, hlm 24, diakses tanggal 8 Agustus 2010.
Universitas Sumatera Utara
53
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana korupsi, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. 86
C. Penerapan Prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam Pasar Modal Penerapan good corporate governance dalam pasar modal sangat ditekankan implementasi prinsip transparansi. Ini terlihat dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal sangat menekankan penerapan good corporate governance terutama penerapan transparansi (disclosure). Hal itu dapat dilihat dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 yang mengatur tentang pengertian keterbukaan pada Pasal 1 angka 25. Selain itu, pengaturan tersebut termuat dalam Bagian Kelima, Pasal 82-84 yakni mengenai hak memesan efek terlebih dahulu, benturan kepentingan, penawaran tender, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. 87 Dalam proses go public, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal mewajibkan prinsip keterbukaan (disclosure principle) yang meliputi dua fase yaitu mulai dari masa sebelum listing sampai masa sesudah listing. Fase sebelum listing dimulai pada saat perusahaan ingin melakukan go public, dan proses go public itu sendiri sudah mengharuskan emiten terbuka. 88 Jadi perusahaan terbuka tidak hanya harus mematuhi Undang-Undang Perseroan Terbatas tetapi juga harus mematuhi peraturan-peraturan pasar modal yang mencakup kewajiban perusahaan terbuka.
86
Mas Achmad Daniri, op.cit, hlm 68. Indra Surya et al, op.cit, hlm 119. 88 Adrian Sutedi, Segi – Segi Hukum Pasar Modal, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2009), hlm 98. 87
Universitas Sumatera Utara
54
Untuk lebih mengefektifkan penerapan GCG pada perusahaan maka Komisi Nasional GCG kemudian merumuskan Pedoman Good Corporate Governance (Code for Good Corporate Governance) versi 3.1. yang dapat digunakan
oleh
perusahaan–perusahaan
dalam
melaksanakan
corporate
governance. Kode GCG versi 3.1. memuat hal–hal antara lain, perlindungan hak– hak pemegang saham, perlakuan adil terhadap seluruh pemegang saham, peranan stakeholders, transparansi, serta direksi perusahaan. 89 Kode GCG versi 3.1. harus diimplementasikan dengan peraturan– peraturan dan kode ini tidak akan berarti apa–apa jika tidak disertai dengan pelaksanaan dan penegakan. Salah satu otoritas terkait yang mempunyai peluang untuk menerapkan prinsip–prinsip GCG yang terdapat dalam kode tersebut adalah BAPEPAM. Dikarenakan pasar modal merupakan salah satu sektor industri jasa keuangan yang sangat penting, maka sudah tepat kiranya jika BAPEPAM terus berupaya untuk mengintensifkan penerapan GCG pada perusahaan publik dan emiten. 90 Sejak 2000, BAPEPAM bersama–sama dengan pihak–pihak lain yang terkait, terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mendorong penerapan prinsip–prinsip GCG kepada semua pelaku di pasar modal Indonesia. Hal ini harus dilakukan mengingat penerapan GCG yang baik merupakan salah satu faktor yang mampu membangun dan mewujudkan pasar
89 90
M. Irsan Nasarudin et al, op.cit, hlm 99. Ibid, hlm 100.
Universitas Sumatera Utara
55
modal yang sehat. 91 Komnas GCG telah menghasilkan tiga belas bidang prinsip yang tertuang dalam Ref. 4.0 tanggal 31 Maret 2001, yaitu 92 : a. Hak dan tanggung jawab pemegang saham; b. Fungsi, tugas, dan kewajiban dewan komasaris; c. Fungsi, tugas, dan kewajiban dewan direksi; d. Sistem audit, termasuk peran auditor eksternal dan komite audit; e. Fungsi, tugas, dan kewajiban sekretaris perusahaan; f. Hak stakeholders dan akses kepada informasi yang relevan; g. Keterbukaan yang tepat waktu dan akurat; h. Kewajiban para komisaris dan direksi untuk menjaga kerahasiaan; i. Larangan penyalahgunaan informasi oleh orang dalam; j. Etika berusaha; k. Ketidakpatutan pemberian donasi politik; l. Kepatuhan pada peraturan perundang-undangan tentang proteksi kesehatan, keselamatan kerja, dan pelestarian lingkungan; m. Kesempatan kerja yang sama bagi para karyawan. Penerapan GCG yang tepat merupakan modal utama perusahaan untuk mendapatkan kepercayaan dari nasabah, investor, calon investor, dan stakeholders lainnya. Karena itu, prinsip-prinsip GCG harus dicapai dengan standar yang tinggi untuk mendukung tujuan bisnis, baik pertumbuhan usaha, profitabilitas, nilai tambah untuk stakeholders, serta meningkatkan kemampuan agar kelangsungan
91 92
Ibid. Azhar Maksum, op.cit, hlm 20.
Universitas Sumatera Utara
56
usaha jangka panjang dapat tercapai. 93 Beberapa contoh implementasi perusahaan publik di Indonesia dalam menerapkan GCG seperti : 1. PT Aneka Tambang Tbk Secara formal implementasi GCG dalam PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dimulai ketika perseroan mencatatkan sebagian sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada 3 Novermber 1997. Sejak itu sebagai perusahaan publik, PT Aneka Tambang Tbk dituntut untuk transparan dan independen. 94 PT Aneka Tambang Tbk memiliki Pedoman Kebijakan Perusahaan (PKP) guna memastikan agar kegiatan usahanya dilaksanakan secara adil, bertanggungjawab dan transparan. Menurut direktur utama PT Aneka Tambang Tbk, Alwin Syah Loebis, PKP merupakan kumpulan kebijakan yang disusun berdasarkan prinsip GCG sebagai acuan kegiatan dan pengambilan keputusan perusahaan serta sebagai pedoman dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian, sekaligus menjadi kriteria penguji dalam mengkaji kesahihan dari semua keputusan dan peraturan yang dikeluarkan PT Aneka Tambang Tbk. Selain itu dilakukan penyempurnaan standar etika (code of conduct) yang harus ditandatangani setiap tahunnya dan wajib ditaati seluruh insan PT Aneka Tambang Tbk. Standar (Code) perbaikan terhadap GCG menurut Alwin Syah Loebis terus dilakukan dan tiap tahun dilakukan assessment oleh konsultan independen. 95 Demi memastikan berjalannya prinsip GCG dibentuk lima komite yakni Komite Audit, Komite Pasca Tambang dan Lingkungan, Komite Manajemen 93
Ridwan Khairandy et al, op.cit, hlm 140. Investor, No. 202/XII/April 2010, hlm 92. 95 Ibid. 94
Universitas Sumatera Utara
57
Resiko, Komite Nominasi, Remunerasi dan Pengembangan SDM serta Komite Corporate Governance. Bila manajemen atau direksi melakukan pelanggaran GCG, para karyawan diberikan akses khusus melaporkan temuannya ke komisaris. Menurut Alwin Syah Loebis, sejak menerapkan prinsip GCG tersebut, PT Aneka Tambang Tbk memperoleh banyak manfaat yang kemudian berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Dimulai dengan keterbukaan informasi yang menimbulkan care & trust dari investor dan para stakeholder. Kepercayaan itu membuat lembaga kreditor dan masyarakat luas berminat menyerap pinjaman perusahaan dengan biaya murah sehingga perusahaan mengalami pertumbuhan yang berdampak pada peningkatan harga saham karena nilai perusahaan meningkat. 96 2. PT Telkom Indonesia Tbk PT Telkom Indonesia Tbk adalah salah satu perusahaan milik negara yang listing di BEI dan New York Stock Exchange. PT Telkom Indonesia Tbk dalam hal ini harus mematuhi peraturan BAPEPAM-LK dan Sarbanes Oxley 404. Dalam perkembangannnya PT Telkom Indonesia Tbk telah merumuskan dan menerapkan prinsip GCG sejak tahun 1988. Dari segi organisasi TELKOM terdiri dari Dewan komisaris, direksi, unit divisi. Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris dibantu oleh komite audit, komite nominasi dan remunerasi, serta pengkajian dan perencanaan perusahaan. 97 Sebagai usaha untuk meningkatkan penerapan GCG, direksi PT Telkom Indonesia membentuk
96 97
Ibid. Mas Achmad Daniri, op.cit, hlm 134.
Universitas Sumatera Utara
58
disclosure committee, komite pengawasan implementasi GCG dan proyek integrasi pengendalian internal perusahaan. 98 Untuk melengkapi kebijakan GCG yang ada, direksi menetapkan Kebijakan penerapan GCG di Telkom yang mengatur mekanisme kerja antara dewan komisaris dengan direksi, standar etika bisnis, kebijakan dan prosedur, pengendalian internal serta manajeman resiko. Sebagai kelanjutan atas kebijakan tersebut, telah ditetapkan etika bisnis Telkom yaitu dengan mengamalkan nilai-nilai Commited 2 U meliputi tiga nilai inti yaitu Customer value, excellent service, dan competent people. Serta lima langkah perilaku yaitu strecth the goals, simplify, involve everyone, quality is my job, dan rewards the winner. Dalam etika bisnis, etika Telkom menganut prinsip bisnis yang bermoral dalam menjalin hubungan dengan regulator dan stakeholder yang meliputi pedoman dalam menjaga hubungan dengan pelanggan, membangun sinergi dengan mitra kerja, upaya memaksimalkan profit kepada pemegang saham, menjaga persaingan yang sehat dengan kompetitor, mengemban tanggung jawab sosial dan masyarakat, serta membina hubungan dengan karyawan. 99
D. Pertanggungjawaban (Responsibilitas) Perusahaan Publik/Emiten dalam Menjalankan Keterbukaan Informasi kepada Investor dan Publik. Pertanggungjawaban (Responsibilitas) Perusahaan publik/emiten dalam pasar modal yaitu melaksanakan kewajiban keterbukaan informasi kepada 98 99
Ibid, hlm 135. Ibid, hlm 136.
Universitas Sumatera Utara
59
investor dan publik. Undang-undang pasar modal suatu negara termasuk Indonesia mewajibkan keterbukaan, walaupun negara tersebut telah mempunyai anti fraud. Suatu negara, walaupun telah mempunyai anti fraud, tetapi tidak mempunyai hukum yang mewajibkan keterbukaan bagi perusahaan akan dapat merugikan investor. Dalam keadaan itu perusahaan dapat memberikan informasi sepanjang perusahaan bersedia, atau perusahaan diam, tidak memberikan informasi atau memberikan infromasi tidak tepat waktu. Untuk mengantipasi keadaan itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) telah mewajibkan keterbukaan tetap harus ada. 100 Hal ini dikarenakan prinsip keterbukaan menjadi persoalan inti dari pasar modal dan merupakan jiwa dari pasar modal itu sendiri. Ini didasarkan pada keberadaan prinsip keterbukaan yang memungkinkan tersedianya bahan pertimbangan bagi investor sehingga ia secara rasional dapat mengambil keputusan untuk melakukan pembelian atau penjualan saham. 101 Kemudian, UUPM juga mengatur kewajiban keterbukaan secara subtansial menentukan pengungkapan informasi pada saat– saat yang telah ditentukan, dan yang lebih penting undang–undang tersebut mencakup pengawasan, waktu, tempat, dan bagaimana perusahaan melakukan keterbukaan. 102
100
Bismar Nasution, “Keterbukaan Dalam Perdagangan Saham Di Pasar Modal”, disampaikan pada Seminar Mengupas serta Mencermati Fenomena Tindak Pidana di Pasar Modal, pada Bina Manajemen Bisnis dan Investasi Dharma Nusantara, tanggal 8 Mei 2003, Jakarta, hlm 1. 101 William H. Beaver, “The Nature of Mandated Disclosure”, dikutip dari Richard A. Posner dan Kenneth E. Scott, ed, Economic of Corporation Law and Securities Regulation, (Boston, Toronto: Little, Brown & Company, 1980), hlm 317. 102 Frank H. Easterbrook & Daniel R. Fischel, “Mandatory Disclosure and the Protection of Investors”, Virginia law Review, (Vol. 70, 1984), hlm 680.
Universitas Sumatera Utara
60
Menurut Bismar Nasution, tujuan dari keterbukaan adalah: 103 Pertama, yaitu memelihara kepercayaan publik terhadap investor. Dalam hal ini, kepercayaan investor sangat relevan ketika munculnya ketidakpercayaan publik terhadap pasar modal yang pada gilirannya mengakibatkan pelarian modal secara besar-besaran dan seterusnya dapat mengakibatkan kehancuran pasar modal. Kedua, yaitu menciptakan mekanisme pasar yang efisien. Pasar yang efisien berkaitan dengan sistem keterbukaan wajib. Sistem keterbukaan wajib berusaha menyediakan informasi teknis bagi anggota saham dan profesional pasar. Ketiga, yaitu memberi perlindungan terhadap investor. Dengan adanya keterbukaan maka secara tidak langsung akan memberi perlindungan kepada investor, yang apabila dalam membuat perjanjian pembelian saham oleh investor, kemudian terdapat penipuan dalam bentuk perbuatan yang menyesatkan, misalnya pernyataan (misrepresentation) informasi, maka perlindungan investor tersebut dilihat dari sisi ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata hanya sebatas pembatalan perjanjian transaksi saham. Pada dasarnya pelaksanaan keterbukaan di pasar modal dilakukan melalui 3 tahap yaitu: Pertama, yaitu keterbukaan pada saat melakukan penawaran umum (primary market level). Kedua, yaitu keterbukaan setelah emiten mencatat dam memperdagangkan efeknya di bursa (secondary market level). Dan ketiga yaitu
103
Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, op.cit, hlm 9 – 11.
Universitas Sumatera Utara
61
keterbukaan karena terjadi peristiwa penting dan laporannya harus disampaikan secara tepat waktu. Peraturan perundang–undangan pasar modal Indonesia sangat menekankan keterbukaan sehingga mengaturnya secara rinci. Tetapi ini menjadi dilema di satu sisi hukum terus mengejar dengan merinci secara detail tentang hal–hal apa saja yang musti di-disclose oleh emiten atau perusahaan publik. Di lain pihak hukum juga harus memperoleh kepentingan tertentu dari pihak yang diwajibkan membuka informasi sehingga kepentingan–kepentingan tersebut sering kali bertentangan dengan kewajiban disclosure misalnya kepentingan emiten untuk tidak men-diclose tentang informasi yang tergolong rahasia perusahan. Karena itu suatu disclosure dalam pasar modal tidaklah semata–mata full tapi juga musti fair sehingga keterbukaan dalam pasar modal adalah full and fair disclosure. 104 Jadi, keterbukaan dalam pasar modal berarti keharusan pihak–pihak yang tunduk
pada
UUPM
termasuk
emiten
dan
perusahaan
publik
untuk
menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap efek yang dimaksud atau harga dari efek tersebut sesuai Pasal 1 angka 25 Undang–Undang No. 8 Tahun 1995. Informasi atau fakta material adalah informasi ataupun fakta penting yang relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta penting yang dapat memengaruhi harga efek pada bursa dan
104
Munir Fuady, Pasar Modal Modern Tinjauan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm 78.
Universitas Sumatera Utara
62
atau keputusan pemodal/calon pemodal atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi ataupun fakta tersebut. 105 Dalam
kaitannya
antara
prinsip
responsibilitas
dengan
prinsip
keterbukaan, emiten, perusahaan publik, dan perusahaan terbuka dalam menjalankan prinsip keterbukaan informasi yang bersifat material kepada investor publik, emiten atau perusahaan publik maupun perusahaan terbuka dalam melaksanakan prinsip keterbukaan tidak hanya memperhatikan kepentingan shareholder tetapi juga kepentingan stakeholders yaitu pemegang saham publik atau investor publik. Emiten atau perusahaan publik maupun perusahaan terbuka di pasar modal mendapatkan sebagian besar dana dari investor publik atau pemegang saham publik di mana mereka merupakan pemegang saham minoritas yang perlu dilindungi dengan aturan hukum. Walaupun emiten, perusahaan publik, dan perusahaan terbuka mendapat sebagian besar dana dari investor publik melalui pasar modal, namun pengambilan keputusan setiap keputusan bisnis masih ditentukan oleh direksi yang lebih mementingkan shareholders perusahaan. Karena itu, organ perseroan yang mempunyai fungsi pengawasan haurs memastikan
pengawsan
efektif
terhadap
direksi
ynag
harus
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang dibuatnya kepada perusahaan serta pemegang saham. Pertanggungjawaban kepada perusahaan merupakan syarat yang harus dijunjung tinggi oleh direksi karena melalui corporate
105
M. Irsan Nasarudin et al, op.cit, hlm 225.
Universitas Sumatera Utara
63
opportunity yang dimiliki direksi, maka direksi mempunyai kesempatan yang luas untuk mengalihkan keuntungan perseroan untuk kepentingan pribadi. 106 Di samping itu, investor publik biasanya adalah investor biasa (unsophisticated investors) yang umumnya kurang dapat mengakses informasi dibandingkan investor potensial yang profesional. Dari segi substansi diperlukan pelaksanaan penyamaan akses terhadap informasi di antara para pelaku pasar di mana cara penyamaan akses tersebut adalah suatu yang dibutuhkan investor untuk menjaga kepercayaan investor dan mencegah terjadinya penipuan. 107 Emiten atau perusahaan publik maupun perusahaan terbuka harus menyadari tanggung jawab yang merupakan konsekuensi logis dari investor publik yang mempunyai kepercayaan terhadap investor publik yang membeli saham perusahaan di pasar modal. Dalam menjalankan pertanggungjawaban (responsibilitas) pelaksanaan keterbukaan informasi kepada investor atau publik, emiten, perusahaan publik, maupun perusahaan berkewajiban untuk menyiapkan laporan keuangan (financial statement). Laporan keuangan tersebut disampaikan secara akurat, tepat pada waktunya dan dengan cara yang tepat pula. Juga, emiten, perusahaan publik maupun perusahaan terbuka wajib menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatan perusahaan di bidang adminstrasi keuangan bukan hanya kepada pemegang saham saja tetapi kepada semua pihak yang berkepentingan. 108 Emiten atau perusahaan publik maupun perusahaan terbuka harus memperhatikan kepentingan stakeholder yang lain yaitu dalam hal ini pemerintah 106
Ridwan Khairandy et al, op.cit, hlm 84 – 85. Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, op.cit, hlm 69. 108 Ridwan Khairandy et al, op.cit, hlm 86. 107
Universitas Sumatera Utara
64
yang membuat regulasi atau aturan hukum. Emiten atau perusahaan publik maupun perusahaan terbuka harus mematuhi peraturan perundang–undangan yang berlaku baik peraturan perundang–undangan mengenai pasar modal maupun peraturan perundang–undangan lain yang terkait dengan kegiatan perusahaan seperti peraturan perundang–undangan mengenai perseroan terbatas, perlindungan lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan perburuhan. Emiten atau perusahaan publik maupun perusahaan terbuka juga harus menyadari akan adanya tanggung jawab sosial, menghindari penyalahgunaan kekuasaan, menjadi profesional dengan tetap menjunjung etika dalam menjalankan bisnis, dan menciptakan dan memelihara lingkungan bisnis yang sehat di pasar modal. Karena itu, sebagai pertanggungjawaban emiten, perusahaan publik, dan perusahaan terbuka terhadap investor publik dalam pelaksanaan keterbukaan informasi, maka emiten, perusahaan publik, dan perusahaan terbuka wajib menyampaikan informasi penting yang berkaitan dengan tindakan atau efek perusahaan tersebut pada waktu yang tepat kepada masyarakat dalam bentuk laporan berkala dan laporan peristiwa penting sesuai Pasal 86 ayat (1) Undang– Undang No. 8 Tahun 1995. Emiten, perusahaan publik, dan perusahaan terbuka wajib menyampaikan informasi yang disampaikan itu utuh, tidak ada yang tertinggal atau disembunyikan, disamarkan, atau tidak menyampaikan apa–apa atas fakta material. Dikatakan akurat jika informasi yang disampaikan mengandung kebenaran dan ketepatan. Kalau tidak memenuhi syarat tersebut, maka informasi dikatakan sebagai informasi yang tidak benar atau menyesatkan sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
65
Pasal 80 ayat (1) Undang–Undang No. 8 Tahun 1995. 109 Jadi keterbukaan ini merupakan suatu bentuk perlindungan kepada masyarakat investor. 110
E. Pelanggaran
Prinsip
Pertanggungjawaban
(Responsibilitas)
yang
Mengakibatkan Terjadinya Bentuk-Bentuk Pelanggaran dan Kejahatan di Pasar Modal. Pelanggaran dan kejahatan perusahaan di pasar modal merupakan pelanggaran dan kejahatan yang khas yang dilakukan oleh pelaku pasar modal termasuk emiten, perusahaan publik dan perusahaan terbuka dalam pasar modal. 111 Pelanggaran dan kejahatan di pasar modal yang dilakukan oleh emiten, perusahaan publik, dan perusahaan terbuka merupakan salah satu bentuk kejahatan korporasi karena dapat dikenakan sanksi pidana, administratif, dan perdata di mana menurut Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager; kejahatan korporasi adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, apakah di bawah hukum administratif, hukum perdata atau hukum pidana. 112 Jadi keterbukaan ini merupakan suatu bentuk perlindungan kepada masyarakat investor. Dari segi substansial, keterbukaan memampukan publik untuk mendapatkan akses informasi penting yang berkitan dengan perusahaan. suatu pasar modal dikatakan fair dan efisien apabila semua pemodal memperoleh informasi dalam waktu yang bersamaan disertai kualitas yang sama (equal 109
M. Irsan Nasarudin et al, op.cit, hlm 226. Ibid, hlm 227. 111 M. Irsan Nasarudin et al, op.cit, hlm 257. 112 Mahmud Mulyadi & Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: PT SOFMEDIA, 2010), hlm 22. 110
Universitas Sumatera Utara
66
treatment dalam akses informasi). Ditinjau dari segi yuridis, keterbukaan merupakan jaminan bagi hak publik untuk terus mendapatkan akses penting dengan sanksi
untuk hambatan atau kelalaian yang dilakukan perusahaan.
Pengenaan sanksi yang termuat dalam Undang – Undang No. 8 Tahun 1995 serta penegakan hukum atas setiap pelanggaran terhadap ketentuan mengenai keterbukaan atau transparansi ini menjadikan pemegang saham atau investor terlindungi secara hukum dari praktik–praktik manipulasi dalam perusahaan publik. 113 Pengenaan sanksi terhadap emiten, perusahaan publik dan perusahaan terbuka di pasar modal yang melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan prinsip keterbukaan sebagai pertanggungjawaban hukum emiten, perusahaan publik dan perusahaan terbuka dalam menjalankan keterbukaan informasi kepada investor atau publik. Undang–Undang No 8 Tahun 1995 tentang pasar modal menetapkan sanksi hukum terhadap pelanggaran peraturan prinsip keterbukaan berupa sanksi administratif, pidana dan perdata. Pasal 102 menentukan kewenangan BAPEPAM untuk memberikan sanksi administratif atas pelanggaran Undang-Undang Pasar Modal. Pasal 104 dan Pasal 107 Undang–Undang Pasar Modal itu menentukan pemberian sanksi bagi pihak yang melakukan perbuatan yang menyesatkan dalam bentuk misrepresentation dan omission serta insider trading. Sedang Pasal 111 Undang–Undang pasar modal menentukan pula sanksi perdata berupa pertanggungjawaban ganti kerugian. 114
113 114
M. Irsan Nasarudin et al, op.cit, hlm 227. Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, op.cit, hlm 196 – 197.
Universitas Sumatera Utara