42
BAB II KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PERUSAHAAN DENGAN TENAGA KERJA YANG DIDAFTARKAN PADA DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA MEDAN A. Perjanjian pada Umumnya Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.45 Hubungan hukum yang menerbitkan perikatan itu, bersumber pada perjanjian atau sumber lainnya, yaitu undang-undang. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) ditentukan bahwa perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Terjadinya
perikatan
yang
lahir
dari
undang-undang
terlepas
dari kemauan para pihak atau dengan kata lain tidak ada kesepakatan. Jadi berbeda dengan perikatan yang lahir dari perjanjian, yang mengharuskan kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian. Hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting yag melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat tanpa kehendak dari
45
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Bandung, 1978, hal.1
31
Universitas Sumatera Utara
43
para pihak yang bersangkutan. Jadi perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau merupakan suatu peristiwa. Pada Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Maksudnya bahwa suatu perjanjian adalah suatu recht handeling artinya suatu perbuatan yang oleh orang-orang bersangkutan ditujukan agar timbul akibat hukum.46 Dengan demikian, suatu perjanjian adalah hubungan timbal balik atau bilateral, maksudnya suatu pihak yang memperoleh hakhak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan konsekuensi dari hak-hak yang diperolehnya. Wirjono Prodjdikoro mengatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut”.47 Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian mengandung suatu pengertian yang
memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.48 Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum diawali dengan adanya 46
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 1991,
hal. 330. 47
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1981, hal.11. 48 M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian,: Alumni, Bandung ,1986, hal.20
Universitas Sumatera Utara
44
suatu perjanjian. Setiap orang diberi kebebasan untuk mengadakan perikatan atau perjanjian sepanjang tidak melanggar batasan yang ditentukan. Berdasarkan kehendak para pihak yang membuat perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap berlakunya pasal-pasal dari hukum yang terdapat dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata) Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa : Diizinkan orang membuat peraturan sendiri karena pasal-pasal dari hukum perjanjian itu tidak lengkap, itulah yang menyebabkan sifat hukum perjanjian disebut dengan hukum pelengkap (optimal law) selanjutnya bahwa asas yang menentukan bahwa setiap orang adalah bebas atau leluasa memperjanjikan apa saja disebut atas kebebasan berkontrak yang berhubungan dengan isi perjanjian dan asas harus merupakan sesuatu yang halal.49 Jadi, hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena dalam KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang.50 Ahmadi Miru mengatakan bahwa : Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat 49
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hal 110. 50 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
45
dibagi dua yaitu, perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.51 Salim H.S. mengatakan bahwa pada prinsipnya kontrak dari aspek namanya dapat digolongkan dalam 2 macam, yaitu : 1. Kontrak Nominaat, merupakan kontrak atau perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata seperti, jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam, pinjam pakai, persekutuan perdata, hibah, penanggungan hutang, perjanjian untung-untungan, dan perdamaian. 2. Kontrak Innominaat, merupakan perjanjian di luar KUH Perdata yang tumbuh dan berkembang dalam praktik atau akibat adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1), seperti kontrak product sharing, kontrak karya, kontrak konstruksi, sewa beli, leasing dan lain sebagainya.52 Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan. Dengan demikian, perjanjian merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat dinikmati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya
51
Ibid, hal. 2 Salim HS.,H., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 1. 52
Universitas Sumatera Utara
46
kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas dapat dipahami, pengertian perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan tindakan, seperti zaakwarneming, onregmatige daad. Abdulkadir Muhammad mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu : 1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak. 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan” saja. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal. 4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa.53 Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah “Suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.54 Rumusan perjanjian di atas dijumpai beberapa unsur dalam suatu perjanjian, yaitu 53 54
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal. 78. Ibid, hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
47
adanya unsur perikatan (hubungan hukum), unsur subyek hukum, unsur isi perjanjian (hak dan kewajiban) dan unsur ruang lingkup berlakunya perjanjian yang dilakukan (lingkup hukum harta kekayaan). Abdul Kadir Muhammad juga menyebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu:55 a. b. c. d. e.
Adanya pihak-pihak Adanya persetujuan antara para pihak Ada tujuan yang akan dicapai Sepakat mereka yang mengikatkan diri Kecakapan membuat suatu perjanjian Dilihat dari bentuknya perjanjian dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu
(1) Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, dan (2) Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).56 Menurut perundang-undangan tidak semua perjanjian diharuskan tertulis, kecuali yang secara tegas dipersyaratkan harus dalam bentuk tertulis, seperti perjanjian perdamaian. Bahkan ada yang harus dengan akta otentik, yang dibuat dihadapan Notaris seperti perjanjian penghibahan atas benda tetap atau pengalihan hak atas tanah.
55 56
Loc.Cit. Salim HS, Op.Cit., hal 61.
Universitas Sumatera Utara
48
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, mengemukakan bahwa cara terbentuknya perjanjian berdasarkan atas perjanjian formal dan perjanjian tersebut mempunyai 3 (tiga) tipe, yaitu: 1. Contracts underseal, adalah perjanjian ini tertulis dan bercap (seal) yang dibutuhkan yang dibubuhkan di atas kertas, sekarang ini di beberapa negara sebagai akibat hukum dari seal tersebut telah dimodifikasi atau ditidakan oleh perundang-undangan. 2. Recognizance, yaitu perjanjian ini mencakup suatu janji di hadapan pengadilan oleh pemberi janji (promisor) untuk pemenuhan suatu pembayaran tertentu tanpa diperlukan ada tindakan khusus. 3. Negotiabe contracts, yaitu perjanjian yang menembus dan fundamental bagi bisnis.57 Pada hakekatnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu karena dalam suatu perjanjian, menurut Ridwan Khairandy “Terdapat tiga asas yang saling berkaitan, yaitu asas konsensualisme (the principles of the consensualism), asas kekuatan mengikat kontrak (the principles of the binding force of contract) dan asas kebebasan berkontrak (the principles of the freedom of contract).58
Oleh karena
itu, suatu perjanjian harus memenuhi asas utama dari suatu perikatan dan ketentuan syarat sahnya perjanjian yang tertuang dalam ketentuan Pasal 1338 jo Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dengan dipenuhinya ketentuan tersebut, maka perjanjian tersebut akan sah dan mengikat para pihak yang membuatnya. 57
Sri Soedewi Mosjchoen Sofwan, Hukum Perjanjian, Yayasan Badan Penerbit, Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980, hal 59 58 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta 2004, hal 38.
Universitas Sumatera Utara
49
Azas kebebasan berkontrak terjelma dalam ayat (1) dari Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang yang dibuatnya”.59 Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Dari Pasal
1338 ayat (1) dapat dikatakan bahwa, pasal itu seolah-olah
membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Dari prinsip yang terkandung dalam ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan. Jika dibuat secara tertulis, hal ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari. Pada dasarnya memang hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang bersifat apa saja selama perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan, demikian Pasal 1339 KUH Perdata menentukan. Apa yang dikatakan R. Subekti adalah sangat tepat sekali yaitu bahwa : Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihakpihak yang membuat suatu perjanjian, mereka diperbolehkan membuat
59
R. Subekti, Op.Cit., hal.25.
Universitas Sumatera Utara
50
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian.60 Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, sebab pasal-pasal dari hukum perjanjian sungguh dapat dikatakan melengkapi perjanjian yang dilahirkan secara tidak lengkap dan memang sering dijumpai bahwa orang-orang membuat suatu perjanjian tidak mengatur keseluruhan semua persoalan yang bersangkut paut dengan perjanjian itu.61 Perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam buku III KUH Perdata, dapat digolongkan menurut tujuan masing-masing namun penggolongannya tidak mungkin sempurna, sebab masih ada dijumpai beberapa perjanjian dengan berbagai tujuan yang sulit dimasukkan dalam salah satu golongan. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian, 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun, 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan, 4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan62 Perjanjian yang sah artinya, perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang sehingga perjanjian tersebut diakui oleh hukum. 60
Ibid., hal. 32 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 18. 62 Salim H.S, Op.Cit., hal. 100 61
Universitas Sumatera Utara
51
Syarat-syarat sahnya suatu persetujuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata dengan sendirinya berlaku juga bagi sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata adalah : 1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (Consensus). 2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (Capacity). 3. Ada suatu hal yang tertentu (A certain subject matter). 4. Ada suatu sebab yang halal (Legal cause).63 Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut selanjutnya dapat dirinci sebagaimana, dikemukakan berikut ini: 1. Kesepakatan (Toesteming/Izin) Kedua Belah Pihak Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan: a) Bahasa yang sempurna dan tertulis; b) Bahasa yang sempurna secara lisan; c) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; d) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; e) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan64 63 64
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal. 88 Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, 1987, hal 7.
Universitas Sumatera Utara
52
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari. 2. Kecakapan bertindak Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Pada dasarnya setiap orang
yang telah dewasa dan tidak terganggu
ingatannya, cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang dewasa yang terganggu ingatannya, anak di bawah umur dan orang yang berada di bawah pengampuan dianggap tidak cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.65 Dalam membuat sesuatu perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan harus dapat mempertanggung jawabkannya.66 Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1339 KUH Perdata “bahwa setiap orang adalah cakap
65 66
R. Subekti, Op.Cit., hal. 19. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
53
untuk mengadakan persetujuan, kecuali orang-orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap”. M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa “subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan adalah orang yang mampu melakukan tindakan hukum. Umumnya mereka yang mampu melakukan tindakan hukum adalah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada di bawah pengampuan wali maupun di bawah “curatele”.67 Subjek dari perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka ia harus mampu bertanggung
jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak sehat
pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap untuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.68 Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampu/pemboros di dalam mengendalikan
67 68
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 6. Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
54
keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari orang tertentu
untuk
menyelenggarakan kepentingannya.69 Setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi Miru mengatakan bahwa: Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum diangap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.70 3. Adanya Objek Perjanjian (Suatu hal Tertentu) Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.71 Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada di tangan si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Akibat syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga
69
Ibid., hal. 9. Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 29. 71 R. Subekti, Op.Cit, hal. 19 70
Universitas Sumatera Utara
55
perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu dianggap batal demi hukum.72 Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian haruslah tertentu barangnya atau sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”. 4. Ada suatu sebab yang halal (legal cause) Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang terjadi sebab orang yang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang adalah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.73 Jika perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan
72 73
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 94 Ibid, hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
56
perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada.74 Dengan demikian, apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan, maka perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut. a. Syarat Subjektif. Syarat subjektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan bertindak dalam bidang hukum.75 Kedua syarat ini dikatakan subjektif karena ditujukan kepada orang atau objek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan. Adapun yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah hakim dengan permintaan dari orang yang berkepentingan. b. Syarat Objektif
74 75
Ibid, hal. 96. Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
57
Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kedua syarat ini dikatakan syarat objektif karena merupakan benda atau objek dari perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.76 Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar KUH Perdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus melaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.77 Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas Hukum Kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut : 1. Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 2. Asas Kepercayaan Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. 3. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatannya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa 76 77
Ibid. Lihat Pasal 1338 Jo Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
58
4.
5.
6.
7.
8.
unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak. Asas Persamaan Hak Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas Moral Asas ini terlihat di dalam Zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.78 Dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian baik dilakukan secara tertulis
maupun lisan sama-sama mengikat para pihak yang membuatnya, asalkan memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Selanjutnya dalam hal menentukan telah terjadinya kata sepakat, para sarjana telah mengemukakan berbagai teori antara lain : 1. Teori Kehendak. Teori ini menekankan pada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu penyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak tertarik kepada pernyataan tersebut. 2. Teori Pernyataan Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan. Misalnya jika A menawarkan sesuatu 78
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (standar) Perkembangannya di Indonesia, Alumni Bandung, 1990, hal. 42-44.
Universitas Sumatera Utara
59
barang kepada B dan diterima oleh B maka antara A dan B telah terjadi persetujuan tanpa menghiraukan apakah yang dinyatakan oleh A dan B itu sesuai dengan kehendaknya masing-masing pihak atau tidak. 2. Teori Kepercayaan Menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya.79 Persetujuan kehendak itu sifatnya harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti. Sebelum ada persetujuan biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan, yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syarat, sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu sehingga tercapailah persetujuan yang mantap. B. Perjanjian Kerja dan Syarat Sahnya Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji dengan suatu kata sepakat kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan jika pengertian perjanjian tersebut dibandingkan dengan kedudukan para pihak dalam perjanjian kerja.80
79
R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal. 57 Djumadi, Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 13. Di dalam pengertian perjanjian kerja tidak dalam kedudukan yang sama dan seimbang karena pihak yang satu 80
Universitas Sumatera Utara
60
Asas kebebasan berkontrak, yang menjadi asas utama dalam suatu suatu perjanjian pada mulanya dipengaruhi oleh pandangan individual dan kebebasan individu baik kebebasan berkontrak berpangkal pada kesamaan kedudukan para pihak, pandangan terhadap hak milik sebagai hak yang paling sempurna serta adanya prinsip bahwa setiap orang harus memiliki sendiri setiap kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan suatu perjanjian serta setiap orang harus dipandang sama dan diperlukan sebagai orang bebas dan dengan kedudukan maupun hak yang sama. Kebebasan
liberal
yang
mengagungkan
individualisme
mempunyai
pandangan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama akan dapat menimbulkan ketidakadilan yang besar bagi seseorang, baik di bidang sosial, politik maupun ekonomi. Oleh karena itu pemerintah harus ikut campur tangan dalam hal pembuatan suatu perjanjian yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok tertentu, yang pada umumnya mempunyai kedudukan sosial dan ekonomi yang relatif lemah.81 Campur tangan pemerintah diperlukan, ditinjau dari pihak pengusaha dipandang layak karena bertujuan untuk melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini buruh, agar tercapai keseimbangan yang mendekatkan masyarakat pada tujuan negara yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk tiap-tiap warga negara. yaitu pekerja mengikatkan diri dari bekerja di bawah perintah orang lain dalam hal ini adalah pengusaha. 81 J. M. Van Duane (dkk), sewaktu memberikan penataran Hukum Perjanjian terhadap dosen-dosen hukum perdata seluruh Indonesia pada bulan Januari 1997 di Fakultas Hukum UGM dalam Djumadi, Ibid, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
61
Di dalam penjelasan umum, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Buruh antara lain disebutkan bahwa pada pokoknya mengakui adanya serta berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu, serta berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu, untuk mendapatkan persetujuan tentang apa yang dikehendaki. Tetapi walaupun demikian kekuasaan itu harus dibatasi, yakni di dalam lingkungan apa yang oleh pemerintah yang dianggap layak. Dalam perjanjian pada umumnya dan perjanjian kerja pada khususnya asas kebebasan berkontrak tetap menjadi asas yang utama, namun dalam ketentuan yang mengatur tentang itu terdapat ketentuan-ketentuan tersendiri, hal ini dikarenakan antara pihak yang mengadakan perjanjian kerja terdapat perbedaanperbedaan tertentu, baik mengenai kondisi, kedudukan hukum dan berbagai hal antara mereka yang membuat perjanjian kerja. Pihak yang satu, dalam hal ini pekerja mempunyai kedudukan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kedudukan dan kondisi dari pihak lainnya yaitu pihak pengusaha atau majikan. Dengan adanya kenyataan bahwa antar para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut ada perbedaan, yaitu kondisi dan kedudukan yang berbeda dan tidak seimbang sehingga diperlukan adanya intervensi dari pihak ketiga, yaitu pemerintah guna memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah terutama sewaktu mengadakan perjanjian kerja. Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan jika di dalam suatu perjanjian antara pihak yang membuatnya
Universitas Sumatera Utara
62
mempunyai derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Namun tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai aspek yang melingkari di sekelilingnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut menjadi tidak seimbang.82 Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut arbeidsoverencom mempunyai beberapa pengertian. KUH Perdata memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah yang lain yaitu majikan untuk sewaktu-waktu tertentu melakukan suatu pekerjaan dengan menerima upah.83 Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan
memberikan pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/ buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.84 Selain pengertian normatif di atas, Iman Soepomo berpendapat bahwa pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan buruh dan majikan terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan 82
Djumadi, Op.Cit, hal. 27. Pasal 1601 a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 84 Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 83
Universitas Sumatera Utara
63
kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah85 sehingga perjanjian yang demikian itu disebut perjanjian kerja. Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat tentang perburuhan.86 Dengan demikian adalah kurang tepat bila Mr. Wirjdono Prodjodikoro menggunakan istilah perburuhan untuk menunjuk istilah perjanjian kerja. Sedangkan untuk perjanjian kerja beliau menggunakan istilah persetujuan perburuhan bersama.87 R. Subekti juga menggunakan secara kurang tepat istilah persetujuan perburuhan untuk perjanjian kerja sedangkan perjanjian perburuhan diberinya nama persetujuan perburuhan kolektif.88 Dari pengertian yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas menunjukkan bahwa posisi yang satu (pakerja/buruh) adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Apabila dibandingkan dengan posisi dari pihak majikan dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja maka posisi hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam posisi yang sama dan seimbang.
85
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Edisi Revisi, Jakarta 2003,
hal. 70. 86
Ibid., Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu dalam Iman Soepomo, Ibid., 88 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan Keempat, hal.358 dan 362 dalam Iman Soepomo, Ibid., 87
Universitas Sumatera Utara
64
Jika menggunakan Pasal 1313 KUH Perdata, batasan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain untuk melakukan sesuatu hal. Dengan kedudukan sebagai tenaga kerja atau bekerja pada pihak lainnya menunjukkan bahwa pada umumnya hubungan itu sifatnya adalah bekerja di bawah pihak lain. Sifat ini perlu dikemukakan untuk membedakan dari hubungan antara dokter misalnya dengan seseorang yang berobat dimana dokter itu melakukan pekerjaan untuk orang yang berobat namun tidak berada di bawah pimpinannya. Karena itu perjanjian antara dokter dengan orang berobat bukanlah merupakan perjanjian kerja melainkan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu. Jadi dokter bukanlah buruh dan orang yang berobat bukanlah majikan dan hubungan anatara mereka bukanlah hubungan kerja. Adanya buruh ialah hanya jika ia bekerja di bawah pimpinan pihak lainnya serta menerima upah dan adanya majikan jika ia memimpin pekerjaan yang dilakukan pihak kesatu. Hubungan buruh dan majikan tidak juga terdapat pada pemborongan pekerjaan yang ditujukan kepada hasil pekerjaan. Bedanya Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dengan perjanjian melakukan tertentu ialah bahwa perjanjian melakukan pekerjaan ini tidak melihat hasil yang dicapai. Jika orang yang berobat itu tidak menjadi sembuh bahkan akhirnya meninggal dunia, dokter itu telah memenuhi kewajibannya menurut perjanjian.89 Menyimak perjanjian kerja menurut KUH Perdata seperti tersebut di atas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak lain”. Di 89
Ibid., hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
65
bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan antara bawahan dengan atasan (sub ordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya. Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena hanya menunjuk pada hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah. Pengertian perjanjian kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tulisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan pengertian perjanjian kerja di atas dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja yaitu:90 a. Adanya unsur Pekerjaan (work)
90
Lalu Husni, Op. Cit, hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
66
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian). Pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja dan hanya dengan seizin majikanlah pekerja dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUH Perdata Pasal 1603 a yang berbunyi: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya.” Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya. Maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia, perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. b. Adanya unsur Perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien dan pengacara dengan kliennya. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada perintah pasien dan klien. c. Adanya Waktu Tertentu91 Dalam melakukan pekerjaan haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam melakukan pekerjaannya tidak boleh sekehendak hati dari majikan atau dilakukan seumur hidup. Pekerjaan harus dilakukan sesuai dengan 91
Djumadi, Op.Cit, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
67
waktu yang ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan dan pelaksanannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan ketertiban umum. Dalam praktek saat ini mengenai jangka waktu ini dikenal dua jenis yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja dengan Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). d. Adanya upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan perjanjian kerja. Bahkan dapat dikatakan tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan tersebut bukanlah merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu atau seorang mahasiswa perhotelan yang sedang malakukan praktek di sebuah hotel. Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata maksudnya bahwa pihak-pihak yang melakukan perjanjian kerja harus sepakat, seia sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu harus dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian merupakan syarat mutlak, maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha harus dalam keadaan cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian
Universitas Sumatera Utara
68
jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batas umur minimal 18 tahun.92 Selain itu, seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya (waras). Adanya pekerjaan yang diperjanjikan dalam istilah Pasal 1320 KUH Perdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Objek perjanjian yaitu pekerjaan harus halal, yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut harus halal sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Kalau syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang dipenuhi adalah syarat subjektif maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, 92
Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Universitas Sumatera Utara
69
pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara bebas demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi pihak yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan kepada hakim.
Dengan demikian perjanjian tersebut
mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim. Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan atau tertulis.93 Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian. Namun tidak, dalam kenyataan
masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum
membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat keterangan:94 a. b. c. d. e. f.
Nama, alamat perusahaan serta jenis usaha; Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh; Jabatan atau jenis pekerjaan; Tempat pekerjaan; Besarnya upah dan cara pembayaran; Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. Tempat dan tanggal perjanjian dibuat; i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja;
93 94
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Universitas Sumatera Utara
70
Selain hal-hal di atas terdapat juga beberapa hal lainnya yang perlu diatur dalam suatu perjanjian kerja:95 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.
Macam pekerjaan; Cara-cara pelaksanaannya; Waktu atau jam kerja; Tempat kerja; Besarnya imbalan kerja, macam-macamnya serta cara pembayarannya; Fasilitas-fasilitas yang disediakan majikan/perusahaan bagi buruh/pegawai Biaya kesehatan/pengobatan bagi buruh/pegawai/pekerja; Tunjangan-tunjangan tertentu; Perihal cuti; Perihal izin meninggalkan pekerjaan; Perihal hari libur; Perihal jaminan hidup dan masa depan pekerja; Perihal pakaian kerja; Perihal jaminan perlindungan kerja; Perihal penyelesaian masalah-masalah kerja; Perihal uang pesangon dan uang jasa; Berbagai masalah yang dianggap perlu.
pekerja/
Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk jangka waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya dan waktu tidak tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesai pekerjaan tertentu. Kemudian apabila dilihat dari pengaturan hak dan kewajibannya, kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian umumnya disebut prestasi. Dalam hal prestasi ini Subekti yang dikutip Zaeni Asyhadie mengatakan bahwa : “suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak yang diperolehnya 95
A. Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta 1990, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
71
dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh yang dianggap sebagai kebalikan pengusaha dan sebaliknya apa yang menjadi hak pengusaha akan menjadi kewajiban pekerja/buruh”.96 Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja/buruh menghasilkan hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Secara normatif pengertian hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.97 Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja. Substansi perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Perjanjian Perburuhan atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/Perjajian Kerja Bersama (PKB). Demikian pula perjanjian kerja tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha. Dalam perjanjian kerja, karena merupakan salah satu dari bentuk khusus perjanjian, apa yang dikemukakan oleh Soebekti di atas berlaku juga. Artinya apa yang menjadi hak pekerja/buruh akan menjadi kewajiban pengusaha dan sebaliknya apa yang menjadi hak pengusaha akan menjadi kewajiban pekerja.98 Pekerja/buruh yang baik adalah buruh yang menjalankan kewajibankewajibannya dengan baik, yang dalam hal ini kewajiban untuk melakukan atau
96
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 60. 97 Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 98 Lalu Husni, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
72
tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama, seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan.99 Selain itu, tenaga kerja yang melakukan hubungan kerja harus mentaati peraturan perusahaan, secara normatif peratuaran perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.100 Dengan pengertian tersebut, jelas bahwa peraturan perusahaan dibentuk oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. Apabila peraturan perusahaan tersebut telah terbentuk, pengusaha diwajibkan untuk memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan yang berlaku di perusahaan yang bersangkutan. Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat: a. Hak dan kewajiban pengusaha; b. Syarat kerja; c. Tata tertib perusahaan; d. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. Jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan paling lama dua (2) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. Ketentuannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
99
Pasal 1603d Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1 ayat (20) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
100
Universitas Sumatera Utara
73
C. Kerangka Hukum Perjanjian Kerja dan Peraturan Perusahaan 1. Syarat-syarat dalam Perjanjian Kerja Apabila membicarakan mengenai kerangka perjanjian kerja tentunya tidak akan terlepas dari adanya syarat-syarat kerja. Oleh karena itu, untuk lebih memahaminya terlebih dahulu perlu diketahui tentang pengertian syarat-syarat kerja tersebut dan ketentuan yang diatur didalamnya. Perjanjian kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan atau pemberi kerja dalam mengikat hubungan kerja, yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dalam pembuatan perjanjian kerja dipersyaratkan atau dibuat atas dasar : 1. Kesepakatan Kedua belah pihak. 2. Kemampuan dan kecakapan melakukan perbuatan hukum. 3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan. 4. Perjanjian yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.101 Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja memiliki kerangka yang memiliki ciri khas dan berdiri sendiri (sui generic). Dalam perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak tidak dilandasi oleh adanya pekerjaan yang diperjanjikan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka akan batal demi hukum, sedangkan perjanjian kerja
101
Ketentuan ini sebagaimana diatur pada Pasal 52 Undang-Undang No.13 Tahun. 2003 tentang Ketenagakerjaan. Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya.
Universitas Sumatera Utara
74
yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan ketentuan yang berkaitan dengan kemampuan dan kecakapan para pihak, perjanjian tersebut dapat dibatalkan.102 Dalam pembuatan perjanjian kerja ada empat unsur utama yang wajib dipatuhi, yaitu : 1. Adanya pekerjaan. 2. Adanya upah yang dibayarkan. 3. Adanya perintah. 4. Dilakukan selama waktu tertentu atau tidak tertentu. Adapun orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian menurut Pasal 1330 KUH Perdata ialah : 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.103 Pengertian suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata bahwa “barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan”.104 Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir agar suatu perjanjian sah.
102
Pasal 52 Undang-Undang No.13 Tahun. 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ibid ayat (3). Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 104 Pasal 1333d Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 103
Universitas Sumatera Utara
75
Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.105 Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa Latin causa) ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Jadi, yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Setiap perjanjian semestinya memenuhi keempat syarat di atas supaya sah. Perjanjian yang tidak memenuhi keempat syarat tersebut mempunyai beberapa kemungkinan. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi dua syarat yang pertama atau syarat subyektif maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang telah memberikan sepakat secara tidak bebas. Sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif mengakibatkan perjanjian itu batal demi hukum (null and void). Perjanjian semacam ini sejak semula dianggap tidak pernah ada.106 Oleh karena itu, para pihak tidak mempunyai dasar untuk saling menuntut. Dalam Pasal 52 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan pekerjaan yang
105
Pasal 1335d Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Satiruddin Lubis, Analisa Hukum Pengaturan Syarat-Syarat Kerja Dan Hak-Hak Normatif Dalam Perjanjian Kerja Bersama Studi Pada PT.Umada Di Medan. PPS USU, Medan, hal. 32 106
Universitas Sumatera Utara
76
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.107 Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan kesepakatan kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum dapat dibatalkan. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan adanya pekerjaan yang diperjanjikan serta pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku batal demi hukum. Berdasarkan syarat-syarat sahnya perjanjian, Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel). Bagian inti disebut esensialia dan bagian non inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.108 Unsur esensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada dalam setiap perjanjian. Tanpa unsur ini perjanjian tidak mungkin ada. Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian jual beli harus ada barang dan harga yang disepakati sebab tanpa barang dan harga perjanjian jual beli tidak mungkin dapat dilaksanakan. Adapun unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang diatur dalam undang-undang tetapi dapat diganti atau disingkirkan oleh para pihak. Undang-undang dalam hal ini hanya bersifat mengatur atau menambah (regelend/aanvullend). Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian jual beli dapat diatur tentang kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan. Sedangkan unsur
107 108
Pasal 52 Undang-Undang No.13 Tahun. 2003 tentang Ketenagakerjaan Satiruddin Lubis, Op.Cit., hal. 32
Universitas Sumatera Utara
77
aksidentialia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak sebab undang-undang tidak mengatur tentang hal itu. Sebagai contoh, perjanjian jual beli rumah beserta alat-alat rumah tangga. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa kerangka hukum perjanjian kerja yang dibuat oleh perusahaan dengan tenaga kerja apabila dilihat dari segi hukum perdata merupakan kesepakatan antara para pihak di dalamnya dan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian. Namun apabila dilihat dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan kerangka hukum perjanjian kerja yang dibuat oleh perusahaan dengan tenaga kerja yang didaftarkan pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan apabila dikaitkan dengan ketentuan yang berlaku baik perjanjian PKWT maupun PKWTT mempunyai cirri khas tertentu. Perjanjian kerja yang dikenal dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan dalam praktek hubungan kerja yang berlangsung antara pemberi kerja dengan tenaga kerja khususnya dalam sektor industri antara lain dikenal dengan nama Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian yang dibuat antara tenaga kerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang tidak ditentukan kapan berakhir.109 Secara umum hubungan kerja ini berakhir karena salah satu pihak melanggar janji atau melanggar peraturan yang berlaku atau atas kesepakatan kedua belah pihak karena keadaan perusahaan.
109
Hasil Wawancara dengan B. Elida Ginting, Kasie. Syaker dan Pengupahan, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, Wawancara Juli 2004.
Universitas Sumatera Utara
78
Pengertian perjanjian kerja tertentu atau lebih lazim disebut dengan kesepakatan kerja tertentu ada ditentukan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/Men/1986 yang berbunyi Kesepakatan Kerja Tertentu adalah kesepakatan kerja antara pekerja dengan pengusaha yang diadakan untuk waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.110 Dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/ Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu disebutkan bahwa PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.111 Sedangkan PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.112 Berdasarkan ketentuan tersebut maka jelaslah bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut dengan perjanjian kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjanya adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap atau status pekerjanya adalah pekerja tetap. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dapat dilakukan secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis dapat berfungsi sebagai 110
Pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/Men/1986. Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/Men/ VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu. 112 Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/Men/ VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu. 111
Universitas Sumatera Utara
79
bukti awal hubungan kerja terjalin, sebagai pedoman mengenai hak dan kewajiban, dan sebagai salah satu sarana untuk menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha, karena dengan perjanjian tertulis tersebut akan mudah untuk memahami hak dan kewajiban yang telah disepakati bersama dan sebagai pedoman untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul selama hubungan kerja. Bilamana Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dibuat secara lisan pengusaha berkewajiban untuk membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan dan sekurang-kurangnya memuat keterangan : 1. Nama dan alamat pekerja. 2. Tanggal mulai bekerja. 3. Jenis Pekerjaan. 4. Besarnya upah. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dapat dipersyaratkan masa percobaan paling lama tiga bulan dan selama masa percobaan, pengusaha dilarang membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku.113 Masa percobaan pekerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja dan untuk perjanjian kerja yang dilakukan secara lisan, masa percobaan harus diberitahukan kepada yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan pekerja. Apabila tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, masa percobaan tersebut dianggap tidak ada.
113
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu.
Universitas Sumatera Utara
80
Disamping Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Ada pula yang dikenal dengan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT). Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.114 Pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu banyak dilakukan baik antara pengusaha dengan pekerja secara langsung maupun melalui jasa pihak ketiga yang dikenal dengan sistem outsourching sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor. KEP.101/MEN/ VI/2004, tentang tata cara perijinan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Walaupun aturan tersebut telah diberlakukan namun pada prakteknya di lapangan menurut pekerja/buruh bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan merugikan pekerja/ buruh secara umum, oleh sebab itu pelaksanaan outsourching ini ditentang oleh pekerja/buruh. Untuk mengatasi praktek-praktek yang tidak sehat itu, dilakukan pembatasan tentang jenis dan macam pekerjaan apa saja yang dapat dibuat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu : a. b. c. d.
Sekali selesai atau sementara sifatnya. Diperkirakan untuk waktu yang tidak lama akan selasai. Bersifat musiman atau berulang kembali. Bukan merupakan kegiatan pokok suatu perusahaan atau hanya merupakan pekerjaan penunjang. 114
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu.
Universitas Sumatera Utara
81
e. Berhubungan dengan produk baru atau kegiatan baru atau masih dalam percobaan penjajakan.115 Disamping hal di atas persyaratan lain yang juga dipenuhi dalam membuat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yaitu : a. Dibuat secara tertulis menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. b. Tidak boleh dipersyaratkan adanya masa percobaan.116 c. Dibuat rangkap tiga, masing-masing untuk pekerja, pengusaha dan instansi ketenagakerjaan untuk didaftar. d. Seluruh biaya yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian ditanggung oleh pengusaha. e. Tidak dapat ditarik kembali atau dirubah, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk berubah. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dapat dilakukan untuk jenis pekerjaan : 1. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya.117 Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT) untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun harus : a. Didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. b. Dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun. c. Apabila pekerjaan yang diperjanjikan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat diselesaikan lebih cepat daripada yang diperjanjikan maka
115
Ibid., Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun. 2003 tentang Ketenagakerjaan. 117 Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 59 Undang-Undang No.13 Tahun. 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan yang tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu. 116
Universitas Sumatera Utara
82
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. d. Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang didasarkan pada selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan suatu batas pekerjaan dinyatakan selesai, namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. e. Selama tenggang waktu hari tersebut tidak ada hubungan antara pekerja dengan pengusaha. 2. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk pekerjaan yang bersifat musiman. Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu, seperti panen dan pemilihan daun tembakau, panen tebu, pemupukan, dan lain-lain. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) juga dapat dilakukan pada pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dan hanya diberlakukan untuk pekerja yang melakukan pekerjaan tambahan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tersebut tidak dapat dilakukan pembaharuan. 3. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat dilakukan pada pekerja untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan, serta hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun dan tidak dapat dilakukan pembaharuan dan hanya boleh diberlakukan bagi pekerja di luar kegiatan atau pekerjaan yang biasa dilakukan.118 4. Perjanjian Kerja Harian Lepas. Perjanjian kerja untuk harian lepas dapat dilakukan kepada pekerja dalam hal sifat pekerjaan : a. Untuk pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran pekerja. b. Lamanya hari kerja dalam 1 (satu) bulan kurang dari 21 hari c. Apabila pekerja melaksanakan pekerjaan 21 (dua puluh satu ) hari atau lebih atau selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut atau lebih maka Perjanjian Kerja Lepas berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). 118
Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 59 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja dalam hal ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
Universitas Sumatera Utara
83
d. Wajib memuat Perjanjian Kerja harian lepas secara tertulis dengan pekerja. e. Pengusaha wajib membuat daftar pekerja yang melakukan pekerjaan kerja lepas tersebut yang memuat sekurang-kurangnya : 1) Nama dan alamat perusahaan atau pemberi kerja. 2) Nama dan alamat pekerja/ buruh. 3) Jenis pekerjaan yang dilakukan. 4) Besarnya upah dan/ atau imbalan lainnya. f. Daftar tersebut diatas disampaikan kepada Instansi yang membidangi ketenagakerjaan selambat-lambatnya 7(tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/ buruh. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada Instansi yang membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak penanda tanganan. 5) Perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Pekerjaan Waktu Tertentu secara hukum dapat berubah menjadi Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak tertentu dalam hal : a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak dibuat dalam huruf latin dan Bahasa Indonesia. b. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) musiman yang tidak tergantung pada musim tertentu dan dilakukan bukan sebagai pekerjaan tambahan. c. Bertentangan dengan waktu yang diperjanjikan dalam produk baru. d. Masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tidak terpenuhi. e. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan masih berlaku, maka penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan bagi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). 2. Peraturan Perusahaan Peraturan Perusahaan dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Universitas Sumatera Utara
84
Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.119 a. Tata cara pembuatan Peraturan Perusahaan : 1) Peraturan Perusahaan wajib bagi perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 (sepuluh) orang pekerja.120 2) Peraturan Perusahaan berlaku sejak disyahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 3) Peraturan Perusahaan yang disusun menjadi tanggung jawab pengusaha. 4) Peraturan Perusahaan disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil tenaga kerja yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan tenaga kerja atau pengurus Serikat Pekerja/ serikat buruh (SP/SB). 5) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang berlaku atau hanya sebagai pelengkap atau penyempurnaan/pelaksanaan tambahan dari aturan yang telah ada. 6) Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat : a) b) c) d) e)
Hak dan kewajiban pengusaha. Hak dan kewajiban pekerja. Syarat-syarat kerja.121 Tata tertib perusahaan. Jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan.
119
Pasal 108 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ibid. Pelanggaran Pasal ini, mendapat Sanksi Pidana paling sidikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). 121 Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 111 Undang-Undang No.13 Tahun. 2003 tentang Ketenagakerjaan. Yang dimaksud dengan syarat kerja dalam hal ini adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. 120
Universitas Sumatera Utara
85
7) Masa berlaku Peraturan Perusahaan hanya untuk 2 (dua) tahun yang dapat diperbaharui kembali apa bila ada perubahan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya dapat diperlakunya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil
tenaga kerja/SP/SB dan harus mendapatkan
pengesahaan dari mentri dan pejabat yang dihunjuk. 8) Dalam satu perusahaan hanya boleh dibuat 1 (satu) Peraturan Perusahaan yang berlaku di perusahaan,
dan bagi perusahaan yang mempunyai
cabang dibuat Peraturan Perusahaan Induk yang berlaku disemua cabang serta dapat dibuatkan Peraturan Perusahaan turunan yang berlaku di masingmasing cabang sesuai dengan kondisi hubungan industrial masing-masing cabang. 9) Dalam suatu group perusahaan yang mempunyai Badan Hukum tersendiri, maka Peraturan Perusahaan dibuat oleh masing-masing perusahaan. Langkah awal dari pembuatan Peraturan Perusahaan yaitu Pengusaha harus menyampaikan naskah rancangan Peraturan Perusahaan kepada tenaga kerja atau Pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) perusahaan untuk mendapatkan saran dan pertimbangan. Saran dan Pertimbangan dari wakil Pekerja atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) perusahaan sudah diterima dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah naskah diterima oleh pekerja.122 Dalam hal Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) atau wakil pekerja telah menyampaikan saran dan pertimbangan, maka pengusaha wajib memperhatikan 122
Pasal 112 ayat (4) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Universitas Sumatera Utara
86
saran dan pertimbangan tersebut dan dalam hal 14 hari wakil pekerja atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh dapat mengajukan pengesahan peraturan disertai bukti bahwa pengusa telah meminta saran dari wakil tenaga kerja atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) b. Tata cara Pengesahan Peraturan Perusahaan 1) Pengesahan Peraturan Perusahaan dilakukan oleh : a) Instansi yang membidangi ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) Wilayah Kabupaten/Kota. b) Instansi yang membidangi ketenagakerjaan Propinsi untuk perusahaan yang terdapat lebih dari 1 Kabupaten/Kota dalam 1 Propinsi. c) Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan jaminan Sosial untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) Propinsi. 2) Permohonan Pengesahaan Peraturan Perusahaan : Permohonan Pengesahan peraturan perusahaan diajukan rangkap 3 (tiga) yang telah ditanda tangani oleh pengusaha dengan melampirkan : a) Bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB). b) Mengajukan permohonan tertulis yang memuat identitas perusahaan secara umum, wilayah kerja perusahaan, jumlah tenaga kerja atau
Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) dan masa berlaku Peraturan Perusahaan (PP) serta pengesahan yang keberapa. Pejabat yang dihunjuk untuk melakukan pengesahaan atas Peraturan Perusahaan yang diajukan pengusaha wajib
Universitas Sumatera Utara
87
meneliti dan menerbitkan Surat Keputusan Pengesahaan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterima permohonan pengesahan oleh pengusaha. Apabila materi Peraturan Perusahaan yang diajukan oleh pengusaha ditemukan adanya pasal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku atau kurangnya kelengkapan, wajib dikembalikan kepada pengusaha untuk diperbaiki dalam waktu 7 (tujuh) hari untuk dilengkapi atau diperbaiki dalam waktu 14 (empat belas) hari.Bagi perusahaan yang mengajukan permohonan peraturan perusahaan tidak memenuhi syarat atau tidak mengajukan perbaikan yang dimintakan, maka perusahaan yang bersangkutan dianggap belum memiliki peraturan perusahaan. Ketentuan-ketentuan dalam peraturan Perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya tetap berlaku sampai ditanda tanganinya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau disahkannya peraturan perusahaan yang baru dalam hal Perjanjian Kerja Bersama (PKB) belum
mencapai
kesepakatan,
maka
pengusaha
wajib
mengajukan
permohonan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan. 3) Perubahan materi Peraturan Perusahaan. Dalam hal pengusaha akan mengadakan perubahan ini peraturan perusahaan dalam waktu tenggang waktu masa berlaku peraturan perusahaan, perubahan tersebut harus didasarkan kesepakatan antara wakil tenaga kerja atau SP/SB dan harus mendapatkan pengesahan kembali dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari materi peraturan perusahaan sebelumnya, apabila pengesahan tidak diajukan oleh pengusaha, maka perubahan tersebut dianggap tidak ada.
Universitas Sumatera Utara
88
4) Pembaharuan Peraturan Perusahaan. Pengusaha wajib mengajukan pembaharuan peraturan perusahaan paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya masa berlakunya masa
peraturan
perusahaan untuk mendapatkan pengesahan. Apabila dalam pembaharuan peraturan perusahaan terdapat perubahan materi dari
peraturan perusahaan
sebelumnya, maka perubahan materi tersebut harus didasarkan atas kesepakatan antara perwakilan tenaga kerja/Serikat Buruh (SP/SB). Perjanjian Perburuhan adalah hasil perundingan antara pihak-pihak yang berkepentingan, maka isinya pada umumnya telah mendekati keinginan buruh dan majikan. Berbeda dengan peraturan majikan dalam Perjanjian Perburuhan, majikan tidak dapat memasukkan apa saja yang ia kehendaki untuk menekan atau merugikan buruh. Karena itu perjanjian perburuhan di Negara Barat memainkan peranan yang sangat penting. Hampir tiap peraturan yang mengatur hubungan kerja diberbagai perusahaan adalah hasil musyawarah antara majikan dan
serikat buruh yang
bersangkutan. Di Indonesia perkembangan Perjanjian Perburuhan belum dapat berkembang dengan baik dan lebih condong menguntungkan pihak majikan, dimana majikan lebih suka mengatur segala sesuatu dalam peraturan majikan, yang pembuatannya tidak memenuhi syarat-syarat yang diminta oleh aturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
89
D. Kerangka Hukum Perjanjian Kerja yang dibuat Perusahaan dan Tenaga Kerja yang Didaftarkan pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan Dalam rangka melindungi tenaga kerja dari permasalahan perburuhan yang kompleks,
pemerintah
mengeluarkan
Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
Di Indonesia undang-undang tentang Ketenagakerjaan yang berlaku pada saat ini yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Mengenai perlindungan bagi pekerja/ buruh secara umum dalam undang-undang tersebut diatur mengenai perlindungan terhadap penyandang cacat, perlindungan terhadap perempuan, perlindungan terhadap waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, juga perlindungan dalam hal pengupahan dan dalam hal kesejahteraan. Demikian pula halnya dalam pembuatan perjanjian kerja juga telah diatur berbagai ketentuan yang mewajibkan pihak pengusaha atau perusahaan memenuhi berbagai ketentuan yang berlaku, termasuk pula memenuhi berbagai ketentuan yang harus dibuat dalam suatu peraturan perusahaan. Dalam sebuah peraturan pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada Pekerja/Buruh (P/B). Peraturan perusahaan secara umum berisikan hal-hal sebagai mana termuat dalam uraian dibawah ini :123
123
Sumber : Dinas Sosial dan Tenagakerja Kota Medan, 2010
Universitas Sumatera Utara
90
TABEL 1 ISI PERATURAN PERUSAHAAN (PP) PADA UMUMNYA No.
MATERI
URAIAN ISI
(1) 1.
(2) Identitas Perusahaan
(3) Berisikan nama,alamat badan Hukum,jenis usaha dan /atau kedudukannya sebagai kantor pusat atau kantor cabang/perwakilan.
2.
Pendahuluan
Memuat latar belakang,maksud dan tujuan pembuatan PP, harapan serta tekad untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing pihak secara sungguh- sungguh guna kelancaran dan kemajuan usaha dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya.
3.
Ketentuan umum
Terdiri dari pengertian-pengertian terhadap istilah atau kata yang banyak digunakan didalam batang tubuh PP untuk mudah dipahami dan dipatuhi bersama.
4.
Status dan Penggolongan Pekerja.
5.
Pengupahan
Mengatur tata cara dan persyaratan penerimaan pekerja, status, masa percobaan, macam-macam dan penggolongan pekerja, penilaian dan penghargaan prestasi, keluarga pekerja dan Fasilitas yang diberikan terhadap keluarga pekerja yang diterima setempat atau yang diterima dari luar daerah. Usia pekerja paling rendah dan usia pansiun Dalam pengaturan pengupahan ini antara lain diatur mengenai sistem pengupahan,kenaikan gaji dan pangkat,tunjangan-tunjangan, premi upah lembur. pengaturan sistem pengupahan, misalnya sistem upah bersih, atau disamping upah uang diberikan juga dalam bentuk natura sebagai bagian dari upah.
6.
Peraturan Pekerja
7.
Isitirahat
Disini dapat diatur tentang: a)jam kerja dan waktu kerja, b) aturan beregu, c) pemindahan dan fasilitas yang diberikan kepada pekerja yang dipindahkan karena kepentingan perusahaan. Lamanya istiraharat tahunan, tata cara pelaksanaannya, perseorangan atau masal.
Universitas Sumatera Utara
91
8.
Perlengkapan Kerja
9.
Pendidikan dan Latihan
10.
Perawatan Kesehatan
11
Fasilitas dan Kesejahteraan
12
Peraturan Tata Tertib
13
Perlindungan Kerja
Fasilitas yang diberikan dalam menjalani cuti panjang, tata cara pelaksanaannya dan fasilitas yang diberikan. Pakaian kerja, alat-alat kerja, Fasilitas kerja, dalam hal apa dan kapan diberikan, cara mempertanggung jawabkan. Perlengkapan K3 seperti helm, topi, kacamata, dan sabuk pengaman. Diadakan di dalam atau di luar perusahaan, mengenai tehnis dan atau mengenai manajemen, persyaratan dan pemberian kesempatannya. Bentuk-bentuk perawatan yang diberikan untuk pekerja, keluarga, istri dan jumlah anak yang ditanggung, usia anak paling tinggi yang ditanggung, pembiayaan perawatan atau pengobatan tersebut antara lain : a) Perawan dirumah sakit, b) pemeriksaan mata dan pembelian kaca mata, c) perawatan gigi, d) biaya bersalin, c) Perawan pada dokter spesialis. a) Perumahan, Transport, beasiswa anak, tugas belajar, hadiah akhir tahun, penghargaan ulang tahun perusahaan, tunjangan hari raya (THR), b)perlindungan, jaminan sosial, asuransi, bantuan hari tua, dan pensiun, c) santunan ahli waris dan d) hadiah perkawinan, bantuan melahirkan, dan sumbangan kematian . Dalam ketentuan ini diatur kewajiban dan larangan bagi pekerja, hubungan atasan bawahan dan sebaliknya. Tindakan yang dibolehkan dan atau dilarang didalam pekerjaan atau di luar pekerjaan, misalnya keharusan datang tepat pada waktunya , mentaati perintah atasannya, larangan meninggalkan pekerajaan sebelum waktunya/ tanpa izin. Diatur pemberian alat-alat perlindungan kerja, kewajiban untuk memakai alat perlindungan kerja serta sanksinya bilamana alat tersebut dengan sengaja tidak digunakan, dan sebagainya. Di bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3), menjaga kebersihan keamanan, ditentukan tempat-tempat yang tidak boleh merokok.
Universitas Sumatera Utara
92
14
15
16
17
Tindakan Disiplin
a) Keluh Kesah Diatur tata cara dan kepada siapa keluh kesah dapat disampaikan, batas waktu dan prosedur penyelesaiannya. Dalam hal penyelesaian tidak memuaskan, diatur atasan selanjutnya yang akan menerima dan menyelesaikannya keluh kesah tersebut. b) Peringatan/Skorsing Diatur jenis-jenis peringatan pelanggaran yang dapat dikenakan surat peringatan. beberapa lama surat peringatan berlaku, dan akibat selanjutnya terhadap diberikan surat peringatan. Dibedakan dan dijelaskan mengenai macam-macam skorsing, masa berlaku dan akibatnya. Dalam hal apa diberikan skorsing sebagai tindakan pencegahan pengulangan kesehatan atau penelitian atas tuduhan kesalahan atau dalam proses permohonan PHK. Pemutusan Hubungan Dibuat kualifikasi kesalahan (ringan, sedang, dan Kerja (PHK) berat) yang dapat mengakibatkan PHK, pemberian kompensasi atas macam-macam kesalahan tersebut. PHK atas permintaan pekerja dan hak-hak yang dapat diberikan dan besarnya pemberian dimaksud. PHK karena keadaan perusahaan atau karena adanya kebijakan pemerintah, diatur kompensasinya. Usia Tua/ Pensiun Diatur tata cara, hak dan kewajiban pekerja untuk dapat memperoleh jaminan usia tua/ pensiun. kapan dan dapat diperolehnya, bagai mana cara pembayaran jaminan dan manfaatnya. Penutup
Meliputi waktu pembuatan, tempat dan tanda tangan yang membuat atau yang bertangung jawab. Ditandatangani oleh wakil pekerja/ SP, sekurang-kurangnya dua orang, sebagai bukti persetujuan, dengan diberi catatan telah menyetujui isi dari PP.
Sumber : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, 2010
Universitas Sumatera Utara
93
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa dalam hal hubungan kerja antara tenaga kerja dan pengusaha atau perusahaan harus dibuat dalam bentuk perjanjian kerja dan peraturan perusahaan dengan memenuhi berbagai persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun demikian, walaupun syarat dan ketentuan isi dari suatu perjanjian kerja telah diatur dengan ketentuan perundang-undangan, namun tetap saja perjanjian kerja tersebut masih memiliki kelemahan di dalam penerapannya. Dalam perjanjian kerja yang dibuat secara sukarela dengan tertulis tidak diatur ketentuan yang menguntungkan pekerja, bahkan cenderung merugikan bagi pekerja, dimana perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja apabila terjadi suatu peristiwa yang merugikan perusahaan tanpa memberikan surat peringatan maupun hak apapun bagi tenaga kerja. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam penyusunan perjanjian kerja para pihak yaitu tenaga kerja dan perusahaan merupakan 2 (dua) faktor yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan terjadinya sinergi kedua faktor itu baru perusahaan akan berjalan dengan baik. Namun demikian, dalam praktek terjadinya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian kerja antara tenaga kerja dan dan perusahaan dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja yang terlebih dahulu dipersiapkan oleh perusahaan.124 Hal ini dapat dilihat dari beberapa Perjanjian Kerja yang diperoleh dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, khususnya terhadap Perjanjian Kerja Waktu
124
Hasil Wawancara dengan Robert Tambunan, Kabid. Hubinsyaker Tenaga Kerja Kota Medan, Wawancara Juli 2010.
Dinas Sosial dan
Universitas Sumatera Utara
94
Tidak Tertentu (PKWTT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusahaan-perusahaan di Kota Medan. Berdasarkan penelaahan terhadap beberapa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Peraturan Perusahaan dimana di dalamnya tercantum Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) tersebut dimana di dalamnya belum mencerminkan perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak pekerja. Hal ini diketahui dari periode tahun tahun 2008 sampai dengan periode tahun 2010 ditemukan adanya 20 (dua puluh) perjanjian kerja yang didaftarkan ke Dinas Tenaga Kerja Kota Medan. Diantara 20 (dua puluh) perjanjian kerja tersebut diantaranya terdapat beberapa perjanjian kerja yang dianjurkan untuk dilakukan perubahan
antara
lain
karena
sangat
merugikan
tenaga
kerja,
yaitu
kebanyakan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan 1 (satu) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, dimana dalam perjanjian tersebut tidak sepenuhnya memenuhi asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata dan Ketentuan UndangUndang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.125 Berdasarkan penelaahan pada dua jenis perjanjian yang didaftarkan pada Dinas Tenaga Kerja Kota Medan, dapat diketahui bahwa kerangka perjanjian kerja tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini. 1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
125
Hasil Wawancara dengan B. Elida Ginting, Kasi Syaker dan Pengupahan, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, Wawancara Juli 2004
Universitas Sumatera Utara
95
Berdasarkan hasil penelaahan pada salah satu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diketahui bahwa dalam perjanjian dimuat, antara lain : a. Nama Perusahaan, dan Nomor Perjanjian serta waktu dan identitas para pihak yang menandatangani perjanjian, yaitu tenaga kerja dan pihak yang mewakili perusahaan. b. Pertimbangan dilakukannya perjanjian kerja, yang menguraikan tentang alasan dilaksanakannya perjanjian kerja. c. Isi Perjanjian yang meliputi 1) Lingkup dan Tugas Pekerjaan 2) Kewajiban dan Tanggung Jawab 3) Sifat Hubungan Kerja 4) Waktu Kerja dan Istirahat (Off) 5) Upah Bulanan, Lembur dan THR 6) Kesepakatan Jamsostek 7) Cuti 8) Mangkir dan Izin Meninggalkan Pekerjaan 9) Pemutusan Hubungan Kerja 10) Ganti Rugi 11) Penyelesaian Perselisihan 12) Berakhirnya Kesepakatan 13) Penutup Perjanjian Kerja dimaksud selanjutnya ditandatangani oleh para pihak yang tercantum dalam Perjanjian Kerja ini.126 2. Perjanjian Kerja Untuk Jangka Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Seperti halnya pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berdasarkan hasil penelaahan pada salah satu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWT) juga diketahui bahwa dalam perjanjian dimuat, antara lain : 126
Lihat Lampiran, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, PT NIKITA SANJAYA Nomor : 01/ PKWT/XII/2009
Universitas Sumatera Utara
96
a. Nama Perusahaan, dan Nomor Perjanjian serta waktu dan identitas para pihak yang menandatangani perjanjian, yaitu tenaga kerja dan pihak yang mewakili perusahaan. b. Pertimbangan dilakukannya perjanjian kerja, yang menguraikan tentang alasan dilaksanakannya perjanjian kerja. c. Isi perjanjian yang meliputi 1. Persetujuan tenaga kerja untuk bekerja dengan jangka waktu yang tidak tentu dan jenis pekerjaan yang menjadi kewajibannya 2. Imbalan atau Kompensasi 3. Jangka waktu pekerjaan sebagai masa percobaan dan hak pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja. 4. Pemberitahuan mengenai pemutusan hubungan kerja 5. Larangan mangkir kerja 6. Pemutusan hubungan kerja atas keinginan tenaga kerja tanpa pesangon 7. Larangan bagi tenaga kerja 8. Persetujuan tanpa paksaan 9. Penyelesaian perselisihan dan 10. Ketentuan penutup dan juga diakhir dengan penandatanganan oleh para pihak.127 Berdasarkan penelaahan dari kedua jenis perjanjian tersebut diketahui bahwa kerangka yang diatur di dalam perjanjian kerja belum sepenuhnya menggambarkan adanya perlindungan bagi tenaga kerja. Dari kedua jenis perjanjian kerja dimaksud perlindungan sebagian besar hanya berlaku bagi pekerja dengan status tetap. Berdasarkan penelitian terhadap Surat Perjanjian Kerja yang dibuat oleh pengusaha dan hasil wawancara singkat dengan pekerja/buruh, ditemukan PKWT dan juga PKWTT yang dibuat tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang127
Lihat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, PT. Mekada Abadi No. 010/AUDITMEDAN/ HRD/MEI/2007
Universitas Sumatera Utara
97
undangan yang berlaku. PKWT yang diterapkan pengusaha tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dalam salah satu klausul dalam perjanjian kerja tersebut khususnya mengenai lamanya atau jangka waktu pekerjaan. Dari kedua perjanjian kerja (terlampir) tersebut sebagian besar ketentuan yang diatur lebih memberatkan tenaga kerja dan menguntungkan baik mengenai waktu kerja maupun terhadap hak pekerja atas UMK, Jamsostek, dan perlindungan terhadap keselamatan kerja. Khusus terhadap penetapan upah masih sering terjadi pelanggaran, dimana menurut Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 561/4894/K/TAHUN 2010 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010 yang berlaku adalah sebesar Rp. 965.000,- (sembilan ratus enam puluh lima ribu rupiah), sedangkan untuk menurut Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 561/032/K/TAHUN 2010 tentang Penetapan Upah Minimum Kota Medan Tahun 2010 adalah sebesar Rp 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah). Namun pihak pengusaha di Kota Medan dalam menetapkan upah lebih memilih menetapkan berdasarkan UMK dan provinsi yang relatif lebih rendah. Padahal undang-undang dan peraturan lainnya mengharuskan perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan yang berlaku baik Undang-Undang No. 13 Tahun 2004, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu maupun ketentuan upah
Universitas Sumatera Utara
98
minimum yang berlaku khusus di tingkat daerah. Namun demikian, tenaga kerja tetap saja menerima pekerjaan sebagai PKWT maupun PKWTT meskipun bertentangan dengan undang-undang dengan berbagai alasan diantaranya alasan ketidaktahuan dan alasan kebutuhan akan pekerjaan walaupun kedudukannya sangat lemah dan perjanjian yang dibuat tidak sesuai dengan ketentuan perundangundangan.
Universitas Sumatera Utara