9 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Pengertian Self Assessment System Self assessment system sebagai sistem penetapan pajak di Indonesia telah diterapkan sejak tax reform tahun 1983, setelah sebelumnya pernah diberlakukan official assessment system. Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
besarnya
pajak yang
harus
dibayar. Official
assessment system
merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Fiskus untuk menentukan besarnya pajak terutang. Self Assessment terdiri dari dua kata bahasa Inggris, yakni self yang artinya sendiri, dan to asses yang artinya menilai, menghitung, menaksir. Dengan demikian, pengertian self assessment adalah menghitung atau menilai sendiri. Jadi, wajib pajak sendirilah yang menghitung dan menilai pemenuhan kewajiban perpajakannya. Menurut Moh. Zain (2007: 1.2) bahwa sistem pemungutan yang di anut Indonesaia adalah sistem self- assessment dengan pengertian bahwa wajib pajak bertanggung jawab atas segala pembukuan atau pencatatan yang diperlukan untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang, yang dilakukannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT). Wajib pajak menetapkan sendiri jumlah pajak yang 9
10 terutang dengan cara mengalikan tarif orisinil dengan dasar pengenaan pajaknya, kemudian memperhitungkan berapa besar pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan yang dikenal dengan istilah kredit pajak, yang akan menghasilkan pajak yang kurang bayar atau nihil bayar atau lebih bayar. Fungsi penghitungan memberi hak kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang
sesuai
dengan peraturan
perpajakan
dan
atas
dasar
fungsi
penghitungan wajib pajak berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos. Fungsi terakhir dari wajib pajak adalah melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang telah dibayar ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sistem pemungutan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah self assessment system yaitu ketetapan pajak yang ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang dilakukannya dalam SPT. Self assessment system merupakan tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi Wajib Pajak atau pemotong/pemungut pajak dan respon wajib pajak terhadap pengenaan pajak tersebut (Moh. Zain, 2003: 10). Pada tipe ini wajib pajak mendapat beban yang sangat berat, karena: (1) Wajib Pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, (2) Menghitung Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP), (3) Mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang maksudnya mengurangi pajak yang terutang dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan, dan (4) Melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang terutang.
11 Jiwa dari self assessment adalah pemerintah (Dirjen Pajak) yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung dan menetapkan sendiri besarnya
kewajiban
pajak
yang
harus
dibayar wajib
pajak.
Perhitungan besarnya pajak ini harus diakui kebenarannya sebelum Dirjen Pajak
dapat
membuktikan
yang sebaliknya,
karena
didalam
asas
self
assessment ada unsur pendelegasian wewenang oleh Dirjen Pajak, maka sebagai konsekwensinya Dirjen Pajak harus menciptakan
sistem kontrol secara
memadai, sebab pendelegasian wewenang tanpa kontrol akan mengakibatkan timbulnya penyalahgunaan wewenang. Sistem kontrol Dirjen Pajak dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Menghitung
Tarif x DPP
Pajak Terutang
(PT) Memperhitungkan
Pajak dilunasi dalam tahun berjalan
Self -Assessment
Kredit Pajak (KP)
(PT – KP)
Membayar PT > KP Kurang Bayar
PT = KP Nihil Bayar
PT < KP Lebih Bayar
Melapor
Masa
Restritusi Atau Kompensasi
Surat Pemberitahuan Tahunan
Gambar 1. Sistem Self Assessment (Mohammad Zain, 2007: 1.7)
12 Surat
pemberitahuan (SPT) merupakan surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak, obyek pajak dan bukan obyek pajak,
atau harta dan kewajiban. Dasar hukum untuk
melakukan pengisian SPT adalah terdapat dalam pasal 3 ayat 1 dan (1a) UU KUP menyebutkan bahwa “setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan”. Menurut Undang-undang No. 16 tahun 2000 KUP perpajakan, SPT dapat dibagi menjadi, SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu masa pajak dan SPT Tahunan adalah surat-surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pengisian SPT Tahunan PPh oleh Wajib pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan (PPh) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP)
fungsi
SPT adalah
sebagai
sarana
untuk
melaporkan dan
mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Niai atas barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang. Mengisi SPT adalah mengisi SPT dengan benar, jelas dan lengkap, sesuai sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
13 Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2007 sudah mulai berlaku dan salah satu perubahan yang dibuat adalah sanksi atas keterlambatan atau tidak mepelaporkan SPT sebagaimana diatur dalam UU KUP. Nah, sanksi Pasal 7 yang baru ini adalah sebagai berikut: 1. Atas keterlambatan atau tidak melaporkan SPT Masa PPN dikenakan sanksi Rp 500.000,2. Atas keterlambatan atau tidak melaporkan SPT Masa lainnya dikenakan sanksi Rp 100.000,3. Atas keterlambatan atau tidak melaporkan SPT Tahunan PPh Badan dikenakan sanksi Rp 1.000.000,4. Atas keterlambatan atau tidak melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dikenakan sanksi Rp 100.000, Dengan demikian, sanksi Pasal 7 ini nampaknya diberlakukan mulai tahun dan/atau masa pajak 2008 sehingga penerapannya dimulai masa pajak Januari 2008. Untuk SPT Tahunan, penerapannya semestinya untuk tahun pajak 2008 atau baru akan dirasakan tahun depan ketika pelaporan tahun pajak 2008. Jadi, yang mungkin terasa sekali perubahannya sekarang ini adalah sanksi Pasal 7 untuk PPN di mana yang dulu hanya Rp 50.000,- sekarang menjadi Rp500.000,- atau naik sepuluh kali lipat. Ketentuan ini nampaknya untuk memaksa PKP agar melaporkan SPT Masa PPN tepat waktu agar proses konfirmasi faktur pajak berjalan lancar. Selama ini, PKP yang terlambat atau menunda melaporkan SPT Masa PPN akan menghambat proses konfirmasi PPN.
14 Yang dirugikan adalah pembelinya karena faktur pajaknya bisa dianggap tidak ada sehingga tidak bida dijadikan pajak masukan. Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melakukan pembayaran, penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara melalui kantor pos, Bank BUMN atau Bank BUMD dan tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan, Mardiasmo (2003). Fungsi dari SSP adalah sebagi sarana untuk membayar pajak, sebagai bukti dan pelaporan pembayaran pajak. Dalam
pelaksanaan
self
assessment system,
Wajib Pajak tidak serta merta mengisi formulir pajak dan diperiksa oleh Fiskus. Persoalan yang meski kita kedepankan adalah betapa pentingnya pengetahuan yang cukup tentang perpajakan dan berbagai peraturannya yang dituangkan secara gamblang, baku, lugas, tegas, jelas, tidak bermakna ganda, dan tidak
terlalu
sering
berubah
(Tarjo
dan Sawarjuwono,
2005: 25).
Selanjutnya harus disampaikan kepada wajib pajak sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang salah. Jadi, self assessment system adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal dengan: 1. Mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak. 2. Menghitung dan atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang. 3. Menyetor pajak tersebut ke bank persepsi/kantor pos. 4. Melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.
15 5. Menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik dan benar. Tata cara pemungutan pajak dengan self assessment system akan berhasil dengan baik apabila masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi, di mana ciri-ciri self assessment system adalah adanya kepastian hukum, sederhana, penghitungannya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata, dan penghitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak Menurut Rimsky K. Judisseno selanjutnya dikutip oleh Siti Kurnia Rahayu dan Sony Devano (2006: 101), menjelaskan bahwa: “Self assessment system diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Konsekuensinya, masyarakat harus benar-benar mengetahui tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan pemenuhan perpajakan”. Self assessment system menyebabkan wajib pajak mendapat beban berat karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak terutang, menyetorkan jumlah pajak terutang. Karena menuntut kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka sistem ini juga akan menimbulkan peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, pemanipulasian perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang harusnya dibayarkan. Adapun ciri self assessment system, antara lain:
16 a. Wajib pajak (dapat dibantu oleh konsultan pajak) melakukan peran aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. b. Wajib pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban perpajakannya sendiri. c. Pemerintah dalam hal ini instansi perpajakan, melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak, melalui pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peraturan yang berlaku. Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa pemberian kepercayaan sepenuhnya pada wajib pajak (dapat dibantu konsultan pajak) untuk menentukan penetapan besarnya pajak yang terutang sendiri dan kemudian melaporkan pembayaran pajak dan penghitungan pajak secara teratur jumlah pajak terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.1.2 Prinsip Self Assessment System Sebelum UU No. 6 Tahun 1983 lahir, penghitungan pajak dilakukan oleh fiskus (aparat pajak). Sistem pemungutannya dikenal dengan istilah official assessment system. Perpindahan dari official assessment ke self assessment inilah yang kemudian ditandai sebagai reformasi perpajakan. Prinsip self assessment ini tampak pada Pasal 12 UU KUP. Berikut kutipannya:
17 1. Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak 2. Jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada ayat (1) tampak UU KUP menghendaki wajib pajak bersifat aktif dalam membayar pajak. Aktif di sini berarti menghitung sendiri pajak yang terutang tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak. Prinsip self assessment pada UU KUP bahkan mengandung makna bahwa hasil perhitungan WP, berapa pun itu, untuk sementara dianggap sebagai perhitungan menurut ketentuan yang berlaku, sebagaimana dinyatakan pada ayat (2). Pasal 12 kemudian ditutup dengan ayat (3) yang berbunyi, “Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.” Ayat (3) ini berfungsi sebagai pengendali. Jadi, apabila kemudian diketahui bahwa perhitungan yang dilakukan oleh WP keliru, barulah fiskus membenarkannya. Namun, dengan aturan daluarsa pajak berjangka 5 tahun, perlu diketahui bahwa perhitungan WP dianggap benar dan sah untuk selamanya apabila dalam jangka waktu 5 tahun tidak ada pemberitahuan kesalahan perhitungan.
18 Self assessment system memindahkan beban pembuktian kepada fiskus. Wajib pajak dianggap benar sampai fiskus dapat membuktikan adanya kesalahan tersebut. 2.1.3 Kepatuhan Wajib Pajak Kondisi perpajakan yang menuntut keikutertaan aktif wajib dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi. Yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya. Karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak (dilakukan sendiri atau dibantu oleh ahli misalnya praktisi perpajakan nasional/taxagent) bukan fiskus selaku pemungut pajak, sehinggga kepatuhan diperlukan dalam self assessment system dengan tujuan penerimaan pajak yang optimal. Ismawan (2001: 82) mengemukakan prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela. Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut. Kriteria Wajib Pajak patuh menurut (Mohamad Zain, 2003: 31) yaitu: (1) Wajib Pajak paham dan berusaha memahami undang-undang perpajakan; (2) Mengisi formulir pajak dengan benar; (3) Menghitung dengan jumlah yang benar; dan (4) Membayar pajak tepat pada waktunya. Menurut Safri Nurmantu (dalam Siti Kurnia Rahayu dan Sony Devano, 2006: 10) kepatuhan adalah sebagai berikut:
19 ”Kepatuhan wajib pajak yaitu kepatuhan perpajakan yang didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.” Lebih lanjut Chaizi (dalam Siti Kurnia Rahayu, 2009: 139) kepatuhan adalah sebagai berikut: ”Kepatuhan wajib pajak didefinisikan sebagai berikut: 1. Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri 2. Kepatuhan wajib pajak untuk menyetorkan kembali SPT 3. Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang 4. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.” Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak sebagai”suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi (Devano, 2006: 110) sebagai berikut. 1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. 2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. 3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. 4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Kepatuhan sebagai fondasi self assessment dapat dicapai apabila elemenelemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemen-elemen kunci (Ismawan, 2001: 83) tersebut adalah sebagai berikut. a. Program pelayanan yang baik kepada wajib pajak. b. Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak. c. Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif. d. Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.
20 Ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan jiwa undang- undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal. Pada tahun 2008 telah dikeluarkan SE-02/PJ/2008 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu sebagai ”turunan” dari Peraturan Menteri
Keuangan No. 192/PMK.03/2007. Syarat-syarat Wajib Pajak Patuh
menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 192/PMK.03/2007 adalah sebagai berikut: a.
Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam tahun terakhir.
b. Penyampaian SPT Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Nopember tidak lebih dari 3 masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut. c.
SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya.
d. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, meliputi keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan
21 sebagai Wajib Pajak Patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan. e.
Laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian (WTP) selama tiga tahun berturut-turut dengan ketentuan disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi Wajib Pajak yang wajib menyampaikan SPT Tahunan dan juga pendapat akuntan atas laporan keuangan yang diaudit ditandatangani oleh akuntan publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas akuntan publik.
f.
Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 tahun terakhir. Kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan adalah
merupakan tujuan utama dari pemeriksaan pajak, sehingga darii hasil pemeriksaan akan diketahui tingkat kepatuhan wajib, bagi Wajib Pajak yang tingkat kepatuhannya rendah, diharapkan akan memberikan motivasi positif agar untuk masa-masa selanjutnya menjadi lebih baik. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dilakukan dalam hal: a. SPT menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan Wajib Pajak. b. SPT tahunan pajak menunjukkan rugi c. SPT tidak disampaikan atau disampaikan tidak tepat pada waktunya.
22 d. SPT yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. e. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut tidak dipenuhi. Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung self assessment system, dimana wajib pajak bertanggungjawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakannya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya tersebut.
2.2 Hubungan Pelaksanaan Self Assessment System dengan Kepatuhan Wajib Pajak Badan Konstribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan Negara diharapkan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyebab peningkatan penerimaan pajak adalah karena
sejak tahun
fiskal 1984 pemerintah
memberlakukan reformasi perpajakan dengan menerapkan self assessment system dalam pemungutan pajak. Berbeda dengan sistem pemungutan pajak sebelumnya, yaitu official assessment system. Self assessment system memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Dengan kata lain, wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Self assessment system menuntut adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak merupakan faktor terpenting dari pelaksanaan sistem
23 tersebut. Harahap (2004: 43) menyatakan bahwa dianutnya self assessment system membawa misi dan konsekuensi perubahan sikap (kesadaran) warga masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance). Kepatuhan memiliki kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung self assessment system. Wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut (Siti Kurnia Rahayu dan Sony Devano, 2006: 110). Berkaitan dengan hal di atas, maka penelitian yang dilakukan oleh Cullis, John dan Jones, Philip
(2012) dalam jurna internasionalnya mengemukakan
bahwa tingkat diamati kepatuhan pajak lebih tinggi dari tingkat diprediksi (ketika prediksi didasarkan pada Allingham dan model neoklasik Sandmo''s penghindaran pajak). Mereka lebih tinggi jika norma-norma sosial mengakui pentingnya kepatuhan. Tapi bagaimana keputusan sosial norma frame untuk membayar pajak. Dapatkah teori prospek diterapkan untuk menumpahkan wawasan tentang cara yang norma-norma sosial menggunakan pengaruh mereka. Analisis respon kuesioner (dari Italia dan dari Inggris) menunjukkan bahwa mereka menggunakan pengaruh mereka dengan mengubah titik referensi bahwa individu digunakan saat mereka perubahan kode sebagai 'keuntungan', atau 'kerugian'. Bukti menunjukkan bahwa norma-norma sosial membingkai keputusan untuk membayar pajak dengan mengubah persepsi individu dari hak mereka untuk pendapatan. Pertimbangan ini penting ketika merancang kebijakan untuk mencegah penghindaran. Selain itu, jurnal nasional yang dilakukan oleh Raskolnikov, Alex (2009) mendeskripsikan bahwa Orang membayar pajak mereka untuk berbagai alasan.
24 Beberapa memilih untuk permainan sistem, membayar hanya ketika biaya ketidakpatuhan melampaui manfaatnya. Lainnya memenuhi karena kebiasaan, rasa tugas atau timbal balik, keinginan untuk menghindari perasaan bersalah atau malu, dan untuk alasan lainnya. Pajak sistem penegakan kami telah mengabaikan ini berbagai pembayar pajak motivasi selama beberapa dekade. Hal ini terus mengandalkan terutama pada audit dan denda, setidaknya di mana informasi pelaporan dan pemotongan tidak mungkin. Denda dan audit mencegah orangorang rasional memainkan permainan kepatuhan pajak, tetapi boros atau bahkan kontraproduktif bila diterapkan kepada orang lain. Kekurangan dari saat ini satuukuran-cocok-semua pendekatan penegakan pajak dipahami dengan baik. Mereka juga tampaknya dapat diatasi. Pasal ini berpendapat bahwa adalah mungkin untuk merancang sebuah rezim yang lebih disesuaikan. Idenya adalah untuk pembayar pajak terpisah berdasarkan motivasi mereka pembayar pajak dengan menciptakan dua rezim yang berbeda dan penegakan mendorong pembayar pajak untuk memilih satu ketika mereka mengajukan pengembalian tahunan mereka. Dengan pemisahan ini selesai, pemerintah dapat menargetkan penegakan dengan cara mencocokkan kebijakan penegak hukum untuk jenis wajib pajak. Mereka yang memilih untuk permainan sistem akan tergoyahkan oleh hukuman yang lebih tinggi dalam satu rezim. Semua orang akan dibujuk untuk mengikuti dengan langkah-langkah penegakan koperasi yang lain. Jika berhasil, pemisahan dan penegakan ditargetkan akan meningkatkan kepatuhan pajak tanpa menaikkan biaya sosial, atau menjaga tingkat kepatuhan tidak berubah sementara membuat administrasi pajak yang lebih efisien.
25 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan self assessment system dengan kepatuhan wajib pajak badan. Keberhasilan self assessment system tidak tercapai tanpa adanya kerjasama yang terjalin dengan baik antara fiskus dan wajib pajak. Faktor utama penentu keberhasilan self assessment system ini adalah terwujudnya kesadaran kejujuran dari masyarakat khususnya para wajib pajak, untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Tujuan tersebut hendaknya dapat tercapai dengan adanya program-program yang dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pajak sehingga masyarakat patuh dalam melaksanakan pembeyaran pajak yang dilakukannya. Pernyataan di atas didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Atika Irmawati Lestari tahun
dengan berjudul Pengaruh
Penerapan Self Assessment System Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada KPP DKI Jakarta Khususnya Jakarta Pusat, yang mengemukakan bahwa hasil analisis yang didapat dengan menggunakan Statistical Package Sosial Science atau SPSS Versi 12.0 pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat. Uji normalitas menyatakan bahwa sebaran data dari KPP tersebut adalah normal. Analisis korelasi antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,486 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan cukup kuat. Analisis korelasi antara WP Badan Terdaftar dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,4 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan cukup kuat. Analisis korelasi antara WP Badan Efektif dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,232 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan lemah. Hasil
26 anova (Uji F) adalah sebesar F hitung 7,694 dengan F tabel 2,87, maka Ha diterima secara bersama-sama variabel bebas. 2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya oleh Atika Irmawati Lestari tahun 2012, dengan berjudul “Pengaruh Penerapan Self Assessment System Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada KPP DKI Jakarta Khususnya Jakarta Pusat”, dengan objek penelitian penerapan self asessment system dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan, hasil penelitian menunjukan bahwa: Hasil analisis yang didapat dengan menggunakan Statistical Package Sosial Science atau SPSS Versi 12.0 pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat. Uji normalitas menyatakan bahwa sebaran data dari KPP tersebut adalah normal. Analisis korelasi antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,486 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan cukup kuat. Analisis korelasi antara WP Badan Terdaftar dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,4 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan cukup kuat. Analisis korelasi antara WP Badan Efektif dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,232 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan lemah. Hasil anova (Uji F) adalah sebesar F hitung 7,694 dengan F tabel 2,87, maka Ha diterima secara bersama-sama variabel bebas. Selanjutnya, penelitian yang sama pula yang dilakukan oleh Yuniasih, 2009 dengan judul penelitian “Pengaruh Penerapan Self Asessment System Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Cilandak”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien
27 korelasi sederhana yang dihasilkan antara Penerapan Self Asessment System (X) dengan Kepatuhan Wajib Pajak Badan (Y) adalah sebesar 0,913. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Self asessment system mempunyai hubungan yang kuat dan positif terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan. Dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Untuk lebih jelasnya dapat dijabarkan pada tabel berikut: Tabel 2. Penelitian Terdahulu Nama
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Atika Irmawati LestarI, 2012
Pengaruh Penerapan Self Assessment System Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada KPP DKI Jakarta Khususnya Jakarta Pusat
Penerapan Self Assessment System dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan.
Teguh Nugroho Hermawan, 2010
Pengaruh Persepsi Self Asessment System Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Pribadi pada KPP Pratama Setiabudi Satu
Penelitian
Hasil Penelitian
Hasil analisis yang didapat dengan menggunakan Statistical Package Sosial Science atau SPSS Versi 12.0 pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat. Uji normalitas menyatakan bahwa sebaran data dari KPP tersebut adalah normal. Analisis korelasi antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,486 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan cukup kuat. Analisis korelasi antara WP Badan Terdaftar dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,4 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan cukup kuat. Analisis korelasi antara WP Badan Efektif dengan Realisasi didapatkan hasil dengan nilai r 0,232 dengan P < 0,05, dengan kategori hubungan lemah. Hasil anova (Uji F) adalah sebesar F hitung 7,694 dengan F tabel 2,87, maka Ha diterima secara bersama-sama variabel bebas. Persepsi Self Ssessment 1. Dalam pelaksanaan self System dan Tingkat assessment system memberikan Kepatuhan Wajib kebebasan kepada wajib pajak Pajak Badan. untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dan aparat pajak diberi peran untuk mengawasi dalam
28
Yuniasih, 2009
Pengaruh Penerapan Self Asessment System Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Cilandak
pelaksanaannya 2. Persepsi self assessement system berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak badan dan persepsi self aasessment system memiliki hubungan yang kuat dan positif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak badan sebesar 98,7% atau dengan kata lain 1,3% ditentukan oleh faktor lain Penerapan Self Koefisien korelasi sederhana yang Asessment System dan dihasilkan antara Penerapan Self Tingkat Kepatuhan Asessment System (X) dengan Wajib Pajak Badan Kepatuhan Wajib Pajak Badan (Y) adalah sebesar 0,913. Hal ini menunjukkan bahwa Penerapan Self Asessment System mempunyai hubungan yang kuat dan positif terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan. Dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.
2.4 Kerangka Pemikiran Kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak merupakan faktor terpenting dari pelaksanaan self assessment system tersebut.
Dianutnya self
assessment system membawa misi dan konsekuensi perubahan sikap (kesadaran) warga masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance). Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment. Wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut. Siti Kurnia Rahayu dan Sony Devano (2006: 101), menjelaskan bahwa Self assessment system diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran
29 masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Konsekuensinya, masyarakat harus benar-benar mengetahui tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan pemenuhan perpajakan. Self assessment system menyebabkan wajib pajak mendapat beban berat karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak terutang, menyetorkan jumlah pajak terutang. Karena menuntut kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka sistem ini juga akan menimbulkan peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, pemanipulasian perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang harusnya dibayarkan. Pada prinsipnya kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu Negara. Predikat wajib pajak patuh dalam arti disiplin dan taat, tidak sama dengan wajib pajak yang berpredikat pembayar pajak dalam jumlah besar, tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan jumlah nominal setoran pajak yang dibayarkan pada kas Negara. Karena, pembayar pajak terbesar sekalipun belum tentu memenuhi kriteria sebagai wajib pajak patuh, meskipun memberikan konstribusi besar pada negara, jika masih memiliki tunggakan maupun keterlambatan penyetoran pajak maka tidak dapat diberi predikat wajib pajak patuh.
30 Menurut Safri Nurmantu (dalam Siti Kurnia Rahayu dan Sony Devano, 2006:10) kepatuhan adalah kepatuhan wajib pajak yaitu kepatuhan perpajakan yang didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan membayar pajak sangat penting untuk diupayakan agar kewajiban tersebut lebih
di
dasarkan
pada kesadaran
dan
kepatuhan
masyarakat
yang
timbul dan dirasakan oleh wajib pajak sendiri (kepatuhan secara sukarela), dari pa da
hanya sebagai keharusan yan akan efektif apabila disertai dengan paksaan
atau sanksi belaka. Berdasarkan landasan teori pada tinjauan pustaka diatas, maka secara skema kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:
31
Permasalahan Penelitian Berdasarkan fenomena dan Kesediaan teoritis serta studi empiris tentang pelaksanaan self assessment system dan kepatuhan wajib pajak badan yang ada di kantor pelayanan pajak Pratama Gorontalo, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan memformulasikan judul penelitian “Pengaruh Pelaksanaan Self Assessment System Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan yang Terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Gorontalo”.
Penelitian Terdahulu
Dasar Teori Mohammad Zain (2007: 1.2) mengemukakan bahwa sistem pemungutan yang di anut Indonesaia adalah sistem self assessment dengan pengertian bahwa wajib pajak bertanggung jawab atas segala pembukuan atau pencatatan yang diperlukan untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang, yang dilakukannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT). Sedangkan kepatuhan wajib pajak menurut Safri Nurmantu (dalam Siti Kurnia Rahayu dan Sony Devano, 2006: 10) mendefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.”
1. Atika Irmawati LestarI (2012) dengan judul penelitian “Pengaruh Penerapan Self Assessment System Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada KPP DKI Jakarta Khususnya Jakarta Pusat” 2. Teguh Nugroho Hermawan (2010) dengan judul penelitian “Pengaruh Persepsi Self Asessment System Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada KPP Pratama Setiabudi Satu” 3. Yuniasih (2009) dengan judul penelitian “Pengaruh Penerapan Self Asessment System Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Cilandak Hilir-
Riau”
Diduga pelaksanaan self assessment system Berpengaruh terhadap kepatuhan wajib wajib pajak pajak badanbadan Diduga pelaksanaan self assessment system Berpengaruh terhadap kepatuhan Reklame
Variabel X:
Variabel Y:
Pelaksanaan Self Assessment System
Kepatuhan Wajib Pajak
Gambar 2 Kerangka Berpikir
2.5 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Diduga terdapat pengaruh pelaksanaan self assessment system terhadap kepatuhan wajib pajak badan yang terdaftar pada Kantor pelayanan pajak Pratama Gorontalo.