Model Uji Kinerja dan Kompetensi; Integrasi Sistem Penilaian Kinerja dan Sistem Pengakuan Kompetensi (Rita Kardinasari )
MODEL UJI KINERJA DAN KOMPETENSI: INTEGRASI SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN SISTEM PENGAKUAN KOMPETENSI
MODEL OF PERFORMANCE AND COMPETENCY ASSESSMENT: INTEGRATED PERFORMANCE ASSESSMENT SYSTEM AND COMPETENCY RECOGNITION SYSTEM Rita Kardinasari
Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat Jl. Ternate No. 2 Bandung e-mail:
[email protected] (Diterima 29 Mei 2015, Direvisi 15 Juni 2015, Disetujui 18 Juni 2015)
Abstrak Aparatur Sipil Negara sebagai profesi memerlukan sistem pengakuan kompetensi sebagai implementasi akuntabilitas kinerja kepada masyarakat selaku pengguna hasil kerja Pegawai ASN. Kinerja didasari oleh kapabilitas dan kapasitas kompetensi pegawai, untuk mampu bekerja sesuai dengan standar. Diperlukan model pengakuan kompetensi yang berberbasis hasil kerja, agar pengembangan kompetesi dan pemeliharaan kompetensi pegawai sinergi dengan sasaran kinerja yang bermuara kepada pencapaian sasaran kinerja organisasi dan kepada pengakuan profesi pegawai ASN sebagai aset bangsa. Kata kunci: Aparatur Sipil Negara, kompetensi, penilaian kinerja
Abstract State Apparatus as a profession requires a system that applies competency recognition as the implementation of performance accountability to the public as the service users. Performance is based on each employee’s capability and capacity of competency to work according to standards. This requires a model of competencies recognition based on work evidance, therefore the development of competencies and maintenance of employee competence will synergizes with the target performance that in further future is geared towards the achievement of organization’s performance objectives and to the recognize the ASN’s profession as an asset of the nation. Key words: State Aparatus, competency, performance assessment
PENDAHULUAN Lahirnya Undang undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU-ASN) mengiringi masuknya era kepemimpinan baru di bawah Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai motor operasi tata laksanan pemerintahan serta pelaksana pelayanan publik kini menghadapi tantangan adaptasi dan perubahan pada dua aspek, yaitu adaptasi dengan seperangkat aturan dan sistem mengenai dirinya sebagai ASN, dan beradaptasi dengan orintasi program kepemimpinan baru dibawah Kepala Negara yang baru. Visi misi presiden Joko Widodo yang menjadi kompas program pemerintah dikenal dengan program Nawa Cita. Adapun program Nawa Cita dimaksud adalah : 1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa
2. 3. 4.
5.
aman pada seluruh warga negara. Melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas-aktif. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui program Indonesia Pintar dengan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan, program Indonesia Sehat untuk peningkatan layanan kesehatan masyarakat, serta Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera dengan mendorong program kepemilikan tanah seluas sembilan juta hektar. 59
Civil Service VOL. 9, No.1, Juni 2015 : 59 - 77
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik. 8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalu penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. 9. Memperteguh Kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui penguatan kebhinekaan dan menciptakan ruang dialog antar warga Bappenas menjabarkan visi misi Presiden, 7 agenda prioritas dan 9 cita-cita Presiden tersebut menjadi rancangan perencanaan pembangunan nasional (RPJMN) 2015-2019. Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, RPJMN disahkan Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Dalam Peraturan Presiden dimaksud, RPJM Nasional menjabarkan strategi pembangunan nasional kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro. Kerangka ekonomi menyertakan arah kebijakan fiskal yang akan menjadi landasan anggaran belanja Negara. Dengan demikian, RPJMN 2015-2019 berfungsi sebagai pedoman dalam perencanaan, pengembangan, dan pelaksanaan pembangunan nasional untuk mencapai kesejarahteraan rakyat, sebagaimana digariskan dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Dalam lampiran Peraturan Presiden dimaksud, ditegaskan bahwa arah pembangunan nasional Indonesia lima tahun ke depan adalah memprioritaskan upaya mencapai kedaulatan pangan, kecukupan energi dan pengelolaan sumber daya maritim dan kelautan, peningkatan kesejahteraan berkelanjutan, pembentukan karakter bangsa dan menumbuhkan jiwa gotong royong, serta menjaga keharmonisan antar kelompok sosial. Dijabarkan pula postur pertumbuhan perekonomian yang berkualitas, yaitu bersifat inklusif, berlandaskan keunggulan sumber daya manusia serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan antar ekonomi, antar wilayah, dan keseimbangan lingkungan. 60
Dalam pasal 2 ayat (3) pada Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015, ditegaskan bahwa RPJMN berfungsi sebagai; 1. Pedoman bagi Kementerian/Lembaga dalam menyusun rencana strategis. 2. Bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah. 3. Pedoman pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP). 4. Acuan dasar dalam pemantauan dan evaluasi RPJM Nasional. RPJM Nasional menjadi landasan untuk melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan, mulai dari skala pembangunan lingkup wilayahnya, regional, hingga pembangunan nasional. Proses ini dilakukan dalam suatu program rembuk yang dikenal dengan program musyawarah rencana pembangunan sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Rencana Kerja Pemerintah memuat prioritas pembangunan termasuk target perekonomian yang akan dicapai sehingga dalam bentuk arah program program kementerian/lembaga, lintas kementerian/ lembaga kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. Dengan demikian, RKP merupakan pedoman bagi penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) . Dalam tatanan Pemerintah Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode dua puluh tahun (RPJP). RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan jangka panjang daerah disusun mengacu kepada RPJP Nasional. RPJMD, adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk perioda 5 tahunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah dengan berpedoman pada RPJP Daerah serta memperhatikan RPJM Nasional. Dokumen ini dikembangkan melalui serangkaian kegiatan musyawarah rencana pembangunan di tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota. Musrenbang merupakan forum konsultasi para pemangku kepentingan untuk menghasilkan kesepakatan perencanaan pembangunan di daerah sesuai kewenangan urusannya dalam cakupan wilayahnya. Hal ini menjadi rujukan dalam menetapkan bentuk
Model Uji Kinerja dan Kompetensi; Integrasi Sistem Penilaian Kinerja dan Sistem Pengakuan Kompetensi (Rita Kardinasari )
program kegiatan dan stuktur APBD. Dokumen perencanaan dan penggunaan APBN atau APBD selajutnya dilakukan dalam kerangka anggaran Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK). PBK terdiri dari indikator kinerja, standar kinerja, dan evaluasi kinerja. Ketiga aspek tersebut menggambarkan kualitas penggunaan anggaran, kualitas program, serta kualitas implementasi hubungan antara alokasi dan kualitas kinerja. Hasil evaluasi kinerja organisasi akan menjadi pertimbangan untuk alokasi anggaran tahun berikutnya. Setiap instansi selanjutnya menyusun kebutuhan anggaran berdasarkan program dan kegiatan yang direncanakan. Dokumen kegiatan dan dokumen anggaran sejatinya merupakan gambaran penggunaan uang rakyat dalam aktivitas kerja instansi, Kementerian, Badan, Lembaga, dan seluruh organisasi perangkat daerah dalam bentuk komitmen kinerja yang akan dihasilkan. Setiap organisasi menjabarkan program-program dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam bentuk rencana strategis dan rencana kerja. Dari uraian diatas, disimpulkan, pegawai ASN sebagai komponen inti pelaksana kegiatan memiliki panduan dan arah aktivitas kerja yang terstruktur dengan biaya yang disediakan. Pegawai ASN akan menjadi roda pelaksanaan RPJMN ketiga yang (2015-2019) difokuskan untuk pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Maka pegawai ASN akan bekerja dibawah kerangka tema “Melanjutkan Reformasi Pembangunan Bagi Percepatan Pembangunan Ekonomi yang Berkeadilan”, yang dijabarkan dalam 25 isu strategis sebagai daya ungkit perekonomian dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka itu, pegawai ASN dintuntut mampu mengembangankan diri dan mengarahkan kinerja sesuai dengan arah pembangunan. Menghadirkan cara kerja baru agar mampu menjadi akselerator pembangunan. Segenap pegawai ASN merupakan meditor, inovator, dan akselerator begi tercapainya visi pembagunan yaitu ‘Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian gotong royong.’
Dalam tatanan individual, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah mengamanatkan adanya dokumen yang berisikan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan program dan kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja. Kinerja yang disepakati termasuk outcome sebagai bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas pengguna anggaran. Perjajian kinerja sebagaimana tertuang dalam dokumen akuntabilitas kinerja menjadi dasar pengukuran kinerja individu dalam konsep Sasaran Kinerja Pegawai (SKP). SKP sebagai indikator legal formal merupakan instrument pengukuran kinerja pegawai sebagaimana diamatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi kerja PNS (PP Penilaian Prestasi Kerja PNS). Penilaian kinerja pegawai secara akurat dan akuntabel dilakukan guna memberikan dasar dalam pengambilan keputusan manajemen dan administrasi kepegawaian, seperti identifikasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan, rekrutmen pegawai, seleksi, mutasi, rotasi, promosi, sistem remunerasi. Dalam sistem penilaian prestasi kerja saat ini, penilaian dilakukan oleh pimpinan sebagai pengguna hasil kerja, namun tidak lagi rawan subjektif dan tidak memberikan ruang bagi porsi perkiraan dan perasaan. Penilaian prestasi kerja dilakukan dengan menelusur ketercapaian upaya pegawai dalam melaksanakan apa yang diperjanjikan dalam Sasaran Kinerja Pegawai, sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya. Prestasi kerja pegawai ASN mencakup dua aspek yaitu ketercapaian SKP dengan bobot 60% dan perilaku kerja dengan bobot 40 %. Menurut PP Nomor 46 tahun 2011 Sasaran Kerja Pegawai adalah rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang pegawai ASN. Oleh karena itu setiap pegawai wajib menyusun SKP berdasarkan rencana kerja tahunan instansi. Pegawai ASN yang tidak menyusun SKP seperti dijelaskan pada Pasal 6 Peraturan ini akan dijatuhi hukuman 61
Civil Service VOL. 9, No.1, Juni 2015 : 59 - 77
disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai disiplin pegawai. SKP yang telah disetujui dan ditetapkan akan menjadi dasar penilaian bagi pejabat penilai. Penilaian capaian Sasaran Kerja Pegawai Negeri Sipil diukur dengan membandingkan antara realisasi dengan target dari aspek kuantitas, kualitas, waktu dan biaya. Merujuk pada Mitrani, A. Daziel, M. and Fitt, D. (2001), ada empat tahapan dalam penilaian kinerja yang ideal : 1. Penentuan tujuan pekerjaan mengacu pada deskripsi jabatan dan visi organisasi. 2. Tujuan individu pengampu jabatan. 3. Rencana capaian kinerja individu pengampu jabatan. 4. Pelaksanaan penilaian yang terdiri dari monitoring pelaksanaan pekerjaan, penilaian di akhir tahun, dan pemberian insentif/ tunjangan kinerja berdasarkan hasil penilaian. Konsep diatas, tampak dalam sistem penilaian prestasi kerja pegawai ASN dimana sistem ini mengandung unsur perencanaan kerja dan target yang akan dicapai, serta relalisasi target tersebut. Aktivitas kerja pegawai yang mengacu kepada perjanjian kinerja dan perencanaan kerja. Dengan kata lain, SKP menggambarkan dampak dari aktivitas kerja pegawai yang seharusnya terwujud akibat aktivitas kerjanya, dan bukti dari implementasi perjajian kerja pimpinan secara berjejang. Perjanjian kinerja adalah komitmen Kepala Kemetrian Badan dan Lembaga di Pemerintah Pusat atau Kepala Daerah dalam mengejawantahkan RPJM dalam suatu bentuk Rencana Kerja Organisasi melalui Visi dan Misi Kepala Daerah atau Kepala Kemetrian Badan dan Lembaga di Pemerintah Pusat. Dalam sistem penilaian prestasi kerja terdapat beberapa aspek yang menggambarkan kualitas kerja Pegawai ASN dan kapasitas organisasi yaitu: 1. Aspek kuantitas Penilaian capaian SKP diukur dari aspek kuantitas dilakukan dengan membandingkan antara Realisasi Output (RO) dengan Target Output (TO) yang menggambarkan kemampuan bekerja melebihi target. 2. Aspek kualitas Penilaian capaian SKP diukur dari aspek kualitas dilakukan dengan membandingkan 62
antara Realisasi Kualitas (RK) dengan Target Kualitas (TK) yang menggambarkan keterampilan kerja untuk memberikan hasil kerja dengan kualitas yang melebihi target. 3. Aspek waktu Penilaian capaian SKP diukur dari aspek waktu dihitung dari nilai tertimbang (NT=1,76) dikalikan dengan Target Waktu (TW) dikurangi Realisasi Waktu (RW) dibagi Target Waktu (TW) dikali 100 yang menggambarkan kemahiran kerja untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari waktu yang ditargetkan. 4. Aspek biaya Penilaian capaian SKP diukur dari aspek biaya dihitung dari nilai tertimbang (NT=1,76) dikalikan dengan Target Biaya (TB) dikurangi Realisasi Biaya (RB) dibagi Target Biaya (TB) dikalikan 100 yang menggambarkan kemampuan efisiensi biaya dan ketepatan perencanaan utnuk menyelesaikan pekerjaan sesuai anggaran biaya yang disediakan. 5. Perilaku Kerja Perilaku kerja terdiri dari aspek orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerjasama, dan khusus bagi pejabat struktural ditambah satu dimensi yaitu kepemimpinan. Definisi operasional indikator tersebut sebagaimana tercantum dalam PP Penilaian Prestasi Kerja adalah: a. Orientasi pelayan adalah sikap dan perilaku kerja pegawai dalam memberikan pelayanan terbaik kepada yang dilayani antara lain meliputi masyarakat, atasan, rekan sekerja, unit kerja terkait, dan/atau instansi lain. b. Integritas adalah kemampuan untuk bertindak sesuai dengan nilai, norma dan etika dalam organisasi. c. Komitmen merupakan kemauan dan kemampuan untuk menyelaraskan sikap dan tindakan pegawai untuk mewujudkan tujuan organisasi dengan mengutamakan kepentingan dinas daripada kepentingan diri sendiri, seseorang, dan/atau golongan. d. Disiplin merupakan kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan
Model Uji Kinerja dan Kompetensi; Integrasi Sistem Penilaian Kinerja dan Sistem Pengakuan Kompetensi (Rita Kardinasari )
perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggardijatuhi hukuman disiplin. e. Kerja sama merupakan kemauan dan kemampuan pegawai untuk bekerja sama dengan rekan sekerja, atasan, bawahan dalam unit kerjanya serta instansi lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan tanggung jawab yang ditentukan, sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesarbesarnya. f. Kepemimpinan merupakan kemampuan dan kemauan pegawai untuk memotivasi dan mempengaruhi bawahan atau orang lain yang berkaitan dengan bidang tugasnya demi tercapainya tujuan organisasi. Dari uraian diatas, aspek SKP pada dasarnya mampu memberikan informasi mengenai kemampuan kerja pegawai sekaligus memberikan infromasi akan kelemahan kerja pegawai. Dalam skala organisasi, SKP mampu memberikan arah telusur indikator kinerja yang mengacu kepada indikator organisasi, sehingga penilaian ini pada akhirnya mampu menggabarkan kinerja organisasi. Aspek perilaku kerja, menggambarkan kondisi psikologis pegawai, kualitas adaptasinya terhadap tugas, serta kemampuan kontrol diri untuk menampilkan sikap dan perilaku kerja yang sesuai tuntutan organisasi. SKP dan perilaku kerja dinilai oleh atasan langsung, selaku pengguna hasil kerja pegawai yang bersangkutan. Bahkan pimpinan yang tidak memberikan penilaian memiliki konsekuensi hukuman disiplin. Nilai komulatif prestasi kerja menjadi dasar pemberian tunjangan kinerja sekaligus menjadi dasar penjatuhan hukuman disiplin. Pendekatan efektivitas dan efisensi dalam penyelengaraan pemerintah sebagai mana diamatkan dalam Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014 tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara telah memberikan tuntutan lain kepada pegawai untuk lebih kreatif menjalankan SKP dengan cara yang efisien namun efektif, tanpa mengurangi kualitas hasil kerjanya. Adanya jumlah pegawai yang pensiun secara besar besaran pada tahun 2018 juga menuntut adanya akselerasi alih keterampilan
dan pemutakhiran cara kerja berbasis teknologi informasi untuk mengefisienkan jumlah pegawai. Dikatakan Aucoin, ( 1998) dalam Crawford (1999) bahwa imbalan atas prestasi kerja pegawai tidak hanya berupa insentif, namun juga berupa promosi dan pengakuan profesional yang memberikan reputasi positif dilingkungan kerja maupun lingkungan sosialnya. Hal ini dapat dipahami, dalam sistem penilaian prestasi kerja, pegawai dituntut memiliki modal kapasitas diri dan kapabilitas yang dilandasi oleh kompetensi dan potensi yang dimilikinya, untuk dapat bekerja sesuai target atau bahkan melebihi target, dengan kualitas yang baik serta dilakukan dengan efesien. Aspek kreativitas yang juga menjadi salah satu aspek prestasi kerja menunutut pegawai mampu mengembangkan pola dan cara kerja yang inovatif serta berdampak terhadap kualitas hasil kerja dan efesiensi anggaran. Kompetensi Dalam Kinerja Kompetensi menggambarkan “bagaimana”, dalam kaitannya dengan pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang efektif digunakan dalam bekerja sesuai dengan SKP yang telah ditetapkan. Kompetensi juga memberikan gambaran sejauhmana kontribusi pengetahuan, keterampilan, sikap pegawai digunakan dalam mencapai hasil kerja. Dalam penilaian prestasi kerja, tidak tergambarkan proses kerja, apakah dilakukan oleh pegawai ASN sendiri, atau melalui mekanisme penggunaan jasa pihak lain. Meskipun SKP merupakan bagian dari bukti prestasi, capaian SKP belum menggambarkan kompetensi kerja pegawai. Hal ini didasari belum adanya telusur antara proses kerja dengan tugas pokok dan fungsi dalam lingkup kewenanngan jabatannya. Idealnya, proses bekerja mengantarkan individu untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam kerangka konteks tugasnya. Semakin lama bekerja, individu seharusnya semakin mahir bekerja. Kemahiran ini diharapkan melahirkan pemutakhiran dan perbaikan dalam konteks sektor tersebut. Sebagaimana terjadi terjadi di dunia swasta, organisasi senantiasa mencari cara baru untuk meningkatkan efektivitas kinerja dan dengan demikian menjadi lebih kompetitif di pasar dunia. Mereka mengembangkan model kompetensi sesuai dengan karakteristik, visi, 63
Civil Service VOL. 9, No.1, Juni 2015 : 59 - 77
misi organisasinya yang terintegrasi dengan penilaian kinerja. Sophie (2010) menyarankan bahwa pengelolaan SDM yang bertugas dalam pelayanan publik dapat mengadopsi beberapa pendekatan yang dilakukan di sektor swasta. Salah satu yang disarankan adalah dengan menyertakan standar kompetensi kerja sebagai konten atau modal kapital individual pegawai dalam melaksanakan tugas kerja, sesuai dengan target kinerjanya. Pengembangan kompetensi pada pegawai di sektor pemerintah dan pelayanan publik didasarkan seperangkat kompetensi yang dibutuhkan sejalan dengan rencana stretegis secara nasional dan global. Terry Hill Lee Perlitz (2011) mengidentifikasi kompetensi sebagai gabungan kemampuan dengan potensi Individu yang dapat menjabarkan faktor keberhasilan kerja seorang pegawai dan terbentuknya kinerja yang efektif. Lucia dan R. Lepsinger (1999) mendefinisikan kompetensi sebagai alat deskriptif yang mengidentifikasi keterampilan, pengetahuan, karakteristik pribadi, dan perilaku yang diperlukan untuk secara efektif melakukan peran dalam organisasi untuk memenuhi tujuan strategis. Australia menggunakan model kompetensi sebagai ukuran ketercapaian pengetahuan, keterampilan, dan atribut yang dimiliki individu terhadap standar yang ditetapkan dalam melakukan suatu tugas. Model ini memungkinkan pengukuran kinerja pegawai, berfokus pada hasil yang diinginkan, menggambarkan akuntabilitas kinerja, serta memberikan arah persyaratan kerja yang pada akhirnya memberikan informasi akan efektivitas suatu rangkaian perilaku kerja yang dilakukan pegawai. Dalam dokumen National Public Sector Training Package yang diterbitkan Pemerintah Australia tahun 2012, dapat disimpulkan bahwa standar kompetensi tidak hanya menyediakan pedoman untuk rencana karir masa depan dalam organisasi, tetapi juga memperkuat komitmen pegawai terhadap organisasi. Dengan demikian, standar kompetensi memberikan arah pengembangan keterampilan yang komprehensif dan mengidentifikasi prospek karir jangka panjang. Kesenjangan kompetensi merupakan informasi program tindak lanjut serta dasar program pelatihan, pemagangan, pelatihan di tempat kerja, serta bentuk pengembangan 64
kompetensi lainnya. Skema ini mendorong kesesuaian program pelatihan dengan pencapaian target kinerja yang diharapkan, baik di tingkat individual maupuan target kinerja organisasi. Penilaian kinerja yang terintegrasi dengan penilaian kompetensi mampu memberikan transparasi dan mempererat hubungan pegawai sebagai individu dengan orgnisasi sebagai kendaraan yang berjalan kearah tujuan yang lebih besar sesuai dengan budaya organisasi yang ditetapkan. D. Lucia dan R. Lepsinger (1999) menggambarkan kompetensi sebagai “kendaraan untuk mendorong perubahan organisasi” Kompetensi bersifat kumulatif; setiap tingkat kompetensi terbangun karena adanya kompetensi ditingkat yang sebelumnya. Jika sistem ini diterapkan, maka perjalanan pengalaman kerja akan menghasilkan pegawai senior dan pemimpin yang kaya akan kompetensi, memiliki banyak riwayat kontribusi, dan mampu menghasilkan hal baru dalam sistem tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik. Sophie (2010) menyatakan bahwa kunci peningkatan kinerja adalah adanya informasi kepada pegawai bahwa pengetahuan, keterampilan dan perilaku kerja mereka telah berkontribusi dalam pencapaian target organisasi. Dengan demikian, diperlukan suatu sistem informasi kompetensi pegawai yang mengkonfirmasi bahwa kompetensi mereka telah sesuai dengan kompetensi yang disyaratkan dalam jabatan, sehingga organisasi memiliki pegawai yang dipastikan mampu mengerjakan target capaian kinerja. Sistem ini akan membuat biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik menjadi efisien, karena organisasi dapat melakukan tugas pekerjaan dengan menggunakan sumber daya pegawai yang dimilikinya. Jika p ro se s p e n ila ia n me ru p a ka n kendaraan utama dalam menelusur prestasi kerja, maka hasil kerja harus dapat memuaskan pengguna jasa dan proses penilaian harus menghasilkan kepuasan pegawai, untuk mejaga motivasi kerja yang menjadi daya dorong pegawai mengembangkan kompetensi sehingga lahir kompetensi baru. Penilaian kinerja yang terintegrasi dengan penilaian kompetensi memvalidasi kompetensi pegawai melalui penesuran proses kerja. Dalam SKP terdapat kolom anggaran
Model Uji Kinerja dan Kompetensi; Integrasi Sistem Penilaian Kinerja dan Sistem Pengakuan Kompetensi (Rita Kardinasari )
yang menggambarkan sejumlah uang yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan. Semakin banyak pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai, maka secara tidak langsung anggaran kegiatan telah digunakan untuk mengasah kompetensi pegawai. Tugas kerja dan program kegiatan akan menjadi arena praktek dan ajang unjuk kompetensi yang memungkinkan diberikan pengakuan kompetensi melalui bukti kerja yang juga bukti kompeten. Penerapan standar kompetensi kerja dalam sistem penilaian kinerja maupun dalam syarat jabatan memberikan definisi yang yang berhubungan langsung ke fungsi tertentu sehingga mampu memberikan batasan cakupan kerja. Hal ini serupa dengan komponen jabatan dimana jabatan merupakan pernyataan konteks dan konten melakukan suatu rangkaian pekerjaan. Sistem ini akan mendokumentasikan peran dan tanggung jawab serta menggambarkan bagaimana perkembangan seorang pegawai menjadi ahli dibidangnya. Penilaian kinerja difokuskan pada standar, penyelesaian tugas dan hasil terukur. Kompetensi digambarkan sebagai “kontributor” pengetahuan, keterampilan, sikap atau perilaku yang difasilitasi atau kinerja yang diaktifkan. Kinerja biasanya diukur dengan hasil kuantitatif sedangkan kompetensi perilaku biasanya kualitatif. Kompetensi berkorelasi dengan kinerja tetapi kinerja belum tentu menghasilkan komptensi, jika kinerja diukur melalui hasil, dan menafikan aspek proses bagaimana pegawai menyelesaikan tugas pekerjaannya. Merujuk kepada teori klasik Abraham Maslow, pada konteks individu, mereka memiliki dorongan aktualisasi diri melalui kebermaknaan dan partisipasi dalam lingkungan organisasinya. Dengan kata lain, prinsip psikologis dasar menegaskan kebutuhan individu untuk merasa kompeten dan memegang kendali. Pada dasarnya, kebutuhan aktualisasi diri akan mendorong individu mencari peluang untuk meningkatkan perasaan kompeten ini. Dengan demikian, kompetensi sejatinya dipandang sebagai sebagai komponen penting dari kinerja yang kompeten. Untuk memperkuat mekanisme intra individual ini, organisasi dapat menggunakan proses umpan balik dan pengakuan atas kompetensi pegawai. Tidak hanya itu, organisasi bahkan dapat memberikan pengakuan kompetensi
pegawai melalui pengakuan kompetensi, dengan menelusur capaian kinerja dan mengidentifikasi bukti kerja sebagai bukti kompeten dengan mengacu kepada standar kompetensi yang disyaratkan untuk melakukan serangkaian tugas kerja. Pengakuan kompetensi secara legal dan formal dilakukan melalui sertifikat kompetensi beradasarkan suatu metoda uji kompetensi yang berberbasis capaian kinerja pegawai. Individu pada dasarnya memerlukan validasi dan petunjuk. Karena itu standar kompetensi dapat menjadi perangkat pemberian umpan balik dimana dalam standar digambarkan tahapan dalam elemen, dan langkah dalam tahapan kerja dalam kriteria unjuk kerja. Kriteria unjuk kerja ini dapat di kontektualisasikan dengan target kinerja. Karena itu, umpan balik berbasis perilaku pada dasarnya adalah proses membandingkan hasil kerja dengan target kinerja dan membandingkan sebab hasil kerja atau akibat dari perilaku kerja sesuai standar kompetensi. PENILAIAN KOMPETENSI Penilaian kompetensi telah diamanatkan dalam Dalam UU-ASN: 1. Poin c: bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara. 2. Pasal 3 ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip sebagai berikut: - - Kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas (poin d). - - Kualifikasi akademik (poin e). 3. Pasal 69 Pengembangan Karier: Pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan kualifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan Instansi Pemerintah. 4. Pasal 117 (1) Jabatan Pimpinan Tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun. (2) Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat di65
Civil Service VOL. 9, No.1, Juni 2015 : 59 - 77
perpanjang berdasarkan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan berkoordinasi dengan KASN. 5. Pasal 118 (1). Pejabat Pimpinan Tinggi harus memenuhi target kinerja tertentu sesuai perjanjian kinerja yang sudah disepakati dengan pejabat atasannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Pejabat Pimpinan Tinggi yang tidak memenuhi kinerja yang diperjanjikan dalam waktu 1 (satu) tahun pada suatu jabatan, diberikan kesempatan selama 6 (enam) bulan untuk memperbaiki kinerjanya. (3) Dalam hal Pejabat Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menunjukan perbaikan kinerja maka pejabat yang bersangkutan harus mengikuti seleksi ulang uji kompetensi kembali. (4) Berdasarkan hasil uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pejabat Pimpinan Tinggi dimaksud dapat dipindahkan pada jabatan lain sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan rujukan diatas, maka pendekatan kompetensi mutlak dan melekat dalam sistem pengelolaan pegawai ASN. Hal ini telah mendaratkan konsep sinergitas antara modal personal berupa pendidikan, karakter, pelatihan pegawai dengan pengalaman kerja dan aktivitas kerja, serta tugas kerja yang dilakukannya saat ini. Capaian kinerja yang mencerminkan bukti kompeten akan menjadi arah jabatan yang dapat diampu dimasa selanjutnya. Dengan demikian, pendekatan kompetensi menjadi landasan akan kemampuannya saat ini, serta memiliki kekuatan prediktif akan jenjang karir selanjutnya. Penilaian kompetensi juga telah dimanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan 66
Daerah (UU Pemda) sebagaimana tercantum dalam; 1. Umum Poin 9 Inovasi Daerah Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya dukungan personel yang memadai baik dalam jumlah maupun standar kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dengan cara tersebut Pemerintah Daerah akan mempunyai birokrasi karir yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya. 2. Pasal 233 a. Pegawai aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) yang menduduki jabatan kepala Perangkat Daerah, harus memenuhi persyaratan kompetensi: a. teknis; b. manajerial; dan c. sosial kultural. b. Selain memenuhi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pegawai aparatur sipil negara yang menduduki jabatan kepala Perangkat Daerah harus memenuhi kompetensi pemerintahan. c. Kompetensi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian setelah dikoordinasikan dengan Menteri. d. Kompetensi pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku secara mutatis mutandis terhadap pegawai aparatur sipil negara yang menduduki jabatan administrator di bawah kepala Perangkat Daerah dan jabatan pengawas. Dari kedua landasan normatif diatas, maka kiranya perlu dikembangkan suatu model kompetensi yang terintegrasi dengan sistem kerja, agar kompetensi dapat dikembangkan seiring dengan tuntutan kerja dan seiring dengan sistem karir dan kinerjanya. Sehingga kompetensi pegawai ASN dapat dibangun secara berkelanjutan melalui cara yang efektif dan efisien. Dalam peraturan perudangan diatas, dikatakan bahwa standar kompetensi akan ditetapkan oleh Menteri. Hal ini merupakan
Model Uji Kinerja dan Kompetensi; Integrasi Sistem Penilaian Kinerja dan Sistem Pengakuan Kompetensi (Rita Kardinasari )
cerminan upaya standarisasi pengelolaan pemerintahan dan standarisasi pelayanan publik. Dengan demikian, negara melalui Pemerintah Pusat akan menjamin kualitas pegawai ASN dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat sebagai pengguna hasil kerja dan yang membayar gaji para pegawai ASN akan dijamin memperoleh pelayanan dan hak sebagai warga negara dari para pegawai yang kompeten. Adanya keterkaitan antara kompetensi dan kinerja dalam jabatan mendorong para Pegawai untuk memacu diri untuk senantiasa menampilkan hasil kerja terbaik dan meningkatkan kualitas kerja agar kompetensi yang disyaratkan dalam jabatannya dapat dipenuhi. Jika kompetensi telah dicapai oleh pegawai, melalui aktivitas kerja dalam suatu jabatan, maka mereka memiliki modal kompetensi untuk menduduki suatu jabatan dengan bebdan tugas dan tanggung jawab yang lebih tinggi, atau jabatan dengan rentang kewenangan yang lebih beragam dan objek kerja yang lebih beragam. Pada akhirnya, perjalanan karir akan diantarkan oleh landasan kompetensi sehingga para pemangku jabatan akan memiliki pengakuan keahlian secara legal dan formal sebagai ahli dalam suatu bidang. Perjalanan karir akan menjadi portopolio yang membuat para pegawai ASN sejajar dengan profesi lain di lingkup nasional maupun mancanegara. PEMBAHASAN Jika merujuk kepada pengertian kompetensi, pada arti etimologi kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan atau melaksanakan pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Pengertian lain terkait kompetensi: ”A competency refers to an individual’s demontrated knowledge, skills or abilities (KSA’s) performed to a specific standard. Competencies are observable, behavioral acts that require a combination of KSAs to execute. They are demonstrated in a job context and as such, are influenced by an organization’s culture and work environment. In other words, competencies consist of a combination of knowledge, skill and abilities that are necessary in order to perfom
a major task or function in the work setting.” (JGN Consulting Denver. USA). Kompetensi diartikan sebagai kemampuan seseorang yang terobservasi mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Ciri kompetensi adalah kelompok perilaku spesifik, dapat dilihat dan dapat diverifikasi secara reliabel dan logis, serta dapat dibuktikan sebagai hal-hal yang berpengaruh besar terhadap keberhasilan pekerjaan. Untuk mengetahui, mengukur, dan membedakan pegawai yang kompeten dan tidak kompeten, maka kompetensi yang dimiliki pegawai dipetakan menjadi sebuah informasi yang menggambarkan pengetahuan yang dimiliki, keterampilan, serta sikap yang digunakan dalam menyelesaikan tugas kerja. Dengan demikian, kompetensi pegawai dapat ditelusuri, diuji, dibuktikan, dan diakui. Proses uji kompetensi merupakan proses telaah banding kompetensi Pegawai dengan standar kompetensi yang menjadi syarat dalam jabatan. Standar kompetensi merupakan serangkaian pernyataan tentang pengetahuan yang dibutuhkan, keterampilan yang dibutuhkan, dan sikap kerja yang harus ditunjukan dalam menyelesaikan suatu tugas pekerjaan. Standar kompetensi dikatakan sebagai berikut: “written functional and technical requirements in the form of specifications or guidelines to ensure that a product, service, or process does what it is supposed to do. standards provides information that enables different parties to produce the same or compatible output.” Dari Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa standar kompetensi merupakan rujukan kinerja dalam menyelesaikan tugas di tempat kerja dimana definisi dan deskripsi tentang keterampilan (skills), pengetahuan (knowledge), serta sikap (attribute) yang harus ditunjukkan oleh seseorang sebagai wujud kompetensinya dalam melaksanakan tugas. Standar kompetensi merupakan persyaratan fungsional dan teknis yang tertulis dan terformulasi menjadi suatu spesifikasi atau petunjuk untuk memastikan bahwa hasil kerja, baik secara proses ataupun produk dilakukan sebagaimana mestinya. Standar kompetensi memuat informasi yang dapat digunakan oleh institusi yang berbeda namun menghasilkan hasil kerja yang sama. 67
Civil Service VOL. 9, No.1, Juni 2015 : 59 - 77
Dalam sistem penilaian prestasi kerja, hasil kerja dinyakan dalam standar kualitas, standar kuantitas, biaya, serta perilaku kerja yang mencerminkan adanya proses serangkaian aktivitas kerja. Jika dikaitkan dengan standar kompetensi, maka uraian tugas dan sasaran kinerja menggambarkan kebutuhan kompetensi yang harus dimiliki pegawai untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Tanpa konten kompetensi yang cukup, maka pekerjaan belum tentu memenuhi target kualitas dan kuantitas. Ketiadaan kompetensi yang dibutuhkan ini mendorong beberapa organisasi menggunakan pola kerja sama dengan pihak lain dalam pelaksanaan tugas kerja. Secara tidak langsung, hal ini mengambil arena pengembangan kompetensi pegawai dan membuat pegawai tidak punya bukti kompeten yang menjadi syarat kompeten pada suatu unit kompetensi. Dengan demikian, maka sistem penilaian kompetensi akan mendorong pegawai secara individu untuk menguasai dan merebut kembali arena asah kompetensinya, dan organisasi akan terdorong untuk mengembangkan pola pengembangan kompetensi bagi pegawai. Dalam sistem penilaian prestai kerja, bukti kerja dapat menjadi bukti kompeten. Dalam standar kompetensi terdapat syarat bukti kompeten yang bersumber dari aktivitas kerja. Karena itu, penilaian kompetensi menjadi hal yang sederhana karena dapat terintegrasi dengan penilian prestasi kerja. Namun, hal tersebut tidak cukup, untuk memberikan makna atas upaya kerja pegawai, kompetesi perlu diakui secara legal dan formal melalui sertifikat kompetensi. Cakupan Kompetensi UU-ASN Pasal 69 ayat 3 dan UU Pemda Pasal 233 ayat 1 Teknis Managerial Sosio Kultural Pemerintahan (Kepala OPD)
68
MODEL UJI KOMPETENSI DAN KINERJA Dalam penjelasan Undang Undang ASN dijabarkan; “pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/ atau pelayanan administratif yang disediakan pegawai ASN. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat. Dengan demikian, ruang lingkup tugas Pegawai ASN pada intinya adalah tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik untuk menciptakan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Maka jelas, standar kompetensi yang diperlukan, adalah seperangkat syarat pengetahuan, keteranpilan, dan sikap kerja untuk menjalankan kedua fungsi tersebut. Adapun jenis, konten, dan kategori kompetensi yang ditetapkan dalam peraturan perudangan bagi pegawai ASN adalah:
Konten dan Kategori kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis; kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman kepemimpinan; kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang terkait dengan kebijakan desentralisasi, hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah, pemerintahan umum, pengelolaan keuangan Daerah, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, hubungan Pemerintah Daerah dengan DPRD dan etika pemerintahan.
Model Uji Kinerja dan Kompetensi; Integrasi Sistem Penilaian Kinerja dan Sistem Pengakuan Kompetensi (Rita Kardinasari )
Uji kompetensi dan kinerja didefinisikan sebagai serangkaian proses pengumpulan bukti melalui beberapa metoda untuk menunjukan bahwa pegawai yang bersangkutan memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap kerja yang disimpulkan melalui kemampuan kerja dan dibuktikan melalui capaian kinerjanya. Dari rujukan diatas, maka konten kompetensi merupakan ruang lingkup tugas dan pekerjaan sektor tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik. Ruang lingkup sektor ini akan tercermin dalam tugas pokok dan fungsi, serta syarat jabatan sebagai bentuk spesifikasi teknis yang dibutuhkan agar tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik berjalan efektif. Tugas pokok dan fungsi merupakan peran dan arena dimana pegawai memberikan kontribusi modal personal berupa pengetahuannya, keterampilannya, tata caranya melaksanakan tugas, untuk tercapainnya target kinerja yang bermuara pada pencapaian target organisasi. Tugas pokok ini menjadi dasar
bagi penyusunan SKP yang juga bermuara kepada bukti pencapaiannya. Dalam aktivitas kerja sebagaimana yang tercantum dalam SKP, pegawai membuat target hasil kerjanya. Hal ini menjadi arah bagi penelusuran bukti kerja manifestasi proses kerja. Model uji kompetensi pada intinya adalah menelusur bukti yang dapat menjadi pijakan pengambilan keputusan, apakah yang bersangkutan memiliki bukti yang cukup dan sesuai dengan standar kompetensi. Penelusuran bukti dilakukan dengan berbagai metode. Secara sederhana, penelusuran bukti dilakukan dengan metoda langsung, yaitu bukti kerja yang dapat diobeservasi oleh alat indra penilai. Metode lain adalah bukti tidak langsung, dimana bukti diperoleh dengan menggunakan media seperti dokumen hasil kerja, umpan balik pengguna hasil kerja, atau hasil tes. Untuk lebih jelasnya, model uji kinerja dan kompetensi digambarkan dalam bagan berikut ini;
Gambar Sistem Uji Kinerja dan Kompetensi Pengakuan Instansi
Melalui LSP
Syarat Jabatan a. Standar kompetensi b. Syarat pendidikan c. Syarat pelatihan d. Syarat khusus lain Teknis Managerial Sosio Kultural Pemerintah
Tareget kinerja
Pengakuan kompetensi terkini
Proses kerja Hasil kerja Bukti kerja
Sertifikat Kompetensi
Rapot kerja
Bukti kompetensi
Uji Kompetensi
Pengakuan Kompetensi
Bukti Tidak Langsung (portopolio, umpan balik pengguna hasil kerja, hasil diklat, hasil kunjungan, tes, hasil tes)
Bukti Langsung (tes, demonstrasi, observasi
Dibandingkan dengan standar kompetensi, mengacu kepada syarat kompetensi pada unit kompetensi Belum Kompetensi Kompeten Pengumpulan Bukti lanjut Tetap pada jabatannya Syarat Promosi Tunjangan Kinerja berbasis kompetensi
Pendampingan Evaluasi lanjutan Kompeten
Belum Kompeten Demosi
69
Civil Service VOL. 9, No.1, Juni 2015 : 59 - 77
Dari bagan diatas, uji kompetensi dan kinerja diawali dengan rujukan tugas pokok dan fungsi dalam syarat jabatannya. Dalam syarat jabatan, dicantumkan standar kompetensi yang dibutuhkan atau disyaratkan dalam jabatan tersebut. Setelah dipastikan bahwa syarat jabatan dipenuhi oleh pegawai, maka digunakan rujukan dokumen SKP. Dalam SKP, digambarkan tugas pokok dan fungsi, sasaran kinerjanya, proses kerja, hasil kerja, volume pekerjaan, dan anggaran yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Dukumen SKP mengandung informasi hasil kerja dan standar kompetensi mensyaratkan hasil kerja sebagai bukti. Jika dalam penilaian kinerja dihasilkan bukti kerja dan dalam standar kompetensi disyaratkan bukti kompeten, maka ketika uji kompetensi pada dasarnya menyandingkan kedua bukti tersebut untuk kemudian diputuskan, apakah bukti kerja telah memenuhi dan cocok dengan bukti kompeten yang disyaratkan dalam standar kompensi. Uji kompetensi dilakukan dengan mengumpulkan bukti baik langsung maupun tidak langsung. Bukti hasil kerja merupakan bukti tidak langsung. Jika bukti ini dipandang kurang cukup menggabarkan kompetensi pegawai, maka dapat dilakukan dengan metoda lain, seperti tes lisan, demosntrasi, observasi hasil kerjanya, wawancara dengan pengguna hasil kerja, dan berbagai metoda lain, yang dapat melengkapi bukti kerja sehingga cukup menjadi bukti kompeten. Penilai kompetensi kerja dapat menggunakan pakar penguji, atasan, dan dapat menyertakan penilai kompetensi kerja untuk mengembangkan metoda dan mengolah hasil pengujian. Uji kompetensi akan menghasilkan keputusan kompeten dan belum kompeten. Bagi mereka yang dinyatakan kompeten dapat diartikan telah mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta berhak untuk mengampu tugas pokok dan fungsi pada jabatan lain atau jabatan yang lebih tinggi tanggung jawab dan kewenanganya. Pengakuan ini dapat dinyatakan dalam bentuk sertifikat kompetensi. Bagi mereka yang dinyatakan belum kompeten, maka dilakukan upaya peningkatan melalui beragam metoda diantaranya pelatihan dan pendampingan. Capaian kompetensi pegawai juga dapat menjadi landasan pemberian 70
tunjangan kinerja. Sehingga unsur keadilan dalam tunjangan dapat dicapai, dimana pegawai yang kompeten akan memperoleh tunjangan kinerja yang berbeda dengan mereka yang memiliki kompetensi lebih sedikit. Sebagaimana tercantum dalam UUASN, bagi mereka yang telah lima tahun dalam jabatan, maka diharuskan melakukan uji kinerja dan kompetensi. Model ini dapat diterapkan untuk menjawab amanat Undang Undang tersebut. Dengan demkian, dipastikan pegawai memiliki cukup banyak bukti kerja yang dapat menjadi bukti kompeten. Jika hal ini diterapkan mulai dari tingkat jabatan fungsional umum, maka pegawai ASN adalah pegawai yang kaya akan kompetensi karena mereka berkinerja. Sehingga diharapkan, dimasa mendatang, pegawai memiliki riwayat kinerja yang menjadi dokumen historis perjalan karir dan membawa pengawai kepada martabat yang lebih tinggi dalam kehidupannya dalam mengemban tugas yang mulia, sebagai pegawai ASN. Langkah pertama dalam menerapkan model ini adalah dengan menentukan unit kompetensi yang melekat dengan syarat jabatannya. Unit kompetensi ini dapat susun dengan mengembangkan sendiri, mengadopsi unit kompetensi dari sektor lain, atau mengadaptasi unit kompetensi dari sektor lain serta mengadaptasi unit kompetensi dari negara lain untuk sektor yang sama yaitu sektor pemerintahan dan Pelayanan Publik. Untuk lebih jelas, disajikan contoh integrasi unit kompetensi dalam sistem SKP untuk jabatan Sekertaris Badan Kepegawaian Daerah.
an Sekertaris BKD
Bagan Keterkaitan Standar Tugas Poko dengan Standar Kompetensi
Model Uji Kinerja dan Kompetensi; Integrasi Sistem Penilaian Kinerja dan Sistem Pengakuan Kompetensi (Rita Kardinasari )
71
Civil Service VOL. 9, No.1, Juni 2015 : 59 - 77
Pada kegiatan tugas jabatan Menyusun Rencana Strategis dan Rencana Kerja BKD akan dibutuhkan kompetensi teknis BSBCRT105A Menciptakan dan mengembangkan konsep. Dalam kompetensi teknis dimaksud, pejabat tersebut harus mampu menggunakan kompetensi managerial komunikasi dan mencari informasi. Dari contoh diatas, dapat digambarkan bahwa uji kinerja melekat dengan uji kompetensi. Maka untuk unit kompetensi tersebut, dicari bukti baik bukti langsung mapun tidak langsung pada saat yang bersangkutan menyusun rencana strategis. Konsep perencanaan strategis yang disusun sendiri oleh yang bersangkutan merupakan bukti
kerja. Jika konsep yang disususn sesuai dengan syarat dalam unit kompetensi Menciptakan dan mengembangkan konsep, maka pegawai yang bersangkutan dinyatakan kompeten untuk unit tersebut. Jika bukti dianggap belum cukup, dapat dilakukan tes lisan untuk memastikan pengetahuannya, keterampilannya, dan sikap dalam mengembangkan konsep. Untuk pekerjaan yang bersifat menghasilkan produk, maka hasil kerja dapat ditetapkan sebagai bukti kompeten sepanjang sesuai dengan syarat kompeten dalam unit kompetensi. Untuk lebih jelasnya, disajikan contoh rencana uji kinerja dan kompetensi:
Tabel Pelaksanaan Uji Kinerja dan Kompetensi Jabatan JPT Pratama
Metoda Portopolio, Uji Lisan, Prensentasi, Umpan Balik Sekda/ Gubernur
Administratur
Portopolio, Uji Lisan, Prensentasi, Umpan Balik JPT Pratama
Pengawas
Portopolio, Uji Lisan, Prensentasi
Jabatan Fungsional
Portopolio, Uji Lisan, Prensentasi
Sumber diolah oleh Tim Peneliti
Cakupan Uji Kualifikasi Teknis Keilmuan/ profesional Kualifikasi Pemerintahan daerah Kualifikasi Pelayanan Publik Kualifikasi Teknis managerial (aset, SDM, Keuangan) Kualifikasi Teknis Keilmuan/ profesional Kualifikasi Pemerintahan daerah Kualifikasi Pelayanan Publik Kualifikasi Teknis managerial (aset, SDM, Keuangan) Kualifikasi Pemerintahan daerah Kualifikasi Pelayanan Publik Kualifikasi Teknis managerial (aset, SDM, Keuangan)
Penguji Pakar penguji eksternal (sesuai sektor tugas), Sekertaris daerah, Jafung senior (minimal pangkat setara dengan yg di Uji) , diutamakan bersertifikat penilai kompetensi kerja
Sesuai dengan cakupan rincian fungsi atau standar kompetensi jabatan fungsional yang telah ditetapkan
Unsur instansi Pembina, atau tim penilai AK, atau JPT dalam lingkup bidang jafungnya
Adapun proses uji kinerja adalah sebagai berikut; 1. Kandidat mengumpulkan bukti tidak langsung portopolio, untuk periode penilaian yang ditetapkan. 2. Kandidat membuat makalah mengenai permasalahan dalam jabatan saat ini dan rencana perbaikannya. Proses ini dapat sekaligus menjadi sesi coaching dimana pakar penguji dapat memberikan saran perbaiakan dan penyelesaian masalahnya. 3. Kandidat diuji lisan dalam sesi presentasi sesuai dengan skema pengujian diatas. 4. Penilai kompetensi kerja atau tim pemeriksa portopolio memeriksa dokumen dan mem72
5. 6. 7.
8.
Pakar penguji eksternal (sesuai sektor tugas) atau internal , Sekertaris daerah, JPT Pratama, Jafung senior (minimal pangkat setara dengan yg di Uji) , diutamakan bersertifikat penilai kompetensi kerja Pakar penguji eksternal JPT Pratama , Jafung senior (minimal pangkat setara dengan yg di Uji) , diutamakan bersertifikat penilai kompetensi kerja
buat resume untuk diserahkan kepada pakar penguji. Pakar penguji beserta tim pelaksana pengujian melaksanakan sidang keputusan kompeten. Keputusan kompeten atau belum kompeten disampaikan kepada kandidat. Bagi peserta yang dinyatakan belum kompeten, tim penguji membuat rekomendasi perbaikan dan menyiapkan uji kinerja dan kompetensi lanjutan. Proses uji kompetensi dan kinerja tidak membuat keputusan karir, namun menjadi dasar bagi Pejabat Yang Berwenang dan
Model Uji Kinerja dan Kompetensi; Integrasi Sistem Penilaian Kinerja dan Sistem Pengakuan Kompetensi (Rita Kardinasari )
Pejabat Pembina Kepegawaian mengambil keputusan karir. 9. Dokumen hasil pengujian disimpan dan arsip karena akan menjadi data sekunder pada pengujian perioda berikutnya. Dalam proses pengujian tersebut, pegawai akan diuji sesuai dengan aktivitas kerjanya. Sehingga keputusan hasil pengujian bersifat adil dan terbuka, serta memiliki arah yang jelas untuk perbaikan. Disertakannya pakar penguji yang mengerti konten dan konteks pekerjaan pegawai yang dinilai akan membuat pelaksanaan pengujian serupa dengan proses umpa balik pada kinerja, bahkan pegawai dapat sekaligus memperoleh saran praktis dari pakar pengujinya. Jika dibutuhkan pendampingan, pakar penguji dapat menjadi mentor yang melatih dan membimbing pegawai sehingga sistem uji kinerja dan kompetensi bukan sesuatu hal yang membuat pegawai cemas atau takut, namun akan menjadi sarana dan sumber perbaikan kinerja serta pengembangan personalnya. Disertakannya unsur pimpinan, membuat uji ini menjadi dapat
dipertanggungjawabkan karena pimpinan merupakan pengguna langsung hasil kerja dari pegawai yang dinilai, sehingga mengetahui secara utuh menyeluruh permasalahn kinerja pegawai. Hal ini menambah kebermaknaan pimpinan karena pimpinan tidak saja wajib memberikan penilaian, namun mampu memberikan saran perbaikan. Hasil kegiatan ini berupa sertifikat kompetensi. Dengan sertifikat kompetensi, maka pegawai terikat secara profesi pada pengakuan kompetensinya. Hal ini akan mendorong pegawai untuk lebih mawas diri dalam bertindak dan bertingkah laku, karena pelanggaran disiplin yang dilakukan akan berdampak kepada prestasi kerja yang otomatis dapat mencabut sertifikat kompetensi yang diperolehnya. Beberapa hasil empiris uji kompetensi dan kinerja yang telah dilakukan di dua Kabupaten menunjukan hasil yang nyata serta memberikan rekomendasi tindak lanjut yang implementatif. Adapun hasil uji kompetensi dan kinerja yang dilakukan di Kabupaten Sukabumi adalah sebagai berikut:
73
Civil Service VOL. 9, No.1, Juni 2015 : 59 - 77
Pengujian dilakukan dengan mengadaptasi standar kompetensi kerja PSP12 dari Australia. Dilakukan uji kepada 39 JPT Pratama di Kabupaten Sukabumi. Adapun deskripsi kesimpulan hasil pengaujian adalah; 1. Rata-rata kelompok sebesar 76 %, dengan demikian sebanyak 43 unit kompetensi dikuasai oleh peserta. Sebanyak 2 peserta memiliki capaian 98 % kompeten, sebanyak 2 peserta memiliki capaian 96 % kompeten, sebanyak 2 peserta memiliki capaian 91 % kompeten, sebanyak 11 peserta memiliki capaian 80 - 89 % kompeten, sebanyak 4 peserta memiliki capaian 76 - 79 % kompeten, sebanyak 4 peserta memiliki capaian 70 - 75 % kompeten, Sebanyak 10 peserta memiliki capaian 60 - 69 % kompeten, sebanyak 2 peserta memiliki capaian 50 - 59 % kompeten, sebanyak 2 peserta memiliki capaian kurang dari 50 % kompeten 2. Sebanyak 95 % unit kompetensi memiliki capaian proporsi kompeten yang lebih banyak dari capaian belum kompeten. Sedangkan pada 3 unit kompetensi, jumlah pegawai yang belum kompeten lebih banyak dari pegawai yang kompeten
74
3. Pada unit kompetensi mengembangkan hubungan dengan masyarakat, menjadi pemimpin dalam komunitas merupakan unit kompetensi tertinggi yang paling banyak kompeten 4. Pada unit kompetensi menyediakan kepemimpinan di seluruh organisasi, mengelola sistem manajemen performa, mengelola hubungan antar pegawai, merupakan unit kompetensi dimana capaian peserta yang belum kompeten lebih banyak daripada capaian peserta yang kompeten 5. Pada unit memengaruhi efektivitas kerja pegawai merupakan unit yang memiliki tingkat capaian yang hampir seimbang yaitu, 54 % kompeten dan 46 % lagi belum kompeten 6. Kesimpulan; kurangnya kompetensi pengelolaan barang jasa, dan kompetensi tata kelola organisasi, serta kompetensi yang didasari oleh kemampuan berkreasi Adapun hasil uji kompetensi dan kinerja yang dilakukan di Kabupeten Bandung kepada 33 JPT Pratama, dengan menggunakan adaptasi standar PSP 12 Australia adalah sebagai berikut:
Model Uji Kinerja dan Kompetensi; Integrasi Sistem Penilaian Kinerja dan Sistem Pengakuan Kompetensi (Rita Kardinasari )
1. Sebanyak 70 % rangkaian unit kompetensi sektor pemerintahan daerah yang dicapai kompeten oleh para JPT Pratama. Dengan kata lain, pada seluruh kompetensi, peserta lebih banyak yang kompeten dari pada yang belum kompeten. Secara umum, fungsi pemerintahan di kabupaten bandung dapat berlangsung dan memiliki personel pada jenjang pimpinan tinggi pratama yang kompeten pada tiap unit kompetensi yang menjadi syarat kompetensi organisasi. 2. Area pengembangan dalah pada kompetensi yang terkait pengembangan dan pengelolaan kebijakan, kompetensi pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan organisasi, dimana pada kompetensi kompetensi tersebut, komposisi belum kompeten pada kisaran 40 %. 3. Dapat disimpulkan, pentingnya konsolidasi internal dan pengembangan pengetahuan serta keterampilan yang melandasi pelaksanaan tugas sesuai dengan sektornya. 4. Kesimpulan: pelaksanaan tugas pelayanan kemasyarakatan memiliki landasan kompeten, namun fungsi pemerintahan lain, seperti pengaturan, pengawasan, penataan, dan pengembangan, memerlukan arahan kebijakan dan memerlukan latihan yang
terstruktur. Peran pimpinan pemerintah sebagai pengembang kebijakan kurang optimal. Dari kedua paparan diatas, setiap JPT Pratama peserta uji kompetensi dan kinerja memiliki umpan balik yang nyata akan kompetensi yang sudah dikuasai dan belum dikuasainya. Organisasi memiliki gambaran akan dinamika proses kerja yang dilakukan para JPT Pratama, sekaligus memiliki arah pengembangan kompetensi yang harus dikembangkan. Model ini mampu memetakan keberhasilan dan hambatan capaian target kinerja sekaligus dapat merencanakan kebutuhan kompetensi SDM Aparatur dalam menjawab tantangan arah pembangunan dimasa yang akan datang. Pemerintah Pusat sebagai regulator kiranya perlu menetapkan mekanisme pengakuan kompetensi pegawai yang dicapai karena kinerjanya. Sistem pengakuan kompetensi pegawai juga akan memudahkan terbentuknya data base pusat talenta, sehingga pemerintah pusat memiliki data kapasitas dan kapabilitas para pegawai JPT, guna memberikan mereka ruang untuk berpartisipasi pada program kerja tingkat Pusat, maupun berkarir pada posisi yang sesuai dengan kompetensi yang telah dicapainya. 75
Civil Service VOL. 9, No.1, Juni 2015 : 59 - 77
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Model penilaian kompetensi ditujukan untuk menghasilkan kinerja yang efisien dan efektif pada pemerintah dengan sebanyaknya menggunakan sumber daya manusia yang kompeten. Setiap organisasi bertanggung jawab untuk mengelola kegiatan pengembangan kompetensi pegawai agar pegawai memiliki kemampuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan pemerintah secara efisien dan efektif. Selain itu, model ini akan memberikan stan-darisasi tugas kerja, standarisasi hasil kerja, serta memberikan persepsi yang jelas akan hasil kerja yang akan rasakan oleh masyarakat. Meskipun keberhasilan pelaksanaan skema penilaian kinerja terintegrasi dengan penilaian kompetensi memerlukan perubahan paradigma dalam perencanakan kegiatan dan membuat anggaran, namun jika dikelola sebagai proses, maka sistem ini dapat membentuk nilai dasar baru dalam bekerja, melahirkan potensi integritas intelektual dan profesional dalam menghadapi tantangan dan dinamika yang terjadi di masyarakat karena pegawai akan didorong untuk mampu melaksanakan program kegiatan untuk masyarakat dengan pendekatan yang sama dengan para pelaku profesional lainnya. Sehingga akan tumbuh apresiasi dan kepercayaan masyarakat kepada pegawai ASN. Mereka yakin bahwa pegawai yang mengelola uang mereka dan melayani mereka adalah pegawai yang berbertifikat serta terikat dengan tuntutan profesionalnya. Diharapkan pengakuan kompetensi yang dimiliki pegawai ASN mampu menempatkan pegawai ASN sebagai pegawai yang bermartabat, mampu menjadi teladan, serta mampu menjadikan tugas pelayanan sebagai target pencapaian profesionalnya. Penilaian kinerja yang terintegrasi dengan uji kompetensi merupakan sistem yang berkelanjutan, dan sistem dasar yang mendasari prose kerja pegawai. Sebuah pepatah mengatakan ‘ agar tak mengisi air bersih pada gelas yang kotor’ mengantarkan semangat penulis untuk terus mendorong semua pihak agar bergerak bersama, mendaratkan konsep kompetensi kedalam implementasi yang nyata dan hakiki, dapat diukur, diuji, dibuktikan, dan diakui sebagai bukti kapasitas dan kapabilitas Pegawai ASN saat ini, dan dimasa yang akan datang.
APSC. 2003. The Australian Experience of Public Sector Reform, Occasional Paper Two, Australian Public Service Commission. Canberra: Commonwealth of Australia. _____. 2007. Integrated Leadership System – APS Levels, Australian Public Service Commission. Canberra: Commonwealth of Australia. _____. 2012. Government Skills, National Public Sector Training Package . Canberra: Commonwealth of Australia. _____. 2010. Getting Grips with Developing Competency Standard. Canberra: Commonwealth of Australia. Benyamin, S. Bloom, Bertram, B. Mesia, David, R. Krathwohl. 1964. Taxonomy of Educational Objectives. New York: David Mckay. Dan Hill. Terry Hill. Lee Perlitz. 2011. Vocational Training And Assessment. Australia: McGraw-Hill. Mangkuprawira. TB. Syafri, Aida Vitalaya Hubeis. 2007. Manajemen Mutu Sumber Daya Manusia. Bogor: Ghalia Indonesia. Mitrani, A. Daziel, M. and Fitt, D. 2001. Competency Based Human Recources Management: Value-Driven Strategic for Recruitment, Development and Reward. London: Logan. NCVER-IAPSD. 2011. Competensi Based Tarining Toturial- JGN Consulting. Also avaliable online: http://home.att.net/ jnimmer/Competency.htm. USA: Denver. Op De Beeck, Sophie, Annie Hondeghem. 2010. Competency Management in the Public Sector: Three Dimensions of Integration. Paper for the IRSPM Conference. Belgium: Public Management Institute Catholic University of Leuven. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019 _______________, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 53 Tahun 2014 _______________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
76
Model Uji Kinerja dan Kompetensi; Integrasi Sistem Penilaian Kinerja dan Sistem Pengakuan Kompetensi (Rita Kardinasari )
_______________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah _______________, Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS. Simpson, Stephen, Walter Koll. Managing By Projects: A Public Sector Approach Lynn Crawford. Sydney: University of Technology.
77
Civil Service VOL. 9, No.1, Juni 2015 : 59 - 77
78