7
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakikat Partisipasi Aktif Menurut Sudjana (dalam Sakdiyah, 2006 : 36) partisipasi siswa di dalam pembelajaran merupakan salah satu bentuk keterlibatan mental dan emosional. Berdasarkan pendapat Davis dan Newstrom (dalam Johnson, 2009 : 201) bahwa ada beberapa prasayarat terjadinya partisipasi, yaitu antara lain: a. Waktu yang cukup untuk berpartisipasi Maksudnya adalah harus ada waktu yang cukup untuk berpartisipasi sebelum diperlukan tindakan, sehingga partisipaisi hampir tidak tepat apabila dalam situasi darurat. b. Keuntungannya lebih besar dari kerugian Artinya kemungkinan mendapat keuntungan seyogyanya lebih besar daripada kerugian yang diperoleh. c. Relevan dengan kepentingan siswa Artinya bidang garapan partisipasi haruslah relevan dan menarik bagi siswa. d. Kemampuan siswa Artinya siswa hendaknya mempunyai pengetahuan seperti kecerdasan dan pengetahuan untuk berpartisipasi. e. Kemampuan berkomunikasi timbal balik Maksudnya para siswa haruslah mampu berkomunikasi timbal balik untuk berbicara dengan bahasa yang benar dengan orang lain. f. Tidak timbul perasaan terancam bagi kedua belah pihak 7
8
Artinya masing-masing pihak seharusnya tidak merasa bahwa posisinya terancam oleh partisipasi. g. Masih dalam bidang keleluasan Maksudnya partisipasi untuk meneruskan arah tindakan dalam pembelajaran yang hanya boleh berlangsung dalam bidang keleluasaan belajar dengan batasanbatasan tertentu untuk menjaga kesatuan bagi keseluruhan. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil belajar yang optimal perlu keterlibatan atau partisipasi yang tinggi dari siswa dalam pembelajaran. Keterlibatan siswa merupakan hal yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembelajaran. Dalam kegiatan belajar, siswa dituntut secara aktif untuk ikut berpartisipasi dalam pembelajaran. Karena dengan demikian siswalah yang akan membuat suatu pembelajaran dikatakan sukses, efektif dan efesien. Siswa yang aktif dalam pembelajaran akan terlihat pada baik dan buruknya prestasi yang diperoleh. Sudjana dalam Sakdiyah (2006 : 40) mengemukakan syarat kelas yang efektif adalah adanya keterlibatan, tanggung jawab dan umpan balik dari siswa. Keterlibatan siswa merupakan syarat pertama dalam kegiatan belajar di kelas. Untuk terjadinya keterlibatan itu siswa harus memahami dan memiliki tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan belajar atau pembelajaran. Keterlibatan itupun harus memiliki arti penting sebagai bagian dari dirinya dan perlu diarahkan secara baik oleh sumber belajar. Untuk mendorong partisipasi siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain memberikan pertanyaan dan menanggapi respon siswa secara positif, menggunakan pengalaman berstruktur, dan menggunakan metode yang bevariasi
9
yang lebih melibatkan siswa. Siswa sebagai subjek sekaligus objek dalam pembelajaran. Sebagai subjek siswa adalah individu yang melakukan proses belajar mengajar. Sebagai objek karena kegiatan pembelajaran diharapkaan dapat mencapai perubahan perilaku pada diri subjek belajar. Untuk itu, dari pihak siswa diperlukan partisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Partisipasi aktif subjek belajar dalam proses pembelajaran antara lain dipengaruhi faktor kemampuan yang dimiliki hubungannya dengan materi yang akan dipelajari. 2.1.2
Pengertian Partisipasi Aktif Menurut Davis (dalam Suharnan, 2005 : 23) menyatakan bahwa partisipasi
adalah keterlibatan mental dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta tanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Terry (dalam Pirdata, 2000 : 217) menyatakan bahwa partisipasi adalah turut sertanya seseorang baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbangansumbangan pada proses pembuatan keputusan, terutama mengenai persoalan dimana keterlibatan pribadi orang yang bersangkutan melaksanakan tanggung jawabnya untuk melakukan hal tersebut (Suharnan, 2005 : 25).
Partisipasi siswa dalam
pembelajaran sering juga diartikan sebagai keterlibatan siswa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Jadi partisipasi yang peneliti maksud adalah partisipasi siswa yang merupakan wujud tingkah laku siswa secara nyata dalam kegiatan pembelajaran yang merupakan totalitas dari suatu keterlibatan mental dan emosional siswa sehingga mendorong mereka untuk memberikan kontribusi dan
10
bertanggung jawab terhadap pencapaian suatu tujuan yaitu tercapainya prestasi belajar yang memuaskan. Indikator partisipasi siswa dalam pembelajaran, sebagaimana dikemukakan oleh Knowles (dalam Pirdata, 2000 : 218) adalah sebagai berikut: (1) adanya keterlibatan emosional dan mental siswa, (2) adanya kesediaan siswa untuk memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan, (3) dalam kegiatan belajar siswa merasa memiliki keuntungan tentang apa yang dipelajari. Dari berbagai pendapat para ahli diatas tentang pengertian partisipasi, jenis-jenis partisipasi dan prasyrat terjadinya partisipasi, maka yang menjadi indikator dalam penelitian ini yaitu siswa telah memberikan sumbangan berupa pendapat, saran, tenaga, dan bertanggung jawab dalam pembelajaran serta siswa yang mempunyai kemampuan bekomunikasi timbal balik. 2.1.3
Bentuk-bentuk Partisipasi Aktif Untuk meperoleh gambaran yang jelas tentang partisipasi, akan dipaparkan
mengenai bentuk-bentuk partisipasi menurut Davis (dalam Johnson , 2009 : 197) sebagai berikut: a. Partisipasi berupa pikiran (psychological participation) merupakan jenis keikutsertaan secara aktif dengan mengerahkan pikiran dalam suatu rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. b. Partisipasi yang berupa tenaga (physical Participation) adalah partisipasi dari individu atau kelompok dengan tenaga yang dimilikinya, melibatkan diri dalam suatu aktifitas dengan maksud tertentu.
11
c. Partisipasi yang berupa tenaga dan pikiran (physical and psychological participation). Partisipasi ini sifatnya lebih luas lagi disamping mengikutsertakan aktifitas secara fisik dan non fisik secara bersamaan. d. Partisipasi yang berupa keahlian (participation with skill) merupakan bentuk partisipasi dari orang atau kelompok yang mempunyai keahlian khusus, yang biasanya juga berlatar belakang pendidikan baik formal maupun non formal yang menunjang keahliannya. e. Partisipasi yang berupa barang (material participation), partisipasi dari orang atau kelompok dengan memberikan barang yang dimilikinya untuk membantu pelaksanaan kegiatan tersebut. f. Partisipasi yang berupa uang (money participation), partisipasi ini hanya memberikan sumbangan uang kepada kegiatan. Kemungkinan partisipasi ini terjadi karena orang atau kelompok tidak bisa terjun langsung dari kegiatan tersebut. Partisipasi yang berupa uang dan barang sifatnya tersamar, karena dalam hal ini individu atau kelompok tidak kelihatan secara jelas beraktifitas melainkan mengikutsertakan barang atau uangnya. 2.1.4
Hakekat Berbicara Brown dan Yule (dalam http://repository.upi.edu) berpendapat bahwa
berbicara pada hakekatnya merupakan penggunaan bahasa lisan yang terdiri dari ucapan yang pendek, tidak lengkap atau terpisah-pisah dalam lingkup pengucapan. Pengucapan tersebut sangat erat berhubungan dengan pengulangan dan tumpangtindih yang dilakukan antara pembicara satu dengan yang lain, dan pembicara sering menggunakan non-specific references. Menurut Nunan (http://repository.upi.edu),
12
Berbicara meliputi keterampilan berbicara secara monolog dan dialog. Berbicara secara monolog artinya keterampilan berbicara yang berupa komunikasi satu arah, misalnya pembaca berita atau pembawa acara tertentu. Berbicara secara dialog artinya keterampilan berbicara yang melibatkan komunikasi dua arah misalnya wawancara. Kategori monolog dibedakan menjadi monolog yang terencana dan tidak terencana atau spontan, sedangkan dialog dibedakan menjadi dialog interpersonal dan transaksional. Dialog interpersonal bertujuan untuk menjalin hubungan sosial, sedangkan dialog transaksional untuk menyampaikan sesuatu pesan atau informasi faktual. Dialog interpersonal dan transaksional terbagi dalam dua kategori, yaitu familiar (dialog yang sudah lazim atau akrab) dan unfamiliar (dialog yang tidak lazim atau tidak akrab). Bailey (http://repository.upi.edu) menyatakan bahwa berbicara adalah keterampilan lisan yang terdiri dari menghasilkan ungkapan-ungkapan kebahasaan yang sistematis untuk menyampaikan makna. Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hakekat berbicara itu lebih daripada sekadar mengucapkan bunyi-bunyi atau kata-kata saja, melainkan suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pendengar atau penyimak. 2.1.5
Pengertian Berbicara Henry Guntur Tarigan (dalam http://staff.uny.ac.id) mengemukakan bahwa
berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, mengatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan
13
persendian. jika komunikasi berlangsung secara tatap muka ditambah lagi dengan gerak tangan dan air muka (mimik) pembicara. Sejalan dengan pendapat di atas, Djago Tarigan (dalam http://staff.uny.ac.id) menyatakan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Kaitan antara pesan dan bahasa lisan sebagai media penyampaian sangat erat. Pesan yang diterima oleh pendengar tidaklah dalam wujud asli, tetapi dalam bentuk lain yakni bunyi bahasa. Pendengar kemudian mencoba mengalihkan pesan dalam bentuk bunyi bahasa itu menjadi bentuk semula. Arsjad dan Mukti U.S. (dalam http://student.eepis-its.edu) mengemukakan pula bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kalimat-kalimat untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sesuai dengan deskripsi singkat di atas, berbicara merupakan keterampilan berbahasa secara langsung sebagai alat komunikasi lisan dengan sistem auditori yang dilengkapi dengan adanya prosodi dan memerlukan feedback atau balikan secara langsung. Berbicara berbeda dengan keterampilan menulis. Berbicara merupakan komunikasi langsung yaitu dengan menggunakan bahasa lisan yang diucapkan organ bicara lebih kompleks dan spontan dalam kenyataannya. 2.1.6
Tujuan Berbicara Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat
menyampaikan pikiran secara efektif, maka seyogyanyalah pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin disampaikan, pembicara harus mengevaluasi efek komunikasinya terhadap para pendengarnya.
14
Tujuan umum berbicara menurut Djago Tarigan (dalam http://staff.uny.ac.id) terdapat lima golongan berikut ini: 1) Menghibur
Berbicara untuk menghibur berarti pembicara menarik perhatian pendengar dengan berbagai cara, seperti humor, spontanitas, menggairahkan, kisah-kisah jenaka, petualangan, dan sebagainya untuk menimbulkan suasana gembira pada pendengarnya. 2) Menginformasikan
Berbicara untuk tujuan menginformasikan, untuk melaporkan, dilaksanakan bila seseorang ingin: (a). menjelaskan suatu proses; (b). menguraikan, menafsirkan, atau menginterpretasikan sesuatu hal; (c). memberi, menyebarkan, atau menanamkan pengetahuan; (d). menjelaskan kaitan. 3) Menstimulasi
Berbicara untuk menstimulasi pendengar jauh lebih kompleks dari tujuan berbicara lainnya, sebab berbicara itu harus pintar merayu, mempengaruhi, atau meyakinkan pendengarnya. Ini dapat tercapai jika pembicara benar-benar mengetahui kemauan, minat, inspirasi, kebutuhan, dan cita-cita pendengarnya. 4) Menggerakkan
Dalam berbicara untuk menggerakkan diperlukan pembicara yang berwibawa, panutan atau tokoh idola masyarakat. Melalui kepintarannya dalam berbicara, kecakapan memanfaatkan situasi, ditambah penguasaannya terhadap ilmu jiwa massa, pembicara dapat menggerakkan pendengarnya.
15
2.1.7
Proses Berbicara Dalam berbicara dengan pihak lain, diperlukan adanya beberapa hal atau
unsur. Beberapa unsur dalam proses berbicara atau proses berkomunikasi tersebut adalah (1) pembicara, (2) lawan bicara, (3) lambang, dan (4) pesan, maksud, gagasan, atau ide Brook (dalam Hartono, 2005 : 9) menggambarkan proses bebrbicara tersebut dalam peristiwa bahasa sebagai berikut: PEMBICARA
PENYIMAK
Maksud (pra-ucap)
Pemahaman (past-ucap)
Penyandian (encoding)
Pembacaan sandi (decoding)
Fonasi (pengucapan)
Audisi (pendengaran)
transisi (peralihan) Gambar 2.1 Peristiwa Bahasa (Proses Berbicara) Menurut Tarigan, tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka seharusnya sang pembicara memahami makna segala sesuatu
yang ingin dikomunikasikan, dia juga harus
mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap para pendengarnya, dan dia juga harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perseorangan. Pada dasarnya, berbicara itu memiliki tiga
16
maksud utama, yaitu: 1) memberitahukan, melaporkan (to inform), 2) menjamu, menghibur (to intertain), dan 3) membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan (to persuade). 2.1.8
Jenis-jenis Berbicara Secara garis besar jenis-jenis berbicara dibagi dalam dua jenis, yaitu berbicara di
muka
umum
dan
berbicara
pada
konferensi.
Guntur
Tarigan
(dalam
http://staff.uny.ac.id) memasukkan beberapa kegiatan berbicara ke dalam kategori tersebut. 1.
Berbicara di Muka Umum Jenis pembicaraan meliputi hal-hal berikut. a. Berbicara dalam situasi yang bersifat memberitahukan atau melaporkan, bersifat informatif (informative speaking). b. Berbicara dalam situasi yang bersifat membujuk, mengajak, atau meyakinkan (persuasive speaking). c. Berbicara dalam situasi yang bersifat merundingkan dengan tenang dan hati-hati (deliberate speaking).
2.
Diskusi Kelompok Berbicara dalam kelompok mencakup kegiatan berikut ini. a. Kelompok resmi (formal) b. Kelompok tidak resmi (informal)
3.
Prosedur Parlementer
4.
Debat
17
Berdasarkan bentuk, maksud, dan metodenya maka debat dapat diklasifikasikan atas tipe-tipe berikut ini. a. Debat parlementer atau majelis b. Debat pemeriksaan ulangan c. Debat formal, konvensional atau debat pendidikan
Pembagian di atas sudah jelas bahwa berbicara mempunyai ruang lingkup pendengar yang berbeda-beda. Berbicara pada masyarakat luas, berarti ruang lingkupnya juga lebih luas. Sedangkan pada konferensi ruang lingkupnya terbatas. 2.1.9
Langkah-langkah Berbicara Suksesnya sebuah pembicaraan sangat tergantung kepada pembicara dan
pendengar. Untuk itu, dituntut beberapa persyaratan kepada seorang pembicara dan pendengar. Menurut Arsjad (dalam http://deviarimariani.files.wordpress.com) hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang pembicara adalah: 1. Menguasai masalah yang dibicarakan. Penguasaan masalah ini akan menumbuhkan keyakinan pada diri pembicara, sehingga akan tumbuh keberanian. Keberanian ini merupakan salah satu modal pokok bagi pembicara. 2. Mulai berbicara kalau situasi sudah mengizinkan. Sebelum mulai pembicaraan, hendaknya pembicara memperhatikan situasi seluruhnya, terutama pendengar. 3. Pengarahan yang tepat akan dapat memancing perhatian pendengar. Sesudah memberikan kata salam dalam membuka pembicaraan, seorang pembicara yang
18
baik akan menginformasikan tujuan ia berbicara dan menjelaskan pentingnya pokok pembicaraan itu bagi pendengar. 4. Berbicara harus jelas dan tidak terlalu cepat. Bunyi-bunyi bahasa harus diucapkan secara tepat dan jelas. Kalimat harus efektif dan pilihan kata pun harus tepat. 5. Pandangan mata dan gerak-gerik yang membantu. Hendaknya terjadi kontak batin antara pembicara dengan pendengar. Pendengar merasa diajak berbicara dan diperhatikan. Pandangan mata dalam kasus seperti ini sangat membantu. 6. Pembicara sopan, hormat, dan memperlihatkan rasa persaudaraan. Siapapun pendengarnya dan bagaimana pun tingkat pendidikannya pembicara harus menghargainya.
Pembicara tidak boleh mudah terangsang emosinya
sehingga mudah terpancing amarahnya. 7. Dalam komunikasi dua arah, mulailah berbicara kalau sudah dipersilakan. Seandainya kita ingin mengemukakan tanggapan,
berbicaralah kalau sudah
diberi kesempatan. Jangan memotong pembicaraan orang lain dan jangan berebut berbicara. 8. Kenyaringan suara. Suara hendaknya dapat didengar oleh semua pendengar dalam ruangan itu. Volume suara jangn terlalu lemah dan jangan terlalu tinggi, apalagi berteriak. 9. Pendengar akan lebih terkesan kalau ia dapat menyaksikan pembicara sepenuhnya. Usahakanlah berdiri atau duduk pada posisi yang dapat dilihat oleh seluruh pendengar.
19
2.1.10 Pengertian Role Playing Lee (dalam http://stkipbim.ac.id) menyatakan bahwa “role-playing is an aspect of simulation. A whole situation is simulated in the classroom, and the participants
adopt
roles which belong
to
it”. Menurut Harmer
(dalam
http://stkipbim.ac.id), dalam role-playing, peran dan bagaimana peran dilaksanakan telah dipersiapkan dan ditentukan. Ladousse (http://dcoklad.files.wordpress.com) menjelaskan arti dari role-playing dengan memilah kata role play menjadi role dan play. Menurutnya, role berarti siswa memerankan bagian dalam situasi khusus. Sedangkan playing mengacu pada peran tersebut dilakukan dalam situasi tertentu dengan para siswa berusaha inventif dan dengan menyenangkan. Dapat disimpulkan bahwa role-playing merupakan bagian dari kegiatan simulasi. Situasi keseluruhan disimulasikan dalam kelas, dan para pembelajarnya memerankan peran dalam situasi keseluruhan tersebut. Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak. Permainan merupakan alat bagi anak untuk menjelajahi dunia, dari apa yang tidak dikenali sampai apa yang diketahui, dan dari yang tidak dapat diperbuat sampai mampu melakukan. Cohen (dalam Sugiarsih, 2010) juga menganggap bahwa bermain merupakan pengalaman belajar. Bermain bagi anak memiliki nilai dan ciri yang
20
penting dalam kemajuan perkembangan kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan hal tersebut, permainan memiliki sifat sebagai berikut: (1) permainan dimotivasi secara personal, karena memberin rasa kepuasan. (2) pemain lebih asyik dengan aktivitas permainan (sifatnya spontan) ketimbang pada tujuannya. (3) aktivitas permainan dapat bersifat nonliteral. (4) permainan bersifat bebas dari aturan-aturan yang dipaksakan dari luar, dan aturan-aturan yang ada dapat dimotivasi oleh para pemainnya. (5) permainan memerlukan keterlibatan aktif dari pihak pemainnya. Permainan bahasa merupakan permainan untuk memperoleh kesenangan dan untuk melatih keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis). Apabila suatu permainan menimbulkan kesenangan tetapi tidak memperoleh keterampilan berbahasa tertentu, maka permainan tersebut bukan permainan bahasa. Sebaliknya, apabila suatu kegiatan melatih keterampilan bahasa tertentu, tetapi tidak ada unsur kesenangan maka bukan disebut permainan bahasa. Sebuah permainan disebut permainan bahasa, apabila suatu aktivitas mengandung kedua unsur kesenangan dan melatih keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis). Setiap permainan bahasa yang dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran harus secara langsung dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Adapun faktor-faktor yang menentukan permainan bahasa adalah sebagai berikut. 1) Situasi dan Kondisi Sebenarnya dalam situasi apapun dan dalam kondisi apapun permainan bahasa dapat saja dilakukan. Akan tetapi agar berdayaguna tinggi, hendaknya
21
pelaksanaan permainan bahasa tersebut selalu memperhatikan faktor situasi dan kondisi. 2) Peraturan Permainan Setiap permainan mempunyai aturan masing-masing. Peraturan tersebut hendaknya jelas dan tegas serta mengatur langkah-langkah permainan yang harus ditempuh maupun cara menilainya. Apabila aturan kurang jelas dan tegas, maka tidak mustahil akan menimbulkan kericuhan di dalam kelas. Setiap pemain harus memahami, menyetujui, dan mentaati benar-benar peraturan itu. Guru sebagai pemimpin permainan mempunyai kewajiban untuk menjelaskan peraturanperaturan yang harus ditaati sebelum permainan dilaksanakan. 3) Pemain Terkait ketentuan dengan pemain, permainan dapat berjalan dengan baik, jika para pemain, dalam hal ini siswa, mempunyai sportivitas yang tinggi. Selain itu, keseriusan, kekuatan, dan keterlibatan aktif pemain juga sangat dibutuhkan agar permainan dapat berjalan dengan baik. 4) Pemimpin Permainan atau Wasit Pemimpin permainan atau wasit, dalam hal ini guru, harus mempunyai wibawa, tegas, adil, serta dapat memutuskan permasalahan dengan cepat, serta menguasai ketentuan permainan dengan baik. Selain guru, wasit dalam sebuah permainan dapat juga dipilih dari perwakilan siswa yang dianggap mampu. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru dapat melakukan simulasi pembelajaran dengan menggunakan permainan diantaranya sebagai berikut. 1) Memilih Kata
22
Cara membuat Pada kartu yang panjang ditempeli sebuah gambar sederhana. Di samping gambar ditulis suatu pilihan tiga kata, satu yang sesuai dengan gambar dan dua yang mirip dengan gambar. Pada punggung kartu warnai suatu ruang untuk menyatakan kata yang benar. Kemudian disediakan jepit kertas. Cara Bermain Dua orang siswa memutuskan kata mana yang sepadan dengan gambar, kemudian menaruh jepit di samping kartu kata itu. Untuk mengecek baliklah kartu. 2) Melengkapi Kalimat Pada kartu yang panjang tertulis kalimat dengan satu kata hilang. Pada kartu tersebut diberi celah untuk kata-kata yang hilang. Kemudian membuat kartu gambar yang cocok dengan celah itu. Cara Membuat Sebuah kalimat ditulis di atas kartu panjang dengan satu kata dihilangkan. Pada kata yang dihilangkan tersebut dilubangi untuk menyelipkan kartu yang cocok untuk melengkapi kalimat. Kemudian membuat kartu-kartu kata yang salah satunya cocok untuk celah pada kartu kalimat. Cara Bermain Satu atau dua orang membaca kalimat dan mencocokkan kartu-kartu gambar dalam spasi yang kosong. Kemudian siswa menyelipkan kartu kata yang cocok pada celah kartu kalimat. 3) Batu Loncatan
23
Cara Membuat Karton atau kertas digunting menjadi sejumlah bundaran. Pada bundaran tersebut ditulis nama anggota keluarga atau teman-teman. Kertas dapat bermacam-macam warna. Cara Bermain Guru melakukan suatu perintah, misalnya “Loncat ke Ayah”. Siswa harus menemukan bundaran yang benar dan melompat disitu sambil menunggu perintah selanjutnya. Dapat juga diubah menjadi sebuah permainan pembentukan kalimat. Dengan memasukkan kata kerja dan bagian-bagian lain dari bahasa lisan. Siswa harus melompat ke bundaran-bundaran itu dalam urutan yang benar agar tersusun sebuah kalimat. 4) True or false Pada permainan true or false, pengajar membagikan kartu kepada siswa yang berisi tentang berbagai macam bentuk kalimat tanya. Siswa harus menentukan apakah kalimat yang ada dalam kartu tersebut benar atau salah. Selanjutnya mereka mereka berbaris di sisi kiri dan kanan sesuai dengan jawaban yang mereka berikan (misalnya: jawaban benar di sebelah kanan, jawaban salah di sebelah kiri). Mereka pun diminta memberikan alasan mengapa mereka menjawab benar atau salah. Dalam prosesnya, siswa bisa pindah barisan, jika dia berubah pikiran. Permainan ini digunakan untuk melatih materi tentang struktur kalimat tanya. 5) Card Sort (Melatih kosakata siswa).
24
Guru menempelkan beberapa kartu di papan yang berisi tentang beberapa istilah umum seperti manusia, alam, binatang. Siswa pun sudah mendapatkan kartu berisi kosa kata yang berhubungan dengan suara yang diperdengarkan oleh manusia, binatang, dan alam. Misalnya: mengerang, berhembus, mengembik, dan lain sebagainya. Agar tidak ribut, siswa diminta memasang kartu-kartu mereka di papan tanpa bicara. 6) Index Card Match Index card math dalah permainan untuk melatih pengetahuan tentang lawan kata (antonim). Misalnya: gelap – terang, tinggi – rendah, dan lain-lain. Cara bermain Siswa harus mencari rekannya yang memiliki kartu dengan kata yang berlawanan dengan kata pada kartu miliknya. Selanjutnya mereka harus duduk atau berdiri berdekatan. Permainan ini juga bisa dilakukan tanpa mengeluarkan suara sehingga ekspresi yang muncul akan lebih menarik, suasana kelas pun tidak terlalu ribut (karena walaupun tanpa suara, bunyi-bunyi yang dikeluarkan pun tetap saja lucu). 7) Menyusun Cerita Alternatif permainan yang dilakukan untuk melatih kemampuan siswa menyusun satu paragraf yang logis. Caranya sebagai berikut: Kartu-kartu ditempelkan di dinding, dan para siswa diminta menyusun kartu-kartu tersebut menjadi satu jalinan cerita yang utuh dan bermakna. Pada permainan tunjuk abjad, siswa diminta mengumpulkan sebanyak mungkin kosa kata yang berawalan abjad tertentu. Guru bisa memodifikasi permainan ini dengan menentukan kosa kata
25
untuk kelas kata tertentu, misalnya kata kerja dari abjad S, atau kata sifat dari abjad T, dan lain sebagainya. 2.1.11 Tujuan Role Playing Lee (dalam http://stkipbim.ac.id) menjelaskan bahwa role-playing bertujuan untuk membantu membawa bahasa ke dalam kehidupan dan memberikan pengalaman nyata kepada pembelajar menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Kegiatan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kecakapan berbicara dalam bahasa Indonesia sekaligus meningkatkan kecakapan siswa. Selain itu, role-playing dapat pula digunakan untuk meningkatkan kesadaran sosial terhadap orang lain, yaitu terutama kepada guru, pembelajar yang lain dan komponen pembelajar yang lain (Amato, dalam http://budiharti.files.wordpress.com). Amato menambahkan pula bahwa melalui kegiatan role-playing pembelajar dapat menggali kemampuan dirinya, memiliki rasa empati terhadap orang lain, dan menggunakan pengalaman pribadinya agar dapat melakukan tindakan-tindakan yang yang hebat. Role-playing dapat pula meningkatkan kemampuan pembelajar memproduksi bahasa target, menguasai aspekaspek komunikasi nonverbal, meningkatkan kemampuan kerjasama antar pembelajar, dan meningkatkan kecakapan ranah afektif. Menurut Harmer (http://blog.tp.ac.id) role-playing dapat bermanfaat untuk memacu kelancaran lisan dan melatih kemampuan
pembelajar
dalam
kecakapan-kecakapan
khusus.
Ladousse
(http://blog.tp.ac.id) menyebutkan beberapa alasan atau tujuan penerapan roleplaying, yaitu: (1) beraneka ragam pengalaman dapat diwujudkan di dalam kelas melalui penerapan teknik role-playing, (2) role-playing dapat membawa siswa ke dalam situasi di mana mereka diwajibkan menggunakan dan mengembangkan
26
bentuk-bentuk bahasa yang diperlukan dalam mempererat hubungan sosialnya, (3) role-playing berguna bagi siswa untuk mengujicobakan bahasa target dalam suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan, (4) role-playing membantu siswa-siswa yang minder (pemalu), dan (5) yang paling penting dalam kegiatan role-playing adalah bersifat menyenangkan. Bila para siswa melakukan kegiatan secara menyenangkan, maka mereka akan cepat tanggap dan menerima materi pelajaran dengan cepat dan baik. 2.1.12 Manfaat Role Playing Adapun kelebihan dari role playing di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Salah satu media pembelajaran yang berkadar CBSA tinggi. 2) Dapat mengurangi kebosanan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. 3) Dengan adanya kompetisi antarsiswa, dapat menumbuhkan semangat siswa untuk lebih maju. 4) Membina hubungan kelompok dan mengembangkan kompetensi sosial siswa. 5) Materi yang dikomunikasikan akan mngesankan di hati siswa sehingga pengalaman keterampilan yang dilatihkan sukar dilupakan. 2.1.13 Langkah-langkah Penggunaan Role Playing Shaftel & Shaftel (dalam http://blog.tp.ac.id) merancang suatu tahapan yang terdiri atas sebelas tahapan dalam melaksanakan kegiatan role-playing, yaitu: (1) memperkenalkan topik kegiatan, (2) mendorong ketertarikan pembelajar, (3) menyajikan kosakata baru, (4) membaca cerita yang secara jelas menuju pada suatu permasalahan, (5) menghentikan cerita pada saat klimaks, (6) mendiskusikan dilema yang ada, (7) memilih pembelajar memainkan peran, (8) mempersiapkan pembelajar
27
yang lain untuk menyimak dan selanjutnya memberikan nasihat, (9) memerankan cerita yang tersisa, (10) mendiskusikan jalan keluar alternatif yang berhubungan dengan permasalahan, dan (11) memerankan kembali cerita menggunakan strategi baru bila diperlukan. Dalam penelitian ini, tidak semua tahap dalam kegaiatan roleplaying dilakukan mengingat subyek penelitian adalah siswa SD dan waktu pembelajaran dalam setiap tatap muka hanya 35 menit. Sehingga secara umum hanya melaksanakan tahapan dasar, seperti memperkenalkan topik kegiatan, menjelaskan proses role-playing, memilih pembelajar memainkan peran, melakukan kegiatan roleplaying, dan mendiskusikan hasil kegiatan. Berdasarkan uraian di atas, dapat diuraikan langkah-langkah pembelajaran melalui role playing yang akan diterapkan sebagai berikut : 1) Guru menyusun sekenario yang ditampilkan 2) Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari sekenario dua hari sebelum KBM 3) Guru menunjuk kelompok siswa yang anggotanya 4-5 orang 4) Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran 5) Memanggil siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan sekenario yang sudah dipersiapkan 6) Masing-masing
siswa
duduk
dikelompoknya,
masing-masing
sambil
memperhatikan mengamati sekenario yang sedang diperagakan 7) Setelah selesai dipentaskan, masing – masing siswa diberikan kertas sebagai lembar kerja untuk dibahas 8) Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya
28
9) Guru memberikan kesimpulan secara umum 10) Evaluasi 11) Penutup 2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan Penelitian oleh Priantina (2009) menyimpulkan bahwa metode role playing efektif pada pembelajaran materi sistem reproduksi manusia ditunjukkan dengan Ketuntasan klasikal XI IPA I sebesar 80,50% dan XI IPA II sebesar 77,78% dan ≥ 75% siswa terlibat aktif dalam pembelajaran. Penelitian oleh Ali Mustadi (2010) menyimpulkan bahwa kemampuan speaking mahasiswa pada pembelajaran bahasa Inggris menggunakan teknik roleplaying pada mahasiswa PGSD telah meningkat. Peningkatan ditandai dengan keaktifan berbicara menggunakan bahasa Inggris, interaksi secara lisan antar mahasiswa yang berperan sebagai guru terhadap siswa maupun siswa terhadap guru menggunakan bahasa Inggris, dan perhatian terhadap seluruh materi yang diberikan dalam proses pembelajaran. 2.3 Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan dalam penelitian ini yakni “Penerapan role playing dapat meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SDN 1 Dulamayo”. 2.4 Indikator Kinerja Agar penelitian ini dikatakan berhasil, harus memenuhi indikator yakni apabila partisipasi aktif siswa dan aktivitas guru dalam proses pembelajaran dengan role playing mencapai 75 % sudah menunjukkan kriteria baik.