BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teori 2.1.1
Hakikat Pemahaman Konsep Bilangan
2.1.1.1 Pengertian Konsep Bilangan Belajar pada intinya merupakan usaha sadar yang dilakukan individu untuk memenuhi kebutuhannnya terhadap keingintahuannya akan sesuatu. Suliani (2005: 43) mengatakan belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi anak dengan sumber-sumber atau objek belajar baik secara sengaja atau tanpa sengaja dirancang. Kegiatan belajar tersebut dapat dihayati atau dialami oleh orang yang sedang belajar untuk memperoleh suatu pengertian dan pemahaman. Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang relatif menetap yang dapat diamati secara langsung yang terjadi dari hasil atau pengalamannya dalam interaksi dengan lingkungannya. Kata memahami dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Rumanta, Maman. 2009: 87) diterjemahkan sebagai menguasai, mengerti. Sedang secara jelas Suyitno (2009: 47) menjelaskan bahwa yang dinamakan memahami terhadap sesuatu adalah kemampuan mengetahui, mengerti dan menguasai sesuatu dengan tepat, cepat dan benar. Dari dua definisi dapat dikaji bahwa yang dimaksud dengan memahami adalah suatu kemampuan menguasai sesuatu pengetahuan atau keterampilan dengan tepat dan benar tanpa ragu dan kebimbangan atau mendugaduga.
Menurut Dalil S. Naya (1985: 5) bilangan sudah dikenal orang Yunani sejak awal masehi yang menanamkan bilangan itu sebagai aritmatika sesuai dengan istilah “Arithmes” yang berarti bilangan dan teche yang berarti ilmu pengetahuan. Bilangan itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu sarana untuk mengerjakan ataupun menyelesaikan sesuatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Paimin, J. Ekaningsih (2006: 65) menyatakan bahwa bilangan adalah suatu symbol untuk melambangkan ketetapan dari sesuatu yang ada dalam kehidupan. Pendapat ini diperkuat oleh Suriasumantri, Jujun S. (2004: 39) yang menjelaskan bahwa bilangan adalah symbol dari angka yang digunakan untuk mewakili sesuatu lambang bilangan. 2.1.1.2 Tahap Kemampuan Membilang Anak Usia Dini Kemampuan numerik banyak menjadi perhatian bagi pendidik, orang tua dan para pemerhati perkembangan anak. Hal ini disebabkan karena kemampuan numeric banyak diajarkan disekolah dan diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan numeric ini merupakan satu kemampuan yang dipelajari anak secara otomatis dalam periode masa kanak-kanak awal. Zaman, Badru (2009: 99) berpendapat bahwa terdapat lima prinsip dalam perkembangan pemahaman bilangan anak pada masa ini yaitu: (1) satu per satu, (2) benda konkrit, (3) pengulangan, (4) secara abstrak, dan (5) kesesuaian. Menurut prinsip satu per satu, pada dasarnya pemahaman terhadap bilangan diawali dengan memperkenalkan nama bilangan dengan menyebut nama bilangan yang diajarkan secara berurutan dan satu per satu. Setiap angka harus disebutkan tidak boleh ada yang terlewati dan tidak boleh diulang. Cara ini
terbukti efektif untuk mengajar anak, bahkan yang baru berusia 2,5 - 3 tahun. Hildayani, Rini (2008: 9.24) menyatakan bahwa anak akan secara otomatis memperbaiki hitungan baik yang mereka maupun pendidik lakukan bila terdapat kesalahan. Prinsip benda konkrit pemahaman terhadap konsep bilangan dilanjutkan dengan memperkenalkan konsep jumlah pada anak melalui benda yang konkret. Prinsip ini menekankan pada keteraturan, misalnya pendidik akan menanamkan konsep angka 3, dapat dimulai dengan mengambil tiga buah benda misalnya balok dan menghitungnya “satu”, “dua” dan “tiga” sebelum pendidik memperkenalkan bentuk angka 3. Selanjutnya adalah prinsip pengulangan, prinsip ini menekankan agar dalam menanamkan bilangan agar selalu mengulang jumlah terakhir sesuai bilangan yang diinginkan. Misalnya angka 3, kita ucapkan “satu, dua, tiga,…….tiga apel”. Dan prinsip secara abstrak, prinsip ini lebih mengarah pada kemampuan anak membilang dengan benda-benda yang bersifat abstrak dengan tujuan untuk melatih daya ingat anak terhadap urutan bilang sebelum benar-benar memahami tiap-tiap bentuk bilangan dengan tepat. Terakhir prinsip kesesuaian,yaitu dimana anak sudah mulai memahami bahwa dalam bilangan itu selalu dimulai dengan angka satu kemudian dilanjutkan dengan dua dan seterusnya. Jika anak telah mamahami hal ini akan sangat mudah bagi pendidik untuk memperkenalkan tiap bentuk angka kepada anak karena anak telah menguasai nama bilangan yang melambangkannya.
2.1.1.3 Tujuan dan Manfaat Konsep Bilangan bagi Anak Usia Dini Matematika khusunya bilangan atau tepatnya angka memiliki beberapa kelebihan daripada bahasa verbal. Bilangan mampu mengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Misalnya secara bahasa verbal dapat dikatakan gajah lebih besar daripada semut, namun jika ingin menelusuri lebih lanjut seberapa besar gajah dari semut maka akan mengalami kesulitan dalam mengemukakan hubungan tersebut. Disinilah bilangan berperan dalam mengembangkan konsep pengukuran dari kualitatif menuju kuantitatif yang lebih bersifat eksak, tepat dan cermat. Oleh karena itu pemahaman konsep bilangan kepada anak memiliki tujuan mendasar agar anak dapat mengetahui dasar-dasar pembelajaran berhitung dalam suasana yang menarik, aman, nyaman dan menyenangkan sehingga diharapkan nantinya memiliki kesiapan dalam mengikuti pembelajaran matematika yang sesungguhnya di Sekolah Dasar. Kegunaan
dari
penanaman
konsep
bilangan
sebagaimana
yang
dikemukakan oleh Sujiono N. Yuliani (2008: 11.4) memiliki beberapa manfaat mendasar yang meliputi : (1) dapat berfikir logis dan sistematis sejak dini melalui pengamatan terhadap benda-benda ataupun gambar-gambar yang ada disekitar anak, (2) dapat menyesuaikan dan melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang dalam keseharian memerlukan keterampilan berhitung, (3) dapat memahami konsep ruang dan waktu serta dapat memperkirakan kemungkinan urutan suatu
peristiwa yang terjadi disekitarnya, (4) dapat melakukan suatu aktifitas melalui daya abstraksi, apresiasi serta ketelitian yang tinggi, dan (5) dapat berkreatifitas dan berimajinasi dalam menciptakan sesuatu secara spontan. 2.1.1.4 Cara Anak Mempelajari Konsep Bilangan Anak belajar dengan cara membangun pengetahuannya, biasanya dilakukan melalui bermain. Belajar paling baik pada anak adalah jika apa yang dipelajarinya mempertimbangkan keseluruhan aspek pengembangan, bermakna, menarik, dan fungsional. Hal ini menggambarkan begitu pentingnya pendidikan tentang anak usia dini dimana mereka terus menerus berada dalam keadaan pertumbuhan dan perubahan yang dipengaruhi oleh lingkungan. Mereka senang sekali belajar, selalu ingin tahu dan mencoba, mereka memiliki kemampuan yang besar untuk menyerap berbagai pengalaman sejak lahir sampai umur 6 tahun. Mereka belajar melalui gerakan, bereksplorasi, dan belajar melalui alat inderanya. Dorothy Rich (2008: 48) mengemukakan tentang beberapa prinsip pembelajaran anak usia dini yaitu: 1) anak sebagai pelajar aktif, 2) anak belajar melalui sensori dan panca indera, 3) anak membangun pengetahuannya sendiri, 4) anak berfikir melalui benda kongkrit, dan 5) anak belajar dari lingkungan. Anak dapat belajar dengan baik sejak dini, karena bila dikaji alasan pertama, yaitu agar anak dapat bersosialisai yang merupakan gambaran harapan orang tua agar anak lebih termotivasi mempelajari ketrampilan tertentu melalui teman-temannya. Pada konsep ini pendidik bertugas hanya sebagai fasilitator yang mengawasi serta menuntun anak agar tetap pada jalurnya dengan cara menerapkan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak
karena anak selain merupakan pelajar yang aktif, mereka juga rentan dengan sesuatu yang mudah mereka tangkap dengan sensori dan panca indera mereka. Dalam konsep ini anak mengeksploitasikan semua inderanya baik penciuman, perasa, peraba, penglihatan, dan pendengaran. Anak dapat belajar berdasarkan atas apa yang dilihat, didengar, dirasakan. Sebagai contoh dalam kegiatan bermain dengan perabaan, anak diminta membawa bermacam-macam kain (kain yang halus hingga yang kasar), lalu mereka meraba, mempelajari, serta membuat kesimpulan akhir tentang pengamatan dan pengalaman mereka masing-masing. Prinsip berikutnya adalah biarkan anak belajar melalui pengalamanpengalaman dan pengetahuan yang dialaminya. Konsep ini diberikan agar anak dirangsang untuk menambah pengetahuan yang telah diberikan melaui materimateri yang disampaikan oleh pendidik dengan caranya sendiri. Prinsip berikut adalah anak belajar berfikir dengan benda konkrit, dalam konsep ini anak harus diberikan pembelajaran dengan benda-benda yang nyata agar anak tidak menerawang atau bingung. Maksudnya adalah anak dirangsang untuk berpikir dengan kegiatan pembelajaran yang menggunakan benda nyata sebagai contoh materi-materi yang diajarkan oleh pendidik. Misalnya jika tema pembelajarannya adalah tema tanaman dan pendidik akan memperkenalkan konsep bilangan 3, maka pendidik harus menyiapkan tanaman boleh buah atau sayur sejumlah 3 buah agar anak lebih memahami bahwa angka 3 seperti ini dengan banyak benda seperti ini. Alam sebagai sarana pembelajaran, hal ini didasarkan pada beberapa teori pembelajaran yang menjadikan alam sebagai sarana yang tak terbatas bagi anak
untuk
bereksplorasi
dan
berinteraksi
dengan
alam
dalam
membangun
pengetahuannya. Banyak bahan yang ada disekitar yang dapat digunakan untuk membangun pemikiran anak, seperti pohon, batu-batuan bahkan mobil atau motor yang sedang parkir maupun berjalan. Pembelajaran dengan memfungsikan lingkungan sekitar akan semakin mudah bahkan dapat tersimpan kuat dalam memori anak karena anak terlibat secara langsung dengan objek. Terkait hal ini Samatowa, Usman (2007: 57) menyatakan bentuk dan kerja otak tidak dapat dipisahkan, terdapat hubungan antara otak dengan panca indra. Otak menerima semua stimulasi dari lingkungan melalui indra dan direkam di otak, kemudian dimunculkan kembali dalam bentuk memory, di ulang kembali menjadi
kebiasaan
(kognitif/pola
pikir
dan
prilaku).
Ini
berarti
cara
membelajarkan anak terhadap sesuatu akan lebih bermakna bagi anak jika melalui sesuatu yang kongkrit dan melibatkan keseluruhan fungsi jasmani anak daripada anak hanya sekedar mendengar penjelasan pendidik. 2.1.2
Hakekat Kegiatan Bermain
2.1.2.1 Defiinsi Bermain Bermain merupakan salah satu kegiatan, strategi dan teknik paling tepat yang diterapkan dalam menstimulasi tumbuh dan kembang anak, oleh karena itu bermain menjadi salah satu prinsip pembelajaran anak usia dini yaitu Bermain Sambil Belajar dan Belajar Melalui Bermain. Anak tidak memisahkan antara bermain dan bekerja, bagi anak bermain merupakan seluruh aktifitas anak termasuk bekerja, kesenangannya dan merupakan kegiatan bagaimana anak
mengenal dunia mereka. Bermain tidak sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan anak seperti layaknya makanan, pakaian, cinta dan lain-lain. Anak memerlukan berbagai variasi permainan untuk kesehatan fisik, mental dan perkembangan emosinya. Melalui bermain anak tidak hanya mentimulasi pertumbuhan otot-ototnya, anak tidak hanya melompat-melempar atau berlari mereka bermain dengan menggunakan seluruh emosinya, perasaanya dan pikiranya. Kesenangan merupakan salah satu elemen pokok dalam bermain. Anak akan bermain sepanjang aktifitas tersebut menghiburnya. Pada saat mereka bosan mereka akan berhenti bermain. Bermain bukan berarti membuang-buang waktu, juga bukan berarti membuat si anak menjadi sibuk sementara orang tuanya mengerjakan pekerjaanya sendiri. Tetapi melalui bermainlah mereka mendapatkan pengalaman hidup yang nyata, dengan bermain anak menemukan kekuatan serta kelemahanya sendiri, minatnya cara menyelesaikan tugas-tugas dalam bermain dan lain-lain. Istilah bermain merupakan konsep yang perlu dipahami dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menilai kegiatan yang dilakkan oleh orang dewasa bersama anak. Pada umumnya bermain dilakukan anak secra berulangulang semata-mata demi kesenangan dan tidak ada tujuan atau sasaran akhir yang ingin dicapainya. Montolalu (2008: 89) mengemukakan beberapa pandangannya tentang bermain yaitu: (1) suatu pandangan atau sikap hidup yang dapat dilakukan dalam segala situasi, (2) bermain adalah perbuatan atas kemauan sendiri yang dikerjakan dalam batas-batas tempat dan waktu yang telah ditentukan diikuti oleh perasaan senang, (3) bermain adalah keluar dari “kehidupan biasa” masuk ke
dalam dunia angan-angan dan (4) bermain adalah suatu kegiatan yang khususnya tidak ditujukan mencari nafkah dan dapat digunakan untuk mengisi waktu luang secara kreatif. Ini berarti apapun yang dilakukan khususnya bagi anak usia dini, selama membuat anak merasa senang dapat dikategorikan sebagai bermain baik menggunakan alat permainan maupun tidak dan dilakukan kapan saja atau dimana saja. 2.1.2.2 Tahap Perkembangan Bermain Anak Usia Dini Apabila pengertian bermain dipahami secara benar maka pengetahuan tersebut akan sangat bermakna bagi orang dewasa khususnya pendidik dan orang tua dalam membantu proses belajar anak. Berikut adalah tahapan dalam bermain anak usia dini yang dikemukakan oleh Hildayani, Rini (2008: 4.3-4.4) yang di adopsi dari teori Jean Piaget yaitu: (1) tahap bermain sensomotor (sekitar usia 3 bulan – 18 bulan), (2) tahap bermain simbolik atau pura-pura (antara usia 18 bulan – sekitar 7 tahun), (3) tahap bermain sosial (sekitar 8 – 11 tahun), dan 4) tahap sosial dan olahraga (sekitar 11 tahun ke atas). Jean Piaget berpandangan kegiatan bermain pada anak yang sesungguhnya baru di mulai pada usia sekitar 3 bulan – 4 bulan (Hildayani, Rini. 2008: 4.15). sebelum usia tersebut, gerakan atau kegiatan yang dilakukan oleh bayi masih banyak mengandalkan pada reflex sehingga belum dapat dikategorikan sebagai kegiatan bermain. Kegiatan anak lebi terkoordinasi dari pengalamannya, ia belajar bahwa menendang-nendang tempat tidur maka ada benda-benda yang bergerak. Keinginan semacam ini diulang-ulang sampai pada akhirnya ia menemukan fungsi dari aktivitas yang ia lakukan. Namun menginjak usia 7 bulan - 11 bulan kegiatan
yang dilakukan anak bukan semata-mata berupa pengulangan namun sudah disertai dengan berbagai variasi, anak telah mampu melakukan manipulasi terhadap benda-benda yang ada disekitarnya. Benda tersebut diamati, dimasukkan ke dalam mulut, dilempar, diketuk-ketuk dan seterusnya. Lama kelamaan bayi mulai mengenali fungsi benda sampai pada akhirnya dapat melakukan kegiatan bermain khayal. Dalam tahap bermain simbolik yang sering disebut sebagai bermain purapura, anak lebih banyak bertanya dan menjawab pertanyaan serta mencoba berbagai hal berkaitan dengan konsep angka, ruang, kualitas dan sebagainya. Seringkali anak menanyakan sesuatu hanya untuk sekedar bertanya tidak terlalu memperdulikan jawaban yang diperolehnya. Walau sudah dijawab anak akan bertanya dan terus bertanya lagi. Anak sudah dapat menggunakan benda sebagai symbol benda lain misalnya sapu dijadikan kuda-kudaan, menganggap sobekan kertas sebagai uang dan sebagainya. Berikutnya adalah tahap bermain sosial, pada umumnya sejak anak berusia 8 tahun - 11 tahun anak-anak mulai tertarik untuk melakukan kegiatan bermain sosial. Kegiatan bermain sosial adalah kegiatan bermain yang melibatkan dua anak atau lebih dan di dalam kegiatannya akan melibatka aturan permainan (Zaman, Badru. 2009: 67). Sebagai contoh permainan grobak sodor, bermain gundu dal lain-lain yang dilakukan secara berkelompok. Sedang pada tahap sosial dan olahraga, kegiatan bermain lebih bermakna atau sudah memiliki tujuan karena biasanya telah menggunakan aturan yang harus diikuti dan melibatkan satu anak atau lebih serta olahraga yang biasanya dinikmati
oleh anak-anak usia 11 tahun ke atas. Olahraga sudah menggunakan aturan yang lebih ketat dan diberlakukan secara kaku bila dibandingkan dengan permainan games pada tahap sosial. Sehingga pada tahap ini anak-anak memiliki kecenderungan bermain untuk meraih prestasi semaksimal mungkin untuk memenangkan pertandingan. Dari keempat tahapan perkembangan bermainan tersebut di atas Nampak secara nyata bahwa kegiatan bermain yang tadinya dilakukan sekedar demi kesenangan lambat laun mengalami pergeseran karena pada akhirnya sudah memiliki tujuan yang ingin dicapai. Selain itu juga dapat digaris bawahi bahwa tahap perkembangan bermain anak usia KB dan TK berada pada tahap bermain simbolik yaitu pura-pura yang artinya adalah suatu kegiatan bermain yang ditandai oleh kemampuan anak untuk mempresentasikan pengalaman actual atau khayalannya melalui penggunaan beberapa objek, gerakan dan bahasa (Pratiwi, Dina. 2007: 76). 2.1.2.3 Jenis-jenis Bermain Anak memerlukan alat permainan yang bervariasi sehingga bila ia bosan dengan permainan yang satu dapat memilih permainan yang lain. Menurut Papalia et. al (2004: 4b) secara garis besar kegiatan bermain pada anak usia dini dikelompokkan dalam dua kategori yaitu: (1) bermain aktif, (2) bermain pasif. Bermain aktif adalah kegiatan yang memberikan kesenangan dan kepuasan pada anak melalui aktivitas yang mereka lakukan sendiri (Hildayani, Rini. 2008: 65). Sedang Tedjasaputra, Meyske (2004: 53) mengemukakan bahwa bermain aktif adalah kegiatan yang melibatkan banyak aktivitas tubuh atau gerakan-
gerakan tubuh. Sedangkan bermain pasif adalah suatu bentuk kegiatan bermain dimana anak memperoleh kesenangan bukan berdasarkan kegiatan atau permainan yang dilakukannya sendiri (Hildayani, Rini. 2008: 69). Sebagai contoh anak yang tinggal duduk menonton televisi, mendengarkan radio, membaca buku cerita atau mendengarkan dongeng, melihat orang lain sedang bermain bola dan lain-lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bermain pasif dapat dikatakan sebagai sebuah kegiatan yang tidak terlalu melibatkan aktivitas visik. Mengkaji uraian tersebut di atas, dipahami bahwa jenis kegiatan bermain yang lebih banyak dilakukan oleh anak usia dini adalah jenis kegiatan bermain aktif yang terlihat dari perilaku anak yang tidak mau diam selalu ingin bergerak dan bergerak. Karena jenis bermain ini telah dilakukan oleh anak sejak bayi yang ditandai dengan gerakan otot yang berulang-ulang. Menurut Zaman, Badru (2009: 65) kegiatan bermain semacam ini disebut sebagai motor play karena membutuhkan keterampilan motor atau fisik untuk melakukannya misalnya menggelindingkan atau memantulkan bola ke lantai. Setelah keterampilan motorik kasar anak bertambah maka anak-anak pra sekolah akan melakukan gerakan kasar seperti berlarian, melompat, meloncat, memendang dan berdiri di atas satu kaki. Selain itu seiring dengan bertambahnya usia dan pola berfikir mereka anak-anak pun akan mengambangka permainannya pada hal-hal yang melibatkan motorik halus seperti jari-jari. Contoh kegiatan bermain ini seperti bermain balok, bongkar pasang atau puzzle, menggambar, melukis, membuat bentuk dari tanah liat dan lain-lain. 2.1.2.4 Manfaat Bermain Bagi Anak Usia Dini
Anak disediakan kesempatan untuk berhubungan dengan bermacammacam bahan dan alat permainan yang dapat merangsang semua indera dan disediakan baik di dalam maupun di luar ruangan dan anak diberi kesempatan untuk bergerak secara bebas, untuk bereksplorasi dengan alat dan bahan main dengan semua inderanya serta lingkungan baik di dalam maupun di luar ruangan menyediakan kesempatan untuk berhubungan dengan banyak tekstur dan berbagai jenis bahan bermain yang berbeda yang mendukung setiap kebutuhan perkembangan anak. Selain itu juga bermain dapat melatih konsentrasi (pemusatan perhatian pada tugas tertentu) seperti melatih konsep dasar warna, bentuk, dan lain-lain. Berdasarkan Teori Modern, anak bermain karena menganggap bahwa bermain sebagai suatu kegiatan “unreal” yang digunakan anak sebagai alat kontrol di mana dalam kehidupan nyata anak tidak bisa mengontrol. Dengan demikian dalam bermain anak dapat menyalurkan harapannya. Bermain sebagai alat untuk menjaga tingkat keseimbangan agar berada di tingkat optimal . Jika terlalu banyak hal-hal yang baru (overstimulation), maka anak akan memilih mana yang mampu ia ambil, namun jika terlalu sedikit maka anak akan menambah input sesuai dengan kapasitasnya. Bermain membuat anak berkomunikasi secara aktif dengan sejumlah fungsi-fungsi yang berbeda. Dalam memahami peran komunikasi dan konteks bermain anak akan mengembangkan bingkai anak itu sendiri untuk memahami permainan. 2.1.3
Hakikat Media Puzzle
2.1.3.1 Pengertian Media
Media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari kata “medium” yang secara harfiah berarti “perantara”. Media adalah semua saluran pesan yang dapat digunakan sebagai sarana komunikasi dari seseorang kepada orang lain yang tidak ada dihadapannya (Lestari, Dewi. 2001 : 97). Menurut pengertian ini media hanya terbatas sebagai alat komunikasi seperti TV, Surat, Film. Sedang jika di titik dari kegunaannya sebagai sarana pembelajaran pengertian media setidaknya harus memiliki batasan yang meluas mencakup media yang lebih sederhana. Hal ini sebagaimana yang dipaparkan bahwa media sebaiknya mencakup batasan yang dapat digunakan secara efektif untuk melaksanakan proses pengajaran yang direncanakan dengan baik (Elyawati, 2005 : 113). Sehingga dapat dirrumuskan bahwa media ialah pembawa pesan yang berasal dari suatu sumber pesan (yang dapat berupa orang atau benda) kepada penerima pesan. Berdasarkan pandangan-pandangan tentang pengertian media diatas dapat ditarik simpulan bahwa media merupakan sarana penyalur informasi baik langsung maupun tidak langsung berupa benda atau pun orang. 2.1.3.2 Jenis dan Karakteristik Media Media dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran dengan dua cara yaitu sebagai alat bantu mengajar atau sebagi sarana pembelajaran. Media sebagai alat bantu mengajar disebut dependent media yang efektifitas kegunaanya tergantung pada cara dan kemampuan pendidik memakainya, sedangkan media sebagai sarana belajar disebut independent media yaitu media yang dapat
digunakan secara langsung oleh anak tanpa menuntut penguasaan secara terperinci untuk menggunakannya. Zaman, Badru (2009: 37) membagi media dalam tiga jenis yaitu (1) media visual, (2) media audio, dan (3) media audio visual. Media visual yaitu media yang menyampaikan pesan melalui penglihatan atau media yang dapat dilihat (zaman, Badru. 2009: 40). Media visual terdiri dari media yang dapat diproyeksikan yaitu media yang dapat menayangkan gambar atau tulisan pada layar seperti OHP dan lain-lain. Media visual jenis ini berbentuk media proyeksi diam atau gambar diam dan proyeksi gerak atau gambar yang dapat bergerak. Sedang media visual yang tidak dapat diproyeksikan terdiri atas empat jenis yaitu (1) gambar diam/ mati, (2) media grafis, (3) media model, dan (4) media relita (Zaman, Badru: 2009: 46). Gambar diam/mati yaitu gambar-gambar yang disajikan secara fotografis misalnya gambar tentang manusia, binatang, tanaman, tempat atau objek lainnya. Gambar diam ini ada yang bersifat tunggal berupa sekumpulan gambar diam yang berdiri sendiri serta gambar seri yaitu sekumpulan gambar diam yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Media grafis yaitu media pandang dua dimensi dengan unsure gambar dan tulisan. Media ini dapat digunakan untuk mengungkapkan fakta atau gagasan melalui kata-kata, angka dan bentuk symbol. Kemudian media model yaitu bentuk tiruan dari objek nyata seperti objek yang terlalu besar atau kecil, objek yang mahal atau jarang ditemukanserta objek yang terlalu rumit untuk dibawa kedalam ruang pembelajaran. Sedang media realita adalah alat bantu yang memberikan
pengalaman langsung pada anak seperti mata uang, tumbuhan, binatang yang tidak berbahaya dan lain-lain yang dapat dilihat secara nyata. Berikut adalah media audio, yaitu media yang mengandung pesan yang hanya dapat didengar guna merangsang pikiran, perasaan dan kemauan anak untuk mempelajari suatu bidang pengembangan. Penggunaan media ini pada umumnya
digunakan
untuk
melatih
keterampilan
mendengarkan
atau
membedakan sesuatu berdasarkan bunyi atau suara. Kemudian media audio visual yaitu media yang merupakan kombinasi antara media audio dan media visual yang disebut juga media pandang dengar. Dengan menggunakan media ini penyajian isi tema kepada anak-anak akan semakin lengkap dan maksimal. Contoh dari media ini adalah televise, video pendidikan, program slide suara dan sebagainya. Memperhatikan uraian tersebut, disadari bahwa tidak semua media tersebut dapat disediakan apalagi pada PAUD-PAUD yang belum memiliki fasilitas yang memadai. Dengan demikian alternative yang paling memungkinkan untuk diterapkan diPAUD-PAUD dalam kegiatan pembeljaran guna menunjang keberhasilan proses kegiatan adalah dengan memanfaatkan media pembelajaran yang sifatnya sederhana namun relevan dengan bidang kemampuan yang ingin dicapa oleh anak serta sesuai dengan umur dan kemampuan anak. Maksudnya sangat jelas yaitu pendidik tidak boleh hanya mengharap media sebagaimana tersebut diatas namun kekreativitasan pendidik untuk memilih media yang mudah dibuat, mudah diperoleh bahan-bahannya, mudah digunakan serta harganya yang terjangkau harus dimampui oleh seluruh pendidik PAUD.
Jenis media yang dapat disediakan oleh pendidik yaitu seperti media gambar diam baik tunggal maupun seri, media grafis, media model dan media realita. 2.1.3.3 Keuntungan Adanya Media Penggunaan media dengan pemilihan alat peraga yang tepat sesuai dengan kebutuhan, usia dan kemampuan anak sangat memberikan konstribusi besar bagi keberhasilan belajar anak. Karena anak usia dini masih berada dalam tahap operasional konkrit yaitu mempelajari sesuatunya masih dengan benda-benda nyata atau dengan sesuatu yang melibatkan panca indera. Eliyawati (2005: 71) mengemukakan terdapat beberapa keuntungan jika dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pendidik dapat menyediakan media sesuai tema yang akan diberikan kepada peserta didik yaitu: 1) Media dapat menterjemahkan suatu materi yang sifatnya abstrak 2) Dapat mengembangkan daya fikir anak secara keseluruhan karena melibatkan seluruh panca indera dan anggota badan 3) Mengembangkan imajinasi anak 4) Membantu meningkatkan penguasaan anak terhadap hal-hal yang bersifat abstrak 2.1.3.4 Definisi puzzle Puzzle sesuai jenisnya termasuk pada kegiatan bermain aktif yang dikenal dengan bongkar pasang (Rumanta, Maman. 2009: 87). Secara jelas Heri, Hidayat (2010: 57) mengemukakan bahwa puzzle merupakan kesatuan utuh bergambar sebelum hancur menjadi serpihan teka-teki. Berdasarkan dua definisi ini dapat
disimpulkan bahwa puzzle merupakan suatu alat permainan yang terdiri dari kepingan-kepingan sebelum dipasangkan dan akhirnya membentuk suatu gambar. Puzzle ini dikembangkan untuk anak usia dini bertujuan untuk selain merangsang perkembangan motorik halus anak karena pada penggunaannya yang lebih menuntut pada keaktifan jari-jari tangan, sesuai fungsi dan penerapannya oleh anak puzzle ini juga berfungsi untuk mengasah daya fikir atau kognitif anak karena untuk memasangkan puzzle tersebut hingga membentuk suatu gambar dibutuhkan satu ketepatan pemikiran tentang guratan-guratan jalur puzzle tersebut, selain itu juga dibutuhkan daya ingat yang kuat tentang bentuk gambar sebelum dipasangkan. Puzzle ini dilihat dari bentuknya memiliki macam-macam model disesuaikan dengan karakter yang ada pada tema di Pendidikan Anak Usia Dini serta kebutuhan kegiatan pembelajaran terutama materi yang ingin dicapai oleh anak, seperti puzzle tanaman dengan bentuk macam-macam buah, puzzle binatang seperti bentuk harimau, kucing dan lain-lain atau puzzle profesi seperti polisi, dokter, pendidik, sopir dan masih banyak lagi puzzle dengan bentuk gambar yang beraneka ragam. Selain berbentuk gambar ada juga puzzle yang bertujuan mengasah kognitif anak terhadap bilangan yang diformalisasikan dengan bentuk angka dan gambar berjumlah. Adapun jumlah pias dalam satu puzzle disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak, jika anak telah mampu dengan puzzle yang terdiri dari lebih dari 6-7 kepingan maka anak dapat melakukan permainan puzzle dengan
kepingan lebih dari itu agar anak tidak bosan dengan puzzle itu sendiri jika dibatasi hanya pada puzzle yang telah dikuasai anak. 2.1.3.5 MeningkatkanKemampuan Memahami Konsep Bilangan 1 – 5 Melalui Kegiatan Bermain dengan Menggunakan Media Puzzle Bermain puzzle sebenarnya sangat mudah dan dapat dilakukan anak secara mandiri tanpa bantuan pendidik, jika tujuan utama dari permainan itu hanya sekedar memasangkan saja. Namun jika pelaksanaan tujuannya adalah dalam kegiatan pembelajaran terutama menanamkan pemahaman kepada anak terhadap bilangan 1-5, maka pendidik harus membimbing dan merencanakan kegiatan tersebut dengan matang agar tujuan yang ingin dikuasai oleh anak dapat tercapai dengan maksimal. Meliputi pengelolaan kelas dan upaya pemberian bimbingan. Meningkatkan kemampuan memahami konsep bilangan 1 – 5 pada anak melalui kegiatan bermain puzzle merupakan satu kegiatan yang sangat menyenangkan, karena anak tidak dituntut untuk menulis atau hanya dengan mendengar saja penjelasan pendidik. Dengan puzzle ini anak aktif melakukan sendiri pemilahan-pemilahan dan pemasangan-pemasangan bentuk angka pada puzzle. Saat anak bermain puzzle pendidik dapat menekankan nama angka dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan kemampuan anak yang ditingkatkan dan dari kegiatan ini anak dapat mengingat bentuk tiap angka yang telah dipasangkannya. Bentuk puzzle angka itu sendiri pendidik sebagai fasilitator dan motifator pendidikan tidak boleh hanya terbatasi dengan alat peraga atau media yang tersedia dari toko, pendidik dapat membuatnya sendiri dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh dilingkungan. Karena pendidik Pendidikan Anak Usia Dini
sangat dituntut kekreativiasannya demi berlangsungnya pembelajaran yang menyenangkan, dan kekreativitasan pendidik dalam menciptakan bentuk-bentuk puzzle yang bervariasi baik model, warna dan jumlah pias-pias puzzle tersebut anak dapat lebih tertarik untuk mengikuti proses kegiatan dengan senang dan bersemangat. Selain itu, dalam penerapannya pendidik harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang agar kegiatan yang dilaksanakan terlaksana dengan baik utamanya dalam hal pengelolaan kelas dan proses pembimbingan. Karena keberhasilan pendidik bukan hanya dilihat dari kompetensi yang dimiliki ole pendidik tersebut melainkan dilihat juga dari perubahan-perubahan dan peningkatan-peningkatan kemampuan anak dalam proses tumbuh kembangnya. Berikut ini teknik serta langkah-langkah yang dapat digunakan untuk menanamkan pemahaman anak terhadap bilangan 1-5 yang dikemukakan oleh Zaman, Badru (2009: 78) yaitu sebagai berikut. 1. Pendidik membagikan puzzle kepada anak-anak, setiap anak mendapatkan 2-5 puzzle sesuai target pencapaian keberhasilan yang pendidik tetapkan untuk satu hari kegiatan pembelajaran 2. Pendidik bersama anak membicarakan bentuk permainan yang akan dilaksanakan 3. Pendidik mengajak anak bersama-sama untuk mengulang menyebut urutan bilangan 1-5, kegiatan ini bisa dengan menghitung jari-jari tangan atau dengan gambar/ benda disesuaikan dengan tema yang sedang berlangsung
4. Anak diberi tugas secara bergantian untuk menyebutkan sendiri urutan bilangan 1-5 untuk mengetahui daya ingat anak terhadap urutan bilangan serta mengetahui kesiapan anak sebelum masuk pada kegiatan bermain puzzle angka 1-5. 5. Pendidik memperlihatkan satu per satu dan menyebut bentuk angka pada puzzle 6. Pendidik memberi tugas pada anak untuk mengambil puzzle dengan bentuk angka tertentu dan meminta anak membongkarnya untuk kemudian dipasangkan kembali 7. Sebaiknya pendidik menerapkan batasan waktu agar anak termotivasi untuk memasangkan puzzle, hal ini bertujuan untuk melatih kecepatan dan penguasaan anak terhadap bentuk bilangan itu sendiri 8. Pendidik memberi bimbingan dan dorongan berupa reinsforment baik terhadap anak yang berhasil maupun yang belum berhasil dalam memahami bentuk angka.
2.2 Hipotesis Tindakan Adapun yang menjadi hipotesis pada penellitian ini adalah “Jika Pendidik Menerapkan Kegiatan Bermain dengan menggunakan media Puzzle dalam Pembelajaran maka Pemahaman Terhadap Konsep Bilangan 1-5 Pada Anak Kelompok A PAUD Al-Qomar Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo Akan Meningkat”
2.3 Indikator Kinerja Adapun yang
menjadi indikator kinerja dalam penelitian ini adalah
“Apabila jumlah anak yang memiliki pemahaman terhadap bilangan 1-5 mengalami peningkatan yaitu dari 24.4 % pada observasi awal menjadi 75 % pada pemberian tindakan terakhir dari 15 jumlah anak Kelompok A PAUD AlQomar Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo”.