BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1
Hakikat Komunikasi Sosial Komunikasi sosial adalah kemampuan untuk mengenali diri sendiri dengan memiliki
konsep diri yang jelas serta citra diri yang positif (Gardner, 2005:3). Komunikasi sosial inilah seseorang
akan menjadi unik dan otentik, tidak terombang-ambing oleh pengaruh luar.
Komunikasi sosial secara luas diartikan sebagai komuniasi sosial yang dimiliki individu untuk mampu memahami dirinya. Sedangkan, dalam arti sempit ialah kemampuan anak mengenal dan mengindentifikasi emosi, juga keinginannya. Selain itu anak juga mampu memikirkan tindakan yang sebaiknya dilakukan dan memotivasi dirinya sendiri. Anak dengan karakter ini mampu mengintropeksi dirinya dan memperbaiki kekurangannya. “Setiap anak dianugerahi komuniasi sosial ini, namun kadarnya berbeda-beda” (Amstrong, 2004: 175). Komunikasi sosial terdiri dari lima tahapan yang saling berkaitan, yaitu mampu memahami emosi diri, meregulasi emosi, memotivasi diri, memahami orang lain, dan berinteraksi dengan orang lain. Orangtua dapat mengamati anak yang memiliki komunikasi sosial berbeda sikapnya ketika menghadapi suatu masalah. Karena anak bisa mengerti penyebab dari sebuah emosi, mereka akan lebih memahami orang lain ketika sedih, marah dan sebagainya. Rasa empati yang tinggi serta kepekaan terhadap lingkungannya membuat anak yang memiliki komunikasi sosial mempunyai keinginan yang besar menolong dan menyayangi sesama baik teman, keluarga, dan masyarakat. Potensi ini dapat diasah jika orangtua mendeteksinya sedini mungkin, yaitu ketika anak mulai berkomunikasi secara verbal sehingga tinggi rendahnya kadar komuniasi sosial ini tergantung pada stimulasi yang diberikan orangtua. Hal ini sejalan dengan pendapat Camppelle
dan Noelle (1999: 76) bahwa anak dengan komunikasi sosial
tinggi biasanya bisa
mengungkapkan keinginannya dengan cara yang baik, tidak memaksakan kehendaknya, tahu kelebihan dan kekurangan dirinya, sehingga berani tampil saat mereka merasa mampu. Pada anak yang memiliki komunikasi sosial rendah akan berlaku sebaliknya sehingga kurang percaya diri untuk tampil. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan komunikasi sosial sedini mungkin dapat membentuk karakter anak serta menanamkan nilai-nilai positif dalam dirinya seperti memiliki rasa percaya diri, berpikir mandiri dan rasa empati yang besar dan memiliki konsep diri yang positif atas dirinya sendiri. Potensi manusia itu tak terbatas, potensi di sini makudnya adalah berbagai kapasitas di dalam diri kita yang masih berbentuk bahan baku. Namanya juga bahan baku, bahan baku itu bisa diolah menjadi bentuk apa saja, tergantung proses pengolahannya. Karena itu, menurut Gardner (2005: 2) bahwa komuniasi sosial itu bukanlah domain bawaan yang sudah baku dan begitu adanya, melainkan sebuah konstruksi baru (new construct). Artinya, orang akan memiliki komunikasi sosial
apabila potensi yang
dikembangan selama ini lebih banyak mengarah pada terbentuknya perilaku yang positif. Dengan komunikasi sosial yang dimiliki maka dapat terbentuk perilaku baru (new construct) dari diri orang itu. Komunikasi sosial memiliki arti sebagai kemampuan dalam memahami perasaan, mood, keinginan dan maksud seseorang terhadap orang lain. Hal ini senada dengan pendapat Nopiantini (2008: 22). Dengan kata lain kelancaran individu dalam berkomuniksi dan bergaul dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh komunikasi sosial. Pengertian tersebut senada dengan apa yang dikemukakan Agustin (2008: 66), yaitu : Komunikasi sosial
adalah kemampuan
mempersepsikan dan membedakan dalam modus, maksud tertentu, motivasi dan perasaan dari
orang lain. Di dalam komuniasi sosial ini juga termasuk kepekaan ekspresi muka, suara dan gerak gerik. Memiliki kemampuan dalam membedakan hal-hal dari banyak jenis tanda-tanda intrapersonal dan memiliki kemampuan untuk bereaksi secara efektif terhadap tanda-tanda yang tampak. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka disimpulkan pengertian komunikasi sosial sebagai bentuk penyampaian informan kepada orang yang selalu melibatkan dua individu atau lebih guna mengungkapkan keinginan, maksud, pesan atau tujuan pengirim pesan dapat diterima dan dipahami oleh penerima pesan. Komunikasi menjadi aspek penting untukmengekspresikan perasaan, gagasan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan. Menurut Wahyudi (2011:38) bahwa ciri-ciri peserta didik yang memiliki komunikasi sosial di antaranya: 1) mempunyai kemampuan yang baik dalam mengetahui dan memahami orang lain/teman dengan baik dalam minat, keinginan atau motivasi, 2) Biasanya bersikap ekstrovert (terbuka) dan dapat bersifat kharismatik karena dapat meyakinkan orang lain serta cukup diplomatis, 3) Menyukai perdamaian, keharmonisan, kerjasama dan tidak menyukai konfrontasi. Pendapat senada juga dikemukakan Gardner (dalam Hartati, 2009: 35) bahwa komunikasi sosial yaitu kemampuan seseorang dalam memahami orang lain baik dalam memotivasi orang lain, peka terhadap ekspresi wajah, suara dan gerakan tubuh orsang lain sehingga mampu memberikan respon secara efektif dalam menerima informasi dari orang lain, serta memahami bagaimana bekerjasama dengan orang lain. Biasanya individu yang memiliki komunikasi sosial sangat pandai dalam bergaul dan memiliki banyak teman. Menurut Anderson, 1999 (dalam Nopiantini, 2008:34) komunikasi sosial mempunyai tiga aspek utama, yaitu: 1. Memahami Perasaan Orang Lain
Memahami perasaan orang lain yaitu kemampuan individu untuk memahami dan mencari pemecahan masalah yang efektif (win-win solution) dalam suatu interaksi sosial, sehingga masalah-masalah tersebut tidak menghambat apalagi mengancurkan relasi sosial yang telah dibangun, juga kemampuan individu dalam memahami situasi sosial dan etika sosial sehingga individu mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi tersebut, maka yang menjadi fondasi dasarnya adalah berkembangnya kesadaran diri individu secara baik. Social insight (pemahaman sosial) dibagi menjadi tiga, antara lain: 1) Kesadaran Diri Menurut Kaira (2009: 31) bahwa kesadaran diri merupakan proses mengenali motivasi, pilihan dan kepribadian kita lalu menyadari pengaruh faktor-faktor tersebut atas penilaian, keputusan dan interaksi kita dengan orang lain. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nopiantini (2008:26) bahwa individu yang memiliki kesadaran diri tinggi lebih objektif dalam mengevaluasi dirinya sendiri dan hasil evaluasinya lebih bersesuaian dengan hasil evaluasi orang lain tentang dirinya. Sebaliknya, individu yang memiliki kesadaran diri yang rendah, lebih subjektif dan tidak bersesuaian dengan hasil evaluasi orang lain terhadap dirinya. Menurut Nopiantini (2008:26) kesadaran diri sangatlah penting di dalamnya mempunyai dua fungsi dalam diri individu, yaitu: (1) Fungsi monitoring (self monitoring), yaitu fungsi dari kesadaran diri untuk memonitor, mengawasi, menyadari, dan mengamati setiap proses yang terjadi secara keseluruhan baik di dalam diri individu maupun di lingkungan sekitarnya yang akan membantu individu untuk mampu menyadari dan memonitor setiap kejadian yang dialaminya baik yang berkaitan dengan proses-proses internal seperti persepsi, penilaian, pemikiran, perasaan, atau keinginan yang terdalam, sehingga akan membuat individu semakin mampu menilai dirinya secara objektif dan mampu mengendalikan dorongan emosionalnya. (2)
Fungsi kontrol (self controling), yaitu kemampuan individu untuk mengontrol dan mengendalikan keseluruhan aspek dirinya seperti kemampuan untuk mengatur diri, kemampuan untuk membuat perencanaan, serta mampu mengendalikan emosi dan tindakannya. 2) Pemahaman Situasi dan Etika Sosial Dalam bersosialisasi setiap individu harus memiliki kaidah moral, sehingga dapat menetahui perbuatan yang boleh dilakukann dan yang tidak boleh dilakukan olehnya. Menurut Kaira (2009: 34) agar seorang individu sukses dalam membina dan mempertahankan kemampuan perlu memahami norma-norma moral dan sosial, maka terdapat ajaran yang membimbing individu untuk bertingkah laku benar dalam situasi sosial. Individu yang berhasil memahami kaidah moral yang ada di dalam masyarakat, maka individu tersebut telah meningkatkan komuniasi sosial moral dalam dirinya. Menurut Nopiantini (2008:28) komuniasi sosial moral adalah kemampuan individu untuk bersikap, bertindak, dan hidup secara benar dengan kesadaran penuh serta mampu menyesuaikan dan memenuhi tuntutan norma-norma moral dari lingkungan sekitarnya secara realistis, kritis dan bijaksana. 3) Pemecahan Masalah Efektif Setiap individu membutuhkan keterampilan untuk memecahkan masalah secara efektif, apalagi jika masalah tersebut berkaitan dengan konflik intrapersonal. Menurut Kaira (2009: 34) semakin tinggi kemampuan individu dalam memecahkan masalah, maka akan semakin positif hasil yang akan didapatkannya dari penyelesaian konflik antar pribadi tersebut. 2. Peka Terhadap Perasaan Orang Lain Menurut Nopiantini (2008:20) bahwa social sensitivity (sensitivitas sosial) yaitu kemampuan individu untuk mampu merasakan dan mengamati reaksi-reaksi atau perubahan yang ditunjukkan orang lain baik secara verbal maupun non verbal. Individu yang memiliki
sensitivitas sosial yang tinggi akan mudah memahami dan menyadari reaksi-reaksi (positif atau negatif) tertentu dari orang lain. Social sensitivity (sensitivitas sosial) didalamnya dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Sikap Empati Empati adalah kemampuan seseorang untuk dapat menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu persyaratan utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain, selain itu dapat pula merupakan kemampuan untuk mendengarkan dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan atau umpan balik apapun dengan sikap yang positif (Kaira, 2009: 36). 2) Sikap Terbuka Menurut Kaira (2009: 38) sikap prososial adalah suatu tindakan moral yang harus dilakukan secara kultural seperti berbagi, membantu seseorang yang membutuhkan, bekerjasama dengan orang lain, dan mengungkapkan rasa simpati. Senada dengan yang diungkapkan oleh Nopiantini (2008: 32) bahwa perilaku prososial menuntut kontrol diri individu untuk menahan diri dari egoisnya dan rela menolong berbagi dengan orang lain. 3. Menjalin Komunikasi Yang Harmonis Dengan Orang Lain Menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang lain menurut Kaira (2009: 38) merupakan kemampuan individu untuk menggunakan proses komunikasi dalam menjalin dan membangun Kemampuan intrapersonal yang sehat dengan menggunakan sarana komunikasi efektif, yang mencakup komunikasi verbal dan non verbal. Menurut Kaira (2009: 38), keterampilan berkomunikasi yang harus dikuasai oleh seorang individu adalah keterampilan mendengarkan efektif, keterampilan berbicara efektif, keterampilan public speaking, dan
keterampilan menulis efektif. Salah satu keterampilan komunikasi yang harus dimiliki adalah keterampilan mendengarkan yang akan menunjang proses komunikasi individu dengan orang lain, sehingga orang akan merasa dihargai dan diperhatikan ketika merasa di dengarkan. Ketiga aspek tersbut merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling mengisi satu sama lain, jika salah satu hilang maka akan melemahkan yang lainnya. Menurut Sadewo (2009: 104) anak yang memiliki komunikasi sosial tidak selalu senang dalam berkumpul dan bersama dengan kelompok, ada kalanya mereka senang menyendiri, tetapi tetap memiliki empati atau pemahaman tehadap kebutuhan dan kepentingan orang lain. Komunikasi sosial penting dimulai sejak dini. Anak yang cerdas secara intrapersonal adalah : 1) cenderung memiliki banyak teman. 2) Mereka juga mudah bersosialisasi serta senang terlibat dalam kegiatan atau kerja kelompok. Mereka menikmati permainan yang dilakukan secara berpasangan atau berkelompok, suka memberikan apa yang dimiliki dan diketahui kepada orang lain, termasuk masalah ilmu dan informasi (Agustin, 2008: 66). Menurut Musfiro (2009:2) bahwa komunikasi sosial anak akan meledak pada masa kanak-kanak dan bertahan hingga senja. Ini berarti, komuniasi sosial bahasa sudah dapat dilihat sejak kanak-kanak, melalui ujaran (kata-kata) untuk tujuan komunikasi dan melalui kegiatan mendengarkan komunikasi dengan orang dan anak lain di sekitarnya. Komuniasi sosial bahasa mengandung domain yaitu (1) Produksi, yakni kegiatan berbicara, berekspresi, dan menjalin komunikasi dengan orang lain. Anak yang memiliki keterampilan komunikasi sosial akan mampu berbicara dengan kata-kata yang jelas, bervariasi (banyak kata) dan mudah dimengerti. Anak yang memiliki keterampilan komunikasi sosial cenderung berani menggunakan kata-kata baru, dan mencoba dalam komunikasi sehari-hari meskipun mungkin keliru. Tetapi begitu mendapat koreksi, mereka cepat melakukan perbaikan. (2) Komprehensi, yakni kegiatan
mendengarkan, menikmati cerita/pembicaraan, dan memahami lelucon-lelucon dalam bentuk kata-kata. Anak yang memiliki keterampilan komunikasi sosial, cepat mengerti perintah, pertanyaan-pertanyaan, pernyataan, dan guyonan. Mereka suka mendengarkan orang berbicara dan menyerap infomasinya, menikmati siaran radio atau siaran yang penuh dengan obrolan. (3) Bersenandika, yakni kegiatan berbicara dengan diri sendiri, mengolah informasi dan mendengarkan sendiri apa yang dikatakannya, menghibur diri dengan suara-suara yang dibuat sendiri, “berlaga” bicara sendiri. Anak yang cerdas bahasa peduli terhadap apa yang ingin dikatakan, menikmati apa yang diceritakan. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli maka disimpulkan pengertian komunikasi sosial adalah kemampuan menyampaikan pesan dengan memahami perasaan orang lain, peka pada ekspresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain sehingga mampu memberikan respon secara efektif dalam menerima informasi dari orang lain. Komunikasi sosial dalam penelitian ini diindikasikan sebagai berikut : (a) kepekaan ekspresi muka, (b) sikap Extrovert (c) Interaksi dengan orang lain (Gardner 2009:35) 2.2 Teknik Bermain Peran Menurut Prayitno dan Amti (2004: 23) bahwa ada beberapa teknik yang bisa diterapkan dalam pembelajaran antara lain teknik bermain peran. Bermain peran dapat dijadikan sebagai salah satu teknik dalam pembelajaran baik sebagai selingan maupun sebagai wahana yang memuat materi pembinaan atau materi layanan tertentu. Bermain peran yang efektif dan dapat dijadikan sebagai teknik dalam pembelajaran harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut (a) sederhana, (b) menggembirakan, (c) menimbulkan suasana rileks dan tidak melelahkan, (d) meningkatkan keakraban, dan (e) diikuti oleh semua anggota kelompok. Anggota kelompok
dapat secara kreatif meningkatkan bentuk-bentuk dan jenis permainan tertentu yang relevan dengan materi bahasan pembelajaran . Bermain peran sebagai salah satu teknik dalam pembelajaran menurut Chechep (2008:1) bahwa ada lima hal yang perlu diperhatikan guru yaitu (1) kemampuan guru dalam menggunakan metode, (2) tujuan pengajaran yang akan dicapai, (3) bahan pengajaran yang perlu dipelajari anak, (4) perbedaan individual dalam memanfaatkan inderanya dan (5) sarana dan prasarana yang ada di sekolah”. Pendapat ini menunjukkan bahwa teknik bermain peran adalah pembelajaran dengan cara seolah–olah berada dalam suatu situasi untuk memperoleh suatu pemahaman tentang suatu konsep. Dalam kondisi ini anak berkesempatan untuk terlibat secara aktif sehingga akan lebih memahami konsep dan lebih lama mengingat, tetapi memerlukan waktu lama. Kemudian pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Romlah (1989: 109) bahwa teknik bermain peran mempunyai empat macam arti, yakni : (1) suatu yang bersifat sandiwara, dimana pemain memainkan peranan tertentu sesuai dengan lakon yang sudah ditulis, dan memainkannya untuk tujuan hiburan; (2) sesuatu yang bersifat sosiologis, atau pola-pola perilaku yang ditentukan oleh norma-norma sosial; (3) suatu perilaku tiruan atau perilaku tipuan dimana seseorang berusaha memperbodoh orang lain dengan jalan berperilaku yang lawanan denagnapa yang sebenarnya diharapkan, dirasakan atau diinginkan; dan (4) sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, dimana individu memerankan situasi yang imaginatif dengan tujuan untuk membantu tercapainya pemahaman diri sendiri, meningkatkan keterampilan-keterampilan, menganalisis perilaku, atau menunjukan pada orang lain bagaiman perilaku seseorang atau bagaimana seseorang bertingkah”. Pelaksanaan bermain peran merupakan suatu alat belajar untuk Meningkatkan pengertian dan keterampilan mengenai Kemampuan antar manusia dengan jalan memerankan situasi-situasi
yang paralel dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya. Secara singkat Corsini (dalam Romlah, 1989:110) menyatakan bahwa bermain peran dapat digunakan sebagai (a) alat untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang dengan cara mengamati perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-situasi atau kejadian yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya; (b) media pengajaran, melalui proses modeling anggota kelompok dapat belajar dengan lebih efektif keterampilan-keterampilan Kemampuan antar pribadi dengan mengamati berbagai macam cara dalam memecahkan masalah; dan (c) metode latihan untuk melatih keterampilan-keterampilan tertentu; melalui keterlibatan secara aktif dalam proses bermain peran, anggota kelompok dapat Meningkatkan pengertian-pengertian baru dan mempraktikkan keterampilan-keterampilan baru”. Pendapat ini menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu teknik yang untuk penyelenggaraan latihan-latihan kepada anak didik. Salah satu faktor yang penting yang menentukan dalam bermain peran
yang akan
menghasilkan perubahan perilaku adalah pengurangan hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan yang biasa timbul adalah perasaan takut dikritik, takut dihukum, atau ditertawakan. Hambatanhambatan ini harus dihilangkan supaya perubahan terjadi. Di dalam bermain peran hambatanhambatan tersebut dihilangkan sehingga individu dapat mengadakan eksplorasi perilaku. Sebagai hasilnya timbulnya perasaan-perasaan baru, dan perasaan-perasaan lama dihayati dalam konteks yang baru. Bermain peran menyediakan kondisi yang dapat menghilangkan rasa takut atau atau cemas, karena dalam bermain peran individu dapat mengekspresikan dirinya secara bebas tanpa takut kena ”sanksi” sosial terhadap perbuatannya. Perubahan perilaku atau perubahan sikap melalui bermain peran yang terjadi secara bertahap. Camppelle dan Noelle (2005: 80) mengatakan bahwa “penggolongan perubahan itu dalam tiga tahap, yaitu (a) pola-pola perilaku yang tidak kaku yang memiliki sekarang; (b)
perubahan kearah pola-pola perilaku baru; dan (c) melaksanakan pola-pola perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari.” Pendapat ini menunjukkan bahwa secara umum perilaku manusia seharihari merupakan perilaku yang kaku yang sudah terbentuk dan secara otomatis dilakukan tanpa memerlukan banyak berfikir. Misalnya, cara memberi salam pada tamu, cara menyapa orang lain, cara menerima telpon, atau cara mengadakan rapat staf. Karena perilaku-perilaku tersebut dilakukan secara rutin, kemungkinan hasilnya tidak memuaskan atau mengecewakan orang lain. Di dalam bermain peran, tahap dimana individu menyadari pola-pola perilakunya, merupakan tahap awal kearah perubahan perilaku atau sikap. Tahap ini di tandai dengan rasa tidak enak, cemas karena mengetaui bahwa pola-pola perilakunya selama ini tidak memuaskan pola-pola baru yang lebih efektif. Dalam tahap terakhir perubahan perilaku ini, pengaruh bermain peran tidak langsung dapat dilihat. Menurut Richards et al. (1986: 8) bahwa ”nilai bermain peran dalam tahap ini baru dapat dibuktikan setelah pola-pola perilaku anak sudah dilaksanakan dalam kehidupan seharihari. Individu yang memerankan peran yang sama dalam bermain peran dengan perannya dalam kehidupan sehari-hari akan mengalami perubahan perilaku secara lebih efektif dibandingkan dengan individu yang hanya menjadi penonton. Perubahan kearah pola perilaku yang lebih efektif ini mendapat dukungan dari kelompok karena anak mengetahui mengapa perilaku itu harus di ubah dan bagaimana proses perubahan itu terjadi. Dukungan kelompok ini sangat besar artinya bagi individu yang bersangkutan karena ia akan merasa aman dalam melaksanakan pola perilakunya yang baru.” Pendapat ini menunjukkan bahwa proses belajar dalam mempelajari perilaku baru atau mengubah perilaku lama kearah pola periku baru dengan media bermain peran adalah sebagai berikut: melakukan perilaku yang sudah jelas dan bias dilakukan; menemukan bahwa perilaku itu tidak efektif untuk
dilakukan dan mengetahui sebab-sebabnya; mencoba perilaku baru yang juga tidak efektif dan menemukan cara-cara baru lebih efektif; dan akhirnya melaksanakan pola-pola perilaku baru yang ditemukan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan dengan peningkatan keterampilan anak dalam membimbing komuniasi sosial interpesonal peran guru sangatlah penting. Guru haruslah tampil sebagai sosok manusia yang pernah tidak cepat putus asa dan selalu berani menerapkan hal-hal baru yang dinilai baik untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal ini sejalan dengan penegasan Depdiknas (2003: 6) yaitu berhasil tidaknya pembelajaran tergantung pada kemampuan guru untuk melaksanakan tugas dan mengevaluasi kegiatan belajar, guru melakukan berbagai aktivitas untuk memainkan peran dalam membantu anak
memahami,
menginterpretasikan,
mengevaluasi,
serta mengajarkan keterampilan
komunikasi sosial. Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksudkan dengan teknik bermain peran dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran di mana guru mendemostrasikan cara komunikasi sosial
yang baik, kemudian anak belajar dan mengikuti apa yang dimodelkan oleh guru,
sehingga anak mampu melakukan apa yang dilakukan oleh guru. 2.3
Penggunaan Teknik Bermain Peran dalam Meningkatkan Komunikasi Sosial Keberhasilan anak didik sangatlah tergantung dari keberhasilan guru melaksanakan
pembelajaran. Dalam kaitan dengan itu Winataputra (1997: 174) mengatakan bahwa guru haruslah tampil sebagai sosok manusia yang haus pengetahuan, tanggap terhadap perkembangan dan permasalahan baru, cinta kebenaran, toleran terhadap sesama guru, akomodatif terhadap masyarakat, berpandangan jauh ke depan, tidak cepat putus asa dan selalau berani menerapkan keterampilan yang dinilai baik untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Keterlibatan anak bermain peran dapat
menciptakan baik perlengkapan emosional
maupun intelektual pada masalah yang dibahas. Bila seorang guru yang terampil dapat dengan tepat menggabungkan masalah yang dihadapi dengan kebutuhan dalam kelompok, maka dapat mengharapkan penyelesaian dari masalah-masalah hidup yang realistis. Bermain peran dapat pula menciptakan suatu rasa kebersamaan dalam kelas. Meskipun pada awalnya bermain peran itu tampak tidak menyenangkan, namun ketika aktivitas bermain mulai berlangsung maka pada diri anak akan muncul perilaku saling percaya dan belajar berkomitmen. Pada kondisi ini akan tercipta suasana sharing belajar
antar anak mengenai
analisa seputar situasi yang dimainkan sehingga dapat membangun persahabatan yang tidak ditemui dalam metode mengajar yang lain. Suasana persahabatan ini merupakan cerminan dari komunikasi sosial dari anak yang timbul melalui bermain peran. Hal ini sejalan dengan pendapat Mandola (2004: 1) bahwa komunikasi sosial ialah kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain. Peka pada ekpresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi. Komuniasi sosial
ini juga mampu untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain,
mengerti pandangan, sikap orang lain dan umumnya dapat memimpin kelompok. Bermain peran dapat dilakukan dengan mengikuti dialog yang ada dalam wacana, dapat berperan bebas sesuai dengan imajinasi dan kreatifitas anak. Dalam melaksanakan teknik bermain peran ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya memilih peran. Peserta kegiatan ini memiliki identitas baru sesuai dengan tokoh yang diperankannya, sehingga latihan menjadi orang lain ini menjadi bermain peran. Suasana kelas menjadi sangat menarik yang satu menjadi tokoh tertentu dan yang harus bertanya kepada tokoh yang diperankan tersebut yang dapat dilakukan dengan berpasangan. Setelah itu beberapa pasang yang lain diminta tampil
untuk mengulangi percakapannya. Dalam bermain peran ada dua atau lebih yang dipraktekan oleh anak. Anak diberikan terlebih dahulu ungkapan-ungkapan berupa kalimat dan kosa kata yang berkaitan dengan topik pembicaraan pada sesi tertentu. Jadi bermain peran dapat diadakan dengan mengaplikasikan bentuk-bentuk bahasa yang ada dalam dialog. Berperan seperti ini tidak murni komunikatif tetapi merupakan bentuk lain latihan komuniksi. Latihan komunikasi yang sesuai dengan peran ini akan meresap ke dalam dirinya sehingga dapat menimbulkan rasa empati yang tinggi serta kepekaan terhadap lingkungannya membuat anak komunikasi sosial memiliki keinginan besar menolong dan menyayangi sesama baik teman, keluarga, dan masyarakat. Melalui bermain peran anak dengan komuniasi sosial intrapersonal tinggi biasanya bisa mengungkapkan keinginannya dengan cara yang baik, tidak memaksakan kehendaknya, tahu kelebihan dan kekurangan dirinya, sehingga berani tampil saat mereka merasa mampu. Pada anak yang memiliki komunikasi sosial rendah akan berlaku sebaliknya sehingga kurang percaya diri untuk tampil. Dalam teknik bermain peran anak diberikan bentuk bahasa lisan kemudian anak sendiri yang membuat skenarionya. Menurut Depdiknas (2004: 2) bahwa tipe latihan komunikasi lebih disenangi anak karena anak memiliki beberapa keunggulan, karena memungkinkan (a) anak dapat berkomunikasi dalam berbagai situasi otentik, (b) memacu kreativitas anak dalam mempraktekkan apa yang telah anak ketahui, memperbaiki kekurangannya dan Meningkatkan pengetahuan, (c) anak dapat berpartisipasi aktif dalam permainan yang sedang berkembang, (d) anak
mempunyai otonomi yang lebih luas serta sikap bertanggung jawab dalam
pembelajarannya karena guru hanya membimbing (e) anak dapat bersenang-senang, karena teknik ini terciptanya suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan.
2.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Sosial Anak Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi sosial anak, digolongkan menjadi dua
bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal : 1. Faktor Internal Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri anak
yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu 1) Faktor Fisiologis yaitu kesehatan dan panca indera dan 2) Faktor psikologis yaitu sikap yang pasif, rendah diri dan kurang percaya diri dapat merupakan faktor yang menghambat anak dalam berinteraksi. Menurut Wirawan (1997: 33) sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Menurut Irwanto (1997: 193) motivasi adalah penggerak perilaku. Motivasi belajar adalah pendorong seseorang untuk belajar. Motivasi timbul karena adanya keinginan atau kebutuhan-kebutuhan dalam diri seseorang. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal antara lain 1) faktor lingkungan keluarga terdiri dari pendidikan orang tua dan perhatian orang tua dan suasana antara anggota keluarga, 2) Faktor lingkungan sekolah terdiri dari sarana dan prasarana, kompetensi guru kurikulum dan metode mengajar. 2.5
Kajian Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan Siska (2011:35) tentang Penerapan Metode Bermain Peran
(Role Playing) dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial
(Penelitian Tindakan Kelas di
Kelompok B Taman Kanak-Kanak Al-Kautsar Bandar Lampungg Tahun Ajaran 2010-2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pembelajaran belum terprogram dengan baik, guru melaksanakan kegiatan rutin pembelajaran dengan metode yang kurang bervariasi, seperti metode bercerita, bercakap-cakap dan tanya jawab. Media yang digunakan dalam pembelajaran
kurang begitu menarik, karena hanya dengan menggunakan atau mendengarkan cerita guru saja. Pembelajaran juga lebih dominan kepada guru (teacher center), sehingga anak tidak terstimulasi dengan baik. Hal ini menyebabkan keterampilan anak di TK Al-Kautsar masih kurang. (2) Penerapan metode bermain peran cukup berhasil dilaksanakan karena bagi guru dan anak metode ini belum pernah mereka gunakan dan sangat menarik, sehingga anak dapat terlibat aktif untuk Meningkatkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak melalui tokoh yang ia pilih untuk diperankan, (3) Penerapan metode bermain peran dilaksanakan dengan tiga siklus. Peningkatan yang cukup besar terjadi pada siklus dua dan siklus tiga, yaitu pada indikator anak dapat merespon pembicaraan ,dapat memulai percakapan dengan media bermain perannya, (4) Dalam penerapan metode bermain peran, guru menemui beberapa kendala seperti, bahasa asing yang , masih melekat, media bermain peran yang sulit, orang tua yang beranggapan bahwa bermain peran bukan suatu proses pembelajaran, kurangnya pengetahuan guru dalam menerapkan metode bermain peran, serta sarana dan prasarana di TK Al-Kautsar yang masih minim. Penelitian yang dilakukan Hanapiah (2011:59-60) tentang Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Teknik Bermain Peran Bagi Siswa Kelas V SDN 2 Ngali Kecamatan Belo Kabupaten Bima Tahun 2010/2011. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara dengan menggunakan teknik bermain peran yang dilaksanakan dalam dua tindakan, yaitu tindakan siklus I dan tindakan siklus II. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara di siswa kelas V SDN 2 Ngali Kecamatan Belo Kabupaten Bima. Secara rinci keberhasilan penerapan teknik bermain peran pada pembelajaran keterampilan berbicara pada siswa kelas V SDN 2 Ngali Kecamatan Belo
Kabupaten Bima sebagai berikut. (1) teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara aspek isi, (2) teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara aspekaspek penggunaan bahasa, dan (3) teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara aspek performansi. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya aspek berbicara hendaknya guru menggunakan pembelajaran dengan teknik bermain peran. Teknik bermain peran sangat cocok untuk pembelajaran bahasa Indonesia terutama aspek berbahasa lisan. 2.6
Hipotesis Tindakan Berdasarkan latar belakang dan kajian teoritis, yang telah dipaparkan sebelumnya maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah jika guru menggunakan teknik bermain peran
maka
kemampuan komunikasi sosial anak kelompok B di PAUD Rahmat Jaya Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo dapat ditingkatkan. 2.7
Indikator Kinerja Indikator kinerja keberhasilan dalam penelitian ini adalah terjadi peningkatan
kemampuan komunikasi sosial dari 5 orang atau 25% menjadi 17 orang atau 85% setelah dibelajarkan dengan menggunakan teknik bermain peran di PAUD Rahmat Jaya Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo.