BAB II KAJIAN TEORI 1.1.Tumbuhan Keji beling Tumbuhan Keji beling adalah jenis tumbuhan yang biasa ditanam masyarakat sebagai tumbuhan pagar, dapat tumbuh hampir diseluruh wilayah Indonesia. Tumbuhan ini juga sebagai tumbuhan herbal liar hidup menahun yang banyak manfaatnya bagi kesehatan dalam penyembuhan beberapa penyakit. Dalam bahasa lokal Keji beling dikenal dengan sebutan keci beling di Jawa dan picah beling di Sunda (Hariana : 2003 dalam Gunawan : 2011). 1.1.1. Morfologi tumbuhan Keji Beling merupakan tumbuhan tergolong tumbuhan semak, biasanya hidup menggerombol, tinggi 1-2 meter pada tumbuhan dewasa. Morfologi dari tumbuhan keji beling yaitu memiliki batang beruas, bentuk batangnya bulat dengan diameter antara 0,12 - 0,7 cm, berbulu kasar, percabangan monopodial. Kulit batang berwarna ungu dengan bintik-bintik hijau pada waktu muda dan berubah jadi coklat setelah tua. Tergolong jenis daun tunggal, berhadapan, bentuk daunnya bulat telur sampai lonjong, permukaan daunnya memiliki bulu halus, tepi daunnya beringgit, ujung daun meruncing, pangkal daun runcing, panjang helaian daun berkisar ± 5 - 8 cm, lebar ± 2 - 5 cm, bertangkai pendek, tulang daun menyirip, dan warna permukaan daun bagian atas hijau tua sedangkan bagian bawah hijau muda. Bunganya tergolong bunga majemuk, bentuk bulir, mahkota bunga bentuk corong, benang sari empat, dan warna bunga putih agak kekuningan. Keji beling memiliki buah berbentuk sbulat, buahnya jika masih
5
muda berwarna hijau dan setelah tua atau masak berwarna hitam. Untuk bijinya berbentuk bulat, dan ukurannya kecil. Sistem perakarannya tunggang, bentuk akar seperti tombak, dan berwarna putih. Tumbuhan keji beling terlihat pada gambar 1 berikut ini:
Gambar 1: Tumbuhan Keji Beling (Hariana : 2011) Klasifikasi tumbuhan keji beling adalah sebagai berikut: Kingdom Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae (tumbuhan) : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) : Mognoliopida (berkeping dua/dikotil) : Scrophulariales : Acanthaceae : Strobilantes : Strobilanthes crispus BI
1.1.2. Kandungan Kimia Keji beling mengandung zat-zat kimia antara lain: kalium, natrium, kalsium, asam silikat, alkaloida, saponin, flavonoida, dan polifenol. Kalium berfungsi melancarkan air seni serta menghancurkan batu dalam empedu, ginjal dan kandung kemih. Natrium berfungsi meningkatkan cairan ekstraseluler yang menyebabkan peningkatan volume darah. Kalsium berfungsi membantu proses pembekuan darah, juga sebagai katalisator berbagai proses biologi dalam tubuh
6
dan mempertahankan fungsi membran sel. Sedangkan asam silikat berfungsi mengikat air, minyak, dan senyawa-senyawa non-polar lainnya (Soewito : 1989 dalam Gunawan 2011). 1.1.3. Manfaat Tumbuhan Menurut (Soewito : 1989 dalam Gunawan : 2011), tanaman Keji beling mengandung beberapa zat gizi yang berkhasiat dalam mengobati beberapa penyakit, seperti batu ginjal, diabetes melitus, maag dan sebagai laksatif (mengatasi sembelit). 1.2.Senyawa Alkaloid Alkaloid merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang terbesar. Satu-satunya sifat alkaloid yang terpenting adalah kebasaanya. Alkaloid mengandung atom nitrogen yang sering kali terdapat dalam cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid berupa padatan kristal dengan titik lebur tertentu, tidak berwarna, bersifat basa (Leny : 2006). Alkaloid lebih mudah larut dalam pelarut nonpolar dalam suasana basa (Robinson : 1995).
N
Gambar 2. Struktur umum senyawa alkaloid (Robinson:1995) 1.2.1. Sejarah Alkaloid Alkaloid dikenalkan oleh seorang ahli farmasi Meissner pada tahun 1818 yang menyatakan bahwa alkaloid adalah senyawa yang mirip dengan alkali. Pada tahun 1896 Meyer’s Conversations Lexicon menggembangkan definisi alkaloid
7
dari Meissner. Definisi Meyer’s Conversations Lexicon tentang alkaloid adalah tanaman basa yang terdapat pada tanaman-tanaman tertentu dan sering diketahui berdasarkan kemampuan fisiologinya yang baik, mengandung atom karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen serta kebanyakan mirip alkali. Senyawa ini banyak terdapat dalam tumbuh-tumbuhan dan mempunyai efek fisiologi yang kuat (Tobing:1989). Alkaloid termasuk kelompok produk metabolit
sekunder
yang
memiliki
populasi
sangat
besar.
Umumnya
memperlihatkan sifat farmakologis serta telah dikenal ratusan tahun yang lalu sebagai obat, contohnya alkaloid “cinchona”. Alkaloid ini diperoleh dari kulit batang cinchona (Harlim:2003). Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan, seperti biji, daun, ranting, dan kulit kayu (Achmad:1986). Senyawa alkaloid dengan jumlah besar terdapat pada hewan, serangga, organisme laut, mikroorganisme dan tanaman rendah (matsjeh,dkk:1996). 1.2.2. Klasifikasi Alkaloid Alkaloid tidak memiliki tatanama yang sistematik, oleh karena itu suatu alkaloid dinyatakan dengan nama trivial, misalnya kuinin, morfin dan striknin (achmad:1986). HO H
HO
N
H N
O NCH3
H3CO
N
N
Kuinin
O
HO
Morfin
O
Striknin
Gambar 3 : Jenis-Jenis Alkaloid Berdasarkan Nama Trivial (Ahmad : 1986)
8
Klasifikasi jenis-jenis alkaloid dapat dilakukan berdasarkan beberapa cara sebagai berikut : a. Berdasarkan jenis cincin heterosiklik nitrogen yang merupakan bagian dari struktur molekul. Menurut klasifikasi ini alkaloid dapat dibedakan atas beberapa jenis seperti alkaloid pirolidin, piperidin, isokuinolin, kuinolin dan indol. Struktur dari masing-masing senyawa alkaloid tersebut dapat dilihat pada gambar 4 berikut :
NH N
N H
Piperidin
Pirolidin
Isokuinin
N H
N
Kuinolin
Indol
Gambar 4. Jenis-jenis alkaloid (Ahmad : 1986) b. Berdasarkan jenis tumbuhan darimana alkaloid ditemukan. Cara ini digunakan untuk menyatakan jenis alkaloid yang pertama-tama ditemukan pada suatu jenis tumbuhan. Menurut cara ini alkaloid dapat dibedakan atas beberapa jenis seperti alkaloid tembakau, alkaloid amaryllidaceae, alkaloid erithrine dan sebagainya. c. Berdasarkan asal-usul biogenetik. Cara ini sangat berguna untuk menjelaskan hubungan antara alkaloid yang diklasifikasikan berdasarkan jenis cincin heterosiklik dan sekaligus mengaitkannya dengan konsep biosintesa. Konsep biosintesa menunjukkan alkaloid berasal dari beberapa asam amino tertentu
9
saja. Berdasarkan hal tersebut alkaloid dapat dibedakan atas tiga jenis utama yaitu sebagai berikut : 1) Alkaloid alisiklik yang berasal dari asam-asam amino ornitrin dan lisin. 2) Alkaloid aromatik jenis fenilanin yang berasal dari fenil alanin, tirosin dan 3,4-dehidrofenilalanin. 3) Alkaloid aromatik jenis indol yang berasal dari triptopan. Struktur dari jenis-jenis alkaloid berdasarkan asal usul biogenetik dapat dilihat pada gambar 5 berikut ini : R1
COOH CH
COOH HC NH2
NH2
NH2
R2
Ornitin (alkaloid Alisiklik)
fenilalanin (Alkaloid fenilalanin) COOCH NH2 N H
Triptofan (alkaloid Indol) Gambar 5: Jenis-Jenis Alkaloid Berdasarkan Asal Usul Biogenetika (Ahmad :1986) Sebagian besar alkaloid mempunyai kerangka polisiklik termasuk cincin heterosiklik nitrogen, serta mengandung subsituen yang tidak terlalu bervariasi. Atom nitrogen alkaloid hampir selalu berada dalam bentuk gugus amin (-NR2) atau gugus amida (-CO- NR2) dan tidak pernah dalam gugus nitro (NO2) atau gugus diazo (-N=N-). Untuk subsituen oksigen lazimnya ditemukan sebagai gugus fenol (-OH), metoksi (-OCH3) atau gugus metilendioksi (-O-CH2-O-). Subsituen10
subsituen oksigen ini dan gugus –N-metil (-N-CH3) merupakan cirri dari sebagian besar alkaloid. Pada alkaloid aromatik terdapat suatu pola oksigenasi tertentu. Senyawa-senyawa gugus fungsi oksigen ini ditemukan pada posisi para atau posisi meta dari cincin aromatik. 1. Sifat fisika Kebanyakan alkaloid yan telah diisolasi berupa padatan dalam bentuk Kristal dengan titk lebur yang tajam atau dengan kisaran dekomposisi. Sedikit alkaloid yang berbentuk amorf, dan beberapa seperti nikotin (20) dan konini (21) berupa cair pada suhu kamar (Matsjeh:1996). Alkaloid yang berstruktur kompleks biasanya mempunyai warna, seperti berberina dan serpentina yang berwarna kuning (Robinson 1995 & Harbone 1996 dalam Lusiana:2009). Alkaloid yang sangat beraneka ragam menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan dari tumbuhan langsung daripada didapatkan dari produk sintesis (Kaufman et al. 1999 dalam Lusiana:2009). 2. Sifat kimia Kebanyakan alkaloid bersifat basa. Sifat tersebut bergantung dari adanya pasangan elektron pada nitrogen (Matsjeh:1996). Alkaloid yang memiliki satu atom nitrogen tidak memiliki warna, dan berwarna jika memiliki struktur kompleks dan bercincin aromatik. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol, sehingga banyak digunakan dalam pengobatan (Simbala:2009).
11
3. Deteksi Alkaloid Jarang bahwa alkaloid diperoleh secara kebetulan. Pakar kimia alkaloid lazim melakukan penelitian alkaloid secara sungguh-sungguh dan berhati-hati (Matsjeh:1996). Sebagai basa, alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang bersifat asam lemah (HCl 1 M atau asam asetat 10%), kemudian diendapkan dengan ammonia pekat (Harborne:1987). 1.3.Ekstraksi Ekstraksi adalah: 1) suatu proses perpindahan komponen terlarut dari suatu campuran denagn menggunakan pelarut dan bertujuan untuk mendapatkan sebanyak mungkin komponen terlarut yang diinginkan, 2) suatu metode pemisahan komponen-komponen dari suatu campuran dimana komponen yang larut masuk kedalam pelarut yang dipakai sedangkan komponen yang tidak larut akan tertinggal di dalam bahan, dan 3) penarikan senyawa organik dari jaringan makhluk hidup (bahan alam) seperti tumbuhan, hewan dan mikroorganisme (Asmaliyah:2010). Secara umum, ekstraksi ialah proses penarikan suatu zat terlarut dari alrutannya di dalam air oleh suatu pelarut lain yang tidak dapat bercampur dengan air. Tujuan ekstraksi ialah memisahkan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan pelarut (Soebagio:2005). Metode ekstraksi untuk senyawa bahan alam biasanya menggunakan metode ekstraksi cara dingin.
12
1.3.1. Ekstraksi cara dingin Untuk ekstraksi cara dingin, digunakan beberapa cara yaitu: a. Maserasi merupakan cara penyaringan yang paling sederhana dimana sampel direndam dalam cairan penyari/pelarut dalam suhu kamar. b. Perkolasi merupakan cara penyaringan dimana cairan penyari/pelarut dialirkan melalui serbuk sampel yang telah dibasahi. c. Sokhletasi merupakan cara penyaringan sampel secara berkesinambungan, dimana cairan penyari dipanaskan hingga menguap, uap cairan terkondensasi menjadi molekul-molekul cairan oleh pendingin balik dan turun untuk mengekstrak zat aktif didalam sampel dan selanjutnya masuk kembali kedalam labu alas bulat setelah melalui pipa siphon. Proses ini berlangsung terus-menerus hingga penyarian zat aktif kira-kira sempurna yang ditandai dengan beningnya pelarut yang melalui pipa siphon tersebut (Botutihe:2006). 1.4.Kromatografi Kromatografi pertama kali diperkenalkan oleh Michael Tsweet (1906) seorang ahli botani dari rusia. Ia melakukan penelitian yang hasilnya terdapat pitapita berwarna yang terlihat sepanjang kolom sebagai hasil pemisahan komponenkomponen dalam ekstrak tumbuhan. Dari pita-pita berwarna tersebut muncul istilah kromatografi yang berasal dari kata “chroma” dan “graphein”. Dalam bahasa Yunani kedua kata tersebut berarti ”warna” dan ‘menulis”. Namun, adanya perkembangan jaman warna tidak lagi menjadi syarat mutlak untuk metode pemisahan secara kromatografi (Soebagio:2005).
13
Pemisahan secara kromatografi dari berbagai senyawa dalam suatu bahan didasarkan pada perbedaan kecepatan migrasi dan penyebaran dari molekulmolekul senyawa yang merupakan hasil kesetimbangan distribusi dari senyawasenyawa dalam bahan antara fase diam dan fase gerak. Perbedaan kecepatan migrasi berhubungan dengan perbedaan kecepatan gerak dari senyawa-senyawa yang berbeda sepanjang kolom. Migrasi merupakan hasil distribusi keseimbangan dari senyawa-senyawa antara fase diam dan fase gerak (Gritter et al. 1991 dalam Lusiana:2009). 1.4.1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Pada dasarnya kromatografi lapios tipis (KLT) atau Thin Layer Chromatography (TLC) sangat mirip dengan kromatografi kertas, terutama pada cara melakukannya. Perbedaan nyata terlihat pada media pemisahannya, yakni digunakannya lapisan tipis adsorben halus yang tersangga pada papan kaca, aluminium atau plastik sebagai pengganti kertas. Lapisan tipis adsorben ini pada proses pemisahan berlaku sebagai fasa diam. 1. Fasa Diam KLT Fasa diam KLT terbuat dari serbuk halus dengan ukuran 5 sampai dengan 50 µm. serbuk halus ini dapat berupa suatu adsorben, suatu penukar ion, suatu pangayak molekul atau dapat merupakan penyangga yang dilapisi suatu cairan. Bahan adsorben sebagai fasa diam dapat digunakan silica gel, alumina, kiselguhr, magnesium silikat, selulosa dan resin. Fase diam pada KLT ini dapat berupa fase polar maupun non polar diantaranya : a. Silica gel
14
Fase diam ini dapat digunakan sebagai fase polar maupun non polar. Untuk fase polar, merupakan silika yang dibebaskan dari air, bersifat sedikit asam. Silica gel perlu ditambah gips (kalsium sulfat) untuk memperkuat pelapisannya pada pendukung. Sebagai pendukung biasanya lapisan tipis digunakan kaca dengan ukuran 20x20 cm, 10x20 cm, atau 5x10 cm. pendukung yang lain berupa lembaran alumunium atau plastik seperti ukuran di atas yang umumnya dibuat oleh pabrik. Silica gel kadang-kadang ditambah senyawa fluoresensi, agar bila disinari dengan sinar UV dapat berfluoresensi atau berpendar, sehingga dikenal dengan silica gel GF254 yang berarti silica gel dengan fluoresen yang berpendar pada 254 nm. Silica gel untuk fase non polar terbuat dari silika yang dilapisi dengan senyawa non polar misalnya, lemak, parafin, minyak silikon raber gom, atau lilin. Dengan fase tersebut fase gerak air yang polar dapat digunakan sebagai eluen. Fase diam ini dapat memisahkan banyak senyawa, namun elusinya sangat lambat dan hasil uji ulangnya kurang bagus. b. Alumina (alumunium oksida) Fase diam ini bersifat sedikit basa, lebih jarang digunakan. Saat akan digunakan harus diaktifkan kembali dengan pemanasan. Alumina yang digunakan sebagai fase diam untuk KLT umumnya yang bebas air, sehingga mempunyai aktivitas penjerapan lebih tinggi. c. Kiselguhr Fase diam ini sebenarnya merupakan asam silika yang amorf, berasal dari kerangka diatomeae, maka lebih dikenal dengan nama tanah diatomeae, kurang bersifat adsorptif dibanding silica.
15
d. Magnesium silikat Fase diam ini hanya digunakan bila adsorben atau penyerap lain tidak dapat digunakan. Nama lain dalam perdagangan dikenal dengan floresil. e. Selulose Polaritasnya tinggi dapat digunakan sebagai pemisah secara partisi, baik dengan bentuk kertas maupun bentuk lempeng. Kedua bentuk tersebut masih sering digunakan untuk pemisahan flavonoid. Ukuran partikel yang digunakan kira-kira 50 μm, maka elusinya lebih lambat. Fase diam ini sekarang sudah diganti dengan bubuk selulosa yang dapat dilapiskan pada kaca seperti halnya fase diam yang lain sehingga lebih efisien dan lebih banyak digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa polar atau isomer. f. Resin Fase diam resin digunakan pada KLT penukar ion. Resin merupakan polimer dari stirendivenil yang mengalami kopolimerisasi, bersifat non polar. Fase diam ini sangat berguna untuk memisahkan senyawa berbobot molekul tinggi dan bersifat amfoter seperti asam amino, protein, enzim, nukleotida. Sebagai fase gerak digunakan larutan asam kuat atau basa kuat (Sumarno:2001 dalam Sjahid:2008). 2. Fasa Mobil KLT Perimbangan untuk pemilihan pelarut pengembang (eluen) umumnya sama dengan pemilihan eluen untuk kromatografi kolom. Dalam kromatografi adsorbs, daya pengelusi eluen naik sejalan dengan polaritasnya (misalnya heksana- alkohol – air) Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan campuran pelarut
16
dengan susunan tertentu. Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai kemurnian yang tinggi. Terdapatnya sejumlah kecil air atau zat pengotor lainnya dapat menghasilakan kromatogram yang tidak diharapkan. Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf (Rate of Flow) =
jarak yang ditempuh komponen jarak yang ditempuh eluen
Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua decimal (Stahl : 1985 dalam Sjahid : 2008). 1.4.2. Kromatografi Kolom
Gambar 6 : Alat Kromatografi Kolom Prinsip kromatografi kolom sama seperti kromatografi lapis tipis, namun kromatografi kolom dapat diterapkan pada skala besar untuk pemisahan campuran dalam kromatografi kolom. Kolom kromatografi sering kali digunakan untuk memurnikan senyawa di labolatorium. Dalam kromatografi lapis tipis, fase diam adalah lapisan tipis gel silica atau alumina pada sebuah lempeng gelas, logam atau
17
plastik. Kolom kromatografi bekerja pada skala yang lebih besar menggunakan material terpadatkan pada sebuah kolom gelas vertiakal. Untuk memisahkan campuran dari dua senyawa yang berwarna misalnya kuning dan biru, warna campuran yang tampak adalah hijau. Maka terlebih dahulu dibuat larutan jenuh dari campuran dengan menggunakan pelarut yang lebih disukai dalam kolom. Pertama kran penutup dibuka untuk membiarkan pelarut yang sudah berada dalam kolom mongering sehingga material terpadatkan rata pada bagian atas, dan kemudian tambahkan larutan secara hati-hati dari bagian atas kolom, lalu kran dibuka kembali sehingga campuran berwarna akan diserap pada bagian atas material terpadatkan. Selanjutnya tambahkan pelarut baru melalui bagian atas kolom, cegah sedapat mungkin jangan sampai merusak material terpdatkan dalam kolom. Lalu kran dibuka agar pelarut dapat mengalir melalui kolom. Kemudian dikumpulkan dalam satu gelas kimia atau labu di bawah kolom (Adnan:1997). Untuk hasil isolat murni yang didapat diuji denga n spektrofotometri infra red (IR). 1.5.Spektrofotometri inframerah (IR) Spektrofotometri inframerah berfungsi untuk mengidentifikasi senyawa dan alat untuk penentuan gugus fungsional (Underwood:1988). Penggunaan spektrum inframerah dalam bidang organik menggunakan daerah dari 650-4000 cm-1 (15,4 - 2,5 µm) daerah dengan frekuensi lebih rendah dari 650 cm-1 disebut inframerah jauh, daerah dari 650-4000 cm-1 disebut inframerah pertengahan dan daerah dengan frekuensi lebih tinggi dari 4000 cm -1 disebut inframerah dekat. Masing-masing daerah tersebut lebih jauh dan lebih
18
dekat dengan spektrum tampak. Inframerah jauh mengandung sedikit serapan yang bermanfaat bagi orang-orang organik dan serapan tersebut dikaitkan dengan perubahan-perubahan rotasi dalam molekul. Infra merah dekat terutama menunjukkan serapan-serapan “harmonic overtones” dari vibrasi pokok yang terdapat dalam daerah normal (Sastrohamidjodjo:2001). 1.5.1. Vibrasi Molekul Letak atom yang satu terhadap atom yang lainnya didalam suatu molekul tidak tetap, melainkan berubah-ubah (fluktuasi) secara terus-menerus sebagai akibat terjadinya beraneka ragam vibrasi atom-atom. Vibrasi atom dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu vekuibarsi regang (stetching) dan vibrasi tekuk/lentur (bending). Vibrasi regang adalah vibrasi yang menyebabkan perubahan terus menerus dari jarak antasra dua ikatan kimia. Vibrasi ini terdiri dari regang simetri dan regang asimetri (Isa : 2006).
H
H
C simetri
C H
asimetri
H
Gambar 7: bagian dari vibrasi regang/stretching (Sastrohamidjodjo:2001) Vibrasi tekuk adalah vibrasi yang menyebabkan perubahan dua sudut dari dua ikatan kimia. Vibrasi bending terbagi atas empat bagian yaitu : goyangan, guntingan, kibasan dan pelintiran (Isa : 2006).
19
H
H
C
C
H
H
goyangan
guntingan
H
H
H
H
C
C
pelintiran
kibasan
Gambar 8: bagian dari vibrasi tekuk/bending (Sastrohamidjodjo:2001) 1.5.2. Komponen-Komponen Alat Spektrofotometer Menurut (Supratman : 2008) Spektrofotometer infra red (IR) merupakan spektrofotometer double team (berganda) dan terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut : 1. Sumber radiasi Radiasi inframerah biasanya dihasilkan oleh pemijar Nerst dan Globar. Pemijar Nerst merupakan batang cekung dari sikonium Yitrium oksida yang dipanasi hingga 1500 0C dengan arus listrik. Pemijar Globar merupakan batang silikon karbida yang dipanasi hingga 1200 0C, sehingga memancarkan radiasi kontinyu pada daerah 1-40 µm.
20
2. Monokromator Monokromator tersusun atas sistem celah dan keluar, alat pendispersi yang berupa kisi disfraksi atau prisma dan cermin untuk memantulkan atau memfokuskan sinar. Bahan prisma adalah natrium klorida, kalium klorida, sesium bromida dan litium florida. 3. Detektor Secara umum alat modern menggunakan detektor panas. Detektor fotolistrik tidak dapat digunakan untuk mendeteksi sinar inframerah, karena energi foton inframerah tidak cukup besar untuk bisa membebaskan elektron dari permukaan katoda.
21