8
BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Penelitian yang terkait dengan kebudayaan memang bukanlah hal baru lagi bagi kalangan peneliti sastra dan budaya. Penelitian terhadap sastra lisan sudah banyak dilakukan terutama kajian yang menggunakan pendekatan semiotik. Akan tetapi, penelitian terhadap makna simbolik puisi lisan leningo dalam upacara motolobalango belum dilakukan penelitian. Berikut ini adalah uraian singkat hasil penelitian yang relevan yang pernah dilakukan oleh Normawaty Hasan, yang mengangkat
judul
Makna
Kata
Kias
Dalam
Propesi
Upacara
Adat
Motolobalango (Suatu Penelitian Berdasarkan Kajian Semantik) pada tahun 2011. Ada pun masalah yang diangkatnya adalah bagaimana makna kata kias dalam profesi upacara adat Motolobalango. Dalam hasil penelitiannya ia menemukan tujuh belas makna kata kias pada tujai tolobalango antara lain longaatai dalalo (jalan) makna kiasnya adalah sudah bermusyawarah sebelumnya bersama keluarga, bubato (pembesar negeri) makna kiasnya orang-orang tua yang memiliki jabatan seperti kepala desa, eya atau eyanggu (Tuhan, Allah SWT) makna kiasnya tuan-tuan, dalalo (jalan) makna kiasnya adalah izin, baato (tanda) makna kiasnya adalah harapan, tuladu (surat) makna kiasnya undangan atau pemberitahuan secara lisan, wumbato (permadani) makna kiasnya kain warna, hu’o lo ngango (pembuka mulut) makna kiasnya sirih, pinang, gambir, tembakau, kapur, tapahula, yang merupakan simbol adat, 8
9
paramata longoala yang artinya permata yang sudah mekar, makna kiasnya adalah anak gadis yang tumbuh dewasa. Berdasarkan hasil tinjauan pustaka terhadap kajian yang sama sebelumnya dapat dilihat bahwa penelitian tentang makna simbolik puisi lisan leningo pada upacara motolobalango pada masyarakat Gorontalo dengan menggunakan teori semiotik belum pernah dilakukan, hanya saja ada sedikit persamaan pada penelitian sebelumnya yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Normawaty Hasan sama-sama mengkaji puisi lisan dalam upacara motolobalango pada masyarakat Gorontalo, walaupun demikian ada banyak perbedaan dengan peneliti sebelumnya, terutama dari segi teori, yaitu menggunakan teori semantik sedangkan penelitian ini menggunakan teori semiotik. Selain itu dari segi puisi lisan juga berbeda, peneliti sebelumnya menggunakan puisi lisan tujai, sedangkan penelitian yang dilakukan saat ini adalah puisi lisan leningo. Jadi dapat disimpulkan bahwa persamaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah sama-sama mengkaji puisi lisan. Berdasarkan uraian di atas maka kajian tentang makna simbolik puisi lisan leningo dalam upacara motolobalango pada masyarakat Gorontalo belum pernah dilakukan. 2.2 Hakikat Makna Makna adalah arti atau maksud sesuatu kata, frasa, kalimat, tindakan, dan sebagainya, untuk dapat memahami apa yang disebut dengan makna atau arti, peneliti perlu melihat kembali teori yang dikemukakan oleh salah seorang pakar bahasa yaitu Ferdinand de Saussure. Saussure (dalam, Chaer
2009 : 29)
menyatakan bahwa dalam setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur yaitu (1)
10
yang diartikan, dan (2) yang mengartikan. Diartikan sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi, sedangkan yang mengartikan itu adalah tidak lain dari pada bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi dengan kata lain setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa ( ekstralingual). Bahasa pada dasarnya digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa pun sangat bermacammacam bila dilihat dari beberapa kriteria dan sudut pandang. Jenis makna itu sendiri
menurut Abdul Chaer dalam buku “pengantar Semantik Bahasa
Indonesia” dibagi menjadi tujuh jenis makna yaitu makna leksikal dan makna gramatikal, makna referensial dan makna nonreferensial, makna denotatif dan makna konotatif, makna kata dan makna istilah, makna konseptual dan makna asosiatif, makna idiomatikal dan pribahasa, dan makna kias, akan tetapi dari ketujuh makna yang sudah dipaparkan di atas peneliti lebih mengkhususkan penelitiannya pada makna simbol. 2.3 Pendekatan Semiotik Semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara 10emiotic10c10ive. Istilah 10emiotic sering digunakan bersama istilah semiologi (Endraswara, 2008:64). Istilah semiologi merupakan istilah yang digunakan oleh seorang ahli 10emiotic10c yaitu
11
Ferdinan de Sausure, sedangkan istilah 11emiotic digunakan oleh seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce. Dalam kehidupan sehari-hari 11emiot, tanda, dan 11emioti dianggap memiliki pengertian yang sama, benda atau hal apa saja yang berfungsi untuk mewakili suatu yang lain. Sebagai akibatnya terjadilah pernyataan-peryataan secara tidak langsung, 11emiotic, konotatif, dan ambigu. Diantara ketiga istilah tersebut yang paling 11emioti, yang paling sering digunakan adalah 11emiot. Popularitas ini sekaligus mendorong penggunaan dan lahirnya teori 11emiot yang berbeda-beda dalam berbagai bidang ilmu Ricoeur (dalam Pradopo 2008:123). Hoed (dalam Nugiyantoro, 1994:40) berpendapat bahwa semiotik adalah ilmu atau metode untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan dan gagasan. Jadi yang dapat berupa tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini, walau harus di akui bahwa bahasa adalah system tanda yang paling lengkap dan sempurna. Sepadan dengan pendapat para pakar di atas, antara bahasa dan tanda merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bahasa adalah system tanda yang paling lengkap dan sempurna (Nurgiantoro, 2009: 40). Menurut Zaidan pula (2002:22) tanda itu tidak hanya semacam saja, tetapi beberapa macam berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda. Jenis-jenis tanda yang utama adalah ikon, indeks, dan symbol. Seperti pendapat Pierce yang membedakan antara tanda dengan acuannya kedalam tiga jenis hubungan, yaitu (1) ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan,
12
(2) indeks,, jika ia berupa hubungan kedekatan eksitensi, dan (3) symbol, jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi (Nurgiantoro, 2009:42). Tanda yang berupa symbol mencakup berbagai hal yang mengkonvensi di masyarakat. Simbol jelas merupakan tanda yang paling canggih karena berfungsi untuk penalaran, pemikiran, dan pemerasan. 2.4 Hakikat Simbol Kata simbol berasal dari bahasa Yunani Symbollein yang berarti “mencocokkan” bagian dari barang yang telah dibelah atau dipecah menjadi dua bagian atau keping. Kedua bagian atau keping itu disebut symbola. Kata symbola lambat laun berubah menjadi kata simbol yang memiliki pengertian yang lebih luas. Istilah simbol disebut juga lambang Poerwadarminta (dalam, Dharmojo 2005 : 26 ). Simbol menurut pemikiran Peirce (dalam, Dharmojo 2005:26) adalah tanda yang menunjukkan tidak ada hubungan alamiah antara penanda (signifie) dan petandanya (signifien), hubungannya bersifat konvensi. Adapun menurut Pradopo (Dalam,Sobur.2004:24) Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbiter (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi, “Ibu” adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (indonesia). Welen dan Warren (Dalam, Ratna 2008:171) berpendapat bahwa pada dasarnya simbol mengandung unsur kata kerja. Simbol bunga mawar, pakaian warna hitam, di samping berarti bunga mawar itu sendiri, dengan warnanya yang cerah dan baunya yang harum, juga menunjuk seseorang gadis remaja, wanita cantik
13
sebagai idaman banyak pemuda. Demikan juga pakaian hitam, di samping warnanya gelap, yang lebih penting adalah maknanya sebagai tanda berduka cita. Baik bunga mawar dan gadis remaja maupun warna hitam dan suasana berduka cita memasukkan makna secara bersama-sama ke dalam sistem simbol, sehingga salah satu mewakili yang lain. Tidak ada hubungan alamiah antara bunga mawar
dengan gadis, antara warna hitam dengan bersedih hati.
Maknanya semata-mata diperoleh melalui semacam perjanjian di antara masyarakat pemakai, sebagai konvensi. 2.5 Makna Simbol Dalam Penelitian ini lebih difokuskan pada makna simbol. Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan makna simbol, kiranya perlu diketahui dulu apa yang dimaksud dengan simbol. Menurut Endraswara (2003: 65) simbol yaitu tanda yang memilki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbiter, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu, misalnya bendera putih sebagai simbol ada kematian. Ratna (2008: 435) berpendapat bahwa simbol adalah tanda atau lambang yang bersifat arbiter untuk menunjuk sesuatu yang lain. Adapun Zaidan (2002:23) berpendapat bahwa simbol adalah tanda yang tidak memilki hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungan yang ada bersifat arbiter
(semena-mena), yang ditentukan oleh
konvensi masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Sedangkan menurut Dharmojo (2005:38) simbol merupakan suatu bentuk yang sudah terkait dengan dunia penafsiran dan secara asosiatif memiliki hubungan dengan berbagai aspek di luar bentuk simbol itu sendiri.
14
Unsur hubungan dengan berbagai aspek di luar bentuk simbol itu antara lain ciri acuan simbol, ciri acuan simbol dengan pengertian lain yang diasosiasikan, hubungan antara simbol dalam konteksnya, dan implikasi penggarapan bentuk simbol itu pada wujud penampilannya. Jika bentuk simbol terkait dengan bentuk, makna, dan perwujudannya, maka pembicaraan tentang bentuk simbol ditinjau dari objeknya merujuk pada bentuk kebahasaan dalam suatu karya. Jadi makna simbol adalah makna yang menghubungkan antara tanda dengan acuannya. Misalnya kata “wombato” dalam masyarakat Gorontalo,
secara leksikal
wombato diartikan sebagai permadani yaitu karpet, akan tetapi dalam puisi lisan leningo kata wombato yaitu “ tilam” kain yang digunakan sebagai pengalas yang akan menjadi tempat diletakkan hantaran adat. Kain yang dimaksud terdiri dari empat warna yaitu kain berwarna merah, hijau, kuning emas, dan ungu. Dalam setiap warna memiliki makna simbol tersendiri, seperti kain berwarna merah memliki makna “keberanian dan tanggung jawab”, hijau bermakna “kesuburan, kesejahteraan, kedamaian, dan kerukunan”, kuning emas bermakna “kemuliaan, kesetiaan dan kejujuran”, sedangkan warna ungu bermakna “keanggunan dan kewibawaan”. Dan dilihat dari keempat warna kain tersebut, kata wombato mengandung simbol yaitu gambaran sikap atau perilaku kedua mempelai yang saling mencintai. 2.6 Tanda dan Simbol Turner (dalam, Dharmojo 2005:28) mengatakan istilah tanda dan simbol sering digunakan dalam arti yang sama dan penggunaannya berubah-ubah. Hal ini terjadi karena hubungan kedua istilah tersebut erat dan batas-batasnya sangat
15
dekat. Akbatnya penggunaan kata tanda dan simbol tumpang tindih karena perbedaan dari sudut pandang dalam menyikapi konsep kedua istilah tersebut. Misalnya bunga sebagai tanda tidak memliki sifat merangsang perasaan, cenderung univokal dan tertutup, dan tidak berpartisipasi dalam realitas yang ditandakan, sedangkan bunga sebagai simbol memilki kecenderungan multivokal dan bersifat terbuka, mempunyai kekuatan merangsang perasaan seseorang, dan berpartisipasi dalam makna dan kekuatan yang disimbolkan. Dengan kata lain, bunga sebagai tanda yang ditonjolkan adalah wujud bendanya, misalnya bunga: mawar, asoka, melati; warna merah, kuning, putih.
Adapun bunga sebagai
simbol yang ditonjolkan adalah daya rangsang perasaan atau sifat kejiwaan yang mengacu pada konteks, misalnya bunga : menyatakan cinta, mengucapkan selamat, menyatakan ikut berduka cita, dan sebagainya. Lebih jelasnya perhatikan tabel berikut ini dengan mencermati indikatorindikatornya yang menandai perbedaan antara tanda dan simbol. TANDA
No 1.
Tanda
tidak
memliki
SIMBOL sifat Simbol
merangsang perasaan seseorang 2.
kekuatan
merangsang perasaan seseorang
Tanda memiliki kecenderungan Simbol uni-vokal ()bermakna tunggal
mempunyai
memilki
multivokal
kecenderungan
(bermakna lebih dari
satu) 3.
Tanda tidak berpartisipasi dalam Simbol berpartisipasi dalam makna realisasi yang ditandakan
4.
dan kekuatan yang disimbolkan
Secara semantis tanda memiliki Secara semantis simbol memiliki sifat yang tertutup
sifat yang terbuka
16
Peirce (dalam, Dharmojo 2005: 29) berpendapat bahwa tanda terdiri atas tiga jenis ialah ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol). Pertama Ikon adalah tanda yang menujukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya, misalnya gambar kuda penanda menandai kuda, gambar pohon menandai pohon. Kedua, indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal atau sebab akibat antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandakan api, alat penanda angin menunjukkan arah angin. Ketiga, simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa antara penanda dan petandanya tidak ada hubungan alamiah, hubungan bersifat konvensi masyarakat pemilik simbol. Misalnya ibu adalah simbol yang artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat Indonesia, mother konvensi orang Inggris, la mere konvensi orang Prancis. 2.7 Jenis - Jenis Simbol Needham
(dalam Dharmojo, 2005: 29) mengelompokkan jenis simbol
berdasarkan klasifikasi partisi (classification by partition). Pertama, partisi dualisme ialah hubungan simbolik kategoris berdasarkan pasangan, misalnya: kanan/kiri, depan/belakang, suami/istri dan sebagainya. Kedua, partisi triadik ialah entitas tertentu menduduki zona marginal atau ambigu ‘antara dua kategori keberadaan yang lazimnya dipisahkan satu sama lain, msalnya: orang hidup//hantu//tuhan;
daratan//sisi
penggunungan//langit;
kehidupan//kematian//supranatural. Ketiga. Partisi empat bagian yang terkenal pada antropologi sosial modern, misalnya terdapat pada orang-orang Kariera di Australia Barat. Masyarakat ini dibagi menjadi empat bagian dengan namanya
17
masing-masing dan setiap anggota masyarakat sesuai dengan tempat lahirnya masuk kesalah satu bagian itu dan tetap tinggal d isana. Pernikahan diatur lakilaki atau perempuan yang masuk ke dalam
bagian tertentu harus menikah
dengan seseorang dari bagian tertentu lainnya. Keempat, partisi lima ini terdapat pada ide-ide simbolk tradisional jawa yang dilaporkan oleh Duyvendak (dalam Dharmojo, 2005:30) kerumitan masyarakat dan alam dibagi menjadi lima kelas simbolik, empat berkaitan dengan titik kardinal dan kelima berhubungan dengan pusat. Masing-masing kelas masuk ke dalam warna tertentu, logam, hari, sifat, profesi, barang tetentu, ciri arsitektur, fenomena alam dan kualitas. Misalnya: timur, putih, perak, legi, (hari pasaran), pendiam, petani, makanan, kebun, beranda, angin, air, sejuk, baik. Kelima, partisi tujuh adalah bentuk klasifikasi digambarkan oleh masyarakat Zuni di Mexico yang dilaporkan oleh Cushing (dalam Dharmojo, 2005:30) bahwa semua wujud dan fakta yang ada di alam ini digolongkan dan dilabeli serta ditetapkan di tempat khusus pada tatanan terpadu alam semesta ini. Prinsip pembagian ini merupakan partisi ruang ke dalam tujuh daerah : utara, selatan, timur, barat, zenith, nadir, dan pusat. Segala sesuatu yang ada di alam ini, yakni matahari, bulan, bintang, langit, darat, dan laut dengan seluruh fenomena dan unsurnya sebagai benda mati, serta tanaman, binatang dan manusia sebagai makhluk hidup, dimasukkan ke dalam salah salah satu dari tujuh daerah itu. Keenam, partisi sembilan adalah bentuk klasifikasi simbolik berdasarkan partisi sembilan ini terdapat pada masyarakat Bali yang dilaporkan oleh Covarrubias (dalam Dharmojo, 2005:30) yang memilki kesesuaian umum titik-titik kardinal, dewa-dewa pelindung, suku kata magis, dan warna. Misalnya
18
: kadja (ke atas menuju gunung), dewa Wisnu, suku kata hang, hitam. Sedangkan menurut Cassirer (dalam Dharmojo, 2005: 31) simbol dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni simbol tradisional dan simbol inovatif . simbol tradisional adalah bersifat hakiki untuk mempersatukan generasi demi generasi dan mewujudkan nilai-nilai di dalam setiap kebudayaan khusus. Simbol inovatif adalah simbol yang memiliki sifat hakiki untuk mempertemukan wakul-wakil dari berbagai kebudayaan dan untuk mengungkapkan segi-segi pandangan baru dalam semua kebudayaan.
Pikiran Cassirer ini sejalan dengan pandangan
Romm. Menurut Fromm (dalam Dharmojo, 2005: 31) membagi menjadi tiga jenis simbol yang berbeda derajatnya: (1) simbol konvensional ialah simbol yang berisi penerimaan sederhana afinitas tetap yang dikupas dari dasar optikal dan natural,misalnya
banyak
tanda
yang
digunakan
dalam
industri,dalam
matematika,dan dalam berbagai bidang lain; (2) simbol aksidental secara ketat berasal dari kondisi–kondisi tidak tetap dan disebabkan oleh berbagai hubungan yang dibuat melalui kontak sosial; dan (3) simbol universal sebagai hubungan instrinsik antara simbol dengan apa yang diwakilinya dan tidak selalu memiliki vitalitas yang sama.
2.8 Bentuk Simbol Herusatoto (dalam Dharmojo, 2005:32)
mengemukakan bahwa bentuk-
bentuk simbol itu dapat berupa bahasa (terdapat dalam cerita, perumpamaan, pantun, syair, dan prbahasa), gerak tubuh (terdapat dalam tari-tarian), suara atau
19
bunyi (terdapat dalam lagu, musik), warna dan rupa (terdapat dalam lukisan, hiasan, ukiran, bangunan). Pendapat ini didukung oleh Blumer (dalam Dharmojo, 2005: 32) yang mengemukakan bahwa simbol-simbol itu dapat berupa bahasa, gerak tubuh, atau apa saja yang dapat menyampaikan makna, dan makna disusun dalam interaksi sosial. Adapun pendapat
Woods (dalam Dharmojo, 2005:32) mengemukakan
bahwa simbol dapat berupa verbal dan nonverbal.
Bentuk simbol verbal
diekspresikan dalam bahasa, sedangkan bentuk simbol nonverbal dapat direalisasikan dalam gerakan anggota tubuh, gerak isyarat, pandangan, tindakan, penampilan, dan seluruh daerah ‘bahasa tubuh’ yang dimaksudkan untuk menyampaikan makna pesan kepada orang lain. Berbagai pendapat para pakar di atas bentuk simbol dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu simbol verbal, dan simbol nonverbal.
2.8.1 Simbol verbal Simbol yang bersifat verbal adalah simbol yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara seperti bahasa. Secara umum bahasa
20
merupakan sistem tanda yang mempunyai keunikan tersendiri dan bersifat otonom yang dipelajari dalam linguistik. 2.8.2
Simbol nonverbal Simbol yang bersifat nonverbal dapat berupa ;
a. simbol yang menggunakan anggota badan, yaitu tanda yang menggerakan salah satu bagian anggota badan tanpa mengeluarkan suara, misalnya tangan, apabila kita ingin pergi kesuatu tempat dan akan meninggalkan orang yang kita cintai, baik keluarga, dan teman akrab cukup kita melambaikan tangan yang menandakan bahwa saat itu kita harus berpisah dari mereka. b. Suara, misalnya bersiul, satu hal yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan kita sekarang ini, hal tersebut selalu saja kita jumpai pada anak laki-laki yang sudah dewasa ketika dia melihat gadis cantik, maka dia pun akan bersiul sebagai tanda bahwa timbul perasaan simpatik pada gadis tersebut. c. Simbol yang diciptakan manusia untuk menghemat waktu, dan tenaga, misalnya rambu-rambu lalu lintas, bendera, tiupan terompet, dan sebagainya. d. Benda-benda yang bermakna kultural dan ritual, misalnya buah pinang mudah melambangkan daging, gambir melambangkan darah, bibit pohon kelapa melambangkan agar pengantin memberikan banyak kegunaan kepada masyarakat pada adat perkawinan Gorontalo. Berdasarkan kedua jenis simbol yang sudah dipaparkan di atas peneliti lebih mengkhususkan lagi penelitiannya pada bentuk simbol verbal, yang dimaksud simbol verbal dalam peneltian ini adalah simbol-simbol yang berupa bahasa, bahasa yang dimaksud adalah kata, yakni kata-kata yang dituturkan oleh para
21
utoliya lunthu dulango layio (juru bicara pihak mempelai putra) dan utolya lunthu dulango wolato (juru bicara pihak mempelai putri).
Adapun kata-kata yang
mengandung simbol dalam puisi lisan leningo yang diucapkan oleh utoliya lunthu dulango layio dan utoliya lunthu dulango wolato adalah longa’atayi dalalo, Eya, bubato, dalalo, wombato, tonggu, hulawantho, paramata, bubalata, buwata, balango, paramata longoalo, tapahula, huntingo, tu’udu, walihi, buwata, sambako, dan hutiya.
2.9 Hakikat Leningo Leningo, adalah kata-kata arif atau ungkapan para leluhur yang dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Leningo juga di pakai sebagai pepatah, yaitu untuk mematahkan perangai atau tingkah laku seseorang yang sangat berlebihlebihan atau yang tidak senonoh, dengan norma yang berlaku dalam masyarakat Gorontalo. Jadi pada umumnya leningo
merupakan satu ragam puisi
lisan
daerah Gorontalo, yang sejenis puisi lama dan mengandung kata-kata arif atau ungkapan leluhur, yang dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Leningo juga di pakai sebagai pepatah, yaitu untuk mematahkan peranggai atau tingkah laku seseorang yang sangat berlebih-lebihan atau yang tidak senonoh, dengan norma yang berlaku dalam lingkungan masyarakat, khususnya pada masyarakat Gorontalo. Leningo merupakan puisi lisan yang diucapkan oleh utoliya luntu dulango layio (juru bicara utusan keluarga pria) dan utoliya luntu dulango wolato (juru bicara utusan keluarga putri) saat akan melaksanakan upacara adat motolobalango
22
(peminangan). Leningo sangat berperan
penting dalam upacara adat
motolobalango (peminangan). Motolobalango adalah peminangan secara resmi yang di hadiri oleh para pemangku adat yaitu utoliya luntu dulango layio dan utoliya wolato, pembesar negeri yaitu kepala desa, kepala dusun,
luntu dulango
dan keluarga pihak
pria dan keluarga pihak putri. Dalam penyampaian maksud dan tujuan kedatangan keluarga putra untuk melaksanakan acara motolobalango (peminangan) tidak menggunakan kata-kata yang sebenarnya tetapi banyak menggunakan kata-kata perumpamaan, dan pada upacara motolobalango (peminangan) tidak disebutkan biaya pernikahan atau tonelo oleh pihak utusan keluarga calon pengantin putra, namun yang terpenting disampaikan
dalam acara peminangan tersebut adalah maharu (mahar), dan
waktu kapan pelaksanaan tahapan selanjutnya akan dilaksanakan oleh keluarga kedua calon mempelai. Puisi lisan leningo berebentuk dialog antara
utoliya luntu dulango layio
(utusan keluarga putra) dan utoliya luntu dulango wolato (utusan keluarga putri). Tujuan acara Tolobalango (peminangan)
ini dilaksanakan yaitu untuk
menghubungkan tali kekeluargaan antara pihak keluarga putra dan pihak keluarga putri. Istilah lain motolobalango adalah tahap awal dari sebuah pernikahan. Tetapi dalam upacara adat pernikahan Gorontalo, motolobalango (peminangan) merupakan proses ke empat setelah proses mongiilalo “meninjau bakal istri”,
23
mohabari (mencari informasi), momata u pilo’otawa “meminta ketegasan”. Hal ini dilakukan agar proses pernikahan berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan. 2.10 Hakikat Puisi Lisan Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan puisi lisan, kiranya perlu diketahui dulu apa yang dimaksud dengan puisi. menurut Sugono (2003:159), “puisi adalah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam kesadaran orang akan suatu pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat bunyi, irama dan makna khusus.” Definisi lain melihat puisi dalam wujud yang konkret dengan ciri-ciri dan bahasanya, seperti yang dikemukakan oleh Tuloli (1987:2), “Puisi adalah tulisan yang berirama, mengutamakan bentuk lahir (tipografi) tertentu, serta mengandung keindahan dan imajinasi.” Sedangkan lisan adalah merupakan ucapan atau katakata yang disampaikan secara langsung. Puisi lisan merupakan satu genre sastra yang sangat populer. Puisi dikatakan sangat populer karena di antara genre sastra lisan lainnya (prosa dan drama), puisi lebih banyak jumlah penciptanya. Jika genre sastra yang lain (cerpen dan novel) tampil dengan kata dan bahasa yang panjang. Puisi tidak demikian. Puisi tampil dengan bentuk yang unik. Keunikan itu tampak pada wujudnya yang telah menjadi ciri khusus puisi yaitu bentuk dan topografinya. Puisi terdiri dari bait-bait, jumlah kata tertentu, susunan lariknya yang membedakannya dengan karya sastra yang lainnya (Tuloli, dkk, 1987:3). Puisi lisan merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang hingga sampai sekarang berkembang dalam lingkungan masyrakat, dan cara penyebarannya dari
24
mulut kemulut secara turun temurun.
Puisi lisan dikenal masyarakat karena
kelisanannya yang sudah melekat dalam diri masyarakat itu sendiri. Puisi lisan lahir dari masyarakat tradisional, yang menggunakan kebudayaan, dan tidak jelas siapa penciptanya (Endraswara, 2003 : 151), dan Leningo merupakan salah satu macam jenis puisi lisan Gorontalo yang di lantukan pada saat melaksanakan upacara motolobalango, dan dalam puisi lisan tersebut banyak mengandung katakata arif atau ungkapan para leluhur yang dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku, selain itu puisi lisan leningo tersebut sering di gunakan sebagai pepatah untuk mematahkan perangai atau tingkah laku seseorang yang sangat berlebih-lebihan atau yang tidak senonoh, dengan norma yang berlaku dalam masyarakat Gorontalo.