BAB II KAJIAN TERKAIT II.1 Pertanian Pertanian adalah proses menghasilkan bahan pangan, ternak, serta produk-produk agroindustri dengan cara memanfaatkan sumber daya tumbuhan dan hewan. Yang termasuk ke dalam bidang pertanian adalah: 1. Tanaman pangan Contoh komoditasnya: padi, jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, dan sebagainya. 2. Hortikultura Contoh komoditasnya: segala jenis buah-buahan, sayur-sayuran, dan tanaman hias. 3. Peternakan Contoh komoditasnya: sapi, kambing, ayam, itik, kuda (dan produk-produk turunannya, seperti susu, telur). 4. Perkebunan Contoh komoditasnya: kopi, teh, cengkeh, pala, ginseng, kapas, tebu, kelapa sawit, kakao, kina, lada, tembakau, karet, dan sebagainya. II.2 Supply-Demand Supply adalah jumlah dari suatu produk atau jasa yang tersedia di pasar. Supply dipengaruhi oleh jumlah produsen dan waktu produksi dari suatu produk atau jasa. Semakin banyak produsen dan semakin pendeknya waktu produksi, maka kondisi pasar lebih mudah diprediksi. Sebaliknya ketika hanya terdapat sedikit produsen atau waktu produksinya memakan waktu yang lama, maka potensi ketidakpastian produk tersebut di pasar semakin besar (Madison, 2008). Demand merupakan jumlah dari produk atau jasa yang ingin dibeli oleh pembeli. Kebutuhan terhadap suatu barang di suatu pasar dapat bertambah ataupun
7
berkurang dalam kurun waktu tertentu. Pada suatu pasar yang sudah mature, kebutuhan terhadap suatu produk relatif stabil di level tertentu, dan dapat diprediksi untuk jangka waktu beberapa tahun ke depan. Selain itu, beberapa produk memiliki pola kebutuhan musiman, misalnya payung lebih meningkat kebutuhannya di musim hujan (Madison, 2008). II.3 Supply Chain Management (SCM) II.3.1 Definisi Supply chain adalah proses daur hidup mencakup aliran fisik, informasi, finansial, dan pengetahuan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan suatu produk atau jasa dari pemasok-pemasok (Hugos, 2003). Sedangkan supply chain management (SCM) adalah koordinasi produksi, inventori, lokasi, dan transportasi antar partisipan di dalam rantai pasok (supply chain) untuk mencapai responsivitas dan efisiensi yang terbaik bagi pasar yang dilayani (Hugos, 2003).
II.3.2 Area SCM Terdapat lima area yang harus diperhatikan oleh pembuat keputusan terkait SCM (Hugos, 2003), yaitu: 1. Produksi Produksi terkait dengan kapasitas pabrik (pembuatan produk) dan gudang (penyimpanan
produk).
Semakin
besar
kapasitasnya,
maka
dapat
meningkatkan fleksibilitas dan dapat merespon secara mudah ketika terjadi fluktuasi demand. Akan tetapi, kapasitas yang besar membutuhkan uang yang besar dan kapasitas yang berlebihan dapat menjadikan kapasitas yang idle dan tidak menghasilkan. Jadi, semakin besarnya kapasitas semakin rendahnya efisiensi.
8
2. Inventori Inventori berada di seluruh tahapan supply chain dan mencakup semuanya, dari bahan mentah hingga produk jadi yang dikelola oleh produsen (manufacturer), distributor, dan retailer. Seperti di produksi, inventori juga membutuhkan biaya, dan untuk mencapai efisiensi yang tinggi, biaya inventori harus ditekan serendah mungkin. 3. Lokasi Lokasi berkaitan dengan lokasi geografis dari fasilitas supply chain. Keputusan yang harus dibuat juga terkait dengan aktivitas yang sebaiknya dilakukan di tiap lokasi. Keputusan yang harus dibuat adalah apakah akan melakukan aktivitas terpusat di sedikit lokasi untuk meningkatkan nilai ekonomis dan efisiensi atau melakukan aktivitas tersebar di banyak lokasi sehingga lebih dekat dengan konsumen dan supplier sehingga lebih responsif. 4. Transportasi Transportasi merupakan pergerakan bahan mentah hingga produk jadi antar fasilitas yang berbeda di supply chain. Keputusan yang harus dibuat di transportasi adalah pemilihan metode transportasi. Transportasi yang cepat akan lebih responsif tetapi lebih mahal. Sedangkan transportasi yang lebih murah akan efisiens di sisi biaya. 5. Informasi Informasi merupakan basis dalam pembuatan keputusan di empat area yang lain. Informasi merupakan hal yang menghubungkan semua aktivitas dan operasi di supply chain. Ketika hubungan tersebut kuat (data yang akurat, tepat waktu, dan lengkap), maka pembuat keputusan dapat menghasilkan keputusan yang baik untuk operasinya dan cenderung membawa keuntungan terhadap semua proses supply chain secara keseluruhan. Informasi di dalam supply chain digunakan di dalam dua tujuan, yaitu: a. Mengkoordinasikan aktivitas harian yang berhubungan dengan empat area yang lain (produksi, inventori, lokasi, dan transportasi). Pembuat
9
keputusan akan menggunakan data supply dan demand produk yang tersedia untuk memutuskan jadwal produksi mingguan, level inventori, rute transportasi, dan lokasi penyimpanan dan produksi. b. Perkiraan (forecasting) dan perencanaan untuk mengantisipasi dan memenuhi demand di masa depan. Informasi yang tersedia digunakan untuk perkiraan sebagai panduan dalam membuat jadwal produksi bulanan atau triwulanan. Informasi juga digunakan untuk peramalan strategis untuk memandu keputusan tentang apakah harus membuat fasilitas baru, memasuki pasar baru, atau keluar dari pasar yang ada sekarang. Hubungan antar area tersebut dapat dilihat pada gambar II.1 berikut. 1. Produksi
2. Inventori
Apa yang diproduksi, bagaimana cara produksi, dan kapan memproduksi?
Berapa banyak yang akan dibuat dan berapa banyak yang akan disimpan? 5. Informasi Dasar pembuatan keputusan
4. Transportasi Bagaimana dan kapan sebaiknnya memindahkan produk?
3. Lokasi Dimana lokasi terbaik untuk melakukan suatu aktivitas? Responsif vs Efisiensi
Gambar II.1
Lima Area Utama Supply Chain
II.3.3 Partisipan Supply Chain Partisipan pada supply chain (Hugos, 2003) antara lain: 1. Produsen Produsen atau manufakturer adalah organisasi yang membuat produk. Produsen mencakup penghasil bahan mentah dan penghasil produk jadi.
10
2. Distributor Distributor adalah organisasi yang mengambil inventori dalam jumlah besar dari produsen dan menjual produk dalam jumlah yang cukup besar ke konsumen. Distributor juga disebut dengan wholesaler atau pedagang grosir. 3. Retailer Retailer menyimpan (stock) inventori dan menjualnya dalam jumlah yang lebih sedikit ke masyarakat umum. 4. Konsumen Konsumen adalah perseorangan atau organisasi yang membeli dan menggunakan produk. 5. Penyedia Jasa (Service Provider) Service provider merupakan organisasi yang menyediakan layanan ke produsen, distributor, retailer, dan konsumen. Service provider mempunyai keahlian dan kemampuan yang fokus pada aktivitas tertentu di supply chain, sehingga mereka mampu melaksanakan lebih efektif dan harga yang lebih murah dibandingkan jika produsen, distributor, retailer, atau konsumen melakukannya sendiri. Layanan yang sering diberikan oleh service provider antara lain layanan transportasi, layanan penggudangan, layanan keuangan (misal bank), layanan iklan dan riset pasar, layanan desain, layanan engineering, layanan hukum, memberikan saran manajemen, layanan pengumpulan data, serta layanan teknologi informasi.
II.3.4 Kategori Operasi Supply Chain Berdasarkan SCOR model yang dikembangkan oleh Supply-Chain Council (Supply Chain Council Inc., 1150 Freeport Road, Pittsburgh, PA 15238, www.supply-chain.org), ada empat kategori operasi supply chain (Hugos, 2003), yaitu:
11
1. Plan Berkaitan dengan semua operasi yang dibutuhkan untuk merencanakan dan mengorganisasikan operasi-operasi di tiga kategori lain. Kategori ini terdiri atas perkiraan demand, pemberian harga produk, dan manajemen inventori. 2. Source Operasi di kategori ini mencakup aktivitas-aktivitas yang penting untuk mendapatkan input untuk menghasilkan produk atau jasa. 3. Make Kategori
ini
mencakup
operasi-operasi
yang
dibutuhkan
untuk
mengembangkan dan membangun produk atau jasa yang akan disediakan. 4. Deliver Kategori ini mencakup aktivitas-aktivitas yang merupakan bagian dari pemesanan dari konsumen dan pengiriman produk ke konsumen. II.4 Kolaborasi II.4.1 Definisi Kolaborasi merupakan sebuah proses dimana sejumlah entitas berbagi informasi, sumberdaya,
dan
tanggung
jawab
untuk
bersama-sama
merencanakan,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi program, untuk mencapai tujuan bersama. Konsep ini diturunkan dari bahasa Latin ‘collaborare’ yang berarti ‘bekerja bersama’, dan dapat dilihat sebagai sebuah proses penciptaan bersama; dengan demikian sebuah proses dapat dilalui apabila sekelompok entitas meningkatkan kapabilitas satu sama lain. Hal tersebut termasuk berbagi resiko, sumber daya, tanggung jawab, dan penghargaan. Kolaborasi melibatkan perjanjian antar partisipan yang saling menguntungkan untuk menyelesaikan suatu persoalan bersama-sama, termasuk saling mempercayai kemudian meluangkan waktu, upaya, dan dedikasi (Matos dan Afsarmanesh, 2008). Contoh dari proses kolaborasi terjadi dalam concurrent engineering, yaitu ketika sekelompok tim ahli bersama-sama mengembangkan suatu produk baru. Dalam 12
hal ini meskipun sejumlah koordinasi dibutuhkan, terjadi proses pencarian yang divergen dan spontan, dan bukan suatu harmoni yang terstruktur.
II.4.2 Prasyarat Kolaborasi Berikut adalah beberapa prasyarat terjadinya proses kolaborasi (Matos dan Afsarmanesh, 2008): 1. Kolaborasi harus memiliki suatu tujuan bersama atau persoalan yang harus diselesaikan bersama. 2. Prasyarat dasar atau prekondisi dari kolaborasi meliputi : a. Masing-masing pihak yang terlibat sepakat untuk berkolaborasi. b. Masing-masing pihak mengetahui kapabilitas satu sama lain. c. Masing-masing pihak berbagi suatu tujuan dan menjaga visi bersama selama proses kolaborasi menuju tercapainya tujuan bersama. d. Masing-masing pihak memelihara pemahaman bersama atas suatu persoalan yang dihadapi. Hal ini berarti harus terjadi diskusi mengenai posisi kemajuan masing-masing. Proses sharing meliputi tanggung jawab bersama dalam partisipasi dan pengambilan keputusan, sumberdaya bersama, dan akuntabilitas bersama atas hasil baik berupa penghargaan atau kekurangan, percaya satu sama lain. Sharing tidak berarti persamaan. Pihak yang berbeda mungkin memiliki porsi keterlibatan yang berbeda, sesuai dengan peran dan komitmennya. 3. Sebagai sebuah proses, kolaborasi membutuhkan pengaturan atas sejumlah langkah dasar yaitu: a. Identifikasi pihak-pihak yang terkait dan libatkan mereka bersama. b. Definisi dari ruang lingkup kolaborasi dan hasil yang diharapkan c. Definisi struktur kolaborasi, meliputi kepemimpinan, peran, tanggung jawab, kepemilikan dari aset yang dihasilkan. d. Identifikasi resiko dan pengukuran atas rencana kontigensi . e. Membangun komitmen untuk berkolaborasi. 13
4. Kolaborasi membutuhkan “ruang kolaborasi” yaitu sebuah lingkungan yang mendukung dan memfasilitasi proses kolaborasi. Karakteristik dan sifat dasar dari ruang ini bergantung dari bentuk kolaborasi. Kolaborasi dapat berlangsung dalam waktu yang bersamaan (synchronous collaboration) atau dalam waktu yang berbeda (asynchronous collaboration). Kolaborasi juga dapat terjadi dalam waktu yang sama (collocated collaboration), atau dalam tempat berbeda (remote atau virtual collaboration). Remote Collaboration merupakan kejadian yang paling relevan dalam collaborative network, yang dapat terjadi dalam interaksi synchronous maupun asynchronous. 5. Poin utama kesulitan dalam kolaborasi meliputi : a. Sumberdaya, kepemilikan dan sharing sumberdaya merupakan kesulitan yang umum. Baik sumberdaya yang dibawa oleh anggota, maupun sumberdaya yang diperoleh dari koalisi ketika menjalankan suatu task. b. Penghargaan, Menemukan cara yang adil dalam menentukan kontribusi individual dalam penciptaan suatu kekayaan intelektual merupakan persoalan yang lebih harus diperhitungkan. Penciptaan kekayaan intelektual tidak secara linear berkaitan dengan proporsi investasi yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak. Hal yang mendasar dalam persoalan ini adalah kebutuhan dalam mencapai persepsi bersama atas nilai yang ditukarkan, yang membutuhkan definisi dari model manfaat dan sistem insentif, berdasarkan sistem nilai yang disepakati. c. Komitmen, ketika ada hambatan yang menghadang kolaborasi setiap pihak harus menanggapi dengan sungguh-sungguh, menghadapi konsekuensinya bersama. d. Tanggung jawab. Fenomena umum dalam usaha yang dilakukan secara kolektif adalah ketidakjelasan tanggungjawab. Keberhasilan kolaborasi bergantung pada pembagian tanggung jawab, baik selama proses pencapaian tujuan, maupun pertanggung jawaban setelah kolaborasi berakhir.
14
Keseluruhan persoalan tersebut harus diposisikan melalui sekumpulan pekerjaan bersama dan kesamaan prinsip. Terlepas dari berbagai kesulitan yang telah didefinisikan sebelumnya, faktor yang memotifasi adalah harapan untuk dapat mencapai hasil yang tidak dapat dicapai jika dilakukan sendiri. II.5 Enterprise Architecture Planning II.5.1 Definisi Enterprise Architecture Planning (EAP) adalah proses mendefinisikan arsitektur untuk pemanfaatan informasi sebagai pendukung bisnis dan sebagai rencana untuk mengimplementasikan arsitektur tersebut (Spewak, 1993). Ada 3 (tiga) frase kunci dari definisi EAP, yaitu arsitektur, proses mendefinisikan, dan rencana. Arsitektur, dalam konteks ini, dapat berbentuk seperti blueprint, gambar, atau model. Dalam EAP, arsitektur mendefinisikan dan menjelaskan data, aplikasi, dan teknologi yang dibutuhkan dalam mendukung bisnis. Sedangkan proses mendefinisikan, menjelaskan bahwa EAP tidak merancang, tetapi mendefinisikan. EAP tidak merancang sistem, atau merancang database, atau jaringan. Tahap perancangan dan implementasi dimulai setelah proses definisi EAP selesai dilaksanakan. Frase ketiga yang penting dalam EAP adalah rencana. Arsitektur sendiri dapat menyediakan definisi, standar, dan ide yang berguna. Akan tetapi, arsitektur tanpa rencana, biasanya akan berakhir tanpa implementasi. Tim yang melakukan EAP harus senantiasa menanamkan di pikirannya bahwa produk
akhir
dari
EAP
adalah
rencana
jangka
panjang
untuk
mengimplementasikan arsitektur yang dibuat (Spewak, 1993). II.5.2 Manfaat EAP Berikut beberapa manfaat dari EAP (Spewak, 1993): 1. EAP fokus pada penggunaan teknologi strategis untuk pengelolaan data sebagai aset. 2. Meningkatkan pemahaman terhadap bisnis dengan adanya dokumentasi yang baik. 15
3. Model dapat digunakan untuk menjelaskan bisnis dan menilai dampak dari perubahan bisnis. 4. Dapat lebih responsif dalam memenuhi kebutuhan konsumen. 5. Arsitektur dapat mengeliminasi antarmuka yang kompleks dan mahal antar sistem. 6. Keputusan manajemen di seluruh area fungsional akan berbasis pada data yang terbaru dan
akurat, yang dapat membawa berbagai perbaikan dan
penghematan. II.5.3 Zachman Framework Zachman Framework mendefinisikan sebuah framework atas 6 (enam) level arsitektur, yang dimulai dari level konseptual, ballpark view (planner) dan owner’s view. Dilanjutkan dengan designer’s view, builder’s view, out-of-context view, serta functioning system. Zachman Framework membagi dengan jelas tiga jenis arsitektur, yaitu data, fungsi (aplikasi), dan jaringan (teknologi). Gambar II.2 menjelaskan secara singkat tentang Zachman Framework. II.5.4 Komponen EAP EAP menggunakan dua level teratas dari Zachman Framework, yaitu perspektif perencana (ballpark/planner view), dan perspektif pemilik (owner’s view). Perancangan sistem dimulai dari level selanjutnya (designer’s view), yang tidak termasuk dalam lingkup EAP. Zachman Framework tidak menjelaskan bagaimana cara mendefinisikan dua level tersebut atau bagaimana mengimplementasikan arsitektur tersebut. Gambar II.3 menunjukkan tujuh komponen atau fase dari EAP (Spewak, 1993), yang menjelaskan bagaimana cara mendefinisikan rencana dan arsitektur.
16
Gambar II.2
Zachman Framework
17
Planning Initiation Business Modeling Data Architecture
Layer 1
Current System & Technology
Application Architecture
Technology Architecture
Implementation / Migration Plans
Layer 2
Layer 3
Layer 4
Gambar II.3 Komponen EAP Layer 1 -- Persiapan Hasil yang didapat dari tahap ini adalah lingkup dan tujuan dari penerapan EAP serta mendapatkan dukungan dari pihak manajemen eksekutif. Layer 2 – Kondisi Saat Ini Hasil yang didapat dari tahap ini adalah basis pengetahuan tentang bisnis dan informasi yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis serta informasi tentang dukungan teknologi dan sistem informasi yang saat ini digunakan dalam bisnis. Layer 3 – Tujuan ke Depan Hasil yang didapat dari tahap ini adalah: 1. Data yang dibutuhkan untuk mendukung bisnis. Arsitektur data terdiri atas sekumpulan entitas data yang memiliki atribut dan hubungan dengan entitas data yang lain. Entitas adalah setiap orang, tempat, konsep, sesuatu, atau kegiatan yang memiliki arti (informasi) dalam konteks bisnis. 2. Aplikasi yang dibutuhkan untuk mengelola data dan mendukung fungsi bisnis. Arsitektur aplikasi bukanlah rancangan dari sistem atau analisis detaul kebutuhan dari sistem, akan tetapi aplikasi apa yang dapat mengelola data dan menyediakan informasi bagi orang-orang yang menjalankan bisnis. 3. Platform teknologi yang dibutuhkan untuk menyediakan lingkungan untuk aplikasi. Arsitektur teknologi bukanlah analisis detail kebutuhan atau
18
rancangan jaringan dan perangkat lunak enteprise, akan tetapi teknologi apa yang dapat mendukung bisnis di dalam lingkungan yang berbagi informasi. Layer 4 – Cara Mencapai Tujuan Hasil yang didapat dari tahap ini adalah cara implementasi aplikasi, jadwal implementasi, analisis biaya/keuntungan, serta cara migrasi. II.6 ARCON Modeling Framework Visi dari ARCON (A Reference model for Collaborative Networks) adalah mengembangkan sebuah representasi abstrak yang generik untuk memahami entitas-entitas yang terlibat dan hubungan yang signifikan antar entitas tersebut (Matos dan Afsarmanesh, 2008). Ada tiga perspektif dalam pemodelan ARCON, yaitu: daur hidup, karakteristik lingkungan, dan level abstraksi model. Gambar II.4 adalah framework pemodelan ARCON dengan tiga perspektifnya (Matos dan Afsarmanesh, 2008).
Gambar II.4
Framework Pemodelan ARCON
19
II.6.1 Perspektif Daur Hidup Berikut adalah tahapan daur hidup yang umum pada collaborative networked organization (CNO), diperlihatkan pada gambar II.5. Tahapan daur hidup CNO (Matos dan Afsarmanesh, 2008) yaitu: 1. Creation Tahap ini dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu: a. Inisiasi dan Perekrutan, mencakup perencanaan strategi dan inisialisasi inkubasi dari CNO. b. Pembentukan, mencakup konstitusi dan start up CNO. 2. Operation Merupakan tahap yang paling penting, yaitu tahapan ketika CNO beroperasi untuk mencapai tujuannya. Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini berbeda antara satu CNO dengan CNO yang lain, tergantung dari tipe CNO-nya. 3. Evolution Selama tahap operation pada CNO, menjadi penting untuk melakukan beberapa perubahan pada CNO, misalnya keanggotaannya, hubungan strukturalnya, peran dari tiap partisipan, dan lain-lain. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penyesuaian atau proses evolusi secara simultan pada tahap operation. 4. Dissolution CNO yang dibuat untuk jangka pendek seperti Virtual Organization (VO) akan dibubarkan setelah mencapai tujuannya. 5. Metamorphosis Untuk CNO yang dibuat untuk jangka panjang, pembubarannya berbeda dengan CNO jangka pendek. Biasanya, dari pada dibubarkan, CNO mengalami tahapan metamorfosis, yaitu ketika bentuk umum dan atau tujuan dari CNO tersebut berevolusi atau berubah.
20
Gambar II.5
Tahap Daur Hidup CNO
II.6.2 Perspektif Karakteristik Lingkungan Terdapat dua aspek karakterisik lingkungan yaitu elemen internal (endogenous elements) dan interaksi dengan lingkungan sekitar (exogenous interactions). 1. Endogenous Elements Aspek ini bertujuan untuk mengabstraksikan karakteristik CNO dari dalam dengan cara mengidentifikasi elemen-elemen yang dapat menggambarkan dan merepresentasikan sebuah CNO. Terdapat empat buah dimensi untuk dapat menggambarkan karakteristik internal CNO dengan baik (Matos dan Afsarmanesh, 2008), yaitu: a. E1 – Dimensi Struktural Merupakan struktur/komposisi dari elemen-elemen konstitusi CNO, yaitu partisipan dari CNO dan hubungan antar partisipan, termasuk pula peran dari tiap partisipan. b. E2 – Dimensi Komponensial Dimensi ini mencakup elemen-elemen yang terdiri atas elemen individual baik yang tangible maupun intangible di dalam CNO, seperti elemen manusia, software, hardware, serta informasi dan pengetahuan. Tidak semua elemen ini berbentuk fisik atau tangible, beberapa dalam bentuk konseptual, seperti pengetahuan yang ada di CNO.
21
c. E3 – Dimensi Fungsional Dimensi ini mencakup fungsi/operasi dasar yang berjalan atau didukung oleh CNO serta aliran proses di CNO. Selain itu, juga mencakup metodologi dan prosedur yang berlaku di CNO. d. E4 – Dimensi Tingkah Laku Dimensi ini mencakup prinsip, kebijakan, dan aturan tata kelola yang mengatur atau membatasi perilaku CNO dan partisipannya, misalnya prinsip kolaborasi, prinsip kepercayaan, kontrak, aturan main, kebijakan penyelesaian konflik, dan sebagainya. 2. Exogenous Interactions Aspek ini bertujuan untuk menggambarkan representasi abstrak dari CNO dilihat dari luar CNO. Tujuannya disini bukan untuk memodelkan lingkungan sekitar dari CNO, akan tetapi fokus pada interaksi antara CNO dan lingkungan sekitarnya. CNO secara keseluruhan dapat berinteraksi, mempengaruhi, atau dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya konsumen, pesaing, institusi eksternal, calon partner baru. Terdapat empat buah dimensi untuk dapat menggambarkan interaksi CNO dengan lingkungan sekitarnya dengan baik (Matos dan Afsarmanesh, 2008), yaitu: a. I1 – Dimensi Market Dimensi ini terkait dengan interaksi CNO dengan konsumen dan pesaing. Aspek yang terkait dengan konsumen mencakup elemen-elemen seperti transaksi dan kontrak, pemasaran dan branding, dan lain-lain. Sedangkan aspek yang terkait dengan pesaing mencakup elemen-elemen seperti positioning pasar, strategi pasar, kebijakan, dan lain-lain. b. I2 – Dimensi Dukungan Dimensi ini terkait dengan layanan pendukung yang disediakan oleh pihak ketiga (di luar CNO), misalnya layanan sertifikasi, layanan audit, layanan 22
asuransi, layanan pelatihan, layanan akuntansi, dan pembinaan dari pihak eksternal. c. I3 – Dimensi Masyarakat Dimensi ini terkait dengan interaksi antara CNO dengan masyarakat umum. Walaupun dimensi ini dapat menjadi sangat luas, idenya adalah untuk menggambarkan dampak atau dampak potensial dari CNO ke masyarakat, misalnya dampaknya terhadap ketenagakerjaan, ketahanan ekonomi suatu wilayah tertentu, daya tarik terhadap investasi baru, serta elemen-elemen masyarakat yang dapat mempengaruhi perkembangan CNO seperti isu hukum, keputusan badan publik, dan tingkat pendidikan. d. I4 – Dimensi Konstitusi Dimensi ini terkait dengan interaksi antara CNO dengan calon partisipan CNO yang potensial, misalnya interaksi dengan organisasi-organisasi yang bukan bagian dari CNO tetapi menarik perhatian dari CNO. Oleh karena itu, dimensi ini mencakup ketahanan dari CNO, faktor daya tarik CNO, aturan bergabung, dan kebijakan pemasaran bagi partisipan. II.6.3 Perspektif Level Abstraksi ARCON dibagi menjadi tiga level abstraksi (Matos dan Afsarmanesh, 2008), yaitu: 1. General Representation Layer – mencakup konsep dan relasi antar partisipan yang paling umum untuk semua jenis CNO, yang tidak tergantung domain aplikasi dari CNO. 2. Spesific Modeling Layer – model yang lebih detail yang fokus pada suatu domain aplikasi tertentu. 3. Implementation Modeling Layer – merepresentasikan model CNO yang konkrit.
23