BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada bab II peneliti akan menjelaskan terkait dengan hakikat tunagrahita, klasifikasi anak tunagrahita, hakikat bermain, gerak lokomotor, manfaat olahraga serta jenis-jenis olahraga untuk anak normal dan anak tunagrahita.
A. Konsep Tunagrahita Tunagrahita dapat diartikan suatu keadaaan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga retardasi mental (mental retardation). Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut: Lemah pikiran (feeble minded), terbelakang mental (mentally retarded), bodoh atau dungu (idiot), pandir (imbecile), tolol (moron), oligofrenia (oligophrenia), mampu didik (educable), mampu latih (trainable), ketergantungan penuh (totally dependent) atau butuh rawat, mental subnormal, defisit mental, defisit kognitif, cacat mental, defisiensi mental, gangguan intelektual (Wikipedia Bahasa Indonesia, 2010). Istilah di atas sesungguhnya memiliki arti sama yang menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Menurut Widati dan Murtadlo (2007: 261) mendefinisikan tunagrahita atau retardasi mental yaitu perkembangan kapasitas mental yang tidak sempurna atau kurang, serta perilaku abnormal yang menyertainya. Mereka ini mempunyai beberapa dari fungsi tubuhnya yaitu fisik maupun psikisnya tidak dapat bekerja secara wajar. Astuti
15
16
dan Walentiningsih (2011: 29) mendefinisikan anak tunagrahita adalah kondisi dimana kemampuan mental seseorang berada dibawah normal. Disamping itu tunagrahita
ialah
istilah
yang digunakan
untuk
anak
yang
memiliki
perkembangan intelejensi yang terlambat. Anak tunagrahita juga bisa diartikan sebagai anak yang memiliki tingkat kemampuan intelegensi di bawah rata-rata (normal) disertai ketidak mampuan menyesuaikan diri dan terjadi sejak masa perkembangan (Dinas Pendidikan Luar Biasa Propinsi Jawa Timur, 2002: 3). Berdasarkan teori-teori di atas maka dapat dikatakan bahwa tuna grahita merupakan suatu keadaaan dimana anak mengalami hambatan perkembangan, lemah dalam hal intelegensi dan terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial, yaitu ketidak mampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang terjadi di masa perkembangan, sehingga membutuhkan layanan pendidikan, bimbingan dan latihan khusus. Adapun penyebab keterbelakangan mental dijelaskan oleh Smith (2012: 113-115) barang kali berguna dan dapat membantu para pendidik dalam memahami sifat-sifat kelainan/ kecacatan yang kompleks, antara lain: 1.
Penyebab Genetik dan Kromosom Terdapat sejumlah bentuk-bentuk terbelakang mental yang disebabkan
oleh faktor-faktor genetik. Phenylketonuria (PKU) adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh keturunan dari dua gen terpendam dari orang tua yang membawa kondisi tersebut. Dikarenakan gen KPU mengakibatkan kurangnya produksi enzim yang memproses protein, terdapat penumpukan asam yang disebut asam phenylpyruvic. Penumpukan ini menyebabkan kerusakan otak.
17
Penyakit Tay-Sachs juga disebabkan oleh gen terpendam yang diwariskan dari orangtua yang membawa gen ini. Belum ditemukan pencegahan bagi kerusakan otak progresif yang diakibatkan oleh kondisi ini, harapan hidup anak yang mengidap penyakit ini kurang dari usia sekolah. Orang yang membawa gen ini dapat diketahui melalui pemeriksaan genetik, dan keadaan itu dapat juga dideteksi melalui tes pralahir. Down’s Syndrome adalah bentuk terbelakang mental yang dikenal oleh kebanyakan orang. Disebabkan adanya bahan kromosom ekstra dalam sel. Bentuk yang paling umum disebut Trysomi 21 dikarenakan kromosom yang berlebih yang dipasangkan ke kromosom 21. Terdapat kelainan sifat-sifat fisik yang menunjukkan Down’s Syndrome yang dapat dikenali oleh banyak orang. Gejala ini diantaranya adalah lipatan di sudut mata yang oleh J. Langdon downdigambarkan sebagai tanda-tanda oriental dan dilukiskan dengan istilah yang kurang menguntungkan, yaitu mongoloid. 2.
Penyebab pada Pra Kelahiran Penyebab pada masa pra kelahiran kadang-kadang terjadi setelah
pembuahan sebelum kelahiran. Akibat yang paling merusak adalah Rubbela (cacar air/ campak german) pada janin, terjadi selama trimester pertama dari masa kehamilan ketika perkembangan anak sedang rentan dari serangan. Penyakit Syphilis yang tidak terawat dan infeksi penyakit kelamin lainnya dapat juga menyebabkan kerusakan otak. Wanita hamil yang peminum berat berada dalam titik resiko tinggi mengalami rusaknya perkembangan janin. Bayi dengan fetal alcohol syndrom berada pada risiko tinggi dalam kelahirannya dengan berbagai masalah termasuk
18
keterbelakangan menta. Obat-obatan, bahakan obat untuk penyembuh sekalipun , dapat pula menyebabkan keterbelakangan mental ketika digunakan oleh wanita hamil. Maka sudah jelah hanya obat-obatan yang dianggap aman digunakan selama masa kehamilan adalah yang diberikan dokter yang mengetahui menegnai status kehamilannya. 3.
Penyebab pada saat Kelahiran Masalah utama pada saat kelahiran yang mungkin menyebabkan
keterbelakangan mental adalah prematur. Bayi yang lahir sangat prematur berada pada risiko mengalami berbagai kesulitan-kesulitan fisik yang mungkin dapat dihubungkan dengan kerusakan otak. Namun, juga
anyak bayi yang lahir
prematur tapi akhirnya tumbuh dengan baik dan tidak menderita kerusakan. Terbelakangan mental dapat juga diakibatkan oleh masalah-masalah selam proses kelahiran bayi. Salah satunya adalah kelahiran sungsang. Jika bayi tidak dalam posisi kepala di bawah pada proses kelahirannya, proses kelahirannya mungkin terhambat dan kekurangan oksigen mungkin dapat terjadi. 4.
Penyebab selama Masa Perkembangan Anak-anak dan Remaja Terbelakangan mental dapat terjadi pada masa anak-anak atau remaja.
Menderita penyakit seperti radang selaput otak (meningitisi) atau radang otak (encephalitisii), terutama bila tidak ditangani secara dini dan sungguh-sungguh, dapat mengakibatkan kerusakan otak. Kecelakaan yang mengakibatkan cedera/ kerusakan pada otak dapat mengakibatkan keterbelakangan sebagai suatu kecacatan selama masa perkembangan anak. Gizi yang jelek atau keracunan dapat juga merusak otak. Keracunan timah adalah ancaman utama pada anak-
19
anak yang bersumber dari lingkungan sekitar seperti, cat yang sudah lama dan pipa air.
B. Klasifikasi Anak Tunagrahita Berbagai macam cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan anak
tunagrahita.
Berikut
ini
Efendi
(2006:
89-90)
dalam
bukunya
mengklasifikasikan anak tunagrahita sebagai berikut: Seorang dokter dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada tipe kelainan fisiknya, seperti tipe mongoloid, microcephalon, cretinism, dan lain-lain. Seorang pekerja sosial mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada derajat kemampuan penyesuaian diri atau ketidak tergantungan pada orang lain, sehingga untuk menentukan berat ringannya ketunagrahitaan dilihat dari tingkat penyesuaiannya, seperti tidak tergantung, semi tergantung, atau sama sekali tergantung pada orang lain. Klasifikasi anak tunagrahita dapat di bagi dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu sebagi berikut: 1. IQ kurang dari 80-100 = lemah berpikir. 2. IQ antara 60-80 = debil 3. IQ antara 20-60 = imbisil 4. IQ di bawah dari 20 = idiot (Widati dan Murtadlo, 2007: 266). Klasifikasi
anak
tunagrahita
juga
dijelaskan
oleh
Astuti
dan
Walentiningsih (2011: 30-31) dalam bukunya yaitu terbagi menjadi tiga yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, dan tunagrahita berat. Dari tiga klasifikasi tersebut mempunyai karakterisik masing-masing yaitu:
20
1. Tunagrahita ringan: mampu belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana, pada usia 16 tahun tingkat kecerdasannya sama dengan anak kelas tiga/ lima SD, kematangan belajar membaca dicapai pada usia 9 sampai dengan 12 tahun, dapat bergaul dan mampu mengerjakan pekerjaan ringan. 2. Tunagrahita sedang: tidak mampu mempelajari pelajaran akademik, perkembangan bahasa terbatas, berkomunikasi dengan beberapa kata, mampu menulis nama sendiri, nama orang tua adan alamat, mengenal angka tanpa pengertian, dapat dilatih bersosialisasi, mampu mengenali bahaya, tingkat kescerdasan setara anak usia 6 tahun. 3. Tunagrahita berat: selalu tergantung pada orang lain, tidak mampu mengurus diri sendiri, tidak mengenali bahaya, tingkat kecerdasannya setara dengan anak usia 4 tahun. Mengenai klasifikasi anak tunagrahita Smith (2012: 116-117) dalam bukunya juga menjelaskan bahwa: Para pendidik memakai istilah khusus untuk menggambarkan siswa-siswa mereka sesuai dengan klasifikasi pendidikannya. Klasifikasi tersebut digunakan dalam menggambarkan baik tingkat prestasi akademis yang diharapkan bagi siswa-siswa tersebut maupun penempatan pembelajaran yang sesuai dimana mereka ditetapkan. Siswa yang diberi istilah anak terbelakang mental mampu didik (educable mentally retarded) diharapkan dapat belajar membaca dan menulis pada tingkat sekolah dasar namun dengan langkah yang sedikit pelan. Siswa yang digambarkan sebagai anak terbelakang mental mampu latih (trainable mentally retarded) dianggap mampu belajar hanya beberapa kata terpisah dan kemampuan hitung yang terbatas. Anakanak dan remaja yang dianggap tak mampu belajar pada tingkat trainable mentally retarded dikategorikan sebagai subtrainable atau custodial. Mereka dianggap mempunyai tingkat rendah sehingga mereka menjadi tanggungjawab sekolah dan para pendidik. Adapula sistem klasifikasi lainnya yang sering dipakai oleh para psikolog dan dokter. Istilah mild mental retardation, moderat mental retardation, severe mental retardation, dan profound mental retardation telah dipakai dalam mengelompokkan
21
orang-orang sesuai dengan prestasi dalam tes IQ. Pada tahun 1992 American Retardation Association on Mental Retardation (AAMR) menerbitkan revisi petunjuk mengenai definisi dan klasifikasi terbelakang mental. Revisi tersebut lebih menitikberatkan bagi kebutuhan orang-orang terbelakang mental ketimbang pada kecacatannya. AAMR menguraikan empat tingkat kebutuhan bantuan yang mungkin diperlukan oleh orang-orang penyandang keterbelakangan mental. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah: intermitten needs, sifatnya episodik (berkala), tidak selalu membutuhkan bantuan; limited needs yaitu konsisten dari segi waktu namun intensitasnya terbatas; extensive needs yaitu serius dan jangka panjang; serta pervasive needs yaitu konstan dan intens sepangjang waktu. Definisi tahun tahu 1992 ini meletakkan penekanannya pada sikap adaptasi sebagai suatu ukuran terbelakang mental dan kurang penekanannya pada IQ.
C. Konsep Bermain Bermain merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan. Dengan bermain, anak dapat memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan anak dalam dimensi motorik kognitif, kreativitas, bahasa, emosi, sosial, dan sikap hidup (Yulianti, 2011: III). Seperti yang dikatakan juga oleh Helmi dan Zaman (2009: 6) bahwa bermain merupakan jendela perkembangan anak. Melalui bermain, aspek perkembangan anak bisa ditumbuhkan secara optimal. Bermain
dapat
diartikan
sebagai
sebuah
sarana
yang
dapat
mengembangkan anak secara optimal karena dengan bermain anak akan bereksplorasi dan bereksperiman dengan dunia sekitar. Bermain merupakan aktifitas yang menyenangkan bagi anak, karena dengan bermain anak mendapakan kesempatan untuk menguasai sesuatu dan memunculkan rasa menjadi manusia penting (Amalia, 2010: 18) Bermain juga bisa dikatakan sebagai fungsi dari ego yang mencoba memadukan tubuh dan proses-proses sosial dalam diri seseorang, bermain juga merupakan sebagai antithesis atau lawan yang tepat dari kerja, karena sifatnya
22
menyenangkan, bebas dari tekanan atau paksaan hati, dan bebas dari sifat yang tidak masuk akal (Nuryadin, 2005: 109). Dan dapat diartikan bahwa bermain pada intinya adalah aktivitas yang digunakan sebagai hiburan (Mahendra, 2003:1). Secara umum menurut Yulianti (2011: 9-10) jenis permainan anak dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut: 1. Permainan aktif, yaitu permainan yang biasanya melibatkan lebih dari satu orang anak. Permainan aktif biasanya berupa olahraga yang bermanfaat untuk mengolah kemampuan kinestetik pada anak. 2. Permainan pasif, yaitu permainan yang
bersifat mekanis dan biasanya
dilakukan tanpa teman yang nyata. Salah satu permainan pasif yaitu permainan elektronik seperti playstation. 3. Permainan fantasi atau permainan imajinasi yang diciptakan sendiri oleh anak dalam dunianya. Yulianti (2011: 10) juga menerangkan beberapa fungsi dan manfaat dari bermain dalam mengoptimalkan perkembangan anak, diantaranya: 1. Bermain bagi anak dapat menyeimbangkan motorik kasar, seperti berlari, melompat dan lain-lain serta motorik halus seperti menulis, menyusun gambar atau balok, menggunting dan lain-lain. Keseimbangan motorik kasar dan halus akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologi anak. Secara tidak langsung permainan merupakan perencanaan psikologi bagi anak untuk mencapai kematangan dan keseimbangan pada masa mendatang. 2. Bermain dapat mengoptimalkan kinerja otak kanan. Melalui permainan fungsi kerja otak kanan dapat dioptimalkan karena dengan bermain seringkali
23
menimbulkan kegembiraan bagi anak bahkan pertentangan. Hal ini berguna untuk mengui kemampuan diri anak dalam menghadapi teman sebayanya, serta mengembangkan perasaan relistis anak terhadap dirinya dan yterhadap lingkungannya, serta dapat mengembangkan penilaian secara objektif dan subjektif dirinya. 3. Bermain bersama teman bisa membuat anak belajar memberi dan berbagi, serta belajar memahami nilai memberi dan menerima sejak dini. Misalnya saling berbagi makanan dan minuman, saling meminjamkan mainan. Anak juga akan belajar menghargai pemberian orang lain sekalipun ia tidak menyukainya, menerima kebaiakan dan perhatian temannya. 4. Bermain dapat
menjadi sarana anak untuk belajar menempatkan dirinya
selama sebagai mahluk sosial. Dalam bermain anak berhadapan dengan bernagai karakter yang berbeda, sifat dan cara berbicara yang berbeda pula sehingga anak dapat mengenal heterogenitas dan mulai memahaminya sebagai unsur penting dalam permainan. Dengan bermain membuat dunia anak lebih berwarna, perasaan kesal, marah, kecewa, sedih, senang, bahagia akan dia rasakan dalam bermain. Hal ini akan menjadi pengalaman emosional sekaligus belajar mencari solusi untuk menganggulangi perasaan-perasaan tersebut. 5. Bermain juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk berlatih merealisasikan rasa dan sikap percaya diri, mempercayai orang lain, kemampuan bernegosiasi dan memecahkan masalah. 6. Bermain dapat melatih perkembangan moral dan etika pada sikap anak. Anak yang yang melakukan permainan akan berinteraksi dengan anak-anak yang lain. Saat bermain dalam kelompok, anak seringkali dituntut untuk mematuhi
24
peraturan dalam permainan, tidak boleh curang. Dengan ini maka anak-anak akan secara otomatis akan belajar untuk terus mematuhinya dan hal ini merupakan dasar terbentuknya sikap moral yang baik, beretika, dan bertatakrama. 7. Bermain juga dapat mengembangkan kreativitas, karena dalam permainan anak-anak akan dapat menerapkan ide-ide mereka. Semakin banyak media dan jenis permainan yang anak-anak mainkan, maka semakin banyak ide-ide yang bermunculan di dalam pikiran anak. 8. Selain itu bermain juga dapat mengembangkan komunikasi dan bahasa anak, karena dengan bermain anak akan mampu mengutarakan maksud dan pemikirannya terhadap teman-temannya. Pembelajaran komunikasi seperti ini akan melatih komunikasi anak secara alami. Untuk anak tunagrahita ada beberapa model permainan yang dapat diberikan untuk pengembangan kecerdasan dan motorik halus yang cenderung bersifat individual, antara lain: latihan menuangkan air, bermain pasir, bermain tanah liat, meronce maink-manik, latihan melipat, mengelem dan menempel, menggunting/ memotong, latihan menyobek, jarum dan benang. Model permainan lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita, yaitu bermain yang mengandung unsur olahraga. Misalnya berjalan diatas bangku, berjalan dengan beban dan tanpa beban di kepala melewati titian garis atau tali denagn posisi lurus, melengkung, dan bulat, menendang bola, lempar tangkap bola dan lain-lain. Khusus yang sifatnya kelompok, pengembangan aktivitas bermain pada anak tunagrahita materinya dapat digali dari permainan-permainan tradisional, pendidikan olahraga, atau kombinasi
25
keduanya. Misalnya bermain menjala ikan, kucing dan tikus, berlari bersambungan atau sambil menggendong teman, lempar tangkap bola, dan sebagainya (Efendi, 2006: 106-110).
D. Gerak Lokomotor Terdapat tiga keterampilan motorik dasar seseorang, yaitu gerak lokomotor, non lokomotor, dan manipulatif. Gerak lokomotor dapat diartikan sebagai gerak memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain. Bentuk gerak lokomotor diantaranya berjalan, berlari, berjingkat melompat dan meloncat,, berderap, merayap dan memanjat (Yudanto, 2011: 6). Gerak lokomotor juga dapat diartikan sebagai gerak memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain seperti berjalan, lari, lompat, dan loncat (Amalia, 2010: 11). Definisi gerak lokomotor juga dijelaskan oleh Asim (2001: 32) menyatakan bahwa gerak lokomotor adalah gerak memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain, baik secara horisontal maupun vertikal. Gerakan tersebut diantaranya jalan, lari, lompat, loncat, jingkat, menderap, memanjat dan lain-lain. Sehingga dapat diartikan bahwa gerak lokomotor merupakan akifitas memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti jalan, lari, lompat, loncat dan lain-lain.
Gambar 2.1 Contoh Gerakan Berjalan (Sumber: Fatimah, dkk, 2010: 2)
26
Gambar 2.2 Contoh Gerakan Berlari (Sumber: Fatimah, dkk, 2010: 3)
Gambar 2.3 Contoh Gerakan Meloncat (Sumber: Fatimah, dkk, 2010: 7)
Dalam melaksanakan pembelajaran gerak dasar pada anak normal maupun anak luar biasa, guru hendaknya memperhatikan tahapan-tahapan dalam pembelajaran Dikjasorkes, yaitu meliputi tahap pendahuluan, kegiatan dimulai dengan melakukan pemansan terlebih dahulu untuk mempersiapkan otot-otot tubuh dalam merespon latihan yang akan dilaksanakan, kemudian tahap inti yang dilakukan secara bertahap, artinya gerakan dimulai dari yang paling ringan dan sederhana semakin lama intensitasnya maka tingkat kesulitannya ditingkatkan disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik anak, faktor keselamatan juga perlu diperhatikan agar tidak mengganggu masa tumbuh kembang anak. Selanjutnya tahap penutup, pada tahap ini anak dipersilahkan untuk melakukan pendinginan, yaitu dengan melakukan peregangan dan senam pendinginan agar fungsional tubuh tetap berada pada kondisi fisiologis.
27
E. Manfaat Olahraga a.
Bagi Anak Normal Pada usia anak-anak dan remaja, dimana tubuh sedang berada dalam tahap
pertumbuhan. Maka tubuh membutuhkan olahraga untuk memastikan otot-otot, tulang, jantung, paru-paru dan setiap organ vital lainnya tumbuh secara normal dan sehat. Dengan permainan gerakan yang teratur dapat mendukung pertumbuhan anak-anak dan remaja dari segi fisik, akal dan kejiwaan secara sehat, serta menambah kepercayaan kepada diri sendiri (Multiply. 2009: 1). Adapun manfaat jangka panjang dari olahraga yang dilakukan secara teratur, terprogram dan dilakukan dengan senang bagi anak-anak untuk kesehatan yaitu dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh, kemampuan tubuh untuk melawan penyakit meningkat. Anak-anak tidak rentan terhadap penyakit demam, alergi, dan penyebaran penyakit lainnya seperti penyakit kanker. Mengurangi gejala diabetes tipe 2, dengan cara meningkatkan sensitivitas hormon insulin dan meningkatkan metabolisme karbohidrat. Memperkuat kerja seluruh sistem kardiovaskuler, termasuk kerja jantung dan paru. Aktifitas pompa jantung semakin tinggi, sehingga membantu dalam pencegahan penyakit jantung pada anak. Olahraga dapat memberikan efek fisiologis pada anak dengan cara membakar lemak untuk mengontrol kelebihan berat badan. Dapat memperkuat struktur tulang dan otot pada anak. Olahraga juga dapat membantu meningkatkan aliran darah ke seluruh tubuh, termasuk otak.
Sehingga aliran darah yang
semakin meningkat tersebut, dapat membantu proses pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel-sel tubuh (Pipping. 2009: 1).
28
b. Bagi Anak Tunagrahita Proses Pendidikan Jasmani penting untuk menanamkan nilai-nilai dan sikap positif terhadap keterbatasan, kemampuan baik dari segi fisik maupun mentalnya sehingga mereka mampu bersosialisasi dengan lingkungan dan memiliki rasa percaya diri dan harga diri, Oleh karena itu dengan adanya penjaskes adaptif seharusnya membantu peserta didik agar tidak merasa rendah diri dan terisolasi dari lingkungannya. Pemberian kesempatan itu merupakan pengakuan bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anakanak normal. Melalui penjas adaptif yang mengandung unsur kegembiraan dan kesenangan, anak-anak dapat memahami dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan serta memperhatikan kelainan-kelainan yang dialami setiap anak (Poetra, 2011: 1).
F. Jenis-Jenis Olahraga a.
Untuk Anak Normal Pada
usia
anak-anak,
dalam
melakukan
olahraga
hendaknya
memperhatikan beban dan porsi olahraga yang mereka lakukan, hal itu dilaksanakan agar dalam proses pertumbuhannya anak-anak tidak mengalami gangguan. Ada beberapa jenis olahraga yang bisa dilakukan pada usia anak-anak, seperti yang dikutip dalam www. parenting.co.id (2012: 1), beberapa jenis olahraga yang bisa dilakukan pada usia anak-anak adalah sebagai berikut: Anak berumur 2 sampai dengan 3 tahun , olahraga yang diberikan adalah bersifat belum terstruktur, seperti berlari, berayun-ayun, memanjat, dan bermain air. Pada usia 2 tahun, anak sudah mampu melompat dengan satu atau kedua kaki, dan berlari. Pada usia 3 tahun, ia sudah bisa berubah-ubah arah (dari kanan ke kiri, dari
29
depan ke belakang) dengan mudah. Anak umur 4 sampai dengan 5 tahun, biasanya anak sudah bisa menggelindingkan bola besar, menangkap bola. Anak juga mulai suka berenang atau bersenam (tapi tanpa diprogram). Anak umur 5 sampai dengan 6 tahun. Banyak keterampilan yang sudah dikuasainya, termasuk barisberbaris, latihan keseimbangan (berjalan di atas titian balok), memanjat, berayun, bergelantungan, berguling, berputar, dan lainlain. Anak juga sudah bisa melakukan permainan sederhana dengan bola. Meskipun hal ini melibatkan koordinasi dan kelincahan, biarkan anak bermain dengan bebas tanpa aturan yang ketat dan dalam melakukan olahraga tersebut anak bisa merasa senang. Menurut Ekasari (2010: 1) beberapa jenis olahraga yang bisa dilakukan oleh anak-anak adalah sebagai berikut: Usia satu setengah tahun hingga dua tahun, anak dapat mulai diperkenalkan dengan olahraga ringan (berjalan, berlari ) yang dilakukan secara teratur.. Berikan semangat agar anak bisa lebih aktif dalam melakukan aktivitas fisik sejak usia dini. Usia dua tahun, pada usia ini anak cenderung suka dengan hal yang tidak teratur, bebas dan tanpa peraturan. Anak-anak dapat diajak berolahraga sambil bermain seperti berlari-lari kecil, mengejar mainan, mendorong ayunan, bermain air atau melakukan banyak gerakan yang menyenangkan namun juga dapat menyehatkan fisiknya. Usia tiga tahun, pada usia ini anak mulai dapat mengubah arah gerakannya misalnya belok kanan, kiri, depan atau belakang. Dengan kemampuan seperti itu, anak dapat diajak untuk lari-lari kecil sekitar 5-10 menit setiap harinya. Lakukan variasi kegiatan olahraga agar anak tidak bosan melakukan kegiatan olahraga dengan mulai memperkenalkan anak untuk melakukan berbagai permainan yang memiliki aturan permainan. Usia empat hingga lima tahun, anak dapat bermain dalam aturan yang lebih kompleks. Bermain dan belajar menggelindingkan bola, menangkap bola dan bermain sepeda walaupun pada umumnya mereka belum mampu membedakan daerah mana yang berbahaya untuk bermain. Dalam hal ini, pengawasan orang tua sangatlah diperlukan.
b. Untuk Anak Tunagrahita Dalam memberikan terapi perilaku pada anak tunagrahita, seorang terapis harus memiliki sikap sebagai mana yang dipersyaratkan dalam pendidikan humanistik, yaitu penerimaan secara hangat, antusias tinggi, ketulusan dan kesungguhan, serta menaruh empati yang tinggi terhadap kondisi anak
30
tunagrahita. Jenis terapi perilaku yang dapat dilakukan untuk anak tungrahita yaitu melalui kegiatan bermain karena bermain merupakan cara seseorang untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan yang kompleks. Beberapa nilai yang penting dari bermain bagi perkembangan anak tunagrahita, antara lain sebai berikut: 1.
Pengembangan fungsi fisik. Misalnya pernapasan, peredaran darah, pencernaan makanan dapat dilancarkan melalui kegiatan bermain.
2.
Pengembangan
sensomotrik.
Dengan
bermain
maka
akan
melatih
pengindraan seperti penglihatan, pendengaran, perabaan. Serta melatih otot dan kemampuan gerak seperti tagan , kaki, jari-jari, leher, dan gerak tubuh lainnya. 3.
Pengembangan daya hayal. Melalui bermain, anak tunagrahita diberikan kesempatan untuk mampu menghayati makna kebebasan sebagai sarana yang diperlukan untuk pengembangan daya khayal dan kreasinya.
4.
Pembinaan pribadi dengan bermain, sebenarnya melatih memperkuat dan mengembangkan kemauan, dan keuletan. Semua itu dapat membantu anak tunagrahita membina kepribadiannya.
5.
Pengembangan sosialisasi. Ada unsur yang menarik dari kegiatan bermain dilihat dari pegembangan sosialisasi, yaitu anak harus berbesar hati, menunggu giliran, rela menerima kekalahan, setia dan jujur.
31
6.
Pengembangan intelektual. Melalui bermain, anak tunagrahita belajar mencerna sesuatu. Misalnya dalam mencerna peraturan dan skor yang diperoleh dalam permainan. Beberapa model permainan yang menekankan pada pengembangan
kecerdasan dan motorik halus yang cenderung bersifat individual, antara lain: Latihan menuangkan air, bermain menuangkan pasir, bermain tanah liat, meronce manik-manik, latihan melipat, mengelem dan
menempel, menggunting dan
memotong , menyobek, serta bermain memasukkan benang ke lubang jarum. Model permainan lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita, yaitu bermaian yang mengandung unsur olahraga. Misalnya, berjalan di atas bangku, berjalan dengan beban dan tanpa beban di kepala melewati titian garis atau tali dengan posisi lurus, melengkung, dan bulat. Latihan lain yang menggunakan alat, misalnya mendrible bola, menendang bola, melempar da menangkap bola, dan jenis permaianan yang sederhana lainnya. Khusus yang sifatnya kelompok, pengembangan aktivitas bermaian pada anak tunagrahita materinya dapat digali dari permainan-permainan tradisional, pendidikan olahraga, atau kombinasi keduanya. Misalnya bermain menjala ikan, kucing dan tikus, berlari bersambungan atau sambil menggendong teman, lempar tangkap bola, memukul bola di sela-sela kaki, dan sebagainya (Efendi, 2006: 104-110).
32
G. Profil Sekolah SMALB- C Sumber dharma Malang 1.
Identitas Sekolah Nama
: SMALB C Sumber Dharma
Alamat Sekolah
: Jalan Candi Jago No. 28 Kelurahan Belimbing Kecamatan Belimbing Kota Malang Jawa Timur
Nomor Telepon
: (0341) 485892
Kode Pos
: 65142
Status Sekolah
: Swasta
Akreditasi
:-
Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN): 20533657 Nomor Statistik Sekolah (NSS)
: 832056103023
Nama Yayasan
: SMALB- C Sumber Dharma
Nomor Akte Pendirian
: 30
Tanggal
: 21 April 1968
Notaris
: Chusen Bisri, SH
Ijin Operasional
:
a. Nomor
: 421.8/ 759/ 108.10/2007
b. Tanggal
: 10 September 2007
c. Diterbitkan Oleh
: Propinsi JATIM
Kondisi Tanah Bangunan
:
a. Luas Tanah
: 576 m2.
b. LuasBangunan
: 358 m2.
33
2.
3.
Sumber Daya Sekolah a. Jumlah Peserta Didik
: 9 Siswa
b. Jumlah Guru
: 3 (Tiga)
c. Sarana dan Prasarana
: Ada (Cukup)
Analisa Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Tantangan a. Kekuatan
:
1. Letak sekolah yang strategis, muah dijangkau dari segala arah. 2. Tersedia transportasi umum 3. Adanya dukungan dari komite dan orang tua murid. b. Kelemahan
:
1.
Kurangnya tenaga pendidik.
2.
Lapangan olahraga kurang memadai
3.
Kurangnya sarana pendidikan.
c. Peluang
: Mengembangkan keterampilan sesuai dengan kemampuan siswa (menjahit, tambal ban, perkebunan, tanaman hias, membuat souvenir, tata boaga,pertukangan, dan lain-lain).
d. Tantangan
: Memenuhi tuntutan wali murid agar sekolah lebih baik dan berkembang.
34
Visi Sekolah Terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak berkebutuhan khusus agar dapat mengembangkan potensi mereka secara maksimal. Misi Sekolah Mengembangkan potensi anak berkebutuhan khusus dengan dibekali berbudi pekerti luhur dan pengetahuan dasar keterampilan praktis yang relevan sesuai dengan kebutuhan hidup.
Tujuan Sekolah 1.
Meningkatkan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus.
2.
Mempersiapkan kemampuan anak berkebutuhan khusus agar dapat hidup mandiri.
3.
Memiliki kemandirian dengan segala keterbatasan mereka.
4.
Meningkatkan kesejahteraan warga sekolah.