BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi
psychological
well-being,
faktor-faktor
yang
berkaitan
dengan
psychological well-being, pengertian remaja, karakteristik remaja, tugas-tugas perkembangan remaja, perilaku seksual pada remaja, pernikahan dini, penyebab pernikahan dini 2.1. Psychological Well-Being Sejak tahun 1969, penelitian mengenai psychological well-being didasari oleh dua konsep dasar dari positive functioning. Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan suatu kondisi tertinggi yang dapat dicapai oleh individu yang mencakup evaluasi dan penerimaan diri pada berbagai aspek kehidupan tidak hanya berupa aspek positif namun juga aspek negative. Individu mampu menerima dan mengenali keadaan, memliki hubungan yang hangat dengan orang lain. Berusaha untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri individu. Ryff menyebutkan bahwa mental health tidak hanya sebagai ketiadaan mental illness. Positive mental health, termasuk didalamnya psychological well-being, merupakan perasaan yang sehat tentang diri sendiri (Ryff & Singer, 1998 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Diener (2000) mengatakan bahwa perasaan well-being atau happiness merupakan evaluasi personal seseorang terhadap hidupnya sendiri (dalam Papalia, Olds &
10 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Feldman, 2004). Psychological well-being juga mempunyai enam dimensi seperti yang disebutkan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri (SelfAcceptance), hubungan yang positif dengan orang lain (Positive Relations with
Others),
otonomi
(Autonomy),
dapat
menguasasi
lingkungan
(Environmental Mastery), memiliki tujuan dalam hidup (Purpose in Life) dan adanya pertumbuhan personal (Personal Growth). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa psychological wellbeing merupakan evaluasi individu terhadap kepuasan hidup dirinya dimana di dalamnya terdapat penerimaan diri, baik kekuatan dan kelemahannya, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan personal. 2.1.1. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being Menurut Ryff (1989) terdapat enam dimensi dari psychological wellbeing, yaitu: a. Penerimaan diri (Self-Acceptance) Self-acceptance yang merupakan ciri sentral dari konsep kesehatan mental dan juga karakteristik dari orang yang teraktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan matang (Ryff, 1989). Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri seperti apa adanya, baik dari segi positif maupun negatif Jahoda (dalam, Fransisca, 2009). Dengan cara menerima diri apa adanya maka seseorang dimungkinkan untuk bersikap
11 http://digilib.mercubuana.ac.id/
positif terhadap diri sendiri. Sikap positif selanjutnya akan meningkatkan toleransi seseorang akan frustasi dan berbagai kondisi yang tidak menyenangkan termasuk keterbatasan diri tanpa merasa menyesal atau marah yang mendalam. Hasil
penelitian
Allport
(dalam
Angelina,
2011)
mengatakan bahwa penerimaan diri merupakan kualitas yang penting bagi kehidupan manusia. Orang yang tidak dewasa kepribadiannya
akan
bertindak
seperti
anak
kecil
dalam
menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Mereka akan bereaksi seperti temper tantrum, sering mengeluh, menyalahkan orang lain atau situasi dan sering menyesali diri. Sebaliknya orang yang matang akan berusaha mengolah frustasi yang dialami dan tidak melimpahkan kesalahan pada orang lain. Seseorang dengan pribadi yang matang dapat menunggu waktu yang tepat, jika situasi tidak memungkinkan, menyerah akan jadi jalan yang diambil. Ryff (1989) mengatakan bahwa seseorang dengan psychological wellbeing yang baik akan cenderung bersikap positif terhadap kehidupan yang telah dijalani. Individu dapat dikatakan memiliki taraf psychological well-being dalam dimensi penerimaan diri bila ia: a)
Mengakui dan menerima berbagai aspek dirinya (baik yang positif maupun negatif).
b)
Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri.
12 http://digilib.mercubuana.ac.id/
c)
Merasa positif terhadap kehidupan yang dijalani sekarang.
b. Hubungan yang positif dengan orang lain (Positive Relations with Others) Beberapa
kualitas
yang
dihubungkan
dengan
kemampuan membina hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya, saling mengembangkan pribadi satu dengan yang lain, kemampuan untuk mencintai, berempati, memiliki afeksi terhadap orang lain, serta mampu menjalin persahabatan yang mendalam (Ryff, 1989). Individu yang memiliki hubungan positif dengan sesamanya diharapkan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, peduli terhadap kesejahteraan orang lain, mampu berempati, berafeksi dan membina kedekatan dan memahami perlunya ‘memberi dan menerima’ dalam membina hubungan dengan orang lain. Individu yang matang akan mengembangkan minat untuk mengikuti berbagai aktivitas diluar dirinya. Seseorang yang matang memiliki partisipasi otentik pada berbagai area kehidupan manusia Allport (dalam Angelina, 2011). Dalam hal ini Ryff (1989) juga menyebutkan adanya ‘kepedulian akan kesejahteraan orang lain’ sebagai aspek penting dalam melihat psychological well-being seseorang. Hal ini dapat diungkapkan misalnya dalam bentuk kegiatan sosial ataupun pengembangan
13 http://digilib.mercubuana.ac.id/
hobi dalam kelompok. Tujuannya adalah untuk mengembangkan sesama manusia dan diri sendiri. Maslow juga mengatakan bahwa orang yang teraktualisasi adalah yang memiliki kemampuan kuat untuk berempati dan membina hubungan afektif dengan manusia lain, dan mampu menjalin persahabatan dari Maslow (Farnsisca, 2009). Jadi dapat disimpulkan bahwa taraf psychological wellbeing seseorang dalam dimensi kemampuan menjalin relasi dengan orang lain dapat dilihat dari sejauhmana ia: a. Memiliki hubungan hangat, memuaskan, saling percaya dengan manusia lain. b. Memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia lain. c. Mampu membina hubungan yang empatis, efektif, dan intim yang kuat dengan manusia lain. d. Saling memberi dan menerima dalam hubungan dengan manusia lain. c. Otonomi (Autonomy) Dimensi-dimensi otonomi meliputi kualitas-kualitas seperti
penentuan
diri
(self-determination),
kemandirian,
pengendalian perilaku dalam diri, dan peran locus internal dalam mengevaluasi diri (Ryff, 1989). Dengan kata lain, dimensi ini melihat kemandirian setiap individu dalam memutuskan dan mengatur perilakunya sendiri yang bebas dari tekanan pihak
14 http://digilib.mercubuana.ac.id/
manapun. Orang yang dikatakan otonom adalah orang yang mandiri dan dapat membuat keputusan sendiri, dapat menolak tekanan dari lingkungan untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mengatur perilakunya dari lingkungan untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mengatur perilakunya dari dalam diri, mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadi dan sejauh mana
individu
mempertahankan rasa hormat terhadap dirinya. Juga mencakup kemampuan untuk membedakan antara aspek-aspek yang ingin diterima dan yang tidak ingin diterima Jahoda (dalam Fransisca, 2009). Jadi dalam kehidupan sehari-hari orang yang otonom mampu memutuskan situasi dimana ia akan konform atau tidak konform.
individu
mempunyai
kepercayaan
terhadap
pengalaman sendiri sebagai sumber dalam pengambilan keputusan. Konsekuensinya, individu itu akan mampu untuk bersikap mandiri dan tidak hanya mengandalkan pendapat orang lain, tetapi ia sendiri yang memutuskan keputusan akhir. Ryff (dalam Angelina, 2011) sependapat dengan pernyataan Rogers bahwa individu yang otonom memiliki pusat pengendalian internal dalam bertindak. Individu yang memiliki kepercayaan penuh terhadap pengalamannya sendiri sebagai sumber informasi yang valid dalam memutuskan apa yang harus atau tidak harus mereka lakukan. Sedangkan orang yang tidak
15 http://digilib.mercubuana.ac.id/
otonom adalah orang yang sangat peduli dengan harapan dan evaluasi orang lain terhadap dirinya, menggantungkan diri pada penilaian orang lain dalam mengambil keputusan, serta konform terhadap tekanan sosial untuk bertingkah laku dan berpikir dengan cara tertentu. Jadi taraf psychological well-being individu dalam dimensi otonomi tercermin dari sejauh mana individu tersebut: a. Mampu mengarahkan diri dan bersikap mandiri. b. Memiliki kemampuan dalam menentukan tujuan dalam berperilaku c. Mampu bertahan terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu. d. Penguasaan Lingkungan (Environment Mastery) Individu mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisinya, berpartisipasi dalam lingkungan diluar dirinya, mengkontrol dan memanipulasi lingkungan yang kompleks, serta kemampuan untuk mengambil keuntungan dan kesempatan di lingkungan Ryff (1989) dimensi ini melihat kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengaturnya sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. Individu dikatakan mampu menguasai lingkungannya adalah orang yang memiliki penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungannya, dapat mengendalikan situasi eksternal
16 http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang kompleks, dapat menggunakan kesempatan di lingkungan secara efektif, serta mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai dirinya. Sebaliknya, orang yang dikatakan tidak memiliki penguasaan terhadap lingkungannya adalah orang yang mengalami kesulitan dalam mengatur urusan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan lingkungannya, serta kurang memiliki kendali terhadap dunia eksternalnya. Taraf psychological well-being individu dalam dimensi penguasaan lingkungan dapat tercermin dari sejauh mana ia: a. Mampu mengelola dan mengontrol berbagai aktifitas eksternalnya. b. Mampu memanfaatkan secara efektif setiap kesempatan yang ada. c. Mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. d. Memiliki kompetensi dalam mengelola lingkungan.
e. Tujuan dalam Hidup (Purpose in Life) Individu yang telah memasuki dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasa
17 http://digilib.mercubuana.ac.id/
bahwa kehidupan di masa lalu dan masa sekarang memiliki makna, serta memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup. Sebaiknya, orang yang dikatakan tidak memiliki tujuan hidup ditandai dengan karakteristik seperti: kurang memahami makna hidup, tidak dapat melihat tujuan dari kehidupan di masa lampau, tidak memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dalam hidup. Rogers (dalam Fransisca, 2011) menyebutkan adanya hidup yang berrmakna sebagai tujuan hidup dari pribadi yang berfungsi sepenuhnya. Setiap saat dalam hidup seringkali adalah sesuatu yang baru, tidak dapat diramalkan, memiliki makna tersendiri dan unik. Individu bersikap terbuka terhadap pengalaman- pengalamannya, individu akan merasa hidup lebih bermakna. Perasaan seperti itu akan membuat hidup lebih terarah dan tidak terjerat pada pengalaman masa lampau. Jadi dapat disimpulkan, taraf psychological well-being seseorang dalam dimensi keterarahan hidup tercermin dari sejauh mana ia: a. Memiliki pemahaman yang jelas mengenai tujuan hidup. b. Memiliki makna terhadap hidup sekarang dan masa lalu. f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Untuk mencapai fungsi psikologis yang optimal, seseorang perlu memiliki aspek-aspek pertumbuhan pribadi
18 http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang baik. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berkembang, kemampuan untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus bertumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman yang baru, memiliki keinginan untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu. Ryff
(1989)
mengatakan
optimal
psychological
functioning sebagai suatu tedensi pengembangan potensi, untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Beberapa ahli menyebutnya sebagai aktualisasi diri, realisasi diri atau pertumbuhan. Maslow mengatakan bahwa manusia tidak pernah berada dalam kondisi statis, namun selalu berada dalam proses menjadi sesuatu yang berbeda Maslow (Fransisca, 2009). Secara umum Ryff (Fransisca, 2009) mengartikan realisasi diri atau aktualisasi diri sebagai sejauh mana seseorang merealisasikan potensinya melalui kegiatan nyata yang terus menerus. Sedangkan orang yang tahap dimensi pertumbuhan pribadinya merasa bahwa dirinya mengalami stagnasi, kurang merasa berkembang dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk membentuk sikap atau perilaku yang baru.
19 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dengan demikian taraf psychological well-being dalam dimensi pertumbuhan pribadi dapat tercermin dari sejauh mana seseorang: a. Memiliki perasaan akan perkembangan yang berkelanjutan. b. Terbuka terhadap pengalaman. c. Merealisasikan potensi yang dimiliki. d. Menyadari potensi, kemajuan diri dan tingkah laku setiap saat. e. Pemahaman diri dan efektifitas hidup yang semakin baik.
2.1.2. Faktor-faktor Psychological Well-Being 2.1.2.1. Faktor Demografis Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan budaya. Melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan Ryff dan Singer (dalam Ryan & Deci 2011) menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial
ekonomi
dan
budaya
mempengaruhi
perkembangan
psychological well-being seseorang. a. Usia Hasil penelitian Ryff dan Singer (1996) yang bertujuan melihat pengaruh usia pada kesejahteraan psikologis terhadap responden usia dewasa muda (18-29 tahun), dewasa madya (30-
20 http://digilib.mercubuana.ac.id/
64), dan lanjut usia (65 tahun ke atas) menunjukkan hasil sebagai berikut (Fransisca, 2009). Beberapa aspek dari kesejahteraan psikologis seperti penguasaan lingkungan dan otonomi, menunjukkan pola yang meningkat sejalan dengan usia, khususnya dari usia dewasa muda ke dewasa madya. Aspek lain seperti pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukkan pola menurun khususnya dari dewasa madya ke lanjut usia. Hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan bila ditinjau berdasarkan usia. b. Jenis Kelamin Hasil penelitian Ryff dan Singer (1996) menunjukkan bahwa dibandingkan pria, wanita dari segala usia menilai dirinya lebih tinggi dalam hal memiliki hubungan positif dengan orang lain dan juga pada dimensi pertumbuhan diri, hal ini didukung oleh pendapat Gray (dalam Fransisca, 2009) yang mengemukakan bahwa wanita lebih menaruh perhatian pada kehidupan bersama dan berbagi perasaan atau makna diri wanita banyak didominasi oleh kualitas hubungannya dengan orang lain. Sedangkan empat aspek lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita.
21 http://digilib.mercubuana.ac.id/
c. Status Sosial Ekonomi Hasil penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer, 1996) menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis lebih tinggi pada individu yang mempunyai pendidikan lebih tinggi, terutama untuk dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi, baik pada wanita ataupun pria. Selanjutnya individu yang mempunyai penghasilan dan jabatan lebih tinggi menunjukkan kesejahteraan psikologis yang lebih baik. d. Budaya Hasil
penelitian
Ryff
&
Singer
(1996)
dengan
memperhitungkan latar belakang budaya menunjukkan, bahwa secara umum orang Amerika yang cenderung individualistic independent lebih mudah melihat kualitas positif dalam diri mereka dibandingkan dengan orang Korea yang dianggap lebih bersifat kolektivistik. (Fransisca, 2009). Responden Korea Selatan menilai tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan menilai diri rendah pada penerimaan dan pertumbuhan diri. Responden Amerika menilai diri tinggi pada pertumbuhan pribadi khususnya pada wanita, dan berbeda dari dugaan semula bahwa ternyata wanita Amerika menilai diri rendah pada dimensi otonomi.
22 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.1.2.2. Locus of Control Mengarah kepada pandangan setiap orang terhadap sumber dari apa yang didapatkannya. Menurut Robinson (dalam Fransisca, 2009), locus of control dapat memberikan peramalan terhadap wellbeing seseorang. Individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki taraf psychological well-being yang lebih tinggi daripada individu dengan locus of control eksternal. 2.1.2.3. Dukungan Sosial Dalam istilah sederhana sosial ada ketika kita percaya bahwa orang lain peduli, menerima kita dan menyediakan bantuan jika dibutuhkan serta kita merasa puas dengan hubungan yang kita miliki. Dukungan sosial meliputi afek positif (kekaguman,penghargaan, kesukaan, cinta), afirmasi (persetujuan dengan atau menyatakan kecocokan beberapa perilaku atau pernyataan), dan bantuan (beberapa bentuk bantuan) (Kahn, Wethington, dan Ingersoll-Dayton, dalam Angelina, 2011). Yali dan Lobel (2002) mengatakan bahwa wanita dengan dukungan sosial yang rendah akan mengalami distress yang lebih besar ketika menghadapi maslah. Robinson (dalam Fransisca, 2009) juga menemukan bahwa orang-orang yang mendapat dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi. Dukungan sosial dari orang lain yang sangat berarti dalam hidup kita tidak hanya memiliki manfaat langsung bagi well- being tetapi juga
23 http://digilib.mercubuana.ac.id/
penghalang bagi seseorang dari efek peristiwa menyakitkan dalam hidup seperti tidak bekerja, kecelakaan, sakit (House, dkk., 1988 dalam Fransisca, 2009). 2.1.2.4. Pemberian Arti Terhadap Hidup Psychological well-being berkaitan erat dengan pemberian arti terhadap pengalaman hidup sehari-hari yang dianggap penting. Menurut Ryff (Fransisca, 2009), pemberian arti terhadap pengalaman hidup memberi kontribusi yang sangat besar terhadap pencapaian psychological well being. Pengalaman tersebut mencakup berbagai hal dan berbagai periode kehidupan yang dialami oleh individu. Pengalaman hidup tersebut dapat berupa pengalaman religius, pengalaman pernah abuse, dan lain-lain. Pengalaman hidup yang dialami tergantung dari cara individu mengevaluasi atau mempersepsi peristiwa hidup yang dialaminya sebagai positif, negatif, atau netral. Jika individu mengevaluasi peristiwa yang dialaminya sebagai sesuatu yang positif maka diperkirakan individu tersebut akan memandangnya sebagai
pengalaman
hidup
yang
positif
sehingga
membuat
kesejahteraan psikologisnya baik. 2.2. Remaja 2.2.1. Definisi Remaja Papalia, Olds & Fieldman (2009), remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak- kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif dan psikososial.
24 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut Daradjat, (1970) masa remaja merupakan masa yang rentan dalam perkembangan psikologisnya. Pada masa ini kondisi psikis remaja sangat labil. Hal tersebut disebabkan karena pada masa remaja terjadi pergolakan berbagai macam perasaan atau emosi yang terkadang satu dengan yang lain saling bertentangan. Akibatnya remaja menjadi terombang-ambing. Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja adalah proses transformasi dari anak- anak menuju dewasa yang diikuti dengan perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Pada masa ini remaja bisanya masih labil, sehingga mereka belum bisa mengontrol perasaan maupun emosi yang ada dalam dirinya. 2.2.2. Karakteristik Remaja Karakteristik remaja
menurut
Ali dan Asrori (2008),
menunjukan sejumlah sikap yang sering ditunjukan oleh remaja adalah sebagai berikut: a.
Kegelisahan yang artinya, remaja ingin mendapat pengalaman sebanyak- banyaknya, tetapi disisi lain mereka merasa belum mampu melakukan berbagai hal dengan baik sehingga tidak berani mengambil tindakan sehingga mencari pengalaman langsung dari sumbernya. Tarik menarik antara keinginan yang tinggi dan kemampuan yang belum memadai membuat remaja gelisah.
b.
Pertentangan, dimana remaja berada pada situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari oarangtua dan perasaan belum mampu
25 http://digilib.mercubuana.ac.id/
untuk mandiri. Oleh karena itu, sering munculnya pertentangan antara orangtua dan anak. c.
Keinginan mencoba segala sesuatu adalah fase dimana remaja memiliki rasa ingin tau yang tinggi (high curiosity) atau ingin membuktikan bahwa dirinya mampu berbuat seperti apa yang dilakukan orang dewasa. Rasa ingin tau yang tinggi dapat membawa remaja kedalam hal positif dan negatif. Oleh karena itu, peran orangtua diperlukan untuk membimbing anak mereka agar tidak terjerumus pada hal negatif.
2.2.3. Tugas- Tugas Perkembangan Remaja Tugas
perkembangan
adalah
tugas-tugas
yang
harus
diselesaikan individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu, dan apabila berhasil mencapainya akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan ke tugas perkembangan selanjutnya, tetapi jika gagal akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada individu yang bersangkutan dan mengalami kesulitan kesulitan dalam menuntaskan tugas berikutnya. Adapun
yang
menjadi
sumber
daripada
tugas-tugas
perkembangan tersebut adalah: kematangan fisik, tuntutan masyarakat atau budaya dan nilai-nilai dan aspirasi individu. Tugas-tugas perkembangan remaja sebagai berikut: a. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya. b. Mencapai peranan sosial sebagai pria atau wanita. c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif.
26 http://digilib.mercubuana.ac.id/
d. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya. e. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi. f. Memilih dan mempersiapkan karir (pekerjaan). g. Belajar merencanakan hidup berkeluarga. h. Mengembangkan keterampilan intelektual. i. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial j. Memperoleh
seperangkat
nilai
dan
sistem
etika
sebagai
petunjuk/pembimbing dalam bertingkah laku Tugas-tugas dalam perkembangan mempunyai tiga macam tujuan yang sangat berguna. Pertama, sebagai petunjuk individu untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia-usia tertentu. Kedua, dalam memberi motivasi kepada tiap individu untuk melakukan apa yang diharapkan dari mereka oleh kelompok sosial pada usia tertentu sepanjang kehidupan mereka. Dan akhirnya, menunjukkan kepada setiap individu tentang apa yang mereka hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dari mereka kalau sampai pada tingkat perkembangan. 2.2.4. Perilaku Seksual Pada Remaja Pada masa remajalah orientasi seksual menjadi isu penting, remaja dapat mengenali orientasi seksual diri sendiri, menerima dorongan seksual dan membentuk kedekatan romantis dari pencapaian identitas seksual. (Papalia, 2009).
27 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Hurlock (1973), berpendapat terjadi karena saat seseorang memasuki masa remaja, mulai muncul dorongan seksual dalam dirinya dan muncul pula minat mereka dalam membina hubungan social yang terfokus pada lawan jenis. Santrock (2003), berpendapat perilaku seksual remaja biasanya cenderung meningkat atau progresif. Biasanya diawali dengan necking (berciuman sampai ke dada), kemudia diikuti dengan petting (saling menempelkan alat kelamin) dan diakhiri dengan hubungan intim. Perilaku seksual pada remaja mengakibatkan salah satunya adalah kehamilan pada remaja yang akan dijabarkan sebagai berikut: a. Sifat dasar kehamilan pada remaja adalah suatu masalah yang kompleks yang merangsang berbagai isu sensitif seperti pertentangan mengenai hak aborsi, alat kontrasepsi dan pertanyaan mengenai apakah remaja telah memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan hal tersebut. Pada awalnya kehamilan remaja dialami akibat seks pra-nikah, angka kehamilan cukup tinggi, tetapi saat ini kehamilan pada remaja dikuti dengan tingginya angka menikah muda di usia 18- 19 tahun. b. Konsekuensi Kehamilan pada Remaja adalah resiko kesehatan bagi ibu dan anaknya. Bayi yang dilahirkan ibu remaja beratnya cenderung lebih rendah dan menyebabkan kematian bayi. Selain itu, remaja yang hamil diusia muda cenderung tidak melanjutkan sekolah dan memiliki gaji rendah.
28 http://digilib.mercubuana.ac.id/
c. Faktor kognitif dalam kehamilan remaja biasanya terjebak dalam dunia mental yang terpisah dari kenyataan. Artinya, remaja remaja merasa bahwa tidak akan terjadi sesuatu pada dirinya. Tetapi pada kenyataannya, remaja belum mampu untuk menghadapi konsekuensi yang terjadi. Biasanya, mereka cenderung tidak tahu apa yang harus dilakukan. d. Remaja sebagai orangtua biasanya memiliki berbagai kasus seperti, anak – anak yang dilahirkan dari ibu remaja tidak dapat mengerjakan tes intelegensi sebaik anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang berusia 20 tahun keatas. Kasus lain, ibu yang masih remaja mulai membenci anak yang mereka lahirkan pada tahun pertama. Sehingga anak tersebut tidak bisa berbicara sampai berusia 2 tahun. Ibu yang masih remaja sadar bahwa keterlambatan perkembangan anak mereka merupakan kesalahan mereka. Disaat ibu atau orangtua lainnya senang memiliki anak, namun tidak dengan orang tua remaja karena mereka harus menjaga anak- anak mereka sehingga membuat mereka tidak bisa keluar untuk berkencan, dan harapan positif yang sebelumnya mereka miliki menjadi hambar. 2.3.Pernikahan Dini Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2010) Kementerian Kesehatan, bahwa kelompok umur perkawinan pertama menunjukkan bahwa terdapat perkawinan pada usia muda 10-19 tahun (46,7%). Dengan demikian angka perkawinan dibawah umur menurut
29 http://digilib.mercubuana.ac.id/
standar kementerian kesehatan masih cukup tinggi. Dari tahun ke tahun angka pernikahan usia dini di Indonesia selalu meningkat. 2.3.1. Penyebab Pernikahan dini Penyebab pernikahan dini seperti yang dilansir (BKKBN, 2012) sebagai berikut: a. Pendidikan Rendah Biasanya faktor pendidikan menjadi salah satu seseorang untuk melakukan pernikahan dini. Biasanya seseorang yang melakukan pernikahan dini adalah orang- orang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. b. Kebutuhan Ekonomi Tuntutan ekonomi keluarga membuat sebagian orangtua menikahkan anaknya di usia muda. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban finansial keluarga. c. Kultur Menikah Muda Faktor budaya menjadi salah satu penyebab terjadinya perbikahan dini. Di beberapa daerah seseorang yang telah memasuki usia tertentu diwajibkan untuk menikah, dan hal tersebut telah terjadi turun menurun. d. Pernikahan yang Diatur Pernikahan yang telah diatur diartikan sebagai perjodohan yang dilakukan orangtua pada anaknya. Orangtua biasanya menjodohkan anak mereka, ketika usia anak mereka dirasa sudah cukup untuk menikah.
30 http://digilib.mercubuana.ac.id/
e. Seks Bebas Remaja Faktor penyebab pernikahan dini selanjutnya adalah akibat dari seks bebas yang dilakukan oleh remaja. Seks bebas berimbas pada kehamilan di luar nikah. Orangtua biasanya menikahkan anak mereka yang hamil di luar nikah untuk menutupi rasa malu atau aib keluarga.
31 http://digilib.mercubuana.ac.id/