BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan membahas teori – teori berkaitan dengan variabel-variabel yang akan diteliti yakni, mengenai psychological well – being pada auditor. Pembahasan mengenai psychological well being meliputi pengertian, dimensi psychological well – being serta faktor – faktor yang mempengaruhi psychological well – being serta pembahasan mengenai auditor pengertian auditor dan faktor-faktor psikologis auditor. 2.1.
Psychological Well – Being
2.1.1. Pengertian Psychological Well – Being Psychological Well – Being suatu keadaan dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, mampu mengatur lingkungan dan memiliki tujuan dalam hidup (Ryff, 2002). Menurut Ryff, psychological well – being juga berkaitan dengan apa yang dirasakan individu terhadap aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan seharihari dan mengarah pada pengungkapan perasaan individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Penelitian mengenai psychological well – being memperkenalkan istilah subject well being menjelaskan bahwa seseorang dikatakan well being apabila dikatakan bahagia, dimana dia memiliki banyak efek positif, sedikit 1
negatif dan memiliki kepuasan dalam hidup. Hal ini mendapat kritikan dari berbagai tokoh, termasuk Ryff. Bagi Ryff dan Siregar psychological well – being bukan sekedar pencapaian kesenangan akan tetapi merupakan perjuangan untuk mencapai kesempurnaan yang mewakili pengaktualisasian potensi seseorang yang sebenarnya. Namun Seligman mengatakan bahwa dengan memusatkan kesehatan mental, kebaikan, kekuatan karakter, kita dapat memperkaya diri kita sendiri dan mendapatkan kebahagaiaan yang sebenranya. Dapat disimpulkan bahwa psychological well – being (kesejahteraan psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala – gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasai sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi.
2.1.2. Dimensi Psychological Well – Being Menurut Ryff fondasi untuk memperoleh kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu:
2
a. Penerimaan diri (Self Acceptance) Penerimaan diri dapat digambarkan dengan memiliki sikap positif terhadap diri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri, termasuk kualitas baik dan buruk, merasa positif tentang kehidupan masa lalu atau dapat dikatakan bahwa saya suka sebagian besar aspek kepribadian saya. b. Hubungan positif dengan orang lain (Positive Relationship With Others) Dimensi ini dapat digambarkan seperti hubungan dengan orang lain yakni memiliki sikap hangat, memuaskan, hubungan saling percaya dengan orang lain, prihatin dengan kesejahteraan orang lain, mampu empati yang kuat, kasih sayang, dan keintiman, memahami memberi dan menerima hubungan manusia. c. Otonomi (Autonomy) Dimensi ini menunjukkan bahwa apakah diri menentukan dan independen, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu, mengatur perilaku dari dalam dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi. d. Tujuan hidup (Purpose in life) Dimensi ini dapat digambarkan yakni memiliki tujuan dalam hidup dan rasa directedness, terasa ada arti bagi kehidupan sekarang dan masa
3
lalu, memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup, memiliki maksud dan tujuan untuk hidup. e. Pertumbuhan diri (Personal growth) Pada dimensi penumbuhan diri dapat digambarkan dengan memiliki perasaan pengembangan lanjutan, melihat diri sebagai tumbuh dan berkembang, terbuka untuk pengalaman baru, memiliki rasa mewujudkan potensi nya, melihat perbaikan dalam diri dan perilaku dari waktu ke waktu, berubah dengan cara yang mencerminkan lebih self – pengetahuan dan efektifitas. f. Penguasaan lingkungan (Environmental Mastery) Penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis. Menurut Ryff (1995) individu yang memliliki penguasaan lingkungan yang tinggi memiliki rasa menguasai, berkompetensi dalam mengatur lingkungan, mampu mengontrol kegiatan – kegiatan eksternal yang kompleks, menggunakan kesempatan yang di tawarkan lingkungan secara efektif dan mampu memilih atau menciptakan konteks lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadinya.
4
2.1.3
Faktor – Faktor yang mempengaruhi Psychological Well Being
Manusia pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang berbeda-beda. Ryff (1995), menyatakan bahwa empat faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis manusia adalah sebagai berikut: 1. Faktor – faktor Demografis dan Klasifikasi Sosial
Dijelaskan dalam beberapa penelitian bahwa faktor demografis tidak
terlalu
memberi
aspek
penting
dalam
pencapaian
kesejahteraaan psikologis. Demografis sendiri mencakup ras, usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, dan status pernikahan.
a. Usia
Menurut Ryff (1995), ada perbedaan antara usia dengan kesejahteraan psikologis. Kemudian Ryff dan Singer, dalam Jurnal Psychological Well – Being: Meaning, Measurement, and Implication for Psychotherapy Health (Lakoy, 2009), menemukan bahwa
beberapa
dimensi
kesejahteraan
psikologis,
seperti
penguasaan lingkungan dan otonomi cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
5
b. Jenis Kelamin
Menurut Ryff (1995), perbedaan jenis kelamin mempengaruhi aspek – aspek kesejahteraan psikologis. Di temukan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam membina hubungan yang lebih positif dengan orang lain serta memiliki pertumbuhan pribadi yang lebih baik dari pada pria.
c. Status Sosial Ekonomi Menurut Ryff dan Singer dalam Jurnal Psychological Well – Being: Meaning, Measurement, and Implication for Psychotherapy Health (Lakoy, 2009), mengatakan bahwa perbedaan kelas sosial ekonomi memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis individu. Di temukan kesejahteraan psikologis yang tinggi pada individu yang memiliki status pekerjaan yang tinggi.
d. Budaya Ryff dan Singer dalam Jurnal Psychological Well – Being: Meaning, Measurement, and Implication for Psychotherapy Health (Lakoy, 2009) menyatakan bahwa ada perbedaan kesejahteraan psikologis antara masyarakat
yang memiliki budaya
yang
berorientasi pada individualisme dan kemandirian seperti dalam
6
aspek penerimaan diri atau otonomi lebih menonjol dalam konteks budaya barat. Sementara itu, masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi kolektif dan saling ketergantungan dalam konteks budaya timur seperti yang termasuk dalam aspek hubungan positif dengan orang yang bersifat kekeluargaan.
e. Dukungan Sosial Dukungan sosial adalah hal – hal yang berkaitan dengan rasa nyaman, perhatian, penghargaan atau pertolongan yang di persepsikan. Hal – hal tersebut dapat di dapatkan dari orang – orang yang ada disekeliling kita. Dukungan sosial dapat menimbulkan perasaan di cintai, dihargai, diperhatikan, dan sebagai bagian dari suatu jaringan sosial, seperti organiasasi masyarakat dalam individu.
f. Daur Hidup Keluarga
Sejumlah peneliti telah melakukan studi dengan menggunakan indikator kesejahteraan psikologis seperti konsep diri, kesehatan mental dan kepuasan hidup, untuk mempelajari hubungan antara daur hidup keluarga dengan kesejahteraan psikologis dari anggota keluarga. Selanjutnya masa peralihan dalam satu periode ke periode
7
berikutnya, dianggap sebagai saat yang penuh dengan stres karena masing- masing anggota keluarga saling menyesuaikan kembali hubungan, peran, dan pengharapan. 2. Evaluasi Terhadap Bidang – Bidang Tertentu
Ryff dan Essex dalam Jurnal The Interpretation of Life Experience And Well – Being: The Sample Case of Relocations (Lakoy, 2009) menyatakan bahwa ada hubungan pengalaman hidup dengan kesejahteraan psikologis, yang di antaranya sebagai berikut:
a. Perbandingan sosial
Manusia cenderung membandingkan dirinya terhadap orang lain. Bila individu membandingkan diri secara positif terhadap kelompok yang setara, maka semakin besar kemungkinan untuk mencapai kesehatan dan kepuasan hidup subjektif ( Ryff & Essex, dalam Jurnal The Interpretation of Life Experience And Well – Being: The Sample Case of Relocations, Lakoy, 2009).
8
b. Perwujudan penghargaan
Individu di pengaruhi oleh sikap yang ditunjukan oleh orang lain terhadap dirinya, dan semakin lama ia akan memandang dirinya sesuai pandangan orang lain terhadap dirinya. Umpan balik yang di terima individu dan orang-orang yang signifikan bagi dirinya pada saat mengalami pengalamam hidup tertentu merupakan suatu mekanisme evaluasi diri.
c.
Pemusatan psikologis
Konsep diri terbentuk atas masa lalu dan berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis individu. Sebelumya harus diketahui dulu sejauh mana peristiwa dan dampaknya memempengaruhi aspek utama atau aspek samping dari identitas diri individu, yang berarti bahwa terjadinya perubahan kesejahteraaan psikologis pada individu.
Ryff (1995) berpendapat bahwa pengalaman dalam hidup berpotensi mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah pengalaman yang dipandang oleh individu tersebut sebagai pengalaman yang sangat berpengaruh pada komponen – komponen hidupnya. Pengalaman tersebut mencakup berbagai
9
bidang kehidupan dalam periode hidup, yang masing – masing memiliki tantangan tersendiri dalam menjalaninya. Sebagai contohnya, memiliki bakat dan di kembangkan sehingga meraih prestasi bakat.
2.2
Pengertian Auditor Internal Internal Auditor ialah orang atau badan yang melaksanakan aktivitas internal auditing. Oleh sebab itu Internal Auditor senatiasa berusaha untuk menyempurnakan dan melengkapi setiap kegiatan dengan penilaian langsung atas setiap bentuk pengawasan untuk dapat mengikuti perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks. Dengan demikian Internal Auditor muncul sebagai suatu kegiatan khusus dari bidang akuntansi yang luas yang memanfaatkan metode dan teknik dasar dari penilaian (Committe on Auditing procedures, Statement on Auditing Statement Net, AICPA, New York, 1973, hal 15). Definisi audit internal menurut International Standards for the Professional Practice of Internal Auditing (SPPIA) adalah suatu kegiatan assurance dan konsultasi (consulting) yang independen dan objektif yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi suatu organisasi. Kegiatan-kegiatan tersebut membantu organisasi yang bersangkutan mencapai tujuan – tujuannya dengan mengevaluasi dan memperbaiki efektivitas proses
10
manajemen risiko, pengendalian, dan tata kelola (governance) melalui pendekatan yang teratur dan sistematik. Kegiatan assurance meliputi kegiatan penilaian bukti – bukti oleh seorang auditor internal secara objektif sebagai dasar pemberian opini atau kesimpulan yang independen mengenai suatu proses, sistem, dan sebagainya. Sifat dan lingkup kegiatan assurance ditentukan oleh auditor internal. Namun di samping auditor internal sebagai penilai, terdapat pihak lain yang terlibat dalam kegiatan assurance, yaitu pemilik proses yang dinilai (process owner) dan pengguna hasil penilaian (the user). Dengan demikian terdapat tiga pihak yang terlibat dalam penugasan. 2.2.1
Ruang Lingkup Internal Auditor Ruang lingkup internal audit antara lain meliputi evaluasi terhadap aktivitas pengendalian, sistem informasi, dan risk assesment yaitu antara lain: a. Evaluasi terhadap kecukupan struktur organisasi, kebijakan dan prosedur yang menggambarkan sikap manajemen puncak dan direksi dalam membentuk lingkungan pengendalian perusahaan. b. Evaluasi terhadap business plan dan kecukupan perencanaan operasi serta penetapan strategi yang akan dilaksanakan oleh perusahaan. c. Penelaahan Kinerja (Performance Appraisal), melalui evaluasi terhadap pelaksanaan rencana kerja serta strategi yang telah dilaksanakan. 11
d. Evaluasi pengolahan informasi (Information Processing), melalui evaluasi terhadap laporan – laporan intern (keuangan dan non keuangan) untuk mendeteksi adanya kesalahan, penyimpangan, pelanggaran dan fraud serta untuk mengevaluasi reliabilitas laporan tersebut dalam pengambilan keputusan manajemen. e. Evaluasi terhadap pengendalian fisik (Physical Controls), meliputi pengamanan yang memadai, seperti fasilitas yang diamankan, otorisasi terhadap akses informasi dan fasilitas yang diamankan, dokumentasi, perhitungan berkala, dan perbandingan dengan catatan pengendalian. f. Evaluasi terhadap pemisahan fungsi (Segregation of Duties) untuk menilai kecukupan pemisahan fungsi antara otorisasi transaksi, pencatatan transaksi, dan penyimpanan aktiva yang berkaitan. g. Audit
kepatuhan
(Compliance
Audit)
terhadap
peraturan,
ketentuan, kebijakan intern, manual dan standard operating procedures yang ada. h. Aktivitas
pemantauan
(Continuous
Monitoring),
yang
dilaksanakan melalui pengawasan terhadap tindak lanjut hasil audit, perbaikan dan improvement yang dilaksanaka.
12
2.2.2
Fungsi dan Tujuan Internal Auditor a. Mengevaluasi
dan
menilai
sistem
pengendalian
secara
independen. b. Memastikan adanya kesesuaian dengan prosedur, peraturan, hukum, dan kebijakan yang berlaku c. Memberi
kepastian
kepada
manajemen
bahwa
kebijakan
dilaksanakan secara efektif dan efisien d. Melakukan kerjasama dengan auditor eksternal 2.2.3
Kategori Pemeriksaan Internal Auditor a. Financial Audit: menguji kebenaran pencatatan akuntansi (baik informasi keuangan dan operasional). b. Operasional Audit: fokus pada keekonomisan dan efisiensi penggunaan sumberdaya dalam pencapaian tujuan organisasi. c. Internal Control Audit: melakukan review terhadap sistem informasi
akuntansi
untuk
kebijakan
pengendalian
menilai
internal
keterkaitannya
dan
keefektifan
dengan dalam
perlindungan asset. 2.2.4
Manfaat Internal Auditor Beberapa manfaat yang seharusnya dapat diambil oleh manajemen dari adanya audit internal:
13
Mengawasi kegiatan – kegiatan yang tidak dapat diawasi sendiri oleh manajemen
2.2.5
Mengidentifikasi dan meminimalkan risiko
Memvalidasi laporan ke manajemen
Membantu manajemen pada bidang – bidang teknis
Membantu proses pengambilan keputusa
Menganalisis masa depan-bukan hanya masa lalu
Membantu manajer mengelola perusahaan
Indenpendensi Internal Auditor a. Indenpendensi Dalam Program Audit Bebas dari intervensi manajerial atas program audit Bebas dari intervensi atas prosedur audit Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit selain yang memang diisyaratkan untuk sebuah proses audit. b. Indenpendensi Dalam Verifikasi
Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva dan karyawan yang relevan dengan audit yang dilakukan
Mendapat kerja sama yang aktif pihak manajemen selama verifikasi
Bebas dari usaha manajerial yang membatasi aktivitas yang diperiksa atau membatasi perolehan barang bukti
14
Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat proses audit.
c. Indenpendensi Dalam Pelaporan
Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari fakta-fakta yang dilaporkan.
Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang signifikan dalam laporan audit.
Menghindari penggunaan kata – kata yang menyesatkan dalam melaporkan fakta, opini dan rekomendasi.
Bebas dari usaha untuk meniadakan pertimbangan auditor mengenai fakta atau opini dalam laporan audit internal.
2.3
Hambatan – Hambatan Yang Dihadapi Auditor. Hampir semua perusahaan besar menerapkan fungsi internal audit untuk melihat sejauh mana masing – masing bagian dalam perusahaan tersebut mematuhi kebijaksanaan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh pimpinan perusahaan. Namun dalam prakteknya tidak jarang menjadi tumpul karena kesalah pemahaman, tidak saja oleh masing – masing bagian yang di audit tetapi juga internal auditornya sendiri yang tidak benar menafsirkan tanggung jawab yang sebenarnya. Lalu kondisi yang sering muncul adalah seorang Internal Auditor akan dimusuhi karena dianggap sebagai mata – mata. Tentu saja hal ini akan menyebabkan tujuan semula dibentuknya fungsi Internal Auditor tidak tercapai.
15
2.4
Faktor – faktor penghambat penunjangan keberhasilan fungsi Internal Auditor.
Pengalaman yang dimiliki oleh seorang Internal Auditor belum cukup.
Seorang Internal Auditor adalah dia mau menunjukkan prestasinya kalau dia bisa menderetkan kesalahan – kesalahan orang lain.
Pihak manajemen menilai jika Internal Auditor tidak menemukan kesalahan berarti Internal Auditor tidak bekerja
Internal Auditor dianggap sebagai mata – mata direksi
Pihak manajemen tidak membuka akses lebih luas kepada Internal Auditor untuk memeriksa laporan keuangan perusahaan.
Hasil-hasil audit dari Internal Auditor tidak ditunjang dengan informasi-informasi yang lengkap (dibatasi).
Pihak direksi tidak memberi kepercayaan sepenuhnya kepada Internal Auditor untuk mengaudit laporan keuangan.
Pandangan bahwa internal audit mengganggu kegiatan
Kesulitan membentuk criteria
Tanggapan unit yang diperiksa
Diragukan independensinya
16
Eselonering atau jenjang jabatannya tidak sejajar dengan direktur, melainkan sedikit dibawah para direktur eksekutif yang kegiatannya harus diperiksa
(Sumber: Laboratorium Akuntansi Lanjut A, Universitas Gunadarma)
2.5
Perkembangan Dewasa Awal Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Masa remaja yang ditandai dengan pencarian identitasdiri, pada masa dewasa awal, identitas diri ini didapat sedikit – demi sedikit sesuai dengan umur kronologis dan mental agenya. Secara umum, mereka yang tergolong dewawa muda (young) ialah mereka yang berusia 20 – 40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang dewawa muda termauk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically transition), transisi secara intelektual (cognitive transition), serta transis peran sosial (social role transition). Menurut Vailant (1998), membagi masa dewasa awal menjadi tiga masa, yaiyu masa pembentukan (20 – 30 tahun) dengan tugas perkembangan mulai memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan danmenembangkan persahabatn. Masa konsolidasi (30 – 40 tahun) yaitu masa konsolidasi karier dan memperkuat ikatan perkawinan. Masa transisi (sekitar usia 40 tahun), merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang diperoleh.
17
2.5.1
Ciri – Ciri Perkembagan Dewasa Awal adalah: a. Usia reproduktif (Reproductive Age) Masa dewasa adalah masa usia reproduktif. Masa ini ditandai dengan membentuk rumah tangga, tetapi masa ini bisa ditunda dengan beberapa alasan. b. Usia memantapkan letak kedudukan (Setting down age) Dengan
pemantapan
kedudukan
(settle
down),
seseorang
berkembang pola hidupnya secara individual yang mana dapat menjadi ciri khas seseorang sampai akhir hayat. Ini adalah masa dimana seseorang mengatur hidup dan bertanggung jawab dengan kehidupannya. c. Usia Banyak Masalah (Problem age) Masa ini adalah masa yang penuh dengan banyak masalah. Jika seseorang tidak siap memasuki tahap ini, dia akan kesulitan dalam menyelesaikan tahap perkembangannya. Persoalan yang dihadapi seperti persoalan pekerjaan/jabatan, persoalan teman hidup maupun persoalan keuangan, semuanya memerlukan penyesuaian di dalamnya. d. Usia tegang dalam hal emosi (emostional tension) Banyak orang dewasa muda mengalami kegagalan emosi yang berhubungan dengan persoalan – persoalan yang dialaminya seperti persoalan jabatan, perkawinan, keuangan dan sebagainya.
18
e. Masa keterasingan sosial Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang ke dalam pola kehidupan orang dewasa, yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga, hubungan dengan teman – teman kelompok sebaya semakin menjadi renggang, dan berbarengan dengan itu keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang. (Erikson: 34). f. Masa komitmen Mengenai
komitmen,
Bardwick
(dalam
Hurlock:
250)
mengatakan: “Nampak tidak mungkin orang mengadakan komitmen untuk selama – lamanya. Hal ini akan menjadi suatu tanggung jawab yang terlalu berat untuk dipikul”. g. Masa Ketergantungan Masa dewasa awal ini adalah masa dimana ketergantungan pada masa dewasa biasanya berlanjut. Ketergantungan ini mungkin pada orang tua, lembaga pendidikan yang memberikan beasiswa sebagian atau penuh atau pada pemerintah karena mereka memperoleh pinjaman untuk membiayai pendidikan mereka.
19
h. Masa perubahan nilai Beberapa alasan terjadinya perubahan nilai pada orang dewasa adalah karena ingin diterima pada kelompok orang dewasa, kelompokkelompok sosial dan ekonomi orang dewasa. i. Masa Kreatif Bentuk kreativitas yang akan terlihat sesudah orang dewasa akan tergantung pada minat dan kemampuan individual, kesempatan untuk mewujudkan
keinginan
dan
kegiatan-kegiatan
yang
memberikan
kepuasan sebesar – besarnya. Ada yang menyalurkan kreativitasnya ini melalui hobi, ada yang menyalurkannya melalui pekerjaan yang memungkinkan ekspresi kreativitas. 2.5.2
Tugas – Tugas Perkembangan Dewasa Awal a) Memilih teman bergaul (sebagai calon suami atau istri) Setelah melewati masa remaja, golongan dewasa muda semakin memiliki kematangan fisiologis (seksual) sehingga mereka siap melakukan tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya.Dia mencari pasangan untuk bisa menyalurkan kebutuhan biologis.
20
b) Belajar hidup bersama dengan suami istri Dari pernikahannya, dia akan saling menerima dan memahami pasangan masing – masing, saling menerima kekurangan dan saling bantu membantu membangun rumah tangga. c) Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga Masa dewasa yang memiliki rentang waktu sekitar 20 tahun (20 – 40) dianggap sebagai rentang yang cukup panjang.Dari sini, mereka mempersiapkan dan membukukan diri bahwa mereka sudah mandiri secara ekonomis, artinya sudah tidak bergantung lagi pada orang tua. d) Mengelolah rumah tangga Setelah menjalani pernikahan, dia akan berusaha mengelolah rumah tangganya. Dia akan berusaha membentuk, membina, menyesuaikan dan mengembangkan kehidupan rumah tangga dengan sebaik-baiknya agar dapat mencapai kebahagiaan hidup. e) Mulai bekerja dalam suatu jabatan Umumnya dewasa muda memasuki dunia kerja, guna menerapkan ilmu dan keahliannya. Mereka berupaya menekuni karier sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki, serta memberi jaminan masa depan keuangan yang baik.
21
f) Mulai bertangungjawab sebagai warga Negara secara layak Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat dan patuh pada tata aturan perundang – undangan yang berlaku. Baik disadari atau tidak, setiap orang dewasa muda akan melakukan tugas perkembangan tersebut dengan baik. g) Memperoleh kelompok sosial yang seirama dengan nilai – nilai pahamnya. Masa dewasa awal ditandai juga dengan membntuk kelompokkelompok yang sesuai dengan nilai – nilai yang dianutnya.Salah satu contohnya adalah membentuk ikatan sesuai dengan profesi dan keahlian.
22