BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1.
Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff & Keyes, 1995). Ryff dan Keyes (1995) menyatakan pula bahwa psychological wellbeing adalah suatu kondisi psikologi individu yang sehat, ditandai dengan terdapat kondisi psikologi positif dalam proses mencapai aktualisasi diri. Gambaran
tentang
karakteristik
individu
yang
memiliki
psychological well-being merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang
individuasi
(individuation),
konsep
Allport
tentang
kematangan, konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepuasan hidup, dan pandangan Johada tentang tentang kriteria positif individu yang bermental sehat (dalam Ryff, 1989). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa psychological well-being adalah kondisi psikologis yang sehat, ditandai dengan berfungsinya aspek- aspek psikologi positif. Dalam
penelitian
ini,
penulis
mengacu
pada
definisi
psychological well-being yang dinyatakan oleh Ryff dan Keyes (1995). Ryff (dalam Compton, 2005) memperoleh definisi ini berdasarkan proses integrasi dari teori klasik kesehatan mental dengan menambahkan hasil penelitian terbaru dari bidang perkembangan,
11
12
klinis dan psikologi kepribadian, sehingga definisi tersebut dapat mencakup pengertian psychological well-being. Di samping itu, penulis melihat bahwa definisi ini merupakan definisi yang jelas dan mudah dimegerti, sehingga sesuai dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. Oleh karena itu, psychological well-being merupakan suatu gambaran kesehatan psikologis individu yang merujuk pada pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif dalam proses mencapai aktualisasi diri. 2.
Teori Psychological well-being Psychological well-being merujuk pada kualitas fungsi dan pengalaman hidup yang optimal (Onraet, Hiel, & Dhont, 2013) serta aktualisasi potensi individu dalam menjalani kehidupan (Onraet et al., 2013). Di samping itu, psychological well-being
diindikatorkan
dengan keberadaan kebahagiaan dan kepuasan (Ryff, 1989), sehingga psychological well-being kerap kali dikaitkan dengan munculnya dampak positif (Greenglass & Fiksenbaum, 2009). Bradburn (dalam Salami, 2011) mendukung pernyataan ini dengan menyatakan bahwa individu yang memiliki psychological well-being akan memiliki dampak positif yang lebih tinggi dari pada dampak negatif. Bahkan keberadaan
psychological
well-being
dapat
berdampak
pada
terbentuknya mental yang sehat (Edwards, 2006). Individu dengan psychological well-being yang tinggi dapat mengatur tekanan sehari- hari (Arunya & John, 2005), memiliki angka kematian yang rendah (Chida & Steptoe, 2008), percaya diri dalam menghadapi tantangan dan dapat memberi respon pada peristiwa dalam kehidupan dengan baik (Andrews, 2001).
13
Sebaliknya, individu dengan psychological well-being yang rendah rentan mengalami depresi (Michael et al., 2006), sehingga cenderung memiliki angka kematian lebih tinggi (Iwasa, 2006) bahkan ada individu yang memiliki kecenderungan melakukan bunuh diri (Awata dalam Momtaz et al., 2011). 3.
Dimensi Psychological well-being Ryff (1989) menyatakan bahwa psychological well-being terdiri dari 6 dimensi, yaitu: a.
Penerimaan Diri (Self- Acceptance) Penerimaan diri didefinisikan sebagai sebuah ciri utama dari kesehatan mental seperti karakteristik aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan. Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang memiliki sikap positif terhadap dirinya, mau mengakui dan menerima beberapa aspek diri, termasuk kualitas baik maupun yang buruk, dan berpikiran positif terhadap kehidupan di masa lalu. Sedangkan individu yang tidak memiliki penerimaan diri adalah individu yang merasa tidak puas pada keadaan dirinya, merasa kecewa pada beberapa hal yang telah terjadi dalam hidup. Individu tersebut juga dapat merasa bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu dan mempunyai harapan untuk menjadi pribadi yang berbeda.
b.
Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others) Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain adalah
individu
yang
memiliki
kehangatan,
kepuasan,
kepercayaan pada hubungan dengan orang lain, rasa empati,
14
afeksi dan kelekatan. Selain itu, individu dapat memahami arti memberi dan menerima di dalam suatu hubungan antar manusia. Sedangkan, individu yang tidak memiliki hubungan positif dengan orang lain adalah individu yang mempunyai sedikit kedekatan dan rasa percaya pada suatu hubungan dengan orang lain. Individu tersebut juga menemukan kesulitan dalam memiliki kehangatan, keterbukaan dan keterkaitan dengan orang lain. Di samping itu, individu tersebut terisolasi dan merasa frustasi dalam menjalin suatu hubungan interpersonal. Individu tersebut bahkan tidak bersedia melakukan kompromi atau diskusi guna mempertahankan hubungan dengan orang lain. c.
Otonomi (Autonomy) Individu yang memiliki otonomi adalah individu yang mandiri, mampu mengatur perilaku dan dapat mengevaluasi dirinya sesuai standar pribadi. Sedangkan, individu yang tidak memiliki otonomi adalah individu
yang berkaitan pada
ekspektasi, harapan, evaluasi atau penilaian orang lain, sehingga individu mengandalkan penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting. Di samping itu, individu berpikir dan melakukan suatu tindakan berdasarkan tekanan- tekanan sosial. d.
Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Penguasaan
lingkungan
dimiliki
oleh
individu
yang
mempunyai rasa penguasaan dan kompetisi dalam mengelola lingkungan. Individu ini pun mampu mengontrol hal- hal yang berasal dari aktifitas luar, menggunakan kesempatan dengan efektif, serta memilih atau menciptakan suatu konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi.
15
Sedangkan individu yang tidak memiliki penguasaan lingkungan adalah individu yang mempunyai kesulitan dalam mengatur kegiatannya sehari- hari. Selain itu, individu tersebut tidak dapat mengubah atau mengembangkan konteks di sekitarnya, tidak menyadari kesempatan yang ada di sekitarnya, serta tidak berminat mengontrol dunia luar. e.
Tujuan Hidup (Purpose in Life) Individu yang memiliki tujuan dan rasa untuk mengarahkan kehidupan serta merasakan makna dari masa sekarang dan masa lalu adalah individu yang mempunyai tujuan, arah atau sasaran hidup. Selain itu, Individu tersebut memiliki kepercayaan atau keyakinan pada tujuan hidup yang dia tentukan. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki tujuan hidup adalah individu yang kurang memiliki makna, arah dan tujuan hidup. Di samping itu, individu tersebut tidak dapat melihat makna dari masa lalu serta tidak memiliki gambaran atau keyakinan pada yang memberi makna hidup.
f.
Perkembangan Pribadi (Personal Growth) Individu yang memiliki rasa untuk terus berkembang, melihat dirinya sebagai suatu pertumbuhan dan perkembangan serta terbuka dengan pengalaman baru adalah individu yang memiliki perkembangan pribadi. Di samping itu individu tersebut sadar akan kemampuan atau potensi diri, mampu melihat peningkatan perilaku dirinya dari waktu ke waktu, serta dapat melakukan perubahan dengan efektif sesuai perkembangan pengetahuan. Di lain pihak, individu yang tidak mengalami perkembangan pribadi yaitu individu yang tidak mengalami peningkatan dari
16
waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak dapat mengembangkan sikap atau perilaku baru. Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada enam dimensi psychological well-being yang dinyatakan oleh Ryff (1989), sebab dimensi- dimensi tersebut dapat menjelaskan fenomena psychological well-being pada mahasiswa dengan baik. Selain itu, sejauh penelusuran penulis, enam dimensi yang dinyatakan oleh Ryff (1989) telah digunakan dalam banyak penelitian secara luas hingga masa kini. 4.
Faktor- faktor yang Mempengaruhi Psychological well-being a.
Faktor Demografis Faktor demografis mencakup beberapa area seperti, usia, jenis kelamin, budaya dan status ekonomi. Ryff (1989) menyatakan bahwa faktor- faktor demografis seperti perbedaan usia, jenis kelamin dan budaya memiliki kontribusi yang bervariasi terhadap psychological well-being. Bakare (2013) menyatakan bahwa psychological well-being dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Pada faktor jenis kelamin, diketahui bahwa perempuan memiliki psychological well-being yang lebih baik (Eme dalam Bakare, 2013). Jika ditinjau berdasarkan faktor usia, individu yang lebih tua memiliki psychological well-being yang lebih tinggi hingga pada usia tertentu (Isaacowitz & Smith, dalam Bakare, 2013). Selain itu faktor budaya (Grossi, Blessi, Sacco & Buscema, 2012) dan faktor status ekonomi (Bakare, 2013) turut berefek pada psychological well-being.
b.
Kesehatan Fisik
17
Grossi et al. (2012) menyatakan bahwa kesehatan fisik turut berpengaruh pada psychological well-being. Kesehatan fisik memainkan peranan penting dalam mendeterminasi distress maupun psychological well-being. Di samping itu, dinyatakan bahwa psychological well-being memiliki koneksi dengan ketiadaan penyakit (Grossi et al., 2012). c.
Pendidikan Tingkat pendidikan turut mempengaruhi psychological wellbeing. Ketika individu menempuh pendidikan pada level atau tingkatan yang lebih tinggi, individu akan mempunyai informasi yang lebih baik. Kemudian, individu akan memiliki kesadaran yang lebih baik dalam membuat suatu pilihan. Hal ini berdampak pada determinasi diri dan perilaku memelihara kesehatan. Sehingga berdampak pada munculnya psychological well-being (Grossi et al., 2012).
d.
Agama dan Spiritualitas Ivtzan, Chan, Gardner, & Prashar (2013) menyatakan bahwa agama dan spiritualitas memiliki pengaruh pada psychological well-being. Terdapat hubungan positif yang kuat diantaranya, sebab psychological well-being dapat tercipta ketika ada pengembangan spiritual (Hafeez & Rafique, 2013).
e.
Dukungan sosial Dukungan sosial adalah kesadaran individu akan lingkungan dan hubungan interpersonal yang menawarkan sumber kelekatan, integrasi
sosial,
kesempatan
untuk
pemeliharaan
atau
pengasuhan, penghiburan diri sebagai seorang pribadi yang berada di dalam pencapaian peran serta bantuan dan bimbingan
18
yang menyediakan informasi, emosi dan bantuan material (Weinert & Brandt, dalam Zabalegui et al., 2011). Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh Darbyshire dan Kroese (2012) didapati bahwa ketika dukungan sosial ditingkatkan, psychological well-being akan turut meningkat.
f.
Pengalaman emosi Pengalaman emosi seperti rasa senang dapat meningkatkan psychological well-being daripada emosi negatif seperti rasa sedih (Adler & Hersfield, 2012).
g.
Kepribadian Ciri-ciri
kepribadian
menggambarkan
kecenderungan
individu pada sebuah pola perilaku dan pemikiran yang stabil, bukan berdasarkan baik atau buruknya (Schmutte & Ryff dalam Salami, 2011). Penelitian
yang
dilaksanakan
oleh
Salami
(2011)
menunjukan bahwa faktor kepribadian memiliki hubungan yang signifikan dengan psychological well-being. h.
Makna Hidup Menurut Ryff (1989) makna hidup, sebagai pemberian arti terhadap pengalaman hidup memberi kontribusi yang sangat besar terhadap tercapainya psychological well-being. Salah satu pengalaman hidup yang dapat memberikan kontribusi tersebut adalah pengalaman memaafkan orang lain dalam kehidupan sosialnya, dimana terdapat pemulihan hubungan interpersonal.
i.
Locus of Control
19
Locus of control dibagi dibedakan menjadi dua, yaitu internal locus of control dan external locus of control (Rotter, 1966). Bakare (2012) menyatakan bahwa locus of control, yaitu internal locus of control dan external locus of control turut mempengaruhi
psychological
well-being.
Individu
dengan
internal locus of control lebih cenderung memiliki psychological well-being daripada individu yang berorientasi pada external locus of control (Bakare, 2012). Selain itu, banyak teori- teori lain yang menonjolkan hubungan antara internal locus of control dan external locus of control dengan psychological well-being (Spector et al., 2002). Oleh karena itu, locus of control (internal locus of control dan external locus of control) merupakan salah satu elemen penting dalam melihat psychological well-being dalam diri individu (Ganster & Fusilier dalam Spector et al., 2002). B. Locus of Control 1.
Definisi Locus of Control Tiap individu memiliki perbedaan konsep keyakinan dalam meletakan dimana tanggung jawab atas kejadian yang terjadi pada mereka, apakah pada diri mereka sendiri atau pada hal- hal yang berada di luar diri mereka. Konsep keyakinan ini disebut dengan locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, locus of control merupakan konsep keyakinan sejauh mana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri (Robbins & Judge, 2007 dan Robbins & Coulter, 2012). Levenson (1981) menyatakan pula bahwa locus of control merupakan
suatu
harapan
yang
digeneralisasikan
untuk
mempersepsikan penguat sebagai kesatuan dari perilaku dirinya
20
sendiri (internal locus of control) atau sebagai hasil dari kekuatan yang berada di luar kendali, seperti nasib, kebetulan, atau kekuatan lain (external locus of control). Hal tersebut seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh Rotter (1966) bahwa locus of control dibedakan menjadi dua, yaitu internal locus of control dan external locus of control. Oleh karena itu, locus of control merupakan perbedaan konsep keyakinan dalam meletakan tanggung jawab atas kejadian yang terjadi pada diri mereka, apakah sebagai kesatuan dari perilakunya sendiri atau sebagai hasil dari kekuatan diluar kendali, seperti kebetulan, nasib atau kekuatan yang lain. Pada penelitian ini, penulis akan mengacu pada definisi locus of control yang diungkapkan oleh Rotter (1966). Walaupun definisi ini telah lama diungkapkan, definisi ini masih terus digunakan dalam berbagai penelitian secara luas hingga sekarang, sehingga definisi tersebut masih relevan untuk digunakan pada penelitian ini. Di samping itu, penulis merasa bahwa definisi locus of control tersebut dapat menjelaskan internal locus of control dan external locus of control dengan baik, sehingga sesuai dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. 2.
Teori Locus of Control Locus of control dibedakan menjadi dua, yaitu internal locus of control dan external locus of control (Rotter, 1966). Terdapat perbedaan pada individu yang memiliki orientasi keyakinan pada internal locus of control dengan individu yang memiliki orientasi keyakinan pada external locus of control. Individu dengan internal locus of control percaya bahwa diri mereka sendiri yang menguasai nasib mereka sendiri (Kreitner & Kinicki, 1995) dan bertanggung
21
jawab pada segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka (Rotter, 1966). Hal ini menyebabkan mereka dapat mengambil tanggung jawab dan percaya pada standar pribadi mengenai apa yang benar dan apa yang salah guna memandu perilaku mereka (Robbins & Coulter, 2012). Sebaliknya, individu yang memiliki orientasi keyakinan pada external locus of control percaya bahwa keberuntungan, nasib dan kekuatan orang lain merupakan hal- hal yang mengontrol apa yang terjadi dalam kehidupan mereka (Rotter, 1966). Oleh karena itu, individu tersebut cenderung bergantung pada faktor kekuatan dari luar dan tidak mengandalkan kemampuan pribadi dalam menangani konsekuensi perbuatan dan perilaku yang mereka lakukan. (Robbins & Coulter, 2012). 3.
Dimensi Locus of Control Rotter (1966) membagi locus of control ke dalam dua dimensi, yaitu: a.
Internal Locus of Control Ketika
individu
memiliki
keyakinan
bahwa
mereka
bertanggung jawab atas konsekuensi perilaku mereka, mereka adalah individu yang memiliki konsep internal locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, individu yang berorientasi pada internal locus of control adalah individu yang percaya bahwa mereka dapat mengontrol apa yang terjadi pada diri mereka (Robbins & Judge, 2012), nasib dan tujuan hidup mereka sendiri (Robbins & Coulter), serta kejadian dan konsekuensi yang berdampak pada kehidupan mereka (Kreitner & Kinicki, 1995). Oleh karena itu, internal locus of control merupakan konsep keyakinan bahwa yang mengontrol dan bertanggung jawab
22
terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan adalah diri sendiri. b.
External Locus of Control Ketika individu menafsirkan bahwa konsekuensi atau akibat dari perilaku mereka tersebut dikontrol oleh keberuntungan, nasib, atau kekuatan orang lain, individu tersebut memiliki memiliki konsep external locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, individu dengan orientasi keyakinan external locus of control merupakan individu yang percaya bahwa apa yang terjadi pada diri mereka adalah karena keberuntungan atau kesempatan (Robbins & Judge, 2007 dan Robbins & Coulter, 2012). Kreitner & Kinicki (1995) memberi pernyataan pula bahwa external locus of control dimiliki oleh individu yang percaya bahwa kinerja mereka adalah hasil dari keadaan yang berada di luar kontrol mereka, seperti faktor lingkungan, keberuntungan atau nasib. Oleh karena itu, external locus of control merupakan konsep keyakinan bahwa yang mengontrol dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan adalah keberuntungan, kesempatan, nasib atau kekuatan orang lain. Setelah itu, Levenson (1981) mengembangkan dimensi locus of
control yang telah dinyatakan oleh Rotter (1981), yaitu:
a.
Internality Internality (I) ditandai dengan keyakinan bahwa peristiwa yang mereka alami terutama dikendalikan oleh kemampuan dan
23
usaha mereka sendiri. Internality merupakan dimensi yang menyatakan Internal locus of control. b.
Powerful Others Powerful
others
merupakan
kecenderungan
individu
berperilaku dan berpikir bahwa ada orang lain di luar kendali dirinya yang lebih berkuasa dalam mengontrol kehidupan dirinya. Powerful others merupakan dimensi yang menyatakan external locus of control. c.
Chance Sedangkan chance (C) merupakan fokus individu pada persepsi individu mengenai suatu kendali yang memberikan peluang karena takdir, nasib, atau kesempatan. Chance merupakan dimensi yang menyatakan external locus of control. Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan dimensi
internality sebagai dimensi yang menyatakan internal locus of control dan dimensi powerful others serta chance sebagai dimensi yang menyatakan external locus of control (Levenson, 1981) sebagai panduan dalam mengukur internal locus of control dan external locus of
control.
Dimensi
tersebut
merupakan
modifikasi
dan
pengembangan dari dimensi yang telah dinyatakan oleh Rotter (1966), sehingga sesuai dengan definisi yang diacu dalam penelitian ini. C. Perbedaan Psychological well-being ditinjau dari Internal Locus of Control dan External Locus of Control Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencerdaskan bangsa, sesuai dengan pembukaan Undang- undang Dasar 1945 alinea ke- 4. Oleh karena itu, pendidikan diharapkan dapat membentuk sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehingga pendidikan dilaksanakan hingga tingkat
24
pendidikan tinggi. Calon- calon SDM yang menempuh pendidikan di pendidikan tinggi disebut dengan nama mahasiswa. Namun, tidak mudah membentuk mahasiswa menjadi SDM yang berkualitas. Banyak tekanan yang dapat menjadi hambatan, salah satunya adalah tekanan psikologis. Tekanan psikologis tersebut dapat disebabkan oleh perubahan geografis, kerasnya akademisi, lingkungan interpersonal yang baru serta beberapa tekanan lainnya. Bila mahasiswa tak dapat menyesuaikan diri dengan tekanan tersebut, kondisi piskologis mereka akan memburuk (Michael et al., 2006). Hal ini dapat mengarah pada menurunnya tingkat psychological well-being pada diri mahasiswa terkait. Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff & Keyes, 1995). Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi psychological well-being, salah satunya adalah locus of control (April, Dharani, & Peters, 2012). Bakare (2012) menyatakan bahwa terdapat perbedaan psychological well-being ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control. Locus of control merupakan perbedaan konsep keyakinan dalam meletakan dimana tanggung jawab atas kejadian yang terjadi pada mereka, apakah pada diri mereka sendiri atau pada hal- hal yang berada di luar diri mereka (Rotter, 1966). Locus of Control dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu internal locus of control dan external locus of control Rotter (1966). Levenson (1981) mengembangkan dan memodifikasi cara mengukur LOC, yaitu internality (I) guna mengukur internal locus of control, serta powerful others (P) dan chance (C) guna mengukur external locus of control. Individu yang memiliki orientasi pada internal locus of control percaya pada kemampuan yang mereka miliki dalam mencapai suatu
25
tujuan (Klein & Wasserstein, dalam April, Charani & Peters, 2012) dan dalam merubah lingkungan dimana mereka berada (Andrisani & Nestel, dalam April et al., 2012). Mereka juga percaya bahwa kerja keras dan kemampuan pribadi membawa dampak yang positif (Carrim et al., dalam April et al., 2012). Hal ini menyebabkan individu tersebut tidak mudah mengalami tekanan (Llyoyd & Hastings, 2009), karena mereka dapat menyesuaikan diri dengan tekanan yang mereka dapatkan (Roddenberry & Renk, 2010). Mereka bahkan memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan yang muncul (Bakare, 2012). Hal senada turut terjadi pada mahasiswa, dimana mahasiswa yang berorientasi pada internal locus of control tidak mudah mengalami kecemasan (Sandler & Lakey, dalam Llyoyd & Hastings, 2009). Berdasarkan hal ini, dapat dilihat bahwa mahasiswa yang memiliki orientasi pada internal locus of control memiliki kondisi psikologi yang positif. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa internal locus of control cenderung terkait dengan munculnya keadaan psikologis yang positif (Lloyd & Hastings, 2009). Kondisi psikologis yang positif membawa mahasiswa kepada keadaan psikologis yang sehat, sehingga mereka memiliki psychological well-being (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki orientasi pada external locus of control cenderung mengalami kecemasan (Sandler & Lakey, dalam Lloyd & Hastings, 2009). Terdapat pula penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara depresi dengan external locus of control (Benassi, Sweeney, & Dufour, dalam Lloyd & Hastings, 2009). Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa individu dengan external locus of control cenderung mengalami distress (Holder & Levi, dalam April et al., 2012), rentan terhadap depresi (Ganellen & Blaney, dalam April et al., 2012) dan mempunyai respon yang buruk pada antidepresan (Reynaert et
26
al., dalam April et al., 2012). Individu tersebut bahkan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan bunuh diri (Marks ,dalam April et al., 2012). Dapat dilihat bahwa individu yang berorientasi pada external locus of control cenderung tidak memiliki kondisi psikologis yang positif. Ketika tidak memiliki kondisi psikologis yang positif, individu tersebut cenderung tidak memiliki psychological well-being (Barnett & Marshall, dalam Noor, 1995). Berdasarkan hal- hal tersebut, penulis melihat bahwa terdapat perbedaan psychological well-being ketika ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control. Individu yang memiliki orientasi pada internal locus of control cenderung memiliki psychological wellbeing. Sebaliknya, individu yang berorientasi pada external locus of control cenderung tidak memiliki psychological well-being. Hal ini turut dinyatakan oleh Lee (2004) bahwa semakin internal orientasi locus of control¸ semakin tinggi psychological well-being pada individu, begitupun sebaliknya. Lloyd dan Hastings (2009) menyatakan pula bahwa individu yang berorientasi pada internal locus of control cenderung memiliki psychological well-being. Sebaliknya, individu yang berorientasi pada external locus of control cenderung tidak memiliki psychological wellbeing (Lloyd & Hastings, 2009). D. Hipotesis Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah penulis kemukakan, maka dibuat suatu hipotesis penelitian sebagai berikut: 1.
Hipotesis Empirik Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan pada mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW ditinjau dari internal locus of control dan external locus
27
of control. Mahasiswa yang berorientasi pada internal locus of control memiliki psychological well-being yang lebih tinggi dibanding mahasiswa yang berorientasi pada external locus of control. 2.
Hipotesis Statistik H0 : µ1 = µ2
Yang
artinya
“tidak
terdapat
perbedaan
psychological well-being yang signifikan pada mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control” H1 : µ1 ≠ µ2
Yang artinya “terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan pada mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control”.