Psychological Wellbeing Pada Guru yang Bekerja di Yayasan PESAT Nabire Ruth Sumule Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma 2008 Yayasan PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) merupakan yayasan yang memberikan pendidikan berpola asrama secara gratis bagi anak-anak suku Papua. Walaupun Yayasan ini letakknya di Papua, guru-guru yang bekerja di Yayasan PESAT Nabire sebagian besar berasal dari luar papua. Mereka rela meninggalkan kampong halaman demi membantu pendidikan di Papua walaupun diberikan gaji yang rendah serta fasilitas seadanya. Psychological wellbeing berkaitan dengan bagaimana seseorang mampu berfungsi positif secara psikologis dalam hidupnya, yang diukur dengan melihat enam aspek yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup serta pertumbuhan pribadi. Dengan kondisi hidup dan bekerja yang dialami oleh para guru, tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi psychological wellbeing guru yang bekerja di Yayasan PESAT serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkan dan mempengaruhi kondisi psychological wellbeing mereka. Penelitian dilakukan dengan wawacara dan observasi terhadap 3 orang subjek (dengan masing-masing satu significant other) dengan karakteristik merupakan guru sekaligus pengasuh asrama, berasal dari luar Papua dan belum pernah tinggal di Papua sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan kondisi aspek-aspek psychlogical wellbeing yang beragam yang terutama dipengaruhi oleh faktor spiritualitas, pengalaman di masa lalu dan dukungan sosial. Kata kunci: Psychological Wellbeing, Guru Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik, yang berlangsung dalam lingkungan tertentu. Pendidikan terkait dengan nilai-nilai, dimana mendidik berarti memberikan, menanamkan, dan menumbuhkan nilai pada peserta didik. Pendidikan berfungsi membantu peserta didik dalam mengembangkan dirinya, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya ke arah yang positif baik bagi dirinya maupun lingkungannya (Sukmadinata, 2004). Oleh karena itu, pendidikan itu penting sekali bagi setiap individu, bukan hanya sebagai sarana agar seseorang mendapatkan ilmu dan gelar, sehingga dapat diterima oleh masyarakat dengan status yang lebih baik, namun melalui pendidikan, seorang individu dapat mengembangkan potensi dirinya. Seiring dengan berkembangnya waktu, pendidikan sekarang tidak menjadi lebih murah. Kenyataan yang ada adalah bahwa biaya pendidikan mahal harganya. Masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan harus mau mengeluarkan uang yang cukup banyak jumlahnya. Padahal, masih banyak warga negara Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Disebutkan oleh Direktorat Jendral Perbendaharaan (2006), bahwa 1 dari 5
penduduk Indonesia digolongkan sangat miskin. Dengan kenyataan ini, maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak pula warga negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikan. Hal ini terjadi secara merata di seluruh Indonesia. Papua, sebagaimana propinsi lainnya di Indonesia, juga memiliki penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Papua memiliki banyak anak-anak yang masih belum mengecap indahnya bangku pendidikan, dikarenakan biaya pendidikan yang terlampau mahal. Selain itu, ketersediaan sekolahsekolah, terutama di daerah pedalaman, juga masih sangat minim. Oleh karena itu, peningkatan perkembangan pendidikan di Papua sangatlah diperlukan. Yayasan Pelayanan Desa Terpadu (PESAT), merupakan sebuah Yayasan yang dibangun oleh Pendeta Daniel Alexander di Nabire, Papua, yang memiliki visi untuk membina dan menghasilkan generasi baru di Nabire, Papua dengan memberikan kesempatan pendidikan gratis dari TK hingga Perguruan Tinggi bagi anak-anak suku Papua asli. Salah satu program yayasan PESAT, adalah pendidikan yang berpola asrama bagi anak-anak tersebut. Anak-anak diasramakan sejak usia dini (yakni TK), agar mereka dapat bertumbuh secara holistik (menyeluruh).
1
yang terjadi dalam hidup orang tersebut (Ryff, 1989). Dengan kata lain, psychological wellbeing seseorang akan berkaitan dengan psychological functioning atau kemampuan berfungsi secara psikologis orang tersebut dalam menjalani hidupnya. Ketika individu memiliki kondisi psychological wellbeing yang baik maka ia mampu berfungsi secara psikologis dengan baik. Dengan demikian, ia optimal dalam mengerjakan segala tugas dan tanggung jawabnya sebagai individu, ia memiliki hubungan-hubungan baik yang positif dengan orang lain, ia mampu berpegang pada keyakinannnya, ia mampu menangani lingkungan disekitarnya, dan secara umum ia menjadi manusia yang lebih baik dalam hidupnya. Bila hal ini dispesifikasikan dengan dunia pekerjaan, maka tingkat psychological wellbeing seseorang akan berguna dalam komitmen individu, produktivitas kerja individu, target-target dalam pekerjaan, hubungan dengan rekan kerja, serta penguasaan lingkungan kerja (Horn, 2004). Pada umumnya, individu yang memiliki psychological wellbeing yang tinggi merupakan individu yang mendapat dukungan sosial yang baik, tingkat spiritualitas yang tinggi, memliki locus of control internal, mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi serta mempunyai penghasilan yang tinggi dan berada pada tingkatan sosial yang baik (Richter, 2006; Grossbaum & Bates, 2002; Davis & Robinson (dalam Natapura, 2004); Kim & Nesselroade (2003); Sarason (dalam Natapura, 2004)). Sedangkan guru yang bekerja di Yayasan Pesat, dibatasi penghasilan yang rendah. Mengetahui keadaan psychological wellbeing dari guru-guru ini adalah sangat penting. Guru yang memiliki tingkat psychological wellbeing yang tinggi akan berarti memiliki kemampuan untuk berfungsi secara penuh sebagai seorang individu. Dengan mengetahui tingkat psychological wellbeing guru-guru ini, maka dapat dilakukan tindak lanjut untuk memperbaiki dan mempertahankan psychological wellbeing yang lebih tinggi sehingga guru-guru ini dapat berfungsi secara penuh dalam mengajar dan membimbing murid-murid yang bersekolah di Yayasan PESAT.
Perkembangan intelektual dan moral dilayani di sekolah, sementara di asrama mereka diperlengkapi dengan program yang menunjang perkembangan fisik (kesehatan dan gizi), sosial, spiritual dan emosional. Uniknya, para staff pengajar di sekolahsekolah yang dibangun oleh Yayasan ini, sebagian besar merupakan tenaga yang berasal dari luar pulau Papua dan bukan merupakan suku bangsa asli Papua. Kebanyakan dari mereka belum pernah bekerja di Papua sebelum bekerja di Yayasan PESAT. Mereka datang secara sukarela oleh ajakan Pendeta Daniel Alexander untuk menjadi guru di Yayasan PESAT. Mereka tidak datang dengan kepastian akan mendapatkan penghasilan yang tinggi serta fasilitas yang baik, namun, mereka memiliki keinginan dan kemauan untuk ikut membantu mengembangkan anak-anak Papua, khususnya yang ada di kota Nabire. Sebagian dari guru yang bekerja di Yayasan PESAT, selain berprofesi sebagai guru, juga berprofesi sebagai pengasuh asrama. Tanggung jawab mereka terhadap anak-anak dapat dikatakan berlangsung nonstop, selama 24 jam. Sebab mereka bertanggung jawab sebagai pendidik di lingkungan sekolah, dan juga bertanggung jawab sebagai pengasuh di lingkungan asrama. Dengan tanggung jawab yang demikian besar ini, hanya pekerjaan sebagai guru yang diberi gaji oleh Yayasan. Sedangkan pekerjaan sebagai pengasuh asrama tidak diberi gaji atau honor. Selain itu, sekalipun pekerjaan guru di sekolah digaji, jumlahnya tidaklah seberapa. Bahkan bisa dikatakan sangat sedikit sekali. Mengingat bahwa guru-guru yang dimaksud berasal dari luar Papua, bukan suku bangsa asli Papua, rata-rata belum pernah hidup di Papua sebelum bekerja pada Yayasan PESAT, serta memiliki gaji yang bisa dikatakan rendah, maka, pertanyaan yang timbul disini adalah bagaimana kondisi psychological wellbeing guru-guru yang bekerja dengan kondisi-kondisi demikian. Psychological wellbeing merupakan suatu variabel psikologis yang mengukur tentang kondisi sejahtera (well-being) seorang individu dalam hidupnya yang dilihat berdasarkan enam aspek, yaitu penerimaan individu terhadap dirinya, kemampuan individu untuk menguasai lingkungannya, kemampuan untuk bersifat otonom, tingkatan hubungan positif dengan orang lain, pertumbuhan pribadi, serta tujuan individu dalam hidupnya (Ryff, 1989). Tingkat psychological wellbeing seseorang berkaitan dengan tingkat pemfungsian positif
Tinjauan Pustaka Sebelum membahas mengenai psychological wellbieng, terlebih dahulu akan dibahas mengenai wellbeing. Wellbeing merupakan suatu konstruk yang kompleks yang menyangkut pengalaman optimal dan pemfungsian. Konsep dari wellbeing mengacu pada pemfungsian
2
diri dan kejadian yang bermakna dalam hidup (Ryff, dkk, 2006). Perspektif eudaimonik, berfokus pada pemfungsian psikologis dan penyadaran diri (self-realization) (Tennant, dkk, 2007). Ditambahkan oleh Keyes (2006) bahwa wellbeing eudaimonik mengacu pada pemfungsian positif, yang terdiri atas evaluasi individu terhadap kondisi psychological wellbeing diri mereka. Kedua perspektif besar tersebut diatas, merupakan dasar dari pembagian pandangan dari wellbeing seseorang. Perspektif hedonik mendasari pemikiran dan konsep dari subjective wellbeing, sedangkan perspektif eudaimonik mendasari pemikiran dan konsep dari psychological wellbeing. Konsep pertama menyatakan konsep wellbeing sebagai perbedaan antara pengaruh positif dan pengaruh negatif. Menurut konsep ini, keseimbangan antara pengaruh positif dan pengaruh negatif menghasilkan kebahagiaan (Bradburn dalam Ryff & Keyes, 1995). Bradburn menggunakan konsep kebahagiaan ini berdasarkan teori aristotoles tentang nicomachean ethics, yang menyatakan bahwa hal tertinggi dari segala hal baik yang dapat dicapai oleh tindakan manusia adalah kebahagiaan (diistilahkan oleh bahasa Yunani sebagai eudaimonia). Konsep Bradburn ini memberikan sedikit perhatian pada pengertian dasar dari wellbeing. Kelemahan dari konsep ini adalah bahwa pada awalnya, tujuan utama dari penelitian yang dilaksanakan oleh Bradburn (dalam Ryff & Keyes, 1995) bukan untuk mendefinisikan struktur dasar dari psychological wellbeing, melainkan berfokus pada perubahan sosial. Sehingga, demonstrasi bahwa pengaruh positif dan pengaruh negatif lebih terlihat sebagai penemuan yang tidak disengaja dari penelitian dengan tujuan lain. Kelemahan yang kedua adalah dipertanyakan apakah kata yunani eudaimonia, sudah dengan benar diterjemahkan sebagai kebahagiaan. Waterman (dalam Ryff & Keyes, 1995) berpendapat bahwa terjemahan seperti itu menunjukkan ada ekuivalensi antara eudaimonia dan hedonism, yang merupakan kebalikan dengan perbedaan yang penting antara kepuasan dari keinginan benar dan keinginan yang salah. Dari perspektif alternatif ini, eudaimonia lebih cocok dan tepat didefinisikan sebagai perasaan-perasaan yang mendampingi perilaku searah dengan konsisten dengan potensi asli seseorang (Waterman dalam Ryff & Keyes, 1995). Konsep kedua menyatakan pemfungsian positif sebagai kunci dari indikator wellbeing. Dipandang sebagai komponen kognitif,
psikologis yang optimal (Ryan & Deci, 2001). Ryan & Deci (2001) mengatakan bahwa, bagaimana kita mendefinisikan wellbeing dapat mempengaruhi cara kita mempraktekan pemerintahan, pengajaran, terapi, pengasuhan orang tua terhadap anak, dan preaching serta semua upaya yang diarahkan untuk mengubah manusia demi perubahan kehidupan yang lebih baik, sehingga ini membutuhkan suatu visi dari apa yang disebut sebagai ”lebih baik”. Wellbeing mental merupakan suatu konstruk yang sangat kompleks. Selama lebih dari 20 tahun, penelitian mengenai wellbeing mental dipandu oleh dua konsep utama dari pemfungsian positif (Ryff, 1989). Pada saat itu, penelitian mengenai wellbeing masih berkembang, sehingga penelitian-penelitian tersebut mengacu pada istilah psychological wellbeing. Konsep-konsep ini sekarang dibawahi oleh konsep utama, wellbeing mental (Tennant, dkk, 2007). Dikemukakan oleh Tennant, dkk (2007) bahwa terdapat dua perspektif besar dalam wellbeing mental, yaitu perspektif hedonik (hedonism) dan eudaimonik (eudaimonism). Hedonism adalah pendekatan mengenai psychological wellbeing tentang pencapaian kenikmatan (Thompson, 2006). Hedonism berfokus pada perasaan kebahagiaan jangka pendek yang berlangsung di masa sekarang (present time) (Grossbaum & Bates, 2002). Pendekatan ini berfokus pada kebahagiaan dan kesukaan (Ryff, dkk, 2006). Perspektif hedonik berfokus pada pengalaman subjektif terhadap kebahagiaan dan kepuasan hidup (disebut sebagai subjective wellbeing oleh (Ryff, C.D., Keyes, C.L.M., & Shmotkin, D., 2002). Ditambahkan oleh Keyes (2006) bahwa aliran hedonism berfokus juga pada assessment dari individu terhadap kepuasan dan kebahagiaan hidupnya, dan merupakan dimensi spesifik dari subjective wellbeing yang terdiri atas persepsi terhadap ketertarikan akan hidup, kebahagiaan dan kepuasan hidup serta keseimbangan antara pengaruh negatif dan positif dalam hidup. Eudaimonism adalah pendekatan mengenai psychological wellbeing tentang kejadian dalam hidup yang bermakna (purposeful life engagement) (Thompson, 2006). Sebagai kontras dari kebahagiaan hedonism, eudaimonism berfokus pada jalur pemenuhan dari potensi seseorang lewat pengusahaan target-target jangka lama yang penting. Pemenuhan target-target jangka lama tersebut membutuhkan usaha, disiplin diri, dan pengorbanan (Grossbaum & Bates, 2002). Pendekatan ini berfokus pada pengembangan
3
yang dihadapi oleh individu selama berusaha untuk berfungsi secara penuh dan menyadari potensi dan talenta unik dirinya (Keyes, 2006). Dimensi dari psychological wellbeing adalah penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup, serta pertumbuhan pribadi (Ryff, 1989). Pengukuran psychological wellbeing dengan menggunakan dimensi-dimensi ini telah terbukti dapat merefleksikan cara-cara individu dalam berespon terhadap suatu pengalaman spesifik, misalnya seperti pengalokasian komunitas individu (Ryff & Essex, dalam Grossbaum & Bates, 2002). Pengukuran dengan dimensi-dimensi Ryff ini juga telah terbukti relevan dan sesuai dalam penelitian yang melibatkan akumulasi pengalaman individu sepanjang hidupnya (Ryff & Singer; Ryff, Lee, Essex & Schmutte, dalam Grossbaum & Bates, 2002). Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kondisi psychological wellbeing seseorang yaitu usia, jenis kelamin dan status sosial (Ryff, 1989), spiritualitas (Ritcher, 2006), pendidikan (Grossbaum & Bates, 2002), dukungan sosial (Kim & Nesselroade, 2003) serta pengalaman di masa lalu (Ryff & Heidrich (dalam Grossbaum & Bates, 2002).
kepuasan hidup dilihat dapat menjadi pelengkap dari kebahagiaan, sehingga merupakan dimensi yang berpengaruh pada pemfungsian positif (Andrews & McKennell; Andrews & Withey; Bryant & Veroff, Campbell, Converse & Rodgers, dalam Ryff 1995). Sama dengan konsep pengaruh positif dan pengaruh negatif, pengukuran kepuasan hidup dihasilkan dengan suatu perhatian pada aplikasi praktis dari penemuan penelitian, bukan kejelasan dari pengertian esensial wellness (Sauer & Warland, dalam Ryff 1995). Ryff (1989) menyatakan pengertian psychological wellbeing sebagai suatu variabel psikologis yang mengukur tentang kondisi wellbeing seorang individu dalam hidupnya yang dilihat berdasarkan enam aspek, yaitu penerimaan individu terhadap dirinya, kemampuan individu untuk menguasai lingkungannya, kemampuan untuk bersifat otonom, tingkatan hubungan positif dengan orang lain, pertumbuhan pribadi, serta tujuan individu dalam hidupnya (Ryff, 1989). Psychological wellbeing ini berkaitan dengan seberapa baik seseorang mampu untuk berfungsi secara positif dalam hidupnya (Andrews & McKennell; Andrews & Withey; Bryant & Veroff, Campbell, Converse & Rodgers, dalam Ryff 1995). Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa psychological wellbeing merupakan perspektif eudaimonik dari wellbeing mental yang berfokus pada pemfungsian psikologis dan penyadaran diri (self-realization) dan mengukur sejauh apa seorang individu melihat dirinya dalam usaha-usaha pemenuhan dan pengembangan aspirasi dirinya, yang dilihat berdasarkan enam aspek, yaitu penerimaan individu terhadap dirinya, kemampuan individu untuk menguasai lingkungannya, kemampuan untuk bersifat otonom, tingkatan hubungan positif dengan orang lain, pertumbuhan pribadi, serta tujuan individu dalam hidupnya. Elemen dari psychological wellbeing diturunkan dari tema Aristotoles tentang eudaimonia, yang menyatakan bahwa kondisi yang paling tinggi yang dapat dicapai oleh tindakan manusia dapat diwujudkan dalam konsep aktualisasi diri, pemfungsian secara penuh (fully functioning), individuasi, maturasi, dan perkembangan masa dewasa yang sukses yang menghasilakan penyadaran akan kebaikan, maka, Ryff (1989) mengintegrasikan literatur-literatur tersebut kedalam pengukuran psikometrik yang merefleksikan suatu model multidimensional dari psychological wellbeing. Model multidimensional ini terdiri atas enam dimensi dari psychological wellbeing, yang masing-masing mengindikasikan tantangan
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana psychological wellbeing guru-guru yang bekerja di Yayasan PESAT, Nabire. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi kondisi psychological wellbeing guru yang bekerja di Yayasan PESAT. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini merupakan guru yang sekaligus berfungsi sebagai pengasuh asrama, yang bukan sukubangsa Papua, tidak berdomisili di Papua, serta tidak pernah bekerja di Papua sebelumnya. Subjek penelitian ini merupakan laki-laki dan perempuan yang berusia 23-40 tahun. Dalam penelitian ini, diambil 3 orang subjek yang memenuhi karakteristik maksud penelitian, dengan masing-masing 1 orang significant other. Metode Penelitian Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara dan observasi. Sedangkan analisis data dilakukan dengan teknik teknik analisa induktif karena peneliti tidak memaksa diri untuk hanya
4
kehidupan masa lalu; khawatir dengan kualitas-kualitas pribadi tertentu; serta berharap bahwa dirinya berbeda dari keadaan dirinya sekarang.
membatasi penelitian pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaannya, melainkan mencoba memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. Analisis induktif dimulai dengan observasi khusus, yang akan memunculkan tema-tema, kategori-kategori dan pola hubungan diantara kategori-kategori tersebut (Poerwandari, 1998). Keakuratan penelitian didapatkan dengan menggunakan triangulasi yang merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 1994). Wawancara dan Observasi dilakukan terhadap subjek penelitian, sedangkan hanya wawancara yang dilakukan terhadap significant other.
Tabel 1. Gambaran Dimensi Penerimaan Diri Kriteria Penerimaan Diri Memiliki sikap positif terhadap diri
Tinggi
Rendah
Hasil Penelitian Hasil penleitian menunjukkan bahwa terdapat kondisi psychological wellbeing yang bervariasi pada subjek 1, 2 dan 3, dimana psychological wellbeing yang lebih tinggi didapatkan pada subjek 2 dan 3. Sedangkan, subjek 1 memiliki kondisi psychological wellbeing yang lebih rendah. Pembahasan mengenai kondisi psychological wellbeing subjek penelitian akan dibahas menurut masing-masing aspek dari psychological wellbeing.
Subjek 2
3
X
√
X
X
√
√
X
√
√
√
X
X
√
X
X
√
X
√
√
X
X
Dimensi Hubungan yang Positif dengan Orang Lain Subjek 1 dan 2 memiliki dimensi hubungan positif dengan orang lain yang rendah, namun subjek 3 memiliki dimensi hubungan positif dengan orang lain yang lebih tinggi. Subjek 1, 2, dan 3 memiliki hubungan yang dekat dan saling percaya dengan orang lain, namun bagi subjek 1 dan 2, hubungan yang dekat dan saling percaya ini hanya terjalin dengan orang-orang dalam lingkungan Yayasan PESAT saja. Subjek 1 terutama merasa sulit untuk bersikap hangat dan terbuka serta khawatir terhadap orang lain, dimana hanya akan peduli ketika orang itu memiliki arti bagi subjek. Hal ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989), bahwa individu yang memiliki dimensi hubungan positif dengan orang lain yang tinggi, merupakan individu yang memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain; perhatian dengan kesejahteraan orang lain; mampu untuk memiliki empati yang kuat, afeksi dan keintiman; serta memahami mengenai prinsip memberi dan menerima dalam hubungan-hubungan manusia. Sedangkan, individu yang memiliki dimensi hubungan positif dengan orang lain yang rendah, merupakan individu yang memiliki sedikit hubungan yang dekat dan saling
Dimensi Penerimaan Diri Secara umum, subjek 2 dan 3 memiliki dimensi penerimaan diri yang tinggi, namun subjek 1 menunjukkan dimensi penerimaan diri yang lebih rendah. Subjek 2 dan 3 menunjukkan sikap yang menerima segala aspek diri, sedangkan subjek 1 merasa khawatir dengan karakter tertentu dari dirinya dan berharap bahwa dirinya berbeda dari keadaan dirinya sekarang. Selain itu, subjek 2 dan 3 menunjukkan sikap yang positif terhadap masa lalu, sedangkan subjek 1 justru merasa kecewa dengan masa lalunya. Hal ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989), bahwa individu yang memiliki dimensi penerimaan diri yang tinggi, merupakan individu yang memiliki sikap positif terhadap diri (self); menghargai dan menerima berbagai aspek dari diri (self) termasuk kualitas yang baik dan buruk; serta merasa positif tentang kehidupan di masa lalu. Sedangkan, individu yang memiliki penerimaan diri yang rendah, merupakan individu yang merasa tidak puas dengan diri (self); kecewa dengan apa yang telah terjadi di
5
Menghargai dan menerima berbagai aspek dari diri termasuk kualitas yang baik dan buruk Merasa positif tentang kehidupan di masa lalu Merasa tidak puas dengan diri Kecewa dengan apa yang telah terjadi di kehidupan masa lalu Khawatir dengan kualitas-kualitas pribadi tertentu Berharap bahwa dirinya berbeda dari keadaan dirinya sekarang
1
menyukainya. Selain itu, subjek 1 juga lebih bergantung pada orang lain untuk mengambil keputusan, terutama keputusan yang berkaitan dengan asrama. Hal ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989), bahwa individu yang memiliki dimensi otonomi yang tinggi, merupakan individu yang mampu mengambil keputusan sendiri (self-determining) dan mandiri; mampu untuk bertahan terhadap tekanan sosial dalam hal berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu; mengatur perilaku dari dalam diri; serta mengevaluasi diri berdasarkan standarisasi pribadi. Sedangkan, individu yang memiliki otonomi yang rendah, merupakan individu yang prihatin terhadap ekspektasi dengan evaluasi dari orang lain; bergantung pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting; serta mengikuti tekanan sosial dalam hal berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu.
percaya dengan orang lain; sulit untuk bersikap hangat dan terbuka serta khawatir tentang orang lain; terisolasi dan frustrasi dalam hubungan-hubungan interpersonal; serta tidak mau melakukan penyesuaian untuk mempertahankan ikatan penting dengan orang lain. Tabel 2. Gambaran Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain Kriteria Hubungan Positif dengan Orang Lain Memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain Perhatian dengan kesejahteraan orang lain Mampu untuk Tinggi memiliki empati yang kuat, afeksi dan keintiman Memahami mengenai prinsip memberi dan menerima dalam hubunganhubungan manusia Memiliki sedikit hubungan yang dekat dan saling percaya dengan orang lain Sulit untuk bersikap hangat dan terbuka serta khawatir tentang orang lain Terisolasi dan Rendah frustrasi dalam hubunganhubungan interpersonal Tidak mau melakukan penyesuaian untuk mempertahankan ikatan penting dengan orang lain
1
Subjek 2
3
√
√
√
X
√
√
√
√
√
Tidak muncul
Tidak muncul
Tidak muncul
Tabel 3. Gambaran Dimensi Otonomi Kriteria Otonomi
√
√
X
√
X
X
Tidak muncul
Tidak muncul
Tidak muncul
X
√
Tinggi
X
Dimensi Otonomi Secara umum, subjek 2 dan 3 memiliki dimensi otonomi yang tinggi, namun subjek 1 menunjukkan dimensi otonomi yang lebih rendah. Baik subjek 2 dan 3 menunjukkan sikap yang mampu untuk mengambil keputusan sendiri dan tidak bergantung pada pendapat orang lain. Subjek 2 dan 3 juga selalu mempertimbangkan baik-baik pendapat orang lain sebelum mengikutinya, dan tidak suka untuk diatur-atur oleh orang lain dalam berpikir dan bertingkah laku. Berbeda dengan subjek 2 dan 3, subjek 1 lebih cenderung untuk mengikuti permintaan / kemauan orang lain walaupun sebenarnya subjek 1 tidak
Rendah
Subjek 2
3
X
√
√
X
√
√
Tidak muncul
√
√
Tidak muncul
√
√
√
X
√
√
X
X
√
X
X
Dimensi Penguasaan Lingkungan Subjek 2 dan 3 memiliki dimensi penguasaan lingkungan yang tinggi, namun subjek 1 menunjukkan kemampuan untuk menguasai lingkungan yang lebih rendah. Berbeda dengan subjek 1 yang tidak mampu untuk mengatur waktunya dengan baik, subjek 2 dan 3 memiliki kemampuan yang baik dalam
6
Mampu mengambil keputusan sendiri dan mandiri Mampu untuk bertahan terhadap tekanan sosial dalam hal berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu Mengatur perilaku dari dalam diri Mengevaluasi diri berdasarkan standarisasi pribadi Prihatin terhadap ekspektasi dan evaluasi dari orang lain Bergantung pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting Tidak dapat bertahan/mengikuti tekanan sosial dalam hal berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu
1
mengatur waktu dan kegiatan-kegiatannya. Berbeda dengan subjek 1 yang lebih banyak bingung ketika kesempatan datang dan merasa takut untuk menggunakan kesempatan tersebut, subjek 2 justru antusius terhadap pengalaman baru dan selalu berusaha menggunakan kesempatankesempatan yang datang untuk pengembangan diri. Hal senada dimiliki oleh subjek 3, dimana subjek menggunakan kesempatan yang datang untuk mengembangkan diri, walaupun selalu mempertimbangkannya terlebih dahulu sebelum ikut menggunakannya. Selain itu, subjek 2 dan 3 mampu untuk memilih konteks lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai pribadinya, sedangkan subjek 1 lebih memlih untuk mengikuti pendapat umum, dan bertahan saja dengan apa yang ada dalam lingkungannya, walaupun dirinya tidak menyukainya. Hal ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989), bahwa individu yang memiliki dimensi penguasaan lingkungan yang tinggi, merupakan individu yang memiliki suatu rasa terhadap penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan; mengontrol pengaturan yang kompleks dari eksternal aktivitas; menggunakan secara efektif kesempatan-kesempatan di sekitar (lingkungan) serta mampu untuk memilih atau membuat konteks yang cocok / sesuai dengan keperluan dan nilai-nilai pribadi. Sedangkan, individu yang memiliki kemampuan penguasaan lingkungan yang rendah, merupakan individu yang memiliki kesulitan dalam mengatur urusan sehari-hari; merasa tidak mampu untuk merubah atau meningkatkan konteks di sekitarnya; tidak menyadari akan kesempatan-kesempatan disekitarnya; serta kurang memiliki perasaan kontrol terhadap dunia eksternal.
Rendah
1
Subjek 2
3
X
√
√
X
√
√
√
X Tinggi
X
√
√
7
X
X
√
X
X
√
X
X
Tidak muncil
Tidak muncil
Tidak muncil
Tabel 5. Dimensi Tujuan dalam Hidup Kriteria Penerimaan Diri
X
√
Dimensi Tujuan dalam Hidup Secara umum, subjek 1, 2 dan 3 memiliki dimensi tujuan dalam hidup yang tinggi. Baik subjek 1, 2 dan 3 memiliki tujuan-tujuan dalam hidupnya serta tau apa yang ingin dicapainya dalam hidup. Selain itu, subjek 1, 2 dan 3 memegang kepercayaan yang memberikan harapan dan tujuan dalam hidup. Subjek 1, 2 dan 3 juga merasa bahwa kehidupan masa lalu dan kehidupan saat ini memliki makna. Khususnya bagi subjek 1 dan 3, walaupun telah mengalami kehidupan masa lalu yang kurang harmonis dan tidak terlalu baik, subjek 1 dan 3 tetap merasa bahwa kehidupan masa lalunya itu memiliki arti dan makna bagi dirinya. Hal ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989) bahwa individu yang memiliki dimensi tujuan dalam hidup yang tinggi, merupakan individu yang memiliki tujuan-tujuan dalam hidup dan rasa terhadap arah; merasa ada makna pada kehidupan saat ini dan masa lampau; serta memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup; memiliki target dan objektif untuk hidup. Sedangkan, individu yang memiliki dimensi tujuan dalam hidup yang rendah, merupakan individu yang kurang memiliki rasa arti dalam hidup; memiliki sedikit tujuan / target; kurang memiliki rasa terhadap arah; tidak melihat adanya tujuan dari kehidupan lampau; serta tidak memiliki harapan atau kepercayaan yang memberikan arti hidup.
Tabel 4. Dimensi Penguasaan Lingkungan Kriteria Penguasaan Lingkungan Memiliki suatu rasa terhadap penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan Mengontrol pengaturan yang Tinggi kompleks dari kegiatan eksternal Menggunakan secara efektif kesempatankesempatan di sekitar (lingkungan) Mampu untuk
memilih atau membuat konteks yang cocok / sesuai dengan keperluan dan nilai-nilai pribadi Memiliki kesulitan dalam mengatur urusan sehari-hari Merasa tidak mampu untuk merubah atau meningkatkan konteks di sekitarnya Tidak menyadari akan kesempatankesempatan disekitarnya Kurang memiliki perasaan kontrol terhadap dunia eksternal
Memiliki tujuantujuan dalam hidup dan rasa terhadap arah Merasa ada makna
1
Subjek 2
3
√
√
√
√
√
√
Rendah
pada kehidupan saat ini dan masa lalu Memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup Memiliki target dan objektif untuk hidup Kurang memiliki rasa arti dalam hidup Memiliki sedikit tujuan / target Kurang memiliki rasa terhadap arah Tidak melihat adanya tujuan dari kehidupan lampau Tidak memiliki harapan atau kepercayaan yang memberikan arti hidup
√
√
√
√
√
√
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
individu yang memiliki rasa stagnasi pribadi; kurang memiliki rasa terhadap peningkatan atau perkembangan seiring dengan waktu; merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan; serta merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau perilaku baru. Tabel 6. Gambaran Dimensi Pertumbuhan Pribadi Kriteria Pertumbuhan Pribadi
Dimensi Pertumbuhan Pribadi Secara umum, subjek 1, 2 dan 3 memiliki dimensi pertumbuhan pribadi yang baik. Baik subjek 1, 2 maupun 3 melihat dirinya sebagai individu yang terus bertumbuh dan berkembang. Subjek 1, 2 dan 3 selalu berusaha untuk mengembangkan potensinya dengan meningkatkan kemampuankemampuan yang sudah dimilikinya serta mempelajari kemampuan yang belum dimilikinya. Subjek 1, 2 dan 3 juga banyak mengalami peningkatan dalam hal sikap dan perilaku. Hal ini terutama dirasakan terjadi setelah tinggal dan bekerja di Yayasan PESAT. Subjek 1 lebih dapat menerima berbagai karakter orang lain, subjek 2 banyak belajar untuk lebih mengendalikan emosinya, sedangkan subjek 3 belajar untuk mengurangi perasaan mindernya dan lebih lagi terbuka kepada orang lain untuk mendiskusikan permasalahan yang dialaminya. Selain itu, baik subjek 1, 2 dan 3 terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru. Hal ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989) bahwa individu yang memiliki dimensi pertumbuhan pribadi yang tinggi, merupakan individu yang memiliki perasaan terhadap perkembangan yang berlangsung terus-menerus; melihat diri sebagai individu yang terus bertumbuh dan berkembang (expanding); terbuka terhadap pengalaman baru; memiliki rasa menyadari potensi diri; melihat peningkatan dalam diri dan perilaku seiring dengan waktu; serta berubah dalam cara-cara yang merefleksikan lebih banyak pengetahuan diri dan efektivitas. Sedangkan, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang rendah, merupakan
Tinggi
Rendah
Kurang memiliki rasa terhadap peningkatan atau perkembangan seiring dengan waktu Merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan Merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau perilaku baru
8
Memiliki perasaan terhadap perkembangan yang berlangsung terusmenerus Melihat diri sebagai individu yang terus bertumbuh dan berkembang Terbuka terhadap pengalaman baru Memiliki rasa menyadari potensi diri Melihat peningkatan dalam diri dan perilaku seiring dengan waktu Berubah dalam cara-cara yang merefleksikan lebih banyak pengetahuan diri dan efektivitas Memiliki rasa stagnasi pribadi
1
Subjek 2
3
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Tida k mun cul
Tida k mun cul
Tida k mun cul
X
X
X
Tida k mun cul
Tida k mun cul
Tida k mun cul
X
X
X
masa lalu yang lebih baik. Pengalamanpengalaman di masa lalu ini mempengaruhi kemampun subjek 1 dan 2 serta 3 dalam menjalin hubungan yang poitif dengan orang lain. Karena masa lalu yang kurang harmonis, subjek 1 dan 3 memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, dan memiliki beberapa kesulitan dalam menerima diri. Hal ini didukung oleh teori dari Ryff & Heidrich (dalam Grossbaum & Bates, 2002), yang mengemukakan bahwa hubungan interpersonal merupakan prediktor yang paling kuat dalam menentukan penerimaan diri, penguasaan lingkungan, dan hubungan yang positif dengan orang lain. Namun, walaupun subjek 3 memiliki pengalaman di masa lalu yang kurang baik, hal ini tidak terlalu mempengaruhi dimensidimensi psychological wellbeing-nya sehingga kondisi psychological wellbeing-nya secara umum adalah cenderung tinggi. Hal ini terutama dikarenakan oleh faktor spiritualitas. Subjek 3 banyak belajar dari kehidupan rohani bahwa dengan masa lalu yang tidak baik, Tuhan memiliki maksud yang terbaik atas dirinya. Sehingga, subjek 3 mengganggap bahwa kehidupan masa lalunya itu merupakan pengajaran Tuhan atas dirinya, sehingga memiliki makna dan diterima oleh subjek 3. Dari hasil penelitian yang dilakukan, faktor yang paling banyak memiliki pengaruh terhadap kondisi psychological wellbeing guruguru yang bekerja di Yayasan PESAT adalah faktor pengalaman di masa lalu, yang diikuti oleh faktor spiritualitas dan faktor dukungan sosial.
Faktor yang mempengaruhi Psychological Wellbeing Subjek
Faktor
Tabel 7. Faktor yang mempengaruhi Psychological wellbeing Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 - Spiritualitas menurun - Dukungan Sosial baik - Pengalama n Masa Lalu kurang baik
- Spiritualitas baik - Dukungan Sosial baik - Pengalaman di Masa Lalu baik
- Spiritualitas baik - Dukungan Sosial baik - Pengalaman di Masa Lalu kurang baik
Secara umum, faktor spiritualitas mempengaruhi kondisi psychological wellbeing pada ketiga subjek. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian, dimana subjek 2 dan 3 memiliki spiritualitas yang baik, yang mengakibatkan kondisi psychological wellbeing yang juga tinggi. Sedangkan, subjek 1 memiliki spiritualitas menurun, yang mengakibatkan kondisi psychological wellbeing yang lebih rendah. Hal ini didukung oleh teori Ritcher (2006), bahwa tingkat spiritualitas yang tinggi pada seorang individu berasosiasi dengan karakteristik kepribadian yang sehat (psychological wellbeing yang lebih tinggi). Selain faktor spiritualitas, faktor lain yang juga memberikan pengaruh terhadap kondisi psychological wellbeing ketiga subjek adalah faktor dukungan sosial. Hal ini dapat dilihat, dimana baik subjek 1, 2 dan 3 mendapat dukungan dari keluarga, teman dan rekan kerja di PESAT yang mempengaruhi dimensidimensi psychological wellbeing subjek. Bagi subjek 1, 2 maupun 3, dukungan sosial ini terutama mempengaruhi kemampuan untuk mengembangkan diri. Bagi subjek 1 dan 2, dukungan orang lain dirasakan berbentuk kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh orang lain untuk mengembangkan potensi subjek. Sedangkan subjek 3 akan sangat segan untuk mencoba hal baru dan mengembangkan potensi ketika tidak merasakan adanya dukungan dari orang lain. Hal ini didukung oleh teori Rook (dalam Kim & Nesselroade, 2003) juga mengemukakan bahwa ikatan sosial yang bermasalah memiliki pengaruh lebih besar pada psychological wellbeing ketimbang ikatan sosial yang mendukung (supportive). Faktor lain yang juga turut mempengaruhi kondisi psychological wellbeing ketiga subjek adalah faktor pengalaman di masa lalu. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian, dimana subjek subjek 1 dan 3 memiliki masa lalu yang kurang baik, sedangkan subjek 2 memiliki
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti terhadap tiga orang subjek dan masing-masing satu orang significant other, yang merupakan guru yang bekerja di Yayasan PESAT Nabire, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum, terdapat variasi kondisi psychological wellbeing pada subjek yang diteliti. Psychological wellbeing yang paling baik didapat pada subjek 2 dan 3. Sedangkan subjek 1 memiliki psychological wellbeing yang cenderung lebih rendah. Tabel 9. Gambaran Dimensi-Dimensi Psychological Wellbeing Subjek Subjek Subjek Dimensi/ 1 2 3 Subjek Penerimaan Rendah Tinggi Tinggi Diri Hubungan Rendah Rendah Tinggi Positif dengan
9
Orang Lain Otonomi Penguasaan Lingkungan Tujuan dalam Hidup Pertumbuhan Pribadi
Rendah Rendah
Tinggi Tinggi
Tinggi Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
lalu yang tidak menyenangkan, kemampuan subjek untuk menjalin hubungan dengan orang lain sudah lebih baik dan mengalami perkembangan dalam menerima diri. Faktor lain yang memegang peranan penting adalah faktor dukungan sosial. Bagi subjek 1, 2 maupun 3, dukungan sosial ini terutama mempengaruhi kemampuan untuk mengembangkan diri. Bagi subjek 1 dan 2, dukungan orang lain dirasakan berbentuk kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh orang lain untuk mengembangkan potensi subjek. Sedangkan bagi subjek 3, dukungan ini sangat penting untuk memotivasi subjek dalam terus mengembangkan diri dan perilaku. Faktor lainnya yang memberikan pengaruh terhadap psychological wellbeing subjek adalah faktor spiritualitas. Kehidpan spiritual subjek 2 dan 3 yang baik, mengakibatkan kondisi psychological wellbeing yang juga tinggi. Sedangkan, kehidupan spiritual subjek 1 mengalami penurunan, mengakibatkan kondisi psychological wellbeing yang lebih rendah.
Jika dilihat dari masing-masing dimensi psychological wellbeing, baik subjek 1, 2 dan 3 menunjukkan dimensi tujuan dalam hidup dan pertumbuhan pribadi yang tinggi. Hal ini berarti baik subjek 1, 2 dan 3 memiliki kemampuan yang baik dalam menentukan tujuan-tujuan hidup dan memiiliki keyakinan bahwa kehidupannya memiliki makna dan bertujuan, serta bertumbuh dan berkembang sebagai seorang individu. Sedangkan untuk dimensi penerimaan diri, otonomi, serta penguasaan lingkungan, subjek 2 dan 3 menunjukkan kemampuan yang lebih tinggi ketimbang subjek 1. Ini berarti subjek 2 dan 3 lebih mampu untuk memegang suatu sikap yang positif terhadap diri, lebih mampu untuk mengambil keputusan sendiri serta memiliki ketetapan diri, dan lebih mampu untuk secara efektif mengatur kehidupan dan lingkungan sekitar, dibanding dengan subjek 1. Selain itu, subjek 3 juga menunjukkan kemampuan yang lebih tinggi dibanding subjek 1 dan 2 dalam menjalin hubungan yang positif dengan orang lain. Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kondisi psychological wellbeing guru yang bekerja di Yayasan PESAT Nabire adalah faktor pengalaman di masa lalu, dukungan sosial, serta kondisi spiritualitas. Faktor pengalaman di masa lalu memiliki pengaruh yang cukup banyak terhadap kondisi masing-masing dimensi psychological wellbeing dan keseluruhan psychological wellbeing subjek. Pengalaman di masa lalu ini, terutama bagi subjek 1 dan 2 memiliki dampak terhadap cara subjek menjalin hubungan dengan orang lain, serta cara subjek menerima diri, juga terhadap kondisi psychological wellbeing secara umum. Hal ini dapat terlihat dari pengalaman masa lalu yang tidak harmonis yang menjadikan subjek 1 memiliki banyak kesulitan dalam menerima dirinya serta menerima orang lain. Sepadan dengan itu, hal ini juga dapat terlihat dari subjek 2 yang mana memiliki pengalaman di masa lalu yang cukup menyenangkan yang tergambar dari kondisi psychological wellbeing yang tinggi. Lain halnya dengan subjek 3, yang walaupun memiliki pengalaman di masa
DAFTAR PUSTAKA Abbott, R.A., Ploubidis, G.B., Huppert, F.A., Kuh, D., Wadsworth, M.E.J, & Croudace, T.J. (2006). Psychometric evaluation and predictive validity of ryff’s psychological wellbeing items in a UK birth cohort sample of women. Health and Quality of Life Outcomes, 4. Diakses dari http://www.hqlo.com/content/4/1/76 tanggal 27 April 2008 Abror, A.R. (1993). Psikologi pendidikan. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya An, J.S. & Cooney, T.M. (2006). Psychological wellbeing in mid to late life: the role of generativity development and parent-child relationships across the lifespan. International Journal of Behavioral Development, 30, 410-421 Anon. (2008). Teacher. Wikipedia, The Free Online Encyclopedia. Diakses dari http://www.wikipedia.org, tanggal 27 Maret 2008 Berliner, D.C. & Calfee, R.C. (1996). Handbook of educational psychology. New York: MacMillan Library Reference USA Blanco, A. & Diaz, D. (2007). Social order and mental health: A social wellbeing approach. Psychology in Spain, 11 61-71. Diakses dari http://www.psychologyinspain.com /content/full/2007/11006.pdf, tanggal 4 April 2008
10
Bryant, F.B. & Veroff, J. (1982). The strucure of psychological wellbeing: A sociohistorical analysis. Journal of Personality and Social Psychology, 43, 653-673 Djiwandono, S.E.W. (2004). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia Grossbaum, M.F. dan Bates, G.W. (2002). Correlates of psychological wellbeing at midlife: The role of generativity, agency and communion, and narrative themes. International Journal of Behavioral Develompment, 26, 120-127. Diakses dari http://jbd.sagepub.com/cgi/reprint/26/2/120 , tanggal 5 April 2008 Harrington, R. & Loffredo, D.A. (2007). Private self-consciousness factors and psychological wellbeing. Journal of Psychiatry, Psychology and Mental Health, 1. Diakses dari http://www.scientificjournals.org/journals20 07/articles/1086.htm, tanggal 5 Januari 2008 Horn, J.E.V., Taris, T.W., Schaufeli, W.B., & Schreurs, P.J.G. (2004). The structure of occupational wellbeing: A study among dutch teachers. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 77, 365375 Jannah, N. (2006). Gambaran stress dan strategi coping pada pemuda pengangguran. Skripsi. Tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Keyes, Corey L. M. (2006). Subjective wellbeing in mental health and human development research worldwide: An introduction. Social Indicators Research, 77, 1-10 Kim, J.E. & Nesselroade, J.R. (2003). Relationships among social support, selfconcept, and wellbeing of older adults: A study of process using dynamic factor models. International Journal of Behavioral Development, 27, 49-65 Moleong, L.J. (2002). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Patton, M.Q. (1990). Qualitative evaluation & research methods, 2nd edition. California: Sage Publications, Inc. Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi UI Richter, R.J. (2006). Correlation of Psychological Wellbeing and Christian Spiritual Wellbeing at a Small Christian
Liberal Arts College in the Urban Midwest. Diakses dari http://www.charis.wlc.edu/publications/sym posium_spring 01/richter1.pdf, tanggal 30 April 2008 Ryan, R.M. & Deci, E.L. (2001). On happiness and human potentials: A review of research on hedonic and eudaimonic wellbeing. Annual Reviews Psychology, 52, 141-166 Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological wellbeing. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081 Ryff, C.D. & Keyes, C.L.M. (1995). The structure of psychological wellbeing revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727 Ryff, C.D., Keyes, C.L.M., & Shmotkin, D. (2002). Optimizing wellbeing: The empirical encounter of two traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82, 1007-1022 Ryff, C.D., Love, G.D., Urry, H.L., Muller, D., Rosenkranz, M.A., Friedman, E.M., Davidson, R.J., & Singer, B. (2006). Psychological well-being and ill-being: Do they have distinct or mirrored biological correlates?. Psychother Psychosom, 75, 85-95 Santrock. (1998). Educational Psychology. Boston: McGraw Hill Soemanto, W. (1998). Psikologi pendidikan: Landasan kerja pemimpin pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta Tennant, R., Hiller, L., Fishwick, R., Platt, S., Joseph S., Weich, S., Parkinson, J., Secker, J., & Stewart-Brown, S. (2007). The warwick-edinburgh mental wellbeing scale (WEMMBS): development and UK validation. Health and Quality of Life Biomed Central. Diakses dari http://www.hqlo.com/content/pdf/14777525-5-63.pdf, tanggal 18 April 2008 Thompson, P. (2006). Researcher explores psychological wellbeing and physical health wins seligman award. Diakses dari http://www.medicalnewstoday.com/ articles/ 55196.php, tanggal 3 Maret 2008 Woolfolk, A.E. (1998). Educational psychology. Boston: Allyn & Bacon Wijaya, H. (2005). Selamat Datang Sahabat PeNa!. Diakses dari http://www.anak indonesia membangun.org, tanggal 4 Februari 2008
11