Jurnal Psikologi Indonesia 2009, Vol. VI, No. 2, 97-106, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
SIKAP TERHADAP TIPE CINTA EROS DAN LUDUS, FANTASI EROTIS, DAN PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA MAHASISWA PRIA YANG SUDAH PERNAH BERHUBUNGAN SEKS (ATTITUDE TOWARD EROS AND LUDUS TYPES OF LOVE, EROTIC FANTASY, AND PREMARITAL SEXUAL BEHAVIOR IN MALE COLLEGE STUDENTS WHO HAVE HAD SEXUAL INTERCOURSE) Wahyu Rahardjo Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Perilaku seks pranikah adalah suatu fenomena sosial yang dijumpai di mana-mana dan dapat terbentuk karena sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus, dan fantasi erotis. Mahasiswa pria adalah salah satu kelompok yang sangat potensial melakukan perilaku seks pranikah. Tujuan dari studi ini adalah untuk melihat sumbangan sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus, dan fantasi erotis terhadap perilaku seks pranikah pada mahasiswa yang pernah berhubungan seks. Sekitar 99 orang mahasiswa pria dari lima fakultas yang berbeda dari sebuah universitas X di Jakarta menjadi partisipan. Perilaku seks pranikah berkorelasi dengan usia masturbasi pertama kali, selisih usia pacaran pertama kali dan masturbasi pertama kali, IPK, sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus, dan fantasi erotis. Perilaku seks pranikah juga berbeda jika dilihat berdasarkan usia hubungan seks pertama kali, pikiran untuk berhenti melakukan perilaku seks pranikah, perasaan terkait dengan hubungan seks pertama, dan evaluasi hubungan seks pertama. Sumbangan sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus, dan fantasi erotis secara bersama-sama terhadap perilaku seks pranikah sebesar 21.8%. Oleh karenanya, variabel-variabel lain harus dipertimbangkan sebagai prediktor perilaku seks pranikah untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif. Kata Kunci: sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus, fantasi erotis, perilaku seks pranikah, mahasiswa pria Premarital sexual behavior is a widespread social phenomenon and could be shaped by attitude toward eros and ludus love styles, and also erotic fantasy. Male college students constitute a very potential group for doing this activity. The aim of this study was to know the contribution of attitude toward eros and ludus love styles, and erotic phantasy to premarital sexual behavior in male college students who had had sexual intercourse. Ninety-nine male students from five different faculties in a university in Jakarta participated in the study. Premarital sexual behavior correlated with initial masturbation age, time lapse between initial masturbation age and initial dating age, GPA, attitude toward eros and ludus love styles, and erotic fantasy. Premarital sexual behavior also varied in initial sexual intercourse age, reason for stopping premarital sexual behavior, feeling related to first time sexual intercourse, and first time sexual intercourse evaluation. Contribution of attitude toward eros and ludus love styles and erotic fantasy to premarital sexual behavior is 21.8%. Hence, other variables must be considered as predictors of premarital sexual behavior to have more comprehensive mainframe. Key Words: attitudes toward eros and ludus love styles, erotic fantasy, premarital sexual behavior, college male students
Seksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kian sering diperbincangkan dewasa ini. Pada awalnya, seksualitas sendiri dipandang sebagai aspek yang menyenangkan, natural dan sehat dalam kehidupan manusia, memiliki peran penting dalam adat istiadat, agama, seni, moralitas, hukum, sekaligus tabu jika dikaitkan dengan norma di mana masyarakat tertentu berada (Bruess & Greenberg, 1994; Goldenberg, dkk., 1999). Salah satu contoh nyata dari hal ini adalah perilaku seks pranikah. Perilaku seks
pranikah adalah perilaku seks yang dilakukan di luar ikatan pernikahan (Wrightsman & Deaux, 1981). Di dalam kultur Timur, perilaku seks masih dianggap pantas dan baik jika dilakukan dalam payung pernikahan, di luar itu adalah tidak pantas dan melanggar nilai agama. Kemudian, terjadi pergeseran pola pikir dalam masyarakat, terutama ketika memandang perilaku seks pranikah. Perilaku seks pranikah bergerak dari deviant behavior menjadi normative behavior (Benokraitis, 1996; Pedersen, Samuelsen & Wichstorm,
98
WAHYU RAHARDJO
2003). Salah satu fakta yang terungkap adalah dengan semakin dininya usia remaja melakukan hubungan seks pertamanya (Ramirez-Valles, Zimmerman & Newcomb, 1998). Di Indonesia sendiri beberapa penelitian memperlihatkan semakin tingginya permisivitas dalam perilaku seks pranikah yang ditunjukkan oleh remaja saat berpacaran (Angga, 2001; Cynthia, 2003; Mayasari & Hadjam, 2000; Rachmani, 2005). Beranjak dari semua golongan usia yang terlibat aktivitas seks aktif yang paling menarik untuk dibicarakan adalah mahasiswa yang berada dalam golongan remaja akhir dan dewasa awal. Hal ini sesuai dengan rentang usia remaja yang dikaitkan dengan masalah seksualitas, yaitu antara 15 sampai 24 tahun (WHO dalam Moeliono, 2004), sebagai usia di mana kematangan seks sudah memasuki masa-masa puncak. Mahasiswa pria sendiri adalah golongan yang sangat potensial melakukan perilaku seks pranikah (Newcomb, Huba & Bentler, 1986). Hal ini bisa terjadi karena kecenderungan pria yang lebih hedonis dalam seksualitas, memiliki dorongan seks yang lebih besar dibandingkan wanita, mempersepsikan seks sebagai pencapaian prestasi, petualangan, demonstrasi kekuasaan serta pelepasan ketegangan fisik, dan secara tradisional berposisi sebagai individu yang memulai serta mengendalikan suatu interaksi seksual (Cooper, Shapiro & Powers, 1998; Dodge dkk., 2004; Dworkin & O’Sullivan, 2005; Franken, 2002; Knox, Cooper & Zusman, 2001). Bentuk-bentuk perilaku seks pranikah yang biasa dilakukan adalah (1) kissing atau perilaku berciuman, mulai dari ciuman ringan sampai deep kising, (2) necking atau perilaku mencium daerah sekitar leher pasangan, (3) petting atau segala bentuk kontak fisik seksual berat tapi tidak termasuk intercourse, baik itu light petting (meraba payudara dan alat kelamin pasangan) atau hard petting (menggosok-gosokkan alat kelamin sendiri ke alat kelamin pasangan, baik dengan berbusana atau tanpa busana), hingga intercourse atau penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin wanita. Penelitian Alan Gutmar Institute (dalam Schvaneveldt dkk., 2001) menyatakan bahwa kira-kira sekitar 27%
remaja pria sudah melakukan hubungan seks pada usia 15 tahun dan meningkat sekurangkurangnya sekitar 85% pada usia 19 tahun. Beberapa penelitian baik dengan responden remaja pria dan wanita menunjukkan angka 15.7 tahun, 16 tahun dan 16.8 tahun (Baldwin & Baldwin, 2000; Clawson & Reese-Weber, 2003; Lonczak dkk. 2002; Mashegoane dkk., 2002). Beberapa bahkan memperlihatkan angka di bawah 15 tahun (Cochran dkk., 2002; Kershaw dkk., 2004). Secara lebih lanjut disebutkan oleh Richmond-Abbott (1992) bahwa pria memiliki kecenderungan untuk lebih permisif melakukan hubungan seks. Hal ini terjadi karena mereka lebih banyak memberikan respon positif terhadap pengalaman hubungan seks pertama mereka sehingga hubungan-hubungan seks berikutnya lebih mudah terjadi. Menurut Conger (dalam Angga, 2001), terdapat dua kelompok individu yang melakukan perilaku seks pranikah. Pertama adalah serial monogamist. Kelompok ini cenderung melakukan hubungan seks dengan pasangan tetapnya. Kedua adalah sexual adventurer. Kelompok ini memiliki kecenderungan berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seks. Bagi kelompok ke dua ini, seks dan cinta adalah hal yang berbeda. Seks digunakan untuk mengenal pasangan secara lebih jauh dan tidak ada kewajiban untuk setia. Sedangkan Reiss (dalam Crawford & Popp, 2003) memaparkan sikap individu terhadap perilaku seks pranikah dalam empat kategori. Pertama adalah abstinence di mana hubungan seks sebelum pernikahan adalah salah dan tidak dapat dibenarkan. Kedua adalah permissiveness with affection di mana hubungan seks bisa dibenarkan bagi pria dan wanita selama berlandaskan cinta di antara keduanya. Ketiga adalah permissiveness without love di mana hubungan seks antara pria dan wanita dapat dibenarkan meskipun tanpa dasar cinta. Keempat adalah double standard di mana hubungan seks pranikah dapat dibenarkan bagi pria namun tidak bagi wanita. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seks pada remaja, misalnya saja masalah cinta. Salah satu teori tentang cinta yang paling menarik untuk dibicarakan adalah teori Colors of Love dari sosiolog Kanada, John A. Lee. Teori ini menyatakan enam tipe cinta,
WAHYU RAHARDJO
mulai dari eros, ludus, storge, mania, pragma dan agape (Lee, 1988). Hanya saja, pria lebih identik dengan tipe eros dan ludus mengingat pria lebih mementingkan kedekatan fisik dan seksual dibandingkan wanita yang lebih memilih kedekatan emosional dan intimasi seperto ciri khas storge, mania dan pragma (Duck, 1998; Sprecher & Regan, 2000). Tipe eros sendiri adalah tipe di mana individu lebih sering terlibat dalam nafsu dan pertemuan secara fisik, memandang seks sebagai sesuatu yang penting, mengedepankan daya tarik fisik dibandingkan cinta (Duck, 1998; Fricker & Moore, 2002; Lee, 1988; Sprecher & Regan, 2000). Sementara itu, tipe ludus adalah bentuk cinta main-main yang tidak terlalu serius di mana tidak ada komitmen yang mengikat (Fricker & Moore, 2002). Oleh karenanya, individu dengan tipe ini lebih mementingkan kesenangan bercinta, dan suka akan perselingkuhan ringan (Duck, 1998). Jika individu bersikap positif terhadap kedua tipe ini maka dirinya akan lebih mudah terlibat dalam aktivitas seksual apa pun (Frey & Hojjat, 1998). Hal lain yang dapat mempengaruhi perilaku seks pranikah adalah fantasi erotis atau fantasi seks. Paling tidak satu kali dalam hidupnya manusia berfantasi erotis, di mana biasanya dilakukan sekitar usia 11 dan 13 tahun dan pria melakukannya terlebih dahulu dibandingkan wanita (Kelly, 2001; Zurbriggen & Yost, 2004). Fantasi erotis bermanfaat dalam memfasilitasi gairah seksual serta sebagai pelarian dari tertutupnya kemungkinan menyaksikan secara nyata objek-objek seksual beserta perilaku yang terlibat di dalamnya (Crooks & Baur, 1990; Martinson, 2002). Khusus bagi pria, fantasi erotis yang dilakukan lebih banyak menggambarkan perilaku seks, terutama visualisasi akan hubungan seks, baik dengan orang yang dicintai, mantan kekasih, kekasih imajiner, dan orang asing, dibandingkan hal-hal yang berbau romantisme (Crooks & Baur, 1990; Doskoch, 1995; Psychological Self-Help, 2005). Di sisi lain, semakin sering fantasi erotis dilakukan individu akan semakin besar pula kemungkinan keterlibatan individu dalam aktivitas seksual. Berdasarkan pemaparan keterangan di atas dapat dibuat hipotesis terdapat hubungan yang kuat antara sikap terhadap tipe cinta
99
eros dan ludus, dan fantasi erotis terhadap perilaku seks pranikah pada mahasiswa pria yang sudah pernah berhubungan seks. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melihat kontribusi sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus, dan fantasi erotis terhadap perilaku seks pranikah pada mahasiswa pria yang sudah pernah melakukan hubungan seksual. Adapun hal-hal lain yang ingin diketahui adalah korelasi antara variabelvariabel penunjang, seperti usia, jumlah pacaran seumur hidup, status pacaran, latar belakang pendidikan orang tua, tingkat perkuliahan, asal fakultas, usia masturbasi pertama kali dan usia melakukan hubungan seksual pertama kali, kategori partisipan perilaku seks pranikah dan sikap terhadap perilaku seks pranikah. Metode Penelitian Proses pengambilan data berlangsung mulai tanggal 1 Desember 2005 sampai 19 Januari 2006. Pertama kali diberikan 290 kuesioner kepada partisipan, dan hanya 288 buah saja yang bisa dianalisa dikarenakan cacat dalam skala ketiga. Setelah diseleksi secara lebih lanjut, diketahui hanya sekitar 99 partisipan saja yang bisa dianalisa dikarenakan hanya mereka yang telah melakukan hubungan seks sebagai bentuk perilaku seks pranikah terjauh. Teknik sampling yang digunakan adalah sampling purposif dengan populasi tidak terbatas dikarenakan tidak diketahui secara pasti nominal jumlah dari mahasiswa secara keseluruhan. Mahasiswa pria dalam penelitian ini diambil dari Universitas X di Jakarta, yang berasal dari lima fakultas. Pertama adalah fakultas Psikologi sebanyak 23.23% (n = 23) dengan perincian Tingkat 1 (n = 5), Tingkat 2 (n = 1), Tingkat 3 (n = 5), Tingkat 4 (n = 4) dan non kelas (n = 8), fakultas Teknik sebanyak 22.22% (n = 22) dengan perincian Tingkat 1 (n = 5), Tingkat 2 (n = 3), Tingkat 3 (n = 3), Tingkat 4 (n = 7) dan non kelas (n = 4), fakultas Ekonomi sebanyak 29.29% (n = 29) dengan perincian Tingkat 1 (n = 4), Tingkat 2 (n = 9), Tingkat 3 (n = 8), Tingkat 4 (n = 3) dan non kelas (n = 5), fakultas Ilmu Komputer sebanyak 15.15% (n = 15) dengan perincian Tingkat 2 (n = 3), Tingkat 3 (n = 5), Tingkat 4 (n = 5) dan non kelas (n = 2) dan fakultas
100
WAHYU RAHARDJO
Sastra sebanyak 10.10% (n= 10) dengan perincian Tingkat 2 (n = 3), Tingkat 3 (n = 2), Tingkat 4 (n = 5). Mayoritas suku bangsa partisipan adalah Jawa (n = 37; 37.37%), diikuti oleh Sunda (n = 18; 18.18%), Betawi (n = 14; 14.14%), Batak (n= 10; 10.10%), Minang (n = 4; 4.04%), Palembang (n = 4, 4.04%), Manado (n = 3; 3.03%), Maluku (n = 3; 03%), Lampung (n = 2; 2.02%) dan lainnya (n = 4; 4.04%). Mayoritas partisipan masih tinggal bersama orang tua (n = 75; 75.75%). Sisanya tinggal di kost (n = 19; 19.19%), tinggal sendiri (n = 4; 4.04%), dan tinggal bersama saudara (n = 1; 1.01%). Sementara itu, mayoritas partisipan adalah mahasiswa yang murni belajar sebagai mahasiswa dalam arti tidak bekerja (n = 79; 79.79%), sedangkan sisanya adalah mahasiswa sambil bekerja (n = 20; 20.20%). Validitas dalam penelitian ini merupakan validitas konstruk di mana untuk mengukurnya digunakan teknik item total correlation dengan cara mengkorelasikan skor setiap item dengan skor total item (Anastasi & Urbina, 1997). Sementara itu untuk mengetahui reliabilitas digunakan analisi Cronbach (Chaplin, 1999). Sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus diukur dengan menggunakan Skala Sikap terhadap Tipe Cinta Eros dan Ludus yang dibuat oleh penulis dengan melihat karakteristik cinta eros dan ludus berdasarkan aspek dari sikap, yaitu kognitif, afektif dan konatif. Skor skala terentang antara 1 – 6 mulai dari Sangat Sesuai sampai dengan Sangat Tidak Sesuai. Dari 45 item yang diiujicobakan gugur 14 item dan tersisa 31 item sahih dengan validitas berkisar antara 0.3509 – 0.8139. Reliabilitas alat ukur sebesar 0.9163. Variabel fantasi erotis diukur dengan menggunakan Skala Fantasi Erotis yang dibuat oleh penulis berdasarkan isi fantasi erotis, yaitu (1) berhubungan seks dengan seseorang, dan (2) aktivitas seksual lainnya. Skor skala terentang antara 1 – 6 mulai dari Sangat Sesuai sampai dengan Sangat Tidak Sesuai. Dapat diketahui dari 37 item yang diiujicobakan gugur 5 item dan tersisa 32 item sahih dengan validitas berkisar antara 0.4237 – 0.8056. Reliabilitas alat ukur sebesar 0.9509. Variabel perilaku seks pranikah diukur dengan menggunakan Skala Perilaku
Seks Pranikah yang dibuat oleh penulis berdasarkan bentuk-bentuk perilaku seks pranikah, yaitu (1) kissing, mulai dari soft kissing sampai deep kissing, (2) necking, (3) petting, mulai dari soft petting sampai hard petting dan seks oral, dan (4) intercourse atau hubungan seksual. Skor skala terentang antara 1 – 6 mulai dari Sangat Sesuai sampai dengan Sangat Tidak Sesuai. Dapat diketahui dari 38 item yang diiujicobakan gugur 5 item dan tersisa 33 item sahih dengan validitas berkisar antara 0.3259 – 0.8400. Reliabilitas alat ukur sebesar 0.9562. Ada beberapa teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. Guna mengukur korelasi maka digunakan korelasi Pearson, dan anava satu jalur digunakan untuk mengukur perbedaan pada beberapa kelompok partisipan yang memiliki karakteristisk yang berbeda. Sementara itu untuk melihat kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan regresi ganda. Hasil dan Pembahasan Mayoritas partisipan sedang berpacaran (n = 54; 54.54%). Sisanya pernah pacaran tapi sedang kosong (n = 44; 44.44%) dan belum pernah pacaran sama sekali (n = 1; 1.01%). Partisipan memiliki rerata usia 21.07 tahun (SD = 1.93), IPK 2.62 (SD = 0.40), usia masturbasi pertama kali 14.07 tahun (SD = 2.35), usia pacaran pertama kali 15.42 tahun (SD = 2.27), selisih usia pacaran pertama kali dengan masturbasi pertama kali 1.37 tahun (SD = 2.86), usia melakukan hubungan seks pertama kali 17.58 tahun (SD = 2.24), selisih usia masturbasi dan usia melakukan hubungan seks pertama kali 3.50 tahun (SD = 2.76), selisih usia pacaran dengan usia hubungan seks pertama kali 2.14 tahun (SD = 2.27). Mayoritas partisipan memandang hubungan seks pranikah sebagai sesuatu yang boleh dilakukan asal berdasarkan cinta (n = 46; 46.46%). Baik yang berpendapat bahwa hubungan seks pranikah bisa dilakukan tanpa cinta maupun seks hanya bisa dilakukan setelah menikah sama-sama banyak jumlahnya (n = 25; 25.25%). Sisanya memandang seks pranikah hanya boleh dilakukan oleh pria saja dan bukan wanita (n = 3; 3.03%).
WAHYU RAHARDJO
Mayoritas partisipan tergolong pada pelaku hubungan seks pranikah dengan pasangan tetap (n = 72; 72.72%), sedangkan sisanya termasuk pelaku hubungan seks pranikah dengan berganti-ganti pasangan (n = 27; 27.27%). Pacar sebagai pasangan pertama kali hubungan seks pranikah dilakukan disebut paling banyak oleh partisipan (n = 80; 81.63%) diikuti oleh teman (n = 19; 19.38%). Di sisi lain, pacar juga menjadi individu yang disebut paling banyak oleh partisipan sebagai pasangan di mana hubungan seks pranikah paling sering dilakukan (n = 74; 74.74%), diikuti oleh teman (n = 21; 21.21%), dan wanita tuna susila (n = 2; 2.02%). Sebagai suatu fenomena gunung es, fenomena perilaku seks pranikah yang diperlihatkan oleh studi ini banyak memberikan hal menarik. Berdasarkan rerata empirik diasumsikan usia masturbasi pertama partisipan sekitar kelas 2 SMP, usia pacaran pertama sekitar kelas 3 SMP dan usia melakukan hubungan seks pertama sekitar kelas 2 SMA. Usia masturbasi pertama berkaitan dengan kematangan fisik primer dan stimulus seksualitas. Sedangkan usia pacaran pertama berkaitan dengan tugas perkembangan remaja dan perihal lain seperti kelompok teman sebaya. Adapun fakta bahwa rata-rata usia melakukan hubungan seks pertama partisipan adalah sekitar kelas 2 SMA menunjukkan masalah yang cukup mengkuatirkan. Angka 17.58 tahun memperlihatkan angka yang semakin mendekati rerata usia melakukan hubungan seks pertama di masyarakat Barat. Pada titik ini, pengaruh teman sebaya dan media masa sebagai popular culture (Benokraitis, 1996; Prinstein, Meade & Cohen, 2003) berperan besar bagi komparasi kerapatan angka hubungan seks pertama pada penelitian ini dan di Barat. IPK tidak berkorelasi dengan jumlah pacaran seumur hidup, usia masturbasi pertama kali, usia pacaran pertama kali, usia melakukan hubungan seks pertama kali, selisih usia pacaran pertama kali dengan masturbasi pertama kali, selisih usia melakukan hubungan seksual pertama kali dengan masturbasi pertama kali, dan selisih usia melakukan hubungan seks pertama kali dengan pacaran pertama kali. Usia partisipan berkorelasi dengan usia
101
pacaran pertama kali (r = 0.346, p < .01), usia melakukan hubungan seks pertama kali (r = 0.298, p < .01). Namun, usia partisipan tidak berkorelasi dengan IPK, jumlah pacaran seumur hidup, usia masturbasi pertama kali, selisih usia pacaran pertama kali dan masturbasi pertama kali, selisih usia melakukan hubungan seks pertama kali dengan usia masturbasi pertama kali, selisih usia melakukan hubungan seks pertama kali dengan usia pacaran pertama kali. Usia masturbasi pertama kali (M = 14.05, SD = 2.35) berkorelasi dengan usia pacaran pertama kali (M = 15.42, SD = 2.27; r = 0.22, p < .05), dan usia melakukan hubungan seks pertama kali (M = 17.58, SD = 2.24; r = 0.24, p < .05). Sedangkan usia pacaran pertama kali berkorelasi dengan usia melakukan hubungan seksual pertama kali (r = 0.451, p < .01). Selisih usia pacaran pertama kali dengan masturbasi pertama kali (M = 1.37, SD = 2.86) berkorelasi dengan selisih usia hubungan seks pertama kali dengan masturbasi pertama kali (M = 3.50, SD = 2.76; r = 0.653, p < .01), dan selisih usia hubungan seks pertama kali dengan pacaran pertama kali (M = 2.14, SD = 2.27; r = -0.456, p < .01). Adapun selisih usia hubungan seks pertama kali dengan masturbasi pertama kali berkorelasi dengan selisih usia hubungan seks pertama kali dengan usia pacaran pertama kali (r = 0.368, p < .01). Jumlah pacaran seumur hidup berkorelasi dengan usia pacaran pertama kali (r = -0.508, p < .01), selisih usia pacaran pertama kali dengan masturbasi pertama kali (r = -0.405, p < .01), selisih usia melakukan hubungan seks pertama kali dengan pacaran pertama kali (r = 0.363, p < .01). Namun, jumlah pacaran seumur hidup tidak berkorelasi dengan usia masturbasi pertama kali, selisih usia melakukan hubungan seks pertama kali dengan usia masturbasi pertama kali, sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus, fantasi erotis, dan perilaku seks pranikah. Sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus berkorelasi dengan usia melakukan hubungan seks pertama kali (r = -0.341, p < .01), selisih usia hubungan seks pertama kali dengan masturbasi pertama kali (r = -0.292, p < .01), selisih usia hubungan seks pertama kali dengan pacaran pertama kali (r
102
WAHYU RAHARDJO
= -0.237, p < .05), fantasi erotis (r = 0.434, p < .01) dan perilaku seks pranikah (r = 0.363, p < .01). Ada pula perbedaan yang signifikan pada sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus berdasarkan dengan siapa perilaku seks pranikah paling sering dilakukan (F(1,99) = 5.987, p < .01; r = 0.24, p < .01), sikap terhadap perilaku seks pranikah (F(1,99) = 6.145, p < .01; r = 0.24, p < .01), sifat pelaku perilaku seks pranikah (F(1,99) = 9,561, p < .01; r = 0.30, p < .01), pikiran untuk berhenti melakukan perilaku seks pranikah (F(1,99) = 4.088, p < .01; r = 0.20, p < .01), perasaan terkait dengan hubungan seks pertama kali (F(1,99) = 5.456, p < .01; r = 0.23, p < .01), dan evaluasi terhadap hubungan seks pertama kali (F(1,99) = 3,462, p < .05; r = 0.18, p < .01). Namun tidak ada korelasi sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus dengan usia masturbasi pertama kali dan perbedaan berdasarkan suku bangsa, status dalam keluarga, latar belakang pendidikan orang tua, asal fakultas, tingkat kelas, IPK, tempat tinggal, dan status pekerjaan selama kuliah. Fantasi erotis berkorelasi dengan usia partisipan (r = -0.322, p < .01), usia masturbasi pertama kali (r = -0.258; p < .01), usia melakukan hubungan seks pertama kali (r = -0.323; p < .01), IPK (r = -0.254, p < .05), dan perilaku seks pranikah (r = 0.423, p < .01). Ada pula perbedaan yang signifikan terhadap fantasi erotis berdasarkan latar belakang pendidikan orang tua (F(1,99) = 3.073, p < .05; r = 0.17, p < .05), sikap terhadap perilaku seks pranikah (F(1,99) = 6.319, p < .01; r = 0.24, p < .01), sifat pelaku perilaku seks pranikah (F(1,99) = 7.095, p < .01; r = 0.26, p < .01), perasaan terhadap hubungan seks pertama kali (F(1,99) = 8.287, p < .001; r = 0.28, p < .001), dan evaluasi terhadap hubungan seks pertama kali (F(1,99) = 3.257, p < .05; r = 0.18, p < .05). Namun tidak ada perbedaan fantasi erotis berdasarkan suku bangsa, status dalam keluarga, asal fakultas, tingkat kelas, tempat tinggal, status pekerjaan, dengan siapa perilaku seks pranikah paling sering dilakukan, dan pikiran untuk berhenti melakukan perilaku seks pranikah. Perilaku seks pranikah berkorelasi dengan usia masturbasi pertama kali (r = -0.278, p < .01), selisih usia pacaran pertama kali dengan masturbasi pertama kali (r = 0.199, p < .05), dan IPK (r = -0.225, p < .05).
Ada pula perbedaan perilaku seks pranikah berdasarkan usia hubungan seks pertama (F(1,99) = 3.294, p < .05; r = 0.18, p < .05), pikiran untuk berhenti melakukan perilaku seks pranikah (F(1,99) = 6.847, p < .001; r = 0.25, p < .001), perasaan terkait dengan hubungan seks pertama (F(1,99) = 4.060, p < .05; r = 0.20, p < .05), dan evaluasi hubungan seks pertama (F(1,99) = 3.632, p < .01; r = 0.19, p < .01). Namun tidak ada perbedaan perilaku seks pranikah berdasarkan suku bangsa, status dalam keluarga, latar belakang pendidikan orang tua, asal fakultas, tingkat kelas, IPK, tempat tinggal, status pekerjaan, dengan siapa perilaku seks pranikah paling sering dilakukan, sikap terhadap perilaku seks pranikah, dan sifat pelaku perilaku seks pranikah. Sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus dan fantasi erotis masing-masing memiliki koefisien determinasi sebesar 13.2% (R2 = 0.132, p < .001) dan 17.9% (R2 = 0.179, p < .001) terhadap perilaku seks pranikah. Adapun kontribusi sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus serta fantasi erotis secara bersama-sama memiliki koefisien determinasi sebesar 21.8% (R2 = 0.218, p < .001). Fakta bahwa rerata empirik skor sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus, fantasi erotis dan perilaku seks pranikah tertinggi ditemukan pada kelompok partisipan yang memandang hubungan seks boleh dilakukan meskipun tanpa dilandasi oleh rasa cinta, golongan pelaku hubungan seks pranikah dengan berganti-ganti pasangan (sexual adventurer) sesuai dengan prinsip hedonisme, terutama dalam hal seksualitas, yang kian lazim diyakini oleh remaja dewasa ini (Baumer & South, 2001). Fakta di atas diikuti dengan beberapa hasil studi menarik lainnya. Pertama, persentase partisipan yang memiliki perasaan dan evaluasi positif setelah melakukan hubungan seks pertama (mau melakukan lagi jika ada kesempatan; memandang hubungan seks pertamanya sebagai sesuatu yang hebat dan fantastis) serta baru berpikir berhenti melakukan perilaku seks pranikah nanti setelah akan menikah adalah yang tertinggi dibanding yang lainnya. Kedua, tertingginya rerata empirik skor ketiga variabel utama juga dijumpai pada kelompok partisipan yang paling sering melakukan perilaku seks pranikah
WAHYU RAHARDJO
dengan wanita tuna susila dibandingkan dengan pacar sendiri atau dengan teman, dan ketiga kelompok partisipan pada fakta pertama di atas. Korelasi positif antara usia masturbasi pertama kali dengan usia pacaran pertama kali dan usia hubungan seks pertama kali menjelaskan bahwa semakin dini masturbasi pertama kali dilakukan maka semakin dini pula pacaran pertama dan hubungan seks pertama kali dilakukan. Usia pacaran pertama kali juga berkorelasi positif dengan usia hubungan seks pertama kali. Hal ini menjelaskan fakta bahwa semakin dini usia pacaran pertama kali maka akan semakin dini hubungan seks pertama kali dilakukan. Hal ini bisa terjadi mengingat semakin permisif dan normatifnya perilaku seks pranikah di kalangan remaja (Boyce, Gallupe, & Fergus, 2008). Hal lain yang juga memberikan sumbangan adalah besarnya dorongan seksual (sexual drive) dari remaja pria yang mencapai kematangan seksual dan kebutuhan pelampiasan rasa ingin tahu perihal seksualitas. Di sisi lain, semakin dini usia masturbasi pertama kali tidak membuat individu menjadi memiliki jumlah pacaran seumur hidup lebih banyak. Hal lain yang juga tampak adalah korelasi negatif antara jumlah pacaran seumur hidup dengan selisih usia pacaran pertama kali dengan masturbasi pertama kali, dan selisih usia melakukan hubungan seks pertama kali dengan pacaran pertama kali. Hal ini berarti bahwa semakin banyak jumlah pacaran seumur hidup dilakukan maka akan semakin pendek selisih jarak usia pacaran pertama kali dengan masturbasi pertama kali dan selisih jarak usia melakukan hubungan seks pertama kali dengan pacaran pertama kali. Hanya saja, tidak berarti semakin banyak jumlah pacaran seumur hidup akan semakin positif pula sikapnya terhadap tipe cinta eros dan ludus, semakin sering berfantasi erotis dan semakin permisif terhadap perilaku seks pranikah. Semakin pendek selisih jarak usia masturbasi pertama kali dengan hubungan seks pertama kali, selisih jarak usia pacaran pertama kali dengan hubungan seks pertama kali akan membuat sikap individu terhadap tipe cinta eros dan ludus semakin positif. Di sisi lain, semakin positif sikap individu terhadap tipe cinta eros dan ludus
103
semakin sering fantasi erotis dilakukan dan semakin permisif terhadap perilaku seks pranikah. Hal ini membuktikan bahwa tipe cinta eros dan ludus yang mengusung prinsip kedekatan seksualitas dan menjauhi komitmen berjalan sejajar dengan fantasi erotis dan keserbabolehan dalam perilaku seks pranikah. Hal menarik juga ditemui pada variabel fantasi erotis. Tampak bahwa semakin dini usia masturbasi pertama kali dan usia hubungan seks pertama kali maka akan semakin sering fantasi erotis dilakukan. Korelasi fantasi erotis dan usia melakukan hubungan seks pertama kalipun bersifat negatif. Artinya, semakin sering fantasi erotis dilakukan maka akan semakin dini usia hubungan seks pertama kali. Pada titik ini, tampak jelas kedekatan fantasi erotis dengan perilaku seks pranikah pada remaja. Problema mengenai hubungan romantis dalam berpacaran dan dorongan seks dari dalam diri memang ditengarai menjadi faktor pendorong dilakukannya perilaku seks pranikah, terutama hubungan seks pertama kali (Pedersen, Samuelsen, & Wichstrom, 2003). Perilaku seks pranikah juga berkorelasi dengan beberapa hal. Masturbasi pertama kali, misalnya. Korelasi negatif yang ada memperlihatkan bahwa semakin dini usia masturbasi pertama kali maka akan semakin permisif perilaku seks pranikah yang dilakukan. Hal yang sama terjadi ketika perilaku seks pranikah dikorelasikan dengan IPK. Semakin rendah IPK partisipan maka akan semakin permisif perilaku seks pranikah yang ditunjukkan. Kontribusi sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus dan fantasi erotis masingmasing terhadap perilaku seks pranikah adalah sebesar 13.2% dan 17.9%. Artinya, 86.8% dan 82.1% sisanya adalah kontribusi variabel-variabel lain, termasuk residu penelitian yang tidak terukur. Adapun sikap terhadap tipe cinta eros dan ludus serta fantasi erotis secara bersama-sama memiliki kontribusi lebih besar, yaitu 21.8%, di mana 78.2% sisanya adalah variabel-variabel lain dan residu penelitian yang tidak terukur. Beberapa variabel lain yang kemudian dapat dipertimbangkan antara lain adalah faktor-faktor eksternal seperti relasi teman sebaya, struktur keluarga, dan norma sosial
104
WAHYU RAHARDJO
(Boratav, 2006). Memahami hal-hal ini dapat menjelaskan perilaku seks pranikah sebagai perilaku yang dikonstruksikan secara sosial secara lebih gamblang dari sisi internal individu dan kaitannya dengan keberadaan diri individu tersebut dalam lingkungan. Kesimpulan Studi ini kian memperjelas fakta bahwa perilaku seks pranikah kian menjadi sesuatu yang lazim di kalangan remaja pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Meskipun demikian, beberapa kelemahan dalam studi ini seperti tidak diperhitungkannya faktor budaya dan beberapa variabel
individual lainnya seperti kecenderungan mencari sensasi seksual dan harga diri dapat dijadikan dasar untuk menjalankan studi berikutnya. Gambaran secara menyeluruh tentang perilaku seks pranikah dapat digunakan untuk mengembangkan prinsip harm reduction, terutama dalam menyikapi bahwa perilaku seks pranikah sekarang ini juga berkembang ke arah perilaku seks berisiko. Salah satu implikasi praktis yang diperoleh adalah bahwa masyarakat dapat menata dan menyusun kembali kampanye seks aman yang lebih tepat guna kepada masyarakat umum.
Daftar Pustaka Anastasi, A., & Urbania, S. (1997). Tes psikologi (Robertus H. Imam, Trans.). Jakarta: Prenhalindo. Angga, D. (2001). Sikap permisif mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah dalam berpacaran (Skripsi, tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta. Baldwin, J.I., & Baldwin, J.D. (2000). Heterosexual anal intercourse: An understudied, high-risk sexual behavior. Archives of Sexual Behavior, 29, 357-373. Baumer, E.P., & South, S.J. (2001). Community effects on youth sexual activity. Journal of Marriage and Family, 63, 540-554. Benokraitis, N.J. (1996). Marriages and family: Changes, choices and constraints (2nd ed.). New Jersey: Prentice Hall. Boratav, H.B. (2006). Making sense of heterosexuality: An exploratory study of young heterosexual identities in Turkey. Sex Roles, 54, 213-225. Boyce, F.B., Gallupe, O., & Fergus, S. (2008). Characteristics of Canadian youth reporting a very early age of first sexual intercourse. The Canadian Journal of Human Sexuality, 17, 97-108. Bruess, C.E., & Greenberg, J.S. (1994). Sex-
uality education: Theory and practice (3rd ed.). Dubuque: Brown & Benchmark. Caplin, J.P. (1999). Kamus lengkap psikologi (Kartini Kartono, Trans.). Jakarta: Raja Grapindo Persada. Clawson, C.L., & Reese-Weber, M. (2003). The amount and timing of parent-adolescent sexual communication as predictors of late adolescent sexual risk-taking behaviors. The Journal of Sex Research, 40, 256-265. Cochran, B.N., Stewart, A.J., Ginzler, J.A., & Cauce, A.M. (2002). Challanges faced by homeless sexual minorities: Comparison of gay, lesbian, bisexual, and transgender homeless adolescents with their heterosexual counterparts. American Journal of Public Health, 92, 773-777. Cooper, M.L., Shapiro, C.M., & Powers, A.M. (1998). Motivation for sex and risky sexual behavior among adolescents and young adults: A functional perspective. Journal of Personality and Social Psychology, 75, 1528-1558. Crawford, M., & Popp, D. (2003). Sexual double standards: A review and methodological critique of two decades of research. The Journal of Sex Research, 40, 13-37.
WAHYU RAHARDJO
Crooks, R., & Baur, K. (1990). Our sexuality (4th ed.). California: Benjamin/Cummings. Cynthia, T. (2003). Hubungan antara konformitas kelompok dengan perilaku seks bebas pada remaja (Skripsi, tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Jakarta. Dodge, B., Reece, M., Cole, S.L., & Sandfort, T.G.M. (2004). Sexual compulsivity among heterosexual college students. The Journal of Sex Research, 42, 343-350. Doskoch, P. (1995, September-October). The safest sex–sexual fantasies. Psychology Today. Diunduh dari http://www.findarticles.com/p/search?qt=Sexual+fantasies +&2F+Psychological+ aspects&tb=art&qf =free&x=19&9=2. Duck, S. (1998). Human relationship (3rd ed.). London: SAGE. Dworkin, S.L., & O’Sullivan, L. (2005). Actual versus deired initiation patterns among a sample of college men: Tapping disjunction within traditional male sexual scripts. The Journal of Sex Research, 42, 123132. Franken, R.E. (2002). Human motivation (5th ed.). Belmont: Wardsworth. Frey, K., & Hojjat, M. (1998). Are love styles related to sexual styles? The Journal of Sex Research, 35, 265-271. Fricker, J., & Moore, S. (2002, August). Relationship satisfaction: The role of love styles and attachment styles. Current Research in Social Psychology, 7(11). Goldenberg, J.L., Pyszczynski, T., McCoy, S.K., Greenberg, J., & Solomon, S. (1999). Death, sex, love and neuroticism: Why is sex such a problem? Journal of Personality and Social Psychology, 77, 1173-1187. Kelly, G.F. (2001). Sexuality today: The human perspective (7th ed.). Boston: McGraw-Hill. Kershaw, T.S., Ickovics, J.R., Lewis, J.B., Niccolai, L.M., Milan, S., & Ethier, K.A.
105
(2004). Sexual risk following a sexually transmitted diseases diagnosis: The more things change the more they stay the same. Journal of Behavioral Medicine, 27, 445-461. Knox, D., Cooper, C., & Zusman, M.E. (2001, May). Sexual values of college students. College Student Journal. Diunduh tanggal 5 Desember 2005. Lee, J.A. (1988). Love styles. Dalam Robert J. Stenberg & Michael L. Barnes (Eds), The psychology of love. New Haven: Yale University Press. Lonczak, H.S., Abbott,R.D., Hawkins, J.D., Kosterman, R., & Catalano, R.F. (2002). Effects of the Seattle Social Development Project on sexual behavior, pregnancy, birth, and sexually transmitted disease outcomes by age 21 years. Arch Pediatric Adolescence Medical, 156, 438-447. Martinson, F.M. (2002). The quality of adolescent sexual experiences. Diunduh dari http://www.ipce.info/booksreborn/martinson/adolescent/Adolescent.html. Mashegoane, S., Moalusi, K.P., Ngoepe, M.A., & Peltzer, K. (2002). Sexual sensation seeking and risky sexual behavior among South African university students. Social Behavior and Personality, 30, 475584. Mayasari, F., & Hadjam, M.N.R. (2000). Perilaku seksual remaja dalam berpacaran ditinjau dari harga diri berdasarkan jenis kelamin. Jurnal Psikologi, 2, 120-127. Moeliono, R.H. (2004). Seksualitas remaja: Belajar dari remaja yang tak terlayani (underserved youth) di Jakarta. Dalam Irwan M. Hidayana dkk. (Eds), Seksualitas: Teori dan realitas. Jakarta: Program Gender dan Seksualitas FISIP UI dan Ford Foundation. Newcomb, M.D., Huba, G.J., & Bentler, P.M. (1986). Determinants of sexual dating behaviors among adolescents. Journal of Personality and Social Psychology, 50, 428-438. Pedersen, W., Samuelsen, S.O., & Wich-
WAHYU RAHARDJO
106
storm, L. (2003). Intercourse debut age: Poor resources, problem behavior or romantic appeal? A population-based longitudinal study. The Journal of Sex Research, 40, 333-341. Psychological Self-Help. (2005). Acceptance of our bodies, sex play & fantasies. Diunduh dari http://www.mentalhelp.net/ psyhelp/chap10/chap10r.htm. Rachmani, A.E. (2005). Hubungan antara komunikasi orang tua-anak dengan perilaku seks pranikah remaja (Skipsi, tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Jakarta. Ramirez-Valles, J., Zimmerman, M.A., & Newcomb, M.D. (1998). Sexual risk behavior among youth: Modeling the influence of prosocial activities and socioeconomic factors. Journal of Health and Social Behavior, 39, 237-252. Richmond-Abbott, M. (1992). Masculine and feminine: Gender roles over the life cycle (2nd ed.). New York: McGraw-Hill.
---------E-mail:
[email protected]
Schvaneveldt, P.L., Miller, B.C., Berry, E.H., & Lee, T.R. (2001, Winter). Academic goals, achievement and age at first sexual intercourse: Longitudinal, bidirectional influences. Adolescence. Diunduh tanggal 5 Desember 2005. Sprecher, S., & Regan, P.C. (2000). Sexuality in a relational context. Dalam Clyde Hendrick & Susan S. Hendrick (Eds.), Close relationship: A sourcebook. California: SAGE. Wrightsman, L.S., & Deaux, K. (1981). Social psychology in the 80’s (3rd ed.). California: Brooks & Cole. Zurbriggen, E.L., & Yost, M.R. (2004). Power, desire, and pleasure in sexual fantasies. The Journal of Sex Research, 41, 288300.