BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada kajian pustaka ini diuraikan tentang berbagai teori yang dipergunakan sebagai dasar dalam menganalisis fenomena terkait dalam penelitian ini. Kajian tersebut mencakup teori dan kajian empiris tentang Kinerja Keuangan, Keputusan Pendanaan, Orientasi Kewirausahaan, dan Budaya Organisasi yang selanjutnya akan dijadikan sebagai acuan untuk membangun model konseptual penelitian.
2.1
Kinerja Keuangan Kinerja perusahaan merupakan konstruk (faktor) umum yang digunakan
untuk mengukur pengaruh dari sebuah kebijakan atau keputusan perusahaan. Kebijakan atau keputusan selalu diarahkan untuk menghasilkan kinerja baik salah satunya berupa kinerja keuangan (Weaver and Weston, 2005 : 194). Sebuah organisasi bisnis dapat mengukur kinerjanya dengan menggunakan ukuran financial atau disebut kinerja keuangan dengan menggunakan perolehan laba dan volume penjualan (Chong, 2008) Prosedur pengukuran kinerja Industri Kecil Menengah (IKM) dapat dilakukan dengan penilaian terhadap persepsi responden berdasarkan skala likert atas beberapa ukuran finansial, seperti tingkat penjualan, pertumbuhan penjualan, keuntungan kotor, rasio keuntungan atas penjualan, tingkat pengembalian modal, dan laba bersih operasi. Dengan demikian, pengukuran terhadap kinerja usaha
16
17
akan sangat tergantung kepada seberapa valid ukuran-ukuran tersebut sesuai dengan kinerja yang dicapai oleh IKM (Covin and Slevin, 1989) Pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengevaluasi kinerja perusahaan adalah pemilik perusahaan (investor), para manajer, kreditur, pemerintah dan masyarakat. Mereka akan menilai perusahaan dengan ukuran keuangan tertentu sesuai dengan tujuannya. Para manajer bertanggung jawab atas efisiensi dan sumber ekonomi lainnya dalam pengelolaan perusahaan. Investor berkepentingan dengan profitabilitas perusahaan yang tercermin dari pertumbuhan laba dan dividen perusahaan yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai perusahaan. Kreditur memiliki kepentingan terhadap kinerja perusahaan dalam kaitannya dengan pembayaran angsuran (pokok pinjaman dan bunga). Kemampuan memenuhi kewajiban ini akan ditandai oleh nilai aktiva yang dimiliki perusahaan sebagai jaminan atas sejumlah hutang (pinjaman) serta jaminan terhadap risiko yang akan diterima oleh kreditur. Pihak-pihak lain seperti pemerintah dan kelompok lain dalam masyarakat berkepentingan untuk perhitungan pajak dan kemampuan membayar gaji (Brigham and Houston, 2011 : 199) Kinerja perusahaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kinerja Keuangan. Kinerja Keuangan pada umunya diukur dengan rasio profitabilitas. Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dengan modal yang dipergunakan. Horne and Wachowicz, (2012 : 95) memberikan pengertian profitabilitas adalah kemampuan perusahaan menghasilkan laba selama periode tertentu terkait dengan penggunaan aktiva yang produktif atau modal, secara
18
keseluruhan, baik hutang (modal asing) maupun modal sendiri. Profitabilitas perusahaan merupakan salah satu indikator yang tercakup dalam informasi mengenai kinerja perusahaan jangka panjang. Rasio Profitabilitas secara umum dapat diukur dengan indikator Return On Investment (ROI), Net Profit Margin (NPM), Return On Equity (ROE). Riana (2011) yang meneliti Industri Kerajinan Perak di Bali menggunakan tiga indikator yaitu peningkatan volume penjualan, pertumbuhan keuntungan, dan pertumbuhan aset sebagai indikator Kinerja Keuangan Perusahaan. Penggunaan indikator ini berdasarkan pada kondisi perusahaan yang diamati sebagai obyek penelitian adalah IKM yang tidak menerbitkan laporan keuangan yang diaudit dan dipublikasikan sehingga tidak dapat menggunakan rasio keuangan sebagai indikator dari Kinerja Keuangan. Kinerja Keuangan pada IKM dapat diukur dengan peningkatan laba dan peningkatan jumlah asset (Cassar and Holmes, 2003) Kinerja Keuangan dalam penelitian ini merupakan tingkat pencapaian atau prestasi perusahaan dalam periode waktu tertentu pada IKM Unggulan di Bali. Pencapaian perusahaan terkait dengan peningkatan pertumbuhan volume penjualan perusahaan, peningkatan jumlah aset yang dimiliki dan peningkatan laba.
2.2
Keputusan Pendanaan Setiap usaha baik yang baru berdiri maupun yang sedang tumbuh akan
membutuhkan dana untuk melaksanakan aktivitas operasionalnya. Aktivitas
19
tersebut tidak akan berhasil dilakukan apabila perusahaan kekurangan dana. Kebutuhan dana diperlukan untuk aktivitas rutin perusahaan atau pengembangan bisnis, sehingga dana memiliki peranan penting dalam siklus hidup perusahaan (Chechet and Olayiwola, 2014). Keputusan Pendanaan adalah menyangkut pemilihan alternatif sumber pendanaan yang akan dipergunakan oleh perusahaan untuk membiayai aktivitas operasional perusahaan. Keputusan Pendanaan yang tidak cermat menimbulkan biaya tetap dalam bentuk biaya modal yang tinggi, yang akan mengakibatkan rendahnya Profitabilitas perusahaan (Hasnawati, 2005). Apabila dilihat dari sumbernya, pendanaan perusahaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendanaan yang berasal dari dalam perusahaan (internal financing) dan pendanaan yang berasal dari luar perusahaan (eksternal financing). Internal financing dapat berupa laba ditahan atau setoran modal dari pemilik perusahaan. Eksternal financing adalah berupa hutang yang berasal dari kreditur sehingga menimbulkan kewajiban bagi perusahaan berupa angusuran pembayaran dan bunga serta kewajiban untuk melunasinya. Porsi hutang yang besar akan meningkatkan risiko pada aliran penghasilan perusahaan. Nofsinger and Wang (2011) mengemukakan bahwa entrepreneur membutuhkan modal untuk start-up awal dan tambahan modal juga dibutuhkan ketika bisnis berkembang dan meluas. Keputusan Pendanaan perusahaan tercermin pada struktur modal dari perusahaan tersebut. Struktur Modal (capital structure) adalah merupakan perimbangan jumlah hutang jangka pendek yang bersifat permanen, hutang jangka panjang, saham preferen dan saham biasa
20
(Brigham and Daves, 2010 : 226). Keputusan struktur modal sangat penting bagi kelangsungan operasional perusahaan. Besarnya dana yang diperlukan perusahaan dalam komposisi struktur modalnya tergantung pada ukuran aktivitas atau operasional perusahaan. Menurut Brigham and Houston (2011: 202) pendanaan dalam struktur modal perusahaan terdiri atas dua bagian, yaitu : a. Modal sendiri (internal) Yaitu modal yang berasal dari dalam perusahaan sendiri (laba ditahan) atau pemilik perusahaan (saham biasa dan saham preferen) untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. b. Modal asing (eksternal) Yaitu modal yang berasal dari luar perusahaan atau dari kreditur (kewajiban jangka panjang) sehingga merupakan kewajiban bagi perusahaan
untuk
melunasinya.
Pendanaan
dengan
hutang
akan
menimbulkan biaya tetap berupa bunga. Manajer perlu mempertimbangkan biaya modal yang akan muncul dalam kaitannya dengan Keputusan Pendanaan perusahaan. Apabila aktivitas pendanaan perusahaan dilakukan dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan, maka biaya modal harus diminimalkan. Pada saat perusahaan menggunakan hutang, biaya modal yang timbul adalah sebesar biaya bunga yang dibebankan oleh kreditur, sedangkan ketika perusahaan menggunakan dana internal atau modal sendiri maka biaya modal yang timbul adalah opportunity cost dari dana atau modal sendiri yang digunakan (Hasnawati, 2005)
21
2.3
Teori Struktur Modal Modigliani dan Miller (MM) mengemukakan tentang struktur modal
pertama kali tahun 1958 dan menjelaskan pengaruh komposisi struktur modal terhadap nilai perusahaan, dengan asumsi dasar : 1) Perusahaan memiliki risiko bisnis yang sama 2) Para investor memiliki tingkat ekspektasi yang sama 3) Perfect capital market 4) Menggunakan tingkat bunga bebas risiko (risk free rate) 5) Tidak ada transaction cost, agency cost dan bankruptcy cost MM mengembangkan sebuah model dengan tanpa memperhitungkan pajak. Dalam model ini, MM menguraikan dua preposisi : Preposisi I : Value perusahaan tidak dipengaruhi oleh komposisi modal perusahaan baik dengan modal sendiri maupun dengan hutang. Preposisi II : Biaya modal (Cost of Equity) dari perusahaan yang menggunakan hutang akan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan hutang Pada tahun 1963 MM menulis artikel sebagai lanjutan dari teori MM tahun 1958 dengan memperhitungkan pajak. Asumsinya adalah dikenakan pajak pada laba setelah bunga (earning after interest). Dengan memasukkan pajak kedalam model MM maka ditemukan korelasi positif antara besarnya hutang dengan nilai suatu perusahaan. Penggunaan hutang pada struktur modal akan meningkatkan nilai perusahaan karena adanya keuntungan dari pengurangan pajak (tax shield). Model MM dengan memperhitungkan pajak menjadi :
22
Preposisi I : nilai perusahaan yang menggunakan hutang (leverage) akan lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak menggunakan hutang (unleverage) Preposisi II : dengan memasukkan pajak maka perhitungan biaya modal (cost of equity) perusahaan yang menggunakan hutang akan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan hutang. Penambahan penggunaan hutang dalam struktur modal akan menurunkan perhitungan biaya modal karena penambahan hutang juga meningkatkan keuntungan dari tax shield. Menurut Modigliani and Miller (1963) dalam asumsi terdapat pajak, Keputusan Pendanaan menjadi relevan. Hal ini karena, pada umumnya bunga yang dibayarkan bisa dipergunakan untuk mengurangi penghasilan yang dikenakan pajak (tax deduxtable). Semakin rendah manfaat pajak, semakin tinggi kemungkinan bahwa perusahaan akan beralih dari status leverage (menggunakan hutang) menjadi unleveraged (tidak menggunakan hutang) karena tidak ada manfaat penghematan pajak yang dirasakan. Sebaliknya apabila terdapat peningkatan manfaat (penghematan) dari pajak maka akan berpengaruh signifikan pada perubahan kebijakan hutang. Perusahaan yang tidak menggunakan hutang akan memilih menggunakan hutang sebagai salah satu alternatif pembiayaannya. Cao and Mauer (2010) mengemukakan bahwa manajer menggunakan informasi yang dimiliki (tentang perusahaan) untuk menentukan waktu perubahan kebijakan hutang. Penggunaan hutang bagi private company tidak dapat dilihat manfaatnya pada nilai perusahaan melainkan hanya sampai pada penurunan biaya dan peningkatan Kinerja Keuangan Perusahaan.
23
Myers and Majluf (1984) mengembangkan Pecking Order Theory yang menyatakan bahwa perusahaan mengikuti suatu hirarki tertentu dalam mengambil keputusan
keuangan
yang
menyangkut
struktur
modalnya.
Perusahaan
mengutamakan penggunaan sumber pendanaan internal (menggunakan laba yang ditahan) sebelum memutuskan menggunakan sumber pendanaan dari pihak eksternal (hutang, menerbitkan saham baru) . Penggunaan
laba
yang
ditahan
lebih
murah
dan
tidak
perlu
mengungkapkan sejumlah informasi perusahaan (yang harus diungkapkan dalam prospektus saat menerbitkan obligasi dan saham baru). Apabila perusahaan membutuhkan pendanaan eksternal, pertama kali akan menerbitkan hutang sebelum menerbitkan saham baru. Penerbitan saham baru menduduki urutan terakhir sebab penerbitan saham baru merupakan tanda atau sinyal bagi pemegang saham dan calon investor tentang kondisi perusahaan saat sekarang dan prospek mendatang yang tidak baik (Ogden, et al. 2003 : 116) Keputusan Pendanaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keputusan yang diambil oleh perusahaan terkait penggunaan dana yang tercermin dalam struktur modal khususnya pada komposisi penggunaan sumber dana oleh IKM Unggulan di Provinsi Bali untuk mendanai aktivitas usahanya.
2.4 Orientasi Kewirausahaan 2.4.1 Konsep Orientasi Kewirausahaan Schumpeter (1934) mendefinisikan kewirausahaan sebagai upaya yang terpusat ditandai oleh inovasi. Schumpeter (1934) dan Vesper (1980) menyatakan
24
bahwa lima kategori perilaku ciri kewirausahaan: pengenalan barang baru, pengenalan metode produksi baru, pembukaan pasar baru, mencari alternatif sumber-sumber pasokan baru dan pengembangan organisasi industri. Kewirausahaan juga dijelaskan sebagai bentuk aktivitas yang terkait dengan risiko dan ketidakpastian. Kewirausahaan merupakan penggerak pertumbuhan perekomonian di suatu negara. Kewirausahaan juga disebutkan mampu merubah struktur ekonomi melalui inovasi yang dilakukan oleh wirausahawan. (Casson, 2012 : 4) Wirausahawan dalam bidang teori ekonomi dijelaskan sebagai pelaku dari aktivitas kewirausahaan. Wirausahawan adalah orang dengan yakin bekerja diantaranya membeli dan menjual produk atau jasa dengan keberanian dalam mengambil risiko yang terjadi karena fluktuasi di pasar. Wirausahawan (entrepreneur) didefinisikan sebagai pendiri atau manajer atau pemilik perusahaan berukuran kecil dan menengah yang memiliki potensi pertumbuhan (Eckhardt and Shane and 2003 ; Acs and Audstrech, 2003, Casson, 2012 : 6). Hayck (1937) dan Kirzner (1973) dalam (Casson, 2012 : 9) mengemukakan wirausahawan (entrepreneur) adalah perantara yang menentukan harga dalam perdagangan dan diberikan motivasi untuk memperoleh keuntungan sehingga dapat memperbaiki perekonomian suatu negara. Perkembangan teori tentang kewirausahaan mengarah pada prinsip-prinsip tindakan rasional yang dapat menjelaskan tentang kontribusi atas action dari seorang wirausaha terhadap perekonomian. Seorang wirausaha akan mampu melihat peluang yang ada dan dapat merancang serta memanfaatkannya untuk
25
kelangsungan perusahaan dan berperilaku atas dasar penilaian dan estimasi terbaik yang mereka miliki. Seorang wirausaha harus memiliki kualifikasi seperti mampu mengidentifikasi peluang bisnis (inovatif dan proaktif), memiliki pengetahuan dasar tentang bisnis, ketrampilan jaringan sosial untuk menarik pelanggan dan rekan bisnis serta memiliki keberanian mengambil risiko (Casson, 2012 : 463) Kewirausahaan
(entrepreneurship)
merupakan
kemampuan
dalam
menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (Hisrich et al., 2005). Menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda, sama dengan menciptakan nilai untuk dirinya dan lingkungannya (Venkataraman, 2001). Scarborugh and Zimmerer (2008 : 172) mendefinisikan kewirausahaan sebagai proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang dalam memperbaiki kehidupan usaha. Kewirausahaan menggambarkan suatu perilaku organisasional meliputi keberanian untuk mengambil (mengelola) risiko (risk taking), proaktif, dan inovatif (Covin and Slevin, 1991). Menurut Covin and Slevin (1991), Orientasi Kewirausahaan ditunjukkan oleh sejauh mana manajer puncak cenderung untuk mengambil risiko yang terkait dengan bisnis (dimensi risiko), mendukung perubahan dan inovasi dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan kompetitif bagi perusahaan (dimensi inovasi), dan bersaing secara agresif dengan perusahaan lain (dimensi proaktif). Lumpkin and Dess (2001) memberi pengertian bahwa Orientasi Kewirausahaan mengacu pada suatu strategi orientasi perusahaan untuk memperoleh gaya, praktek, dan metoda pengambilan keputusan. Orientasi Kewirausahaan juga mencerminkan bagaimana suatu perusahaan beroperasi dibandingkan dengan perencanaan perusahaan.
26
Miller and Friesen (1982) berpendapat bahwa kewirausahaan menjadi berbeda karena memiliki titik berat pada inovasi produk baru. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa organisasi yang memiliki kemauan berinovasi secara berani pada pengambilan risiko yang cukup besar dalam strategi pengembangan perusahaan dan produknya. Sebuah perusahaan yang berorientasi kewirausahaan adalah perusahaan yang melakukan inovasi pasar-produk, melakukan usaha yang berisiko, dan melakukan pengembangan usaha secara proaktif. Orientasi Kewirausahaan merupakan alat yang efisien untuk memperoleh bukti atau tindakan kewirausahaan dan pengambilan keputusan di beberapa organisasi dan konteks geografis (Kreiser and Weaver, 2002). Banyak peneliti berpendapat bahwa perilaku kewirausahaan sangat penting bagi keberhasilan perusahaan terlepas dari ukuran perusahaan tersebut apakah besar atau kecil (Miller and Friesen, 1982 ; Covin and Slevin, 1989; Lumpkin and Dess, 2001). Wiklund (1999) berpendapat bahwa dalam perusahaan kecil Orientasi Kewirausahaan perusahaan mencerminkan orientasi strategis manajer atau pemilik perusahaan. Covin and Slevin (1989) mendefinisikan Orientasi Kewirausahaan didasarkan pada aspek dari inovasi, pengambilan risiko dan proaktif. Lumpkin and Dess (2001), menguraikan Orientasi Kewirausahaan sebagai kecenderungan untuk bertindak secara otonom, berinovasi, mengambil risiko dan bertindak proaktif ketika dihadapkan pada suatu peluang usaha. Berdasarkan pandangan Miller and Rollnick (1991) dan Covin and Slevin (1989), Orientasi Kewirausahaan terdiri dari tiga dimensi, yaitu inovatif, proaktif dan berani
27
mengambil risiko (risk taking) sedangkan Lumpkin and Dess (2001) memandang Orientasi Kewirausahaan terdiri dari lima dimensi, yang selain yang dikemukakan Miller and Rollnick (1991) adalah otonomi dan agresivitas kompetitif. Lim (2002) mengemukakan bahwa Orientasi Kewirausahaan, perusahaan yang dilihat dari inovasi, selalu siap mengambil risiko, dan bertindak secara proaktif dapat meningkatkan Kinerja Perusahaan. Kewirausahaan dan peran pengusaha memiliki peran penting dalam kebijakan perusahaan. Pengusaha telah dianggap pelopor perubahan ekonomi dan pembangunan sosial dan ekonomi (Zahra and Garvis, 2000). Pengusaha diasumsikan sebagai orang-orang yang mampu memanfaatkan peluang bisnis baru yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Peluang muncul karena asimetris informasi
yang
terdistribusi
dan
ketidakpastian
yang
melekat
dalam
pengembangan usaha. Pengusaha akan menanggung risiko dan ketidakpastian yang terlibat dalam alokasi sumber daya untuk memanfaatkan peluang. Unsur ketidakpastian terkait pengembangan dan prospek suatu usaha menjadi salah satu faktor yang mempersulit pengusaha memperoleh sumber dana (Berger and Udell, 2003 dan Sarasvathy, 2003).
2.4.2 Dimensi Orientasi Kewirausahaan Lumpkin and Dess (2001) menyatakan bahwa inovasi, pengambilan risiko, dan proaktif membentuk kontribusi unik terhadap Orientasi Kewirausahaan suatu perusahaan. Miller and Freisen (1982) menyatakan bahwa tingkat kewirausahaan suatu perusahaan merupakan keseluruhan dari innovatif, proaktif dan kemampuan mengelola risiko. Pengukuran terhadap konsep Orientasi Kewirausahaan
28
memberikan kontribusi yang sama terhadap keseluruhan level organisasi pada semua situasi (Vitale et al., 2002). Alasan mendasar Orientasi Kewirausahaan dijelaskan dengan tiga dimensi (inovatif, proaktif dan risk taking), pertama mengacu pada beberapa studi seperti : Covin and Slevin (1988) ; Lumpkin and Dess (2001) ; Vitale et al. (2002) ; Riana (2011) ; Korry (2013) yang menggunakan dimensi inovatif, proaktif dan risk taking. Kreiser et al, (2002) dalam analisis mereka terhadap dimensi Orientasi Kewirausahaan (inovatif, proaktif dan risk taking), menunjukkan bahwa pengenalan dimensi yang lain tidak menambahkan banyak nilai ke dalam Orientasi Kewirausahaan, yang mendukung pendekatan tiga dimensi. Selain itu, ketika memeriksa dimensi yang berbeda secara terpisah, tiga dimensi (inovatif, proaktif dan risk taking) telah terbukti memiliki hubungan kuat terhadap kinerja perusahaan.
Inovatif Lumpkin and Dess (2001), Schumpeter (1934) adalah beberapa penelitian yang mengkaji tentang peran inovasi dalam proses kewirausahaan. Schumpeter (1934) menggambarkan kewirausahaan sebagai proses penciptaan kekayaan yang diukur melalui terjadinya perubahan struktur pasar yang ada karena pengenalan produk atau jasa baru yang menyebabkan penggunaan sumber daya meningkat dari sebelumnya sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan perusahaan baru. Lumpkin and Dess (2001) berpendapat bahwa proses penciptaan kreativitas dari seorang pengusaha akan menentukan keberhasilan suatu perusahaan.
29
Hubungan antara kewirausahaan dan inovasi didukung oleh penelitian Shane et al., (1991), yang menemukan bahwa inovasi adalah salah satu motif utama untuk memulai usaha. Lumpkin and Dess (2001) menyatakan bahwa inovasi mencerminkan kecenderungan perusahaan untuk terlibat dan mendukung ide-ide baru, eksperimentasi, dan proses kreatif dalam menghasilkan produk baru, jasa, atau proses teknologi. Inovasi mengacu pada kesediaan untuk bergerak maju dari teknologi atau praktek yang ada dan mengeksplorasi di luar perbatasan saat ini menunjukkan bahwa inovasi perusahaan adalah menciptakan usaha dan memperkenalkan produk baru ke pasar (Zahra and Garvis, 2000). Inovasi sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup suatu perusahaan karena merupakan sumber ide-ide yang mengarah pada perbaikan serta pengembangan perusahaan (Lumpkin and Dess 2001). Inovasi sangat penting karena kondisi pasar saat ini yang mengalami perubahan
sangat
cepat,
mengharuskan
sebuah
perusahaan
mampu
mempertahankan keunggulan kompetitif. Inovasi dapat menjadi kunci dan sumber kemajuan yang berdampak signifikan pada pertumbuhan bagi perusahaan (Lumpkin and Dess, 2001).
Risk-Taking Kemampuan mengelola atau mengambil risiko (risk taking) memerlukan kemauan dan keberanian untuk mengejar peluang subtansial yang menghasilkan kerugian atau perbedaan kinerja yang signifikan (Kuratko et al., 2001). Risk
30
taking biasanya dikaitkan dengan kewirausahaan karena konsep kewirausahaan termasuk asumsi pribadi mengambil risiko (Lumpkin and Dess, 2001). Pada tingkat perusahaan, pengambilan risiko mengacu pada kecenderungan untuk mendukung proyek-proyek dengan ketidakpastian tingkat pengembalian yang diharapkan (Walter et al, 2006). Menurut Lumpkin and Dess (2001), organisasi atau perusahaan menghadapi tiga jenis risiko, yaitu risiko bisnis, risiko keuangan, dan risiko pribadi (personal risk). Risiko bisnis mengacu pada risiko memasuki pasar belum teruji, atau berkomitmen untuk teknologi yang belum terbukti (Baird and Lucey, 2013 ; Dess and Lumpkin, 2005). Risiko keuangan yang berkaitan dengan peningkatan sumber dana untuk peningkatan pertumbuhan perusahaan (Baird and Lucey 2013 ; Dess and Lumpkin, 2005). Perusahaan dengan Orientasi Kewirausahaan yang tinggi akan terlibat dalam aktivitas bisnis yang berisiko, seperti penggunaan hutang yang tinggi dalam upaya untuk memperoleh keuntungan tinggi dengan memanfaatkan peluang di pasar (Lumpkin and Dess, 2001). Risiko pribadi berhubungan dengan tingkat keberanian seseorang. Manajer atau pemilik perusahaan diharuskan mengambil kebijakan terkait aktivitas operasional perusahaan, seperti memanfaatkan peluang, penggunaan hutang, dimana setiap keputusan yang diambil akan memiliki dampak tertentu. Risiko dalam hal ini berasal dari pengaruh eksekutif dalam menentukan arah perusahaan, yang memiliki kemungkinan terjadi kegagalan sehingga hal ini menjadi konsekuensi pribadi yang harus ditanggung (Dess and Lumpkin, 2005).
31
Semua aktivitas usaha menghadapi tingkat risiko tertentu (Lumpkin and Dess, 2001). Risk taking tidak berarti berspekulasi terhadap risiko tetapi mengelola dan memperhitungkan kemungkinan terjadinya suatu risiko (Dess and Lumpkin, 2005). Risiko dalam hal ini tidak mengacu ekstrim pada usaha berisiko yang tidak terkendali (Kuratko et al, 2001). Risiko merupakan konsekuensi dari kesempatan yang berbeda diuji dan skenario yang berbeda dibuat dalam rangka mengurangi tingkat risiko (Dess and Lumpkin, 2005).
Proaktif Proaktif
mengacu
pada
mengambil
inisiatif,
mengantisipasi
dan
melaksanakan peluang baru, dan menciptakan pasar baru atau berpartisipasi aktif, juga berhubungan dengan kewirausahaan (Entrialgo et al. 2000 dan Walter et al. 2006). Menurut Lumpkin and Dess (2001), sebuah perusahaan yang proaktif akan dapat mengidentifikasi masalah yang mungkin muncul dan mencari alternatif solusinya (Dess and Lumpkin, 2005). Proactiveness dapat menjadi kunci untuk keunggulan kompetitif, karena organisasi atau perusahaan secara aktif dan terus menerus mencari dan memanfaatkan setiap peluang. Venkatraman (2001) proactiveness mengacu pada proses yang bertujuan untuk meramalkan dan bertindak atas kebutuhan masa depan dengan mencari peluang baru yang mungkin berhubungan dengan menyajikan operasi yang berbeda dari perusahaan tersebut. Proactiveness dapat mengacu pada pengenalan produk yang benar-benar baru dan melakukan perubahan atau perbaikan pada
32
aktivitas operasional disesuaikan dengan perubahan trend masyarakat dan perkembangan teknologi. Orientasi wirausahawan
Kewirausahaan dalam
dalam
memanfaatkan
penelitian
peluang-peluang
ini
adalah
bisnis
dan
perilaku berani
melakukan usaha-usaha yang berisiko serta melakukan perubahan dan perbaikan produk dan aktivitas usaha pada IKM Unggulan di Bali.
2.5
Resource Based View (RBV) Theory Teori RBV mempertimbangkan kemampuan internal perusahaan sebagai
faktor penting dalam mengelola sumber daya yang dimiliki perusahaan agar perusahaan mampu meraih keunggulan bersaing (competitive advantage). Schienstock (2009) mengemukakan bahwa konsekuensi dari kemampuan manajemen mengelola sumber daya perusahaan secara terintegrasi dapat meningkatkan posisi competitive advantage yang dimiliki perusahaan. Barney (1991) menyatakan bahwa kapabilitas manjerial akan meningkat seiring dengan peningkatan competitive advantage perusahaan sehingga akhirnya mampu meningkatkan kinerja organisasi. Tipe kapabilitas dibedakan menjadi (1) Dynamic Capability, adalah kemampuan mencari dan menggunakan sumber daya perusahaan, kecepatan merespon peluang-peluang baru dan mampu menciptakan sesuatu yang baru serta beradaptasi dengan lingkungan eksternal. (2) Absorptive Capability, merupakan kemampuan terkait dengan proses mengolah informasi yang berasal dari lingkungan eksternal kemudian dipadukan dengan kemampuan mengintegrasikan
33
informasi tersebut dengan sumber daya yang dimiliki guna menyediakan produk yang sesuai dengan apa yang diinginkan pasar. Davis et al, (2010) mengungkapkan bahwa kapabilitas terdiri dari (1) Intentionalitas, yang berarti kemampuan manajer dalam menggunakan sumber daya baik berwujud maupun tidak berwujud untuk mencapai tujuan perusahaan. (2) Reliabilitas, yang berarti kemampuan manajer dalam mengelola operasional perusahaan yang diperlukan untuk menghasilkan produk berkualitas sesuai keinginan pasar. Kapabilitis organisasi selain membantu manajer membuat keputusan yang tepat, juga memfasilitasi pembentukan, pengintegrasian jaringan kerjasama baik internal maupun eksternal. Kapabilitas memungkinkan perusahaan secara efektif memecahkan masalah-masalah utamanya (Davis et al, 2010) Penelitian ini menggunakan variabel budaya organisasi yang digali dari kearifan lokal Bali (Catur Purusa Artha) yang merupakan sumber daya tidak berwujud (intangible asset) yang dapat mendorong meningkatkan kinerja keuangan IKM di Bali. Budaya Organisasi yang dimaksud dalam penelitian ini juga menjadi prediktor keputusan pendanaan bagi IKM di Bali.
2.6
Budaya Organisasi
2.6.1. Konsep Budaya Organisasi Budaya Organisasi merupakan pola perilaku atau gaya yang mendorong anggota baru untuk mengikutinya (Kotter and Heskett, 1997). Budaya Organisasi memiliki peran penting bagi anggota organisasi karena menyangkut tentang
34
simbol, ritual, mitos, cerita dan legenda tentang interpretasi kejadian, ide dan pengalaman yang dipengaruhi dan dibentuk oleh kelompok orang-orang di mana mereka saling berinteraksi (Frost, 1985). Hofstede (1991) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola pemikiran, perasaan, dan tindakan dari satu kelompok sosial, yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Siagian (2002 : 201) memberikan definisi budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota– anggota organisasi yang membedakan perusahaan tersebut dengan perusahaan lain. Dikemukakan pula bahwa budaya organisasi merupakan salah satu variabel penting bagi seorang pemimpin karena budaya organisasi mencerminkan nilainilai yang diakui dan menjadi pedoman bagi pelaku anggota organisasi. Robbins (1996) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi dan menjadi suatu sistem dari makna bersama. Schein (2004) mengartikan budaya organisasi sebagai filosofi dasar yang memberikan arahan bagi karyawan dan konsumen. Berdasarkan berbagai definisi tersebut, hal penting yang perlu ada dalam definisi budaya organisasi adalah suatu sistem nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh anggota dalam perusahaan, yang digunakan sebagai pegangan dalam menjalankan kewajiban dan perilakunya di dalam organisasi.
35
2.6.2 Model Budaya Organisasi 1) Model Budaya Organisasi Schein Schein (2004) membedakan elemen-elemen budaya organisasi dengan memperlakukan asumsi dasar sebagai esensi atau budaya inti, sedangkan nilai serta perilaku sebagai perwujudan yang diamati dari esensi budaya. Dikatakan bahwa, asumsi dasar dan nilai serta perilaku merupakan tingkatan budaya yang seharusnya
dibedakan
secara
hati-hati
untuk
menghindari
kebingungan
konseptual. Schein membagi budaya organisasi ke dalam tiga tingkatan bangunan, yaitu sebagai berikut. Tingkat pertama adalah artifak (artifact) di mana budaya bersifat kasat mata tetapi sering kali tidak dapat diartikan. Tingkat kedua adalah nilai (value) yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Tingkat ketiga adalah asumsi dasar (basic assumption) di mana budaya diterima begitu saja (taken for granted), tidak kasat mata dan kadang kala tidak disadari. Ketiga tingkatan budaya tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. a) Tingkat artifak (artifact) merupakan elemen dasar organisasi yang tampak
di permukaan sehingga paling mudah untuk dikenali karena dapat dilihat, didengar, dan dirasakan. Artifak biasanya mengambil bentuk berupa ceritacerita, mitos, jokes, metafora, upacara-upacara (rites) dan tata cara (rituals), perayaan, pahlawan dan simbol-simbol (symbols). Artifak juga mencerminkan organisasi dalam hal rancangan lingkungan fisik, bahasa yang digunakan, dan gaya dalam berbusana.
36
b) Tingkat nilai-nilai (values) merupakan bagian dari substruktur kognitif dari
sebuah budaya organisasi. Nilai-nilai lebih mengarah pada kode-kode moral dan etika dan menjadi penentu bagi setiap anggota organisasi tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Dalam hubungan dengan perbuatan atau tingkah laku, nilai-nilai tersebut dapat diukur dengan adanya perubahanperubahan atau melalui konsensus. c) Tingkat asumsi dasar (basic assumptions), merupakan solusi yang mau
tidak mau harus diterima sebagai solusi (taken for granded as the solution) sekaligus menjadi inti dan aspek terpenting dari budaya organisasi. Asumsi dasar memandu perilaku dan menyampaikannya pada anggota organisasi bagaimana memahami, berpikir dan merasakan tentang pekerjaan, tujuan kinerja, hubungan manusia dan kinerja yang umumnya tidak dikonfrontasi atau diperdebatkan karena sangat sulit untuk diubah.
2) Model Budaya Organisasi Koentjaraningrat Koentjaraningrat (2005 : 213) menguraikan Budaya Organisasi terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu : a)
Sistem Ide, dalam hal ini budaya berwujud idiil, sifatnya abstrak, berada dalam alam pikiran masyarakat atau anggota organisasi dimana budaya tersebut berada dan terjadi.
b) Sistem Sosial, dimana budaya berupa apa yang disebut dengan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
37
berhubungan, bergaul satu dengan yang lainnya, berdasarkan wujud idiil tersebut. c)
Sistem Kebendaan, dimana budaya disebut dengan sistem fisik, bersifat kongkrit dan berupa benda-benda.
2.6.3
Konsep Catur Purusa Artha Pada kehidupan masyarakat Bali, terdapat kebiasaan-kebiasaan atau adat
istiadat yang meyakini berbagai konsep tentang hidup. Salah satu konsep tentang hidup adalah Catur Purusa Artha yang terdiri dari kata Catur, Purusa dan Artha yang secara keseluruhan berarti empat tujuan hidup manusia (Kementrian Agama RI, 2010). Menurut A Sanskrit - English Dictionary (1974) Catur berarti empat, Purusa berarti jiwa/manusia, Artha berarti tujuan, apa yang dicari, apa yang dikejar dalam hidup. Menurut Sudharta (2009 : 114), Artha mempunyai arti dan pengertian berusaha, harapan atau menginginkan. Artha juga dapat berarti tujuan, maksud, motif, alasan atau keuntungan. Apabila artha dihubungkan dengan kama dan dharma, dapat diartikan sebagai benda material yang memiliki nilai ekonomis serta mempunyai arti penting dalam kehidupan sehari-hari seperti uang, harta benda, rumah. Terkait dengan bisnis, (PHDI, 2013) menguraikan bahwa catur purusa artha dapat dijadikan landasan strategi bisnis
38
Gambar 2.1 Catur Purusa Artha sebagai Landasan Strategi Bisnis
M O K S A
Tujuan Bisnis
(Value) Nilai Usaha
Kinerja Berkelanjutan
Pertumbuhan Usaha
Reputasi
Keuangan
A R T H A
Tingkat Pengembalian Investasi (ROI)
Kepuasan Pelanggan
K A M A Harga
D H A R M A
Mencari Pelanggan Baru
Waktu
Fungsi
Kesetiaan Pelanggan Lama
Kualitas
Kemitraa n
Citra
Proses Internal Manejemen operasi
Manajemen Pelanggan
Proses
Regulasi dan Proses Sosial
Inovasi Operasi
Sumber : PHDI (2013) dan ditambahkan berdasarkan hasil indepth interview
Menurut PHDI (2013) apabila suatu usaha menggunakan dharma sebagai landasan maka dapat diyakini akan dapat meningkatkan kinerjanya. Tujuan atau suatu perusahaan bisnis adalah menghasilkan barang/jasa yang dapat bermanfaat bagi masyarakat, sehingga hasil penjualannya dapat memenuhi target untuk memaksimalkan laba perusahaan. Berbagai istilah seperti Return On Investment
39
(tingkat pengembalian investasi), profitability (kemampuan meraih laba), peningkatan pendapatan (revenue growth) adalah merupakan cara untuk mengukur tingkat keberhasilan strategi perusahaan. Bagi perusahaan, untuk mewujudkan tujuan akhir dari bisnis berupa nilai (value) perusahaan yang diukur dengan kinerja perusahaan yang berkelanjutan, reputasi usaha yang baik dan pertumbuhan usaha harus didukung oleh tingkat pengembalian (laba) yang diperoleh perusahaan atas investasi yang telah dilakukan baik dengan menggunakan pendanaan internal maupun pendanaan eksternal Pencapaian target atau peningkatan laba perusahaan dapat dilakukan dengan menambah customer baru dan mempertahankan kesetiaan customer lama agar terus memanfaatkan produk / layanan perusahaan. Upaya untuk memuaskan kebutuhan pelanggan, tentu harus diiringi dengan penyusunan proses internal perusahaan. Proses internal tersebut antara lain mencakup kegiatan inovasi dan upaya penyesuaian terhadap regulasi atau peraturan serta kemampuan menjalin interaksi sosial dengan masyarakat sekitar. Internal process dapat mencapai tujuannya, jika dilaksanakan oleh personil yang memiliki komitmen tinggi dalam bekerja, serta kapabilitas cukup untuk melaksanakan peran yang ditugaskan. Modal sumber daya manusia (human capital) yang terdiri dari capability dan commitment ini, harus dibarengi dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk ketersediaan informasi agar mudah untuk mengambil keputusan (information capital) serta lingkungan kerja yang baik
40
untuk menghasilkan rangkaian nilai (value chain) yang diharapkan (organization capital). Berbagai tujuan dalam perspektif keuangan, kepuasan pelanggan, proses internal dan perspektif untuk terus belajar serta mengembangkan diri dari personil, akan membentuk rangkaian sebab akibat yang membangun peta strategi umum dalam mencapai tujuan. Target financial (Artha) dapat dicapai apabila tercapai kepuasan dari pelanggan (Kama). Kepuasan dari pelanggan dapat tercapai apabila institusi memiliki aturan - prosedur yang dapat : (1) menjamin dihasilkannya barang/jasa yang berkualitas, (2) membangun hubungan kemitraan yang berkelanjutan serta (3) kemampuan untuk membangun citra institusi. Dharma / aturan dapat mencapai tujuannya apabila dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki kesadaran untuk melaksanakan kewajibannya, memiliki komitmen yang kuat untuk mengabdi serta kemampuan atau kapabilitas yang cukup untuk melaksanakan peran yang diberikan.
2.6.4
Makna Universal Catur Purusa Artha Konsep Catur Purusa Artha seperti diungkapkan dalam Sarasamuscaya
sloka 261 dan 262, merupakan konsep lokal Bali berupa kebiasaan/adat istiadat (Sudharta, 2009 : 115). Konsep Catur Purusa Artha dikaitkan dengan teori Resource Based View (RBV) yang dijelaskan oleh Barney (1991) merupakan bagian dari sumber daya tidak berwujud perusahaan. Sumber daya tidak berwujud ini harus dikelola dengan baik agar mampu mendukung pencapaian kinerja perusahaan. Berkaitan dengan hal tersebut dan mengacu pada PHDI (2011) dalam
41
artikel yang berjudul Catur Purusa Artha sebagai landasan strategi bisnis, maka dapat diuraikan makna universal dari elemen-elemen Catur Purusa Artha sebagai berikut a. Dharma, merupakan proses bisnis internal perusahaan yang diwujudkan dengan aktivitas operasi, manajemen pelanggan, dan regulasi pemerintah b. Artha, merupakan target financial yang dimiliki oleh perusahaan yang diwujudkan dengan berusaha untuk beroperasi yang efisien, meningkatkan volume penjualan dan usaha (bisnis). c. Kama, upaya untuk meningkatkan kepuasan pelanggan melalui harga yang bersaing, pelayanan yang cepat, produk yang berkualitas dan kemitraan dengan pelanggan. d. Moksa, merupakan tujuan suatu usaha (bisnis) yaitu meningkatkan nilai (value) usaha yang diwujudkan dengan berupaya meningkatkan laba, reputasi dan kapabilitas usaha yang berkelanjutan.
2.6.5
Perbandingan Budaya Organisasi Konsep Koentjaraningrat dapat diwujudkan, pertama wujud ideal, sifat
abstrak, berada dalam alam pikiran masyarakat dimana kebudayaan tersebut tumbuh. Kedua sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan, bergaul satu dengan yang laing, berdasarkan atas wujud ideal tersebut. Ketiga sistem kebendaan yaitu fisik, bersifat kongkrit dan berupa benda-benda.
42
Konsep Budaya Organisasi Schein, terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu : pertama artifacts (hal yang dimodifikasi oleh manusia untuk suatu tujuan yang terlihat langsung pada struktur organisasi dan aktivitas atau proses yang dilakukan). Artifact merupakan hal yang paling mudah ditangkap saat kita memasuki sebuah organisasi karena berhubungan dengan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan ketika berada dalam lingkungan organisasi. Kedua espoused beliefs dan value adalah nilai-nilai pendukung yang mencakup strategi, tujuan dan filosofi dasar yang dimiliki oleh organisasi yang dapat dipahami apabila sudah berinteraksi dengan organisasi tersebut selama periode waktu tertentu. Nilai-nilai pendukung pada umumnya dinyatakan secara tertulis dan menjadi acuan dalam aktivitas anggota organisasi. Ketiga underlying basic assumptions merupakan asumsi-asumsi tersirat yang diyakini secara bersamasama. Konsep Budaya Catur Purusa Artha, yang dibentuk dari Dharma, Artha, Kama, dan Moksa; bila dikaitkan dengan konsep Budaya Organisasi Koentjaraningrat
maka : Moksa memiliki makna senada sistem Ide yang
merupakan wujud ide, sifat abstrak, berada dalam alam pikiran masyarakat dimana kebudayaan tersebut tumbuh; Dharma dan Kama identik dengan sistem sosial, yang
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
berhubungan, bergaul satu dengan yang lain, berdasarkan atas wujud ideal tersebut; Artha identik dengan sistem kebendaan berwujud fisik dan bersifat kongkrit.
43
Konsep Budaya Catur Purusa Artha dikaitkan dengan konsep Budaya Organisasi dari Schein, maka : Moksa identik dengan underlying basic assumptions, yaitu merupakan asumsi-asumsi tersirat yang diyakini secara bersama-sama ; Dharma dan Kama identik dengan espoused beliefs dan value yaitu nilai-nilai pendukung yang mencakup strategi, tujuan dan filosofi dasar yang dimiliki oleh organisasi yang dapat dipahami apabila sudah berinteraksi dengan organisasi tersebut selama periode waktu tertentu, pada umumnya dinyatakan secara tertulis dan menjadi acuan dalam aktivitas anggota organisasi. Artha identik dengan Artifact, yaitu hal yang dimodifikasi oleh manusia untuk suatu tujuan yang terlihat langsung pada struktur organisasi dan aktivitas atau proses yang dilakukan. Perbandingan tingkatan dan dimensi
Budaya Organisasi
yang telah
diuraikan secara ringkas disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Perbandingan Tingkatan dan Dimensi Budaya Organisasi Catur Purusa Artha
Koentjaraningrat
Schein
Moksa
Sistem Ide
Basic Assumptions
Dharma dan Kama
Sistem Sosial
Values
Artha
Sistem Kebendaan
Artifacts
Sumber : Schein (2004), Koentjaraningrat (2005), Sudharta (2009) Budaya Organisasi dalam penelitian ini adalah bentuk tingkah laku dari manajemen dan pemilik dari IKM Unggulan di Bali, berkaitan dengan pengambilan keputusan yang dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan serta identitas budaya. Nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan
44
serta identitas budaya yang dimaksud adalah Budaya Catur Purusa Artha yang diyakini diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari IKM di Bali.
2.7
Industri Kecil Menengah (IKM) Industri Kecil Menengah (IKM) merupakan bagian dari Usaha Kecil dan
Menengah. IKM adalah kegiatan ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Besar (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008). IKM dapat dibedakan menjadi Industri dengan kategori kecil dan menengah berdasarkan UU RI N0. 20 Tahun 2008 dan kriteria dari BPS (2013) seperti disajikan pada tabel berikut, Tabel 2.2 Klasifikasi Industri Kecil Menengah (IKM) Kecil Kekayaan Bersih > 50 – 500 (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) (juta rupiah) Penjualan Tahunan > 300 – 2.500 (juta rupiah) Tenaga Kerja 5 -19 (orang) Sumber : UU No.20 Tahun 2008 dan BPS Bali
Menengah > 500 – 10.000
> 2.500 – 50.000 20 - 99
IKM Unggulan adalah IKM yang menghasilkan produk unggulan daerah Bali, yaitu produk yang memiliki orientasi ekspor yang terdiri dari Industri Kayu
45
dan Pengolahan Kayu serta Industri Tekstil dan Produk Tekstil (Berdasarkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, 2012)
2.8
Hubungan antar Variabel Penelitian
2.8.1
Budaya Organisasi dan Keputusan Pendanaan Penggunaan hutang menjadi alternatif pendanaan perusahaan, untuk
meningkatkan modal untuk mengembangkan usahanya. Alternatif penggunaan hutang tersebut sudah merupakan kebiasaan yang bersifat umum, sehingga identik dengan budaya pada sebuah organisasi bisnis. Penelitian yang dilakukan oleh Chui et al., (2002) menemukan pengaruh positif signifikan budaya oraganisasi terhadap keputusan struktur modal perusahaan, dimana dimensi budaya perusahaan dikembangkan dari budaya lokal atau lokal genius. Hal yang sama juga ditemukan sebelumnya oleh Schwartz (1999). Penelitian yang dilakukan oleh Cao and Mauer (2010) terkait dengan Budaya Organisasi dan Keputusan Pendanaan yang diukur dengan penggunaan hutang perusahaan menemukan hasil bahwa budaya perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggunaan hutang perusahaan. Perusahaan dengan pergantian manajemen sebagai ukuran Budaya Organisasi cenderung untuk beralih kebijakan hutang mereka dari nol menjadi positif atau sebaliknya. Jika manajemen baru mewarisi pola kebiasaan budaya perusahaan yang lama, maka kebijakan hutang akan tetap sama seperti sebelumnya, perusahaan leverage akan terus menggunakan hutang dan perusahaan unlevered akan tetap tidak menggunakan hutang. Jika sebaliknya, manajemen baru membawa visi dan misi
46
baru, maka kebijakan hutang yang diambil berdasarkan kebijakan yang diprakarsai oleh manajemen baru. Oleh karena itu, implikasi keuangan dari budaya perusahaan adalah bahwa perubahan budaya perusahaan dapat mendorong perubahan dalam kebijakan struktur modal perusahaan. Bhaird and Lucey (2013) melakukan penelitian terkait peran variabel budaya dalam menentukan struktur modal. Peneliti melakukan penelitian pada 13 negara dan mengukur budaya berdasarkan Hofstede et al., (2010) dimana budaya dapat dijelaskan melalui : power distance, individuality, masculinity, uncertainty avoidance dan mengukur Keputusan Pendanaan dengan penggunaan hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang. Ditemukan hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara budaya dengan keputusan penggunaan hutang jangka pendek dan terdapat hubungan positif signifikan antara budaya dengan keputusan penggunaan hutang jangka panjang.
2.8.2
Budaya Organisasi dan Kinerja Keuangan Budaya Organisasi sangat berperan dalam meningkatkan Kinerja
Perusahaan. Astawa (2012) meneliti keterkaitan antara Budaya Organisasi dan Kinerja Keuangan Perusahaan. Penelitian dilakukan pada LPD (Lembaga Perkreditan Desa) Tahun 2010, ditemukan hubungan positif dan signifikan antara budaya dan Kinerja Keuangan Perusahaan yang diukur dengan profitabilitas. LPD yang memiliki nilai-nilai harmoni baik cenderung mempunyai Kinerja Keuangan yang tinggi, dimana nilai-nilai harmoni merupakan ukuran dari Budaya Organisasi pada LPD.
47
Hasil yang sama juga ditemukan oleh Lee and Yu (2004), Riana (2011), Mazzi (2011), Koszan et al., (2011), Anderson and Eshima (2011) yang mengkaji tentang pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perusahaan, ditemukan hubungan langsung yang signifikan, artinya semakin baik penerapan nilai-nilai Budaya, maka Kinerja Perusahaan akan semakin meningkat. Hasil yang berbeda ditemukan oleh Denison et al. (2004) dalam penelitiannya yang dilakukan pada IKM di wilayah Asia ditemukan hasil bahwa Budaya Organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja Perusahaan. Nold (2012) meneliti tentang hubungan antara Budaya Organisasi dengan Kinerja Perusahaan. Budaya Organisasi dalam penelitian ini diuraikan dengan tingkat kesadaran untuk melakukan suatu pekerjaan. Ditemukan hasil perusahaan dengan tingkat kesadaran tertanam pada seluruh karyawan dengan komposisi yang relatif tinggi dalam Budaya Organisasi memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki tingkat kesadaran yang rendah. Lawson et al., (2013) mengkaji hubungan antara Budaya Organisasi dengan Kinerja Perusahaan. Ditemukan hasil bahwa Budaya Organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap Kinerja Perusahaan. Penting bagi sebuah organisasi memahami Budaya dan bagaimana mengarahkannya agar dapat meningkatkan kinerja dan menghasilkan keuntungan terbesar.
2.8.3 Keputusan Pendanaan dan Kinerja Keuangan Hubungan antara Keputusan Pendanaan dengan Kinerja Perusahaan yang diukur dengan profitabilitas tidak dapat diabaikan karena peningkatan
48
profitabilitas diperlukan perusahaan untuk bertahan dalam jangka panjang (Gill et al. 2011). Keputusan Pendanaan yang tercermin dari struktur modal perusahaan memiliki peran yang sangat penting pada profitabilitas perusahaan. Pemilihan komponen modal dan penggunaan komponen ini memainkan peran penting dalam penetapan strategi keuangan. Hal ini disebabkan, keseimbangan yang baik dari hutang dan ekuitas dapat mempengaruhi profitabilitas perusahaan atau dengan kata lain bahwa profitabilitas suatu perusahaan secara langsung dipengaruhi oleh keputusan struktur modal Gatsi (2012) Nirajini and Priya (2013) meneliti dampak dari Keputusan Pendanaan perusahaan pada Kinerja Keuangan Perusahaan. Penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Colombo. Peneliti menemukan bahwa Keputusan Pendanaan perusahaan memiliki dampak yang positif signifikan terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan. Keputusan Pendanaan yang tercermin dari penggunaan hutang yang optimal akan meningkatkan Kinerja Keuangan Perusahaan. Penelitian Abor (2005) menguji pengaruh antara struktur modal dan profitabilitas perusahaan yang di ukur dengan Return On Equity (ROE) pada perusahaan yang tedaftar di Bursa Efek Ghana. Ditemukan bahwa hubungan positif dan signifikan antara struktur modal dan profitabilitas perusahaan. Toraman et al. (2013) juga meneliti tentang pengaruh keputusan struktur modal pada kinerja perusahaan yang dikur dengan profitabilitas perusahaan industri manufaktur di Turki. Ditemukan bahwa keputusan struktur modal berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan. Hasil senada juga ditemukan oleh Patel and
49
Bhatt (2013) yang melakukan penelitian pada perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Nasional India dan Gatsi (2012) di Bursa Efek Ghana. Hasil yang berbeda ditemukan oleh Velnampy and Niresh (2012) yang meneliti hubungan antara struktur modal dan profitabilitas dari 10 bank yang terdaftar Srilanka selama 8 tahun terakhir periode dari tahun 2002 hingga 2009. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara struktur modal dan profitabilitas. Peningkatan jumlah pembiayaan dengan hutang akan meningkatkan
pembayaran
bunga
sehingga
mengakibatkan
penurunan
profitabilitas. Sheikh and Wang (2013) melakukan penelitian tentang pengaruh struktur modal terhadap kinerja perusahaan non-keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Karachi Pakistan selama tahun 2004–2009. Peneliti menggunakan Debt Asset Ratio, Debt Equity Ratio dan Long Term Debt untuk mengukur struktur modal perusahaan dan menggunakan Gross Profit Margin (GPM), Net Profit Margin (NPM), Return on Capital Employed (ROCE), Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE ) sebagai ukuran Kinerja Keuangan Perusahaan. Hasil empiris menunjukkan bahwa struktur modal (rasio total hutang, hutang jangka panjang dan rasio hutang jangka pendek) berhubungan negatif dengan kinerja perusahaan (return on assets). Sebuah hubungan negatif antara struktur modal dan kinerja menunjukkan bahwa agency issues dapat menyebabkan perusahaan memutuskan untuk menggunakan hutang yang lebih tinggi dalam struktur modalnya. Penggunaan hutang yang tinggi akan meningkatkan pengaruh pemberi pinjaman
50
(hutang) yang akan membatasi kemampuan manajer untuk mengelola operasional perusahaanm sehingga akan mengakibatkan penuruan kinerja. Chechet and Olayiwola (2014) melakukan penelitian yang difokuskan pada struktur modal dan profitabilitas perusahaan yang terdaftar di Nigeria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio hutang pengaruh negatif terhadap profitabilitas perusahaan. Untuk perusahaan-perusahaan yang mengalami konflik keagenan dan memiliki kebutuhan dana untuk operasional perusahaan atau melakukan investasi, tidak relevan menggunakan rasio hutang (tinggi) dan pendanaan diutamakan dari ekuitas.
2.8.4
Orientasi Kewirausahaan dan Keputusan Pendanaan Orientasi Kewirausahaan dapat diuraikan dalam bentuk tindakan seperti
melakukan inovasi, proaktif dan berani mengambil atau mengelola risiko (Covin and Slevin, 1989). Industri yang ingin dapat bertahan dan mampu bersaing di dalam pasar harus mampu melakukan pengembangan usaha dan memiliki Orientasi Kewirausahaan yang tinggi. Untuk dapat bersaing di pasar internasional tentunya produk yang akan diekspor harus memiliki diferensiasi yang spesifik dengan produk lain, dalam hal ini sangat dituntut adanya inovasi-inovasi yang harus dilakukan oleh manajer atau pemilik perusahaan. Proses inovasi yang dilakukan dalam pengembangan produk dan proaktif dalam upaya mencari pasar baru akan memerlukan modal dalam jumlah besar. Keterbatasan modal sendiri bagi perusahaan, maka sumber dana dari hutang menjadi alternatif pilihan. Hal ini diperkuat dari hasil indepth interview yang
51
dilakukan dengan Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bali dan Asosiasi Industri Kayu Bali sebagai wakil dari responden penelitian (Industri Kecil Unggulan di Bali), dapat diuraikan bahwa pemilik yang menginginkan usahanya dapat bertahan dalam jangka panjang dan berkesinambungan akan berupaya untuk melakukan pengembangan usaha seperti pengembangan produk, mencari sesuatu yang baru, aktif melakukan promosi produk dan berani menghadapi risiko terkait pengembangan usaha tersebut. Upaya pengembangan usaha yang dilakukan pemilik merupakan karakteristik dari Orientasi Kewirausahaan
(Covin and Slevin (1989).
Pengembangan usaha memerlukan peningkatan modal, keterbatasan
modal
sendiri yang dimiliki akan menyebabkan pemilik mengambil keputusan menggunakan alternatif tambahan modal yang berasal dari hutang. Semakin tinggi Orientasi Kewirausahaan (inovatif, proaktif dan risk taking) maka akan menentukan besarnya penggunaan hutang perusahaan.
2.8.5
Orientasi Kewirausahaan dan Kinerja Keuangan Kinerja Keuangan
yang diukur dengan profitabilitas
perusahaan
dipengaruhi oleh Orientasi Kewirausahaan yang dimiliki oleh suatu organisasi atau perusahaan, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zahra dan Garvis (2000), Vitale and Miles (2002), Lim (2002), Ireland et al. (2003), Wiklund and Sherperd (2005) yang menemukan hasil yang sama yaitu Orientasi Kewirausahaan berpengaruh positif terhadap profitabilitas perusahaan atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat Orientasi Kewirausahaan perusahaan, maka
52
profitabilitas perusahaan semakin baik. Semakin tinggi tingkat Orientasi Kewirausahaan, maka semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini terjadi karena perusahaan dengan tingkat Orientasi Kewirausahaan yang tinggi akan selalu melakukan inovasi produk secara konsisten, berani mengambil risiko bisnis yang dipertimbangkan, serta bertindak proaktif terhadap kemungkinan perubahan lingkungan. Penelitian Zahra and Garvis (2000) Orientasi Kewirausahaan berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja perusahaan. Perusahaan-perusahaan AS telah memperluas operasi bisnis internasionalnya dengan proses inovasi, pengambilan risiko dan kegiatan kewirausahaan yang telah disertai proses globalisasi. Ketika lingkungan pasar luar negeri tidak menguntungkan, upaya peningkatan Orientasi Kewirausahaan internasional dapat meningkatkan pertumbuhan dan profitabilitas Kinerja Perusahaan. Penelitian yang mengkaji tentang keterkaitan Orientasi Kewirausahaan dengan Kinerja Perusahaan juga dilakukan oleh Davis et al. (2010) yang menemukanan bahwa Orientasi Kewirausahaan (inovatif, proaktif dan risk taking) berpengaruh positif signifikan terhadap Kinerja Perusahaan (net profit). Secara kolektif, tiga dimensi inovatif, proaktif dan risk taking memungkinkan seorang pemimpin untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang yang muncul dalam lingkungan perusahaan dan membangun strategi kewirausahaan yang mengarah pada pertumbuhan perusahaan. Ndubisi and Iftikhar (2012) menemukan hubungan langsung positif dan signifikan antara Orientasi Kewirausahaan dan Kinerja Perusahaan. Secara
53
khusus, tiga dimensi kewirausahaan yaitu inovatif, proaktif dan risk taking secara signifikan berpengaruh terhadap Kinerja Perusahaan. Hubungan ini tidak berbeda antara Industri Kecil dan Menengah, sehingga ukuran bukanlah faktor kunci dalam menjelaskan kontribusi Orientasi Kewirausahaan terhadap kinerja IKM. Hakala (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Entrepreneurial dan learning orientation : effects on growth dan profitability in the software sector juga menemukan hasil bahwa Orientasi Kewirausahaan berpengaruh positif signifikan terhadap Kinerja Perusahaan yang diukur dengan profitabilitas perusahaan.
2.9
Pemetaan Posisi Penelitian Perkembangan
studi
mengenai
Budaya
Organisasi,
Orientasi
Kewirausahaan, Keputusan Pendanaan dan Kinerja Keuangan Perusahaan dipetakan sebagai berikut :
54
Tabel 2.3 Pemetaan Posisi Riset terdahulu yang berhubungan dengan Budaya Organisasi, Orientasi Kewirausahaan, Keputusan Pendanaan dan Kinerja Keuangan Penelitian
Budaya
Orientasi
Keputusan
Kinerja
(Tahun)
Organisasi
Kewirausahaan
Pendanaan
Keu Perush
x
1. Zahra and Garvis (2000)
x
2. Chui et al (2002) 3. Kessapidou and Versakelis (2002)
x
x
x
x
4. Lee and Yu (2004)
x
x x
5. Abor (2005)
x
6. Walter et al (2006)
x
x
7. Lee and Lim (2009)
x
x x
8. Ebaid (2009) 9. Cao and Mauer (2010)
x
x
10. Li et al (2010)
x
x
11. Zheng et al (2012)
x
x
12. Kearney et al (2012)
x
x
x
13. Poudel et al (2012)
x
x
14. Kraus et al (2012)
x
x
15. Gatsi (2012)
x
x
16. Ahmad (2012)
x
x
17. Skopljak and Luo (2012)
x
x
18. Bhaird and Lucey (2013)
x
x
19. Uzkurt et al (2013)
x
x
20. Murphy et al (2013)
x
x
21. Farley (2013) DP 2008
x
x
22. Nirajini and Priya (2013)
x
x
23. Leon (2013)
x
x
x
x
24. Anik (2014)
x
x
Keterangan : tanda silang (x) menunjukkan posisi obyek studi yang dilakukan.