BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konflik dalam kehidupan manusia Kornblurn dalam Susan, mengatakan bahwa konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial-politik. Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antarorang (interpersonal conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan Negara (vertical conflict), konflik antarnegara (interstate conflict). Setiap skala memiliki latar belakang dan arah perkembangannya. Masyarakat di dunia pada dasarnya memiliki sejarah konflik dalam skala antara perorangan sampai antarnegara. Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana akan mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan (Susan, 2010:9). Teori-teori mengenai berbagai penyebab konflik menurut Fisher et al. (2001) terbagi ke dalam enam teori: 1. Teori Hubungan Masyarakat Teori yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
23 Universitas Sumatera Utara
2. Teori Negosiasi Prinsip Teori yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. 3.Teori Kebutuhan Manusia Teori yang berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. 4. Teori Identitas Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. 5. Teori Kesalahpahaman Antar Budaya Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda. 6. Teori Transformasi Konflik
24 Universitas Sumatera Utara
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sama seperti karakteristik konflik secara umum, konflik-konflik atas sumber daya alam juga umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu antara lain 1. Masalah hubungan antarmanusia Konflik yang terjadi dari adanya masalah dalam hubungan antarmanusia biasanya dipicu oleh emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotipe adalah komunikasi dan tingkah laku negatif yang berulang. Komponen-komponen itu sering memunculkan konflik yang tidak realistis dan tidak perlu. Konflik jenis ini dapat terjadi di mana dan kapan saja. Bahkan tidak dalam kondisi objektif untuk munculnya suatu konflik, misalnya jenis ini cenderung memicu pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik destruktif yang tidak perlu. 2.Masalah kepentingan Konflik kepentingan merupakan konflik yang terjadi karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan ataupun yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik ini terjadi karena suatu pihak lebih yakin bahwa untuk memenuhi kebutuhannya pihak lain harus berkorban. Umumnya, konflik jenis ini dipicu oleh (1) masalah-masalah mendasar seperti uang, sumber daya fisik dan waktu, (2) masalah tata cara, seperti sikap dalam menanggapi suatu masalah, (3) masalah psikologis, seperti persepsi, kepercayaan, kehormatan dan keadilan. Dalam hal ini 25 Universitas Sumatera Utara
bisa saja yang mau dilihat adalah adanya sumber daya laut yang pada dasarnya diperuntukkan bagi masyarakat sekitar sumber daya. Masyarakat yang ada juga memiliki kepentingan-kepentingan dalam mengelola sumber daya, bahkan ada beberapa pihak yang memanfaatkan kepentingan tersebut untuk kepentingan pribadi saja. 3.Masalah nilai Konflik nilai merupakan konflik yang disebabkan oleh ketidaksesuaian sistem-sistem kepercayaan yang hanya dirasakan ataupun yang benar-benar ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya. Sebab, nilai menjelaskan yang baik dan yang buruk, benar atau salah, maupun adil atau tak adil. Pada dasarnya, perbedaan nilai tidak harus memicu konflik. Manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis walaupun nilai-nilai yang dianut berbeda. Karena itu, konflik baru muncul jika seseorang atau kelompok memaksakan suatu sistem nilai kepada seseorang atau kelompok lain. Selain itu, konflik ini juga akan muncul jika seseorang atau suatu kelompok mengklaim dan mengekslusifkan suatu sistem nilai sekaligus tidak bersikap toleran terhadap nilai lain. 4. Masalah struktural Konflik struktural merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Posisi para pihak dalam konflik jenis ini dipicu oleh pihak penguasa. Sebab, pihak penguasa memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan umum, sehingga pihak ini lebih berpeluang dalam mengakses
26 Universitas Sumatera Utara
sumber daya sekaligus mengontrol sumber daya tersebut. Selain wewenang formal, faktor geografis, sejarah dan waktu juga seringkali digunakan sebagai alasan oleh penguasa untuk memberi keputusan-keputusan yang menguntungkan pihaknya sendiri. 2.2 Pemetaan Konflik SIPABIO (Source, Issues, Parties, Attitude, Behaviour, Intervention, Outcome) Pemetaan konflik dapat membantu menggambarkan konflik secara grafis yang berguna untuk melihat secara keseluruhan aktor-aktor konflik dan hubunganhubungannya. Pada dasarnya, dalam konflik skala besar, aktor yang terlibat jika dipetakan akan sangat banyak dan masing-masing memiliki peran terhadap konflik. Aktor-aktor ini termasuk aktor di belakang layar. Namun, dalam suatu konflik yang menjadi “sorotan utama” adalah dua pihak yang bertindak sebagai aktor utama yang saling berlawanan. Secara singkat, tujuan-tujuan pokok melakukan pemetaan konflik adalah untuk memahami situasi dengan lebih baik, untuk melihat hubungan di antara berbagai pihak dengan jelas, untuk menjelaskan di mana letak kekuasaan, dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang telah dilakukan masing-masing aktor konflik. Menurut Fisher dalam Susan, pemetaan konflik meliputi pemetaan pihak berkonflik dan berbagai aspirasi dari pihak-pihak yang ada. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. Ketika masyarakat yang memiliki berbagai sudut pandang berbeda memetakan situasi
27 Universitas Sumatera Utara
mereka secara bersama, mereka saling mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing. Menurut Coser dalam Susan, setiap konteks masyarakat dengan berbagai tipe konflik yang ada, seperti realistis atau non realistis akan menghasilkan pemetaan yang berbeda-beda. Pada masyarakat tertentu akan terhasilkan satu pemetaan yang sederhana, sedangkan pada masyarakat yang lain bisa saja tergambarkan peta konflik yang bergitu kompleks. Satu model pemetaan konflik dikembangkan oleh sosiolog dari United Nations-University for Peace, Amr Abdalla, dalam Novri Susan (2009) yaitu model SIPABIO (2002). SIPABIO adalah: a. Source (sumber konflik). Konflik ini disebabkan oleh sumber-sumber yang berbeda sehingga melahirkan tipe-tipe konflik yang berbeda. Sumber-sumber konflik yang dimaksud pada bagian ini didasarkan kepada hubungan konflik, nilai konflik, struktur konflik, konflik kepentingan, dan data konflik. Keseluruhan bagian-bagian ini akan di lihat dilapangan apakah kesemuanya terdeteksi. Berdasarkan hasil observasi pertama, bahwa sumber konflik yang muncul di Desa Bagan Asahan terkait dengan banyaknya perbedaanperbedaan mulai dari pengelolaan sumber daya, model tangkapan, kewenangan
otoritas,
dan
lain-lain.
Perbedaan-perbedaan
ini
akan
menimbulkan konflik antar sesama pengguna dan pengelola sumber daya kelautan dan akan dilihat berdasarkan beberapa kriteria diatas.
28 Universitas Sumatera Utara
b. Issues (isu-isu). Isu menunjuk pada saling keterkaitan tujuan-tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai. Isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang teridentifikasi tentang sumber-sumber konflik. Ketidakcocokan ini dapat dilihat dari pihak-pihak yang bertikai di Desa Bagan Asahan. Asumsi awal adalah munculnya konflik antar nelayan khususnya dengan nelayan pukat trawl dikarenakan ketidakcocokan penggunaan alat tangkap. Asumsi ini akan terus dikembangkan seiring penelitian dilakukan sehingga sumber konflik dikarenakan ketidakcocokan penggunaan alat tangkap. c. Parties (pihak). Pihak berkonflik adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflik utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung terkait dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik. Pihak tersier ini yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik. Adapun yang termasuk ke dalam pihak-pihak bertikai adalah individu-individu, kelompok, organisasi, komunitas, atau suatu bangsa. Keterkaitan dengan topik penelitian, maka asumsi awal ada beberapa pihakpihak yang saling berkonflik. Pihak-pihak ini saling terkait dalam pengelolaan sumber daya laut mulai dari nelayan tradisional yang sifatnya lebih individual, nelayan dengan kapal bermotor (mulai dari tonase rendah hingga tonase tinggi), lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah, dan lain-lain. Pihak-pihak inilah yang menjadi actor utama dan pembantu dalam konflik yang sedang bertikai. 29 Universitas Sumatera Utara
d. Attitudes/feelings (sikap). Sikap adalah perasaan dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap yang dimaksud adalah adanya perasaan positif dan negative antara pihak-pihak yang saling berkonflik. Pihak-pihak yang sudah disebutkan diatas memiliki pola-pola umum dari pengharapan,
orientasi
emosional,
dan
persepsi
yang
menyertai
keterlibatannya di dalam situasi konflik. Adanya persepsi-persepsi dari pihakpihak diatas tentang konflik akan dilihat sebagai pemetaaan konflik nelayan. e. Behaviour (perilaku/tindakan). Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action dan noncoercive action. Perilaku dari pihak yang berkonflik akan mempengaruhi pihak lainnya, misalnya perilaku nelayan pukat trawl dalam mengeksplore sumber daya laut dilihat tidak sesuai dengan paham kelestarian sumber daya laut sehingga memunculkan perilaku dari nelayan tradisional untuk melakukan suatu aksi. Aksi tersebut bisa saja bersifat negative seperti pembakaran kapal dan tindakan repressif lainnya. f. Intervention (campur tangan pihak lain). Intervensi adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan konflik menemukan penyelesaian. Adapun yang menjadi pendekatan dalam intervensi konflik adalah manajemen konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik. Pendekatan ini akan dilihat dilapangan dengan mengelompokkannya ke dalam pihak-pihak yang berkonflik. Adanya pendekatan ini diharapkan pihak-pihak yang berkonflik mampu merubah perilaku mereka terhadap situasi konflik yang terjadi selama ini sehingga mampu meminimalisir konflik sebelumnya. 30 Universitas Sumatera Utara
g. Outcome (hasil akhir). Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan pihakpihak berkonflik dalam bentuk situasi. Dari beberapa pemaparan diatas, bagian ini adalah hasil akhirnya dari pemetaan konflik. Hasil akhir dari pemetaan konflik tidak selalu berbuah manis dalam artian meredam konflik. Hasil akhir yang negative juga menjadi outcome of conlict dari pemetaan diatas. Pemetaan konflik yang dilakukan di Desa Bagan Asahan juga bernasib yang sama. Tujuan untuk meredam konflik antar nelayan khususnya dengan nelayan pukat trawl menjadi outcome of conflict pemetaan di Desa Bagan Asahan. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemetaan ini menghasilkan negative outcome of conflict Salah satu pemetaan konflik etnis di Rwanda dengan berdasar pada poin-poin dalam metode SIPABIO ialah: Poin yang pertama yakni Source yang berarti sumber, dalam hal ini adalah sumber konflik. Sesuai penjelasannya bahwa sumber konflik yang berbeda akan melahirkan konflik yang berbeda pula. Sumber-sumber konflik itu salah satunya meliputi nilai-nilai seperti identitas, dalam kaitannya dengan konflik yang terjadi di Rwanda ini perbedaan identitas antara pelaku konflik dalam hal ini adalah
etnis,
dimana
konflik
terjadi
antara
sekelompok
manusia
yang
mengatasnamakan etnis Hutu dan etnis Tutsi. Suku Hutu merupakan penduduk mayoritas yang tinggal di negara Rwanda dengan jumlah penduduk mencapai presentase 85% dari 7,4 juta jiwa penduduk negara Rwanda, sedangkan Etnis Tutsi sendiri merupakan masyarakat dusun yang sudah menetap di negara Rwanda sejak
31 Universitas Sumatera Utara
awal abad 15 dengan Jumlah penduduk hanya 14% dari jumlah keseluruhan jumlah penduduk Sumber konflik lainnya adalah model hubungan sosial (analisis konstruksi sosial) dimana dalam kasus Rwanda ini kostruksi sosial yang terjadi adalah adanya stratifikasi etnis. Walaupun sebagai penduduk yang jumlahnya minoritas namun pada masa masuknya kolonial Eropa yakni datangnya negara kolonial Belgia, Belgia lebih memihak pada etnis Tutsi karena etnis Tutsi sebagai penduduk minoritas dinilai memiliki keadaan fisik yang lebih baik daripada etnis Hutu dan memberikan kekuasaan kepada suku Tutsi. Poin yang kedua yakni Issues (isu-isu). Berdasarkan penjelasannya, isu menunjuk pada saling keterkaitan tujuan-tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai dan isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang tidak teridentifikasi. Dalam kasus Rwanda ini, isu yang muncul dan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik adalah isu kematian presiden Habyarimana selaku presiden dari etnis Hutu setelah pemerintahan Rwanda dipegang oleh etnis Hutu pasca dekolonisasi Belgia. Isu tersebut menyebutkan bahwa pelaku pembunuhan presiden Habyarimana dilakukan oleh orang suruhan dari etnis Tutsi. Isu tersebut dibuat oleh suku Hutu sendiri terutama dari kaum ekstrimis Hutu karena menolak misi presidennya. Bahkan kemungkinan sebenarnya peristiwa pembunuhan presiden Habyarimana itu sengaja dilakukan oleh para Hutu ekstrimis demi melancarkan rencana mereka membantai suku Tutsi. Misi presiden untuk
32 Universitas Sumatera Utara
menciptakan negara multietnis di Rwanda, yang memungkinkan memberikan kesempatan kembali pada etnis Tutsi untuk masuk dalam pemerintahan inilah yang tidak disetujui atau tidak sejalan dengan tujuan kalangan ekstrimis Hutu yang ingin tetap mempertahankan pemerintahan satu suku. Poin yang ketiga adalah Parties yang berarti pihak berkonflik. Dalam hal ini adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflik utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik. Dalam konflik di Rwanda pihak utama yang berkonflik adalah etnis Hutu dan etnis Tutsi. Pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan adalah negara-negara tetangga dari Rwanda dimana menjadi tempat pengungsian etnis Tutsi, salah satunya negara Uganda yang bahkan menjadi pusat Rwandan Patriotic Front (RPF) yang merupakan gerakan pemberontak bentukan etnis Tutsi Pihak tersier dalam konflik Rwanda ini adalah PBB yang mengirim beberapa pasukan demi membantu meredam konflik Rwanda. Poin yang keempat adalah Attitudes / felling dalam hal ini adalah sikap, yakni perasaan dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap bisa muncul dalam bentuk yang positif dan negatif bagi konflik. Dalam kasus konflik di Rwanda, attitudes dijelaskan dengan adanya perasaan dendam serta persepsi buruk dari suku Hutu terhadap suku Tutsi. Perasaan tersebut muncul sebagai bentuk dendam setelah hal yang dialami etnis Hutu pada masa Rwanda diduduki Belgia. Etnis Hutu
33 Universitas Sumatera Utara
termarjinalisasikan sehingga muncul kecemburuan sosial pada etnis Tutsi. Perasaan dendam dan persepsi yang buruk terhadap etnis Tutsi inilah yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya konflik etnis di Rwanda, bahkan berujung pada terjadinya genosida. Poin yang kelima adalah Behaviour (perilaku / tindakan). Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action dan noncoercive action. Dalam konflik Rwanda ini terdapat tindakan koersif yakni terjadinya genosida yang memakan ratusan ribu korban jiwa. Pembantaian besarbesaran terhadap etnis Tutsi oleh etnis Hutu pada saat momentum terbunuhnya presiden Habyarimana. Hal tersebut dijadikan alasan oleh ekstrimis Hutu untuk membantai etnis Tutsi. Sedangkan tindakan non koersif ditandai dengan adanya upaya perundingan dan perjanjian yang dilakukan etnis Tutsi melalui gerakan RPF (Rwanda Patriotic Front) dengan presiden Habyarimana yang memang bercita-cita menciptakan negara multietnis di Rwanda. Etnis Tutsi meminta dibentuknya Arusha Accords, yaitu perjanjian di mana Presiden akan memberikan kesempatan dan juga tempat untuk orang Tutsi memiliki posisi dalam pemerintahan. Namun perjanjian tersebut tidak terimplementasi dengan baik karena adanya pertentangan keras dari ekstrimis etnis Hutu yang menolak kebijakan tersebut. Poin yang keenam adalah Intervention (campur tangan pihak lain). Intervensi adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan
34 Universitas Sumatera Utara
konflik menemukan penyelesaian. Dalam kasus ini adalah pihak tersier yakni PBB sebagai organisasi internasional telah mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Rwanda. PBB membentuk pasukan dengan misi menjaga perdamaian di Rwanda. Misi ini bernama United Nations Assistance Mission for Rwanda, atau biasa disebut UNAMIR. UNAMIR dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 872 (1993) pada 5 Oktober 1993 untuk membantu mengimplementasikan perjanjian Arusha. Namun upaya intervensi PBB guna menciptakan perdamaian di Rwanda ini gagal dengan tetap terjadinya genosida di Rwanda. Hal ini disebabkan karena kurangnya personil pasukan dari pihak PBB dan tidak adanya bantuan tambahan pasukan dari negara-negara anggota DK PBB. Poin yang ketujuh atau yang terakhir adalah Outcome (hasil akhir). Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan pihak - pihak berkonflik dalam bentuk situasi akhir dari konflik yang berlangsung. Dalam kasus konflik etnis di Rwanda situasi akhir terutama setelah ada campur tangan PBB sebagai upaya perdamaian, dimana awalnya dianggap gagal karena tidak dapat mencegah terjadinya genosida. Setelah terjadi genosida tersebut memicu tindak balasan dari etnis Tutsi dalam bentuk pemberontakan yang juga memakan banyak korban. Hingga akhirnya kemudian terjadi kudeta pada tahun 2007 sehingga pemerintahan dapat direbut kembali oleh suku Tutsi. Saat ini Rwanda adalah salah satu negara termiskin di dunia dengan penghasilan per kapita, menurut perkiraan Bank Dunia, sebesar 270 dolar AS pada tahun 1991 Perdana Menteri Rwanda Faustin Twagiramungu, yang memangku jabatan setelah kudeta berharap pemerintahnya akan dapat menerima bantuan dana
35 Universitas Sumatera Utara
dari dunia Internasional untuk membangun pemerintahan serta negaranya. Namun bantuan dana dari dunia Internasional tidak kunjung datang karena dipersulit dengan adanya birokrasi yang berbelit-belit. Sehingga dalam konflik etnis di Rwanda ini dapat dilihat bahwa peran dunia Internasional melalui PBB ini sebenarnya kurang maksimal dalam upayanya menyelesaikan konflik. Terlihat dari keengganan negara-negara Anggota DK PBB untuk memberikan bantuan pasukan ke Rwanda sebelum terjadinya genosida, justru mereka hanya membantu upaya evakuasi warga negara asing yang ada di Rwanda agar tidak menjadi korban konflik juga. Di sisi pendanaan komunitas Internasional juga tidak kunjung mengucurkan dana bantuan pembangunan justru hanya menekankan pada penduduk Rwanda agar menghindari tindak kekerasan, padahal secara logika manusia keadaan dimana perut lapar dan kondisi miskin maka manusia cenderung akan bertindak agresif mengarah kekerasan untuk mendapatkan apa saja yang mereka inginkan (http://ayiephfrastia.blogspot.com/2013/02/metode-pemetaankonflik-sipabio.html)
36 Universitas Sumatera Utara