BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1.
Tinjauan tentang Matematika
a.
Pengertian Matematika Andi Hakim Nasution (Karso, 2007: 1.39) mengatakan bahwa istilah
matematika berasal dari bahasa Yunani mathein atau manthenein yang berarti mempelajari, namun diduga kata itu erat pula hubungannya dengan kata Sansekerta
medha atau widya yang berarti kepandaian, ketahuan, atau
intelegensi. Menurut Ruseffendi ( Karso, 2007: 1.39) matematika itu terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma,
dan
dalil-dalil,
dimana
dalil-dalil
setelah
dibuktikan
kebenarannya berlaku sacara umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu deduktif. Selanjutnya menurut Reys (Karso, 2007: 1.40) mengatakan bahwa matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat. Sedangkan menurut Kline (Karso, 2007: 1.40) matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi beradanya itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Matematika dapat pula diartikan dengan ide-ide (gagasan-gagasan), struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur secara logik sehingga matematika itu berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Suatu kebenaran matematika dikembangkan berdasarkan atas alasan logik dengan menggunakan pembuktian deduktif. (Herman Hudojo, 1988: 3).
11
Matematika adalah angka-angka perhitungan yang merupakan bagian dari hidup manusia. Matematika menolong manusia memperkirakan secara eksak berbagai ide dan kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem menarik. Matematika membahas faktor-faktor dan hubungan-hubungannya, serta membahas problem ruang dan bentuk (Karso, 2007: 1.42). Berdasarkan pernyataan dari para ahli matematika di atas dapat dikatakan bahwa matematika suatu pengetahuan yang tidak sempurna karena dirinya sendiri, jadi keberadaan matematika itu sendiri untuk membantu permasalahan manusia dalam bidang sosial, ekonomi, dan alam. Hal ini berarti belajar matematika adalah belajar konsep yang terdapat dalam bahan-bahan yang sedang dipelajari, serta lebih memahami lagi konsep yang terdapat dalam materi tersebut.
b. Tujuan Pembelajaran Matematika Menurut Karso (2007: 2.7) tujuan pendidikan matematika di jenjang pendidikan dasar mengacu kepada fungsi matematika serta kepada tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam GBHN. Diungkapkan dalam GBHN matematika kurikulum pendidikan dasar, bahwa tujuan umum diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar meliputi dua hal, yaitu: 1)
Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang sedang berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, kritis, cermat, jujur, dan efektif. 2) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Tujuan umum pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar yang pertama di atas memberikan penekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa. Sedangkan pada tujuan yang kedua memberikan penekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam membantu mempelajari ilmu pengetahuan lainnya. (Karso. 2007: 2.8) 12
Karso (2007: 2.8) diungkapkan dalam GBPP Matematika SD, bahwa tujuan pengajaran matematika di SD meliputi 4 hal, yaitu: 1) Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari. 2) Menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika. 3) Memiliki pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). 4) Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pembelajaran matematika itu sendiri adalah membekali peserta didik agar mampu terjun ke masyarakat yang dibekali dengan ilmu-ilmu yang bersifat logis. Setelah siswa diberi pembelajaran matematika yang bersifat logis diharapakan siswa mampu membentuk sikap yang logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin. Serta diharapkan siswa mampu menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini tujuan matematika yang diambil oleh peneliti adalah mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep matematika yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan Standar Kompetensi “menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah”. Dengan Kompetensi Dasar “Mengubah pecahan ke bentuk persen dan desimal serta sebaliknya.”. Dengan materi pokok “mengubah pecahan biasa ke bentuk desimal serta sebaliknya”.
13
c.
Fungsi Matematika Menurut Karso (2007: 2.6) fungsi matematika ada 3, yaitu:
1) Matematika sebagai alat Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaanpersamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya. Bila seorang siswa dapat melakukan perhitungan, tetapi tidak dapat menyatakan tepat atau tidaknya operasi yang digunakan atau tidak tahu alasannya, maka tentunya ada yang salah dalam pengerjaannya atau ada sesuatu yang belum dipahami. 2) Matematika sebagai pembentukan pola pikir. Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Dengan pengamatan terhadap contoh-contoh dan bukan contoh diharapkan siswa mampu menangkap pengertian suatu konsep. Selanjutnya dengan abstrak ini, siswa dilatih untuk membuat perkiraan terkaan, atau kecenderungan berdasarkan kepada pengalaman atau pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-contoh khusus (generalisasi). 3) Matematika sebagai ilmu pengetahuan Guru harus mampu menunjukkan bahwa matematika selalu mencari kebenaran, dan bersedia meralat kebenaran yang telah diterima, bila diketemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuanpenemuan sepanjang mengikuti pola pikir yang sah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi dari matematika itu sendiri ada 3, yaitu: matematika sebagai alat, matematika sebagai pola pikir, matematika sebagai ilmu pengetahuan. Apabila suatu pembelajaran sudah berpedoman pada ketiga fungsi tersebut, maka tujuan dari pembelajaran matematika pun akan tercapai dengan maksimal.
14
d. Ruang Lingkup Matematika Karso (2007: 2.10) dalam GBPP Matematika SD menjelaskan bahwa ruang lingkup materi atau bahan kajian matematika SD ada lima, yaitu: 1) Unit Aritmatika (Berhitung) Unit aritmatika dasar atau berhitung mendapat porsi dan penekanan utama. Sebagian besar dari bahan kajian matematika SD adalah berhitung yaitu bagian dari matematika yang membahas bilangan dengan operasinya beserta sifat-sifatnya. Bilangan diperkenalkan dengan pendekatan urutan bilangan asli serta kumpulan benda konkret. Sedangkan pembahasannya disajikan secara bertahap mulai dari bilangan-bilangan kecil terus berkembang ke arah yang lebih besar. Kemudian dibahas pula soal-soal cerita atau soal-soal dengan kalimat, dan hitung uang yang disesuaikan dengan pengenalan bilangan serta kenyataan-kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. 2) Unit Pengantar Aljabar Unit pengantar aljabar adalah perluasan terbatas dari unit aritmatika dasar. Dengan dasar pemahaman tentang bilangan, dilakukan rintisan pengenalan aljabar. Variabel (peubah) diperkenalkan dalam bentuk (...) atau atau yang serupa itu. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, secara bertahap diperkenalkan huruf-huruf seperti n, x, a, sebagai pengganti titik-titik dan kotak tersebut. Namun istilah variabel di SD tetap tidak diperkenalkan karena kemungkinan dipandang terlalu abstrak dan belum sesuai dengan perkembangan kemampuan anak usia SD. 3) Unit Geometri Unit geometri mengutamakan pengenalan bangun datar dan bangun ruang. Namun di SD, istilah geometri sendiri tidak diperkenalkan. Bangunbangun geometri diperkenalkan melalui proses non formal, konkret, dan diawali dengan bangun-bangun yang sering dijumpai para siswa dalam kehidupan sehari-hari. Bangun-bangun datar yang diperkenalkan diantaranya segitiga, lingkaran, persegi, persegipanjang, trapesium, jajargenjang, dan macam-macam sudut. Sedangkan bangun-bangun ruangnya seperti kubus, balok, limas, kerucut, bola, tabung, dan macam-macam prisma. 4) Unit Pengukuran Pengukuran diperkenalkan sejak kelas I sampai dengan kelas VI dan diawali dengan pengukuran tanpa menggunakan satuan baku. Di kelas-kelas yang lebih tinggi baru diperkenalkan pengukuran dengan satuan baku. Adapun konsep-konsep yang diperkenalkan dalam pengukuran mencakup pengukuran panjang, keliling, luas, berat, volume, sudut, dan waktu dengan satuan-satuan ukurannya. Selain itu di SD diperkenalkan satuan ukuran jumlah (satuan banyak ) seperti lusin, kodi, dan gros. 5) Unit Kajian Data Yang dimaksud dengan kajian data adalah pembahasan materi statistik secara sederhana di SD. Unit kajian data ini hanya diberikan di kelas V dan kelas VI saja. Dalam topik kajian data ini terdapat kegiatan pengumpulan 15
data, menyusun data, dan manyajikan data secara sederhana, serta membaca data yang telah disajikan dalam bentuk diagram. Data yang dikaji diambil dari lingkungan kelas dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yang mudah diamati seperti data banyaknya siswa pria dan wanita dan data berat badan serta tinggi badan.
Dalam mencapai semua materi matematika SD diperlukan suatu kurikulum yang menjadi pegangan bagi guru. Kurikulum yang saat ini digunakan yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di dalam KTSP termuat Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). SK dan KD yang termuat dalam standar isi mata pelajaran matematika merupakan tujuan minimun yang harus dicapai oleh siswa, dan merupakan acuan untuk mengembangkan kurikulum untuk tingkat satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan siswa yang difasilitasi oleh guru dalam suatu proses pembelajaran.
e.
Karakteristik Pembelajaran Matematika di SD Menurut Karso (2007: 2.16) karakteristik pembelajaran matematika di jenjang
sekolah dasar ada 4, yaitu: 1) Pembelajaran matematika adalah berjenjang (bertahap) Bahan kajian matematika diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dimulai dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih sukar. Pembelajaran matematika harus dimulai dari yang konkret, ke semi konkret, dan berakhir pada yang abstrak. Di SD penggunaan benda-benda konkret masih diperlukan untuk mempermudah pemahaman siswa terhadap objek matematika. Penggunaan gambar dapat dipandang sebagai semi konkret dan termasuk kepada salah satu usaha untuk memahami konsep yang abstrak sebagai wujud dari berjenjangnya pembelajaran matematika. 2) Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral Dalam setiap memperkenalkan konsep atau bahan yang baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari siswa sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari, dan sekaligus untuk mengingatkannya kembali. Pengulangan konsep dalam bahan ajar dengan memperluas dan mendalamkannya adalah perlu dalam 16
pembelajaran matematika. Metode spiral bukanlah mengajarkan konsep hanya dengan pengulangan atau perluasan saja, tetapi harus ada peningkatan. Spiralnya harus spiral naik bukan spiral datar. 3) Pembelajaran matematika menekankan pola pendekatan induktif Matematika adalah ilmu deduktif, matematika tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun sesuai dengan perkembangan intelektual siswa di SD, maka dalam pembelajaran matematika perlu ditempuh pola pikir atau pola pendekatan induktif. Misalnya dalam pengenalan suatu bangun datar, tidak diawali oleh definisi bangun datar tersebut dan mengenal namanya. Setelah memahami nama-nama bangun datar yang bersesuaian, siswa dapat memperkaya dalam situasi yang khusus. Pemahaman konsep-konsep matematika melalui contoh-contoh tentang sifat-sifat yang sama yang dimiliki dan yang tidak dimiliki oleh konsep-konsep tersebut merupakan tuntutan pembelajaran matematika usia SD. 4) Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi Kebenaran dalam matematika sesuai dengan struktur deduktif aksiomatiknya. Kebenaran-kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi, tidak ada pertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan terdahulu yang telah diterima kebenarannya. Dalam pembelajaran matematika di SD, meskipun ditempuh pola induktif, tetapi tetap bahwa generalisasi suatu konsep haruslah bersifat deduktif. Kebenaran konsistensi tersebut mempunyai nilai didik yang sangat tinggi dan amat penting untuk pembinaan sumber daya manusia dalam kehidupan sehari-hari.
17
Tabel 1. SK dan KD untuk Kelas V SD Semester 2 Standar kompetensi Bilangan 5. Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah
Kompetensi dasar 5.1. Mengubah pecahan ke bentuk persen dan desimal serta sebaliknya 5.2. Menjumlahkan dan mengurangkan berbagai bentuk pecahan 5.3. Mengalikan dan membagi berbagai bentuk pecahan 5.4. Menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala
Geometri dan Pengukuran 6. Memahami sifat-sifat bangun 6.1. Mengidentifikasi sifat-sifat dan hubungan antar bangun bangun datar 6.2. Mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang 6.3. Menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana 6.4. Menyelidiki sifat-sifat kesebangunan dan simetri 6.5. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan bangun datar dan bangun ruang sederhana
Dalam penelitian ini akan mengambil SK dan KD untuk kelas V SD semester 2 dalam materi pokok pengerjaan hitung pecahan: a.
Standar Kompetensi 5.
b.
Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah.
Kompetensi Dasar 5.1. Mengubah pecahan ke bentuk persen dan desimal serta sebaliknya. 18
c.
Indikator 1.
Mengubah pecahan biasa ke bentuk desimal.
2.
Mengubah desimal ke bentuk pecahan biasa.
2.
Tinjauan tentang Hasil Belajar Matematika
a.
Hasil Belajar Matematika Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (product) menunjuk kepada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatnya berubahnya input secara fungsional. Hasil adalah perolehan yang didapatkan karena adanya kegiatan mengubah bahan (raw materials) menjadi barang jadi (finished goods). Hal yang sama berlaku untuk memberikan batasan bagi istilah hasil panen, hasil penjualan, hasil pembangunan, termasuk hasil belajar (Haryanto, 2007: 25).
Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang. Pengetahuan keterampilan, kebiasaan, kegemaran, dan sikap seseorang terbentuk, dimodifikasi dan berkembang disebabkan karena belajar. Karena itu seseorang dikatakan belajar, bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu menjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku. Menurut Slameto (2003: 2) “belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah
laku
yang baru
secara
keseluruhan,
sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Sedangkan C. Asri Budiningsih (2005: 34) mendefinisikan “belajar menurut teori kognitif yaitu suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.” Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar yang terjadi 19
antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sri Anitah, dkk (2008: 2.4) mengatakan bahwa belajar adalah proses pengalaman (learning is experience), artinya belajar itu suatu proses interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dalam interaksi tersebut terjadi proses mental, intelektual, dan emosional yang pada akhirnya menjadi suatu sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dimilikinya.
Hilgard (I. L. Pasaribu & B. Simanjuntak, 1980: 76) mengatakan belajar adalah suatu proses perubahan tingkah kegiatan reaksi terhadap lingkungan, perubahan tersebut tidak dapat disebut belajar apabila disebabkan oleh pertumbuhan atau keadaan sementara seseorang seperti kelelahan atau disebabkan obat-obatan. Menurut Muhibbin Syah (2003: 92) “belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.” Sedangkan Cronbach (Abd. Rachman Abror, 1993: 66) menyatakan “Learning is show by a change in behaviour as a result of experience”. Jadi menurut Cronbach, belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami, dan dalam mengalami itu si pelajar menggunakan panca inderanya. Menurut Robert M. Gagne (Sumadi Suryadinata, 2004: 231) “Learning is a change in human disposition or capacity, which persists over a period of time, and which is not simply ascribable to processes of growth”. Tegasnya menurut Gagne, belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan
20
tingkah laku, yang keadaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu. Degeng (Yatim Riyanto, 2009: 5) mendefinisikan belajar merupakan pengaitan pengetahuan baru pada struktur kognitif yang sudah dimiliki si pelajar. Hal ini mempunyai arti bahwa dalam proses belajar, siswa akan menghubunghubungkan pengetahuan atau ilmu yang telah tersimpan dalam memorinya dan kemudian menghubungkannya dengan pengetahuan baru. Sedangkan Tabrani Rusyan, Atang Kusdinar dan Zainal Arifin (1989: 8) berpendapat bahwa belajar dalam arti yang luas ialah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi, atau lebih luas lagi, dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi.
Ernest R. Hilgard (Abd. Rachman Abror, 1993: 66) menyatakan “Learning is the process by which an activity originates or is changed through training procedures (whethever in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changed by factors not attributable to training”. Tegasnya menurut Hilgard, belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya. Beberapa penjelasan dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya.
21
Seseorang dikatakan belajar dengan menunjukkan beberapa ciri-ciri. Oemar Hamalik (Tabrani Rusyan, Atang Kusdinar dan Zainal Arifin, 1989: 12) mengemukakan bahwa ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut: 1) Proses belajar ialah mengalami, berbuat, mereaksi, dan melampaui. 2) Proses itu berjalan melalui bermacam-macam pengalaman dan mata pelajaran yang terpusat pada suatu tujuan tertentu. 3) Pengalaman belajar secara maksimum bermakna bagi kehidupan tertentu. 4) Pengalaman belajar bersumber dari kebutuhan dan tujuan peserta didik sendiri yang mendorong motivasi secara berkesinambungan. 5) Proses belajar dan hasil belajar disyarati oleh hereditas dan lingkungan. 6) Proses belajar dan hasil usaha belajar secara material dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan individual di kalangan peserta didik. 7) Proses belajar berlangsung secara efektif apabila pengalaman-pengalaman dan hasil-hasil yang diinginkan disesuaikan dengan kematangan peserta didik. 8) Proses belajar yang terbaik ialah apabila peserta didik mengetahui status dan kemajuannya. 9) Proses belajar merupakan kesatuan fungsional dari berbagai prosedur. 10) Hasil-hasil belajar secara fungsional bertalian satu sama lain, tetapi dapat didiskusikan secara terpisah. 11) Proses belajar berlangsung secara efektif di bawah bimbingan yang merangsang dan membimbing tanpa tekanan dan paksaan. 12) Hasil-hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertianpengertian, sikap-sikap, apresiasi, abilitas, dan keterampilan. 13) Hasil-hasil belajar diterima oleh peserta didik apabila memberi kepuasan pada kebutuhannya dan berguna serta bermakna baginya. 14) Hasil-hasil belajar dilengkapi dengan jalan serangkaian pengalaman yang dapat dipersamakan dan dengan pertimbangan yang baik. 15) Hasil-hasil belajar itu lambat laun dipersatukan menjadi kepribadian dengan kecepatan yang berbeda-beda. 16) Hasil-hasil belajar yang telah dicapai bersifat kompleks dan dapat berubahubah (adaptable) jadi tidak sederhana dan statis.
Dari beberapa penjelasan-penjeasan di atas, dapat disimpulkan pengertian dari hasil belajar matematika yaitu suatu proses perubahan tingkah laku seorang individu dari sebelum mengalami proses belajar dan sesudah mengalami proses belajar khususnya pada mata pelajaran matematika. Benyamin S. Bloom (Rosjidan, 2001: 4) membagi tujuan pendidikan atas tiga ranah (dominan) yaitu 22
ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam ranah kognitif hasil belajar tersusun dalam 6 tingkatan yaitu : 1) pengetahuan, 2) pemahaman, 3) aplikasi, 4) analisis, 5) sintesis, 6) evaluasi. Ranah afektif meliputi sikap dan nilai-nilai terdiri atas 1) penerimaan (perhatian), 2) responding, 3) valuing, 4) organisasi, 5) karakertisasi melalui suatu nilai kompleks nilai. Terakhir ranah psikomotor terdiri atas 1) persepsi, 2) set, 3) respon terkendali, 4) mekanisme, 5) respon kentara yang kompleks, 6) adaptasi, dan 7) keaslian. Dan dalam penelitian ini hasil belajar yang diambil yaitu hasil belajar ranah kognitif. Menurut Nana Sudjana (1989: 50) tipe hasil belajar ranah kognitif diketegorikan menjadi 6, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Tipe hasil belajar pengetahuan hafalan (knowledge). Tipe hasil belajar pemahaman (comprehention). Tipe hasil belajar penerapan (aplikasi). Tipe hasil belajar analisis. Tipe hasil belajar sintesis. Tipe hasil belajar evaluasi.
Rosjidan, dkk (2001: 5) memberikan saran terhadap pengajaran yang menggunakan tujuan kognitif, yaitu: 1) Ketika merencanakan setiap unit belajar, siapkan daftar istilah dan fakta yang perlu diketahui siswa. 2) Pusatkan perhatian pada dalil dan rumus yang membantu anak belajar dan memecahkan masalah. 3) Telaah bab atau unit belajar untuk menentukan kecenderungan dan urutannya sehingga dapat dijabarkan. 4) Pusatkan perhatian pada teknik mengklasifikasi informasi atau untuk menghubungkan antar orang, objek dan kejadian dengan menempatkan menurut kategorinya. 5) Jika anda menyuruh siswa membuat penilaian, berikan kategorinya yang memungkinkan mereka gunakan untuk menentukan kualitas dan efektivitas serta nilai. 6) Bila mengajar siswa yang lebih tua, pusatkan perhatian pada prinsip, hukum ,teori, dan bagaimana mereka membuat pemahaman atas berbagai kejadian. 23
7) Buat usaha sistematik sebagai cara mendorong siswa menterjemahkan, menginterpretasi, menganalisis, mensintesis, ekstrapolasi, dan mengevaluasi.
Menurut Wiji Suwarno (2009: 108) “bentuk soal yang digunakan untuk mengukur hasil belajar pada ranah kognitif yaitu dengan tes lisan, tes tertulis, dan tes perbuatan.” Penggunaan bentuk soal yang akan digunakan oleh guru perlu disesuaikan juga dengan materi yang telah disampaikan. Penggunaan bentuk soal yang kurang tepat akan berpengaruh terhadap hasil belajar yang akan diperoleh siswa.
b. Pentingnya Penilaian Hasil Belajar Menurut Suharsimi (S. Eko Putro Widoyoko, 2010: 36) guru maupun pendidik lainnya perlu mengadakan penilaian terhadap hasil belajar siswa karena dalam dunia pendidikan, khususnya dunia persekolahan penilaian hasil belajar mempunyai makna yang penting, baik bagi siswa, guru maupun sekolah. Ada pun makna penilaian bagi ketiga pihak tersebut adalah: 1) Makna Bagi Siswa Dengan diadakannya penilaian hasil belajar, maka siswa dapat mengetahui sejauh mana telah berhasil mengikuti pelajaran yang disajikan oleh guru. Hasil yang diperoleh siswa dari penilaian hasil belajar ini ada dua kemungkinan: a) Memuaskan Jika siswa memperoleh hasil yang memuaskan dan hasil itu menyenangkan, tentu kepuasan itu ingin diperolehnya lagi pada kesempatan lain waktu. Akibatnya, siswa akan mempunyai motivasi yang cukup besar untuk belajar lebih giat, agar lain kali mendapat hasil yang lebih memuaskan. Keadaan sebaliknya dapat juga terjadi, yakni siswa sudah merasa puas dengan hasil yang diperoleh dan usahanya menjadi kurang gigih untuk lain kali. b) Tidak Memuaskan Jika siswa tidak puas dengan nilai yang diperoleh, ia akan berusaha agar lain kali keadaan itu tidak terulang lagi. Maka ia selalu belajar giat. 24
Namun demikian, dapat juga sebaliknya. Bagi siswa yang lemah kemauannya, akan menjadi putus asa dengan hasil yang kurang memuaskan yang telah diterimanya. 2) Makna Bagi Guru a) Berdasarkan hasil penilaian yang diperoleh, guru akan dapat mengetahui siswa-siswa mana yang sudah berhak melanjutkan pelajarannya karena sudah mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) kompetensi yang diharapkan, maupun mengetahui siswa-siswa yang belum berhasil mencapai KKM kompetensi yang diharapkan. Dengan petunjuk ini guru dapat lebih memusatkan perhatiannya kepada siswasiswa yang belum berhasil mencapai KKM kompetensi yang diharapkan. b) Berdasarkan hasil penilaian yang diperoleh, guru akan dapat mengetahui apakah pengalaman belajar (materi pelajaran) yang disajikan sudah tepat bagi siswa sehingga untuk kegiatan pembelajaran di waktu yang akan datang tidak perlu diadakan perubahan. c) Berdasarkan hasil penilaian yang diperoleh, guru akan dapat mengetahui apakah strategi pembelajaran yang digunakan sudah tepat atau belum. Jika sebagian besar siswa memperoleh hasil penilaian yang kurang baik maupun jelek pada penilaian yang diadakan, mungkin hal ini disebabkan oleh strategi atau metode pembelajaran yang kurang tepat. Apabila demikian halnya, maka guru harus introspeksi diri dan mencoba mencari strategi lain dalam kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. 3) Makna Bagi Sekolah a) Apabila guru-guru mengadakan penilaian dan diketahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya, maka akan dapat diketahui apakah kondisi belajar maupun kultur akademik yang diciptakan oleh sekolah sudah sesuai dengan harapan atau belum. Hasil belajar siswa merupakan cermin kualitas suatu sekolah. b) Informasi hasil penilaian yang diperoleh dari tahun ke tahun dapat digunakan sebagai pedoman bagi sekolah untuk mengetahui apakah yang dilakukan oleh sekolah sudah memenuhi standar pendidikan sebagaimana dituntut Standar Nasional Pendidikan (SNP) atau belum. Pemenuhan berbagai standar akan terlihat dari bagusnya hasil penilaian belajar siswa. c) Informasi hasil penilaian yang diperoleh dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi sekolah untuk menyusun berbagai program pendidikan di sekolah untuk masa-masa yang akan datang.
Penilaian hasil belajar memang penting untuk dilakukan oleh guru. Karena hal itu akan membawa hal yang positif bagi siswa, guru, dan sekolah. Pentingnya penilaian hasil belajar bagi siswa yaitu dapat digunakan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar dari peserta didik, dengan memberikan penilaian hasil 25
belajar dapat diketahui sejauh mana perkembangan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Selain itu penilaian hasil belajar juga dapat mendiagnosa kesulitan belajar dari peserta didik. Dan hal itu dapat dijadikan patokan dari guru untuk melakukan suatu perbaikan. Pentingnya penilaian hasil belajar bagi guru yaitu dapat dijadikan sebagai dasar apakah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru sudah berhasil atau belum. Apabila belum, maka guru harus mengubah strategi pembelajaran yang dilakukan, hal itu dilakukan tentu bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik. Pentingnya penilaian hasil belajar bagi sekolah yaitu hasil belajar yang diperoleh siswa bisa dijadikan acuan apakah pembelajaran sudah terlaksana dengan baik atau belum. Apabila belum, maka perlu dilakukan suatu inovasi lain untuk melakukan perbaikan hasil belajar yang diperoleh siswa.
3.
Tinjauan tentang Tes
a.
Pengertian Tes Menurut S. Eko Putro Widoyoko (2009: 45) “tes merupakan salah satu alat
untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek.” Dalam pembelajaran objek ini bisa berupa kecakapan peserta didik, minat, motivasi, dan sebagainya. Tes merupakan bagian tersempit dari penilaian. Sedangkan menurut Djemari (S. Eko Putro Widoyoko, 2009: 45) tes merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnya kemampuan seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui respon seseorang terhadap stimulus atau pertanyaan. 26
Menurut Linn dan Gronlund dalam (Cece Rakhmat & Didi Suherdi, 1999: 66) yakni test is an instrument or systematic procedure for measuring a sample of behaviour (tes adalah sebuah alat atau prosedur sistematik bagi pengukuran sebuah sampel perilaku). Lebih jauh Linn dan Gronlund merinci bahwa tes “answer the questions ‘How well does the individual perform----either in comparison with others or in comparison with a domain of performance task?” (tes menjawab pertanyaan ‘Seberapa baikkah seorang siswa melakukan tugas pelajaran baik dibandingkan dengan siswa lainnya, maupun dibandingkan dengan tolok ukur pengerjaan sebuah tugas pelajaran”). Menurut Abd. Rachman Abror (1993: 169) “tes adalah sejumlah soal atau pertanyaan yang harus dijawab ataupun serangkaian tugas khusus yang harus dikerjakan oleh testee dalam waktu tertentu. Kemudian hasilnya dinilai yang diwujudkan dalam bentuk angka atau huruf ataupun kedudukan sekaligus.” Amir Daien Indrakusuma (1975: 27) mengatakan bahwa “tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk memperoleh data-data atau keterangan-keterangan yang diinginkan tentang seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat.” Dari beberapa penjelasan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tes merupakan alat untuk mengukur kemampuan siswa dalam menanggapi stimulus yang diberikan oleh guru dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan.
27
b. Ciri-Ciri Tes Yang Baik Tepat tidaknya data yang diperoleh sebuah tes akan sangat tergantung atas kualitas atau tingkat kebaikan tes yang digunakan. Hanya tes yang baik yang akan menghasilkan data yang tepat seperti yang dimaksudkan. Menurut Cece Rakhmat & Didi Suherdi (1999: 67) “tingkat kebaikan suatu tes sekurang-kurangnya dapat dilihat dari 4 ciri berikut: 1) validitas, 2) reliabilitas, 3) tingkat kesukaran, dan 4) kepraktisan.” 1) Validitas Tes yang baik akan meniliki tingkat validitas yang tinggi. Istilah validitas pada dasarnya menunjukkan tingkat ketepatan dalam mengungkap data yang semestinya diungkapkan. Tes hasil belajar yang valid akan mengungkap aspek-aspek hasil belajar secara tepat. Dengan kata lain tes tersebut menguji apa yang semestinya dites. Untuk menjamin validitas sebuah tes, pembuat tes perlu membuat kisi-kisi sebagai pedoman penyusunan tes, sehingga soal-soal yang dibuat tidak menyimpang dari tujuan pengukuran dan representatif terhadap keseluruhan bahan ajar yang akan diungkap. 2) Reliabilitas Kalau validitas menunjukkan pada tingkat ketetapan, reliabilitas menunjukkan tingkat ketetapan, keajegan, atau kemantapan. Suatu tes yang reliabel akan mampu mengahasilkan data yang relatif ajeg dan konsisten, sehingga hasilnya dapat dipercaya. Sebagai contoh, umpamakan sebuah kegiatan pengetesan menghasilkan data sebagai berikut: siswa “A” mendapat skor 65, siswa “B” 68, siswa “C” 73, siswa “D” 60. Kalau setelah beberapa 28
wakrtu tertentu, tes itu diberikan ulang kepada siswa-siswa yang sama dan menghasilkan skor-skor yang relatif sama, maka tes tersebut memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi. 3) Tingkat kesulitan Suatu tes yang baik akan memiliki tingkat kesukaran yang seimbang dalam kaitan ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama berkaitan dengan proporsi penyebaran soal yang sulit, sedang, mudah. Kedua, berkaitan dengan kemampuan siswa yang dimaksud oleh tes tersebut. Seorang guru bisa keliru mengambil keputusan, karena soal yang diberikan terlalu sulit atau terlalu mudah. Di sinilah perlunya seorang guru menimbang tingkat kesukaran soal yang digunakan baik secara rasional maupun secara empirik. Mengenai proporsi penyebaran soal, memang tidak ada kriteria yang pasti. Namun, lazimnya soal-soal yang memiliki tingkat kesukaran sedang lebih banyak daripada yang sulit atau yang mudah. Sebagai contoh, sebuah tes sebaiknya memiliki proporsi penyebaran sebagai berikut: 25% sulit, 50% sedang, dan 25% mudah. 4) Kepraktisan. Kepraktisan juga merupakan salah satu ciri yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan tingkat kebaikan tes. Pengertian kepraktisan menyangkut segi kemudahan dalam mengadministrasikan tes. Semakin mudah sebuah tes diadministrasikan, semakin baik tes itu dilihat dari segi ini. Menurut peneliti ciri-ciri tes yang baik yaitu validitas, reliabilitas, tingkat kesulitan yang berbeda, dan kepraktisan. Selain ciri-ciri yang sudah dijelaskan di 29
atas, tes yang baik juga harus mempunyai ciri objektivitas. Yang dimaksud dengan objektivitas di sini yaitu tidak ada unsur pribadi yang mempengaruhinya. Jadi, dalam pelaksanaa tes tidak boleh terdapat faktor subjektif yang mempengaruhi, terutama dalam proses penyekoran. Selain itu tes yang baik juga harus memenuhi syarat ekonomis. Yang dimaksud dengan ekonomis di sini yaitu pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.
c.
Prinsip-Prinsip Dasar Tes Hasil Belajar Ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan di dalam menyusun tes
hasil belajar agar tes tersebut benar-benar dapat mengukur tujuan pelajaran yang telah diajarkan, atau mengukur kemampuan dan atau keterampilan siswa yang diharapkan setelah siswa menyelesaikan suatu unit pengajaran tertentu. Menurut Ngalim Purwanto (1992: 23) prinsip dasar tes hasil belajar ada 6, yaitu: 1) Tes tersebut hendaknya dapat mengukur secara jelas hasil belajar (learning outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan instruksional. 2) Mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar dan bahan pelajaran yang telah diajarkan. 3) Mencakup bermacam-macam bentuk soal yang benar-benar cocok untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan tujuan. 4) Didesain sesuai dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan. 5) Dibuat seandal (relible) mungkin sehingga mudah diinterpretasikan dengan baik. 6) Digunakan untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara mengajar guru.
30
d. Prosedur Penyusunan Tes Hasil Belajar Menurut Cece Rakhmat & Didi Suherdi (1999: 76) secara garis besar, prosedur penyusunan tes hasil belajar menempuh langkah-langkah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi tujuan-tujuan pembelajaran dan lingkup bahan ajar yang semestinya diungkap 2) Menyusun kisi-kisi 3) Membuat/menulis soal sekaligus dengan kunci jawaban 4) Mengadakan pemerikasaan (judgemenet) terhadap setiap butir soal secara rasional 5) Mengorganisasikan tes menurut tipe-tipe soal yang dibuat 6) Memahami petunjuk pengerjaan soal 7) Mengadakan uji coba (try out) 8) Merevisi soal 9) Mengorganisasikan kembali soal dalam bentuk final 10) Memperbanyak soal Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis tes tertulis. Bentuk tes yang digunakan oleh peneliti yaitu menggunakan bentuk tes pilihan ganda (multiple choise) dan bentuk tes jawaban singkat.
4.
Tinjauan tentang Tes Pilihan Ganda S. Eko Putro Widoyoko (2010: 59) “tes pilihan ganda adalah tes di mana
setiap butir soalnya memiliki jumlah alternatif jawaban lebih dari satu.” Pada 31
umumnya jumlah alternatif jawaban berkisar antara 2 (dua) atau 5 (lima). Tentu saja jumlah alternatif jawaban tersebut tidak boleh terlalu banyak. Bila alternatif jawaban lebih dari lima maka akan sangat membingungkan peserta tes, dan juga akan sangat menyulitkan penyusunan butir soal. Tipe tes ini dalam bahasa inggris dikenal dengan nama multiple choise item ( butir soal pilihan majemuk atau ganda). Tipe tes ini adalah yang paling populer dan paling banyak digunakan dalam kelompok tes objektif karena banyak sekali materi yang dapat dicakup. Wiji Suwarno (2009: 108) mendefinisikan “tes pilihan ganda yaitu tes yang memiliki jawaban terbatas dan biasanya memiliki jawaban terbatas. Tes objektif dapat mencakup banyak materi, penskorannya objektif dan dapat dikoreksi oleh komputer maupun orang lain.” Setiap tes pilihan ganda terdiri dari dua bagian, yaitu: pernyataan atau disebut juga stem, dan alternatif pilihan jawaban atau disebut juga option. Stem mungkin dalam bentuk pernyataan atau dapat juga dalam bentuk pertanyaan. Alternatif jawaban yang bukan kunci dinamakan pengecoh atau distractors. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tes pilihan ganda yaitu suatu soal yang terdiri dari sebuah stem (pernyataan atau pertanyaan ) dan option (pilihan jawaban). Jadi dalam soal pilihan ganda sudah disediakan alternatif jawaban, beberapa alternatif jawaban yang bukan kunci jawaban merupakan pengecoh.
32
a.
Karakteristik Tes Pilihan Ganda Berbeda dengan tes uraian, tugas-tugas dan persoalan-persoalan dalam tes
pilihan ganda sudah distruktur, sehingga jawaban terhadap soal-soal tersebut sudah dapat ditentukan secara pasti. Dalam tes pilihan ganda, siswa tidak mempunyai kesempatan untuk mengorganisasikan jawabannya sendiri, karena alternatif-alternatif jawaban sudah disediakan, dan siswa tinggal memilih jawaban mana yang paling tepat. Penguasaan bahan ajar yang diukur dengan tes pilihan ganda pada umumnya lebih terbatas kepada hal-hal yang bersifat faktual (dangkal) bila dibandingkan dengan tes uraian. Namun tes ini lebih cenderung dapat mengungkap bahan ajar secara luas, karena waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan setiap soal relatif singkat. Proses penyekoran dan pemeriksaan hasilnya juga lebih mudah, sehingga dalam waktu yang relatif singkat diselesaikan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa dalam jumlah relatif banyak.
b. Pedoman Penyusunan Tes Pilihan Ganda Menurut S. Eko Putro Widoyoko (2010: 71) pedoman penyusunan tes pilihan ganda adalah sebagai berikut: 1) Inti permasalahan harus dicantumkan dalam rumusan pokok soal, sehingga dengan membaca pokok soal siswa sudah dapat menentukan jawaban sebelum dilanjutkan membaca pilihan jawaban. 2) Hindari pengulangan kata-kata yang sama dalam pilihan. 3) Hindari rumusan kata yang berlebihan.
33
4) Kalau pokok soal merupakan pernyataan yang belum lengkap, maka kata atau kata-kata yang melengkapi harus diletakkan pada ujung pernyataan, bukan di tengah-tengah kalimat. 5) Susunan alternatif jawaban dibuat teratur dan sederhana. 6) Semua pilihan jawaban harus homogen dan dimungkinkan sebagai jawaban yang benar. 7) Hindari jawaban yang benar selalu ditulis lebih panjang dari jawaban yang salah. 8) Hindari adanya petunjuk/indikator pada jawaban yang benar. 9) Gunakan tiga atau lebih alternatif pilihan jawaban. 10) Pokok soal diusahakan tidak menggunakan ungkapan atau kata-kata yang bermakna tidak pasti, misalnya: kebanyakan, sering kali, kadang-kadang, dan sejenisnya. 11) Pokok soal sedapat mungkin dalam pernyataan atau pertanyaan positif.
c.
Kelebihan Tes Pilihan Ganda Menurut S. Eko Putro Widoyoko (2010: 68) kelebihan dari tes pilihan ganda
yaitu: 1) Butir soal tes pilihan ganda dapat digunakan untuk mengukur segala level tujuan pembelajaran. 2) Jumlah butir soal yang relatif banyak maka penarikan sampel pokok bahasan yang akan diujikan dapat lebih luas. 3) Penskoran hasil tes dapat dilakukan secara objektif. 34
4) Tipe butir soal pilihan ganda disusun sedemikian rupa sehingga menuntut kemampuan peserta tes untuk membedakan berbagai tingkat kebenaran sekaligus. 5) Jumlah pilihan yang disediakan lebih dari dua.Tipe butir soal pilihan ganda memungkinkan dilakukan analisis butir soal secara baik. 6) Tingkat kesukaran butir soal dapat diatur, dengan hanya mengubah tingkat homogenitas alternatif jawaban. 7) Informasi yang diberikan lebih kaya.
Sedangkan menurut Cece Rakhmat & Didi Suherdi (1999: 90) kelebihan dari tes pilihan ganda yaitu: 1) Waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan soal objektif lebih singkat. 2) Panjang-pendeknya suatu tes (banyak-sedikitnya jumlah butir soal) bisa berpengaruh terhadap kadar reliabilitas. 3) Proses penyekoran dapat dilakukan secara mudah. 4) Proses penilaian dapat dilakukan secara objektif.
d. Kekurangan Tes Pilihan Ganda Menurut S. Eko Putro Widoyoko (2010: 70) kekurangan dari tes pilihan ganda yaitu: 1) Relatif lebih sulit dalam penyusunan butir soal.
35
2) Ada kecenderungan bahwa guru menyusun butir soal tipe ini dengan hanya menguji atau mengukur aspek ingatan, atau aspek yang paling rendah dalam ranah kognitif. 3) Adanya pengaruh kebiasaan peserta tes terhadap tes bentuk pilihan ganda (testwise) terhadap hasil tes peserta.
Menurut Cece Rakhmat & Didi Suherdi (1999: 91) kekurangan dari tes pilihan ganda yaitu: 1) Terdapat kemungkinan untuk menebak jawaban dengan tepat, kecuali dalam tes bentuk jawaban singkat/isian. 2) Tidak mengetahui jalan pikiran testi dalam menjawab suatu persoalan. 3)
Membatasi kreativitas siswa dalam menyusun jawaban sendiri.
4) Bahan ajar yang diungkap dengan tes objektif pada umumnya lebih terbatas pada hal-hal yang faktual.
5.
Tinjauan tentang Tes Jawaban Singkat Menurut S. Hamid Hasan & Asmawi Zainul (1992: 44) “tes bentuk jawaban
singkat (short answer) adalah butir soal berbentuk pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan satu kata, satu frase, satu angka atau satu formula.” Sedangkan menurut Budi Purnama (2011) “soal jawaban singkat adalah soal yang menuntut peserta tes untuk memberikan jawaban singkat berupa kata, prase, nama, tempat, nama tokoh, lambang, atau kalimat yang sudah pasti.” Butir soal bentuk jawaban singkat adalah salah satu bentuk tes yang paling mudah 36
dikonstruksi. Hal ini disebabkan karena butir soal ini hanya mengukur hasil belajar yang sederhana, yaitu yang bersifat ingatan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tes jawaban singkat adalah bentuk soal pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan satu kata, satu angka, satu frase, maupun satu formula.
a.
Karakteristik Tes Jawaban Singkat Tes jawaban singkat merupakan suatu tes yang berbentuk pertanyaan atau
pernyataan yang jawabannya satu angka, satu frase, satu kata, maupun satu formula. Pada tes jawaban singkat rumusan pertanyaan atau pernyataan menuntut sehimpunan jawaban dengan pengertian/konsep tertentu, sehingga penskorannya dapat dilakukan secara objektif. Bentuk tes jawaban singkat dapat digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah untuk bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Bentuk tes ini mengharuskan siswa untuk menuliskan jawabannya, bukan memilih alternatif jawaban yang telah disediakan. Dengan demikian bentuk tes jawaban singkat dapat meminimalkan kemungkinan siswa dalam menebak jawaban.
b. Pedoman Penyusunan Tes Jawaban Singkat Menurut Cece Rakhmat & Didi Suherdi (1999: 105) untuk menghasilkan butir soal tes jawaban singkat yang baik, bagi penyusun tes diharapkan memperhatikan hal-hal berikut:
37
1) Jawaban yang diminta harus jelas dan pasti, hindari pernyataan yang tidak terbatas. 2) Kata-kata yang dihilangkan (jawaban yang dituntut) hendaknya merupakan sesuatu yang berarti atau penting. 3) Hindari penghilangan kata-kata yang terlalu banyak, sehingga persoalan tidak mengandung makna yang jelas. 4) Jika jawaban yang dituntut lebih dari satu, sebutkanlah secara tegas. 5) Tempat jawaban yang disediakan seimbang dengan panjangnya jawaban yang dituntut.
c.
Kelebihan Tes Jawaban Singkat Beberapa kelebihan dari tes jawaban singkat, diantaranya yaitu:
1)
Mudah dalam penyusunannya, terutama untuk mengukur ingatan atau pengetahuan.
2) Mengurangi kemungkinan adanya siswa yang menebak jawaban soal. 3) Dapat digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dalam bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). 4) Menyusun soalnya relatif mudah. 5) Menuntut siswa untuk dapat menjawab dengan singkat dan tepat. 6) Hasil penilaiannya cukup objektif.
38
d. Kekurangan Tes Jawaban Singkat Beberapa kekurangan tes jawaban singkat, diantaranya yaitu: 1)
Sukar untuk mengukur proses mental yang tinggi.
2)
Sulit menyusun soal yang hanya satu jawaban, lebih-lebih untuk proses mental yang tinggi.
3)
Cenderung hanya mengukur hafalan.
4)
Sukar dalam hal penskoran, apabila penulis soal tidak menyajikan kunci jawaban yang tepat .
5)
Adanya kemungkinan kesalahan penulisan jawaban.
6)
Memerlukan waktu yang agak lama untuk menilainya sekalipun tidak selama bentuk uraian.
7)
Menyulitkan pemeriksaan apabila jawaban siswa membingungkan pemeriksa.
6.
Pengaruh Tes Pilihan Ganda dan Tes Jawaban Singkat terhadap Hasil Belajar Matematika Tes hasil belajar matematika adalah tes yang diberikan untuk mengukur
tingkat pemahaman dan pengetahuan siswa terhadap materi matematika setelah mengikuti suatu proses pembelajaran. Ada beberapa bentuk tes yang biasanya digunakan untuk melakukan suatu evaluasi pembelajaran yaitu: tes pilihan ganda, tes jawaban singkat, tes menjodohkan, tes benar salah, dan tes uraian. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tes pilihan ganda dan tes jawaban singkat untuk mengetahui hasil belajar manakah yang lebih tinggi apabila digunakan pada materi mengubah pecahan biasa ke bentuk desimal dan sebaliknya. 39
Menurut Jahja Umar, dkk (1999: 29) terdapat perbandingan antara tes jawaban singkat dengan tes pilihan ganda. Perbandingan tersebut bisa dilihat dari aspek penulisan soal, jawaban dari peserta didik, kecenderungan menebak jawaban, dan penskoran. Penulisan soal dalam tes pilihan ganda relatif sukar, karena guru harus menyiapkan alternatif jawaban. Sedangkan pada tes jawaban singkat guru tidak perlu menyiapkan alternatif jawaban. Dalam tes jawaban singkat peserta didik dituntut
untuk
menjawab
soal
tersebut
berdasarkan
pengetahuan
dan
pemahamannya sendiri, karena pada tes jawaban singkat guru tidak menyediakan alternatif jawaban. Pada tes pilihan ganda, siswa diperkenankan untuk memilih jawaban dari berbagai alternatif yang tersedia. Pada tes jawaban singkat, siswa tidak diberi kesempatan untuk menebak jawaban, sedangkan pada tes pilihan ganda memungkinkan siswa untuk melakukan spekulasi atau menebak jawaban. Penskoran pada tes pilihan ganda mudah, cepat, dan objektif. Sedangkan penskoran pada tes jawaban singkat memang sedikit agak rumit, apabila guru tidak mempunyai kunci jawaban. Penskoran pada tes jawaban singkat bersifat objektif. Menurut Baso Intang Sappaile (2008: 12) pemberian tes jawaban singkat dapat memberikan kesempatan ke peserta didik untuk membangun sendiri pengetahuan dan pemahamannya dalam menjawab soal, sedangkan pemberian tes pilihan ganda dapat memungkinkan siswa untuk melakukan spekulasi atau menebak jawaban. Pemberian tes jawaban singkat dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih giat lagi, siswa tidak hanya belajar sekilas. Sehingga hasil belajar yang didapat juga akan optimal. Selain itu, pemberian tes jawaban singkat dapat 40
memberikan kesempatan ke peserta didik untuk memperlihatkan kemampuannya dalam mengungkapkan pikiran dalam menjawab soal. Sehingga melalui pemberian tes jawaban singkat peserta didik memperoleh pengalaman untuk mengembangkan pengetahuannya. Dengan pengalaman tersebut peserta didik memiliki konsep-konsep matematika yang memadai dan memungkinkan hasil belajar yang diperoleh siswa pun akan tinggi. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tes pilihan ganda dapat memungkinkan siswa berspekulasi atau menebak dalam menjawab pertanyaan, akan tetapi alternatif jawaban itu dapat mengecoh siswa dalam memilih jawaban yang benar. Selain itu, tes pilihan ganda juga menyebabkan kurangnya motivasi siswa untuk belajar lebih giat lagi. Sedangkan pada tes jawaban singkat siswa harus berusaha menjawab sendiri pertanyaan yang telah tersedia, karena pada tes jawaban singkat tidak disediakan alternatif jawaban. Pada tes jawaban singkat siswa tidak diberi kesempatan untuk berspekulasi dalam menjawab pertanyaan, karena dalam tes bentuk ini tidak disediakan alternatif jawaban seperti pada tes pilihan ganda. Tes jawaban singkat juga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa untuk belajar lebih giat lagi. Jadi dari kedua bentuk tes tersebut terdapat perbedaan dalam bentuk soal dan cara menjawabnya, sehingga dapat mempengaruhi hasil belajar matematika siswa kelas V SD. Berdasarkan kajian pustaka yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang menggunakan tes jawaban singkat lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar yang menggunakan tes pilihan ganda.
41
B. Kajian Penelitian yang Relevan Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah hasil penelitian dari Haryanto (2011: 53) dalam penelitian yang berjudul “Perbedaan Hasil Belajar IPA Kelas V SD dengan Menggunakan Tes Pilihan Ganda dan Tes Isian di SD Negeri 2 Tribuana dan SD Negeri 3 Bondolharjo.” Temuan penelitian ini menunjukkan ada perbedaan antara hasil belajar IPA kelas V SD siswa yang diberi tes pilihan ganda dengan hasil belajar IPA kelas V SD siswa yang diberi tes isian. Rerata hasil belajar yang menggunakan tes isian sebesar 77,33 dan rerata hasil belajar yang menggunakan tes pilihan ganda sebesar 71,85. Dengan melihat hasil perolehan hasil rerata yang diperoleh dari kedua bentuk tes tersebut, rerata hasil belajar yang menggunakan tes isian lebih tinggi dibandingkan dengan rerata hasil belajar yang menggunakan tes pilihan ganda.
C. Kerangka Berpikir Tujuan dari pendidikan Matematika di jenjang pendidikan dasar yaitu mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang sedang berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif. Selain itu pendidikan matematika di jenjang pendidikan dasar juga bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar mampu menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dalam pembelajaran matematika yang terjadi di kelas tidak dapat terlepas dari bagian-bagian yang terkait untuk menunjang pembelajaran tersebut. Hal-hal 42
seperti siswa, guru,
proses belajar mengajar yang terjadi di kelas, model
pembelajaran yang digunakan, materi pelajaran dan hasil yang diharapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar berlangsung proses pembelajaran. Dalam melakukan suatu proses pembelajaran tentunya guru bermaksud untuk melihat hasil dari apa yang sudah diajarkan kepada peserta didiknya, apakah peserta didiknya sudah bisa memahami materi yang diajarkan atau belum. Setelah melakukan suatu proses pembelajaran, guru bisa memberikan evaluasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah peserta didiknya sudah memahami materi yang diajarkan atau belum. Pemberian evaluasi dan kegiatan mengajar merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam memberikan evaluasi bisa dilakukan dengan teknik tes dan teknik non tes. Pemberian evaluasi dengan teknik tes bisa dilakukan dengan memberikan soal. Betuk tes itu sendiri ada banyak macamnya. Beberapa diantaranya yaitu bentuk tes pilihan ganda dan bentuk tes jawaban singkat. Masing-masing bentuk tes mempunyai kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Penerapan teknik evaluasi yang kurang tepat akan berpengaruh terhadap hasil belajar yang akan di peroleh oleh peserta didik. Tes pilihan ganda dan tes jawaban singkat merupakan beberapa contoh dari teknik penilaian dengan menggunakan tes tertulis. Tes pilihan ganda adalah bentuk tes yang mempunyai altenatif jawaban yang sudah pasti, sedangkan pada tes jawaban singkat merupakan bentuk soal yang menuntut siswa untuk mengembangkan pikirannya sendiri ke dalam jawaban yang dikehendaki dari pertanyaan tersebut. Sebaiknya guru mempunyai pedoman penyekoran dalam 43
memberikan penilaian untuk tes yang menggunakan bentuk jawaban singkat, hal ini dilakukan agar tidak membingungkan dalm proses penyekoran.
Jadi dari
kedua bentuk soal tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Meskipun demikian, pada tes pilihan ganda memungkinkan siswa untuk melakukan spekulasi atau menebak jawaban. Sedangkan dalam tes jawaban singkat siswa harus menjawab sendiri pertanyaan yang tersedia dengan jawaban yang cepat dan tepat, karena dalam tes jawaban singkat tidak disedikan alternatif jawaban. Selain itu, tes jawaban singkat dapat lebih memotivasi siswa untuk belajar lebih giat lagi. Penjelasan di atas sebagai dasar untuk mengetahui perbandingan hasil belajar matematika kelas V SD yang menggunakan tes pilihan ganda dan yang menggunakan tes jawaban singkat.
D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian yaitu “hasil belajar matematika siswa kelas V SD yang menggunakan tes jawaban singkat lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar yang menggunakan tes pilihan ganda.”
44