BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Pustaka 1. Definisi Tradisi Tradisi (Bahasa Latin : traditio, atau diteruskan) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sedehana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kebudayaan. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasai baik tertulis maupun lisan, karena adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan, dengan tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan tingkat efesiensinya. Efektifitas dan
efisiensinya
selalu
mengikuti
perjalanan
perkembangan
unsur
kebudayaan. Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam menyelesaikan persoalan kalau tingkat efektifitasnya dan efisiensinya rendah akan segera ditinggalkan pelakunya dan tidak akan pernah menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja sebuah tradisi akan pas dan cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat pewarisnya. Tradisi diartikan sebagai adat kebiasaan secara turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat, serta berupa penilaian
6
atau anggapan bahwa cara-cara yang baik dan benar, serta tindakan yang selalu berpegang tegung dengan norma dan adat istiadat turun temurun. Tradisi merupakan kesadaran yang kolektif sebuah masyarakat yang sifatnya luas dan meliputti kehidupan yang kompleks. Tradisi juga dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan unsur-unsur, adat istiadat, serta kaidah-kaidah. Tradisi sebagai kebiasaan kesadaran yang kolektif yang dapat memperlancar serta penting artinya dalam pergaulan bersama masyarakat. Peranan tradisi sangat nampak pada masyarakat perdesaan walaupun kehidupan tradisi terdapat pula pada kehidupan masyarakat kota. Masyarakat perdesaan dapat didefinisikan sebagai masyarakat agraris, maka sifat masyarakat seperti itu cenderung tidak berani berspekulasi dengan alternatif yang baru. Tingkah laku masyarakat selalu pada pola-pola tradisi yang telah lalu (Bastomi, 1984 : 14). 2.
Pengertian Grebeg Menurut kamus Jawa Kuno Indonesia yang dimaksud dengan Grebeg
adalah derap banyak kaki yang bergemuruh. Sedangkan menurut sejarahnya, kata “grebeg” berasal dari kata “gumrebeg” yang berarti riuh, ribut, dan ramai. Hal ini menggambarkan suasana grebeg yang memang ramai dan riuh. Grebeg juga mempunyai arti mengelilingi atau menguntari suatu tempat dalam
keyakinan
manghormati
suatu
tempat.
Kata
bahasa
Jawa
garebeg,grebeg dan gerbeg bermakna suara angin menderu. Kata bahasa Jawa anggarebeg mengan-dung makna mengiring raja, pembesar atau
7
pengantin. Suro berarti nama bulan pertama dalam tahun Jawa. Menurut sejarahnya, tahun atau tarikh Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam. Pada waktu itu yang digunakan adalah tarikh Saka dan Masehi, yang berdasarkan perhitungan putaran matahari, serta tarikh Hijriah yang berdasarkan perhitungan putaran bulan. Kemudian Sultan Agung membuat tarikh Jawa (Islam) yang berdasarkan putaran bulan, melanjutkan umurnya tarikh Saka, 1555. Dalam hubunganya dengan masyarakat Desa Karangjoho, grebeg tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan mereka. Grebeg masyarakat Desa Karangjoho adalah dengan cara mengutari atau mengelilingi Gunung Kendalisodo (Rahman 5 Januari 2014). Grebeg seperti yang dilakukan masyarakat Desa Karangjoho ini juga dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Ponorogo yang juga dilakukan setiap bulan suro. Keberadaan Grebeg Kendalisodo harus dilihat dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, sebab sebagian tradisi daerah yang ada menjadi unggulan masa lalu, namun dimasa kini menjadi musnah (Suwandi, skripsi, 2001). Prosesi Grebeg Kendalisodo dilakukan untuk sedekah bumi sebagai rasa syukur hingga sebagai cara untuk menghormati leluhur desa dan Gunung Kendalisodo yang sangat disakralkan oleh masyarakat Desa Karangjoho dan sekitarnya. 3.
Pengertian Jamasan Jamasan berasal dari kata jamas yang artinya cuci, membersihkan,
mandi. Jamas adalah bahasa Jawa kromo inggil (tingkatan paling tinggi/halus), sementara bahasa dalam bahasa ngoko (paling kasar) adalah
8
kumbah. Sehingga, jamasan bisa diartikan sebagai kegiatan mencuci, membersihkan, atau memandikan atau ngumbah. Dalam jamasan benda yang dimandikan adalah pusaka yang diyakini atau dikeramatkan dalam masyarakat, khusunya masyarakat Jawa. Sedangkan pusaka adalah berbagai benda yang dikeramatkan atau dipercayai mempunyai kekuatan tertentu, seperti gong, keris, tombak, kereta pusaka, dan berbagai macam jenis pusaka lainnya. Dengan demikian, jamasan pusaka lalu diartikan sebagai kegiatan mencuci senjata, yang biasanya dilakukan di bulan Suro. Suro adalah bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang diyakini sebagai bulan keramat, penuh larangan dan pantangan. Masyarakat Jawa hampir selalu menghindari melakukan suatu kegiatan besar di bulan ini, karena takut akan tulahnya. Menurut Murtjipto (2004) , maksud dan tujuan jamasan pusaka untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan ketentraman. Bagi sebagian masyarakat Jawa, benda-benda pusaka
tersebut
dianggap
mempunyai
kekuataan
gaib
yang
akan
mendatangkan berkah apabila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan. Dalam Grebeg Kendalisodo, benda ataupun pusaka yang dijamas di Sendang Cupumanik adalah Pancasila, agar bangsa ini tumbuh lagi dan lebih baik serta dijauhkan dari konflik yang membuat bangsa Indonesia terpuruk. 4.
Pengertian Upacara Tradisional Salah satu tradisi di masyarakat Jawa adalah upacara-upacara adat
yang dikemas secara tradisional. Upacara tradisional merupakan salah satu
9
wujud peninggalan kebudayaan. Kebudayaan merupakan warisan sosial yang hanya dimiliki oleh masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya (Purwadi, 2005 : 1). Upacara tradisional merupakan suatu kegiatan sosial yang melibatkan warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan, yang mengandung aturan-aturan yang wajib dipenuhi dan dilaksanakan oleh warga masyarakat (Depdikbud,1984:1). Upacara-upacara tradisonal merupakan perwujudan dari pelaksanaan proses sosialisasi dalam masyarakat tradisional sebagai kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat pendukungnya dan dapat menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kehidupan lain, seperti gotong royong, solidaritas, kekeluargaan, ketaqwaan dan keagamaan. 5.
Tujuan Upacara Tradisional Tujuan upacara tradisioanal untuk mewujudkan pengertian dan
pemahaman atas nilai-nilai serta gagasan vital yang terkandung di dalamnya (Hambali Hasan, 1985 : 2). Tujuan upacara tradisional yang dilakukan oleh anggota masyarakat baik secara bersama atau individu adalah mendapatkan keselamatan agar dihindarkan dari segala hal-hal yang buruk yang membawa musibah. Upacara tradisional dilakukan secara berkala dan juga mengigatkan semua warga masyarakat yang ada dalam komunitas, jika terjadi penyimpangan akibat yang muncul akan menimpa seluruh masyarakat satu desa.
10
6.
Jenis-jenis Upacara Tradisional Upacara-upacara tradisional yang ada di Indonesia secara garis besar
dapat dikelompokan menjadi : a. Upacara tradisional kaitanya dengan alam, merupakan upacara yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap dunia gaib dan peristiwa-peristiwa alam. b. Upacara Tradisional yang berhubungan dengan sosial.Upacara tradisional ini berhubungan erat dengan adnya suatu harapan keselamatan seseorang maupun keselamatan orang tertentu agar tercapai tujuan keselamatan dalam hidupnya, serta dijauhkan dari gangguan-gangguan makhluk halus dan perbuatan yang dapat mengakibatkan kecelakaan dan kerugian (Kamajaya Karkoro, 1992:V) c. Upacara tradisional yang berkaitan dengan mitos, yaitu upacara tradisional yang didalamnya mengandung pemujaan terhadap seseorang tokoh yang memiliki kekuasaan terhadap alam yang berada di pangkuannya. d. Upacara tradisional yang berkaitan dengan legenda. Dalam kaitannya dengan jenis ini diadakan pembagian yang lebih khusus yaitu : 1) Legenda perseorangan, yaitu legenda yang dianggap oleh yang empunya
cerita
benar-benar
1991:73).
11
terjadi
(James
Dananjaya,
2) Legenda setempat, yaitu legenda yang menceritakan tentang kejadian di suatu tempat baik yang menyangkut nama tempat, bentuk topografi yaitu bentuk permukaan suatu daerah apakah berbukit-bukit, berjurang dan sebagainya (James Dananjaya, 1991:75). B. Komponen-Komponen Upacara 1. Tempat Upacara Sesuatu yang dianggap keramat biasanya berada di tempat yang khusus dan tidak boleh didatangi oleh orang yang tidak berkepentingan. Tempat upacara dapat terletak di suatu tempat pusat kota, tempat yang dipakai guna melakukan upacara mengenai desa, dan dianggap sebagai tempat pusat desa. Tempat ini merupakan tempat keramat yang bisa digunakan sebagai tempat dimana orang bisa dengan mudah berhubungan dengan apa yang mereka percayai, seperti roh nenek moyang atau leluhur mereka. 2. Pemimpin Grebeg Pemimpin upacara dalam berbagai religi dan suatu bangsa di dunia biasanya dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu pendeta, dukun dan syaman. Pendeta adalah orang yang karena suatu pendidikan yang lama menjadi ahli dalam hal melakukan pekerjaan sebagai pemuka upacara keagamaan. Syaman adalah sebuah istilah yang juga sering dipakai untuk menamakan dukun, tetapi istilah tersebut dipakai untuk golongan dukun
12
yang memimpin acara khusus. (Purwadi, 2005 : 47). Dalam masyarakat jawa peserta upacara biasanya warga sekitar. 3. Benda-benda upacara Benda-benda upacara merupakan alat-alat yang dipakai dalam menjalankan upacara keagamaan, alat-alat itu bisa berupa alat seperti wadah atau tempat sajian, sendok, pisau dal lainya. Bendera dan senjata atau pusaka sering juga digunakan. Terdapat juga ritual pemanggilan roh ditempat yang mereka anggap sakral atau keramat melalui benda yang mereka anggap sakral dalam upacara. 4. Bersesaji Bersesaji merupakan perbuatan upacara yang diterangkan sebagai perbuatan-perbuatan
untuk
menyajikan
makanan,
benda-benda
dan
sebagainya kepada roh nenek moyang atau mahluk halus lainya. Sesaji ini diyakini oleh masyarakat akan kepercayaan mereka agar jin ataupun mahluk halus lainya tidak mengganggu keselamatan, ketentraman dan kebahagiaan masyarakat sekitar. Serta untuk memohon berkah dan perlindungan agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan mahluk halus (Clifford Geertz, 1981 : 28). Pada upacara bersesaji orang memberi makanan yang oleh manusia dianggap lezat. Jadi seolah-olah oleh roh itu mempunyai kegemaran yang sama seperti manusia. Sajian itu ditempatkan pada tempat yang keramat, dengan demikian maka sarinya sampai pada tujuanya akan mudah tercapai ( Budiono, 2007:24 ).
13
5. Makan Bersama Upacara makan bersama dilaksanakan dengan tujuan mengundang para leluhur dan roh-roh pada pertemuan makan bersama. Dalam masyarakat jawa ini disebut selamatan. Selamatan adalah juga sebagai bentuk dari pada acara upaacara berkorban. Dasar pemikiranya adalah, makan bersama-sama dengan roh leluhur dan dengan demikian cara berkorban. Dasar pemikiranya adalah, makan bersama-sama dengan roh leluhur dan dengan demikian mengadakan hubungan yang erat. C. Kosmologi Jawa dalam Hubungan Kesatuan Dengan Manusia Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar (KBBI,2005 : 153). Sedangkan kosmologi Jawa adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan keseimbangan antara alam dan manusia, dimana manusia berada dalam kuas alam. Jadi apapun yang terjadi di alam merupakan umpan balik dari perilaku manusia. Manusia sebagai Wakil Tuhan di dunia, menghiasi dunia ibarat bulan purnama memancarkan cahayanya untuk waktu singkat lalu terbenam. Manusia berbuat demikian dengaan menjalankan kewajiban-kewajibannya. Sikap memayu hayuning bawono mempersatukan dua sikap: sikap membiarkan dan sikap memperindah. Memayu hayuning bawono berarti tidak mau memaksakan diri pada sesuatu (orang, binatang, tumbuhan, batu atau sungai) melainkan mau menghormatinya, membiarkanya dalam irama
14
tersendiri, mencari kebebasan. Sikap ini tidak sama dengan sikap acuh tak acuh (Frans Magnis Suseno, 1983 : 51-52). D. Sistem Kerukunan Rukun bagi orang Jawa merupakan elemen sentral. Ia dijunjung seperti suatu harapan bagi semua hubungan, dari berhubungan bersaudara seperti kakak beradik hingga dengan sepupu yang jauh. Rukun dimaksudkan untuk menghindari konflik sesama masyarakat. Kerukunan merupakan suatu kehidupan masyarakat untuk saling menghargai, menghormati, dan mengisi antar masyarakat yang menghuni suatu wilayah. Rukun berarti dalam keadaan selaras tanpa perselisihan dan pertentangan di setiap anggota keluarga dan selalu saling membantu dalam segala masalah (Frans Magnis Suseno 1998 : 39) E. Sosial Keagamaan 1. Sosial “Secara
etimologi
kata
sosial
berarti
masyarakat
atau
kemasyarakatan, sedangkan secara terminologi adalah sesuatu yang mengenai masyarakat, kemasyarakatan atau suka menolong”. (W.J.S Poerwodarminto, 1982 : 961) Jadi sosial dalam konteks yang lebih luas adalah segala sesuatu yang berkenan
dengan
masyarakat
dalam
berbagai
aspeknya.
Grebeg
Kendalisodo pada hakekatnya juga merupakan kegiatan sosial yaitu peran serta masyarakat desa sekitar gunung Kendalisodo yang sampai sekarang masih bertahan.
15
2. Keagamaan Agama sebagai sistem sosial didalamnya terdapat ajaran yang sangat kompleks untuk ditaati para penganutnya. Dengan cara sedemikian penganutnya, baik secara pribadi ataupun bersama-sama berhubungan dengan Tuhan dan saudara seiman. Mereka mengungkapkan pikiranya, hatinya kepada Tuhan menurut pola-pola tertentu. Banyak nilai agama yang timbul dari prakteknya. Keikutsertaan dalam upacara tradisional menimbulkan sesuatu gelombang keyakinan, rasa keamanan dan rasa bersatu dengan sesama. F. Penelitian yang Relevan Setyarini dalam penelitianya yang berjudul Ritual Grebeg Besar Di Demak Kajian Makna, Fungsi Dan Nilai. Dalam penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Grebeg Besar di Demak adalah ritual yang dilakukan warga masyarakat Demak untuk melakukan prosesi jamasan serta arak-arakan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga yang dimulai dari Pendapa Kabupaten menuju Kadilangu. Sedangkan pusaka yang dijamasi antara lain adalah Kotang Ontokusumo, keris Kyai Carubuk dan keris Kyai Sirikan. Dalam ritual ini juga dijadikan sebagai sarana brkumpulnya warga Demak untuk bersilaturahmi. Grebeg di Demak dipimpin oleh seorang kyai dan juga bertugas untuk menjamas pusaka. Grebeg Demak berakhir dengan diadakannya makan bersama warga dengan nasi tumpeng. Makna, nilai dan fungsi Ritual Grebeg Besar dapat dijadikan sebagai tuntunan serta pandangan hidup dalam masyarakat. Diharapkan agar makna proses
16
dalam ritual Grebeg Besar tersebut terinkulturasi penuh dalam kehidupan masyarakat sehingga akan tercipta kehidupan kebahagiaan serta kerukunan bagi masyarakat Demak. Dalam penelitian ini, Grebeg Kendalisodo adalah tradisi yang dilakukan oleh warga Desa Karangjoho Kelurahan Samban Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang untuk memberikan penghormatan bagi Gunung Kendalisodo serta melakukan prosesi jamasan benda pusaka yang sebelumnya diarak terlebih dahulu mulai dari Desa Secang dan berakhir di Desa Karangjoho yaitu di Sendang Cupumanik. dalam prosesi penjamasan pusaka, pusaka yang akan di jamas adalah Pancasila, cangkul dan sabit. Penelitian ini membahas tentang Grebeg Kendalisodo dan maknanya dalam membina kerukunan bagi masyarakat Desa Karangjoho Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang secara luas.
17