1
BAB I PENGANTAR
A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupan. Pendidikan menjadi bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pedoman dan pengarah tingkah laku manusia. Melalui kebudayaan manusia dapat melakukan interprestasi dari pengalaman kehidupan sehari-hari yang dialami dengan proses belajar, sebab kebudayaan sifatnya tidak statis dan selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan alam dan kemajuan teknologi. Belajar merupakan bagian terpenting dari transformasi kebudayaan, sehingga hubungan kebudayaan dengan pendidikan menjadi sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan.1 Menurut Sjafri (2010)2 juga sesuai dengan kandungan amanat Undang-undang Dasar 1945, tanggung jawab pemerintah adalah mengikis kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keadaan keterbelakangan ekonomi membuat masyarakat memilih kondisi yang memprihatinkan, walaupun ada sebagian dari mereka yang mampu untuk tetap menghidupi anggota keluarga, tetapi tidak sedikit dari mereka yang tidak berhasil karena berbagai alasan, salah satunya adalah alasan ekonomi. Dampaknya kehidupan keluarga terutama anak-anak menjadi tidak terurus, khususnya dalam hal pendidikan.
1 2
Sairin,Sjafri. Riak-Riak Pembangunan Prespektif Antropologi, Yogyakarta:Media Wacana, 2010. Sairin,Sjafri. Masyarakat Batukandik, Yogyakarta: Kepel Press Laboratorium Antropologi, FIB, UGM,2006.
2
Kondisi ini memaksa anak-anak untuk bertahan hidup secara mandiri guna menghidupi keluarga dan diri sendiri. Beberapa diantara mereka yang memang tidak memiliki orang tua untuk mengurus hidup, membuatnya mandiri dan terkesan menjadi terlantar. Ketiadaan orangtua di sini karena orang tua anak-anak tersebut meninggal dunia, sehingga anak-anak ini disebut dengan istilah anak-anak yatim piatu, atau memang ada orang tua namun orang tua tersebut tidak mau mengurus anaknya, akibatnya anak-anak tersebut menjadi terlantar. Data dari Departemen Sosial Repubik Indonesia pada tahun 2014 ada jutaan anak yang masih berada dalam kondisi rentan, seperti anak terlantar (3.488.309 anak); balita terlantar (1.178.824 anak); anak rawan terlantar(10.322.674 anak); anak nakal (193.155anak); dan anak cacat (367.520 anak).3 Ini menjadi salah satu bukti bahwa di Indonesia masih memiliki banyak anak terlantar yang kurang diperhatikan oleh negara. Menurut data Kemensos RI pada tahun 2014,
menunjukkan bahwa jumlah anak
terlantar berusia 6-18 tahun mencapai 3.156.365 atau hampir 5,4% dari jumlah anak indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 2.614.949 anak tinggal diperdesaan dan jumlah 541.415 anak tinggal di perkotaan. Sedangkan anak yang tergolong rawan keterlantaran diperkirakan mencapai jumlah 10.349.240 anak. Jumlah tersebut 7.320.786 anak yang tinggal di perdesaan dan 3.046.454 anak tinggal di perkotaan. Pemerintah sebagai pemegang amanat konsitusi yang tertuang dalam Undang– Undang 1945 khususnya pasal 34, berupaya agar penanganan anak terlantar terus dilakukan melalui berbagai program Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar baik melalui panti dan non panti. Amanat UUD 1945 secara luas juga menjamin tidak semata pada remaja putus sekolah dan terlantar saja, namun remaja yang hampir terlantar dan yang 3
Lihat “Sekilas tentang Masalah Anak,”dalam www.depsos.go.id diakses pada 20 April 2014.
3
tidak terlantar juga perlu mendapatkan hak yang sama dari Negara. Kondisi yang terlantar ini mengakibatkan anak-anak banyak yang tidak terurus dan masuk ke dalam lingkaran hitam kehidupan, seperti banyaknya anak-anak yang diadopsi, dieksploitasi, untuk dipekerjakan menjadi tenaga kerja di jalanan, mengamen atau meminta-minta dan yang paling memprihatinkan adalah melacurkan diri serta menjual obat terlarang atau narkoba.4 Hal ini tentunya dapat diminimalisir jika mereka mengenyam pendidikan, karena memang usia anak-anak adalah usia yang sangat potensial untuk meraih ilmu pengetahuan. Banyak disaksikan di tengah-tengah masyarakat terdapat anak yang masih memerlukan penanganan dan perlindungan karena rentan kehidupan ekonomi, misalnya anak yatim piatu, anak dari keluarga miskin, anak cacat, anak terlantar, ataupun anak jalanan yang merajalela dan tidak terhitung jumlahnya. Beberapa dari mereka mungkin sudah cukup beruntung karena dapat terselamatkan dan memperoleh penanganan baik oleh pemerintah maupun swasta yang peduli terhadap kesejahteraan anak.
Bagi
sebagian anak yang lain, yang kurang beruntung untuk mendapatkan kesejahteraan itu, terutama yang terkait dengan pendidikan dan kehidupan mereka. Kesejahteraan anak telah menjadi tanggung jawab negara. Terkait dengan keberadaan anak terlantar, pasal 34 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa, “(1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara; (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
4
Menurut Kongres Stockholm, trafficking didefinisikan sebagai pemindahan orang secara rahasia dan terlarang yang bertujuan mengeksploitasi dan hanya memberi keuntungan pada perekrut, trafficker dan sindikat kejahatan. Lihat, “ Mengatasi Permasalahan Trafficking Wanita dan Anak,”dalam www.eska.or.id diakses pada 20 April 2010.
4
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”5 Masa depan sebuah bangsa ada ditangan anak-anak sebagai penerus generasi bangsa. Jika saat ini menelantarkan anak-anak artinya mematikan masa depan bangsa, sebab tidak peduli terhadap masa depan bangsa. Padahal mungkin saja anak-anak yang terlantar ini dan membutuhkan kesejahteraan, perlindungan serta pendidikan adalah calon-calon pemimpin dimasa yang akan datang. Hal ini menjadi penting bagi pemerintah dan semua lapisan masyarakat untuk mengasuh anak-anak yang kurang beruntung ini, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan dalam pandangan umum seperti yang sudah diungkapkan sangat memiliki peranan yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20/2003 (UU Sisdiknas) pasal 1 ayat (1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan diri, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Jadi jelas disini bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Seorang anak yang tidak mampu dan “terlantar” karena berbagai faktor tentunya harus diangkat derajat melalui pendidikan gratis, hal itu menjadi hak sebagai warga negara khususnya warga negara Indonesia. Hal ini dijelaskan juga dalam pasal 28 B ayat (1) dan (2) UUD yang tertulis: 5
Undang-Undang Dasar Repubik Indonesia dan Amandemennya, (Surakarta:Penerbit Pustaka Mandiri, 2006), hlm.94.i.
5
Ayat (1), setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ayat (2), setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia.
Menurut UU No.23 tahun 2002 yang dimaksudkan dengan anak di sini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.6 Menurut T.O Ihromi (1999), anak dalam konsep kebudayaan merupakan awal dari terciptanya manusia yang kemudian hidup berkelompok dan dipisahkan dari nilai budaya. Manusia atau anak yang kemudian hidup berkelompok ini dinamakan masyarakat. Nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup dalam masyarakat dinamakan kebudayaan. Mayoritas kondisi kejiwaan atau secara psikologi seorang anak masih membutuhkan perhatian, berupa kasih sayang dari orang tua atau keluarga dekat. Saat ini tidak sedikit anak yang tidak mendapatkan kasih sayang itu, karena ketiadaan orang tua. Anak-anak yang terlantar ini kemudian menjadi yatim atau piatu atau kedua-duanya yatim piatu serta berasal dari keluarga miskin. Kemudian kondisi hidup anak ini menjadi terlantar, kurang kasih sayang dan perhatian dari semestinya yang didapatkan, maka keadaannya menjadi terabaikan. Anak terlantar juga ada yang memang dibuang oleh orangtuanya dan menjadi kehilangan orangtua. Hal inilah yang patut menjadi perhatian khusus masyarakat secara luas, umumnya menjadi pekerjaan negara untuk mengatasi keadaan anak yang terabaikan. Terkait dengan kontribusi dalam upaya pendidikan anak, maka patut diberikan apresiasi yang positif terhadap lembaga-lembaga sosial atau lembaga-lembaga keagamaan. Lembaga atau yayasan yang memberikan perhatian khusus terhadap 6
Undang-Undang RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 1.
6
kesejahteraan terutama menyangkut masalah pendidikan, yaitu dengan mendirikan panti-panti sosial. Menariknya di sini telah menjamur khususnya di Indonesia pantipanti sosial yang ada dan dikelola oleh lembaga keagamaan. Keadaan ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti keberadaan panti asuhan di Indonesia, khususnya yang berada di daerah ibukota DKI Jakarta dan Tangerang. Panti Asuhan yang bernama Yayasan Panti Asuhan Yatim Piatu dan Fakir Miskin Mukhlishin Jakarta Selatan, dan Yayasan Pendidikan Islam Pondok Pesantren Panti Asuhan Yatim Piatu Al-Qur’aniyyah Tangerang yang menjadi lokasi penelitian ini. Kedua panti ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena keduanya memiliki karakter yang sama, yaitu membangun tempat tinggal dan pendidikan sekolah untuk anak yatim piatu, fakir miskin, dhuafa dan anak jalanan. Yayasan yatim piatu dan pondok pesantren yatim piatu ini mengelola sendiri yayasan dan lembaga tersebut, dibantu oleh keluarga, kerabat, dan masyarakat setempat. Yayasan yang kedua panti asuhan ini bangun merupakan murni dari dana pribadi yang diawali dari dukungan orangtua. Selain dari dana pribadi, juga dibantu kerabat dan dukungan masyarakat sekitar yang menjadi donatur dan yang mewakafkan tanahnya untuk terwujudnya bangunan fisik sekolah milik yayasan panti asuhan tersebut.
Artinya yayasan
membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah asrama tempat tinggal, kemudian baru mendirikan sekolah sendiri. Kedua Panti asuhan ini sebelum memiliki sekolah sendiri masih menumpang di sekolah lain, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal atau masih disekitar tempat tinggal. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya transportasi. Saat ini Yayasan Pendidikan Islam pondok pesantren panti asuhan yatim piatu Al-Qur’aniyyah dan
7
yayasan panti asuhan Jihadul Mukhlishin telah memiliki sarana dan fasilitas yang cukup lengkap. Semua murni milik pribadi yayasan dan dikelola oleh yayasan sendiri. Alasan lain panti ini diteliti juga untuk melihat perbedaan, antara yang murni hanya sebuah yayasan yatim piatu dan yang merupakan pondok pesantren, sebab tentu peran dan pengelolaannya berbeda antara yang murni yayasan yatim piatu dan yang penambahan kata pondok pesantren, walaupun keduanya sama-sama bergerak dibidang sosial untuk mengasuh dan merawat anak yatim piatu melalui pemberian pendidikan secara gratis. Kemudian berusaha menjelaskan peran yang cukup signifikan untuk membantu menanggulangi salah satu kemiskinan, terutama kemiskinan akan ilmu pengetahuan dikarenakan ketiadaan biaya untuk seorang anak melanjutkan pendidikan dan kehidupannya. Kedua yayasan ini memiliki peran menampung anak yang putus sekolah karena ketiadaan biaya dan kondisi yang yatim piatu. Peran yang dijalankan untuk memfasilitasi anak-anak ini melalui bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari pihak para dermawan yang ikhlas hati dan berjiwa besar menyantuni anak yatim piatu ini. Yayasan hanya sebagai fasilitator yang memperantarai proses santunan dari para dermawan ke anak-anak yatim piatu dan fakir miskin atau dhuafa tersebut. Maksud dan tujuan kedua panti asuhan sama yaitu untuk membantu menanggulangi kemiskinan dengan tugas mulia membantu pendidikan anak-anak yang membutuhkan. Kemudian alasan lain dipilihnya dua panti asuhan tersebut karena kedua lembaga tersebut dapat dibilang baru berdiri ditahun 2000-an. Walaupun terbilang masih baru, tetapi kedua yayasan ini mengalami perkembangan cukup pesat, terutama jumlah anak yang terdapat di yayasan yatim piatu pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Sedangkan di yayasan Mukhlishin lebih kepada keistiqomahannya menampung anak-
8
anak yatim piatu dan dhuafa ini, walaupun secara jumlah anak mereka cenderung tetap, kalaupun meningkat tidak sebesar di Al-Qur’aniyyah. Perkembangan bangunan di yayasan Mukhlishin terus mengalami peningkatan.
B. RUMUSAN MASALAH
Yayasan pendidikan Islam panti asuhan yatim piatu pondok pesantren AlQur’aniyyah dan yayasan Mukhlishin ini menjadi salah satu alternatif pendidikan bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi, untuk tetap melanjutkan sekolah dan pendidikannya. Yayasan menjadi sarana dan prasarana masyarakat secara luas untuk ikut membantu menjadi donatur tetap dan tidak tetap di kedua yayasan ini. Yayasan menjadi fasilitator yang menyediakan dan menampung anak-anak yang kurang beruntung, untuk diberikan bantuan dari masyarakat secara umum. Pendirian yayasan seperti ini tentu tidaklah mudah dalam perjalanannya. Banyak pertentangan dan hambatan bagi keberlanjutan yayasan, seperti salah satunya bagaimana proses pendidikan dan manajemen pengelolaan yang digunakan oleh sekolah dan yayasan untuk keberlangsungan yayasan. Pendidikan akan terlaksana dengan baik jika proses pendidikan dan manajemen serta strategi pendidikannya dikordinasikan dengan baik. Hal ini butuh organisasi yang baik dalam pelaksanaannya, agar tercipta pendidikan yang ideal seperti pendidikan di sekolah umum lainnya. Menurut masingmasing ketua yayasan, bahwa hambatan-hambatan yang ada berusaha dinikmati oleh
9
kedua yayasan ini sebagai cobaan dan bagian dari sebuah kehidupan, dan dijadikan hambatan sebagai proses ke arah kemajuan. Wacana lain yaitu pendapat masyarakat tentang banyaknya yayasan yang terdapat di
Indonesia,
meyakinkan
masyarakat
Indonesia
untuk
berhati-hati
dalam
menyumbangkan santunannya. Apakah yayasan tersebut terpercaya dan amanah atau sebaliknya yayasan hanya mendompleng untuk meraih untung atas penderitaan anakanak ini. Oleh karena itu diharapkan perlu ada kerjasama antara berbagai pihak, pihak pemerintah, pengurus yayasan dan masyarakat sekitar terkait dengan pendirian yayasan pendidikan yatim piatu tersebut. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian mengenai peran yayasan panti asuhan dalam penyelenggaraan pendidikan terhadap anak yatim piatu, yaitu sebagai berikut: 1.
Apakah motivasi yayasan menyelenggarakan pendidikan di panti asuhan?
2.
Bagaimana proses pendidikan dan strategi pembelajarannya?
3.
Bagaimana manajemen administrasi dan pengelolaan lembaganya? Prespektif Antropologi yang dilihat dalam rumusan masalah ini adalah
bagaimana melihat pentingnya pendidikan dari prespektif Antropologi, hal ini ditinjau dari sudut pandang pentingnya ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui proses belajar. Kebudayaan yang berkembang membutuhkan proses pembelajaran. Hal lain yang ditinjau yaitu terkait dengan motivasi atau dorongan dan dukungan sosial untuk masalah pendidikan dan pemerataan pendidikan, agar setiap anak dapat merasakan pendidikan melalui proses belajar di sekolah.
10
Kemudian dilihat dari berbagai sisi, yaitu sisi proses pendidikan yang terjadi di sekolah tersebut, strategi apa yang dipahami untuk proses pembelajaran di sana. Hal lain yang ditinjau dan dilihat adalah bagaimana manajemen administrasi dan pengelolaan semua lembaga. Lembaga yang dimaksud disini yaitu lembaga pendidikan Islam panti asuhan yatim piatu pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dan yayasan Mukhlishin. Ketiga rumusan permasalahan di atas dikaitkan dengan pendirian sebuah yayasan untuk pendidikan, baik yang murni yayasan yatim piatu dan yang ada penambahan kata pondok pesantren, khususnya pendidikan untuk anak yatim piatu dan dhuafa. Ketiga pertanyaan tersebut berusaha dikaitkan dari sisi Antropologi, yaitu dari sisi budaya masyarakat setempat dilihat dari jiwa sosial dengan melakukan pembrantasan kemiskinan melalui pendidikan gratis, apakah hal ini ada dampak yang signifikan atau malah sebaliknya, semua tergantung dari peran dan maksud pendirian yayasan yang niat utama membantu karena ibadah.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan peran yayasan dan lembaga pendidikan panti asuhan, dalam memberikan kontribusi terhadap pendidikan anak yatim piatu. Tujuan penelitian ini berusaha menjelaskan peran panti asuhan dalam memberikan kontribusi terhadap pendidikan, dan sistem pendidikan yang dilihat dari proses dan strategi pembelajaran serta pengelolaannya. Hal lain yang dilihat dalam penelitian ini yaitu berusaha mencari tahu perbandingan antara sistem pendidikan di panti asuhan Mukhlishin yang terjadi di Jakarta Selatan, dengan melihat dan
11
membandingkan sistem pendidikan panti asuhan yang berada di lingkungan pondok pesantren, yaitu Yayasan Panti Asuhan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah di Tangerang. Kedua panti ini sama-sama berorientasi untuk menolong anak yatim, yatim piatu dan dhuafa, namun perjalanan yang satu lebih mengarahkan kepada agama Islam dengan menciptakan suasana pondok pesantren yang satunya hanya sebatas tempat tinggal asrama, dimana anak-anak di asrama juga didik pelajaran agama namun peraturan tidak seketat di pondok pesantren. Hal lain yang dilihat adalah kultur budaya tempat tinggal yang berpengaruh terhadap pendirian yayasan yatim piatu tersebut, hal ini dilihat dari respon masyarakat sekitar dan bagaimana manajemen pengelolaan yayasan dan starteginya, sehingga membuat yayasan ini tetap dapat bertahan hingga saat ini. 2. Manfaat Manfaat Penelitian ini setidaknya dapat terbagi dalam dua macam, yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis dan akademis bermanfaat terhadap upaya memperluas wacana keilmuan Antropologi dilihat dari sisi Antropologi sosial. Sosial yang dimaksud disini adalah belajar untuk berempati melihat keterbelakangan anak yang sulit ekonomi, namun keinginan kuat untuk terus ke depan dapat meraih pendidikan. Anak ini berusaha dengan masuk ke dalam panti asuhan atau sebuah yayasan yatim piatu yang ikhlas membantu mereka dalam meraih ilmu dunia dan akhirat. Yayasan panti asuhan yatim piatu baik yang murni yayasan maupun yang di dalam pondok pesantren sama-sama bertujuan menolong anak yatim, piatu, yatim piatu,
12
dan dhuafa untuk meraih ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang terjadi di sekolah dan di pondok. Manfaat dari tesis ini berusaha mewujudkan keprihatinan dan sikap empati kepada yang membutuhkan, melalui uluran tangan langsung seperti pendirian yayasan seperti ini, atau melalui bantuan dana uluran dari para dermawan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan secara ekonomi. Inti penelitian ini lebih menekankan dalam hal khazanah di bidang Antropologi sosial. Maksudnya pentingnya pendidikan dalam ilmu Antropologi, namun tidak semua anak dapat merasakan pendidikan, bentuk saling tolong menolong dan membantu anak yatim piatu dan fakir miskin ini masuk ke dalam ranah sosial masyarakat, untuk mewujudkan pendidikan gratis melalui sebuah yayasan pendidikan Islam panti asuhan yatim piatu dan dhuafa atau fakir miskin. Hal ini dilihat dari sisi kacamata pendidikan secara sosial dengan membantu mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Manfaat secara praktis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terkait dengan praktik pembinaan pendidikan terhadap anak, khususnya yang terjadi di panti asuhan. Manfaat praktis lain dalam penelitian ini yaitu, dengan pendirian panti asuhan yatim piatu ini, dapat menginsipirasi manusia untuk selalu membantu masyarakat sekitar tempat tinggal. Bentuk bantuan disini terutama kepada tetangga sekitar yang memang perlu dibantu, misalnya karena kemiskinan ekonomi, kehilangan orang tua yang mencari nafkah, atau hal lain yang semua itu diniatkan untuk ibadah. Bantuan kepada mereka dengan turut ikut serta berkontribusi memberikan kemampuan dan kelebihan rezeki tehadap anak-anak yatim piatu melalui sedekah. Yayasan dan pondok pesantren ini memfasilitasi bentuk bantuan tersebut dan menyalurkannya langsung kepada yang
13
benar-benar membutuhkan. Penelitian ini sebagai masukan kepada pihak pemerintah untuk turut lebih berperan mewujudkan pendidikan murah dan gratis, sehingga dapat menjangkau masyarakat secara luas.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai pendidikan anak yang berbasis panti asuhan telah banyak dilakukan. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Zulfadli (2011), yang berjudul Pendidikan Non Formal Anak Terlantar, Studi Pada Yayasan Putri Gina Aceh. Penelitian ini lebih menceritakan dampak dari banyaknya anak yang terlantar di Aceh, yang diakibatkan oleh konflik, gempa dan tsunami. Akibatnya banyak masyarakat Aceh yang kehidupan sosial, ekonomi, dan budayanya mengalami keterpurukan. Banyaknya NGO (Non-Governmental Organization) yang ikut berperan mengatasi masalah tersebut, salah satu NGO yang khusus memberikan pembelajaran pelatihan keterampilan terhadap anak terlantar yaitu Yayasan Putri Gina, lembaga ini bergerak di bidang pendidikan non formal untuk memberikan pendidikan pada masyarakat khususnya anak-anak terlantar. Penelitian tentang anak yang lain yaitu, penelitian tesis oleh Agus Abdul Mughni (2011), yang berjudul Perlindungan Anak Berbasis Panti Asuhan di Panti Asuhan Yatim Piatu Islam Yayasan RM Suryowinoto dan Panti Asuhan Yatim Jamasba. Penelitian ini lebih mengedepankan tentang perlindungan anak secara umum. Akibat maraknya berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak yang semakin banyak terjadi.
14
Berusaha menyelamatkan anak terlantar dengan dukungan selain dari pemerintah yaitu dari lembaga sosial yang memberikan pelayanan kepada anak tersebut. Kemudian penelitian oleh Sudarsono (2009), penelitian tesis tentang Peran Panti Asuhan Yatim Putra Muhammadiyah Lowanu Yogyakarta dalam Membangun Kemandirian Anak Asuh.7 Penelitian Sudarsono membahas tentang peran panti asuhan dalam kaitan dengan membangun kemandirian anak. Penelitian lainnya oleh La Ode Faka (2012), dengan penelitian tesis Program Pascasarjana UGM berjudul Peran Pondok Pesantren Roudhatul Jannah dalam Penanaman Nilai-Nilai Kebangsaan Bagi Santri dan Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah. Penelitian ini membahas bagaimana pondok pesantren berperan untuk membantu santri mendapatkan perilaku yang baik sesuai dengan penanaman nilai kebangsaan berdampak pada ketahanan wilayahnya. Penelitian ini juga berusaha mengupas tentang keberadaan anak asuh yang terkait dengan pendidikan anak dalam tinjauan disiplin ilmu Antropologi. Khususnya kajian aspek pendidikan yang dikaitkan dengan kebudayaan dalam Antropologi dikenal dengan istilah Antropologi pendidikan. Menurut Kneller (1965), dari kebudayaan kita mewarisi berbagai cara untuk kehidupan, seperti bahasa, agama, ilmu, obat dan moralitas, yang mungkin tidak akan ditemukan sendiri dari pengalaman pribadi. Perlu dan pentingnya pendidikan membuat anak yang berkebutuhan khusus disebabkan kekurangan kasih sayang ini, mendapatkan perhatian penuh dari yayasan dan pondok pesantren dalam mengasuh, merawat dan memberikan layanan pendidikan kepada anak tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 7
Sudarsono, Peran Panti Asuhan Yatim Putra Muhammadiyah Lowanu Yogyakarta dalam Membangun Kemandirian Anak Asuh, Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kaijaga Yogyakarta Konsentrasi Pekerjaan Sosial tahun 2009.
15
Pentingnya pendidikan ditinjau dari prespektif Antropologi membuat peneliti tertarik untuk mengambil tema pendidikan bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi, khususnya anak yatim. Pendidikan bagian dari antropologi yang dikaitkan dengan manusia secara budaya, manusia membutuhkan proses belajar untuk kelangsungan hidupnya, bagaimana mungkin jika manusia dalam hidup tidak dapat meraih pendidikan melalui proses belajar? Tentu hidupnya tidak sesuai dengan budaya yang ada. Tesis ini berusaha untuk mengangkat anak yatim yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikannya dikarenakan ketiadaan biaya. Melalui kedua yayasan ini salah satunya untuk mengangkat derajat anak yatim tersebut melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Anak asuh yang terdapat di yayasan dan pondok pesantren ini membentuk suatu ikatan anak yang satu dengan yang lain, membentuk suatu komunitas dan bersosialisasi disini. Sosialisasi dan pendidikan anak di panti asuhan yatim piatu juga banyak dijelaskan oleh Kuncoro Bayu Prasetyo (2009) dalam tesisnya yang berjudul Menjadi Aceh di Panti Asuhan. Bagaimana kehidupan mereka di panti asuhan, untuk dapat bertahan hidup. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti di atas sama-sama menerangkan tentang anak dan panti asuhan. Perjalanan penelitian tersebut lebih menekankan pada perlindungan dan kemandirian anak, sedangkan sistem pendidikan anak dan proses pendidikan tidak begitu ditekankan. Penelitian tesis ini lebih melihat anak dari prespektif manfaat pendidikan sekolah yang diperoleh dari panti asuhan, dan manfaat adanya panti asuhan bagi anak yang tidak mampu secara ekonomi untuk tetap bersekolah. Mengkaji manfaat panti asuhan ini berharap ke depan dapat membantu mengurangi tingkat kebodohan dikehidupan
16
masyarakat, khususnya di Indonesia
sebagai akibat ketidakmampuan untuk
melanjutkan sekolah. Kebodohan masyarakat berkurang, maka diharapkan negara akan semakin berkembang dan maju ke arah kebaikan. Aspek yang berkaitan dengan keberadaan anak hampir selalu menempati kedudukan yang penting dalam kajian mengenai keluarga dan masyarakat. Menurut Irwanto (1999), anak merupakan anggota keluarga dan masyarakat yang penting. Hal ini karena anak merupakan generasi penerus bangsa dan bagian dari keluarga dalam lingkup yang lebih luas. Anak yaitu generasi penerus sebuah masyarakat dan kebudayaan, anak dalam pengertian kebudayaan sebagai pewaris budaya. Warisan budaya ini kemudian diberikan secara turun-temurun sampai sekarang. Oleh karena itu, diperlukan sarana sosialisasi untuk anak dalam beraktivitas dan melakukan transfer kebudayaan melalui perilaku-prilaku sosial yang ada. Sarana seperti ini dapat diperoleh di keluarga dan masyarakat. Saat dikeluarga yaitu di rumah dan di masyarakat melalui pendidikan di sekolah. Studi etnografis Antropologi mencatat mengenai penelitian tentang sosialisasi dan pengasuhan anak, yaitu penelitian seorang Antropolog Margaret Mead pada tahun 1928 di kepulauan Samoa. Beliau adalah pelopor tentang studi etnografis tentang polapola pengasuhan anak. Mead (1988) menggambarkan pendidikan anak-anak Samoa yang
dilakukan
di
dalam
keluarga,
serta
bagaimana
masyarakat
Samoa
mensosialisasikan dan membentuk kepribadian para remaja, khususnya perempuan dalam melihat kehidupan seksualitas maupun perjodohan. Hasil penelitiannya, Mead melihat bahwa kehidupan remaja di Samoa lebih siap menghadapi kehidupan seksualitas dalam perkawinannya dibandingkan dengan remaja di dunia Barat. Hal ini
17
karena sosialisasi mengenai kehidupan seksualitas di Samoa telah dilakukan semenjak mereka masih anak-anak. Studi lain mengenai kehidupan keluarga, yaitu seperti yang dilakukan oleh Hildred Geertz mengenai keluarga Jawa. Geertz (1983) menjelaskan bahwa anak bagi masyarakat Jawa adalah orang-orang terpenting di dunia. Oleh karena itu suami istri yang belum dikaruniai anak akan menempuh berbagai upaya untuk memiliki anak. Seorang anak di Jawa sejak kecil dilatih untuk bersikap sopan, santun, hormat, patuh, dan sungkan. Anak yang masih balita dianggap “durung Jawa” yang berarti belum mempunyai sifat orang Jawa yang beradab. Pola pengasuhan yang dilakukan di keluarga Jawa adalah mengupayakan untuk menjadikan mereka “sampun Jawa” atau menjadikan orang Jawa yang sesungguhnya. Nilai-nilai yang dilakukan dan disosialisasikan pada anak untuk menjadi Jawa merupakan konsep ideal yang ada pada kehidupan orang dewasa. Proses yang terjadi di sini adalah proses pendewasaan untuk memahami nilainilai ideal yang berlaku umum. Proses sosialisasi ini dilakukan untuk menjadi dewasa dengan membangun kepatuhan anak atas nilai dan perilaku yang diajarkan (Geertz, 1983:120). Pola pengasuhan dalam pendidikan anak oleh keluarga, selalu dikaitkan dengan kebudayaan yang ada pada masyarakat di mana seorang anak itu tinggal. Kebudayaan itu menentukan apa yang diajarkan oleh anak dan bagaimana proses pembelajaran tersebut dilakukan. Maksudnya proses pengasuhan anak akan terkait dengan masalah transfer kebudayaan antar generasi (dalam Irwanto, 1999). Menurut Irwanto juga praktek pengasuhan anak di Indonesia umumnya diarahkan untuk membuat anak menjadi taat dan patuh. Pada masyarakat pedesaan kepatuhan dan ketaatan merupakan
18
ciri yang diperlukan, agar kelak ketika seseorang dewasa dapat bertahan hidup dalam keterbatasan, dan agar mereka menjadi jaminan atau menjaga orangtuanya ketika tiba masa senja. Pola pengasuhan yang berbeda keadaan, ketika seseorang anak tidak memiliki orang tua, atau hanya memiliki salah satunya di tengah keterbatasan ekonomi untuk bertahan hidup. Hal ini tentu membuat anak kehilangan proses sosialisasi yang baik. Sosialisasi disini yaitu pola pengasuhan dalam pendidikan yang terjadi di keluarga inti dan masyarakat secara luas. Oleh karena itu perlu adanya pihak yang membantu dan memfasilitasi hal itu kepada anak-anak yang memiliki keadaan berbeda tersebut. Yayasan berupa panti asuhan yatim piatu baik yang murni bergerak hanya dibidang yayasan dan yang bergerak dibidang pondok pesantren, tentu menjadi salah satu pihak yang turut berperan serta membantu anak-anak tersebut. Anak-anak yatim piatu dan fakir miskin ini mendapatkan pendidikan seperti pada umumnya, yaitu menjadi anak yang taat dan patuh, dapat bersosialisasi dengan baik, serta memiliki ilmu pengetahuan dan berprestasi. Hal ini menjadi bukti transfer kebudayaan antar generasi yang terdahulu ke generasi selanjutnya dengan mengikuti perkembangan melalui proses pendidikan, khususnya pendidikan dikedua yayasan itu. Keadaan seperti di atas tentunya mengurangi tingkat kejahatan pada anak, terutama yang terjadi di jalanan. Menurut Ertanto (2002), dalam studinya menjelaskan tentang bagaimana anak jalanan bertahan hidup di jalanan. Anak-anak jalanan ini terpaksa tumbuh dan besar di jalanan yang tidak pernah didesain untuk tumbuh kembang seorang anak. Jalanan menjadikan mereka tempat untuk bersosialisasi dan mengembangkan relasi sosial. Sosialisasi di jalanan ini menciptakan dua hal bagi anak-
19
anak jalanan, yaitu pertama jalanan sebagai tempat mereka bekerja untuk memperoleh uang, kedua jalanan mengembangkan sebuah gaya hidup khas mereka dan menjadi salah satu bentuk siasat mereka dalam bertahan hidup. Berdirinya yayasan yatim piatu, panti asuhan dan pondok pesantren ini membuat anak-anak yang hidup di jalanan lebih berkurang. Anak-anak tersebut dididik oleh panti asuhan untuk menjadi anak yang bermartabat melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan. Hal ini tentu mengurangi tingkat kejahatan pada anak dan menyelamatkan generasi bangsa selanjutnya serta mengurangi kemiskinan, khususnya di Indonesia. Seorang ahli Antropologi pendidikan Jepang, Saya Siraishi (2001) dalam bukunya berjudul Pahlawan –Pahlawan Belia, juga menjelaskan bagaimana gagasan mengenai keluarga Indonesia terkonstruksi melalui ruang-ruang kelas atau intitusi sekolah. Ruang sekolah bukan lagi sekedar tempat untuk mendidik anak dengan berbagai ilmu pengetahuan. Namun menjadi tempat untuk memproduksi gagasan mengenai keluarga Indonesia. Gagasan itu telah merasuk dalam sendi kehidupan masyarakat Indonesia modern. Akibatnya koneksi dan relasi yang dibangun baik di bidang politik maupun ekonomi berlandaskan pada gagasan keluarga tersebut. Hal penting yang perlu dicatat dari Saya Shiraishi adalah proses sosialisasi mengenai gagasan keluarga Indonesia dapat terjadi dengan baik melalui faktor bahasa Indonesia, sebagai bahasa perantara yang kosong dengan makna. Menurut Saya Shiraishi juga bahasa Indonesia atau yang dikenal dengan istilah bahasa nasional itu, oleh rezim berkuasa dapat dimanfaatkan dengan baik umtuk memproduksi gagasan mengenai keluarga Indonesia, terutama melalui buku teks yang berada di pendidikan tingkat dasar. Gagasan ini dapat terbentuk melalui kelas yang dinamakan pendidikan.
20
Pendidikan bukan hanya terkait dengan ilmu pengetahuan yang di dapat tetapi bagaimana sosialisasi dengan masyarakat sekitar. Keadaan seperti ini juga yang menjadikan panti asuhan mengasuh anak-anak yatim piatu dan fakir miskin yang membutuhkan, kemudian dapat bersosialisasi dengan anak-anak seusianya yang hidupnya lebih baik dari anak-anak ini, dan anak-anak tersebut dapat meraih pendidikan di dalam suatu ruang kelas, ruang kelas ini yang kemudian disebut sebagai pendidikan baik pendidikan di pondok pesantren dan pendidikan di asrama serta pendidikan di lingkungan sekolah formal. Konvensi Hak Anak (KHA) yang dideklerasikan oleh PBB (Persatuan BangsaBangsa) pada tanggal 20 November 1989, menegaskan pentingnya peranan keluarga dalam pemenuhan hak anak. Bagi anak yang terpaksa berada hidup di luar lingkungan keluarga alaminya, maka diberikan ketentuan khusus dalam konvensi hak anak untuk memberikan mereka keluarga pengganti atau semacam lembaga asuh alternatif. Hal ini mengingat anak memiliki ketergantungan dengan orang dewasa. Yayasan panti asuhan yatim piatu Al-Qur’aniyyah dan Mukhlishin berusaha untuk memfasilitasi tempat tinggal dan memberikan pendidikan yang layak bagi anak yatim piatu dan fakir miskin. Hak asuh anak yatim dan kurang mampu ekonomi ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab yayasan, dimana yayasan ini dibentuk oleh satu orang dan kemudian menjadi beberapa orang sehingga terbentuk yayasan atau lembaga. Lembaga atau yayasan menjadi tempat tinggal bagi anak-anak yang kurang beruntung ini untuk bergantung dan bersandar. Anak-anak bergantung pada orang dewasa, hal ini juga yang terjadi di yayasan anak-anak bergantung kepada pengurus yayasan, terutama
21
kepada pimpinan yayasan. Anak-anak ini mendapatkan keluarga pengganti yang bisa disebut sebagai lembaga asuh alternatif berupa kedua yayasan panti asuhan tersebut. Tinjauan pustaka di atas membuat panti asuhan sebagai salah satu alternatif pengasuhan anak ketika keluarga tidak mampu lagi menjalankan fungsi pengasuhan terhadap anak-anak mereka. Hal ini yang menjadi salah satu dasar yayasan panti asuhan Jihadhul Mukhlishin dan yayasan panti asuhan yatim piatu Al-Qur’aniyyah untuk menjadi pihak yang terlibat dalam proses pengasuhan anak. Keberkahan mengasuh anak yatim piatu dan dhuafa menjadikan alasan utama kedua yayasan itu untuk mendirikan lembaga alternatif yang bergerak di bidang sosial, khususnya terkait dengan pendidikan dan pengasuhan anak. Keadaan ini tentu tidak lepas dari dukungan banyak pihak, supaya kondisi panti asuhan tetap berjalan sebagaimana fungsinya menyelamatkan anak putus sekolah, terutama anak yatim piatu dan dhuafa. Solidaritas dan dukungan masyarakat baik moril maupun materi sangat membantu lembaga atau yayasan untuk mewujudkan. Keadaan seperti ini perlu ada kerjasama yang baik, antara pemerintah, yayasan, dan masyarakat, supaya keberlangsungan hidup anak-anak yang khusus ini dapat terwujud. Anak-anak dapat meraih impian dan cita-citanya melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tolong menolong menjadi salah satu semboyan dalam penelitian ini. Melalui jiwa dan semangat tolong-menolong yang tinggi, maka dapat mewujudkan pendidikan di sekolah secara adil dan merata. Prioritas utama yang ditolong yaitu bagi anak yang hidupnya kurang mampu secara ekonomi dan tergolong yatim piatu. Setiap agama menyarankan untuk tolong menolong dan bersedekah kepada anak yatim piatu, agar kehidupan menjadi lebih barokah dan bahagia. Kata dari tolong menolong ini
22
digunakan baik oleh yayasan, maupun pondok pesantren untuk dapat menarik masyarakat umum, untuk ikut berperan serta aktif membantu mewujudkan harapan tersebut. Minimal menjadikan masyarakat umum untuk menjadi para donatur, baik donatur tetap maupun donatur yang tidak tetap. Donatur tetap adalah donatur yang setiap waktu
sudah rutin membantu yayasan dan pondok pesantren yatim piatu.
Sedangkan donatur yang tidak tetap memberikan bantuannya sewaktu-waktu saja saat ada hajat atau keinginan dan syukuran, baru membantu anak yatim piatu yang ada di yayasan atau pondok pesantren. Kebutuhan seseorang tidak selalu sama dengan kebutuhan organisasi dan sebaliknya kebutuhan organisasi tidak selalu sama dengan kebutuhan seseorang. Pada dasarnya seseorang akan masuk ke dalam organisasi apabila kebutuhan organisasi dirasakan sama dengan kebutuhan orang itu. Organisasi yayasan yatim piatu dan panti asuhan ini merupakan bagian dari organisasi sosial. Organisasi sosial yaitu organisasi yang melayani kebutuhan sosial dari orang-orang yang saling berhubungan satu sama lain, yang memiliki kesamaan, dan saling membantu. Ha ini yang kemudian disebut sebagai bagian dari Antropologi sosial.
23
E. LANDASAN TEORI a. Teori Organisasi Kelembagaan kaitannya disini dalam bentuk organisasi. Berdasarkan kebutuhan sosial, Talcott Parsons (1960) membedakan organisasi menjadi beberapa, salah satunya yaitu organisasi integrative. Organisasi integrative ini melakukan aktivitas guna memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat. Misalnya lembaga yatim piatu, lembaga pemeliharaan orang lanjut usia, rumah sakit, pengadilan, dan organisasi profesi. Hubungan dengan pendapat Talcott ini menjadikan yayasan yatim piatu Mukhlishin dan pondok pesantren yatim piatu Al-Qur’aniyyah menjadi bagian dari sebuah organisasi yang berbentuk sebuah lembaga atau yayasan. Organisasi memiliki pengertian yang berbeda-beda dari setiap penyusun definisi organisasi. Daam wikipedia, pengertian organisasi secara sederhana adalah sistem saling berpengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Talcott Parsons sendiri mengemukakan sumber teori organisasi ini adalah pandangan manusia, walaupun masih banyak cara pandang dalam teori organisasi. Pandangan manusia yang dimaksud yaitu beberapa sumber status dalam organisasi, yang meliputi keanggotaan dalam keluarga, kualitas pribadi, prestasi, pemilikan, wewenang dan kekuasaan. Status mana yang utama tergantung dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
24
Hal ini berhubungan dengan kedua yayasan tersebut, yayasan Mukhlishin dan AlQur’aniyyah sama-sama mementingkan organisasi yang bersifat sosial dan berhubungan dengan pandangan manusia. Pandangan manusia ini terkait dengan kepengurusan dan kepemimpinan yayasan dan pondok pesantren. Teori organisasi di yayasan juga berusaha menjelaskan tentang manajemen dan pengelolaan lembaga. Setiap sekolah atau yayasan pasti membutuhkan manajemen kelembagaan agar pelaksanaannya dapat terlaksana dengan baik dan terstruktur. Terdapat di beberapa tempat dan daerah, sekolah Islam atau madrasah yang awalnya mengalami kemunduran kemudian dapat maju dengan pesat. Menurut buku manajemen pendidikan Islam, ada juga pendidikan sekolah Islam atau madrasah yang maju tetapi kemudian akhirnya gulung tikar, ada yang awalnya maju dan tetap bertahan, tidak sedikit juga yang berada dalam kategori La ‘ yahya wala yamutuu (artinya hidup enggan mati tidak mau) dan tetap seperti itu sampai sekarang. Menurut Fatah (2001)8 bagi seorang manajer , falsafah merupakan cara berpikir yang telah terkondisikan dengan lingkungan, perangkat organisasi, nilai-nilai dan keyakinan yang mendasari tanggung jawab seorang manajer. Melalui falsafah maka seorang manajer dapat menerapkan strategi dengan mantap karena telah mendapatkan pembenaran secara rasional. Manajemen pendidikan Islam dapat dilihat dari : Pertama proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang dilihat secara islami. Kedua lembaga Pendidikan Islam, manajemen disini dapat memaparkan cara-cara pengelolaan pesantren, madrasah, perguruan tinggi Islam, dan sebagainya. Ketiga proses pengelolaan pendidikan Islam menghendaki adanya sifat inklusif dan eksklusif, artinya 8
Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
25
inklusif maksudnya sesuai visi dan misinya dan eksklusif hanya terfokus pada lembaga pendidikan Islam. Keempat melalui cara menyiasati, artinya ada strategi dan pembedaan antara administrasi dengan manajemen. Kemudian sumber-sumber belajar dan hal-hal lain yang terkait, sumber belajar disini memiliki cakupan yang cukup luas, yaitu manusia, seperti ustad atau guru, siswa atau santri, para pegawai dan pengurus yayasan. Sumber lain seperti bahan, lingkungan, alat dan peralatan, serta aktivitas. Terakhir efektif dan efisien. Maksudnya penyempurnaan dalam proses pencapaian tujuan pendidikan. Hal ini semua yang mencoba untuk dijalankan di yayasan Jihadul Mukhlishin dan di pondok pesantren AlQur’aniyyah.
b. Teori Peran dan Altruisme Menurut Koentjaraningrat (1974), fungsi kebudayaan bagi masyarakat sangat besar. Hal ini disebabkan karena salah satunya manusia dan masyarakat memerlukan kepuasan baik di bidang spiritual maupun material. Fungsi kebudayaan tersebut bersumber pada masyarakat itu sendiri. Hal ini yang melandasi kedua organisasi yayasan atau lembaga ini berdiri, yaitu untuk meraih kepuasan spiritual dan material. Material yang didapat dari organisasi sosial seperti kedua yayasan tersebut tidak seberapa hasilnya, namun spritual yang diutamakan. Yayasan yatim piatu Mukhlishin dan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, merupakan bagian dari sebuah organisasi atau lembaga yang bergerak di bidang pendidikan secara sosial. Fungsi lembaga pendidikan menurut Koentjaraningrat (1958),
26
yaitu memberikan persiapan bagi peranan pekerjaan, sebagai perantara pemindahan warisan. Memperkenalkan individu tentang berbagai peranan dalam masyarakat. Mempersiapkan para individu dengan berbagai peranan sosial, memberikan landasan bagi penilaian dan pemahaman status relatif, meningkatkan kemajuan melalui pengikutsertaan dalam riset ilmiah. Terakhir memperkuat penyesuaian diri dan mengembangkan hubungan sosial. Pendidikan di
Yayasan Panti Asuhan sendiri terbagi menjadi dua yaitu :
pendidikan non formal dan pendidikan formal. Pendidikan non formal terjadi di luar pendidikan formal, contohnya seperti : belajar mengaji dan belajar ilmu pengetahuan agama Islam secara luas, belajar membaca Al-Qur’an dengan melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga menjadi enak untuk diperdengarkan. Pembelajaran lain yang dilakukan di pondok pesantren, yaitu belajar rebana dan keterampilan, seperti belajar keterampilan menjahit, menulis kaligrafi arab dari ayat Al-Qur’an, belajar komputer, dan pratik belajar berdakwah dan ceramah. Kegiatan keterampilan di atas termasuk ke dalam pendidikan non formal. Pandangan di atas semakin memperkuat bahwa pendidikan sangat dibutuhkan oleh setiap manusia, baik berupa pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal dan non formal semuanya memiliki manfaat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, harapannya dapat saling mengisi diantara keduanya. Teori altruisme9 yaitu teori untuk senantiasa berbagi atau menolong tanpa pamrih. Teori ini berusaha mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Dasar teori ini adalah saling berbagi dan memberi. Teori Altruisme menginspirasi tulisan ini untuk menolong tanpa pamrih, bentuknya melalui pendidikan gratis kepada 9
Diambil dari www.id.wikipedia.org, diakses tanggal 13 Juni 2012.
27
yang tidak mampu secara ekonomi. Jadi bentuk tolong disini adalah menolong yang mampu secara ekonomi kepada yang tidak mampu secara ekonomi. Oleh karena itu dibentuklah suatu yayasan yang berusaha mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Konsep saling memberi dan menerima ada di dalam yayasan panti asuhan dan para dermawan yang memberikan rsebagian rezekinya kepada anak yatim, memberi kepada yang memang benar-benar membutuhkan. Konsep saling berbagi ini diberikan kepada para dermawan yang suka memberi rezeki ke anak yatim piatu, dan difasilitasi melalui yayasan untuk menyelenggaraan pendidikan sekolah anak yang terdapat di panti asuhan. Paham ini bertujuan untuk mengutamakan orang lain. Hakikatnya bahwa perilaku seseorang dipimpin oleh suatu pendapat bahwa tiap-tiap orang berpembawaan tidak mementingkan diri sendiri, bahwa tiap-tiap orang berpembawaan untuk saling membantu satu sama lain. Perwujudan paham ini menonjol saat orang lain sedang mengalami kesulitan, sehingga tanpa diminta seseorang akan ikhlas membantu orang lain. Bahkan seseorang akan merasa bersalah apabila pada suatu waktu tidak ikut membantu kesulitan itu. Kesulitan yang dialami oleh orang lain yang telah dikenalnya, walaupun mungkin orang lain itu tidak mengharapkan bantuannya. Melalui ide dan gagasan seseorang, maka terbentuklah panti asuhan dengan usaha untuk membantu sesama manusia. Manusia yang dibantu disini adalah anak-anak yatim piatu dan dhuafa, supaya dapat tetap melanjutkan sekolah di tengah keterbatasan ekonomi. Niat pembuatan panti ini berlandaskan keikhlasan untuk membantu pendidikan, dengan mencari keberkahan bersama anak yatim piatu dan dhuafa sebagai salah satu generasi bangsa.
28
Harapan Yayasan Jihadul Mukhlishin dan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah yaitu supaya setiap anak yang berada di dalam yayasan panti asuhan ini dapat terurus dan jelas hidupnya, dengan bersekolah langsung di tempat yang telah disediakan oleh panti asuhan untuk meraih ilmu agama dan dunia. Sekolah dan yayasan yang dimiliki panti asuhan Jihadul Mukhlishin dan Al-Qur’aniyyah ini keberadaannya sudah diakui oleh pemerintah setempat. Alasan lain dibentuk yayasan pendidikan panti asuhan dan pondok pesantren, yaitu mengacu pada keutamaan pendidikan bagi masyarakat dan hak setiap warga negara. Hal ini tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kedua yayasan ini berusaha memberikan pendidikan bagi yang kurang mampu ekonomi, akibat dampak mahalnya biaya pendidikan dan kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Wikipedia ensklopedia bebas, teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan oleh kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial (misalnya ibu, manajer, guru). Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma, dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan dipenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang-orang bertindak dengan cara yang dapat diprediksikan, dan bahwa kelakuan seseorang bergantung pada konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor lain. Teater adalah metafora yang sering digunakan untuk mendeskripsikan teori peran. Meski kata 'peran' sudah ada di berbagai bahasa Eropa selama beberapa abad, sebagai suatu konsep sosiologis, istilah ini baru muncul sekitar tahun 1920-an dan
29
1930-an. Istilah ini semakin menonjol dalam kajian sosiologi melalui karya teoretis Mead, Moreno, dan Linton. Dua konsep Mead, yaitu pikiran dan diri sendiri, adalah pendahulu teori peran.10 Tergantung sudut pandang umum terhadap tradisi teoretis, ada serangkaian "jenis" dalam teori peran. Teori ini menempatkan persoalan-persoalan berikut mengenai perilaku sosial: Satu Pembagian buruh dalam masyarakat membentuk interaksi di antara posisi khusus heterogen yang disebut peran. Kedua peran sosial mencakup bentuk perilaku "wajar" dan "diizinkan", dibantu oleh norma sosial, yang umum diketahui dan karena itu mampu menentukan harapan. Ketiga peran ditempati oleh individu yang disebut "aktor". Keempat ketika individu menyetujui sebuah peran sosial, maka mereka akan memikul beban untuk menghukum siapapun yang melanggar norma-norma peran. Kemudian kondisi yang berubah dapat mengakibatkan suatu peran sosial dianggap kedaluwarsa atau tidak sah, yang dalam hal ini tekanan sosial berkemungkinan untuk memimpin perubahan peran. Terakhir antisipasi hadiah dan hukuman, serta kepuasan bertindak dengan cara prososial, menjadi sebab para agen patuh terhadap persyaratan peran. Dalam hal perbedaan teori peran, di satu sisi ada sudut pandang yang lebih fungsional. Jenis teori peran ini menyatakan bagaimana dampak tindakan individu yang saling terkait terhadap masyarakat, serta bagaimana suatu sudut pandang teori peran dapat diuji secara empiris. Kunci pemahaman teori ini adalah bahwa konflik peran
10
Hindin, Micelle J. (2007) "role theory" in George Ritzer (ed.) The Blackwell Encyclopedia of Sociology, Blackwell Publishing, 2007, 3959-3962
30
terjadi ketika seseorang diharapkan melakukan beberapa peran sekaligus yang membawa pertentangan harapan. Hal inilah yang terjadi di kedua yayasan Jihadul Mukhishin dan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Kedua yayasan berusaha untuk menerapkan perannya secara sosial, dengan memberikan kontribusinya kepada masyarakat yang dalam hal ini anakanak terlantar yang butuh perlindungan, pengasukan dan pendidikan. Anak-Anak yatim piatu dan fakir miskin atau dhuafa ini dididik dan dirawat dengan kasih sayang seperti kedua orangtuanya yang telah tiada. Pendidikan yang diberikan bukan hanya pendidikan umum, tetapi yang lebih utama pendidikan agama, anak-anak ini diberikan tanggung jawab untuk mengurus dirinya sendiri secara mandiri dan bermanfaat bagi sekitar, hukuman bagi yang melanggar sesuai dengan kesepakatan dari peran tersebut. Konflik tentu ada tetapi bagaimana disikapinya. Menurut pimpinan kedua yayasan segala konflik berusaha untuk diselesaikan dengan cara baik-baik.
c. Teori Pemenuhan Kebutuhan Teori motivasi Abraham Maslow (1908-1970) berisi tentang pemenuhan kebutuhan manusia, khususnya yang terkait dengan anak. Menurut Maslow dalam bukunya Motivation and Personality, bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhankebutuhan yang bersifat hirarkis.11 Teori di atas dapat digunakan sebagai alasan awal manusia untuk memenuhi kebutuhan, salah satunya kebutuhan untuk memperoleh pendidikan. Manfaat pendidikan bagi setiap manusia adaah salah satunya, selain dapat
11
Abraham Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper & Row Publisher, 1970), hlm.1-10.
31
memenuhi kebutuhan dasar, secara pribadi dengan pendidikan dapat mengaktualisasi diri menaikkan derajat sebagai manusia untuk mendapatkan penghargaan dan prestise. Motivasi pribadi tentu tidak sama dengan motivasi organisasi. Motivasi organisasi yang dimaksud disini adalah motivasi dari kedua yayasan ini, baik yayasan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dan yayasan Jihadul Mukhlishin. Motivasi kedua yayasan hampir sama, hanya saja pondok pesantren menginginkan anak asuhnya yang mereka sebut santri lebih paham agama terutama dalam hal kitab suci umat Islam yaitu AlQur’an. Yayasan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah berusaha mencetak generasi qur’ani yang cinta Al-qur’an dan dapat mempraktekkannya, jadi ilmu pondok juga tidak kalah pentingnya dengan ilmu pendidikan umum atau formal. Motivasi yang lain yaitu mencerdaskan anak bangsa, terutama anak yang hidupnya kurang beruntung, seperti anak yatim piatu dan dhuafa. Motivasi individu yaitu untuk kepentingan individu masing-masing anak, hal ini tentu tidak sama, namun intinya mereka anak yang kurang beruntung ini merasa terbantu dengan adanya yayasan yatim piatu tersebut. Motivasi untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi sarana utama selain motivasi yang lain dalam hidup, seperti meraih ilmu pengetahuan dan penghargaan akan kesetaraan pendidikan. Hal ini tampak dari rasa bersyukur anak asuh yang berada di kedua tempat yayasan yatim piatu ini. Mereka tetap dapat bersekolah kembali tanpa bingung akan masalah biaya dan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan. Menurut Hasyim Muhammad12 ada lima kebutuhan yang harus dipenuhi yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan ini adalah kebutuhan bersifat dasar, contohnya makan, 12
Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi telaah atas Abraham Maslow (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Walisongo Press, 2002).
32
minum ataupun kebutuhan fisik lainnya yang menjadi kebutuhan pokok setiap manusia yang harus dipenuhi. Kedua kebutuhan terkait rasa aman, contohnya terbebas dari ancaman pihak luar yang dapat merugikan ataupun mengancam kehidupannya. Ketiga kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki. Kemudian Kebutuhan akan penghargaan, yakni kebutuhan terkait dengan penghargaan yang harus diberikan kepada diri seseorang atas prestasi dari suatu perilaku yang dilakukan. Contoh salah satunya adalah penghargaan akan proses pendidikan. Terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri, dimana seseorang perlu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Teori lain yang ingin disampaikan dalam penelitian ini adalah teori tentang bagaimana seseorang memiliki keinginan kuat untuk mengorbankan harta dan jiwanya, demi keberlangsungan serta kesuksesan orang lain yang membutuhkan uluran tangannya. Istilah lain dalam Islam adalah sedekah yang manfaatnya untuk diri sendiri dan orang lain. Teori sedekah ini dapat dilakukan oleh siapapun, tidak harus menunggu seseorang itu kaya raya baru sedekah. Bagaimana kesadaran untuk bersedekah dimulai sejak dini, dari tidak memiliki sesuatu hingga memiliki sesuatu.
c. METODE PENELITIAN a. Lokasi Lokasi penelitian bertempat di Yayasan Yatim Piatu Jihadul Mukhlishin, Rempoa Permai, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Daerah Jakarta Selatan, Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan di Pondok Pesantren Yatim Piatu Al-Qur’aniyyah, Kelurahan Jurangmangu Timur, Kecamatan Pondok Aren, Daerah Tangerang Selatan. Dasar dari pemilihan lokasi tersebut adalah faktor keragaman penduduknya. DKI
33
Jakarta dengan penduduk yang cukup padat dan kompleks masyarakatnya, memiliki banyak yayasan yatim piatu. Yayasan yatim piatu yang dipilih dalam penelitian ini terletak di kawasan DKI Jakarta yang terbilang cukup elit dan mewah, yaitu di daerah Bintaro. Hal ini cukup strategis bagi yayasan untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan dengan bantuan dana dari masyarakat sekitar yang dikelola oleh yayasan tersebut. Alasan lain pemilihan penelitian dikedua Yayasan Panti Asuhan Mukhlishin di Jakarta dan Yayasan Panti Asuhan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah di Tangerang, yaitu karena kedua tempat ini berada di kawasan ibukota yang strategis, dengan kapasitas penduduk yang jumlahnya besar dan kemiskinan yang semakin merajalela. Kemudian kedua yayasan penelitian ini memiliki kesamaan tujuan visi misi, tetapi berbeda dalam bentuk pencitraan nama. Perbedaan antara yang hanya menggunakan nama panti asuhan dengan yang menggunakan istilah pondok pesantren. Pondok pesantren ini berdiri di kawasan Tengerang yang terbilang cukup padat dan kumuh selain di DKI Jakarta. Tangerang menjadi daerah pinggiran dengan aktifitas masyarakat yang beraneka ragam. Di sana berdirilah salah satu pondok pesantren, tepatnya di Daerah Tangerang Selatan, yang fokus dengan pendidikan agama dan umum untuk menangani anak yang bermasalah. Anak bermasalah yang dimaksud disini adalah anak yang tidak memiliki kedua orangtua, khususnya ayahnya yang disebut dengan istiah yatim. Yayasan di dua tempat ini sama-sama memiliki pengaruh yang cukup signifikan di daerah Jakarta Selatan dan Tangerang khusunya di kawasan Bintaro. Bintaro sendiri menjadi daerah pinggiran Jakarta Selatan yang berbatasan langsung dengan daerah
34
Tangerang Selatan. Yayasan Jihadul Mukhlishin sendiri berada di komplek perumahan elit di Jakarta Selatan daerah Bintaro dan Rempoa. Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah berada di kawasan padat penduduk yang cenderung kumuh dan berada dekat dengan masyarakat kalangan menengah ke bawah, hal ini terlihat perbedaan yang cukup kontras.
b. Informan Penentuan informan digunakan konsep James Spradley (1997:61) dalam Endraswara (2006:239) yang prinsipnya menghendaki informan harus paham budaya yang dibutuhkan. Informan kunci disini menurut Koentjaraningrat (1994:131) diharapkan adalah mencari pendidikan yang cukup tinggi dari pada yang lain, agar mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya yang dibutuhkan dan dipahami oleh si peneliti. Menurut pendapat Koentjaraningrat ini, maka peneliti berusaha mengambil informan kunci dari kalangan pendidikan tinggi yaitu pemiik atau pimpinan dari pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, Ustad Sobron. Ustad Sobron saat ini sedang menempung strata tiga di sebuah kampus swasta di Jakarta Selatan, dengan dasar ilmu Al-Qur’an. Informan kunci di yayasan Jihadul Mukhlishin juga berusaha mengambil dari kalangan akademisi yaitu pimpinan yayasan sendiri, yang bernama Bapak Syafril. Bapak Syafril ini merupakan lulusan sarjana di DKI Jakarta, yang kemudian bekerja mengabdi di sebuah yayasan pendidikan, yang nantinya menjadi cikal bakal keinginannya untuk mendirikan yayasan pendidikan sendiri. Menurut Spradley (2007), informan merupakan sumber informasi atau secara harfiah informan adalah guru bagi seorang etnografer. Informan dipilih yaitu dengan
35
penarikan informan dari masing-masing lingkup. Kemudian dilanjutkan kepada individu lain dimasing-masing lingkup atas dasar rekomendasi dari informan sebelumnya. Bentuk informasi dan data yang diperoleh adalah akibat kesamaan informasi yang diberikan, baik oleh informan pertama maupun informan selanjutnya. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara kepada masing-masing informan sesuai dengan peranannya. Informan dalam penelitian ini meliputi pimpinan pondok dan pimpinan yayasan. Pimpinan pondok bernama ustad Sobron, yang oleh santrinya sering disebut dengan istilah abi yang artinya ayah dalam bahasa arab. Informan pimpinan yayasan panti asuhan Mukhlishin bernama bapak Syafril Amir. Informan tambahan adalah anak asuh atau santri yang tergolong yatim piatu, dan dhuafa, pemilihannya ditentukan oleh kebijakan dari pimpinan pondok dan yayasan panti asuhan. Informan lainnya yang sifatnya pendukung, yaitu seperti beberapa guru yang mengajar secara sukarela dengan berbasis keihklasan di sana, serta masyarakat pendonor atau para dermawan setempat. Masyarakat pendonor yang bersifat dermawan ini dipilih berdasarkan kriteria yang sifatnya tetap. Pendonor tetap disini maksudnya yaitu selalu rutin memberikan sumbangan ke panti asuhan. Pendonor yang sifatnya tidak tetap yaitu mereka yang memberikan sumbangan ke pondok atau yayasan hanya sewaktu-waktu.
c. Teknik Pengumpulan a. Observasi Partisipasi Observasi dalam penelitian ini adalah dengan cara mengamati dan mendengar. Hal ini dalam rangka memahami, mencari jawab, mencari bukti terhadap fenomena
36
pendidikan di kedua yayasan yatim piatu tersebut. Pendidikan yang diperuntukkan bagi anak-anak yatim piatu dan dhuafa, yang berada di kawasan elit dan kawasan padat penduduk di Jakarta Selatan dan Tangerang. Pendidikan ini diselenggarakan oleh yayasan yatim piatu Jihadul Mukhlishin dan yayasan pendidikan Islam panti asuhan yatim piatu pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Pengamatan observasi ini menjadi penting untuk melihat lokasi tempat dan keadaan sekitar. Pengamatan pada saat di asrama yayasan, di sekolah dan di lingkungan tempat tinggal sekitar yayasan dan pondok pesantren. Observasi dilakukan dengan cara mencatat dan memotret fenomena yang ada tersebut, guna untuk menemukan data analisis yang dibutuhkan. Pengamatan terlibat yaitu ikut berpartisipasi di setiap kegiatan anak-anak baik saat di asrama tempat tinggal maupun di lingkungan sekolah. Pengamatan terlibat ini memudahkan untuk mendapatkan informasi melalui wawancara dengan semua komponen yang teribat dalam proses pendidikan, baik murid, guru, maupun pengurus yayasan. Observasi partisipasi dalam penelitian adalah untuk mendapatkan data. Data yang utama mengenai perilaku atau karakteristik yang sifatnya pribadi dari informan, misalnya kedekatan dengan anak asuh. Perilaku yang tidak tampak dapat diketahui dengan interview singkat, maka diperlukan observasi partisipasi ini secara aktif.
b. Wawancara Teknik pengumpulan data yang berikutnya adalah wawancara. Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam. Dalam penelitian ini wawancara mendalam pertama kali dilakukan oleh tokoh utama yaitu pengurus atau pemilik yayasan dan pondok pesantren. Kemudian dilanjutkan untuk mencari informan
37
tambahan, untuk mencari informasi tambahan. Instrumen yang digunakan metode ini adalah pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya. Data yang digali dalam wawancara ini yakni, hal-hal yang menyangkut dengan topik-topik pendidikan, pembentukan yayasan, peran yayasan dan proses pendidikannya. Hal ini seperti menjelaskan sistem pendidikan, dan metode pendidikan apa yang digunakan dan diajarkan ke anak ilmu yang seperti apa, hal ini menjelaskan tentang kegunaan. Kegunaan berdirinya yayasan dan pondok pesantren dilihat dari manfaat keadaan dan teraksananya pendidikan di kedua tempat tersebut. Teori peran juga identik dengan kegunaannya seperti apa kedua yayasan ini. Wawancara ditujukan kepada beberapa kelompok informan. Kelompok informan ini diantaranya, pengurus atau ketua yayasan dan ketua pondok pesantren, anak asuh di yayasan dan santri di pondok pesantren, karyawan. Karyawan disini yaitu guru pembimbing baik di yayasan yaitu asrama dan di pondok pesantren dengan ustad, maupun guru yang terdapat di sekolah yayasan Jihadul Mukhlishin dan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah.
c. Studi Pustaka Selain observasi partisipasi dan wawancara juga dilakukan studi pustaka. Tujuan dari studi pustaka adalah untuk mendapatkan informasi melalui referensi yang dibutuhkan dalam proses metode dan pengerjaan untuk penyelesaian penelitian. Pada tahap studi pustaka ini berisi uraian atau gambaran umum tentang penelitian. Studi pustaka dapat diperoleh dari majalah, buku, koran, laporan penelitian, internet. Studi
38
pustaka juga dapat diperoleh dari data keadaan di lapangan, mengenai kaitannya dengan hal-hal yang akan diteliti. Studi pustaka berupa laporan penelitian dari beberapa orang yang meneliti hal yang serupa, misalnya tentang pendidikan non formal anak jalanan oleh Zulfadli dari Pascasarjana UGM dan penelitian Bayu tentang anak Aceh dan yang bukan Aceh korban dari tsunami, kemudian diperbantukan di yayasan panti asuhan di Aceh. Hal ini semua berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat terkait dengan masalah sosial. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini terutama yang berhubungan dengan pendidikan, pelaksanaan, proses, dan sampai siapa yang teribat di dalamnya dijelaskan dalam studi pustaka. Studi pustaka dan kerangka teori merupakan kerangka acuan yang disusun berdasarkan kajian berbagai aspek. Kajian secara teoritis maupun empiris yang menumbuhkan gagasan dan mendasari usulan penelitian. Uraian dalam studi pustaka ini, diharapkan memberikan gambaran tentang kaitan upaya pengembangan dengan upaya-upaya lain yang mungkin sudah pernah dilakukan para ahli, untuk mendekati permasalahan yang sama atau relatif sama. Pengembangan ini dilakukan untuk mendapatkan landasan empiris yang cukup kuat.
d. Analisis Data. Penelitian ini merupakan penelitian dasar, yang ditempatkan dalam penelitian sosial budaya. Penelitian ini tergolong penelitian fenomenologis. Fokus kajian dan unit analisisnya mencakup dua hal yaitu: penelitian tentang perilaku dan kebudayaan (Ahimsa-Putra,2007:43-44). Mengacu pada hal tersebut usulan penelitian ini adalah sistem pengetahuan, perilaku dari anak asuh atau santri dalam menerima pendidikan
39
yang ada di panti asuhan, dan strategi-strategi yang dilakukan oleh panti asuhan untuk menghadapi kondisi anak asuh dan problem dari pendidikan di panti asuhan sendiri. Analisis datanya dengan menggunakan analisis penelitian secara kualitatif dan dijelaskan dengan deskriptif. Deskriptif disini yaitu mencoba menggambarkan keadaan situasi dan lingkungan disana. Data yang dikumpulkan adalah data dari hasil wawancara, observasi partisipasi dan beberapa studi pustaka. Data yang digali meliputi data-data yang berhubungan dengan pendidikan yang diselenggarakan di kedua tempat tersebut. Data dari wawancara dengan informan mengungkap pengaruh yayasan dan pondok pesantren terhadap lingkungan sekitar, khususnya terkait dengan masalah pendidikan. Pendidikan ini diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya. Alasan utama dikarenakan ketiadaan biaya dan kehilangan orangtua. Data yang digali adalah proses pendidikan yayasan dilihat dari strategi dan metode pendidikan sekolahnya. Implikasi dari adanya kedua yayasan ini terhadap keadaan lingkungan sekitar dan masyarakat dekat tempat tinggal kedua yayasan. Penelitian ini adalah kajian tentang pendidikan anak secara sosial yang dilakukan oleh dua lembaga sosial di panti asuhan. Sasaran penelitian adalah lembaga sosial yang mempunyai visi dan misi, kepengurusan, ataupun ideologi tertentu. Alur penelitian tidak saja membahas tentang pendidikan anak secara sosial, akan tetapi juga akan lebih mengkaji bagaimana sebuah lembaga melakukan kegiatan sosial tersebut. Melengkapi analisis penelitian dari data lapangan selain observasi, wawancara dan studi pustaka, maka penelitian ini akan menggunakan dokumentasi berupa data foto selama di
40
lapangan. Dokumentasi dengan menggunakan kamera foto diharapkan dapat memberikan gambaran penting atas kejadian yang terjadi selama penelitian berlangsung, yang terlewatkan dari rekaman alat indera manusia.