11
BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
2.1.1. Pengertian Pengawasan Fungsional Revrisond Baswir (2002:118) pengawasan secara umum adalah: “Segala kegiatan dan tindakan untuk menjamin agar penyelenggaraan suatu kegiatan tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang telah digariskan.” Sedangkan Abdul Halim (2002:145) yaitu : pengawasan adalah suatu proses kegiatan penilaian terhadap objek pengawasan kegiatan tertentu dengan tujuan untuk memastikan apakah pelaksanaan tugas dan fungsi objek pengawasan dan atau kegiatan tersebut telah sesuai dengan yang telah ditetapkan sehingga dapat disimpulkan bahwa pengawasan bukan berupa pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah. adapun pengertian pengawasan fungsional berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No 20 tahun 2002 tentang pertimbangan dan pengawasan atas penyelenggara pemerintah daerah mengemukakan bahwa: “Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga atau badan atau unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengkajian, penyusutan dan penilaian”.
12
Abdul
Halim
(2002:351)
menyatakan
pengawasan
fungsional
sebagai berikut : “Segala kegiatan dan bentuk tindakan untuk menjamin agar pelaksanaan suatu kegiatan berjalan dengan sesuai dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan”. Siregar dan Siregar (2001:351) pengawasan fungsional adalah : “Pengawasan oleh aparatur pengawasan fungsional adalah pengawasan oleh instansi independen dari unsure yang diawasi seperti badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BKP) Inspektor Jendral Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Negara dan Inspektorat Wilayah.” Secara khusus tujuan pengawasan fungsional menurut Abdul Halim (2004:306) adalah : a. Menilai ketaatan terhadap perundang – undangan yang berlaku. b. Menilai apakah kegiatan berjalan dengan pedoman akuntansi yang berlaku c. Menilai apakah yang dilaksanakan secara ekonomis, efisien dan efekti. d. Mendeteksi adanya kecurangan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, jelas bahwa penekanan dari pengawasan lebih pada upaya untuk mengenali penyimpangan atau hambatan di dalam pelaksanaan kegiatan tersebut disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah baik pusat maupun daerah. Bila ternyata kemudian ditemukan adanya penyimpangan atau hambatan diharapkan agar dapat
13
segera dideteksi atau diambil tindakan koreksi sehingga pelaksanaan kegiatan yang bersangkutan diharapkan masih dapat mencapai tujuan sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya. Sedangkan Statement of Auditing Standars (SAS) dalam Sawyer (2005:58) mendefenisikan lima komponen kontrol internal yang saling berkaitan pada pernyataan COSO adalah sebagai berikut: (a) Lingkungan control. Komponen ini meliputi seikap manajemen di semua tingkatan terhadap operasi secara umum dan konsep control secara khusus. (b) Penentuan Resiko. Komponen ini telah menjadi bagian dari aktivitas audit internal yang telah berkembang. (c) Aktivitas kontrol,
komponen ini
mencakup aktivitas-aktivitas yang dulunya dikaitkan dengan konsep control internal. (d) Informasi dan Komunikasi. Komponen ini merupakan bagian penting dari proses manajemen. Manajemen tidak dapat berfungsi tanpa informasi. (5) Pengawasan. Pengawasan merupakan evaluasi rasional yang dinamis atas informasi yang diberikan pada komunikasi informasi untuk tujuan manajemen control. Terdapat hubungan langsung antara tujuan, yang merupakan hal yang diperjuangkan untuk dicapai perusahaan dan komponen-komponen tersebut, yang mencerminkan hal-hal yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Tidak semua tujuan dan komponen ini relevan untuk audit laporan keuangan. Kontrol interna, sebaik apa pun dirancang dan dioperasikan, hanya bisa memberikan keyakinan yang wajar tentang pencapaian tujuan.
14
2.1.2 Aparat Pengawasan Fungsional Revrisond Baswir (2000:138) aparat pengawasan fungsional adalah : a. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. b. Inspektorat Jendral Departemen, Aparat Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Instansi Pemerintah lainnya. c. Inspektorat Wilayah Provinsi. d. Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Selanjutnya
uraian
mengenai
aparat
pengawasan
fungsional
menurut Siregar dan Siregar (2001:353) adalah : a. Badan Pengawasan Keuanga dan Pembangunan (BPKP) BPKP merupakan instansi pengawasan dan pemeriksa yang berada dilingkungan pemerintah. BPKP harus melaporkan pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada Presiden. Laporan hasil pengawasan dan pemeriksaan disampikan kepada mentri atau pejabat lain yang bersangkutan. Apabila laporan hasil pengawasan berkaitan dengan pemeriksaan, maka dalam tembusan laporan tersebut disampaikan dalan badan pemeriksaan keuangan (BPK). Apabila diperkirakan terdapat tindakan pidana korupsi, BPKP harus melaporkan kepada jaksa agung. Tugas pokok BPKP meliputi ; 1) Merumuskan pembangunan
kebijaksanaan
pengawasan
keuangan
dan
15
2) Melaksanakan pengawasan umum terhadap penguasaan dan pengurusan keuangan b. Inspektorat Jendral Departemen atau Unit Pengawasan Lembaga Negara Inspektorat
Jendral
Departemen
atau
Unit
Pengawasan
Lembaga Negara merupakan instansi yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap seluruh unsure organisasi yang ada di lingkungan departemen atau lembaga Negara yang bersangkutan. Tugas pokok Inspektorat Jendral atau Unit pengawasan adalah melakukan pengawasan terhadap tugas rutin dan pembangunan semua unsur yang ada di lingkungan departemen atau lembaga Negara agar pelaksanaan tugas sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c. Insepktorat Wilayah Kota Insepktorat Wilayah Kota adalah instansi pengawasan yang melakukan pengawasan terhadap akativitas pemerintah Kota. Instansi ini bertanggung jawab kepada Gubernur. Instansi ini mempunyai tugas melakukan pengawasan umum atas aktivitas pemerintah daerah, baik yang bersifat rutin maupun yang bersifat pembangunan agar dapat berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya
16
Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya adalah instansi yang melakukan pengawasan terhadap aktivitas Pemerintah Daerah. Termasuk Kecamatan, Kelurahan atau Desa selain itu Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya juga melakukan pengawasan terhadap tugas departemen Dalam Negeri di Kabupaten atau Kotamadya. 2.1.3 Standar Audit Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah Berdasarkan Keputusan BPKP No. KEP-378/K/2004 tanggal 30 Mei 2004 Tentang Penetapan Berlakunya Standar Audit Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah. Jafar dan Sumiati (2006:29) mengemukakan bahwa Standar Audit
APFP merupakan prinsip-prinsip dasar dan
persyaratan yang diperlukan APFP serta akuntan public yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi suatu APFP, untuk menjamin mutu hasil audit dan konsitensi pelaksanaan tugas audit. Selanjutnya Jaafar dan Sumiati (2006:29) bahwa maksud dan tujuan standar audit APFP adalah sebagai berikut : a. Standar audit APFP ini menjadi acuan dalam menetapkan batas-batas tanggungjawab pelaksanaan tugas audit yang dilakukan oleh APFP dan auditornya sesuai dengan jenjang dan ruang lingkup tugas audit. b. Tujuan standar audit ini adalah untuk menjamin mutu koordinasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan audit. Standar ini juga bertujuan untuk mendorong efektivitas tindak lanjut temuan hasil audit
17
serta konsistensi penyajian laporan hasil audit yang bermanfaat bagi pemakainnya. Redwan Jaaftar dan Sumiati (2004: 33) mengemukakan “Standar audit aparat pengawasan fungsional pemerintah (APFP) merupakan prinsip-prinsip dasra persyaratan yang diperluka untuk menjamin mutu hasil audit dan konsistensi pelaksanaan tugas audit APFP”. Badan Pengawasan Daerah Jawa Barat (2002:2) dan Redwan Jaaftar dan Sumiati (2004: 33) dalam bukunya yang berjudul Kode Etik dan Standar Audit dan standar audit terdiri dari 24 butir standar yang terbagi atas lima katogori yaitu : a. Standar Umum 1) Keahlian 2) Independensi 3) Kecermatamn profesi 4) Kerahasian b. Standar Koordinasi dan Kendalian Mutu 1) Program kerja pengawasan 2) Koordinasi pengawasan 3) Kendali mutu c. Standar Pelaksanaan 1) Pelaksanaan dan supervise 2) Pengendalian Internal 3) Bukti audit
18
4) Ketaatan peraturan perundang – undangan 5) Kertas kerja audit d. Standar Pelaporan 1) Kesesuaian dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum 2) Konsistensi 3) Pengungkapan yang memadai 4) Pernyataan pendapat 5) Laporan audit operasional 6) Kesesuaian dengan standar audit APFP 7) Tertulis dan segera 8) Distribusi laporan e. Standar Tindak Lanjut 1) Kominikasi dengan auditan 2) Pemantauan tindak lanjut 3) Status temuan 4) Penyelesaian hukum Uraian di atas masing-masing standar audit adalah sebagai berikut : a. Standar Umum Standar umum audit merupakan persyaratan bagi APFP dan para auditornya untuk dapat melaksanakan penugasan audit secara kompeten dan efektif. Standar umum ini terdiri dari empat pernyataan, yaitu : 1) Keahlian
19
Standar ini menegaskan bahwa audit hanya dapat dilakukan oleh seseorang atau lebih yang memiliki kemampuan, baik secara teori maupun praktik dibadang audit.standar ini juga menegaskan bahwa kemampuan seseorang dalam bidang-bidang lain, termasuk dalam bidang keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang dimaksudkan dalam standar audit ini, jika ia tidak memiliki kemampuan pendidikan serta pengalaman yang memadai dalam bidang audit. 2) Independensi Standar ini bertujuan untuk menghasilkan pendapat audit atau kesimpulan audit yang objektif. Dalam pembuatan laporan pendapat atau simpulan auditor harus bebas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan, untuk mencapai tujuan tersebut standar ini mengharuskan APFP dan para auditornya untuk memiliki intergritas, yaitu
sikap
kepribadian
yang
jujur,
bijaksana,
berani
dan
tanggungjawab sehingga dapat menimbulkan kepercayaan dan rasa hormat masyarakat. 3) Kecermatan Profesi Standar ini menghendaki auditor untuk melaksanakan tugasnya dengan cermat dan seksama. Kecermatan dan keseksamaan ini menekankan bahwa auditor bertanggungjawab untuk mendalami dan mematuhi standar audit APFP dalam segala kegiatan yang berkaitan dengan fungsi APFP salah satu wujud penerapan
20
kecermatan dan keseksamaan adalah reviu secara kritis pada tingkat supervise terhadap pelaksanaan audit dan terhadap pertimbangan yang digunakan oleh mereka yang membantu audit. 4) Kerahasiaan APFP dan para auditornya harus menjaga kerahasiaan hal-hal yang berkaitan dengan audit maupun informasi yang dihasilkan dari audit tersebut. Kecuali dalam ha-hal yang berkaitan dengan pemerintah dan pihak yang berwenang, menggunakan informasi yang diperoleh dari suatu
penugasan
audit untuk hal-hal di luar lingkup
pembentukan pendapat, penyusunan temuan dan rekomendasi audit. b. Standar Koordinasi dan Kendali Mutu 1) Program Kerja Pengawasan Program kerja pengawasan (PKP) merupakan alat bantu bagi APFP untuk mencapai hasil pengawasan yang efektif. PKP ini merupakan masukan yang sangat berguna bagi penyusunan rencana induk pengawasan dan rencana pengawasan kerja tahunan. 2) Koordinasi Pengawasan Agar tujuan audit bisa dicapai secara maksimal, harus dilakukan koordinasi secara terus menerus antara APFP baik dalam bentuk rapat koordinasi pengawasan maupun bentuk koordinasi lainya. Koordinasi antara APFP terutama dalam hal ini perencanaan, pelaksanaan,
pelaporan,
pembahasan
tindak
lanjut
dan
21
pembentukan tim audit. Koordinasi pengawasan dilakukan dengan maksud mendorong sinergi pelaksanaan tugas APFP. 3) Kendali Mutu Sistem kendali mutu yang memadai meliputi struktur organisasi dan seperangkat kebijakan serta prosedur yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa pekerjaan audit APFP telah mengikuti standar yang ditentukan. APFP harus memantau sistem kendali mutu audit yang ada secara terusmenerus pemantauan sistem kendali mutu secara intern dilakukan oleh suatu bagian yang tidak terlibat dalam tugas udit. Untuk lebih mengefektfkan sistem kendali mutu juga dilakukan secara berkala oleh pihak ekstern. c. Standar Pelaksanaan 1) Perencanaan dan Supervisi Perencanaan dan supervise adalah penting untuk mencapai tujuan audit dan menjaga mutu pekerjaan audit. Rencana audit harus dibuat untuk setiap penugasan berdasarkan pengetahuan mengenai kegiatan dan seluk-beluk usaha auditan, bila perlu rencana tersebut harus diperbaiki selama proses audit. Supervise berupa bimbingan dan pengawasan terhadap para asisten, diperlukan untuk mencapai tujuan audit dan menjaga mutu audit. Supervisi harus dilakukan dalam semua penugasan tanpa memandang tingkat pengalaman auditor yang bersangkutan.
22
2) Pengendalian Intern Standar
ini mewajibkan
untuk mempelajari
dmenilai
struktur
pengendalian auditan. Dalam audit keuangan, tujuan penilaian struktur pengendalian intern adalah untuk menetukan luas dan lingkup pengujian yang perlu dilakukan. Sedangkan dalam audit operasional tujuan penilaian struktur pengendalian intern adalah untuk menentukan keekonomisan, efisiensi dan efektivitas operasi auditan. Auditor perlu melakukan pengujian terhadap penerapan dan perancangan struktur pengendalian intern untuk memastikan bahwa rancanagan tersebut telah diterapkan sebagimana mestinya. 3) Bukti Audit Bukti audit disebutkan relevan jika bukti tersebut secara logis mendukung atau menguatkan pendapat atau argument yang berhubungan dengan tujuan dan simpulan audit. Bukti audit dikatakan kompeten jika bukti tersebut sah dan dapat diandalkan untuk menjamin kesesuaian dengan faktanya. Bukti yang sah ialah bukti yang memenuhi persyaratan hokum dan undang-undang bukti yang dapat diandalkan berkaitan dengan sumber dan cara perolehan bukti itu sendiri. Bukti audit yang cukup berkaitan dengan jumlah bukti yang dapat dijadikan sebagian dasar untuk pemeriksaan simpulan audit untuk menetukan kecukupan bukti audit, auditor harus menerapkan pertimbangan keahlian secara sehat dan objektif. 4) Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-undangan
23
Dalam audit terhadap entitas pemerintah, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan mendapat perhatian yang sangat penting dengan alasan a) Para pengambil keputusan di sector pemerintah perlu mengetahui bahwa: i. Peraturan perundang-undangan sudah diikuti. ii. Penerapan peraturan perundang-undangan tersebut telah membuahkan hasil yang diinginkan. iii. Terdapat alasan yang jelas untuk pengusulan revisi peraturan yang sedang berlaku. b) Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan merupakan salah satu bentuk utama dari akuntabilitas pemerintah. 5) Kertas Kerja Audit Hal-hal penting berupa metodologi audit yang dipilih, prosedur audit yang ditempuh, bukti audit yang dikumpulkan, kesimpulan audit yang diperoleh selama audit harus di dokumentasikan ke dalam kertas kerja audit (KKA). Sedangkan pedoman pemeliharaan KKA harus meliputi : i. Status pemilikan KKA ii. Sistem kearsipan KKA yang berisi penentuan lokasi penyimpanan KKA dan lama penyimpanan KKA iii. Aturan tingkat kerahasiaan d. Standar Pelaporan
24
1) Kesesuaian dengan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum Bahwa pengertian prinsip akuntansi yang berlaku umum adalah meliputi baik prinsip dan praktik akuntansi maupun metode penerapannya. Standar ini mengharuskan auditor menyatakan pendapat apakah laporan keuangan telah disajikan sesui dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, jika laporan keuangan disusun dengan basis akuntansi komprehensif auditor harus mengungkapkan dalam laporan
audit dengan
keuangan
telah
pernyataan
disajikan
pendapat
sesuai
dengan
bahwa basis
laporan akuntansi
komprehensif tersebut. Jika terdapat pembatasan terhadap lingkup audit
yang
pendapat
tidak
memungkinkan
mengenai
kesesuaian
auditor tersebut,
untuk maka
memberikan diperlukan
pengecualian yang semestinya dalam laporan audit. 2) Konsisten Tujuan standar ini adalah memberikan jaminan adanya daya banding, jika daya banding laporan keuangan diantara dua priode secara material berbeda karena perubahan prinsip, auditor harus mengungkapkan perubahan tersebut dalam laporannya. Daya banding akan diperoleh jika penyajiaanyasuatu laporan keuangan criteria
yang
sama.
Standar
ini
mengharuskan
auditor
mengungkapkan setiap perubahan penerapan akuntansi yang berlaku umum, baik perubahan yang mempengaruhi konsistensi maupun perubahan yang tidak mempengaruhi konsintensi.
25
3) Pengungkapan yang Memadai Standar ini mengharuskan auditor mempertimbangkan kecukupan pengungkapan dalam laporan keuangan. Pengungkapan informasi memadai
atas
hal-hal
material
mencangkup
pengungkapan
mengenai bentuk, susunan dan isi laporan keuangan, serta catatan atas laporan keuangan. Bila terdapat pengungkapan yang tidak memadai
dalam
mempertimbangkan
laporan
keuangan,
pengaruhnya
auditor
terhadap
pendapat
harus yang
diperoleh tanpa ikin dari auditan, sepanjang tidak mengungkapan informasi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. 4) Pernyataan Pendapat Standar ini mengharuskan auditor memberikan pendapat atas laporan
keuangan
secara
keseluruhan.
Jika
auditor
tidak
memberikan pendapat secara keseluruhan, maka alasan yang tepat dapat dinyatakan. Tujuan standar ini adalah mengungkapkan tingkat tanggungjawab auditor bila namanya dikaitkan dengan laporan keuangan. Jika nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan audit harus memuat penjelasan mengenai sifat pekerjaan dan tingkat tanggung jawab yang dipikulmya. Menurut Standar Profesional Akuntansi Publik yang dikutif oleh Jedwan Jaafar dan Sumiati (2006:56) ada lima jenis pendapat akuntan yaitu : a) Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
26
b) Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit standar (unqualified opinion with explanatory language) c) Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion) d) Pendapat tidak wajar (adverse opinion) e) Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion) 5) Laporan Audit Operasional Standar
ini
mengatur
bahwa
temuan
dan
simpulan
yang
disampaikan kepada auditan harus dikemukakan secara objektif dan disertai informasi yang jelas mengenai pokok masalah yang terkait,
sehingga
auditan
dapat
memahami
temuan
dan
rekomendasi tersebut secara utuh. Laporan audit harus berisi rekomendasi yang kontruktif. Jika rekomendasi tidak dapat diberikan, alasan yang memadai harus dimuat
dalam
laporan
auditan
harus
lebih
memperhatikan
tercapainya perbaikan atas kelemahan auditan dari pada hanya sekedar terlaksananya rekomendasi audit tertentu. 6) Kesusuaian dengan Standar Audit APFP Laporan
ini
harus
memuat
pernyataan
bahwa
audit
telah
dilaksanakan sesuai dengan standar audit APFP. Karena standar audit mengacu kepada SPAP, maka untuk audit keuangan pernyataan kesesuaian dengan standar audit APFP mengandung arti kesesuaian dengan SPAP.
27
7) Tertulis dan Segera Lapoaran audit dibuat secara tertulis, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan salah tafsir atas temuan dan simpulan auditor. Laporan tertulis juga dapat dijadikan bahan untuk perencanaan
berikutnya,
rekomendasi
dapat
lebih
disamping
itu
tindak
memiliki
dasar
dan
lanjut
atas
memudahkan
pembuktian jika terjadi tuntutan dari pihak yang dirugikan. Keharusan membuat laporan secara tertulis tidak berarti membatasi atau mencegah pembahasan lisan dengan auditan, bentuk dan isi laporan harus disususn sedemikian rupa, sehingga memenuhi tujuan audit, jelas, mudah dimengerti, lengkap dan objektif. 8) Disribusi Laporan Standar ini mengharuskan auditor mendistribusikan laporan audit kepada pihak-pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, auditor harus memastikan bahwa laporan tidak jatuh ketangan pihak yang tidak berwenang. e. Standar Tindak Lanjut 1) Komunikasi dengan Auditan Komunikasi mengenai tanggung jawab penyelesaian tindak lanjut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa auditan bertanggung jawabuntuk menindak lanjuti temuan dan rekomendasi audit. kesalahan atau kekeliruan yang tidak segera dibenahi atau diperbaiki dapat memperburuk keadaan yang pada akhirnya dapat
28
menimbulkan kerugian yang lebih besar. sebelum audit berakhir, auditor memperoleh pernyataan atau penegasan tertulus dari auditan bahwa hasil audit akan ditindak lanjuti. 2) Pemantauan Tindak Lanjut APFP harus memelihara data temuan audit untuk keperluan pemantauan tindak lanjut dan pemutahkiran data temuan sesuai dengan informasi tentang tindak lanjut yang telah dilaksanakan oleh auditan. Pemantauan dan penilaian tindak lanjut bertujuan untuk memastikan bahwa tindakan yang tepat telah dilaksanakan oleh auditan sesuai dengan rekomendasi. Manfaat audit tidak hanya terletak pada banyaknya temuan yang dilaporkan, namun juga terletak pada efektivitas tindak lanjut temuan tersebut. temuan yang tidak
ditindak
pengendalian
lanjuti
dapat
merupakan
indikasi
lemahnnya
auditan
dalam
mengelola sumber daya
yang
diserahkan kepadanya. 3) Status Temuan APFP harus mengidentifikasi status temuan audit guna menunjang penyusunan laporan status temuan, hal tersebut dilakukan dalam upaya penuntasan tindak lanjut temuan. Laporan status temuan disampaikan oleh APFP kepada pihak yang berkepentingan sesuai ketentuan yang berlaku. Laporan tersebut memuat antara lain : temuan dan rekomendasi, sebab-sebab belim ditindak lanjutinya
29
temuan
dan
komentar
dan
rencana
pihak
auditan
untuk
menuntaskan temuan. 4) Penyelesaian Hukum Temuan yang berindikasi adanya tindakan melawan hukum merupakan
temuan
kesengajaan
yang
yang
mengungkapkan
merugikan
Negara,
kesalahan
atau
tindakan
yang
atau
menyimpang dari ketentuan yang berlaku yang dapat mengandung unsur tuntutan pidana atau pidata. Tindak lanjut temuan hasil audit yang berindikasi tindakan melawan hukum perlu ditangani oleh instansi terkait dengan cepat dan lugas, sehingga penyelesainnya tidak berlarut-larut. APFP berkewajiban untuk melaporkan temuan tersebut melalui jalur yang telah ditetapkan dan wajib membantu aparat hukum dalam menyelesaikan kasus tersebut. Auditor harus melakukan kerja sama dengan aparat hukum terkait dan memiliki sebab-sebab tidak atau belum adanya proses hukum. Standar audit APFP menjadi acuan dalam menetapkan batas-batas tanggung jawab pelaksanaan tugas audit yang dilakukan oleh APFP dan auditornya sesuai dengan jenjang dan ruang lingkup tugas auditny. Standar audit APFP bertujuan untuk menjamin
mutu
koordinasi,
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pelaporan audit. Standar audit bertujuan untuk mendorong aktivitas tindak lanjut temuan hasil audit serta konsistensinya penyajian laporan keuangan hasil audit yang bermanfaat bagi pemakainya.
30
2.1.4 Pelaksanaan Pengawasan Fungsional Pemerintah Daerah Pelaksanaan
pengawasan
fungsional
diarahkan
terhadap
pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan. Dengan tujuan agar pelaksanaan tugas umum dan pembangunan itu berlangsung sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2008 Pengawasan fungsional pemerintah dilakukan melalui proses kegiatan sebagai berikut : 1. Audit Dalam konteks pengawasan fungsional yang di maksud dengan audit adalah proses identifikasi masalah, analisis , dan evaluasi bukti yang di lakukan secara idependen, obyetif dan operasional berdasarkan standar audit, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektivitas, efisiensi, dan keandalan informasi pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah. 2. Review Review adalah penalaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan,
standar,
recana,
atau
norma
yang
telah
ditetapakan. 3. Evaluasi Evaluasi adalah rangakaian kegiatan membandingkan hasil atau prestasi suatu kegiatan dengan standar, rencana, atau norma yang
31
telah di tetapkan, dan menetukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan. 4. Pemantauan Pemantauan adalah proses penilaian kemajuan suatu program atau kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan. 5. Kegiatan pengawasan Lainnya Kegiatan pengawasan lainnya antara lain berupa sosialisasi mengenai pengawasan, pendidikan dan pelatiahan pengawasan, pembimbingan dan konsultasi,pengelolaan hasil pengawasan, dan pemaparan hasil pengawasan. 2.1.5 Akuntabilitas Pegelolaan Keuangan Daerah Akuntabilitas pada sektor
pemerintah merupakan kewajiban
perorangan atau entitas (unit kerja) yang diberi amanat, untuk mengelola sumber daya Negara guna menuntaskan pertanggungjawaban keuangan, pengelolaan dan program yang kemudian menyampaikannya dalam bentuk laporan kepada pihak-pihak yang berkompeten (pusdiklatwas BPKP, 2007). Sementara Theresia (2007) mengemukakan bahwa akuntabilitas publik merupakan kewajiban-kewajiban dari individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelolah sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawaban pegawai pemerintah kepada publik
yang menjadi konsumen layanannya. Dalam struktur pemerintah, akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban untuk memberikan
32
pertanggungjawaban serta menerangkan kinerja dan tindakan seseorang, badan hukum atau pimpnan organisasi kepada pihak yang lain yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban dan keterangan. Dalam penelitian Taylor (2005), The Oxford English Dictionary mendefinisikan akuntabilitas sebagai kewajiban untuk memberikan perhitungan atau penjelasan atas tidakan seseorang. Akuntabilitas didefinisikan sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilakukan secara periodik (Halim, 2007: 20). Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah ini merupakan perwujudan kewajiban instansi pemerintah
untuk
mempertanggungjawabkan
keberhasilan
atau
kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan. Akuntabilitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya (Halim, 2007). Dengan demikian akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah yang tugas utamanya adalah melayani rakyat harus bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat.
33
2.1.6 Konsep Akuntabilitas Keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem sudah cukup lama, karena sejarah akuntabilitas sudah dimulai sejak zaman Mesopotania pada tahun 4000 SM, yang pada saat itu sudah dikenal dengan adanya suatu
hukum
yang
mewajibkan
seorang
(raja)
untuk
mempertanggungjawabkan segala tindakan-tindakannya kepada pihak yang memberi wewenang. Hale (2008) menyatakan bahwa akuntabilitas itu seperti seni, lebih mudah diakui dari pada didefinisikan. Dia melihat akuntabilitas sebagai sintesis dari dua konsep: answerability hak untuk menerima informasi dan melangsungkan kewajiban dan penegakan hukum “gagasan bahwa aktor akuntansi tidak hanya mempertanyakan tetapi juga menghukum perilaku yang tidak benar. Dengan kata lain, A bertanggung jawab kepada B jika B dapat (1) mengetahui perilaku A, dan (2) menggunakan tekanan pada A untuk mempengaruhi perilaku itu. Dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tunduk dan kegiatan terutama dibidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi atau atasannya (Halim, 2007). Menurut Ghartey dalam Halim (2007), akuntabilitas ditujukan
untuk
mencari
jawaban
terhadapa
pernyataan
yang
berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana, pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa,
34
pertanggungjawaban
harus
diserahkan,
kepada
siapa
pertangunggjawaban tersebut diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap
berbagai
bagian
pertanggungjawaban
kegiatan
berjalan
seiring
dalam
masyarakat,
dengan
kewenangan
apakah yang
memadai. Haque (2000) membedakan akuntabilitas ke dalam tiga dimensi: (1) standar
akuntabilitas
(pertanggungjawaban
atas
apa),
(2)
agen
akuntabilitas (bertanggung jawab kepada siapa), dan (3) sarana akuntabilitas (bagaimana akuntabilitas dapat terjamin). Akuntabilitas dapat dibedakan dalam beberapa jenis, menurut Sirajudin dan Aslan dalam Halim (2007), akuntabilitas sebetulnya merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi akuntabilitas intern seseorang dan ekstern seseorang. Dari
sisi
intern
seseorang,
akuntabilitas
merupakan
pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhannya, akuntabilitas seperti ini yang meliputi pertanggungjawaban mengenai segala sesuatu yang dijalankannya yang hanya diketahui dan dipahami oleh dia sendiri. Akuntabilitas ekstern seseorang, adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal maupun lingkungan masyarakat. Akuntabilitas ekstern meliputi: a. Internal accountability to the public servant’s own organization, dalam akuntabilitas setiap tingkatan pada hirarki organisasi, petugas
35
pelayanan publik diwajibkan untuk akuntabel kepada atasannya dan kepada yang mengontrol pekerjaannya. b. Eksternal accountability to the individuals and organization outside public servant’s own organization, akuntabilitas ini mengandung pengertian akan kemampuan untuk menjawab setiap pertanyaan yang berhubungan dengan pencapaian kinerja tugas dan wewenang. Beberapa
bentuk
dimensi
pertanggungjawaban
publik
oleh
pemerintah daerah disampaikan oleh Ellwood (1993) dalam Halim (2007). Menurutnya terdapat empat bentuk akuntabilitas publik, yaitu: a. Akuntabilitas Hukum dan Peraturan (Accountability for Probity and Legalty) Akuntabilitas hukum dan peraturan terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik. Untuk menjamin dilaksanakannya akuntabilitas hukum dan peraturan oleh pemerintah daerah, maka perlu dilakukan audit kepatuhan (compliance audit). b. Akuntabilitas Proses (Process Accountability) Akuntabilitas proses dalam pemerintah daerah dapat diwujudkan melalui pemeberian pelayanan publik yang cepat, responsif, dan murah dari sudut biaya. Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan prosedur
administrasi.
Pengawasan
dan
pemeriksaan
terhadap
36
pelaksanaan akuntabilitas proses dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa ada tidaknya mark up dan pungutan-pungutan lain diluar yang ditetapkan, serta sumber-sumber infisiensi dan pemborosan yang menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan dalam pelayanan (Mahsun, 2011). a. Akuntabilitas Program (Program Accountability) Akuntabillitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak dan apakah pemerintah daerah
telah
mempertimbangkan
alternative
program
yang
memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. b. Akuntabilitas Kebijakan (Policy Accountability) Akuntabilitas
kebijakan
terkait
dengan
pertanggungjawaban
pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah daerah sebagai eksekutif kepada DPRD sebagai legislative dan masyarakat luas. 7 Ciri-ciri Akuntabilitas yang Efektif Serta Implementasinya Abdul Halim (2007: 87) cirri-ciri akuntabilitas yang efektif antara lain: a. Akuntabilitas harus utuh dan menyeluruh (dalam arti tanggung jawab terhadap
tugas
pokok
dan
fungsi
instansi,
serta
program
pembangunan yang dipercayakan kepadanya, termasuk pelayanan BUMN/D yang berada dibawah wewenangnya).
37
b. Mencangkup aspek yang menyeluruh mengenai aspek integritas keuangan, ekonomis, efisien dan prosedur. c. Akuntabilitas merupakan bagian dari sistem manajemen untuk menilai kinerja maupun unit organisasi. d. Akuntabilitas harus dibangun berdasarkan system informasi yang handal, untuk menjamin
keabsahan, akurasi, objektivitas, dan
ketepatan waktu penyampaian informasi. e. Adanya penilaian yang efektif dan independen terhadap akuntabilitas suatu instansi. f. Adanya tindak lanjut terhadap laporan penilaian atas akuntabilitas. Adapun langkah penting untuk mengimplementasikan akuntabilitas agar menjadi system yang efektif adalah sebagai berikut: a. Peryataan yang jelas mengenai tujuan dan sasaran dari kebijakan dan program, system akuntabilitas menekankan pada pengukuran hasil yang akan membantu memikirkan hal yang seharusnya diinginkan oleh pemimpin
politik
dan
membuat
kebijakan
pada
saat
mereka
memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. b. Pola pengukuran tujuan, setelah tujuan dibuat dan hasil dapat diidentifikasikan, perlu ditetapkan suatu indikator kemajuan yang mengarah pada pencapaian tujuan dan hasil. c. Pengakomodasian sistem insentif, pengumpulan data mengenai hasil, sistem akuntabilitas akan menyediakan sistem insentif, bagi para
38
petugas pelayanan, manajer program dan mungkin juga masyarakat yang dilayani. d. Pelaporan dan pengumpulan data, sistem akuntabilitas kinerja akan dapat menghasilkan data yang cukup banyak, informasi yang dihasilkan tidak akan berguna kecuali dirancang dengan hati-hati, dalam arti informasi yang dihasilkan benar-benar berguna bagi para pemimpin, pembuat keputusan, manager-manager program, dan masyarakat. e. Pengembangan dikoordinasikan
kebijakan untuk
dan
mendorong
manajemen akuntabilitas
program pada
yang
program
pelayanan public membutuhkan banyak aktivitas dalam perencanaan dan koordinasi yang efektif agar akuntabilitas tersebut dapat dijaga.
2.1.8 Konsep Pengelolaan Keuangan Daerah Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga segala satuan, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain seusai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku dalam (Halim, 2007). Menurut Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk
39
kekayaan yang berhubungan denngan hak dan kewajiban daerah tersebut. Halim (2007: 330) mengatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah
adalah
keseluruhan
kegiatan
yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Permendagri No. 21 Tahun 2011 mengemukakan pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Berdasarkan UU 33 tahun 2004 pasal 66 ayat 1, keuangan daerah harus dikelolah secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena
itu,
pengelolaan
keuangan
daerah
dilaksanakan
dengan
pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, dengan menggunakan konsep nilai uang (value for money) serta prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP 58/2005, pasal 39). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang artinya
memaksimumkan
penggunaan
kebutuhan masyarakat daerah.
anggaran
untuk
memenuhi
40
Ruang lingkup pengelolaan keuangan tidak hanya terbatas pada kewenangan yang dimiliki pemegang kekuasaan otorisasi, kordinasi dan perbendaharaan, tetapi mulai dari otoritas penetapan kebijakan yang berkaitan dengan keuangan itu. Penetapan kebijakan pengelolaan umum keuangan daerah berhubungan dengan perencanaan umum (penyusunan arah kebijakan umum anggaran, fungsi penyusunan, fungsi pemungutan pendapatan, fungsi perbendaharaan umum daerah, fungsi penggunaan anggaran serta fungsi pengawasan dan pertanggungjawaban).
41
Kajian Penelitian Yang Relevan Tabel 2.2 Penelitian Relevan
No 1
Nama Andhika syaifullah (2007)
2
Nirmala Hanum (2008)
3
Dedi Kusmayadi (2009)
4
Bagita Widiyanto (2010)
Judul Pengaruh Pengawasan Fungsional Terhadap Pelaksanaan Efektivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Cimahi
Fokus Penelitan Memfokuskan pada Inspektorat Pemerintah Kota Cimahi sebagai aparat Pengawasan Fungsional Intern dan Bagian Keuangan Pemerintah Kota Cimahi sebagai pengelola keuangan daerah
Hasil penelitian Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan Efektivitas APBD. Hal ini ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi (rs) sebesar 0,715. Sehingga dapat disimpulkan bahwa besarnya kontribusi pengawasan fungsional Intern terhadap pelaksanaan APBD, sebesar 51,10%.
Peranan Pengawasan Fungsional Terhadap Sistem Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
Memfokuskan pada Pemerinta Daerah Kabupaten Cilacap
Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional memiliki peran yang sangat signifikan terhadap sistem pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pengaruh Pengawasan fungsional Dan Penatausahaan Keuangan Daerah Terhadap Good Government Governance
Memfokuskan pada Pemerintah Kota Tasikmalaya
Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa Pengawasan fungsional Dan Penatausahaan Keuangan Daerah Baik Secara Parsial Maupun Secara Simultan Berpengaruh Terhadap Good Government Governance Pada Pemerintah Kota Tasikmalaya.
Pengaruh Pengawasan fungsional Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan
Menfokuskan Pada Aparat Pengawas Intern Pemerintah Di Inspektorat Kota Bandung
Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional memiliki pengaruh yang positif Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah .
42
5
Sinta Suhanda Wati (2010)
6
Taylor, W. Micheal, Eva Hiipkes and Marc Quintyn
Daerah Pemerintah Kota Bandung Analisis Pengawasan Fungsional Pengaruhnya Terhadap Efektifitas Pengelolaan Keuangan Daerah
Menfokuskan pada Inspektorat Pemerintah Kota Bandung
Hasil Penelitiannya Menunjukan bahwa pengawasan fungsional berpengaruh signifikan terhadap efektivitas pengelolaan keuangan daerah pada pemerintah Kota Bandung. Pengawasan fungsional memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 57,7% terhadap efektivitas pengelolaan keuangan daerah pada pemerintah Kota Bandung.
The Accountability Of Financial Sector Supervisors: Principles and Practice
Serve for financial sector supervisors (hereafter called regulatory and supervisory agencies (RSAs))
An important conclusion from this analysis is that there might be a need to revisit the accountability arrangements of central banks that perform monetary policy and supervisory functions. Very often, accountability arrangements focus on the monetary policy function, and it is implicitly assumed that similar arrangements would satisfy the supervisory objectives. This paper argues that more elaborate arrangements are warranted for the supervisory functions.
Enhancing Public Accountability in the Netherlands
This is focuses on non-departmental public bodies (NDPBs) in the Netherlands that are funded by public money and whose task is defined by law
It can be concluded that the amount of attention being paid to internal regulation and accountability has increased considerably in the public sector. On the one hand, more is being expected of supervisory boards. On the other, however, their positions relative to their shareholders or ministers and other stakeholders
(2005)
7
Vermeer, Cees, Freek Hoek and Cor van Montfort (2005)
43
have yet to be fully shaped. In the public sector, the position of the supervisory board varies from area to area. Of particular interest to the public sector are those sections addressing executive accountability, the position of the supervisory board, and the realisation of a system of checks and balances between shareholders and directors. Sumber: Data diolah
2.4 Hipotesis Sugiyono (2010: 64) mengatakan bahwa: hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Sehubungan dengan penelitian ini, maka hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini, yakni diduga terdapat pengaruruh pengawasan fungsional terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah di Kota Gorontalo.
44
2.4 Kerangka Berpikir Rumusan Masalah Seberapa besar pengaruh pengawasan fungsional terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah di Pemerintahan Daerah Kota Gorontalo
Dasar Teori Pengawasan fungsional adalah segala kegiatan dan bentuk tindakan untuk menjamin agar pelaksanaan suatu kegiatan berjalan sesuai dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan (Abdul Halim, 2002:351). Akuntabilitas merupakan kewajiban perorangan atau entitas (unit kerja) yang diberi amanat, untuk mengelola sumber daya negara guna menuntaskan pertanggungjawaban keuangan, pengelolaan dan program yang kemudian menyampaikannya dalam bentuk laporan kepada pihak yang berkompeten (Pusdiklatwas BPKP, 2007)
Penelitian Terdahulu 1. Andhika syaifullah, (2007). Pengaruh Pengawasan Fungsional Intern Terhadap Pelaksanaan Efektivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Cimahi 2. Nirmala Hanum, (2008). Peranan Pengawasan Fungsional Terhadap Sistem Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah 3. Dedi Kusmayadi. (2009). Pengaruh Pengawasan Intern Dan Penatausahaan Keuangan Daerah Terhadap Good Government Governance 4. Bagita Widiyanto, (2010). Pengaruh Pengawasan Intern Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah Pemerintah Kota Bandung 5. Sinta Suhanda Wati. (2010). Analisis Pengawasan Fungsional Pengaruhnya Terhadap Efektifitas
45
Judul Pengaruh Pengawasan Fungsional Terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah Pemerintah Kota Gorontalo Pengawasan Tahunan
Pengawasan Khusus
Akuntabilitas