BAB II KAJIAN PUSTAKA 1. BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Low Back Pain (LBP) 1.1.1 Definisi Low back pain (LBP) adalah nyeri, ketegangan otot, atau kekakuan yang terlokalisir dibawah costal margin dan diatas lipatan inferior gluteal, dengan atau tanpa sciatica (Chou, 2010). LBP merupakan salah satu gangguan muskuloskeletal yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik. LBP dapat disebabkan oleh berbagai penyakit muskuloskeletal, gangguan psikologis dan mobilisasi yang salah (Pengel et al., 2002). 1.1.2 Epidemiologi Lebih dari 70% penduduk Negara berkembang akan mengalami LBP. Setiap tahun diperkirakan antara 15-45% orang dewasa mengalami LBP (Chou, 2010). Penelitian terbaru mengenai prevalensi LBP pada populasi dewasa menunjukkan point prevalence sebesar 12–33% dan prevalensi selama satu tahun adalah 22–65% (Walker, 2000). Setiap tahun sekitar 3-4% dari populasi tidak dapat beraktivitas untuk sementara, dan satu persen dari populasi usia produktif tidak dapat beraktivitas secara permanen disebabkan oleh LBP (Shah et al., 2010). Jumlah individu penderita LBP meningkat seiring meningkatnya usia. Prevalensi LBP paling tinggi pada wanita dan pada orang berusia 40-80 tahun (Hoy et al., 2012).
1
2
Data epidemiologi mengenai LBP di Indonesia belum ada, namun diperkirakan 40% penduduk pulau Jawa Tengah berusia diatas 65 tahun pernah menderita nyeri pinggang. Prevalensi pada laki-laki 18,2% dan pada wanita 13,6%. Insiden berdasarkan kunjungan pasien ke beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 3-17% (Sadeli & Tjahyono, 2001). Suatu studi di poliklinik neurologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2002 didapatkan 15,6% pasien yang diteliti menderita LBP (Purba & Rumawas, 2006).
1.1.3 Patofisiologi Low back pain terjadi karena biomekanik vertebra lumbal akibat perubahan titik berat badan dengan kompensasi perubahan posisi tubuh dan akan menimbulkan nyeri. Ketegangan (strain) otot dan keregangan (sprain) ligamentum tulang belakang merupakan salah satu penyebab utama LBP (Levy & Wegman, 1995). Faktor risiko yang berpotensi menyebabkan LBP adalah faktor individu seperti berat badan dan usia, faktor biomekanik seperti mengangkat beban berat dan postur tubuh, dan faktor psikososial seperti ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang dilakukan (Latza et al., 2000). Kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang elastis yang tersusun atas banyak unit rigid (vertebrae) dan unit fleksibel (discus intervertebralis) yang diikat satu sama lain oleh komplek sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas dan tetap dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap sumsum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan
3
menyerap goncangan pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan torak sangat penting pada aktivitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur, dan peregangan berlebihan dapat berakibat nyeri punggung (Porth, 2011). Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua. Pada orang muda diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan tak teratur. Degenerasi diskus merupakan penyebab nyeri punggung yang sering terjadi. Diskus di daerah L4-L5 dan L5-S1 menderita stres mekanis paling berat dan perubahan degenerasi terberat. Hernia nucleus pulposus (HNP) atau kerusakan sendi faset dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut (Porth, 2011). Penyebab LBP dapat dibagi menjadi penyebab diskogenik (sindroma spinal radikuler) dan non-diskogenik. Sindroma radikuler biasanya disebabkan oleh suatu hernia nucleus pulposus yang menekan saraf-saraf disekitar radiks. Diskus hernia ini bisa dalam bentuk suatu protrusio atau prolaps dari nukleus pulposus dan keduanya dapat menyebabkan kompresi pada radiks. Lokasinya paling sering di daerah lumbal atau servikal dan jarang sekali pada daerah torakal. Sampai dekade ketiga, gel dari nucleus pulposus hanya mengandung 90% air, dan akan menyusut terus sampai dekade ke empat menjadi kira-kira 65%. Nutrisi dari anulus fibrosus bagian dalam tergantung dari difusi air dan molekul-molekul kecil yang melintasi
4
tepian vertebra. Hanya bagian luar dari anulus yang menerima suplai darah dari ruang epidural. Pada trauma yang berulang menyebabkan robekan serat-serat anulus baik secara melingkar maupun radial. Beberapa robekan anular dapat menyebabkan pemisahan lempengan, yang menyebabkan berkurangnya nutrisi dan hidrasi nukleus. Perpaduan robekan secara melingkar dan radial menyebabkan massa nukleus berpindah keluar dari anulus lingkaran ke ruang epidural dan menyebabkan iritasi ataupun kompresi akar saraf (Wheeler, 1995). Penyebab LBP non-diskogenik adalah iritasi pada serabut sensorik saraf perifer, yang membentuk nervus iskiadikus dan bisa disebabkan oleh neoplasma, infeksi, proses toksik atau imunologis, yang mengiritasi nervus iskiadikus dalam perjalanannya dari pleksus lumbosakralis, daerah pelvik, sendi sakroiliaka, sendi pelvis sampai sepanjang jalannya nervus iskiadikus (neuritis n. iskiadikus) (Wheeler, 1995). OA lumbal juga dapat menyebabkan terjadinya nyeri nondiskogenik atau nyeri somatik, terutama disebabkan oleh rangsangan nyeri yang disebabkan oleh kerusakan pada sendi facet dan diskus intervertebralis.
1.2 Osteoarthritis Lumbal 1.2.1 Anatomi Lumbal Spine Pemahaman mengenai OA lumbal hanya dapat didalami dengan mengetahui lebih dalam mengenai anatomi dan biomekanik daerah lumbal yang unik. Pengetahuan ini dapat membantu pemahaman kita mengenai temuan pada radiografi dan mengetahui bagaimana predileksi dari OA pada daerah lumbal.
5
Tulang belakang lumbal dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu anterior (statik) dan posterior (dinamik) dari setiap fungsional unit tulang belakang. Setiap fungsional unit terdiri dari 2 corpus vertebra, 1 diskus intervertebralis di anterior dan sendi facet di bagian posterior. Kelainan pada OA lumbal terjadi pada ketiga komponen tersebut yang disebut sebagai suatu “three joint complex” yaitu adanya proses degenerasi pada diskus intervertebralis, munculnya traction spur atau osteofit pada corpus intervertebralis dan proses degenerasi pada sendi facet (Gambar 1.1). (Borenstein, 2004)
Gambar 1.1 Anatomi tulang belakang lumbal Pada setiap level tulang belakang terdapat strukur fungsional yang terdiri dari dua corpus vertebra, satu diskus intervertebralis, dan sepasang sendi facet di bagian posterior, ketiganya membentuk yang disebut sebagai “three joint complex” atau “motion segment”.
6
Gambar 1.2 Gambar sendi facet lumbal. IAP, inferior articular process; SAP, superior articular process; cart, articular cartilage; men, meniscus (Kalichman & Hunter, 2007)
Sendi facet atau sendi zygapophyseal merupakan suatu sendi synovial sejati yang berpasang yang disusun dari artikulasi posterolateral antara dua level tulang belakang (Gambar 1.2). Setiap sendi terdiri dari prosesus artikularis superior yang lebih besar, pada bagian posterior, menghadap ke medial yang berbentuk konkaf dari level tulang belakang yang inferior dari sendi, dan prosesus artikularis inferior yang secara resiprokal menghadap anterior dan inferior dari tulang belakang yang superior (Gambar 1.3). Morfologi dari setiap sendi kira-kira berbentuk seperti antara huruf “C” dan “J”.
7
Gambar 1.3 Gambar CT-Scan sendi facet. Sendi facet terdiri dari prosesus artikuler superior inferior vertebra yang berukuran lebih besar, terletak di posterior, dan menghadap ke arah medial, dan berhubungan dengan prosesus artikular inferior dari vertebra superior yang terletak di anterior dan mengadap ke lateral. (Kalichman & Hunter, 2007)
Sendi facet lumbar mengandung tulang rawan hyaline, membran sinovial, kapsul fibrosa, dan ruang sendi dengan kapasitas potensial antara 1 hingga 2 mL. Adanya meniskus pada sendi facet lumbar telah dipaparkan dalam berbagai publikasi. Dua jenis badan inklusi dalam sendi facet lumbar telah diketahui: (1) reklesi sinovial yang berisi lemak pada superior dan inferior pole dari sendi; (2) invaginasi fibrosa rudimenter yang berasal dari bagian dorsal dan ventral dari kapsul sendi. Kedua meniskus tersebut berperan untuk memberikan kompensasi terhadap inkongruensi permukaan sendi dan untuk mengisi ruang kosong di dalam sendi. Panjabi
dan
kawan-kawan
melaporkan
adanya
kecenderungan
meningkatnya jumlah area yang dilapisi tulang rawan pada sendi facet pada segmen lumbal. Juga ditemukan pada bagian dalam area kapsuler didapatkan peningkatan dari L1-2 hingga L5-S1, sehingga facet yang lebih besar juga akan mempunyai kapsul yang lebih lebar. Kapsul fibrosa pada sendi facet mempunyai tebal 1 mm
8
dan menempel 2 mm dari batas artikuler. Kapsul ini berperan untuk membatasi rotasi dan melawan gaya meluncur ke belakang pada saat ekstensi. Adaptasi tulang belakang manusia terhadap posisi berdiri selama masa evolusi termasuk perkembangan kurvatura pada tulang belakang, terutama kifosis pada thorakal dan lordosis pada lumbal, sehingga memerlukan adanya perubahan pada orientasi sendi facet. Orientasi sendi facet memiliki peranan yang penting dalam memberikan stabilitas pada tulang belakang dan mengontrol gerakan tulang belakang pada saat pembebanan posisi manusia saat berdiri. Orientasi sendi facet pada plane transverse bervariasi antara level lumbar atas hingga lumbar bagian bawah. Facet pada T12-L2 memiliki orientasi lebih dekat kepada plane midsagital dari corpus vertebra (rata-rata 26-34°), sedangkan facet pada L3-L5 memiliki orientasi menjauhi plane tersebut (rata-rata 40-56°). Orientasi yang oblik dari sendi facet memiliki kontribusi pada banyak fungsi tulang belakang, seperti memberikan tahanan pada gaya shear intervertebral, gaya kompresi, dan gaya torsi intervertebral. Orientasi sagital dari sendi facet memberikan rentang yang lebih banyak pada fleksi dan membatasi gerakan rotasi axial pada regio lumbar. Pada plane sagital, semua sendi facet lumbar memiliki orientasi kurang lebih 170° dari garis vertikal. Orientasi dari sendi facet lumbar independen tergantung jenis kelamin dan ras.
1.2.2 Biomekanik Lumbal Spine Pada semua level tulang belakang, terkecuali pada level C1-C2, ditemukan yang disebut dengan “three joint complex” atau motion segment yang dibentuk dari
9
tiga artikulasi yaitu antara dua corpus vertebra, satu diskus intervertebralis dan dua sendi facet di bagian posterior. Sehingga tulang belakang sendiri dapat dianggap sebagai struktur yang terdiri dari motion segment multipel yang saling berhubungan dimana gerakan total dari tulang belakang merupakan gabungan dari masingmasing motion segment tersebut.(Gellhorn et al., 2012). Dilihat dari segi fungsional, tiga artikulasi yang ada pada setiap motion segment adalah struktur yang saling terkait dengan erat, sehingga kelainan pada satu artikulasi akan menyebabkan gangguan pada dua komponen lainnya. Contohnya adalah gangguan pada diskus intervertebralis akan menyebabkan gangguan pada sendi facet, sebaliknya trauma dan instabilitas pada struktur posterior pada akhirnya akan menyebabkan gangguan pada diskus. Pada mayoritas individual patologi yang terjadi lebih banyak dimulai pada diskus intervertebralis yang akhirnya diikuti oleh kerusakan pada sendi facet.(Gellhorn et al., 2012). Dari segi biomekanik, sendi facet memegang peranan penting dalam proses transmisi beban, dimana sendi facet memberikan bantuan pada load-bearing bagian posterior, menstabilisasi segmen gerakan pada fleksi dan ekstensi, dan juga memegang peranan pada kinematika mekanisme rotasional dengan membatasi gerakan rotasi. Sendi facet didisain untuk menghambat gerakan rotasi dan forward slide, juga mencegah terjadinya dislokasi pada corpus vertebra saat mengalami pembebanan saat tulang belakang dalam posisi fleksi ke depan. Pada spinal unit yang sehat, tulang belakang lumbal meneruskan beban antar segmen intervertebral melalui corpus vertebra dan diskus intervertebralis dan dua sendi facet. Dalam keadaan normal antara 3 hingga 25% dari beban segemental diteruskan melewati
10
sendi facet, persentase ini meningkat hingga 47% pada facet yang mengalami proses degenerasi. Persentase dari beban yang diteruskan melalui elemen posterior juga sangat tergantung dari postur tulang belakang dan meningkat saat ekstensi (Kalichman & Hunter, 2007).
Gambar 1.4 Pergerakan tulang belakang lumbal. (A) Fleksi lateral, (B) Fleksi/ekstensi, (C) rotasi. (Kalichman & Hunter, 2007)
Mobilitas tulang belakang lumbal (Gambar 1.4) paling besar pada saat gerakan fleksi dan ekstensi (mobilitas kumulatif pada segmen L1-5: 57°) dan lebih terbatas pada lateral bending (L2-5: 26°) dan rotasi aksial (L1-5: 8°). Rentang yang cukup besar pada gerakan fleksi dan ekstensi menyebabkan jarak/gap fisiologis pada sendi facet saat akhir fase gerakan, dan ini dapat menyebabkan tekanan maksimum pada bagian inferior sendi facet saat ekstensi dan pada bagian atas sendi facet superior pada saat fleksi (Gambar 1.5). Pada posisi tegak terdapat gaya shear yang terus menerus yang bekerja pada sendi facet antara vertebra lumbal 5 dan sakrum oleh karena adanya lordosis lumbal. Pada posisi fleksi, gaya ini akan meningkat dan juga bekerja pada tulang belakang lumbal dia atas L5-S1. Pada
11
segmen bawah tulang belakang, gaya shearing ini akan lebih tinggi oleh karena berat badan yang lebih besar pada level di atasnya dan lebih panjangnya leverage dari pusat massa tubuh. Oleh karena itu, peningkatan area tulang rawan pada sendi facet pada segmen yang lebih inferior adalah suatu konsekuensi normal dari hukum Wolf’s. Orientasi yang lebih ke arah coronal pada sendi facet tulang belakang bagian bawah juga kemungkinan disebabkan oleh karena adaptasi dari gaya shearing yang mempengaruhi tulang belakang bagian bawah.
Gambar 1.5 Fleksi dan ekstensi tulang belakang lumbal. Superior facet menunjukkan kerusakan yang lebih banyak pada pole superior, dimana pada saat gerakan fleksi (A), facet inferior menyebabkan tekanan maksimum. Facet inferior menunjukkan kerusakan tulang rawan paling banyak pada pole inferior dan superior, dimana aposisi tulang paling sering tampak pada pole inferior, dimana kontak tulang antara pole inferior facet inferior dengan lengkung superior facet terjadi pada saat ekstensi (Kalichman & Hunter, 2007)
Rotasi aksial pada tulang belakang lumbal terjadi pada aksis longitudinal yang melewati sepertiga bagian posterior dari corpus vertebra dan diskus intervertebralis. Pada saat gerakan rotasi ini, elemen posterior dari vertebra bagian atas yang bergerak akan mengayun ke arah lateral, ke arah yang berlawanan dari gerakan rotasi tersebut. Dengan gerakan ini prosesus artikularis inferior dari vertebra ini akan mendorong prosesus artikularis yang berlawanan dari vertebra
12
dibawahnya (Gambar 1.6). Mekanisme blok dari rotasi aksial ini berfungsi untuk melindungi diskus intervertebralis dari gerakan torsi yang berlebihan.
Gambar 1.6 Rotasi tulang belakang lumbal. Rotasi dari tulang belakang lumbal. Prosesus artikularis inferior dari vertebra di atasnya (warna abu-abu) membentur prosesus artikuler superior dari vertebra bawah pada saat gerakan rotasi. (Kalichman & Hunter, 2007)
1.2.3 Nyeri yang Berasal dari Sendi Facet Setiap sendi facet diinervasi oleh cabang medial dari dorsal rami primer dari level yang sama dan level di atasnya. Contohnya pada sendi facet L4-L5 dipersarafi oleh baik cabang dari L5 dan cabang medial L3. Cabang medial L1-L4 dari dorsal rami berjalan melewati bagian superior dari prosesus tranversus yang bersebelahan, dibawah dari ligamen mamillo-accessory pada pertemuan dari prosesus artikularis superior dan root dari prosesus tranversus, dan kemudian menuju lamina. Pada lamina, saraf akan terbelah dan memberikan cabang pada sendi facet dibawahnya, sendi facet pada level tersebut, ligamen dan otot interspinosus, dan otot-otot multifidus. Dorsal ramus L5 berjalan pada celah antara prosesus artikularis S1 dan sacral ala. Cabang medial dari L5 terbagi pada ramus dorsal L5 pada aspek inferior
13
sendi facet L5-S1. Cabang komunikans dari posterior ramus S1 dapat berjalan dari tepi superior foramen S1 hingga ke margin inferior dari sendi facet L5-S1. Kapsul dari sendi facet kaya dengan inervasi dari nociceptif dan serat saraf otonom. Mekanoreseptor telah ditemukan pada kapsul sendi facet kelinci dan inervasi substansi P telah ditemukan pada tulang subkondral sendi facet yang mengalami degenerasi. Sinovium dapat mengandung nociceptor, walaupun saraf sinovial ini hanya berfungsi untuk mengatur aliran darah (Kalichman & Hunter, 2007). Sendi facet telah disebutkan dalam literatur-literatur sebagai sumber LBP dan nyeri ekstremitas bawah sejak tahun 1911. Fakta bahwa nyeri dapat bersumber dari sendi facet telah lama diterima pada literatur ortopedi maupun radiologi. Perkiraan prevalensi dari nyeri sendi facet berkisar antara 7 hingga 75% pada pasien yang mengalami LBP. Pada basis yang terkontrol, dengan blok lokal anestesi, prevalensi nyeri sendi facet lumbar adalah 15% dan 40-45% pada praktek manajemen nyeri (Manchikanti et al., 1999). Pada penelitian yang dilakukan pada praktek rematologi didapatkan angka prevalensi adalah 40%. Namun hubungan antara nyeri yang bersumber dari sendi facet dan perubahan degeneratif pada sendi masih menjadi topik yang kontroversial. Mayoritas penelitian melaporkan tidak adanya korelasi antara gejala klinis dari LBP dan imaging, termasuk radiografi, magnetic resonance imaging (MRI), axial computed tomography (CT), single photon emission (SPECT), dan bone scan radionuklida. Bahkan peranan dari kelainan sendi facet pada pasien LBP masih terus diperdebatkan. Penelitian yang dilakukan oleh Schwarzer dan kawan-kawan tidak dapat menunjukkan korelasi
14
yang signifikan antara derajat OA yang tampak pada CT-scan dan pain score yang didapatkan pada saat blok facet intraartikuler (Schwarzer et al., 1995). Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perubahan degeneratif pada sendi facet dan nyeri yang bersumber dari sendi facet. Neural foramina dibatasi oleh prosesus artikularis superior, pars interartikularis, dan bagian posterior dari corpus vertebra. Hipertrofi sendi facet atau kista sinovial dapat menyebabkan lumbal stenosis lateral ataupun sentral. Sehingga, nyeri sendi facet kadang-kadang dapat menyebabkan nyeri yang hampir sama dengan herniasi diskus. Secara klinis nyeri yang berasal dari sendi facet didefinisikan sebagai suatu “sindrom sendi facet lumbal”. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan dengan cara mengekslusikan penyebab LBP lainnya. Gejala dan tanda yang tipikal adalah nyeri lumbal “pseudoradikuler” yang dapat menjalar secara unilateral atau bilateral ke daerah pantat, panggul, selangkangan, dan paha, dan terutama berakhir di atas lutut tanpa adanya defisit neurologis (Gambar 1.7Gambar 1.7 Gambar distribusi referred pain dari sendi facet. Pasien biasanya mengeluhkan adanya peningkatan rasa nyeri pada pagi hari dan saat tidak sedang beraktivitas. Nyeri biasanya meningkat dengan adanya tekanan, latihan, ekstensi tulang belakang, gerakan rotasi, dan saat sedang berdiri atau duduk. Posisi berbaring dan fleksi dari tulang belakang akan mengurangi nyeri. (Gellhorn et al., 2012)
15
Gambar 1.7 Gambar distribusi referred pain dari sendi facet. (Gellhorn et al., 2012)
1.2.4 Imaging pada Lumbal Spine Metode diagnostik standar yang digunakan untuk mengevaluasi degenerasi sendi facet adalah dengan foto polos, CT, dan MRI (Gambar 1.8). Foto polos, bila tanpa disertai dengan gambaran oblik tidak banyak membantu dalam menegakkan degenerasi sendi facet. Gambaran oblik mempunyai sensitivitas 55% dan spesifisitas 69% dalam membedakan ada atau tidaknya gambaran penyakit pada sendi facet, untuk membedakan antara gambaran penyakit yang ringan, sedang, dan berat spesifisitas gambaran oblik mempunyai spesifitas yang lebih tinggi yaitu 94%, tetapi memiliki sensitivitas yang lebih rendah, yaitu 23%. Oleh karena sendi facet terletak dalam posisi oblik dan memiliki konfigurasi melengkung hanya bagian yang paralel dengan sinar x yang tampak. Foto polos juga memiliki keterbatasan
16
yang signifikan dalam mendeteksi OA sendi facet pada fase awal. Oleh karena itu, walaupun foto polos mudah didapatkan, murah dan relatif tidak berbahaya, pemeriksaan ini baik digunakan untuk skrining awal dari OA sendi facet (Pathria et al., 1987).
Gambar 1.8 Gambaran pencitraan sendi facet. (A) CT Scan, (B) MRI, (C) foto polos oblik. (Kalichman & Hunter, 2007)
Pemeriksaan radiografi awal pada pasien dengan keluhan nyeri yang disebabkan oleh kelainan pada sendi facet lumbal adalah foto polos yang meliputi gambaran AP, lateral, dan oblik. Konfigurasi yang melengkung dan orientasi sagital dari sendi facet lumbal mengurangi kegunaan dari proyeksi lateral dan frontal. Namun dari proyeksi lateral, pemeriksa bisa mendapatkan informasi yang berguna dari profil isthmus seperti defek dari pars interartikularis, dan juga dapat menunjukkan angulasi pada sendi facet. Proyeksi oblik 45 derajat yang dilakukan dengan mengarahkan sinar paralel terhadap sendi facet cukup untuk mendiagnosis kelainan pada sendi facet (Gambar 1.9). (Varlotta et al., 2010).
17
Gambar 1.9 Gambaran foto polos oblik tulang belakang lumbal. Sendi facet tampak tervisualisasi secara jelas pada view ini. Level L3-L4 menunjukkan gambaran sendi facet yang normal (panah tebal). L4-L5 menunjukkan gambaran sendi facet yang menyempit dan mengalami proses degenerasi (panah tipis). (Varlotta et al., 2010).
Dibandingkan dengan foto polos, CT scan meningkatkan kemampuan diagnostik dari sendi facet karena kemampuannya untuk menggambarkan sendi facet pada potongan aksial dan dengan kontras yang tinggi antara struktur tulang dan jaringan lunak disekitarnya. Kelainan-kelainan yang dapat dievaluasi dari CT antara lain adalah pembentukan osteofit, hipertrofi prosesus artikularis, penipisan tulang rawan, fenomena sendi vakum, kista sinovial dan subkondral, dan kalsifikasi dari kapsul sendi. Oleh karena CT menggambarkan detail dari tulang lebih jelas dan relatif murah, CT merupakan metode pilihan untuk imaging dari OA sendi facet. Beberapa penelitian telah menggambarkan bahwa MRI kurang akurat untuk mengevaluasi OA sendi facet dibandingkan dengan CT. Fujiwara dan kawankawan mendapatkan bahwa MRI cenderung lebih merendahkan derajat severitas
18
OA dibandingkan dengan CT-scan (Fujiwara et al., 1999). MRI kurang sensitif dalam menggambarkan batas korteks dari tulang, dan penipisan dari tulang rawan tidak dapat diukur secara akurat dengan MRI oleh karena efek volume parsial dan artifak pergeseran kimia. Leone dan kawan-kawan menemukan bahwa CT secara jelas menggambarkan tanda karakteristik dari arthropati, walaupun gagal untuk menilai kerusakan tulang rawan pada fase awal proses degeneratif. Pada penelitian MRI terhadap sukarelawan tanpa keluhan nyeri tulang belakang yang dilakukan Weishaupt dan kawan-kawan tidak ditemukan adanya OA derajat berat dan hanya sedikit OA ringan dan sedang pada sendi facet (Weishaupt et al., 1998). Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah temuan adanya OA sendi facet bukanlah suatu kebetulan, namun merupakan suatu temuan yang berhubungan dengan adanya keluhan LBP. Pada penelitian oleh Schwarzer didapatkan bahwa CT tidak reliabel untuk mengidentifikasi sendi facet dengan nyeri (Schwarzer et al., 1995), tetapi MRI tidak digunakan pada penelitian tersebut. Scintigrafi tulang dengan SPECT, dapat mengidentifikasi pasien dengan LBP yang akan mendapatkan keuntungan dari injeksi sendi facet. Scintigrafi tulang radionuklida dapat menggambarkan area tulang dengan fungsi yang meningkat dan dapat menggambarkan perubahan sinovial yang disebabkan oleh karena inflamasi maupun hiperemia. Scintigrafi tulang juga dapat menggambarkan perubahan degeneratif, terutama yang menunjukkan derajat remodeling yang besar.
19
1.2.5 Patofisiologi terjadinya OA Lumbal “Three joint complex” atau motion segment pada tulang belakang memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas dari tulang belakang. Sebagai struktur yang saling terhubung secara erat menyebabkan gangguan pada satu komponen akan berpengaruh besar pada komponen lainnya. OA lumbal terjadi oleh karena instabilitas yang dimulai dari segmen anterior yaitu proses degenerasi pada diskus intervertebralis. Pada segmen yang tidak stabil, maka dengan hubungan yang erat pada ketiga artikulasi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan kombinasi kerusakan pada ketiga komponen motion segment tersebut. Selanjutnya oleh karena gangguan pada satu level motion segment, proses patologis dapat terjadi pada motion segment pada level di atas atau di bawah level yang mengalami gangguan. (Gellhorn et al., 2012). Proses perubahan pada tulang belakang lumbal dimulai pada dekade ketiga dan kelima. Manifestasi pertama dari proses penuaan adalah pada diskus intervertebralis. Pada tahun pertama nukleus akan kehilangan cairan dan strukur anulus mengalami fisura dan proses degenerasi. Fase pertama dari OA lumbal adalah adanya degenerasi pada diskus intervertebralis. Pada fase ini terjadi ketidakstabilan pada segmen anterior tulang belakang yang menyebabkan terjadinya transfer dari beban ke segmen posterior yaitu sendi facet dan ligamen. Lalu terjadi strain pada kapsul sendi facet, hipermobilitas hingga akhirnya terjadi proses degenerasi pada sendi facet. Perubahan ini mirip dengan yang terjadi pada instabilitas sendi lutut. Perubahan ini sering bermanifestasi pada pemeriksaan radiologis yaitu adanya traction spur, yang terbentuk di bagian anterior corpus
20
vertebra, 1 hingga 2 mm dari diskus intervertebralis. Ligamentum flavum juga akan mengalami kekuatan tensil yang berlebihan oleh karena terjadi penurunan tinggi keseluruhan dari tulang belakang yang disebabkan oleh karena penyempitan ruang sendi intervertebralis. Degenerasi diskus sendiri dapat saja tidak menimbulkan nyeri. Pasien dengan degenerasi diskus dapat asimptomatik hingga saat terjadinya gangguan pada alignment sendi facet yang menyebabkan nyeri artikular. Pada fase ini nyeri yang dirasakan adalah nyeri yang terlokalisir pada daerah lateral dari midline, tepat di atas sendi facet, dan dipicu oleh gerakan ekstensi tulang belakang tanpa adanya nyeri menjalar atau nyeri radikuler. (Borenstein, 2004; Gellhorn et al., 2012). OA pada tulang belakang merupakan proses yang sama dengan OA pada sendi diarthrodial yang lain. Degradasi tulang rawan akan berujung menjadi pembentukan erosi yang awalnya fokal hingga difus, dengan sklerosis dari tulang subkondral. Hipertrofi facet, malalignment apophyseal, dan pembentukan osteofit dapat
menyebabkan
penyempitan
pada
canalis
spinalis
atau
foramen
intervertebralis dan dapat menyebabkan stenosis central atau lateral. Destabilisasi dari kompleks 3-sendi (diskus intervertebralis dan dua sendi facet) dapat menyebabkan instabilitas spondilolistesis degeneratif dan skoliosis. Beberapa penelitian melaporkan adanya perubahan degeneratif yang lebih sering pada sendi facet superior daripada sendi facet inferior. Kerusakan tulang rawan terjadi terutama pada margin permukaan sendi, bagian sentral umumnya tetap baik. Facet superior sering menunjukkan kerusakan pada kutub superior, dimana saat gerakan fleksi facet inferior akan menyebabkan tekanan maksimal
21
(Gambar 1.5A). Facet bagian inferior menunujukkan kerusakan tulang rawan baik pada superior maupun kutub inferior, dimana aposisi tulang paling sering tampak khususnya pada kutub inferior, dimana kontak tulang antara kutub inferior dari facet inferior dan lengkungan dari facet superior dapat terjadi pada gerakan ekstensi (Gambar 1.5 B). Kapsul cenderung menjadi kecil dan tipis dengan adanya perubahan degeneratif pada sendi facet lumbal, gerakan sendi kemungkinan akan terbatas atau terganggu oleh karena perubahan struktural pada kapsul tersebut. Hipertrofi dari prosesus artikularis juga telah disebutkan dalam beberapa penelitian sebagai tanda dari OA sendi facet, dimana sering disebut sebagai “hipertrofi sendi facet”. Namun Barry dan Lievesley pada penelitian terhadap CT dari 100 pasien menemukan bahwa dari 13 pasien dengan sendi facet degeneratif dan dengan diskus yang normal tidak ditemukan adanya pembesaran pada sendi facet dibandingkan pada 35 pasien dengan penyakit diskus. Mereka menyimpulkan bahwa istilah “hipertrofi sendi facet” tidak digunakan bila ditemukan kelainan OA pada CT, oleh karena ukuran sendi ini tidak lebih besar daripada sendi facet normal (Barry & Livesley, 1997).
1.3 Menopause Menopause berasal dari kata men dan pauseis yang berasal dari bahasa Yunani yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan berhentinya haid (Prawirodihardjo, 2003). Menopause adalah terhentinya siklus menstruasi secara permanen oleh karena penurunan sekresi hormon oleh ovarium yang terjadi secara natural atau disebabkan karena operasi, kemoterapi, atau radiasi. Menopause dapat
22
dikatakan natural bila seorang wanita mengalami amenorrhea selama 12 bulan dan tidak terdapat kelainan patologis (Nelson et al., 2005). Menopause terjadi disebabkan oleh gagalnya ovarium memproduksi hormon estrogen. Kegagalan ovarium memproduksi estrogen dimulai saat akhir usia 30 tahun. Sebagian besar wanita mengalami gejala penurunan hingga hilangnya produksi estrogen pada pertengahan usia 50 tahun. Transisi fungsi ovarium dari normal menjadi gagal berfungsi disebut menopausal transition (Goodman et al., 2006). Menopause dibagi menjadi 3 tahapan. Fase pra menopause berawal antara usia 40 tahun dan merupakan jangka waktu sebelum terjadi fase peri menopause. Fase peri menopause merupakan saat berlangsungnya perubahan siklus menstruasi dan endokrin, namun belum mencapai 12 bulan amenorrhea. Fase terakhir adalah post menopause yang dimulai saat menstruasi terakhir, tetapi baru disadari setelah terjadi amenorrhea selama 12 bulan (Prawirodihardjo, 2003; Nelson et al., 2005). Tanda dan gejala menopause mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik maupun psikis. Gejala-gejala menopause disebabkan oleh adanya perubahan kadar estrogen dan progesteron. Berkurangnya kadar estrogen secara bertahap menyebabkan tubuh secara perlahan menyesuaikan diri terhadap perubahan hormon, tetapi pada beberapa wanita penurunan kadar estrogen ini terjadi secara tiba-tiba dan menyebabkan gejala-gejala yang hebat.
23
1.4 Estrogen Estrogen adalah sekelompok senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai hormon seks wanita. Estrogen juga memiliki efek pada sistem kardiovaskular, kulit, dan tulang. Estrogen terdiri dari tiga tipe yaitu estrone, estradiol, dan estriol (Gambar 1.10). Estrogen yang paling banyak dan paling aktif adalah estradiol (E2). Estrogen bekerja di jaringan dengan cara berikatan dengan estrogen reseptor α dan β yang terdapat pada berbagai jaringan. Estrogen juga diproduksi pada pria dan memiliki fungsi penting dalam spermatogenesis, sistem kardiovaskular, dan homeostasis tulang (de Ronde et al., 2003; Sniekers et al., 2010). Estradiol adalah estrogen yang paling poten, dengan potensi 12 kali lipat dari estrone, dan 80 kali lipat dari estriol. Oleh karena itu, estradiol dianggap sebagai estrogen utama (Sniekers et al., 2010).
Gambar 1.10 Struktur kimia estrone, estradiol, dan estriol. (Sniekers et al., 2010)
1.4.1 Biosintesis Estrogen Estrogen diproduksi terutama dengan mengembangkan folikel di ovarium, korpus luteum, dan plasenta. Luteinizing hormone (LH) merangsang produksi
24
estrogen di ovarium. Beberapa estrogen juga diproduksi dalam jumlah yang lebih kecil dengan jaringan lain seperti hati, kelenjar adrenal, payudara, dan sel lemak. Sumber-sumber sekunder estrogen terutama penting pada wanita menopause (Nelson & Bulun, 2001). Estrogen adalah produk akhir suatu jalur biosintesis yang berasal dari cholesterol 12 hingga menjadi androgen (Gambar 1.11). Testosterone 8 teroksidasi dua kali pada C-19 oleh steroid 19-hydroxylase dan kemudian diaromatisasi menjadi estradiol oleh enzim aromatase (CYP 19). 17 β-Hydroxysteroid dehydrogenase (17 β-HSD) berperan dalam interkonversi estradiol dan estrone. Isoform reduktif 17 β -HSD tipe 1 mengkonversi E1 ke E2, dan isoform oksidatif 17 β-HSD tipe 2 bekerja sebaliknya dengan mengkonversi E2 ke E1 (Simpson et al., 1999; Ackerman & Carr, 2002).
Gambar 1.11 Biosintesis estrogen di ovarium. (Ackerman & Carr, 2002)
Pada wanita premenopause, estradiol disintesis di dalam ovarium dari kolesterol yang diambil dari darah. Kolesterol kemudian dikonversi dalam beberapa tahap menjadi androstenedione di dalam sel folikel teka. Di dalam sel granulosa
25
yang terdapat di dalam folikel yang sedang berkembang, androstenedione kemudian diaromatisasi menjadi estrone, yang kemudian diikuti dengan konversi dari estrone menjadi estradiol. Alternatifnya, androstedione dikonversi menjadi testosteron, yang selanjutnya akan mengalami aromatisasi menjadi estradiol. Sebagian kecil dari estradiol juga diproduksi oleh korteks adrenal, dan pada pria juga diproduksi di testis. Hormon prekursor, khususnya testosteron, dikonversi dengan cara aromatisasi menjadi estradiol pada jaringan selain gonad, misalnya pada otot, lemak, tulang, dan jaringan saraf. Sumber estrogen sekunder ini penting terutama pada wanita pasca menopause (Sniekers et al., 2010).
1.4.2 Metabolisme Estrogen Estrogen bersirkulasi di dalam tubuh sebagian besar berikatan dengan sex hormone binding globulin (SHBG) dan hanya estrogen yang tidak terikat yang dapat masuk ke sel dan menyebabkan efek biologis. Perubahan konsentrasi SHBG akan mempengaruhi aktivitas estrogen dengan cara mengubah availabilitas estrogen terhadap sel target. Efek biologis estrogen dalam tubuh tergantung bagaimana estrogen dimetabolisme. Metabolisme oksidatif estrogen terutama terjadi di hati diperantarai oleh sitokrom p450, didetoksifikasi dan dikeluarkan dalam bentuk metabolit yang kurang atau tidak aktif melalui urin dan/atau feses. Metabolisme estrogen terdiri dari dua fase yaitu fase I (hidroksilasi), dan fase II (metilasi dan glukoronidasi) (Zhu & Conney, 1998; Kiuru, 2005; Kennelly et al., 2009; Hall & Guyton, 2010).
26
Hidroksilasi menghasilkan banyak jenis metabolit, namun terutama adalah yaitu 2-hydroxyestrone (2-OH), 16-OH, dan 4-OH yang memiliki aktivitas biologis yang berbeda. Metabolit 2-OH disebut juga dengan estrogen baik karena memiliki aktivitas estrogenik yang sangat lemah. Metabolit 16-OH dan 4-OH memiliki aktivitas estrogenik yang tinggi dan dapat memicu pertumbuhan sel yang berlebihan. Metabolit 2-OH dan 4-OH selanjutnya akan didetoksifikasi melalui proses metilasi. Metabolit 4-OH melalui proses metilasi akan berkurang aktivitas estrogeniknya. Apabila metabolit 2-OH dan 4-OH tidak melalui proses metilasi, maka kedua metabolit ini dapat diubah menjadi molekul reaktif yang dapat menghancurkan DNA. Molekul estrogen akan bergabung dengan kelompok asam glukoronat untuk membantu eliminasi kelebihan estrogen dalam tubuh. Proses ini disebut glukoronidasi. (Muti et al., 2000; Kennelly et al., 2009; Hall & Guyton, 2010).
Gambar 1.12 Metabolisme estrogen. (Kiuru, 2005)
27
1.4.3 Reseptor Estrogen Sinyal estrogen diikat oleh reseptor estrogen. Terdapat dua subtipe utama dari reseptor estrogen yaitu reseptor estrogen α (ERα) dan estrogen reseptor β (ERβ). Keduanya memiliki struktur yang berbeda dan dikode oleh gen yang berbeda (ESR1 dan ESR2). Kedua reseptor estrogen diekspresikan di dalam sel pada berbagai jaringan. Distribusi jaringan yang mengandung reseptor ERα dan ERβ adalah berbeda, namun terdapat tumpang tindih terhadap distribusinya. Reseptor-reseptor ini merupakan reseptor intraseluler yang terdapat dalam sitoplasma. Pada saat estrogen bebas berdifusi ke dalam sel, estrogen akan terikat pada domain ligand-binding dari reseptor, yang mengalami disosiasi dari kaperon sitoplasmiknya, kompleks estrogen-reseptor estrogen kemudian mengalami difusi ke dalam inti sel. Kompleks estrogen-reseptor estrogen ini akan mengikat ke dalam sekuens DNA spesifik yang disebut sebagai elemen respons estrogen dan menginisiasi terjadinya transkripsi (Gruber et al., 2002). Selain dari reseptor estrogen klasik ini, reseptor lain seperti reseptor yang berpasangan dengan Gprotein transmembran (GPR30) telah diketahui berikatan dengan estrogen (Filardo, 2002; Revankar et al., 2005). Namun peran fungsionalnya tidak diketahui. Sel-sel tulang mengekspresikan kedua ERα dan ERβ, dan estrogen merupakan salah satu regulator penting dalam keseimbangan resorpsi dan pembentukan sel tulang (Pelletier, 2000; Braidman et al., 2001; Lerner, 2006). ER α dan β juga diekspresikan pada kondrosit berbagai spesies binatang (Richmond et al., 2000; Claassen et al., 2001) dan juga pada manusia (Ushiyama et al., 1999; Claassen et al., 2001), yang mengindikasikan bahwa tulang rawan merupakan
28
jaringan yang responsif terhadap hormon estrogen. Penelitian in-vitro telah menunjukkan adanya pengaruh estrogen terhadap sintesis proteoglikan, ekspresi dari matriks metaloproteinase (Lee et al., 2003; Richette et al., 2004), dan stress oksidatif yang diinduksi oleh spesies oksigen reaktif (Claassen et al., 2005). Efek yang terjadi bervariasi tergantung dari kadar estrogen yang diberikan. Selain pada tulang dan tulang rawan, reseptor estrogen juga diekspresikan pada jaringan pada sendi seperti ligamen dan sinovium (Dietrich et al., 2006). Sehingga estrogen dapat mempengaruhi terjadinya proses OA melalui tulang, tulang rawan, dan atau jaringan lain yang terdapat di dalam sendi. Osteoblas, osteosit, dan osteoklas mengekspresikan estrogen reseptor fungsional. Sel-sel tulang memiliki dua reseptor estrogen yaitu ERα dan Erβ. Distribusi kedua reseptor ini tidak homogen di dalam tulang. ERα adalah reseptor terbanyak pada cortical bone, dan ERβ terbanyak pada tulang trabekular. ERα paling berperan pada kerja estrogen di sel tulang. Estrogen memiliki kemampuan untuk menstimulasi dan menekan ekspresi gen yang mengkode faktor osteoklastogenik yang penting seperti IL-6, TNF-α, dan M-CSF. Estrogen reseptor yang aktif dapat terikat pada faktor transkripsi seperti NF-κB dan mencegah faktor tersebut berikatan dengan DNA dan selanjutnya akan menekan produksi IL-6 (Weitzmann & Pacifici, 2006). Estrogen mencegah bone loss melalui beberapa efek pada tulang rawan dan sel-sel tulang yang akan menyebabkan penurunan pembentukan osteoklas, peningkatan apoptosis osteoklas, dan penurunan kapasitas osteoklas matur untuk meresorpsi tulang (Cenci et al., 2000).
29
1.5 Defisiensi Estrogen Kadar estrogen menurun pada keadaan menopause, disfungsi ovarium, infertilitas, sindrom Turner, amenorea akibat hipopituitari, anoreksia nervosa, keadaan stres, dan sindrom testikular feminisasi pada wanita (Demers, 1999). Produksi estradiol akan menurun sampai titik terendah pada awal siklus ovulasi dan akan mulai meningkat oleh karena adanya efek hormon FSH. Kadar dibawah 30 pg/mL menunjukan keadaan oligomenore atau amenore sebagai indikasi kegagalan gonad. Hormon estradiol dipengaruhi oleh ritme sirkadian yaitu adanya variasi diurnal pada wanita pasca menopause yang diperkirakan karena adanya variasi pada kelenjar adrenal (Aron & Findling, 1997).
30
Tabel 1.1 Tabel kadar hormon estrogen Hormon Estradiol
Estriol
Estrone
Jenis Kelamin Wanita < 8 thn 8 - 12 thn 12 - 14 thn 14 – 16 thn Fase folikular Preovulasi Luteal Pasca menopause Kehamilan 30 - 32 mgg 33 - 35 mgg 36 - 38 mgg 39 - 40 mgg Tdk hamil Wanita Fase folikular Ovulasi Luteal Pascamenopause
Unit Konvensional (pg/mL) <7 8 - 18 16 - 34 20 - 68 20 - 100 100 - 350 100 - 350 10 - 30 (ng/mL) 2 - 12 3 - 19 5 - 27 10 - 30 <2 (ng/mL) 30 - 100 >150 90 - 150 20 – 40
1.6 Efek Defisiensi Estrogen pada Turnover dan Arsitektur Tulang Tulang yang mengalami proses penuaan akan digantikan oleh jaringan baru melalui suatu proses yang disebut remodeling tulang. Remodeling tulang terjadi melalui kombinasi aktivitas dari osteoblas dan osteoklas yang akan membentuk suatu ruangan anatomikal yang disebut basic multicellular units (BMU). Pada keadaan menopause, akan terjadi percepatan fase bone loss (rapid bone loss) dan dilanjutkan dengan terjadinya bone loss yang lebih lambat dan terus menerus (Riggs et al., 2002).
31
Defisiensi estrogen akan menyebabkan peningkatan jumlah BMU melalui peningkatan frekuensi aktivasi yaitu jumlah unit remodeling baru yang aktif pada suatu waktu. Peningkatan frekuensi aktivasi akan memperluas ruang remodeling, meningkatkan cortical porosity, dan memperlebar area resorpsi pada permukaan trabekular, dan peningkatan jumlah osteoklas pada permukaan tulang untuk remodeling. Defisiensi estrogen juga menambah kedalaman erosi dengan memperpanjang fase resorpsi pada siklus remodeling melalui peningkatan masa hidup osteoklas yang disebabkan oleh penurunan apoptosis (Weitzmann & Pacifici, 2005). Bone loss disebabkan oleh efek kombinasi dari peningkatan frekuensi aktivasi dan terbatasnya kedalaman erosi di beberapa bagian sebagai efek dari kompensasi pembentukan tulang pada setiap remodeling unit. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya ekspansi dari early mesenchymal progenitors dan peningkatan prekursor osteoblastik pluripoten. Pada defisiensi estrogen, peningkatan pembentukan tulang sebagai kompensasi dari adanya bone loss tidak cukup untuk mengimbangi peningkatan resorpsi tulang yang disebabkan peningkatan osteoblas (Kousteni et al., 2001; Weitzmann & Pacifici, 2006). Setelah terjadi penurunan estrogen, akan terjadi rapid bone loss pada fase awal yaitu adanya peningkatan resorpsi tulang, penipisan dan perforasi trabekula, dan hilangnya hubungan antara trabekula. Fase akut ini akan diikuti dengan periode bone loss yang lebih lambat dan terus menerus dimana yang paling banyak terjadi adalah
penipisan
trabekula.
Fase
ini
terjadi
akibat
meningkatnya
32
osteoblastapoptosis yang menyebabkan terganggunya aktivitas osteoblastik (Weitzmann & Pacifici, 2006).
1.7 Efek Defisiensi Estrogen pada Pembentukan Osteoklas Efek estrogen akut yang paling dominan adalah terhambatnya pembentukan osteoklas. Pembentukan osteoklas berasal dari proliferasi dan diferensiasi prekursor monosit yang diperantarai sitokin yang bersirkulasi di dalam hematopoietic cell pool (Teitelbaum, 2000). Sitokin penting yang diperlukan untuk pembentukan osteoklas adalah RANK-L. Faktor-faktor tersebut diproduksi oleh bone marrow stromal cells, osteoblas, dan activated T cells. RANK-L adalah bagian dari famili TNF yang terikat pada membran dan merupakan bentuk terlarut. RANK-L terikat pada reseptor transmembran RANK yang terdapat pada permukaan dan prekursor osteoklas. RANK-L juga berikatan dengan osteoprotegerin (OPG) yang merupakan reseptor yang diproduksi oleh beberapa sel hematopoietik. Osteoprotegerin berfungsi sebagai sitokin antiosteosteoklastlastogenik dengan mencegah dan menghambat ikatan RANK-L dengan RANK. RANK-L mendorong terjadinya diferensiasi prekursos osteoklas dari early mature menjadi fully mature, multinucleated osteoclast. RANK-L juga mengaktivasi dan menstimulasi osteoklas matur untuk meresorpsi tulang (Khosla, 2001; Weitzmann & Pacifici, 2006). Sitokin yang diproduksi atau diregulasi oleh sel T bertanggung jawab dalam meningkatkan pembentukan osteoklas pada keadaan defisiensi estrogen (Weitzmann & Pacifici, 2005). Salah satu sitokin tersebut adalah TNF yang secara
33
langsung meningkatkan pembentukan osteoklas dan meningkatkan produksi RANK-L dan prekursor osteoklas yang berhubungan dengan RANK-L (Cenci et al., 2000; Kim et al., 2005). Kemampuan TNF meningkatkan aktivitas osteoklastogenik disebabkan oleh interaksi yang sinergis antara sinyal NF-κB dan AP1 (Lam et al., 2000). TNF dan RANK-L secara sinergis meningkatkan ekspresi RANK pada prekursor osteoklas (Zhang et al., 2001). TNF menstimulasi aktivitas osteoklas dan menghambat osteoblastogenesis sehingga akan menyebabkan pembentukan dan resorpsi tulang (Nanes, 2003).
1.8 Patofisiologi Terjadinya OA Proses
osteoartritik
diawali
dengan
adanya
abnormalitas
pada
biomechanical forces dan/atau tulang rawan. Setelah itu banyak faktor yang akan mempengaruhi terjadinya osteoartritis yaitu mechanotransduction, adanya peranan dari protease, protease inhibitors dan sitokin dalam terjadinya degradasi tulang rawan dan mekanisme perbaikan tulang rawan, serta adanya kontribusi berbagai faktor risiko seperti obesitas, usia, deposisi mineral, hormonal, dan kontrol neurogenik abnormal. Adanya matrix metalloproteinase (MMP) yaitu kolagenase, stromelysin, dan
gelatinase
berperan
dalam
terjadinya
OA.
Sitokin
proinflamasi
bertanggungjawab dalam proses katabolik yang terjadi pada jaringan patologis. Sitokin tersebut awalnya diproduksi di membrane synovial dan berdifusi ke tulang rawan melalui cairan sinovial dimana sitokin tersebut akan mengaktifkan kondrosit untuk memproduksi sitokin proinflamasi.
34
Pada OA membrane sinovial, sitokin yang memiliki peranan penting adalah interleukin (IL)-1β, tumor necrosis factor (TNF)-α, IL-6, leukemic inhibitor factor (LIF) dan IL-17. Interleukin-1β (IL-1β) dan TNF-α adalah sistem katabolik utama yang berperan dalam kerusakan dan degradasi jaringan sendi. Akan tetapi masih belum jelas apakah kedua jenis sitokin ini bekerja sendiri ataukah bersama-sama dalam perkembangan OA. Penelitian pada binatang yang dilakukan oleh van de Loo dkk dan Plows dkk pada tahun 1995 menunjukkan bahwa hambatan IL-1 atau aktivitasnya sangat efektif dalam menghambat kerusakan tulang rawan, dan penghambatan TNF-α mengurangi terjadinya inflamasi. Kedua sitokin tersebut banyak ditemukan pada OA membrane sinovial, cairan sinovial dan tulang rawan. Interleukin-6 (IL-6) berperan dalam patofisiologi terjadinya OA melalui tiga cara yaitu meningkatkan jumlah sel inflamasi pada jaringan synovial, menstimulasi proliferasi kondrosit, dan meningkatkan efek IL-1 dalam peningkatan sintesis MMP dan penghambatan produksi proteoglikan. Interleukin-6 (IL-6) juga berperan dalam feedback mechanism yang menghambat produksi enzim dengan merangsang produksi MMP. Peranan LIF dan IL-17 pada OA belum sepenuhnya diketahui.
1.9 Hubungan Estrogen dan OA Dari penelitian-penelitian epidemiologis, beberapa faktor dari terjadinya OA telah berhasil diidentifikasi. Penuaan, obesitas, gender dan status hormonal, etnis, deformitas sendi, dan pembebanan abnormal telah diketahui sebagai faktor risiko OA (Sharma et al., 2006). Namun tidak semua faktor risiko dapat dijelaskan mekanismenya secara jelas. Seperti misalnya obesitas dapat meningkatkan risiko
35
OA oleh karena peningkatan pembebanan pada sendi atau oleh karena adipokinase yang dilepaskan ke jaringan lemak (Gualillo, 2007; Simopoulou et al., 2007). Salah satu faktor dari OA adalah jenis kelamin dan status hormonal. Pada tahun 1925, Cecil dan Archer mendeskripsikan suatu istilah “menopause arthritis” yaitu suatu peningkatan kejadian OA pada tangan dan lutut yang dimulai bersamaan dengan
berhentinya
menstruasi.
Penelitian
epidemiologis
baru-baru
ini
menunjukkan bahwa pada pria yang lebih muda dari usia 50 tahun memiliki prevalensi dan insiden OA yang lebih tinggi daripada wanita dengan usia lebih muda dari 50 tahun, namun pada usia lebih dari 50 tahun didapatkan angka insiden dan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita daripada pada pria. Angka prevalensi meningkat bersamaan dengan usia baik pada pria maupun pada wanita, namun pada wanita, prevalensi OA meningkat secara dramatis pada usia di sekitar 50 tahun. Hal ini bersamaan dengan usia rata-rata terjadinya menopause (Sniekers et al., 2010). Terapi estrogen pengganti telah banyak diberikan kepada wanita pasca menopause untuk meringankan gejala-gejala menopause dan untuk mencegah atau mengobati osteoporosis. Efek dari terapi estrogen pengganti telah banyak diteliti. Suatu penelitian sistematik terbaru menunjukkan adanya bukti efek protektif dari terapi estrogen pengganti untuk OA sendi panggul, tetapi pada OA sendi lutut hasil yang didapatkan berkebalikan (Klerk et al., 2009). Juga pada penelitian pada binatang hubungan antara OA dan estrogen telah dipelajari. Pada penelitian-penelitian ini ovariektomi dilakukan untuk meniru keadaan pasca menopause pada wanita. Pada ovariektomi tikus dan domba menunjukkan adanya efek merusak pada tulang rawan sendi, dan dengan pemberian
36
terapi pengganti estrogen didapatkan penurunan degradasi tulang rawan sendi (Ham et al., 2002; Christgau et al., 2004; Hoegh-Andersen et al., 2004; Cake et al., 2005). Namun, pada penelitian lain didapatkan hasil yang berbeda, dimana didapatkan tidak ada efek samping dari ovariektomi dan munculnya efek samping pada terapi pengganti estrogen (Rosner et al., 1982).
1.9.1 Penelitian Hubungan Kadar Estrogen dengan Terjadinya OA Pada penelitian eksperimental oleh Sniekers dkk, pada tikus yang dilakukan ovariektomi didapatkan peningkatan suseptibilitas perubahan OA pada tulang rawan sendi namun tidak ditemukan pada tulang subkondral. Namun tidak ditemukan hubungan langsung antara perubahan tulang dan tulang rawan. Pada penelitian yang lain dari peneliti di atas juga ditemukan adanya peningkatan kerusakan tulang rawan dan peningkatan transien dari penipisan tulang subkondral pada tikus yang mengalami ovariektomi, sehingga mendukung adanya hubungan antara estradiol dengan perkembangan terjadinya OA (Sniekers et al., 2010).
1.9.2 Penelitian pada Manusia Hubungan antara polimorfisme pada gen ERα (ESR1) dan terjadinya OA telah diteliti pada populasi yang berbeda dengan hasil yang bervariasi. Polimorfisme pada haplotipe PvuII dan XbaI dalam gen ERα telah diketahui berhubungan dengan peningkatan prevalensi dari gambaran klinis dan radiologis dari OA lutut (Bergink et al., 2003; Jin et al., 2004; Valdes et al., 2006). Selain itu, polimorfisme dari exon 8 G/A BtgI juga berhubungan dengan OA sendi lutut pada
37
populasi ras Asia (Jin et al., 2004). Namun, penelitian lainnya menunjukkan tidak adanya atau hanya hubungan yang tidak signifikan antara polimorfisme gen ERα dengan OA pada populasi Kaukasian (Loughlin et al., 2000; Lian et al., 2007). Banyak penelitian-penelitian klinis yang menunjukkan hubungan antara OA dengan kadar estrogen (Punzi et al., 2004; Srikanth et al., 2005; Sowers et al., 2006). Didapatkan prevalensi OA yang lebih tinggi pada wanita daripada pria dan peningkatan prevalensi OA berhubungan dengan umur puncak terjadinya menopause (Srikanth et al., 2005). Pada penelitian survey nasional menunjukkan bahwa OA secara radiografis lebih umum didapatkan pada wanita usia 45 hingga 64 tahun dibandingkan pada pria dengan umur yang sama, dan suatu penelitian yang dilakukan di rumah sakit menemukan bahwa adanya rasio yang tinggi terjadinya OA pada wanita dibandingkan pada pria, dengan perbandingan 10:1, dengan umur puncak pada 50 tahun. Enam puluh empat persen wanita dengan OA lutut mengalami onset gejala sejak masa perimenopause atau dalam 5 tahun menopause alami atau setelah histerektomi. Faktanya, onset dari gejala OA lutut terjadi sebelum usia 50 tahun pada 58% wanita dibandingkan hanya 20% pada pria (Roman-Blas et al., 2009). Sejak awal penelitian OA, keterlibatan semua sendi secara umum telah ditemukan pada wanita postmenopause, dengan predominan terjadinya gejala awal inflamasi didapatkan pada sendi interphalang proximal dan distal tangan. OA nodular pada tangan sering dihubungkan dengan adanya keterlibatan poliartikuler dan simetris dari sendi-sendi besar seperti lutut dan panggul. Erosi dapat terjadi sendi interphalang dan merupakan tanda dari OA yang bersifat erosif. Kelainan ini
38
cenderung terjadi pada wanita paruh baya, dan sering merupakan kondisi akut dengan gejala inflamasi yang membaik selama periode bulanan atau tahunan, meninggalkan suatu keadaan sendi dengan deformitas dan ankilosis (Punzi et al., 2004). Kadar serum E2 dan metabolitnya yaitu 2-hidroksiestron yang rendah pada urine didapatkan pada wanita pasca menopause dengan gambaran radiografi OA lutut (Sowers et al., 2006). Kegagalan produksi estrogen pada masa menopause berhubungan dengan hilangnya massa otot yang signifikan, sehingga menyebabkan berkurangnya performa otot dan kapasitas fungsional. Wanita peri dan postmenopause juga cenderung memiliki massa tubuh yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita pre menopause (Sipilä, 2003; Sipilä & Poutamo, 2003).
39