BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1.
Landasan Teori
2.1.1
Teori Fraud Triangle Berdasarkan SAS No. 99 terdapat 3 kondisi penyebab terjadinya
kecurangan yaitu : 1) Manajemen atau karyawan lain yang memiliki insentif atau berada dibawah tekanan untuk melakukan penipuan. 2) Situasi yang ada, misalnya tidak adanya kontrol, ketidakefektifan kontrol yang dapat memberikan kesempatan si pelaku untuk bertindak curang. 3) Pihak penipu mampu merasionalisasikan tindak penipuan tersebut. Hal yang diungkapkan oleh SAS No. 99 sama halnya dengan “Konsep Fraud Triangle” yang dicetuskan oleh Cressey (1953). Teori ini telah diadopsi dalam standar auditing dan dianggap sebagai salah satu literatur utama dalam menjelaskan fenomena kecurangan dalam perusahaan. Cressey menyatakan bahwa kecurangan pada laporan keuangan disebabkan oleh tiga kondisi, yaitu tekanan/motif
(pressure),
kesempatan
(opportunity),
(rationalization) yang digambarkan dalam bagan berikut ini.
9
dan
rasionalisasi
Gambar 2.1 Fraud Triangle
Sumber: Cressey (1953) dalam Skousen et al. (2009) Tekanan muncul sebagai akibat karena adanya kewajiban keuangan yang melebihi batas kemampuan yang harus diselesaikan manajemen. Kesempatan adalah peluang yang memungkinkan pelaku untuk melakukan tindak kecurangan. Biasanya terjadi karena lemahnya pengendalian internal suatu organisasi. Dan rasionalisasi merupakan elemen penting dalam kasus kecurangan, karena pelaku akan mencari pembenaran atas tindakannya. Hall (dalam Rustendi, 2009) mengemukakan bahwa mereka yang terlibat dalam tindak kecurangan didorong oleh interaksi antara kekuatan dalam kepribadian individu dengan lingkungan eksternal.
Gambar 2.2 Faktor Penyebab Kecurangan
Sumber: Hall (dalam Rustendi 2009)
10
Dari skema tersebut bisa disimpulkan bahwa, apabila seseorang berada pada tekanan situasional yang tinggi, didukung dengan kesempatan yang besar untuk melakukan tindak kecurangan karena lemahnya pengendalian internal organisasi, dan yang bersangkutan memiliki integritas yang rendah maka resiko terjadinya kecurangan akan semakin tinggi, begitupula sebaliknya.
2.1.2. Definisi Kecurangan dan Pendeteksian Kecurangan 1) Definisi Kecurangan Kecurangan adalah tindakan kriminal yang dilakukan seseorang secara sengaja untuk medapatkan keuntungan pribadi. Biasanya kecurangan mencangkup tiga langkah yaitu (1) tindakan / the act, (2) Penyembunyian / the concealment, (3) konversi / the convertion (Amrizal, 2004). Menurut Weirich dan Reinstein (dalam Amrizal, 2004) mendefinisikan kecurangan sebagai penipuan, pemalsuan dan pencurian data . Association
of
Certified
Fraud
Examination
(ACFE,
2000)
mengkategorikan kecurangan dalam tiga kelompok, yaitu: a) Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud), merupakan kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material laporan keuangan yang akan merugikan pihak investor dan kreditor. b) Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation), berupa kecurangan kas dan kecurangan atas persediaan dan asset lainnya, serta pengeluaranpengeluaran biaya dengan cara yang curang.
11
c) Korupsi (Corruption), menurut ACFE korupsi dibagi dalam pertentangan kepemilikan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic exortion). 2) Pendeteksian Kecurangan Maraknya penipuan yang terjadi di perusahaan menyebabkan meningkatnya regulasi yang menekankan pentingnya penilaian risiko, contohnya SOX section 404 yang membutuhkan manajemen untuk melakukan penilaian risiko kecurangan dan PCAOB No. 5 menekankan pentingnya pengendalian internal dan penilaian risiko (Ugrin & Odom, dalam Wardhani 2014). Peraturan ini lebih memfokuskan sistem pengendalian internal dan deteksi penipuan. Hal ini dijelaskan oleh (Rose & Rose, 2003) bahwa tingkat risiko mempengaruhi evaluasi bukti auditor. Dengan adanya tingkat risiko ini merupakan alat yang sangat membantu auditor dalam pendeteksian kecurangan. Dibawah ini adalah gambaran secara umum pendeteksian kecurangan berdasarkan kecurangan yang digolongkan oleh ACFE: a) Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud). Kecurangan dalam penyajian laporan keuangan umumnya dapat dideteksi melalui analisis laporan keuangan sebagai berikut: a. Analisis vertical, yaitu analisis yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara item-item dalam laporan laba rugi, neraca, atau laporan arus kas dengan menggambarkannya dalam presentase.
12
b. Analisis horizontal, yaitu teknik untuk menganalisis persentasepersentase perubahan item laporan keuangan selama beberapa periode pelaporan. c. Analisis rasio, yaitu alat untuk mengukur hubungan antara nilai-nilai item dalam laporan keuangan. b) Penyalahgunaan Aset (Asset Missappropriation) Pemahaman yang tepat atas pengendalian intern yang baik dalam pos-pos aset
akan
sangat
membantu
dalam
melaksanakan
pendeteksian
kecurangan, karena teknik untuk mendeteksi kecurangan dalam kategori ini sangat banyak variasinya. Masing-masing jenis kecurangan dapat dideteksi melalui beberapa teknik. Metode tersebut akan sangat efektif jika digunakan secara kombinasi dan gabungan. Setiap metode akan menunjukkan gejala penyimpangan yang bisa diinvestigasi secara lebih lanjut untuk menentukan ada tidaknya tindakan kecurangan. Adapun metode yang dimaksud antara lain: a. Analytical
review,
merupakan
suatu
review
yang
mungkin
menunjukkan ketidakbiasaan atau kegiatan-kegiatan yang tidak diharapkan. b. Statistical sampling, metode deteksi ini akan efektif jika ada kecurigaan terhadap satu atributnya, misalnya pemasok fiktif. c. Vendor or outsider complaint, yaitu alat untuk mendeteksi kecurangan dengan
memanfaatkan
masuknya
keluhan/komlpain
dari
para
konsumen maupun pemasok sehingga akan membantu auditor dalam melakukan penyelidikan lebih lanjut.
13
d. Site
visit–observation,
dengan
melakukan
observasi
terhadap
bagaimana kegiatan transaksi akuntansi yang dilaksanakan akan memberikan peringatan akan adanya daerah-daerah yang mempunyai potensi bermasalah. Karena observasi ke lokasi biasanya akan mengungkapkan baik buruknya pengendalian intern di lokasi – lokasi tersebut. c) Korupsi (Corruption) Pendeteksian kecurangan dalam kategori ini dapat dilakukan dengan melihat karakteristik (red flag) si penerima maupun pemberi. Orang yang menerima dana korupsi atau penggelapan dana pada umumnya memiliki karakteristik (red flag) sebagai berikut: a. The big spender : yang paling boros di perusahaan b. The gift taker
: pengambil hadiah
c. The odd couple : orang-orang yang bertingkah aneh / mencurigakan d. The rule breaker :pemutus aturan / tidak taat pada aturan peerusahaan e. The complainer : pengeluh f. The genuine need : kebutuhan yang sebenarnya Sedangkan orang yang melakukan pembayaran mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. The sleaze factor : pekerjaan yang buruk b. The too succesfull bidder : penawar yang sukses c. Poor quality, higher pricer : kualitas rendah dengan harga yang tinggi d. The one-person operation : hanya satu orang yang beroperasi
14
Sedangkan SAS No. 99 tahun 2002 mengenai: consideration of fraud in a financial statement menggariskan empat prosedur pokok dalam pendeteksian fraud: a) Increasing Profesional Skepticism SAS No. 99 mengharuskan para auditor untuk mengedepankan skeptisme profesional dan tidak begitu saja mengasumsikan kejujuran manajemen klien. Sebelum kesimpulan mengenai integritas manajemen dirumuskan, anggota tim audit bertukarpikiran dan mendiskusikan celah-celah dalam laporan keuangan yangmemungkinkan terjadinya fraud. b) Discussing fraud risks with management and other in an organization Diskusi dilakukan dengan manajemen serta pihak didalam maupun diluar perusahaan klien untuk mengidentifikasi risiko-risiko fraud dan apakah mereka mengetahui keberadaan fraud dalam organisasi. c) Performing unpredictable audit test Mengharuskan tim audit untuk merancang pengujian terhadap area, lokasi, dan perkiraan-perkiraan maupun pencatatan akuntansi yang biasanya tidak diperiksa dengan desain tes audit yang tidak dapat diduga atau diprediksi klien. d) Responding to management override of controls Karena fraud terhadap laporan keuangan biasanya dilakukan pihak manajemen dengan mengesampingkan internal control perusahaan, maka dalam SAS No. 99 terdapat prosedur untuk menguji keberadaan management override of control dalam setiap audit.” (SAS No. 99 : 2002)
15
2.1.3
Pemahaman Bisnis dan Industri Klien Sebelum auditor melakukan verifikasi dan analisis transaksi atas akun-
akun tertentu, ia perlu mengenal lebih baik mengenai industri dan bidang usaha klien. Menurut Halim (2008) hal-hal yang perlu dipahami auditor berkaitan dengan pemahaman bisnis dan industri klien antara lain: 1) Jenis bisnis dan produk klien 2) Lokasi dan karakteristik operasi klien 3) Jenis dan karakteristik industri 4) Eksistensi ada tidaknya pihak terkait yang mempunyai hubungan erat dengan klien 5) Regulasi pemerintah yang mempengaruhi bisnis dan industri klien 6) Karakteristik laporan yang harus diberikan kepada badan regulasi Sedangkan pemahaman auditor tentang bisnis dan industri klien dapat diperoleh melalui : 1) Penelaahan kertas kerja tahun lalu Tujuannya untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin masih ada. Untuk klien baru yang sebelumnya pernah diaudit oleh KAP sebelumnya, penelaahan dilakukan terhadap kertas kerja audit pada tahun sebelumnya yang diperoleh dari kantor akuntan yang memeriksa dengan persetujuan klien. 2) Penelaahan data industri dan data bisnis Informasi industri diperoleh dari berbagai sumber seperti buletin atau publikasi industri, standar dan pedoman akuntansi industri klien. Sedangkan data bisnis klien diperoleh dari penelaahan anggaran dasar dan anggaran
16
rumah tangga, analisis laporan keuangan intern klien, penelaahan kontrak atau perjanjian penting, penelaahan notulen rapat klien, dan sebagainya. 3) Peninjauan terhadap operasi klien Berkaitan dengan hal ini auditor meninjau tempat operasi, pabrik dan kantor klien. Melalui peninjauan tempat, auditor mengetahui karakteristik operasi klien. Melalui peninjauan pabrik auditor dapat mengetahui tempat dan kondisi pabrik. Melalui peninjauan kantor, auditor mengetahui lokasi dan jenis catatan akuntansi serta sistem pemrosesan data klien. 4) Pengajuan pertanyaan pada dewan komisaris maupun komite audit Melalui pengajuan pertanyaan pada dewan komisaris maupun komite audit, auditor dapat memperoleh informasi tentang kekuatan dan kelemahan struktur pengendalian intern klien, pengubahan signifikan struktur organisasi dan manajemen perusahaan. 5) Pengajuan pertanyaan pada manajemen Pengajuan pertanyaan kepada pihak manajemen akan membantu auditor dalam mengetahui pengembangan bisnis yang sedang dilakukan yang berpengaruh pada audit, regulasi baru dari pemerintah, dan keterkaitan manajemen atas audit terhadap suatu divisi atau anak perusahaan yang baru 6) Penentuan keberadaan hubungan ekonomis perusahaan klien dengan perusahaan dalam satu kelompok usaha Keberadaan hubungan ekonomis yang dimaksud adalah transaksi klien dengan anak maupun induk perusahaan, atau transaksi antara klien dengan satuan usaha lain dibawah satu holding company yang sama. Keberadaan hubungan
17
ekonomi tersebut menimbulkan kesempatan bagi klien untuk merekayasa transaksi.
2.1.4 Pengalaman Audit Pengalaman audit adalah kemampuan yang dimiliki auditor atau akuntan pemeriksa untuk belajar dari kejadian-kejadian masa lalu yang berkaitan dengan seluk beluk audit atau pemeriksaan (Ashton, 1991 (dalam Suryani dan Vanya, 2014)). Christiawan (2002) menjelaskan bahwa semakin banyak dan kompleks tugas-tugas yang dilakukan seorang individu akan menyebabkan pengalaman individu tersebut semakin meningkat karena hal ini akan menambah dan memperluas wawasan yang dimiliki. Bawono dan Singgih (2011) dalam Aulia (2013) menambahkan bahwa pekerjaan yang secara berulang-ulang dilakukan juga menjadi faktor yang dapat meningkatkan pengalaman dan membuatnya menjadi lebih cepat dan lebih baik dalam menyelesaikan tugas-tugas, serta individu
tersebut
lebih
mengetahui
hambatan-hambatan
yang
mungkin
dialaminya. Indri (2005:24) dalam Hilmi (2011) memberikan kesimpulan bahwa seorang yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan dalam beberapa hal diantaranya, 1) mendeteksi kesalahan, 2) memahami kesalahan, dan 3) mencari penyebab munculnya kesalahan. Keunggulan tersebut bermanfaat bagi pengembangan keahlian. Berbagai macam pengalaman yang dimiliki individu akan mempengaruhi pelaksanakan suatu tugas. Seseorang yang berpengalaman memiliki cara berpikir yang lebih terperinci, lengkap dan sophisticated dibandingkan seseorang yang belum berpengalaman.
18
Auditor yang telah memiliki banyak pengalaman tidak hanya akan memiliki kemampuan untuk menemukan kekeliruan (error) atau kecurangan (fraud) yang tidak lazim yang terdapat dalam laporan keuangan tetapi juga auditor tersebut dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat terhadap temuannya tersebut dibandingkan dengan auditor yang masih dengan sedikit pengalaman.
2.1.5 Kompetensi Auditor Trotter (1986) dalam Mayangsari (2003) mendefinisikan bahwa seorang yang
berkompeten
(mempunyai
keahlian)
adalah
orang
yang
dengan
ketrampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif, dan sangat jarang atau bahkan tidak pernah membuat kesalahan. Kompetensi memiliki beberapa komponen, antara lain pengetahuan, ciri-ciri psikologis, kemampuan berpikir, strategi penentuan keputusan, dan analisis tugas (Abdolmohammadi, dkk (1992) dalam Lastanti (2005)). Kompetensi auditor merupakan faktor penting yang harus dimiliki oleh auditor dengan menggunakan keahlian dan pendidikan teknis. Kompetensi sangat diperlukan, tujuannya adalah agar auditor dapat mendeteksi dengan cepat dan tepat mengenai ada atau tidaknya praktik kecurangan serta trik-trik rekayasa yang dilakukan dalam tindakan kecurangan. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan yang dimilikinya akan membuat auditor menjadi lebih sensitif (peka) terhadap tindakan kecurangan.
19
2.1.6 Strategi Pendeteksian Kecurangan Sebelum melakukan tugasnya, seorang auditor harus merumuskan sebuah strategi yang akan digunakannya sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan audit mulai dari proses pemeriksaan hingga memberikan opini atas kewajaran dari laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan yang diauditnya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, strategi didefinisikan sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Sedangkan strategi audit adalah proses penyusunan arahan atau petunjuk audit dan penyelarasan antara pemahaman auditor atas kegiatan auditan dengan fokus audit yang akan dilakukan. Strategi yang digunakan untuk mendeteksi kecurangan hampir sama halnya dengan strategi audit, karena tugas dari seorang auditor adalah menilai apakah laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar atau tidak dan memastikan tidak adanya tindakan kecurangan yang menyebabkan salah saji material. Menurut SAS No. 99 “Auditor perlu memperluas lingkup informasi yang mereka gunakan untuk menilai resiko salah saji material karena kecurangan”. Faktor-faktor risiko kecurangan yang harus dipertimbangkan itu adalah (1) kejadian atau kondisi yang mengindikasikan intensif/tekanan untuk mendorong kecurangan, (2) kesempatan untuk melakukan kecurangan, (3) sikap/rasionalisasi untuk membenarkan tindakan kecurangan. Disamping menilai faktor risiko kecurangan terdapat indikator-indikator lain untuk menilai strategi audit, diantaranya:
20
1) Risiko Audit Menurut Barlow, et.al (1995) dalam Supardi (2008) bisnis klien dalam kesehariannya tidak terlepas dari risiko. Risiko adalah tindakan yang menyimpang dari keadaan yang diharapkan. Sedangkan menurut Standar Profesional Akuntan Publik SA 312 dalam Supardi (2008), risiko audit adalah risiko yang timbul karena auditor tanpa disadari tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan. Dari sudut pandang auditor, keberadaan risiko dari sebuah bisnis klien yang diaudit akan mempengaruhi suatu transaksi pencatatannya, perlakuan akuntansinya, yang akhirnya akan mempengaruhi kewajaran laporan keuangan. Sehingga auditor harus mengurangi risiko audit pada tingkat yang paling rendah untuk mendukung pendapatnya mengenai kewajaran laporan keuangan. Pada tingkat saldo akun atau golongan transaksi terdapat 3 risiko yaitu: (1) risiko bawaan, (2) risiko pengendalian, (3) risiko deteksi. Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan anggapan tidak terdapat pengendalian yang terkait. Risiko pengendalian adaah risiko bahwa salah saji material yang terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah dan dideteksi dengan cepat oleh pengendalian intern. Sedangkan risiko deteksi adalah risiko bahwa auditor tdak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi (Supardi, 2008).
21
2) Sampel Dalam melaksanakan tugas audit, untuk mendukung pendapatnya mengenai kewajaran laporan keuangan seorang auditor perlu mengumpulkan bukti audit yang cukup. Sebagaimana yang dicantumkan dalam standar audit pekerjaan lapangan yang ketiga yaitu “Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit”. Tidak semua bukti audit harus dikumpulkan oleh auditor, melainkan hanya beberapa bukti saja atau disebut dengan sampel. Menurut PSA No. 26 dalam Vegirawati (2011), sampling audit adalah penerapan prosedur audit terhadap kurang dari seratus persen unsur dalam suatu saldo akun atau kelompok transaksi dengan tujuan untuk menilai beberapa karakteristik saldo akun atau kelompok transaksi tersebut. Ada beberapa alasan mengapa auditor menggunakan sampel dalam proses pemeriksaan, yaitu (1) biaya yang digunakan lebih rendah dibandingkan menggunakan populasi, (2) akurasinya lebih tinggi, karena bukti yang diperlukan dengan metode sampling lebih sedikit sehingga pengumpulan buktinya lebih cepat dan tersedianya elemen populasi (Vegirawati, 2011). Terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam sampling audit yaitu: a. Non Statistical Sampling Pada pendekatan ini, auditor tidak menggunakan teknik statistik untuk menentukan ukuran sampel, pemilihan sampel dan atau pengukuran risiko sampling pada saat mengevaluasi hasil sampel.
22
b. Statistical Sampling Pada teknik ini, auditor menggunakan hukum probabilitas untuk menghitung ukuran sampel dan mengevaluasi hasil sampel, dengan demikian memungkinkan auditor untuk menggunakan ukuran sampel yang paling efisien dan mengkuantifikasi risiko sampling untuk tujuan mencapai kesimpulan statistik atas populasi. Statistical sampling dibagi menjadi dua yaitu attribute sampling dan variabel sampling. Attribute sampling atau disebut pula proporsional sampling digunakan terutama untuk menguji efektivitas pengendalian intern (dalam pengujian pengendalian), sedangkan variabel sampling digunakan terutama untuk menguji nilai rupiah yang tercantum dalam akun (dalam pengujian substantif). Menurut Messier, Glover dan Prawitt (2006: 374) keuntungan utama dari sampling statistik adalah membantu auditor dalam (1) merancang ukuran sampel yang efisien, (2) mengukur kecukupan dari bukti yang diperoleh, dan (3) mengkuantifikasi risiko sampling. Adapun tahapan dalam sampling audit antara lain: a) Menyusun rencana audit Kegiatan sampling audit diawali dengan penyusunan rencana audit. Pada tahap ini ditetapkan (1) jenis pengujian yang akan dilakukan, (2) tujuan pengujian, (3) populasi yang akan diteliti, (4) asumsi-asumsi yang akan digunakan dalam penelitian.
23
b) Menetapkan jumlah/unit sampel Tahap berikutnya adalah menetapkan unit sampel. Jika digunakan metode sampling statistik, unit sampel ditetapkan dengan menggunakan rumus/formula statistik sesuai dengan jenis sampling yang dilakukan. Pada tahap ini hasilnya berupa pernyataan mengenai jumlah unit sampel yang harus diuji pada populasi yang menjadi objek penelitian. c) Memilih sampel Setelah diketahui jumlah sampel yang harus diuji, langkah selanjutnya adalah memilih sampel dari populasi yang diteliti. Jika menggunakan sampling statistik, pemilihan sampelnya harus dilakukan secara acak (random). d) Menguji sampel Melalui tahap pemilihan sampel, peneliti mendapat sajian sampel yang harus diteliti. Selanjutnya, auditor menerapkan prosedur audit atas sampel tersebut. Hasilnya, auditor akan memperoleh informasi mengenai keadaan sampel tersebut. e) Mengestimasi keadaan populasi Selanjutnya, berdasarkan keadaan sampel yang telah diuji, auditor melakukan evaluasi hasil sampling untuk membuat estimasi mengenai keadaan
populasi.
penyimpangan/kesalahan,
Misalnya estimasi
sebagainya.
24
berupa nilai
estimasi
interval
tingkat
populasi,
dan
f) Membuat simpulan hasil audit Berdasarkan estimasi (perkiraan) keadaan populasi di atas, auditor membuat simpulan hasil audit. Biasanya simpulan hasil audit ditetapkan dengan memperhatikan atau membandingkan derajat kesalahan dalam populasi dengan batas kesalahan yang dapat ditolerir oleh auditor. Jika kesalahan dalam populasi masih dalam batas toleransi, berarti populasi dapat dipercaya. Sebaliknya, jika kesalahan dalam populasi melebihi batas toleransi, populasi tidak dapat dipercaya. 3) Compliance Test (Pengujian Kepatuhan) Menurut Agoes (2004) compliance test adalah tes terhadap bukti-bukti pembukuan yang mendukung transaksi yang terjadi, sudah diproses dan dicatat sesuai dengan sistem dan prosedur yang ditetapkan manajemen. Tujuan dari pengujian kepatuhan adalah untuk menilai efektifitas dari pengendalian manajemen dengan melakukan pemeriksaan secara sampling atas bukti, bukti pembukuan, sehingga bisa diketahui apakah transaksi bisnis perusahaan dan pencatatan akuntansinya sudah dilakukan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan manajemen perusahaan. Terdapat tiga model pengujian kepatuhan antara lain: a) Fixed sample size attribute sampling Merupakan pengambilan sampel yang ditujukan untuk memperkirakan persentase terjadinya mutu tertentu dalam suatu populasi. Model ini digunakan terhadap suatu elemen pengawasan intern, dan auditor akan memperkirakan dan menemukan beberapa penyimpangan atau kesalahan.
25
b) Stop or Go Attribute Sampling Metode ini akan membantu auditor mengambil sampel yang terlalu banyak dengan cara menghentikan pengujian yang sedini mungkin. Metode ini dapat digunakan jika peneliti yakin kesalahan yang diperkirakan dalam populasi sangat kecil. c) Discovery Sampling Model ini digunakan jika kemungkinan kesalahan yang diperkirakan dalam populasi sangat kecil. Dalam metode ini auditor menginginkan kemungkinan untuk menemukan paling tidak satu kesalahan. 4) Analytical Test (Prosedur Analitis) Prosedur analitis menurut SAS 56 dalam Supardi (2008) adalah evaluasi terhadap informasi keuangan yang dibuat dengan mempelajari hubungan diantara data keuangan dan data non keuangan termasuk perbandingan yang diharapkan oleh auditor. Menurut Boynton dan Keli (2003), tujuan dari prosedur analitis dalam auditing adalah a) Dalam tahap perencanaan audit, membantu auditor dalam merencanakan audit, waktu dan tujuan prosedur audit. b) Dalam tahap pengujian, sebagai pengujian substantif untuk memperoleh bukti tentang asersi tertentu yang berhubungan dengan saldo atau golongan transaksi. c) Pada tahap kesimpulan audit, sebagai review akhir dalam menilai kewajaran penyajian laporan keuangan yang telah diaudit secara keseluruhan.
26
2.1.7
Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan pendeteksian kecurangan sudah sering
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pandangan kepada semua pihak yang bertanggungjawab untuk mengatasi masalah kecurangan. Hasil dari penelitian tentang kecurangan ini adalah dengan tercetusnya teori Fraud Triangle ole Cressey (1953), dimana dalam teori ini disebutkan bahwa terdpat tiga kondisi yang selalu muncul saat kecurangan terjadi, yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rasioalization). Teori ini telah diadopsi dalam standar auditing dan dianggap sebagai salah satu literatur utama dalam menjelaskan fenomena kecurangan dalam perusahaan. Skousen et al. (2009) telah menguji secara empiris kemampuan teori tersebut dalam menjelaskan terjadinya kecurangan laporan keuangan. Tetapi, dalam konteks Indonesia belum dapat digeneralisasi. Oleh karena itu, masih terjadi pertanyaan penelitian tentang generalisasi temuan peneitian terdahulu. Hal ini desebabkan karema kondisi sosial, politik, budaya, dan ekonomi serta faktor regulasi tata kelola perusahaan yang berbeda. Pada tahun 2009 penelitian dilakukan oleh Widyastuti dan Pamudji untuk menguji pengaruh kompetensi, independensi dan profesionalisme terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dari penelitian tersebut diperoleh
hasil
bahwa
kompetensi,
independensi
dan
profesionalisme
mempengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan instrumen pendidikan dan pengalaman untuk
27
mengukur kompetensi. Yenny (2012) mengukur kompetensi auditor dengan indikator personal (ciri-ciri psikologis), pengetahuan umum, dan keahlian khusus. Aulia (2013) dalam penelitiannya memberikan hasil yang signifikan dimana pengalaman yang dimiliki auditor sangat berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan. Suryani dan Vanya (2014) meneliti tentang pengaruh pengalaman, risiko audit dan keahlian auditor terhadap pendeteksian kecurangan. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan hasil positif dari pengaruh pengalaman, risiko audit dan keahlian auditor terhadap pendeteksian kecurangan. Hilmi (2011) menyatakan bahwa pengalaman auditor akan memberikan gambaran kepada auditor untuk lebih mengenali tanda-tanda adanya tindak kecurangan. Pendapatnya tersebut sejalan dengan pendapat Sularso dan Na’im (1999) yang menyatakan bahwa auditor berpengalaman akan memiliki ketelitian yang lebih tinggi mengenai kekeliruan, dan auditor berpengalaman menggunakan intuisi lebih banyak dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman. Berkaitan dengan standar pengauditan yang masih memerlukan perbaikan, studi yang dilakukan oleh Erickson et al. (2000) juga memberikan argumen terkait dengan pemahaman bisnis dan industri klien. Dia mengungkapkan bahwa pemahaman bisnis dan industri klien hanya sepintas saja disinggung dalam standar pengauditan, bahkan dalam SAS No. 82 tidak memberika panduan dalam memahami bisnis dan industry klien. Padahal untuk bisa mendeteksi ada tidaknya indikasi kecurangan di dalam perusahaan perlu dilakukan pemahaman yang mendalam mengenai bisnis dan industry klien baik secara internal maupun eksternal. Hal ini aan sangat membantu auditor dalam menentukan strategi apa yang akan digunakan untuk mendeteksi kecurangan yang ada di perusahaan.
28
2.2.
Hipotesis Penelitian
2.2.1
Pengaruh Pemahaman Bisnis Klien Terhadap Strategi Pendeteksian Kecurangan Menurut SA Seksi 318 “Dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan,
auditor harus memperoleh pengetahuan tentang bisnis yang cukup untuk memungkinkan auditor mengidentifikasi dan memahami peristiwa, transaksi, dan praktik, yang menurut pertimbangan auditor, kemungkinan berdampak signifikan atas laporan keuangan atau atas laporan audit. Pemahaman tentang bisnis dan penggunaan informasi dapat membantu auditor dalam (1) penaksiran risiko dan identifikasi masalah, (2) perencanaan dan pelaksanaan audit secara efektif dan efisien, (3) evaluasi bukti audit, (4) penyediaan jasa yang lebih baik bagi klien. Beberapa peneliti telah memberikan masukan penting mengenai hal ini, Erickson et al. (2000) mencatat perbedaan antara bukti berdasar transaksi dengan bukti berdasarkan pemahaman bisnis. Ini akan lebih efektif digunakan untuk mendeteksi adanya tindakan kecurangan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Jhonson et al. dalam Koroy (2008), ia mengambil subjek para partner audit menemukan bahwa partner yang mampu melihat isyarat melalui suatu fault model dan mampu mendeteksi kecurangan, dibanding partner yang menggunakan functional model. Fault model adalah model yang memberi perhatian pada hal-hal yang mengandung kesalahan, model ini diperoleh melalui pemahaman atas bidang industri klien. Melalui model ini, memungkinkan auditor memfokuskan diri pada dimana manipulasi tersebut terjadi, sehingga skeptisme yang sepantasnya dapat diterapkan. Sedangkan functional model meberikan ekspektasi berdasarkan hubungan antara akun-akun seperti penjualan dan marjin laba.
29
Dari penjelasan diatas maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1: Pemahaman atas bisnis klien berpengaruh positif terhadap strategi pendeteksian kecurangan.
2.2.2 Pengaruh Pengalaman Audit Terhadap Strategi
Pendeteksian
Kecurangan Peneliatian yang dilakukan Aulia (2013) dan juga Suryani dan Vanya (2014) memberikan hasil yang sama dimana pengalaman yang dimiliki auditor sangat berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan. Menurut Aulia (2013) pengalaman auditor berhubungan dengan pengetahuan yang dimiliki auditor. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki maka auditor semakin mampu untuk mendeteksi kecurangan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Tirta dan Sholihin (2004) dan Mui (2010) juga menyebutkan bahwa auditor yang berpengalaman akan memiliki pengetahuan tentang kekeliruan dan kecurangan yang lebih banyak sehingga akan menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam mendeteksi kasus-kasus kecurangan dibandingkan dengan auditor yang tidak berpengalaman. Hilmi (2011) menyatakan bahwa pengalaman auditor akan memberikan gambaran kepada auditor untuk lebih mengenali tanda-tanda adanya tindak kecurangan. Penelitian dalam psikologi (Hayes-Roth and Hayes-Roth 1975; Hutchinso 1983; Murpy and Wright 1984 dalam Aulia (2013)) telah menunjukan bahwa seseorang dengan pengalaman lebih pada suatu bidang kajian tertentu, mempunyai lebih banyak hal yang disimpan dalam ingatannya. Oleh karena itu,
30
dengan bertambahnya pengalaman auditing, jumlah kecurangan yang diketahui oleh auditor diharapkan akan bertambah. Dari penjelasan diatas maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: H2: Pengalaman audit berpengaruh positif terhadap strategi pendeteksian kecurangan.
2.2.3
Pengaruh Kompetensi Auditor Terhadap Strategi Pendeteksian Kecurangan Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti dan Pamudji (2009) untuk
menguji pengaruh kompetensi, independensi dan profesionalisme terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dari penelitian tersebut diperoleh
hasil
bahwa
kompetensi,
independensi
dan
profesionalisme
mempengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Sikap kompetensi diperlukan agar auditor dapat mendeteksi dengan cepat dan tepat ada atau tidaknya kecurangan serta trik-trik rekayasa yang dilakukan untuk melakukan kecurangan tersebut. Keahlian yang dimiliki auditor dapat menjadikannya lebih sensitive (peka) terhadap suatu tindak kecurangan (Lastanti, 2005). Alim, dkk (2007) juga membuktikan bahwa kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit, di mana salah satu indikasi kualitas audit yang baik adalah jika kecurangan yang ada dalam audit tersebut dapat dideteksi. Tirta dan Sholihin (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengetahuan tugas spesifik mempengaruhi kinerja auditor dalam menilai kecurangan dan kombinasi pengalaman serta pelatihan kecurangan akan meningkatkan kinerja auditor dalam menilai kecurangan. Ardini dan Sawarjuwono (2005) juga menyatakan untuk
31
mengungkap kecurangan, auditor memerlukan kompetensi yang diperoleh dari keahliannya. Kesimpulannya, kompetensi atau keahlian yang dimiliki auditor sangat penting dalam proses pelaksanaan audit khususnya dalam pendeteksian kecurangan. Dengan adanya kompetensi, auditor memiliki pengetahuan yang cukup akan memudahkan auditor dalam membaca atau menemukan indikasiindikasi kecurangan dibandingkan dengan yang kurang atau tidak memiliki kompetensi atau keahlian audit. Dari penjelasan diatas maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: H3: Kompetensi auditor berpengaruh positif terhadap strategi pendeteksian kecurangan.
32