BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Penalaran Moral 1. Penalaran Moral Penalaran dalam Suharnan (2005) sering disebut juga jalan pikiran, menurut Keraf (1991) adalah suatu proses berfikir yang berusaha menghubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju pada suatu kesimpulan. Menurut Soekadijo (1988) penalaran adalah aktivitas menilai hubungan proposisi – proposisi yang disusun di dalam bentuk premis – premis, kemudian menentukan kesimpulannya. Pendapat serupa yang sangat sederhana diberikan oleh Kafie (1989) bahwa penalaran merupakan jalan pikiran (proses) ketika orang akan mengambil kesimpulan tertentu. Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penalaran ialah suatu proses kognitif dalam menilai hubungan diantara premis – premis yang akhirnya menuju pada penarikan kesimpulan tertentu. Dalam jurnal psikologi dan masyarakat dikatakan bahwa konsep moralitas yang diajukan oleh Kohlberg dengan istilah penalaran moral (moral reasoning, moral thinking, moral judgement) tidak terkait dengan kondisi sosio-budaya tertentu. Moralitas tidak ada kaitannya dengan jawaban atas pertanyaan apa yang baik/buruk, tetapi terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa sesuatu dianggap baik/buruk. Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral. 9
Penalaran moral adalah proses berpikir yang mendasari keputusan benar dan salah. Moralitas pada dasarnya dipandang oleh Kohlberg sebagai suatu konflik antara kepentingan diri dan lingkungan, dan antara hak dan kewajiban yang harus diselesaikan. Dengan demikian, moralitas, yang diidentikkan dengan penyelesaian konflik antara kepentingan diri dan lingkungan merupakan hasil timbang menimbang antara kedua komponen tersebut. Dengan cara pandang seperti ini dapat diidentifikasi berbagai macam
pola pertimbangan,
longitudinal,
ternyata
yang setelah
didalamnya
dikaji
terdapat
dalam
urutan
penelitian tahap-tahap
perkembangan moral yang sifatnya universal. Kohlberg mengidentifikasi perkembangan penalaran moral menjadi enam tahap yang dibagi dalam tiga tingkat (level), yaitu tingkat prakonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pasca-konvensional. Untuk memahami tahapan-tahapan tersebut, akan sangat membantu jika kita memulai dengan tiga tingkatan moral. Tingkatan pra-konvensional ialah tingkatan yang dicapai oleh sebagian besar anak di bawah umur 9 tahun, sejumlah remaja, dan semakin banyak remaja serta pelaku tindak kriminal usia dewasa.
Tingkatan konvensional adalah tingkatan yang dicapai oleh
sebagian besar remaja serta orang dewasa dalam masyarakat Amerika dan pada sebagian besar masyarakat lainnya.
Tingkatan post-konvensional
dicapai oleh minoritas orang dewasa dan biasanya hanya dicapai setelah usia 20 – 25 tahun.
Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, istilah
10
konvensional bukan berarti bahwa setiap individu yang berada pada tingkatan ini tidak mampu membedakan antara konvensi moralitas dengan konvensi sosial namun lebih condong bahwa moralitas terdiri dari sistem aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial. Seseorang yang berada di tingkatan pre-konvensional belum benar-benar memahami serta membenarkan norma-norma serta ekspektasi-ekspektasi moral yang dibagi secara sosial. Mereka yang berada pada tingkatan postkonvensional memahami dan biasanya bisa menerima aturan-aturan masyarakat,
namun
penerimaan
terhadap
aturan-aturan
masyarakat
didasarkan pada perumusan serta penerimaan prinsip-prinsip moral umum yang mendasari aturan-aturan tersebut.
Prinsip-prinsip tersebut pada
sejumlah kasus menimbulkan konflik dengan aturan-aturan masyarakat, di mana kasus post-konvensional individual lebih dinilai oleh prinsip daripada oleh konvensi.
2. Tahapan Penalaran Moral Tingkat I: Pra-Konvensional Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
11
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang bersifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat prakonvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perspektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Tingkat II: Konvensional Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat
12
konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orangorang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik’. Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
13
Tingkat III: Pasca-Konvensional Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan
pasca-konvensional
sering
tertukar
dengan
perilaku
pra-
konvensional. Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut, ‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyakbanyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima. Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk
14
tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, jarang sekali yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini. Kohlberg menyebutkan contoh tokoh yang mencapai penalaran moral tahap ke-6, yaitu Mahatma Gandhi, Martin Luther King, dan Galileo. Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu berlakulah dalil berikut: 1. Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya. 2. Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya.
15
3. Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertarik pada cara berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap 3, berdasarkan inilah Kohlberg percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan. 4. Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Seseorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehingga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.
3. Peningkatan Tahap Perkembangan Penalaran Moral Menurut teori perkembangan sosio-kognitif dalam jurnal psikologi dan masyarakat, peningkatan tahap perkembangan penalaran moral terjadi oleh karena adanya rangsangan. Rangsangan yang tentu saja didefinisikan dalam pengertian struktur kognitif ini juga harus bersifat sosial, yakni berhubungan dengan sesuatu yang datang dari interaksi sosial dan dari pembuatan keputusan moral,dan dialog moral dan interaksi moral. Rangsangan yang hanya mengandung aspek kognisi (penalaran logis) saja memang merupakan dasar terjadinya peningkatan tahap perkembangan moral (prerequisite- condition), tetapi tidak mempengaruhi perkembangan penalaran moral secara langsung.
16
Kohlberg mengutarakan bahwa terdapat paralelisme “terbatas” (“terbatas” = tambahan penulis) antara perkembangan kognisi dan perkembangan penalaran moral. Seseorang dengan tahap berkembangan kognisi pada concrete operatinal akan terbatas tahap penalaran moralnya pada tahap 1 dan 2. Seseorang dengan tahap perkembangan kognisi pada formal operation yang rendah, akan terbatas pada penalaran moral tingkat conventional (tahap 3 dan 4). Meskipun perkembangan kognisi merupakan kondisi yang penting untuk perkembangan penalaran moral,itu belum cukup (necessary but not sufficient condition). Menurut penelitian Colby & Kohlberg, banyak individu yang tahap perkembangan kognisinya lebih tinggi daripada tahap perkembangan penalaran moral yang seharusnya merupakan paralelnya, dan tak ada seorang pun yang mempunyai tahap penalaran moral yang lebih tinggi dari pada tahap perkembangan kognisinya. Selain paralelisme antara tahap perkembangan penalaran moral dan tahap perkembangan kognisi, Kohlberg juga mengutarakan bahwa ada hubungan yang erat antara tahap alih peran (role taking ) atau presepsi sosial, atau perpektif sosial seperti yang diutarakan oleh Selman. Tahap alih peran juga merupakan prerequisite condition dari tahap penalaran moral. Urutan horisontal perkembangan di antara tiga domain tersebut membawa
konsekuensi
pada
konseptualisme
rangsangan
yang
menyebabkan peningkatan tahap penalaran moral. Telah diutarakan bahwa untuk mencapai tahap perkembangan kognisi tertentu, dan ketiadaan
17
rangsangan kognisi dapat menerangkan batas tahap tertinggi penalaran moral yang dicapai. Kohlberg memberi contoh bahwa di suatu desa di Turki tahap formal operation jarang ditemui. Sehubung dengan itu, kita tidak dapat mengharapkan bahwa penalaran post-conventional dapat berkembang dalam konteks kultur semacam itu. Faktor lain yang penting sebagai rangsangan peningkatan tahap penalaran moral adalah kesempatan-kesempatan alih peran (role taking opportunities). Alih peran berarti mengambil sikap dari sudut pandang orang lain, atau singkatnya, menempatkan diri pada posisi orang lain. Ada beberapa kesempatan ahli peran yang mungkin dialami oleh seseorang, seperti melalui hubungan antar individu dalam keluarga, dalam kelompok sebaya, di sekolah, dan dalam masyarakat luas. Dalam hubungan keluarga, salah satu faktor yang menentukan peningkatan tahap perkembangan moral adalah bila orang tua mendorong terjadinya dialog mengenai issue nilai-nila. Sebab, dalam dialog keluarga semacam itu terjadi pertukaran sudut pandang serta sikap-sikap yang disebut kesempatan alih peran. Dalam hubungan dengan teman sebaya, bagi anak atau remaja yang banyak berpatisipasi dalam pergaulan teman sebaya, kemungkinan peningkatan tahap perkembangan penalaran moral akan lebih besar dibandingkan dengan mereka yang kurang bergaul. Dalam hubungannya dengan status dalam masyarakat luas, Kohlberg telah mengadakan
penelitian
kolerasi
antara
status
sosial-ekonomi
dan
perkembangan penalaran moral di berbagai kultur. Kohlberg beranggapan
18
bahwa anak-anak dengan status sosial-ekonomi menengah lebih mempunyai kesempatan untuk mengambil sudut pandang baik dari level atas maupun dari level bawah. Dengan demikian, dapat diramalkan bahwa pada umumnya tahap perkembangan penalaran moral
anak-anak dari status
sosial-ekonomi menengah lebih tinggi daripada status sosial-ekonomi lainnya.
B. Kemampuan Kognisi 1. Pengertian Kognisi Kognisi merupakan kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia:269). Istilah kognisi berbeda dengan istilah kecerdasan (intelegensi). Tetapi kedua istilah tersebut sangat erat kaitannya. Kognisi dapat diartikan sebagai proses memahami sesuatu yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan (Alimin, 2008). Dimana pemahaman tersebut diperoleh melalui proses yaitu proses sensoris dan persepsi (visual, auditif, kinestetik, dan taktual). Sedangkan kecerdasan (intelegensi) dapat diartikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi, mencapai prestasi, memecahkan masalah, menginterpretasikan stimulus yang diperoleh, memodifikasi tingkah laku, memahami konsep atau kemampuan untuk merespon terhadap butir-butir pada tes inteligensi.
19
Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya. Menurut Myers (1996), “Cognition refers to all the mental activities associated with thinking, knowing, and remembering. “Pengertian yang hampir senada juga diberikan oleh Margaret W. Matlin (1994), yaitu : “cognition, or mental activity, involves the acquisition, storage, retrieval, and use of konwledge. “Dalam Dictionary of Psychology karya Drever, dijelaskan bahwa “kognisi adalah istilah umum yang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian dan penalaran. Dari beberapa pengertian diatas maka dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif adalah sebuah istilah yang menunjuk pada semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, imajinasi, penangkapan makna penilaian dan penalaran, pengolahan informasi, memecahkan masalah serta berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya.
2. Perkembangan Struktur Kognitif Jean Piaget menyebut struktur kognitif sebagai skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya dan berlangsung terus20
menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
adalah
proses
kognitif
di
mana
seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya (Suparno, 2001:22). Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Menurut Wadsworth dalam (Suparno, 2001:22)
asimilasi
tidak
menyebabkan
perubahan
skema,
tetapi
memperkembangkan skema. Sebagai contoh, seorang anak yang baru pertama kali melihat harimau maka ia akan menyebut harimau itu sebagai kucing besar, karena ia baru memiliki konsep kucing yang sering dilihatnya. Ia memiliki konsep kucing dalam skemanya dan ketika ia melihat harimau untuk pertama kalinya, maka konsep kucinglah yang paling dekat dengan stimulus. Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Sebagai contoh seorang bayi yang menjatuhkan sebuah benda dengan cara yang berbeda-beda, maka ia sedang memodifikasi skema cara menjatuhkan benda dalam rangka mengambil berbagai objek yang berbeda. (Berk, 2003: 219)
21
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistim kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap berikutnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisi dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.
3. Tahap Perkembangan Kognitif Menurut para ahli psikologi perkembangan, perkembangan individu berlangsung secara terus menerus dan tidak terjadi lompatan. Begitu pun halnya dengan perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif individu akan bergerak dari tahap dasar menuju tahap berikutnya secara berurutan dimana tahap sebelumnya akan menjadi dasar bagi perkembangan tahap selanjutnya. Jean
Piaget,
seorang
ahli
psikologi,
secara
garis
besar
mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat tahap, yaitu tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasional konkrit, dan tahap operasional formal. a. Tahap Sensorimotor Tahap paling awal perkembangan kognitif terjadi pada waktu bayi lahir sampai sekitar berumur 2 tahun. Tahap ini disebut tahap sensorimotor oleh Piaget. Ciri pokok perkembangannya adalah anak
22
mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek. Pada tahap sensorimotor, intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap lingkungannya, seperti melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau dan lain-lain. Pada tahap sensorimotor, gagasan anak mengenai suatu benda berkembang dari periode “belum mempunyai gagasan” menjadi “ sudah mempunyai gagasan”. Gagasan mengenai benda sangat berkaitan dengan konsep anak tentang ruang dan waktu yang juga belum terakomodasi dengan baik. Struktur ruang dan waktu belum jelas dan masih terpotongpotong, belum dapat disistematisir dan diurutkan dengan logis. Menurut Piaget, mekanisme perkembangan sensorimotor ini menggunakan
proses
asimilasi
dan
akomodasi.
Tahap-tahap
perkembangan kognitif anak dikembangkan dengan perlahan-lahan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema-skema anak karena adanya masukan, rangsangan, atau kontak dengan pengalaman dan situasi yang baru. Tahap sensorimotor dibagi menjadi enam sub tahap: 1) Subtahap perilaku reflex. Di antara perilaku bawaan ini adalah reflex untuk mengisap, reflex untuk memutar kepalanya ke arah benda yang menyentuh pipinya, reflex untuk menggenggam, dan kecenderungan untuk memfokuskan penglihatannya pada stimuli yang tingkat kompleksitasnya cukup tinggi.
23
2) Subtahap reaksi sirkuler primer (primary circular reactions), usia 1-4 bulan. Reaksi ini adalah gerakan reflex yang berulang dengan sendirinya karena menimbulkan kesenangan (misalnya mengisap ibu jari). 3) Subtahap reaksi sirkuler sekunder (secondary circular reactions), usia 4-8 bulan. Ini adalah gerakan berulang seperti reaksi primer tetapi menggunakan benda di luar diri bayi, misalnya memukul-mukulkan mainan ke pinggir tempat tidurnya. 4) Subtahap koordinasi reaksi sirkuler sekunder, usia 8-12 bulan. Anak memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan pola-pola perilaku, dan mulai menggunakan satu kegiatan sebagai cara untuk melakukan kegiatan lain; misalnya mendorong tangan ayah untuk mengambil mainan yang diinginkannya. 5) Subtahap reaksi sirkuler tersier (tertiary circular reactions), usia 1215 bulan. Ini adalah tindakan yang diulang-ulang tetapi dengan pola yang bervariasi; misalnya anak berulang-ulang menjatuhkan tempat sabun dengan posisi yang berbeda-beda. 6) Subtahap penciptaan cara baru melalui kombinasi mental (invention of new means through mental combination), usia 15-24 bulan. Subtahap ini merupakan transisi ke tahap selanjutnya karena pada masa ini anak mengembangkan kemampuan untuk melambangkan obyek dan peristiwa secara simbolik. Untuk pertama kalinya, anak dapat berpikir tentang hal-hal yang tidak dilihatnya, dan dapat memecahkan masalah
24
dengan memikirkan suatu tindakan tertentu. Dengan kata lain, anak sudah mulai belajar berpikir. b. Tahap Praoperasional Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan simbol atau bahasa tanda dan konsep intuitif. Istilah “operasi” di sini adalah suatu proses berfikir logik, dan merupakan aktivitas sensorimotor. Dalam tahap ini anak sangat egosentris, mereka sulit menerima pendapat orang lain. Anak percaya bahwa apa yang mereka pikirkan dan alami juga menjadi pikiran dan pengalaman orang lain. Mereka percaya bahwa benda yang tidak bernyawa mempunyai sifat bernyawa. Tahap pra operasional ini dapat dibedakan atas dua bagian. Pertama, tahap pra konseptual (2-4 tahun), dimana representasi suatu objek dinyatakan dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan. Kedua, tahap intuitif (4-7 tahun). Pada tahap ini representasi suatu objek didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri, tidak kepada penalaran. Karakteristik anak pada tahap ini adalah sebagai berikut: 1) Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di lingkungan bermainnya dengan pengalaman pribadinya, dan karenanya ia menjadi egois. Anak tidak rela bila barang miliknya dipegang oleh orang lain. 2) Anak belum memiliki kemampuan untuk memecahkan masalahmasalah
yang
membutuhkan
pemikiran
“yang dapat
dibalik
(reversible).” Pikiran mereka masih bersifat irreversible.
25
3) Anak belum mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi sekaligus, dan belum mampu bernalar (reasoning) secara individu dan deduktif. 4) Anak bernalar secara transduktif (dari khusus ke khusus). Anak juga belum mampu membedakan antara fakta dan fantasi. Kadang-kadang anak seperti berbohong. Ini terjadi karena anak belum mampu memisahkan kejadian sebenarnya dengan imajinasi mereka. 5) Anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat dan isi). 6) Menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi alasan mengenai apa yang mereka percayai. Anak dapat mengklasifikasikan objek ke dalam kelompok yang hanya mempunyai satu sifat tertentu dan telah mulai mengerti konsep yang konkrit. c. Tahap Operasi Konkrit Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkrit. Tahap operasi konkrit (concrete operations) dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Anak sudah memperkembangkan
operasi-operasi
logis.
Operasi
itu
bersifat
reversible, artinya dapat dimengerti dalam dua arah, yaitu suatu pemikiran yang dapat dikembalikan kepada awalnya lagi. Tahap operasi konkrit dapat ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan apa-apa yang kelihatan nyata/konkrit.
26
Ciri-ciri operasi konkrit yang lain, yaitu: 1) Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh Pada tahap ini, seorang anak mulai dapat menggambarkan secara menyeluruh ingatan, pengalaman dan objek yang dialami. Menurut Piaget, adaptasi dengan lingkungan disatukan dengan gambaran akan lingkungan itu. 2) Melihat dari berbagai macam segi Anak pada tahap ini mulai dapat melihat suatu objek atau persoalan secara sedikit menyeluruh dengan melihat aspek-aspeknya. Ia tidak hanya memusatkan pada titik tertentu, tetapi dapat bersama-sama mengamati titik-titik yang lain dalam satu waktu yang bersamaan. 2) Seriasi Proses seriasi adalah proses mengatur unsur-unsur menurut semakin besar atau semakin kecilnya unsur-unsur tersebut. Menurut Piaget , bila seorang anak telah dapat membuat suatu seriasi maka ia tidak akan mengalami banyak kesulitaan untuk membuat seriasi selanjutnya. 3) Klasifikasi Menurut Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi bermacam-maam objek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa menjadi satu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi.
27
4) Bilangan Dalam percobaan Piaget, ternyata anak pada tahap praoperasi konkrit belum dapat mengerti soal korespondensi satu-satu dan kekekalan, namun pada tahap tahap operasi konkrit, anak sudah dapat mengerti soal korespondensi dan kekekalan dengan baik. Dengan perkembangan ini berarti konsep tentang bilangan bagi anak telah berkembang. 5) Ruang, waktu, dan kecepatan Pada umur 7 atau 8 tahun seorang anak sudah mengerti tentang urutan ruang dengan melihat interval jarak suatu benda. Pada umur 8 tahun anak
sudah dapat mengerti relasi urutan waktu dan juga
koordinasi dengamn waktu, dan pada umur 10 atau 11 tahun, anak sadar akan konsep waktu dan kecepatan. 6) Probabilitas Pada tahap ini, pengertian probabilitas sebagai suatu perbandingan antara hal yang terjadi dengan kasus-kasus yang mulai terbentuk. 7) Penalaran Dalam pembicaraan sehari-hari, anak pada tahap ini jarang berbicara dengan suatu alasan, tetapi lebih mengatakan apa yang terjadi. Pada tahap ini, menurut Piaget masih ada kesulitan dalam melihat persoalan secara menyeluruh.
28
8) Egosentrisme dan Sosialisme Pada tahap ini, anak sudah tidak begitu egosentris dalam pemikirannya. Ia sadar bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran lain.
Pada tahap operasi konkrit siswa tidak akan bisa memahami konsep tanpa benda-benda konkrit. Selain itu, pada tahap ini Piaget mengidentifikasi adanya enam jenis konsep yang berkembang selama anak berada pada tahap operasi konkrit,yaitu: 1) Kekekalan Banyak ( 6 – 7 Tahun ) Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep banyak yaitu jika suatu benda yang sama banyaknya meskipun dibedakan susunannya banyaknya akan tetap sama. 2) Kekekalan Materi ( 7 – 8 Tahun ) Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan materi yaitu jika 2 materi yang sama banyak, salah satunya dipindahkan ke tempat yang lebih kecil atau lebih besar maka materi tersebut tetap berjumlah sama. 2) Kekekalan Panjang ( 7 – 8 Tahun ) Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan panjang yaitu panjang suatu benda jika diubah bentuknya akan tetap sama.
29
3) Kekekalan Luas ( 8 – 9 Tahun ) Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan luas yaitu luas suatu benda akan tetap sama walau bentuk benda tersebut telah kita ubah. 4) Kekekalan Berat ( 9 – 10 Tahun ) Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan berat yaitu berat suatu benda akan tetap sama walaupun benda tersebut dipindahkan ketempat yang berbeda-beda atau di bagi 2.
d. Tahap Operasional Formal Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis. Tahap operasi formal (formal operations) merupakan tahap terakhir dalam perkembangan kognitif menurut Piaget. Pada tahap ini, seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu. Cara berpikir yang abstrak mulai dimengerti. Sifat pokok tahap operasi formal adalah pemikiran deduktif hipotesis, induktif saintifik, dan abstrak reflektif. 1) Pemikiran Deduktif Hipotesis Pemikiran deduktif adalah pemikiran yang menarik kesimpulan yang spesifik dari sesuatu yang umum. Kesimpulan benar hanya jika premis-premis yang dipakai dalam pengambilan keputusan benar.
30
Alasan deduktif hipotesis adalah alasan/argumentasi yang berkaitan dengan kesimpulan yang ditarik dari premis-premis yang masih hipotetis. Jadi, seseorang yang mengambil kesimpulan dari suatu proposisi yang diasumsikan, tidak perlu berdasarkan dengan kenyataan yang real. Dalam pemikiran remaja, Piaget dapat mendeteksi adanya pemikiran
yang
logis,
meskipun
para
remaja
sendiri
pada
kenyataannya tidak tahu atau belum menyadari bahwa cara berpikir mereka itu logis. Dengan kata lain, model logis itu lebih merupakan hasil kesimpulan Piaget dalam menafsirkan ungkapan remaja, terlepas dari apakah para remaja sendiri tahu atau tidak. 2) Pemikiran Induktif Saintifik Pemikiran induktif adalah pengambilan kesimpulan yang lebih umum berdasarkan kejadian-kejadian yang khusus. Pemikiran ini disebut juga dengan metode ilmiah. Pada tahap pemikiran ini, anak sudah mulai dapat membuat hipotesis, menentukan eksperimen, menentukan variabel kontrol, mencatat hasil, dan menarik kesimpulan. Disamping itu mereka sudah dapat memikirkan sejumlah variabel yang berbeda pada waktu yang sama. 3) Pemikiran Abstraksi Reflektif Menurut Piaget, pemikiran analogi dapat juga diklasifikasikan sebagai abstraksi reflektif karena pemikiran itu tidak dapat disimpulkan dari pengalaman.
31
Faktor yang ketiga adalah interaksi sosial. Maryati dan Suryawati (2003) menyatakan bahwa, “Interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respons antar individu, antar kelompok atau antar individu dan kelompok” (Jurnalsdm.blogspot.com). Interaksi sosial tidak hanya terjadi antara anak dengan orang dewasa saja, tetapi antara anak dengan teman sebayanya dan teman yang lebih besar atau lebih kecil dengannya.
4. Perkembangan Kognisi Anak Tunarungu Inteligensi seorang tunarungu dalam
Imas Diana (Disertasi,
2010),secara potensial pada umumnya sama dengan anak orang normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasa (Myklebust, dalam Moores, 1982:148). Keterbatasan informasi dan kurangnya daya abstraksi pada seorang tunarungu akan menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian perkembangan inteligensi secara fungsionalpun terhambat. Hal ini mengakibatkan seorang tunarungu kadang menampakkan keterlambatan dalam belajar. Cruikshank yang dikutip oleh Siregar (1981:6) mengemukakan bahwa: Anak-anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami oleh anak, tetapi juga tergantung pada potensi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan mental, serta dorongan dari lingkungan luar yang
32
memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu. Pendapat senada dikemukakan Rittenhouse yang dikutip Hallahan & Kauffman (1998:285) bahwa, “ … karena anak tunarungu berprestasi sangat jauh di bawah rata-rata kelas sekolahnya terutama di kelas yang agak tinggi, ada anggapan bahwa kemampuan kognitif mereka kurang”. Selanjutnya dijelaskan bahwa “kesulitan akademik yang dihadapi anak tunarungu bukanlah karena masalah kognitif yang kurang akan tetapi sebenarnya kesulitan dalam berbahasa dan pendidiklah yang belum memaksimalkan kelebihan kognitif anak tunarungu”. Apa yang dikemukakan oleh Pintner (Moores, 1982:154) sangat mempengaruhi persepsi orang tentang kemampuan kognitif anak tunarungu, yang menyatakan bahwa “anak tunarungu jauh tertinggal dibandingkan anak normal dan anak tunarungu itu inferior (rendah) inteligensinya”. Beberapa hasil penelitian lain mempertegas pernyataan Pintner, diantaranya adalah hasil penelitian MacKone et all, yang menyatakan bahwa inteligensi anak tunarungu lebih rendah daripada anak normal. Pengkajian Myklebust (1953) sebagai review terhadap Pintner, memperlihatkan hasil yang berbeda, yaitu bahwa anak-anak tunarungu secara
umum
tidaklah
inferior
inteligensinya.
Namun
Myklebust
menyatakan bahwa sekalipun apabila anak tunarungu secara kuantitatif (skor IQ-nya) sama dengan anak normal, tetapi secara kualitatif mereka belum tentu sama. Lebih lanjut dikatakan, aspek kualitatif dari fungsi
33
perseptual dan konseptual dan penalaran anak tunarungu nampaknya berbeda. Rosenstein (1961), melakukan review terhadap sejumlah penelitian terhadap orang tunarungu dan ditemukan bahwa tidak ada perbedaan antara orang tunarungu dengan orang normal dalam performa konseptualnya, asalkan faktor-faktor linguistik yang diberikannya dikenal oleh subjek. Rosenstein menyimpulkan bahwa anak tunarungu juga dapat berfikir abstrak.
5. Hambatan dalam Perkembangan Fungsi Kognitif Anak Tunarungu Kerusakan pendengaran dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan keterbelakangan mental , karena anak tunarungu tidak dapat menangkap petunjuk atau menunjukkan respons terhadap satu situasi di mana terjadi satu situasi percakapan. Keadaan seperti itu bukan karena anak tunarungu memiliki kecerdasan
yang
rendah
seperti
anak
terbelakang
,akan
tetapi
disebabkan karena anak tunarungu tidak dapat menerima rangsangan suara yang dapat ia pahami. Hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Myklebust
(1964)
membuktikan bahwa anak tunarungu pada umumnya memiliki kemampuan intelektual
rata-rata
sama
seperti
anak
normal. Namun
demikian
kemampuan intelektual yang berkaitan dengan aspek-aspek konseptual yang berkaitan dengan bahasa jauh di bawah kemampuan anak normal.
34
Hal ini sejalan dengan pendirian Piaget (1964) bahwa perkembangan kognisi sangat tergantung pada perkembangan bahasa. Oleh karena itu meskipun secara umum anak tunarungu memiliki kemampuan kecerdasan relatif
sama
dengan
memiliki hambatan
anak dalam
normal,
akan
perkembangan
tetapi
anak
tunarungu
berbahasa ,
maka
perkembangan kognitif anak tunarungu jauh di bawah anak normal. Sebagai contoh anak normal dapat memahami konsep-konsep: indah, bahagia, jujur, adil,dan sebagainya. Secara otomatis dari pergaulan seharihari, anak tunarungu mengalami kesulitan untuk memahami maksud dari konsep-konsep
tersebut,
tanpa
tindakan-tindakan
khusus
untuk
memahaminya. Karena kesulitan bahasa anak tunarungu tidak akan memahami maksud sebuah konsep abstrak secara utuh dan akurat. Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam proses pembentukan pengertian, oleh karena itu perkembangan pengetahuan anak tunarungu sangat terbatas di bandingkan dengan anak normal. Anak tunarungu menunjukan kemampuan terbaiknya dalam hal-hal yang berkaitan dalam bidang mekanikal, bidang motorik dan pemahaman fakta-fakta kongkrit. Hans Tursh (1973) membuktikan bahwa anak tunarungu mempunyai kemampuan kognitif relatif sama dengan anak normal dalam menyelesaikan tugas-tugas yang tidak memerlukan penjelasan lisan atau tugas-tugas yang lebih banyak menggunakan persepsi visual seperti misalnya , memahami konsep klasifikasi yaitu, menyimpulkan benda-benda berdasarkan ciri-ciri tertentu misalnya ukuran bentuk atau warnanya, atau memahami konsep
35
konstruksi , kemampuan menyadari bahwa jumlah atau isi sebuah objek tidak akan berubah meskipun terjadi perubahan penampilan benda tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan kognitif anak tunarungu tertinggal jauh di bawah anak normal dalam hal-hal yang berhubungan dengan konsep yang bersifat verbal, sedang keterampilan kognitif yang berkenaan dengan pemecahan masalah-masalah yang kongkrit seperti konservasi dan klasifikasi, anak tunarungu memiliki kemampuan yang relatif sama pendidikan bagi mereka.
C. Kemampuan Komunikasi 1. Pengertian Komunikasi Komunikasi adalah keterampilan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dimana dapat kita lihat komunikasi dapat terjadi pada setiap gerak langkah manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang tergantung satu sama lain dan mandiri serta saling terkait dengan orang lain dilingkungannya. Satu-satunya alat untuk dapat berhubungan dengan orang lain dilingkungannya adalah komunikasi, baik secara verbal maupun non verbal (bahasa tubuh dan isyarat yang banyak dimengerti oleh suku bangsa). Komunikasi merupakan proses individu bertukar informasi dan menyampaikan pikirannya, dimana ada pengirim pesan yang mengkodekan pesan dan penerima mengkodekan pesan atau memahami pesan (Bernstein & Tiegerman, 1993). Proses komunikasi terjadi melalui bahasa (Krech D. dkk, 1982, hal:273). Bentuk bahasa yang berupa isyarat/gestur, tulisan,
36
gambar, simbol atau wicara. Dalam proses komunikasi, komunikasi dan komunikator menjalin hubungan yang saling memahami bahasa yang digunakan sebagai alat penyampai pesan. Istilah komunikasi (dalam bahasa Inggrisnya communication) berasal dari kata latin, yaitu communicare yang berarti memberi (impart). Communicare bersumber dari kata communis yang berarti sama makna mengenai suatu hal (Permanarian, 2007). Komunikasi terjadi karena adanya pematangan sistem biologis dan sistem syaraf dalam tubuh anak. Maka bila pematangan sistem tersebut terhambat, terhambat pulalah komunikasi seseorang. Definisi komunikasi yang dikemukakan oleh Hybels & Weaver dalam
Permanarian
Somad
(2007:67),
bahwa
komunikasi
adalah
penyampaian dan penerimaan pesan atau informasi diantara dua orang atau lebih dengan menggunakan simbol verbal dan non verbal. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1980), atau yang terwujud dalam sistem tanda yang dipahami orang untuk melahirkan
pikiran,
perasaan
(Purwadarminta,
1982),
yang
dapat
diisyaratkan sedemikian rupa kepada orang lain sehingga orang lain yang menerima akan mengerti baik penyampaiannya dilakukan melalui tulisan,
37
bicara, isyarat, mimik, pantomim atau gaste (Hurlock, 1980), (Imas Diana Aprilia, 2010). Dance dan Stappers 1970 (Purwaka Hadi, 2007:44) menyusun enam katagori ‘serba makna’ tentang definisi komunikasi, yang intinya adalah: 1. Komunikasi sebagai aktivitas dari suatu pihak, 2. Aktivitas datang dari pihak lain sehingga terjadi pengaruh mempengaruhi, 3. Komunikasi menekankan
hubungan,
4.
Komunikasi
menekankan
sharing
atau
kepemilikan, 5. Komunikasi sebagai transmisi informasi, 6. Komunikasi sebagai penggunaan lambang dan isyarat. Selanjutnya berdasarkan pendefinisian tersebut maka disimpulkan bahwa: a. Komunikasi sebagai proses sosial, b. Komunikasi sebagai peristiwa, c. Komunikasi sebagai ilmu, d. Komunikasi sebagai kiat atau keterampilan.
2. Jenis Komunikasi Pada dasarnya komunikasi digunakan untuk menciptakan atau meningkatkan aktifitas hubungan antara manusia atau kelompok Jenis komunikasi terdiri dari: 1.
Komunikasi verbal dengan kata-kata
2.
Komunikasi non verbal disebut dengan bahasa tubuh Komunikasi Verbal mencakup aspek-aspek berupa ;
a. Vocabulary (perbendaharaan kata-kata). Komunikasi tidak akan efektif bila pesan disampaikan dengan kata-kata yang tidak dimengerti, karena itu olah kata menjadi penting dalam berkomunikasi.
38
b. Racing (kecepatan). Komunikasi akan lebih efektif
dan sukses bila
kecepatan bicara dapat diatur dengan baik, tidak terlalu cepat atau terlalu lambat. c. Intonasi suara: akan mempengaruhi arti pesan secara dramatik sehingga pesan akan menjadi lain artinya bila diucapkan dengan intonasi suara yang berbeda. Intonasi suara yang tidak proposional merupakan hambatan dalam berkomunikasi. d. Humor: dapat meningkatkan kehidupan yang bahagia. Dugan (1989), memberikan
catatan
bahwa
dengan
tertawa
dapat
membantu
menghilangkan stress dan nyeri. Tertawa mempunyai hubungan fisik dan psikis dan harus diingat bahwa humor adalah merupakan
satu-
satunya selingan dalam berkomunikasi. e. Singkat dan jelas. Komunikasi akan efektif bila disampaikan secara singkat dan jelas, langsung pada pokok permasalahannya sehingga lebih mudah dimengerti. f. Timing (waktu yang tepat) adalah hal kritis yang perlu diperhatikan karena berkomunikasi akan berarti bila seseorang
bersedia untuk
berkomunikasi, artinya dapat menyediakan waktu untuk mendengar atau memperhatikan apa yang disampaikan.
Komunikasi Non Verbal Komunikasi non verbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata dan komunikasi non verbal memberikan arti pada komunikasi verbal.
39
Yang termasuk komunikasi non verbal : a. Ekspresi wajah. Wajah merupakan sumber yang kaya dengan komunikasi, karena ekspresi wajah cerminan suasana emosi seseorang. b. Kontak mata, merupakan sinyal alamiah untuk berkomunikasi. Dengan mengadakan kontak mata selama berinterakasi atau tanya jawab berarti orang tersebut terlibat dan menghargai lawan bicaranya dengan kemauan untuk memperhatikan bukan sekedar mendengarkan. Melalui kontak mata juga memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengobservasi yang lainnya c. Sentuhan, adalah bentuk komunikasi personal mengingat sentuhan lebih bersifat spontan dari pada komunikasi verbal. Beberapa pesan seperti perhatian yang sungguh-sungguh, dukungan emosional, kasih sayang atau simpati dapat dilakukan melalui sentuhan. d. Postur tubuh dan gaya berjalan. Cara seseorang berjalan, duduk, berdiri dan bergerak memperlihatkan ekspresi dirinya. Postur tubuh dan gaya berjalan merefleksikan emosi, konsep diri, dan tingkat kesehatannya. e. Sound (Suara). Rintihan, menarik nafas panjang, tangisan juga salah satu ungkapan
perasaan
dan pikiran
seseorang yang dapat dijadikan
komunikasi. Bila dikombinasikan dengan semua bentuk komunikasi non verbal lainnya sampai desis atau suara dapat menjadi pesan yang sangat jelas. f.
Gerak
isyarat,
adalah
yang dapat
mempertegas
pembicaraan
Menggunakan isyarat sebagai bagian total dari komunikasi
.
seperti
40
mengetuk-ngetukan kaki atau mengerakkan tangan menunjukkan seseorang dalam keadaan
stress
selama berbicara
bingung atau sebagai
upaya untuk menghilangkan stress
3. Proses Komunikasi Berdasarkan paradigma Laswell, Effendi (1994:11-19) membedakan proses komunikasi menjadi dua tahap, yaitu: a. Proses komunikasi secara primer Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam komunikasi adalah pesan verbal (bahasa), dan pesan nonverbal. Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Prosesnya sebagai berikut, pertama komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. Ini berarti komunikator memformulasikan pikiran atau perasaan ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian, komunikan menterjemahkan (decode) pesan dari komunikator. Ini berarti komunikan menafsirkan lambang yang mengandung perasaan dan pikiran komunikator. Menurut Wilbur Schramm (dalam Effendy, 1994) menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni
41
perpaduan pengalaman dan pengertian yang diperoleh komunikan. Kemudian Schramm juga menambahkan, bahwa komunikasi akan berjalan secara lancar apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan. b. Proses komunikasi secara sekunder Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media ke dalam dua komunikasi karena komunikan sebagai sarana berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, fax, radio, dll merupakan media yang sering digunakan dalam komunikasi.
4. Kemampuan Komunikasi Tunarungu Menurut Anton Van Uden (dalam Bunawan dan Cecilia, 2000) bentuk komunikasi pada anak tunarungu tidak berbeda dengan bentuk komunikasi anak yang mendengar, yaitu dapat dibedakan antara bentuk komunikasi ekspresif dan bentuk komunikasi reseptif. Komponen komunikasi ekspresif meliputi bicara, berisyarat, berejaan jari, menulis dan memimik. Sedangkan komponen komunikasi reseptif meliputi membaca ujaran, membaca isyarat, membaca ejaan jari, membaca mimik serta memanfaatkan sisa pendengaran dengan alat bantu.
42
Kemampuan berkomunikasi seorang tunarungu berbeda dengan orang mendengar, karena dampak langsung dari ketunarunguan itu mengakibatkan (1)
terbatasnya/kurangnya
pemerolehan
atau
perbendaharaan
bahasa
(vocabulary) akibatnya mereka mengalami kelambatan dalam perkembangan komunikasi,
(2)
terhambatnya
komunikasi
secara
reseptif
(menangkap/memahami pembicaraan orang lain) dan secara ekspresif (bicara). Sejak kecil anak yang mendengar mampu belajar bicara dan berbahasa dengan cara meniru kata-kata sebagai hasil dari kemampuan mendengar dari lingkungannya. Anak mampu menangkap dan meniru sederetan bunyi yang berarti yaitu berupa kata-kata, kalimat, bentuk kata, gagasan ataupun iramanya dan berupaya untuk memperbaiki ucapannya sampai ucapan kata-katanya sama benar dengan kata-kata yang didengarnya. Lain halnya dengan anak tunarungu, ia tidak mampu menangkap kata-kata atau pembicaraan orang lain melalui pendengarannya, sehingga tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa meraban. Proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual atau menangkap pembicaraan orang lain melalui gerak bibir. D.A. Ramsdell (1962) yang dikutip Bunawan & Yuwati (2000:1) menyatakan bahwa fungsi pendengaran bagi manusia ada beberapa jenjang, yaitu (1) sebagai jenjang lambang adalah untuk memahami bunyi bahasa, (2) sebagai jenjang tanda/peringatan yaitu sebagai pertanda akan adanya suatu kejadian dalam lingkungan manusia, dan (3) jenjang primitif dimana bunyi hanya berfungsi sebagai latar belakang segala kegiatan hidup sehari-hari. Kondisi ketiga fungsi tersebut berlangsung secara progresif, simultan, dan
43
terintegratif. Bagi seorang tunarungu proses pencapaian fungsi melalui jenjang tersebut di atas, akan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah sejak kapan
mengalami
ketunarunguan,
pada
intensitas
berapa
kehilangan
pendengaran, dan dimana letak ketunarunguannya. Ada beberapa cara untuk berkomunikasi dengan tunarungu, (1) bicara harus berhadapan dan diusahakan sejajar, (2) harus melihat muka pembicara, (3) jarak harus sesuai dengan daya jangkau penglihatan, (4) bicara wajar dan jangan dibuat-buat, (5) berekspresi dan melodius, (6) cahaya harus cukup terang, (7) mulut tidak tertutup dengan benda lain, (8) artikulasi jelas, (9) kalimat sederhana, dan (10) pemakaian isyarat harus simultan. Kualitas berkomunikasi seorang tunarungu pada akhirnya akan dipengaruhi juga oleh terjadinya proses interaksi di mana didalamnya terjadi umpan balik (feed
back) sebagai modalitas
yang akan
membantu
mengoptimalisasikan diri sebagai makhluk sosial.
D. Keterkaitan antara Kemampuan Kognisi dan Kemampuan Komunikasi terhadap Penalaran Moral Anak Tunarungu Untuk menggambarkan bagaimana keterkaitan antara penalaran moral, kemampuan kognisi, dan kemampuan komunikasi anak tunarungu dapat diilustrasikan pada bagan sebagai berikut:
44
KOMUNIKASI BAIK
KOGNISI
PENALARAN MORAL
Anak Tunarungu KOMUNIKASI KURANG
KOGNISI
PENALARAN MORAL
Gambar 2.1 Keterkaitan Kemampuan Komunikasi dan Kemampuan Kognisi Pada Penalaran MoralAnak Tunarungu
Dalam kenyataan sehari-hari sering terdengar sebutan terhadap individu yang mengalami gangguan pendengaran, diantaranya dengan istilah-istilah seperti; tuna wicara, tuli bisu, cacat dengar dan ada istilah lain yaitu tunarungu. Pada hakekatnya penyebutan istilah-istilah tersebut, tertuju pada satu objek yaitu individu yang mengalami gangguan pendengaran atau hambatan pendengaran. Istilah yang tepat dalam dunia pendidikan adalah dengan sebutan tunarungu, karena secara implisit mengandung dua pengertian yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Gearhart (1980) yang dikutip Neely (1982:95-96) dalam The Conference of Executives of America School for The Deaf, mendefinisikan tunarungu sebagai berikut: “ A deaf person is one whose hearing disability is so great that he or she cannot understand speech through the use of the ear alone, with or without a hearing aid. A hard of hearing person is one whose hearing disability makes it difficult to hear but who can,
45
with or without the use of hearing aid, understand speech”. Definisi tersebut menekankan bahwa tunarungu merupakan istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, yang digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Dampak langsung dari ketunarunguan adalah (1) terbatasnya/kurangnya pemerolehan atau perbendaharaan bahasa (vocabulary) akibatnya mereka mengalami kelambatan dalam perkembangan komunikasi, (2) terhambatnya komunikasi secara reseptif (menangkap/memahami pembicaraan orang lain) dan secara ekspresif (bicara).Proses komunikasi terjadi melalui bahasa (Krech D. dkk, 1982, hal:273). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Myklebust (1964) membuktikan bahwa anak tunarungu pada umumnya memiliki kemampuan intelektual rata-rata sama seperti anak normal. Namun demikian kemampuan intelektual yang berkaitan dengan aspek-aspek konseptual yang berkaitan dengan bahasa jauh di bawah kemampuan anak normal. Hal ini sejalan dengan pendirian Piaget (1964) bahwa perkembangan kognisi sangat tergantung pada perkembangan bahasa. Oleh karena itu meskipun secara umum
anak tunarungu memiliki kemampuan kecerdasan
relatif
anak
sama
dengan
normal,
akan
tetapi
anak
tunarungu
memiliki hambatan dalam perkembangan berbahasa , maka perkembangan kognitif anak tunarungu jauh di bawah anak normal. Sebagai contoh anak normal dapat memahami konsep-konsep: indah, bahagia, jujur, adil,dan sebagainya. Secara otomatis dari pergaulan sehari-hari, anak tunarungu mengalami kesulitan untuk memahami maksud dari konsep-
46
konsep tersebut, tanpa tindakan-tindakan khusus untuk memahaminya. Karena kesulitan bahasa anak tunarungu tidak akan memahami maksud sebuah konsep abstrak secara utuh dan akurat. Persoalan penalaran moral sebagai sesuatu yang abstrak diperkirakan akan sulit dipahami oleh anak-anak tunarungu. Karena belajar berprilaku dengan cara yang disetujui oleh masyarakat merupakan proses yang panjang, lama, dan terus berlanjut sampai masa remaja. Proses belajar tersebut dapat mencapai hasil jika kemampuan anak untuk belajar tidak mengalami hambatan. Artinya perkembangan moral seseorang anak banyak dipengaruhi oleh kemampuan kognisinya. Walaupun kognisi bukan satu-satunya faktor yang menjamin peningkatan penalaran moral (Berk, 2003:491).
47