6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Pelajaran Matematika Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berfikir. Karena itu matematika sangat diperlukan baik untuk kehidupan sehari-hari maupun dalam dalam menghadapi kemajuan IPTEK sehingga matematika perlu dibekalkan kepada setiap siswa sejak SD, bahkan sejak TK. Namun matematika yang ada pada hakekatnya merupakan suatu ilmu yang cara benalarnya deduktif formal dan abstrak, harus diberikan kepada anak-anak sejak SD yang cara berfikirnya masih pada tahap operasi konkret. Oleh karena itu kita peru berhati-hati dalam menanamkan konsep matematika tersebut. di satu pihak siswa SD berfikirnya masih sangat terbatas, artinya berpikirnya dengan dikaitkannya dengan bendabenda konkret ataupun gambar-gambar konkret, dipihak lain matematika itu obyek-obyek penelaahannya abstrak, artinya hanya ada dalam pemikiran manusia sehingga matematika itu hanyalah suatu hasil karya dari kerja otak manusia. 2.1.1 Pengertian Matematika Depdiknas (2004: 7), Berbagai pendapat muncul tentang pengertian matematika, dipandang dari pengetahuan dan pengalaman dari masing-masing yang berkepentingan. Ada yang mengatakan matematika itu bahasa symbol; Matematika adalah bahasa yang dapat menghilangkan bahasa kabur, majemuk, dan emosional; Matematika adalah berfikir logis; Matematika adalah sarana berfikir; Matematika adalah logika pada masa dewasa; Matematika adalah ratunya
7
ilmu sekaligus pelayannya; Matematika adalah sains mengenai kuantitas dan besaran; Matematika adalah suatu sains yang bekerja menarik kesimpulankesimpulan yang perlu; Matematika adalah sains formal yang murni; Matematika adalah sains yang memanipulasi symbol; Matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang; Matematika adalah ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk, dan struktur; Matematika adalaah ilmu yang abstrak dan deduktif; Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik; Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi; Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logic dan berhubungan dengan bilangan; Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk; Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik; matematika adalah pengetahauan tentang aturanaturan yang ketat, dan Matematika adalah aktivitas manusia. Depdiknas (2004: 17), Matematika berasal dari bahasa latin Manthema yang berarti belajar atau hal yang dipelajari, Matematika dalam bahasa Belanda disebut Wiskunde atau Ilmu pasti, yang kesemuannya berkaitan dengan penalaran. Berdasarkan Etimologi, Perkataan matematika berarti Ilmu Pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Konon, hingga saat ini pun tidak ada yang bisa mendefinisikan matematika dengan sempurnah dalam satu kalimat. Kebanyakan adalah definisi yang tidak utuh karena hanya dengan sudut pandang tertentu. Matematika tumbuh dan berkembang karena proses berfikir, oleh karena itu logika adalah dasar untuk terbentuknya matematika. Logika adalah masa bayi dari matematika, sebaliknya
8
matematika adalah masa dewasa dari logika. Sejalan dengan berkembangnya matematika, maka banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai matematika. James dan James (dalam http://masih-berbagi.blogspot.com/2012/08/ pengertian-matematika-menurut-beberapa.html,
1976)
mengatakan
bahwa
matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi kedalam tiga bidang, yaitu : aljabar, analisis dan geometri. Namun pembagian yang jelas amatlah sukar untuk dibuat, sebab cabang-cabang itu semakin bercampur. Johnson dan Rising (dalam http://masih-berbagi.blogspot.com/2012/08/ pengertian-matematika-menurut-beberapa.html,
1972)
berpendapat
bahwa
matematika adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logic, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan symbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Reys dkk (dalam http://masih-berbagi.blogspot.com/2012/08/ pengertianmatematika-menurut-beberapa.html, 1984) mengatakan bahwa matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat. Kline
(dalam
http://masih-berbagi.blogspot.com/2012/08/
pengertian-
matematika-menurut-beberapa.html, 1973) mengemukakan bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri,
9
tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dam menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. 2.1.2 Karakteristik Matematika Walau tidak terdapat satu pengertian tentang matematika yang tunggal dan disepakati oleh semua tokoh atau pakar matematika namun dapat terlihat adanya ciri-ciri khusus atau karakteristik yang dapat merangkum pengertian matematika secara umum. Beberapa karekteristik itu adalah Depdiknas (2004: 9-13): 1. Memiliki objek abstrak Dalam matematika objek dasar yang dipelajari adalah abstrak yang disebut objek mental. objek-objek itu merupakan objek pikiran. ojek dasar itu meliputi fakta, konsep, operasi ataupun relasi dan prinsip. 2. Bertumpu pada kesepakatan Dalam matematika kesepakatan merupakan suatu tumpuan yang amat penting. Kesepakatan yang amat mendasar adalah aksioma dan konsep primitive. Aksioma diperlukan untuk menghindarkan berputarputarnya argumentasi dalam pembuktian. Sedangkan konsep primitif diperlukan untuk menghindarkan berputar-putar dalam pendefinisian. 3. Berpola berfikir deduktif Dalam Matematika sebagai “Ilmu” hanya diterima pola berfikir deduktif. Pola berfikir deduktif secara sederhana dapat diktakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan pada hal yang bersifat khusus”
10
4. Memiliki simbol yang kosong dari arti Dalam matematika terdapat banyak sekali simbol yang digunakan baik berupa huruf ataupun bukan huruf. Rangkaian simbol-simbol dalam matematika dapat membentuk suatu model matematika. Misalnya tanda“+” belum tentu operasi tambah untuk dua bilangan. makna huruf tanda tergantung dari permasalahan yang mengakibatkan terbentuknya model itu. 5. Memperhatikan semesta pembicaraan Sehubungan dengan kosongnya arti dari simbol-simbol dan tandatanda dalam matematika jelas bahwa dalam menggunakan matematika diperlukan kejelasan dalam lingkup apa simbol itu dipakai. 6. Konsisten dalam sistemnya Dalam matematika terdapat banyak sistem. Ada sistem yang mempunyai kaitan satu sama lain tetapi juga ada sistem yang dapat dipandang terlepas satu sama lain. 2.2 Hakekat Anak Sekolah Dasar Banyak para ahli yang memandang bahwa siswa sekolah dasar dipandang sebagai individu-individu yang berbeda dan tahap kemampuan berfikirnya masih dalam tahap berfikir konkret. Hal ini sesuai dengan beberapa pandangan para ahli yang diuraikan pada bahasan berikut Budhayanti dkk (2009). 2.2.1 Piaget Piaget memandang bahwa setiap individu mengalami perubahan perilaku yang mendasari penetapan tahap-tahap perkembangan kognitif. Tiap tahapan
11
perkembangan menggambarkan isi struktur kognitif yang khas sesuai perbedaan antar tahapan. Berikut tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget : 1. Tahap Sensorimotor, ( 0 – 2 tahun ) Pada tahap sensorimotor anak menganal lingkungan dengan kemampuan sensorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaraan, perabaan dan menggerak-gerakannya. 2. Tahap Praoperasional ( 2-7 tahun ) Pada tahap praoperasional, anak mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah menggunakan simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi membuat gambar dan menggolong-golongkan. 3. Tahap Operasional konkret ( 7-11 tahun ) Pada tahap ini, daya kemampuan anak telah berkembangan. Anak sudah berfikir logis untuk memecahkan masalah konkret. 4. Tahap operasional Formal ( 11 tahun ke atas ) Kecakapan kognitif mencapai puncak perkembangan. Anak mampu memprediksi, berfikir tentang situasi hipotesi, tentang hakekat berfikir serta mengapresiasi struktur bahasa dan berdialog. Pada tahap-tahap perkembangan siswa diuraikan di atas menunjukkan bahwa setiap anak sekolah dasar umumnya berada pada umur sekitar 7-11 tahun. Pada usia ini menunjukkan bahwa taraf berfikir siswa masih dalam taraf berfikir
12
operasi konkret. Dalam kaitannya dengan bahasan Bab I sebelumnya perlu dibantu dengan benda-benda konkret. 2.2.2 Bruner Bruner (dalam Nyimas, 2007:6) menyatakan cara menyajikan pelajaran harus disesuaikan dengan derajat berfikir anak dan membagi tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam tiga tahap, yaitu : 1. Tahap Enaktif Yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan dimana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata. 2. Tahap Ikonik Yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan dimana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas. 3. Tahap Simbolik Yaitu suatu tahap pembelajaran dimana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk symbol-simbol abstrak (Abstract symbols yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat) lambanga-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak lainnya.
13
Bruner melalui teorinya itu (dalam Nyimas, 2007:6) mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan memamnipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika. Pandangan di atas mendukung pandangan Piaget yang menekankan pembelajaran matematika di SD sebaiknya dimulai dengan menggunakan bendabenda konkret. 2.2.3 Dienes Menurut Dienes (dalam Nyimas, dkk,2007:8) “objek-objek konkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik.” Menurut Dienes (dalam Ruseffendi, 1992:125-127), konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu, Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi enam tahap, yakni : 1) Permainan Bebas (Free Play) 2) Permainan yang Menggunakan Aturan (Games) 3) Pemainan Kesamaan Sifat (Searching for Communalities) 4) Permainan Representasi (Representation) 5) Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization) 6) Permainan dengan Formalisasi (Formalization) 2.2.4 Van Hiele Menurut Van Hiele (dalam Nyimas, 4-2) terdapat lima tahapan pemahaman geometri, yaitu :
14
1) Tahap Pengenalan, pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. 2) Tahap Analisis, pada tahap ini anak sudah memahami sifat-sifat dari bangunbangun geometri. 3) Tahap Pengurutan, pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. 4) Tahap Deduksi, pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. 5) Tahap Keakuratan, pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. 2.3 Pengertian Pembelajaran Kontekstual (Dalam
http://www.pendidikanekonomi.com/2012/03/pengertian-tujuan-
dan-strategi.html) Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran kontekstual merupakan prosedur pendidikan yang bertujuan membentu siswa memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara
15
menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sendiri dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat. CTL memiliki dua peranan dalam pendidikan yaitu sebagai filosofi pendidikan dan sebagai rangkaian kesatuan dari strategi pendidikan. Sebagai filosofi pendidikan, CTL mengasumsikan bahwa peranan pendidik adalah membantu siswa menemukan makna dalam pendidikan dengan cara membuat hubungan antara apa yang mereka pelajari di sekolah dan cara-cara menerapkan pengetahuan tersebut di dunia nyata. Hal ini dimaksudkan untuk membantu siswa memahami mengapa yang mereka pelajari itu penting. Sedangkan sebagai strategi, strategi pengajaran dengan CTL memadukan dengan teknik-teknik yang membantu siswa menjadi lebih aktif sebagai pebelajar dan reflektif terhadap pengalamannya. Belajar kontekstual akan terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang telah diajarkan yang berkaitan dengan masalah nyata dengan peranan dan tanggung jawabya sebagai anggota keluarga, warganegara, siswa dan pekerja. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berfikir yang tinggi, transfer pengetahuan yang lintas disiplin akademik, pengumpulan, analisis dan sintesis informasi atau data dari berbagai sumber dan sudut pandangan. Blanchard (2001:19) memandang pembelajaran kontekstual sebagai suatu konsepsi yang membantu Guru menghubungan isi materi pelajaran dengan situasi dunia nyata yang berguna untuk memotivasi siswa dalam membuat hubunganhubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga, masyarakat dan lingkungan kerja.
16
Menurut Nurhadi (dalam Sugiyanto, 2007) CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Menurut Jonhson (dalam Sugiyanto, 2007) CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan untuk menolong para siswa melihat makna didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyeksubyek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka. Parnel (dalam Owens, 2001) menyatakan bahwa dalam pengajaran Kontekstual, tugas utama guru adalah memperluas persepsi siswa sehingga makna atau pengertian itu menjadi mudah ditangkap dan tujuan pembelajaran segera dapat dimengerti. Pembelajaran kontekstual merupakan integrasi dari banyak praktek atau teknik-teknik pengajaran yang baik dan beberapa reformasi pendidikan yang bermaksud untuk meningkatkan relevansi dan kemampuan fungsional pendidikan untuk semua siswa. Dengan demikian, inti pembelajaran kontekstual adalah melibatkan situasi dunia nyata sebagai sumber maupun terapan materi pelajaran. 2.3.1 Karakteristik Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan
17
nyata atau pembelejaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah. b. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna. c. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. d. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengkoreksi antar teman. e. Pembelajaran
memberikan
kesempatan
untuk
menciptakan
rasa
kebersaamaan, bekerja sama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam. f. Pembelajaran
dilaksanakan
secara
aktif,
kreatif,
produktif,
dan
mementingkan kerja sama. g. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan. Secara lebih sederhana karakteristik pembelajaran kontekstual dapat dinyatakan menggunakan sepuluh kata kunci yaitu: kerja sama, saling menunjang, menyenangkan, belajar dengan gairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, sharing dengan teman, siswa kritis dan guru kreatif. 2.3.2 Kelebihan Dan Kelemahan Pembelajaran Kontekstual A. Kelebihan Pembelajaran Kontekstual Menurut Anisa (2009) ada beberapa kelebihan dalam pembelajaran Kontekstual yaitu:
18
1. Pembelajaran lebih bermakna, Artinya, Siswa melakukan sendiri kegiatan yang berhubungan dengan materi yang ada sehingga siswa dapat memahaminya sendiri. 2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena pembelajaran Kontekstual menuntut siswa menemukan sendiri bukan menghafalkan. 3. Menumbuhkan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapt tentang materi yang dipelajari. 4. Menumbuhkan rasa ingin tahu tentang materi yang dipelajari dengan bertanya kepada guru. 5. Menumbuhkan kemampuan dalam bekerjasama dengan teman yang lain untuk memecahkan masalah yang ada. 6. Siswa dapat membuat kesimpulan sendiri dari kegiatan pembelajaran. B. Kelemahan Pembelajaran Kontekstual Menurut Dzaki (2009) kelemahan dalam pembelajaran Kontekstual yaitu: 1. Bagi siswa yang tidak dapat mengikuti pelajaran, tidak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang sama dengan teman lainnya karena siswa tidak mengalami sendiri. 2. Perasaan khawatir pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik kelompoknya.
siswa
karena
harus
menyesuaikan
dengan
19
3. Banyak siswa yang tidak senang apabila disuruh bekerjasama dengan yang lainnya, karena siswa yang tekun akan harus bekerja melebihi siswa lain dalam kelompoknya. Dari penjelasan diatas maka seorang guru dalam menerapkan model pembelajaran kontekstual harus dapat memperhatikan keadaan siswa dalam kelas. Selain itu, seorang guru juga harus mampu membagi kelompok secara heterogen, agar siswa yang pandai dapat membantu siswa yang kurang pandai. 2.3.3 Penerapan Pembelajaran Kontekstual Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan kontekstual, tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat desain/skenario pembelajarannya, sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol pelaksanaannya. Pada intinya pengembangan setiap komponen kontekstual tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Langkah pertama, Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan bekerja sendiri, menemukan
sendiri,
mengkonstruksi
sendiri
pengetahuan
dan
keterampilan baru yang harus dimilikinya. 2. Langkah kedua, Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik yang dikerjakan. 3. Langkah ketiga, mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan. 4. Langkah keempat, menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok, berdiskusi, Tanya-jawab, dan sebagainya.
20
5. Langkah kelima, menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model bahkan media yang sebenarnya. 6. Langkah keenam, membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap pembelajaran yang telah dilakukan. 7. Langkah ketujuh, melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemapuan yang sebenarnya pada setiap siswa. 2.3.4 Tujuan Pembelajaran Kontekstual 1. Model pembelajaran CTL ini bertujuan untuk memotivasi siswa untuk memahami
makna
materi
pelajaran
yang
dipelajarinya
dengan
mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa memiliki pengetahuan atau keterampilan yang secara refleksi dapat diterapkan dari permasalahan kepermasalahan lainnya. 2. Model pembelajaran ini bertujuan agar dalam belajar itu tidak hanya sekedar menghafal tetapi perlu dengan adanya pemahaman 3. Model pembelajaran ini menekankan pada pengembangan minat pengalaman siswa. 4. Model pembelajaran CTL ini bertujuan untuk melatih siswa agar dapat berfikir kritis dan terampil dalam memproses pengetahuan agar dapat menemukan dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain 5. Model pembelajaran CTL ini bertujuan agar pembelajaran lebih produktif dan bermakna
21
6. Model pembelajaran model CTL ini bertujuan untuk mengajak anak pada suatu aktivitas yang mengkaitkan materi akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari 7. Tujuan pembelajaran model CTL ini bertujuan agar siswa secara individu dapat menemukan dan mentransfer informasi-informasi komplek dan siswa dapat menjadikan informasi itu miliknya sendiri. 2.4 Kajian Penelitian Yang Relevan Penelitian tentang Implementasi Pembelajaran Kontekstual Pada mata pelajaran Matematika belum ada yang meneliti. Berikut ini uraian singkat: Penelitian ini dilakukan oleh Rahmawaty Mas Nusi Tahun 2013 dengan Judul “Meningkatkan Kemampuan Membandingkan Panjang Benda Melalui pendekatan Kontekstual pada siswa kelas 1 SDN No 1 Kota Barat Kota Gorontalo”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada siklus I terdapat 14 orang atau 53,33% dari 30 siswa yang memperoleh nilai 70 ke atas dengan demikian belum mencapai indicator kinerja yakni 75% siswa memperoleh nilai 70 ke atas, sehingga dilanjutkan siklus II. Pada siklus II terdapat 25 siswa atau 83,88% siswa yang memperoleh nilai 70 ke atas dan indikator telah tercapai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan melalui pendekatan kontekstual kemampuan siswa kelas SDN No. 1 Kota Barat dengan membandingkan panjang benda meningkat.