BAB II KAJIAN TEORI
2.1
Pengertian Hasil Belajar Menurut Syaiful Bahri Djamarah, 2010:105. Pengertian hasil belajar adalah suatu proses
belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila tujuan instruksional khusus (TIK)-nya dapat tercapai”. Untuk mengetahui tercapai tidaknya TIK, guru perlu mengadakan tes formatif setiap selesai menyajikan satu bahasan kepada siswa. Penilaian formatif ini untuk mengetahui sejauh mana siswa telah menguasai tujuan instruksional khusus (TIK) yang ingin dicapai. Fungsi penilaian ini adalah untuk memberikan umpan balik kepada guru dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar dan melaksanakan program remedial bagi siswa yang belum berhasil. Belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila hasilnya memenuhi tujuan instruksional khusus dari bahan tersebut. 2.1.1 Hakikat Belajar Mengajar Dalam kegiatan belajar mengajar, anak adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika anak didik berusaha secara aktif untuk mencapainya. Keaktifan anak didik di sini tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi juga dari segi kejiwaan. Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang akif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Karena pada hakikatnya belajar adalah
“perubahan” yang terjadi di dalam diri
seseorang setelah berakhirnya aktivitas belajar. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar. Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu proses, yaitu proses mengatur, mengorganisasi. Lingkungan yang ada disekitar anak didik, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak didik melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam melakukan proses belajar. Hakikat belajar adalah “perubahan” maka hakikat belajar mengajar adalah proses “pengaturan” yang dilakukan oleh guru. (Syaiful Bahri Djamarah, 2010:38). 2.1.2 Hakikat Hasil Belajar Dalam proses belajar mengajar siswa adalah yang menjadi fokus perhatian. Kegiatan yang dilakukan oleh guru tidak lain adalah untuk suatu upaya bagaimana lingkungan yang tercipta itu menyenangkan hati semua siswa dan dapat menggairahkan belajar siswa, itu berarti tidak ada seorang guru pun yang ingin agar siswanya tidak senang dan tidak bergairah dalam belajar, hal tersebut akan menggangu kelancaran kegiatan pengajaran. Faktor yang menentukan dalam mencapai keberhasilan belajar yaitu keterampilan mengajar. Suprayekti (2006:17) mengemukakan bahwa “Keterampilan mengajar adalah sejumlah kompotensi yang menampilkan kinerja secara professional” dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa pola interaksi belajar mengajar dapat diwujudkan guru mengarah pada pencapaian ketuntasan belajar. Agar kegiatan pengajaran dapat merangsang siswa untuk aktif dan kreatif belajar, tentu saja diperlukan lingkungan belajar yang kondusif. Salah satu upaya kearah itu adalah dengan cara memperhatikan beberapa prinsip menggunakan variasi dalam mengajar. Prinsip – prinsip penggunaan variasi mengajar itu adalah sebagai berikut :
1. Dalam menggunakan keterampilan variasi sebaiknya semua jenis variasi digunakan, selain itu juga ada variasi penggunaan komponen untuk tiap jenis variasi. Semua itu untuk mencapai tujuan belajar. 2. Menggunakan variasi secara lancar dan berkesinambungan sehingga, belajar mengajar yang utuh tidak rusak, perhatian anak didik dan proses belajar tidah terganggu. 3. Penggunaan variasi benar – benar terstruktur dan direncanakan oleh guru. (Syaiful Bahri Djamarah, 2010:166) Hasil belajar siswa adalah tujuan akhir dari setiap pembelajaran. Hasil belajar yang tuntas adalah indikasi bahwa kegiatan pembelajaran telah berhasil dan materi telah dipahami oleh siswa dengan signifikan. Mukhtar, (2007:131) mengemukakan bahwa “ menilai hasil belajar menguji siswa sesuai dengan sasaran pembelajaran yaitu seberapa jauh siswa menguasai materi, memperagakan keterampilan dan menunjukkan sikapnya sesuai yang diharapkan. 2.2
Pengertian Pembelajaran Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta
keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran mengisyaratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik. Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memadai, ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar. 2.3
Perhatian dan Motivasi Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori
belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadi belajar. Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan perhatian dan juga motivasi untuk mempelajarinya. Apabila dalam diri siswa tidak ada perhatian terhadap pelajaran yang dipelajari, maka siswa tersebut perlu dibangkitkan perhatiannya. Dalam proses pembelajaran, perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya, kalau peserta didik mempunyai perhatian yang besar mengenai apa yang dipelajari peserta didik dapat menerima dan memilih stimuli yang relevan untuk diproses lebih lanjut di antara sekian banyak stimuli yang datang dari luar. Perhatian dapat membuat peserta didik untuk mengarahkan diri pada tugas yang akan diberikan; melihat masalah-masalah yang akan diberikan; memilih dan memberikan fokus pada
masalah yang harus diselesaikan. Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya dan dengan demikian timbul motivasi untuk mempelajarinya. Misalnya, siswa yang menyukai pelajaran matematika akan merasa senang belajar matematika dan terdorong untuk belajar lebih giat, karenanya adalah kewajiban bagi guru untuk bisa menanamkan sikap positif pada diri siswa terhadap mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Motivasi dapat diartikan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Ada tidaknya motivasi dalam diri peserta didik dapat diamati dari observasi tingkah lakunya. Apabila peserta didik mempunyai motivasi, ia akan
Bersungguh-sungguh menunjukkan minat, mempunyai perhatian, dan rasa ingin tahu yang kuat untuk ikut serta dalam kegiatan belajar;
Berusaha keras dan memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan tersebut;
Terus bekerja sampai tugas-tugas tersebut terselesaikan. Motivasi dapat bersifat internal, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri peserta didik
dan juga eksternal baik dari guru, orang tua, teman dan sebagainya. Berkenaan dengan prinsip motivasi ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran, yaitu: memberikan dorongan, memberikan insentif dan juga motivasi berprestasi. 2.4
Keaktifan
Menurut pandangan psikologi anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak mengalami sendiri. John Dewey mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari dirinya sendiri, guru hanya sebagai pembimbing dan pengarah. Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak hanya menyimpan saja tanpa mengadakan transformasi. Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu mencari, menemukan dan menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Thordike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum "law of exercise"-nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan. Hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat jika sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan. Artinya dalam kegiatan belajar diperlukan adanya latihan-latihan dan pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat diingat lebih lama. Semakin sering berlatih maka akan semakin paham. Hal ini juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc.Keachie bahwa individu merupakan "manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu". Dalam proses belajar, siswa harus menampakkan keaktifan. Keaktifan itu dapat berupa kegiatan fisik yang mudah diamati maupun kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih keterampilan-keterampilan dan sebaginya. Kegiatan psikis misalnya menggunakan pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan suatu konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan dan lain sebagainya. 2.5
Keterlibatan Langsung/Pengalaman
Belajar haruslah dilakukan sendiri oleh siswa, belajar adalah mengalami dan tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak hanya mengamati, tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Sebagai contoh seseorang yang belajar membuat tempe yang paling baik apabila ia terlibat secara langsung dalam pembuatan, bukan hanya melihat bagaimana orang membuat tempe, apalagi hanya mendengar cerita bagaimana cara pembuatan tempe. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Dalam konteks ini, siswa belajar sambil bekerja, karena dengan bekerja mereka memperoleh pengetahuan, pemahaman, pengalaman serta dapat mengembangkan keterampilan yang bermakna untuk hidup di masyarakat. Hal ini juga sebagaimana yang di ungkapkan Jean Jacques Rousseau bahwa anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak mempunyai kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri. Dengan demikian, segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri, bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri. Pembelajaran itu akan lebih bermakna jika siswa "mengalami sendiri apa yang dipelajarinya" bukan "mengetahui" dari informasi yang disampaikan guru, sebagaimana yang dikemukakan Nurhadi bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Dari berbagai pandangan para ahli tersebut menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan
siswa secara langsung dalam proses pembelajaran. Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan "learning by doing"-nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung dan harus dilakukan oleh siswa secara aktif. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa para siswa dapat memperoleh lebih banyak pengalaman dengan cara keterlibatan secara aktif dan proporsional, dibandingkan dengan bila mereka hanya melihat materi/konsep. 2.6
Pengulangan Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan adalah teori psikologi daya.
Menurut teori ini belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamati, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berfikir dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang, seperti halnya pisau yang selalu diasah akan menjadi tajam, maka daya yang dilatih dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan sempurna. Dalam proses belajar, semakin sering materi pelajaran diulangi maka semakin ingat dan melekat pelajaran itu dalam diri seseorang. Mengulang besar pengaruhnya dalam belajar, karena dengan adanya pengulangan "bahan yang belum begitu dikuasai serta mudah terlupakan" akan tetap tertanam dalam otak seseorang. Mengulang dapat secara langsung sesudah membaca, tetapi juga bahkan lebih penting adalah mempelajari kembali bahan pelajaran yang sudah dipelajari misalnya dengan membuat ringkasan. Teori lain yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori koneksionisme-nya Thordike. Dalam teori koneksionisme, ia mengemukakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respon benar. 2.7
Perbedaan Individual
Siswa merupakan makhluk individu yang unik yang mana masing-masing mempunyai perbedaan yang khas, seperti perbedaan intelegensi, minat bakat, hobi, tingkah laku maupun sikap, mereka berbeda pula dalam hal latar belakang kebudayaan, sosial, ekonomi dan keadaan orang tuanya. Guru harus memahami perbedaan siswa secara individu, agar dapat melayani pendidikan yang sesuai dengan perbedaannya itu. Siswa akan berkembang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Setiap siswa juga memiliki tempo perkembangan sendirisendiri, maka guru dapat memberi pelajaran sesuai dengan temponya masing-masing. Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran. Sistem pendidikan kalsik yang dilakukan di sekolah kita kurang memperhatikan masalah perbedaan individual, umumnya pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan melihat siswa sebagai individu dengan kemampuan rata-rata, kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya. 2.8
Pengertian Model Bermain Peran Metode adalah teknik yang dapat dilakukan guru dalam mengajar. Ragam metode sangat
banyak sebagaimana telah digariskan dalam kurikulum pembelajaran. Namun metode-metode tersebut merupakan penawaran sehingga memungkinkan dapat dikembangkan oleh guru bahkan tidak menutup kemungkinkan pula guru dapat menciptakan metode pembelajaran sendiri. Metode bermain peran adalah berperan atau memainkan peranan dalam dramatisasi masalah sosial atau psikologis. Bermain peran adalah salah satu bentuk permainan pendidikan yang di gunakan untuk menjelaskan perasaan, sikap, tingkah laku dan nilai, dengan tujuan untuk menghayati perasaan, sudut pandangan dan cara berfikir orang lain (Depdikbud, 1964:171).
Melalui metode bermain peran siswa diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi, dengan bantuan kelompok sosial yang anggotanya teman-temannya sendiri. Dengan kata lain metode ini berupaya membantu individu melalui proses kelompok sosial. Melalui bermain peran, para siswa mencoba mengeksploitasi masalah-masalah hubungan antar manusia dengan cara memperagakannya. Hasilnya didiskusikan dalam kelas. Proses belajar dengan menggunakan metode bermain peran diharapkan siswa mampu menghayati tokoh yang dikehendaki, keberhasilan siswa dalam menghayati peran itu akan menetukan apakah proses pemahaman, penghargaan dan identifikasi diri terhadap nilai berkembang: (Hasan, 1996: 266). Bermain peran adalah bentuk sajian cerita yang dimainkan oleh aktor dalam bentuk ucapan, tindakan dan aksi, dengan kata lain apa yang dimainkan dalam drama dipahami dan dimengerti (Riantiarno,2006:12). Naskah peran untuk siswa Sekolah Dasar disusun sederhana namun di dalamnya memuat secara padat tentang materi, dengan demikian dalam bermain peran siswa secara tidak langsung akan memahami dan mengerti tentang materi Kebebasan Berorganisasi. Penerapan metode dalam pembelajaran diupayakan dapat membantu meningkatkan hasil belajar siswa bukan mengganggu proses belajar. Pendapat ini memberikan indikasi bahwa ketelatenan guru dalam memilih metode sangat penting. Salah satu metode kooperatif
dan menyenangkan yang dapat diterapkan pada mata
pelajaran PKn, khususnya tentang “Kebebasan Berorganisasi” adalah metode bermain peran. Menurut Mukhtar (2007:109) bahwa “metode bermain peran adalah metode yang berbentuk interaksi antara dua atau lebih siswa dengan cara melakukan peran secara terbuka”.
Metode bermain peran adalah salah satu metode yang dapat diterapkan guru dalam berbagai pembelajaran termasuk pembelajaran PKn. Metode ini memungkinkan kerja sama dalam kelompok saling tanya jawab dan berdialog tentang tema yang telah disusun guru dalam naskah peran. Kadang – kadang banyak peristiwa psikologis atau sosial yang sukar bila dijelaskan dengan kata – kata berkala, maka perlu didramatisasikan atau siswa dipartisipasikan untuk berperan dalam peritiwa pada materi yang diajarkan. Guru menyajikan materi melalui metode bermain peran maka siswa dapat mendramatisasikan tingkah laku, atau ungkapan gerak-gerik wajah seseorang dalam hubungan sosial antar siswa (Roestiyah, 2008:90). Menurut sumianto 2010 : 39 model pelaksanaan pembelajaran bermain peran diantaranya : 1. Guru menyusun kelengkapan skenario yang akan ditampilkan. 2. Menunjuk beberapa siswa untukmempelajari skenario 2 hari sebelum KBM. 3. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang. 4. Memberikan penjelasan tentang kompotensi yang ingin dicapai. 5. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melaporkan skenario yang sudah dipersiapkan. 6. Masing – masing siswa duduk dikelompoknya masing – masing sambil memperhatikan dan mengamati skenario yang sedang diperagakan. 7. Setelah siswa dipentaskan masing – masing diberikan kertas sebagai lembar kerja untuk membahas materi. 8. Masing – masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya. 9. Guru memberikan kesimpulan secara umum.
10. Evaluasi. 11. Penutup. 2.8.1 Strategi Metode Bermain Peran Dalam
melaksanakan
teknik
ini
agar
berhasil
dengan
efektif,
maka
perlu
mempertimbangkan langkah-langkahnya yaitu: 1. Guru harus menerangkan kepada siswa, untuk memperkenalkan teknik ini, bahwa dengan jalan bermain peran siswa diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang actual ada di masyarakat, maka kemudian guru menunjuk beberapa siswa yang akan berperan, masing-masing akan mencari pemecahan masalah sesuai dengan perannya. Siswa yang lain menjadi penonton dengan tugas-tugas tertentu pula. 2. Guru harus memilih masalah yang urgen, sehingga menarik minat anak. Siswa mampu menjelaskan dengan menarik, sehingga siswa terangsang untuk berusaha memecahkan masalah tersebut. 3. Agar siswa memahami peristiwanya, maka guru harus bisa menceritakan sambil untuk mengatur adegan yang pertama. 4. Bila ada kesediaan sukarela dari siswa untuk berperan, harap ditanggapi tetapi guru harus mempertimbangkan apakah siswa tersebut tepat untuk perannya itu. Bila tidak ditunjuk saja siswa yang memiliki kemampuan dan pengetahuan serta pengalaman seperti yang diperankan itu. 5. Jelaskan pada pemeran-pemeran itu sebaik-sebaiknya, sehingga mereka tahu tugas peranannya, menguasai masalahnya pandai bermimik maupun berdialog.
6. Siswa yang tdak turut harus menjadi penonton yang aktif, di samping mendengar dan melihat, mereka harus bisa memberi saran dan kritik pada apa yang akan dilakukan setelah bermain peran selesai. 7. Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam menimbulkan kalimat pertama dalam dialog. 8. Setelah bermain peran selesai dalam situasi klimaks, maka harus dihentikan, agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara umum. Sehingga para penonton ada kesempatan untuk berpendapat, menilai permainan dan sebagainya. Bermain peran dapat dihentikan pula bila sedang menemui jalan buntu. 9. Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, walau mungkin masalahnya belum terpecahkan, maka perlu dibuka tanya jawab, diskusi atau membuat karangan yang berbentuk sandiwara.( Roestiyah, 2008:91). 2.8.2 Kelebihan Metode Bermain Peran Kelebihan menggunakan metode bermain peran adalah siswa lebih tertarik perhatiannya pada pelajaran, karena mereka bermain peran sendiri, maka mudah memahami masalah-masalah tersebut. Bagi siswa dengan berperan seperti orang lain, maka ia dapat menempatkan diri seperti watak orang lain. Siswa dapat merasakan perasaan orang lain, dapat mengakui pendapat orang lain, sehingga menumbuhkan sikap saling pengertian, tenggang rasa, toleransi, dan cinta kasih terhadap sesama mahluk. Akhirnya siswa dapat berperan dan menimbulkan diskusi yang hidup, karena merasa menghayati sendiri permasalahannya. Juga penonton tidak pasif, tetapi aktif mengamati dan mengajukan saran dan kritik. 2.8.3 Kelemahan Metode Bermain Peran
( Roestiyah, 2008:93).
Kelemahan dari metode bermain peran adalah apabila guru tidak menguasai tujuan instruksional penggunaan metode ini untuk suatu mata pelajaran, maka bermain perannya juga tidak akan berhasil. Bermain peran jangan menjadi kesempatan untuk menumbuhkan sifat prasangka yang buruk, ras diskriminasi, balas dendam dan sebagainya sehingga menyimpang dari tujuan semula. Kelemahan terakhir apabila guru tidak memahami langkah-langkah pelaksanaan metode ini, sehingga akan mengacaukan berlangsungnya bermain peran, karena yang memegang peranan atau penonton tidak tahu arah bersama-sama. ( Roestiyah, 2008:93). 2.9 Hipotesis Tindakan Atas dasar kajian teoritis di atas maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan bahwa: Jika metode bermain peran diterapkan pada pembelajaran PKn tentang “Kebebasan Berorganisasi” maka hasil belajar siswa Kelas V SD Inpres 1 Bunto, akan meningkat.