Bab II Kajian teori Dalam Bab II akan dipaparkan beberapa landasan teori tentang Hasil Belajar, Aktivitas Belajar dan Model Pembelajaran Make A Match, Hubungan Model Pembelajaran Make A Match, Hasil Penelitian yang Relevan, Kerangka Berfikir, dan Hipotesis Tindakan.
2.1 Hasil Belajar 2.1.1 Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan hasil belajar merupakan hasil dari proses belajar. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui hasil yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung. Pengertian hasil belajar Menurut Nana Sudjana (2010:3) hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku siswa yang setelah menempuh pengalaman belajar (proses belajar – mengajar). Andersen (dalam Rasyid, Harun dan Mansur.2009:13) menyatakan karakteristik manusia meliputi cara yang tipical dari berfikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipical perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah kognitif mencakup pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah psikomotor mencakup kemampuan tindakan fisik dan kegiatan perceptual. Ranah afektif mecakup sikap, kebijaksanaan, perasaan, dan self control. Dalam penilaian hasil belajar berisi peranahan (aspek-aspek) yang berisi rumusan kemampuan dan tingkah laku yang diinginkan dikuasai siswa menjadi unsur terpenting sebagai dasar dan acuan penilaian.
8
9
Dari penjelasan beberapa ahli maka dapat disimpulkan hasil belajar adalah perubahan tingkah laku pada siswa yang merupakan akibat dari proses belajar yang terjadi pada ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Menurut Nana Sudjana (2010: 56-57) Hasil belajar yang dicapai siswa melalui proses belajar-mengajar yang optimal cenderung menunjukkan hasil yang berciri sebagai berikut: a)
Kepuasan dan kebanggaan yang dapat menumbuhkan motivasi belajar intrinsic pada diri siswa. Semangat intrinsic adalah semangat juang untuk belajar dan tumbuh dari dalam diri siswa itu sendiri.
b) Menambah
keyakinan
akan
kemampuan
dirinya.
Siswa
mengetahui
kemampuannya dan potensi yang tidak kalah dari orang lain. c)
Hasil belajar lebih bermakna bagi dirinya. Hasil belajar yang diperoleh siswa akan lebih lama diingatnya, membentuk perilaku siswa, bermanfaat untuk mempelajari aspek lai, dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh informasi dan pengetahuan lainnya, kemauan dan kemampauan untuk belajar sendiri, dan mengembangkan kreativitasnya.
d) Hasil belajar diperoleh siswa secara menyeluruh (komprehensif), yakni mencakup ranah kognitif, pengetahuan, atau wawasan. Ranah kognitif terutama adalah hasil yang diperoleh. Ranah afektif atau sikap dan apresiasi. dan, ranah psikomotor, keterampilan atau perilaku. Ranah afektif dan psikomotor diperoleh sebagai efek dari proses belajar, baik instruksional maupun efek nurturant atau efek samping yang tidak direncanakan dalam pengajaran. e)
Siswa sadar bahwa tinggi rendahnya hasil belajar begantung pada usaha dan motivasi belajar dirinya sendiri.
10
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menurut Anitah (2008:2.7) adalah: a.
b.
Faktor dari dalam (intern) yang berpengaruh terhadap hasil belajar adalah kecakapan, minat, bakat, usaha, motivasi, perhatian, kelemahan dan kesehatan, serta kebiasaan siswa. Faktor dari luar (ekstern) diri siswa yang mempengaruhi hasil belajar diantaranya adalah lingkungan fisik dan non fisik ( termasuk suasanan kelas dalam belajar, seperti riang gembira, menyenangkan), lingkungan sosial budaya, lingkungan keluarga, program sekolah (temasuk dukungan komite), guru, pelaksana pembelajaran, dan teman sekolah. Guru merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap proses maupun hasil belajar, karena guru merupakan sutradara di dalam kelas. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk menjadikan ukuran atau kriteria
dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar diperoleh dari aktivitas pengukuran. Secara sederhana, pengukuran diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda. Pengukuran adalah penetapan angka dengan cara yang sistematik untuk menyatakan keadaan individu (Allen dan Yen, 1979). Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrument penilaian (teknik penilaian). Hasil dari pengukuran tersebut dipergunakan sebagai dasar penilaian atau evaluasi. Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Wardani, Naniek Sulistya dkk, (2010, 2.8) mengartikannya, bahwa evaluasi itu merupakan proses untuk memberi makna atau menetapkan kualitas hasil pengukuran, dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses dan hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses pengukuran atau ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran. Kriteria hasil pengukuran dapat berupa proses atau kemampuan minimal yang dipersyaratkan seperti KKM, atau batas keberhasilan, dapat pula berupa kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok, atau berbagai patokan yang lain. Kriteria yang berupa
11
batas kriteria minimal yang telah ditetapkan sebelum pengukuran dan bersifat mutlak disebut dengan Penilaian Acuan Patokan atau Penilaian Acuan Kriteria (PAP/PAK), sehingga apabila hasil pengukuran mencapai KKM atau kriteria yang telah ditetapkan maka dikatakan berhasil atau tuntas. Sedangkan, kriteria yang ditentukan setelah kegiatan pengukuran dilakukan dan didasarkan pada keadaan kelompok dan bersifat relatif disebut dengan Penilaian Acuan Norma/ Penilaian Acuan Relatif (PAN/PAR).
2.2 Aktivitas Belajar 2.2.1
Pengertian Aktivitas Belajar Aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Menurut
Poerwadarminta (dalam yusfy), aktivitas adalah kegiatan. Jadi aktivitas belajar adalah kegiatan-kegiatan siswa yang menunjang keberhasilan belajar. Dalam hal kegiatan belajar. Rousseau (dalam Sardiman 2012:96) memberikan penjelasan bahwa segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri baik secara rohani maupun teknis. Tanpa ada aktivitas, proses belajar tidak mungkin terjadi. Aktivitas belajar yang dimaksud adalah seluruh aktivitas siswa dalam proses belajar, mulai dari kegiatan fisik sampai kegiatan psikis. Sardiman (2012:95) menegaskan bahwa pada prinsipnya belajar adalah berbuat, tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas. Itulah mengapa aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting dalam interaksi belajar mengajar. Frobel (dalam Sardiman. 2012:96) menyatakan bahwa “manusia sebagai pencipta”. Secara alami siswa memang didorong untuk mencipta. Prinsip utama yang dikenalkan Frobel yaitu: Anak sebagai siswa harus bekerja sendiri. Dalam kehidupan manusia,berfikir dan berbuat sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan begitu juga didalam belajar tidak mungkin dipisahkan dari kegiatan berfikir dan berbuat. Seseorang yang telah berhenti berfikir dan berbuat perlu diragukan eksistensi kemanusiaannya. Hal ini juga merupakan hambatan bagi proses pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia.
12
Montessori (dalam Sardiman. 2012: 96) menegaskan bahwa yang lebih banyak melakukan aktivitas di dalam pembentukan diri adalah anak (siswa) itu sendiri. Sedangkan, guru memberikan bimbingan dan merencanakan segala kegiatan yang akan dilakukan siswa. Helen Parkhurst (dalam Sardiman. 2012:97) menegaskan bahwa ruang kelas harus diubah/diatur menjadi laboratorium penddikan yang mendorong siswa bekerja sendiri. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan belajar sangat diperlukan adanya aktivitas yaitu kegiatan berfikir dan berbuat, tanpa aktivitas proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik
2.2.2 Prinsip-prinsip Aktivitas Menurut Sardiman (2012) Prinsip-prinsip aktivitas dalam belajar dapat dilihat dari sudut pandang perkembangan ilmu jiwa. Ilmu jiwa dibagi menjadi 2 yaitu ilmu jiwa lama dan ilmu jiwa modern. a)
Ilmu Jiwa Lama John Locke dengan konsep Tabularasa, mengibaratkan jiwa (psyche) seseorang bagaikan kertas putih yang bersih. Dalam dunia pendidikan siswa diibaratkan sebagai kertas putih, sedangkan guru adalah yang menulisi. Sehingga dapat disimpulkan guru sebagai penguasa di dalam kelas yang mengatur siswa, guru yang aktif sedangkan siswa pasif. Herbert mengatakan bahwa “ jiwa adalah keseluruhan tanggapan yang secara mekanis dikuasai oleh hukum-hukum asosisasi”. Kaitannya dengan konsep John Locke, guru yang aktif menyapaikan materi ajar sedangkan siswa pasif hanya menerima apa yang disampaiakan guru. Jadi siswa kurang memiliki aktivitas. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan dalam proses belajar mengajar selalu didominasi oleh guru, sedangkan siswa hanya pasif menerima apa yang diberikan guru. Dapat diibaratkan siswa sebagai botol kosong yang diisi air oleh guru. Aktivitas anak hanya terbatas pada mendengarkan, mencatat, menjawab
13
pertanyaan yang guru berikan. Siswa bekerja karena perintah dari guru. Kegiatan belajar seperti ini tidak dapat mendorong siswa untuk berpikir dan beraktivitas.
b) Ilmu Jiwa Modern Para ahli menerjemahkan jiwa manusia sebagai sesuatu yang dinamis, memiliki potensi dan dapat aktif, karena adanya motivasii dan dorongan. Siswa adalah organism yang mempunyai potensi untuk berkembang. Sehingga tugas guru adalah membimbing siswa agar dapat mengembangkan bakat dan potensinya. Dalam hal ini siswa yang beraktivitas, berbuat, dan aktif sendiri. Guru bertugas menyediakan bahan pelajaran tetapi yang mengolah dan mencerna adalah siswa sendiri sesuai dengan bakat, kemampuan, dan latar belakang masing-masing siswa. Belajar adalah berbuat dan sekaligus merupakan proses yang membuat siswa harus aktif. Piaget menerangkan bahwa “seseorang anak itu berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berpikir”. Sehingga anak perlu diberikan kesempatan untuk berbuat dan berpikir sendiri.
2.2.3 Jenis-jenis Aktivitas Dalam Belajar Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian, di sekolah merupakan tempat untuk mengembangkan aktivitas. Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa tidak hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim di sekolah tradisional. Paul D. Dierich (dalam Hamalik, Oemar. 2004. 172-173) membagi kegiatan belajar dalam 8 kelompok, ialah: a)
Visual activities (kegiatan-kegiatan visual), yang termasuk di dalamnya seperti membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pameran, dan mengamati orang lain bekerja atau bermain. b) Oral activities (kegiatan-kegiatan lisan), seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi. c) Listening activities (kegiatan-kegiatan mendengarkan), sebagai contoh mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato.
14
d) Writing activities (kegiatan-kegiatan menulis), seperti menulis cerita, memeriksa karangan, bahan-bahan copy, menulis laporan, membuat rangkuman, mengerjakan tes, mengisi angket. e) Drawing activities (kegiatan-kegiatan menggambar), seperti menggambar, membuat grafik, peta, diagram, pola. f) Motor activities (kegiatan-kegiatan metric), yang termasuk di dalamnya antara lain: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, beternak, menari, memilih alat-alat, melaksanakan pameran. g) Mental activities (kegiatan-kegiatan mental), sebagai contoh misalnya: mengingat, memecahkan soal, menganalisis, mengambil keputusan, merenungkan, melihat hubungan-hubungan. h) Emotional activities (kegiatan-kegiatan emosional), seperti minat, merasa bosan, berani, tenang, gugup, gembira, bersemangat. 2.2.4
Nilai Aktivitas dalam Pengajaran Penggunaan asas aktivitas besar nilainya bagi pengajaran para siswa, oleh karena: 1.
Para siswa mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri.
2.
Berbuat sendiri akan mengembangkan seluruh aspek pribadi siswa secara integral.
3.
Memupuk kerja sama yang harmonis di kalangan siswa.
4.
Para siswa bekerja menurut minat dan kemampuan sendiri.
5.
Memupuk disiplin kelas secara wajar dan suasana belajar menjadi demokratis.
6.
Mempererat hubungan sekolah dan masyarakat, dan hubungan antara orang tua dengan guru
7.
Pengajaran diselenggarakan secara realistic dan konkret sehingga mengembangkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan verbalistis
8.
Pengajaran di sekolah menjadi hidup sebagaimana aktivitas dalam kehidupan di masyarakat.
15
2.3 Matematika 2.3.1
Pengertian Matematika Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama
yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar. Jadi, berdasarkan asal katanya maka matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir. James and James (1976). Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak dan terbagi kedalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri. Johnson dan Rising (1972). Matematika adalah pola fikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Dapat disimpulkan bahwa Matematika adalah ilmu yang memepelajari tentang perhitungan, pengkajian dan menggunakan nalar. Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga siswa memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari. Salah satu komponen yang menentukan ketercapaian kompetensi adalah penggunaan strategi matematika, yang sesuai dengan (1) topic yang sedang dibicarakan, (2) tingkat perkembangan intelektual siswa, (3) prinsip dan teori belajar, (4) keterlibatan siswa secara aktif, (5) keterkaitan dengan kehidupan siswa seharihari, (6) pengembangan dan pemahaman penalaran matematis.
2.3.2
Tujuan Mata Pelajaran Matematika
Menurut BSNP nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
16
2.
3.
4. 5.
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
2.3.3
Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-
aspek sebagai berikut: 1. Bilangan 2. Geometri dan pengukuran 3. Pengolahan data
2.4 Make A Match 2.4.1 Pengertian Make a Match Menurut rahayu metode pembelajaran kooperatif make a match merupakan salah satu metode pembelajaran yang mampu meningkatkan keaktifan siswa di dalam kelas. Teknik belajar mengajar mencari pasangan (make a match) dikembangkan oleh Lorna Curran (1994) ini berawal dari banyaknya siswa ditingkat dasar (young Student) yang mempunyai kesulitan mengembangkan social skill (keterampilan sosial) siswa dalam bekerja sama dengan orang lain dalam pelajaran berhitung (matematika). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkat usia anak didik. (Rusman. 2012:223)
17
Menurut supandi make a match adalah salah satu model pembelajaran kooperatif dimana siswa dituntut menemukan pasangan sesuai dengan kartu permasalahan yang diperoleh melalui undian secara bebas. Menurut Agus Suprijono (dalam Karina. 2012) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika pembelajaran dikembangkan dengan make a match adalah kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu berisi pertanyaan-pertanyaan dan kartu lainnya berisi jawaban dari pertanyaanpertanyaan tersebut. Jadi dari pendapat tersebut dapat di simpulkan make a match merupakan cara belajar dengan mencari pasang dari kartu yang dipegang, dengan mencari kartu soal atau kartu jawaban dari kartu yang dipegang karena dalam pembelajaran ini, siswa ada yang memegang kartu jawaban dan ada yang memegang pertanyaan pertanyaan.
2.4.2 Kelebihan Make A Match Menurut Amin (2011) yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Make A Match mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik; karena ada unsur permainan, metode ini menyenangkan; meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari; dapat meningkatkan motivasi belajar siswa; efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi; efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar. Oleh sebab itu maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan pembelajaran
kooperatif model Make A Match dapat meningkatkan proses dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran khususnya di Sekolah Dasar
2.4.3
Kelemahan Model Pembelajaran Make A Match
1.
Guru harus terampil memberikan bimbingan
2.
Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai peserta didik terlalu banyak bermain-main dalam proses pembelajaran.
3.
Guru perlu menyiapkan alat / bahan yang memadai
18
2.4.4
Tujuan Pembelajaran Make A Match Model pembelajaran Make A Match mempunyai tujuan dalam pembelajaran
yang antara lain: 1.
Pendalaman materi, melatih penguasaan materi siswa dengan cara memasangkan antara pertanyaan dengan jawaban
2.
Menggali materi, Untuk menggali materi, guru tidak perlu membekali siswa dengan materi, karena siswa akan membekali dirinya sendiri.
3.
Untuk selingan, model Make a Match juga dapat dipakai sebagai selingan dalam pembelajaran.
2.4.5
Langkah-langkah Make A Match Menurut Rusman (2012) langkah-langkah Model Pembelajaran Make A Match
dalam pembelajaran yaitu: 1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban. 2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu dan memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang. 3. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (kartu soal atau kartu jawaban). 4. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin. 5. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar setiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya. 6. Kesimpulan. Dari langkah-langkah pembelajaran Make A Match yang telah disampaikan dapat disimpulkan bahwa Make A Match merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa saling bekerja sama menemukan jawaban atas kartu yang dipegangnya, siswa juga dituntut untuk teliti dan cepat sehingga dapat meningkatkan pembelajaran dikelas.
19
2.5
Hubungan model pembelajaran Make A Match dengan Matematika. Dalam pembelajaran matematika guru berusaha untuk menciptakan suasana
pembelajaran yang menyenangkan agar mempermudah siswa dalam belajar dan mempermudah guru mengajarkan matematika pada siswanya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran guru lebih berperan sebagai pembimbing dari pada sebagai pemberi informasi saja. Model pembelajaran Make A Match merupakan model pembelajaran dengan mengutamakan adanya kelompok. Melalui penerapan model pembelajaran Make A Match ini siswa dapat belajar matematika dengan suasana yang menyenangkan karena siswa belajar sambil bermain mencocokkan kartu jawaban atau kartu soal yang dipegangnya dengan menuntut ketelitian dan kecepatan siswa untuk mencocokkan kartu jawaban dengan kartu soal. Dengan model pembelajaran Make A Match pada pelajaran matematika dapat terciptakan interaksi antara siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa lainnya. Model pembelajaran Make A Match dalam pembelajaran matematika dikelas adalah mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Penggunaan model Make A Match dalam pembelajaran matematika dimulai dari siswa disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan soal/jawaban yang dipegangnya sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin. Sehingga, Model Pembelajaran Make A Match merupakan suatu teknik guna meningkatkan partisipasi dan keaktifan siswa dalam kelas dengan cara siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Selain itu, suasana positif yang dapat diperoleh dari Model pembelajaran Make A Match pada mata pelajaran matematika bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyukai pelajaran matematika dan guru. Dalam kegiatan-kegiatan menyenangkan, siswa akan merasa lebih termotivasi untuk belajar
20
dan berpikir sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan aktivitas belajar siswa.
2.6
Hasil Penelitian Yang Relevan
Hasil Penelitian yang sejalan dengan penelitian penulis antara lain penelitian yang dilakukan oleh Sri Lestari dengan judul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Dengan Pembelajaran Kooperatif Model Make A Match Pada Siswa Kelas V Sd Negeri Gabus 3 Tahun Pelajaran 2009/2010”. Hasil penelitian sebagai berikut: aspek kognitif siklus I sebesar 63,8 siklus II sebesar 75, aspek afektif siklus I sebesar 67,5, siklus II sebesar 76, aspek psikomotor siklus I sebesar 68, siklus II sebesar 68, ketuntasan belajar 72 % siklus 1 dan 94 % siklus 2. Penerapan pendekatan pembelajaran kooperatif dengan model Make A Match pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa di SD Negeri Gabus 3, Kecamatan Ngrampal Kabupaten Sragen. Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Biyono dengan judul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Make a Match pada Siswa Kelas I SD Madugowongjati 02 Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang Tahun Pelajaran 2011/2012” Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas dari 60 pada pra siklus menjadi 88 pada siklus II. Jumlah siswa yang tuntas belajar meningkat dari 8 siswa atau 44 % pada pra siklus menjadi 18 siswa atau 100 % siswa tuntas. Karena indikator keberhasilan penelitian ini adalah 85 % siswa tuntas belajar maka penelitian ini dianggap berhasil. Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Nova Amalia dengan judul “Peningkatan Aktivitas Dan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Cooperatsive Learning Teknik Make A Match Siswa Kelas V A Sd Negeri 2 Metro Timur Tahun Pelajaran 2011/2012” Hasil penelitian menunjukkan Perbaikan pembelajaran dengan model cooperative learning teknik make a match memperoleh
21
data aktivitas dan hasil belajar siswa. Persentase rata-rata aktivitas siswa pada siklus I 46,7% (cukup), siklus II 60,53% (baik), dan siklus III 82,07% (sangat baik). Sementara rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I mencapai 58,15 (sedang), siklus II 70,11 (tinggi), dan siklus III 82,96 (sangat tinggi). Peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa didukung uji perbedaan hasil tes formatif dengan menggunakan t-tes, didapatkan hasil thitung (Siklus I-II) = 7,056 > ttabel = 2,056 dan thitung (Siklus II-III) = 8,290 >
ttabel = 2,056, pada ketentuan α = 0,05. Berdasarkan analisis tersebut
menunjukkan bahwa adanya peningkatan aktivitas dan hasil belajar matematika melalui model cooperative learning teknik make a match. Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Pintauli Devega Pangaribuan dengan judul “Upaya Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPA Dengan Menggunakan Model Pembelajaran make A Match di SD” hasil penelitian menunjukkan Setiap siklus mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II yaitu pertemuan I 42.03 % dengan jumlah siswa yang diamati adalah sebanyak 20 orang siswa dengan 20 orang siswa belum di katakan aktif pada siklus I pertemuan I , pertemuan kedua 44.84 % dengan jumlah siswa yang diteliti adalah sebanyak 20 siswa dari 20 siswa tersebut terdapat 3 siswa dikatakan aktif dan 17 siswa dikatakan tidak aktif, pada pertemuan ketiga meningkat menjadi 61.25 % dengan kriteria cukup dari 20 siswa terdapat 9 siswa yang aktif dan 11 orang siswa dikatakan tidak aktif, dan pada pertemuan ke empat meningkat kembali menjadi 82.81% dengan criteria baik sekali dari 20 siswa dapat dikatakan seluruh siswa aktif Penelitian yang dilakukan oleh Lilis Setianingsih dengan judul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial Melalui Model Pembelajaran Make A Match Siswa Kelas IV di SD Negeri Kaliwungu 04 Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012” hasil penelitian menunjukkan peningkatan ketuntasan belajar, yakni dari 40% sebelum siklus, meningkat menjadi 71,67% pada siklus I dan 100% pada siklus II. Peningkatan nilai terendah dari 40 sebelum tindakan, menjadi 55 pada siklus I, dan menjadi 70 pada siklus II. Peningkatan nilai tertinggi dari 85 sebelum tindakan, menjadi 90 pada siklus I, dan menjadi 100 pada siklus II. Terjadi
22
peningkatan rata-rata kelas dari 63,33 sebelum tindakan, meningkat menjadi 71,67 pada siklus I dan menjadi 84 pada siklus II. dapat disimpulkan dengan menggunakan model pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV.
2.7
Kerangka Berpikir Pembelajaran di sekolah dasar selama ini masih bersifat konvensional. Dalam
mengajar guru hanya mengandalkan ceramah secara klasikal. Pembelajaran seperti ini kurang efektif dan kurang memberdayakan potensi siswa. Guru belum dapat menciptakan proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Selain itu, pembelajaran masih terpusat pada guru. Pada saat proses pembelajaran di kelas interaksi aktif antara siswa dengan guru atau siswa dengan siswa jarang terjadi. Siswa kurang terampil menjawab pertanyaan atau bertanya tentang konsep yang diajarkan. Siswa kurang bisa bekerja dalam kelompok diskusi dan pemecahan masalah yang diberikan. Dengan model Pembelajaran Make A Match siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan dan mengutamakan kegiatan berkelompok maka, siswa cenderung melatih kerjasama antar
siswa.
Dalam
pembelajaran
ini
diharapkan
pembelajaran
menjadi
menyenangkan dan siswa menjadi aktif dalam pembelajaran serta siswa yang berkemampuan rendah dapat terbantu oleh temannya yang berkemampuan tinggi sehingga hasil belajar dan aktivitas belajar siswa dapat meningkat. Berdasarkan uraian diatas kerangka berpikir dapat digambarkan dalam gambar bagan 2.1
23
Pembelajaran Matematika 8.1 menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana 8.2 menetukan jaring-jaring kubus dan balok Pembelajaran konvensional (ceramah)
Pembelajaran dengan Make A Match
Aktivitas sebatas mendengarkan
- Hasil Belajar < KKM - Aktivitas belajar rendah
Mendengarkan penjelasan macam-macam bangun ruang
Rubrik Aktivitas Mendengarkan
menjawab pertanyaan sifat-sifat bangun ruang
Rubrik aktivitas menjawab pertanyaan
Menulis sifat-sifat bangun ruang Mencari pasangan kartu soal atau kartu jawaban tentang bangun ruang dan membentuk kelompok Dikusi dengan tema sifat-sifat bagun ruang dan jarring-jaring bangun ruang Presentasi hasil diskusi kelompok tema sifat-sifat bangun ruang dan jarring-jaring bangun ruang
Rubrik aktivitas menulis Rubrik aktivitas mencari pasangan Rubrik aktivitas diskusi Rubrik aktivitas persentasi Rubrik aktivitas menanggapi
Tanggapan
Kesimpulan Tes Formatif
Rubrik aktivitas menyimpulkan Rubrik aktivitas mengerjakan tes
Butir Soal Gambar 2.1 Bagan kerangka berpikir
Hasil Belajar ≥ KKM
Skor Aktivitas Belajar
24
2.8 Hipotesis Tindakan Dari refleksi kajian teori, penelitian yang relevan dan kerangka berpikir maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut : Penggunaan Model Pembelajaran Make A Match pada mata pelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa kelas 4 SD Negeri Randusari Kabupaten Boyolali Semester 2 Tahun Ajaran 2012/2013