BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kinerja karyawan Kinerja
merupakan
keseimbangan
antara
tuntutan
tugas
dengan
keterbatasan, kebolehan dan kemampuan seseorang agar terwujud kondisi kerja yang aman, nyaman sehat dan produktif (Manuaba, 2000a; Grandjean, 1993), sedangkan menurut Rivai (2005) adalah suatu penilaian berdasarkan sistem yang terstruktur untuk melihat sifat yang terkait dengan pekerjaan, perilaku dan hasil kerja. Kinerja juga dapat diartikan sebagai kombinasi dari kemampuan terhadap usaha yang dijalankan oleh manusia (Sulistiyani, et al., 2003). Pada penelitian ini kinerja karyawan yang dimaksud berupa : 1) beban kerja, 2) keluhan muskuloskeletal, 3) kelelahan, 4) debu terhirup, 5) kepuasan kerja, 6) kebosanan kerja, 7) saturasi oksigen perifer (SpO2). Beberapa parameter kinerja dapat dijabarkan sebagai berikut : 2.1.1
Beban Kerja Terdapat dua jenis beban kerja yang diterima oleh pekerja, yakni a)
External load (stressor) merupakan beban kerja yang diperoleh dari pekerjaan yang sedang diselesaikan dengan ciri khusus yang berlaku pada semua orang, sebagai contoh, task, organisasi dan lingkungan sekitar. b) Internal load (strain) adalah beban kerja yang berasal dari dalam tubuh pekerja sendiri seperti harapan, keinginan dan kepuasan (Adiputra, et al., 1998; Manuaba, 2000b; Handari, 2013). Semakin tinggi aktivitas tubuh menyebabkan metabolisme tubuh semakin
20
21
meningkat berdampak pada kebutuhan O2 yang semakin besar pula dan frekuensi denyut nadi akan meningkat (Adiputra, 2002). Keluhan fisiologis merupakan mekanisme adaptasi tubuh untuk tetap berada pada kondisi homeostasis. Penilaian beban kerja melalui pengukuran denyut jantung selama kerja merupakan metode untuk menilai cardiovaskular strain, dapat dicatat secara manual memakai stopwatch dengan metode 10 denyut (Kilbon, 1992). Denyut nadi
dapat
digunakan
untuk
memprediksi
beban
kerja
dengan
cara
mengkonversikan dengan tabel kategori beban kerja menurut Christensen (1991) dengan menghitung frekuensi denyut nadi per menit. Tabel 2.1 Klasifikasi beban kerja menurut Christensen Work Load
Oxygen
Lung
Rectal
Heart
Consumption
Ventilation
Temperature
beats per
(l/min)
(l/min)
(0C)
min
Sangat ringan
0,25-0,30
6,0-7,0
37,5
60-70
Ringan
0,50-1,0
15-20
37,5
75-100
Sedang
1,0-1,5
20-31
37,5-38,0
100-125
Berat
1,5-2,0
31-43
38,0-38,5
125-150
Sangat berat
2,0-2,5
43-56
38,5-39,0
150-175
Extremily
2,5-4,0
60-100
Over 39,0
Over 175
(Sumber: Christensen, 1991) Peningkatan denyut nadi dari istirahat sampai dengan kerja menurut Tarwaka (2010) didefinisikan sebagai heart rate reservase (HR reservase) dengan persamaan : (2.1)
22
(2.2) Denyut nadi maksimum untuk laki-laki adalah (220-umur) sedangkan (200-umur) untuk perempuan. Berdasarkan beban cardiovaskuler, beban kerja fisik dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Tabel.2.2 Klasifikasi beban kerja berdasar % CVL %CVL
Klasifikasi Beban Kerja
Keterangan
< 30%
Ringan
tidak terjadi kelelahan
30 s/d <60%
Sedang
diperlukan perbaikan
60 s/d 80%
Berat
kerja dalam waktu singkat
80 s/d <100%
Sangat Berat
diperlukan tindakan segera
> 100
tidak diperbolehkan beraktifitas
(Sumber: Intaranont dan Vanwonterghem, 1993; Tarwaka, 2010) External load atau beban kerja yang diperoleh dari pekerjaan diukur dengan metode Brouha (Kilbom,1990; Intaranont dan Vanwonterghem, 1993) yang dilaksanakan dengan cara mengukur denyut nadi istirahat dan denyut nadi pemulihan, diukur sesaat setelah selesai bekerja sebanyak lima kali (P1, P2, P3, P4, P5) dan masing-masing diukur dalam 30 detik dan hasilnya dikalikan dua, dengan cara ini dapat diketahui pengaruh lingkungan terhadap kondisi tubuh berupa a) Extra cardiac pulse due to metabolism (ECPM) dan b) Extra cardiac pulse due to heat transfer to periphery (ECPT) mengunakan rumus sebagai berikut (Adiputra, et al., 1998): (2.3) (2.4)
23
Dimana: P0 = denyut nadi istirahat; P1 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-1 pada pemulihan; P2 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-2 pada pemulihan; P3 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-3 pada pemulihan; P4 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-4 pada pemulihan; P5 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-5 pada pemulihan Dari hasil perhitungan ECPM dan ECPT (Intaranont dan Vanwonterghem, 1993) dapat ditentukan: a) ECPT=ECPM, maka beban fisik pekerjaan dan lingkungan memberikan efek yang sama kepada tubuh, sehingga perbaikan harus dilakukan pada kedua faktor. b) ECPT >ECPM, faktor external load dari lingkungan lebih dominan memberikan beban kerja tambahan kepada subjek, sehingga perbaikan lingkungan kerja perlu menjadi prioritas. c) ECPM >ECPT, kerja otot aktif subjek lebih dominan, perbaikan atas beban kerja utama menjadi prioritas. 2.1.2 Keluhan muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletal sering disebut musculoskeletal disorder (MDS) dilaporkan dari beberapa perusahaan angka prevalensi melebihi 80% (Adiputra, et al., 1998; 2001). Negara yang banyak ditemukan prevalensi adalah Eropa dan Amerika. Keluhan muskuloskeletal adalah tingkat keluhan pada sistem otot dan tulang, termasuk persendian dan jaringan lunak di sekitarnya yang disebabkan oleh faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja (Grandjean dan Kroemer, 2000). Gangguan sistem muskuloskeletal terjadi karena : a) tempat kerja yang tidak memadai, b) aktivitas yang bersifat repetitif, c) desain peralatan yang tidak
24
sesuai dengan pemakai, organisasi kerja yang tidak efisien, d) jadwal istirahat yang tidak teratur, e) sikap kerja yang tidak alamiah (Sutjana, et al., 2005). Keluhan ini dapat diatasi dengan perbaikan alat kerja, sistem kerja dan pengaturan istirahat (Sutjana, 2014b). Perkembangan suatu industri yang tidak memperhatikan lingkungan kerja dan peralatan kerja, berdampak timbulnya gangguan muskuloskeletal pekerja (Adiputra, et al., 2001; Kirkhorn, et al., 2010; Nonnenmann, et al., 2010; Das, et al., 2013). Sikap kerja pada proses penuangan baja cair ke dalam Ladle, pembongkaran cetakan, pembersihan manual produk baja (as cast) dari pengotor terdapat sikap kerja kurang nyaman yang dilakukan berulang-ulang. Sikap kerja tidak alamiah dan repetitif dapat meningkatkan risiko munculnya gangguan trauma komulatif (Chavalitsakulchai dan Shahnavaz, 1991; Manuaba, 2003b), serta meningkatkan risiko kecelakaan berbagai gangguan komulatif pada otot (Grandjean, 1993). Tenaga otot manusia selama bekerja berlangsung terjadi kontraksi otot statis, pembuluh darah ditekan dari dalam jaringan otot, sehingga menghambat sirkulasi darah ke jaringan otot (Grandjean, 2000). Metode untuk menilai keluhan otot skeletal secara subjektif adalah dengan kuesoner Nordic Body Map dengan rangking (Corlett, 1992). Kuesioner Nordic body Map (NBM) dibagi menjadi tiga bagian yakni : a) bagian otot trunkus; leher bagian atas, leher bagian bawah, punggung, pinggang, bokong, pantat, b) otot ekstremitas bagian atas (upper extrimities): bahu kiri, bahu kanan, lengan atas kiri dan kanan, siku kiri dan kanan, lengan bawah kiri dan kanan, pergelangan tangan
25
kiri dan kanan, tangan kiri dan kanan, c) bagian otot ekstermitas bagian bawah (lower extrimitas); paha kiri dan kanan, lutut kiri dan kanan, kaki kiri dan kanan. 2.1.3 Kelelahan Kelelahan adalah suatu kondisi kehilangan efisiensi, penurunan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Grandjean dan Kroemer, 2000). Kelelahan berdampak pada penurunan kinerja (Jungsun, et al., 2006; Kitamura, et al., 2013). Dikatakan lelah, apabila pekerja tidak dapat menjalankan lagi aktivitas kerja dan menerima beban kerja (Pulat, 1992). Terdapat dua jenis kelelahan, yakni (1) kelelahan secara fisik yaitu muncul karena perubahan fisiologis, disebabkan adanya rangsangan secara kontinyu, dan (2) kelelahan mental atau sering disebut kelalahan psikologis, adalah kelelahan yang terjadi dan terlihat pada kondisi jiwa yang labil dikenal dengan istilah kelelahan semu (Adiputra, et al., 1998). Pengukuran kelelahan dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif seperti uji Psiko-motor (psychomotor test), uji hilangnya kedipan (flicker-fusion test). Pengukuran kelelahan subjektif (subjective feelings of fatique) yang dikembangkan oleh Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatique Research Committee (IFRC) Jepang (Tarwaka, 2010), berisi 30 items of rating scale yang terdiri dari 3 kategori; aktivitas pelemahan kerja (item 1-10), penurunan motivasi (item 11-12), kelelahan fisik (item 21-30) (Yoshitake, 1971). 2.1.4 Kebosanan kerja Kebosanan merupakan kondisi dimana karakteristik lingkungan diterima oleh pekerja tampak monoton (Kroemer, 2009), atau kondisi dengan stimulus yang rendah (Grandjean, 2000). Peningkatan kebosanan subjektif selama proses
26
menyelesaikan tugas pokok pekerjaan ditandai dengan beberapa faktor; a) keinginan menghindar dari aktivitas utama, b) merasa tersiksa, c) gelisah, d) kelelahan dini, e) rasa tidak puas, f) keinginan berpaling ke aktivitas lain, g) konsentrasi turun (Pulat, 1992). Alat ukur kebosanan berupa kuesioner kebosanan (Anoraga, 1998). Kuesioner ini telah di pakai dan dikembangkan untuk mengukur tingkat kebosanan pekerja (Setiawan, 2013). 2.1.5 Kepuasan kerja Kepuasan dapat terjadi apabila keinginan atau harapan pekerja telah terpenuhi, pekerja merasa berada pada kondisi yang diharapkan sesuai dengan target dan tujuan tertentu. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan kerja berupa kuesioner kepuasan (Shimomitsu, 2000). Seseorang merasa puas dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain: optimalisasi kemampuan, prestasi, aktivitas, kemahiran, otoritas, kebijakan perusahaan, imbalan, hubungan dengan rekan kerja, kreativitas, kemandirian, nilai-nilai, pengakuan, tanggung jawab, keamanan, pelayanan sosial, status sosial, hubungan dengan atasan, kemampuan teknik atasan, variasi dan kondisi kerja (Syamsi, 2004). 2.1.6 Saturasi oksigen perifer (SpO2) Oksigen merupakan salah satu komponen gas dan unsur yang sangat penting dalam proses metabolisme tubuh guna mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh. Faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen adalah jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru (ventilasi), kecepatan difusi, dan kapasitas hemoglobin dalam membawa oksigen (Potter dan Perry, 2006). Oksigen saturasi (SpO2) adalah persentase dari Hemoglobin yang mengikat oksigen
27
dibandingkan dengan jumlah total hemoglobin yang tersedia. Saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100% (Andarmoyo, 2012). Pulse oximetry adalah metode non-invasive untuk memonitor oksigen saturasi (SpO2). Metode ini menggunakan perbedaan panjang gelombang dari cahaya merah 660 nm dan cahaya infra merah 940 nm yang berasal dari sensor transmisi, selanjutnya cahaya merah dan cahaya infra merah diabsorpsi oleh pembuluh arteri, pembuluh vena, dan pembuluh kapiler pada jari tangan, kemudian ditangkap oleh sensor deteksi. 2.2 Kualitas Lingkungan Setiap aktivitas manusia dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja. Lingkungan tercemar adalah berubahnya komponen atau unsur yang terkandung dalam lingkungan dan berpotensi menimbulkan bahaya pada manusia. Pemerintah mengeluarkan peraturan berkaitan dengan lingkungan yaitu UU No. 4 tahun 1982, KepMen Kingkungan Hidup No. 02 tahun 1988, KepMen Kingkungan Hidup No. 03tahun 1991, PP No. 20 Tahun 1993, KepMen Kingkungan Hidup No.12 tahun 1994, sedangkan Baku Mutu udara di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. Sampai dengan saat ini pelaksanaan dan pengawasan belum optimal, beberapa industri pengecoran logam ditemukan berada pada nilai kritis ambang batas atas (Yudo, 2000), sehingga diperlukan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan (Brien, 1999; Zink, 2014), memperhatikan aspek manusia (Zink dan Fischer, 2013). Salah satu kualitas lingkungan dipengaruhi oleh kondisi udara. Udara tercemar jika terjadi reaksi masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi
28
atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia. Pengelolaan lingkungan sebagai upaya mempertahankan eksistensi manusia dan pembangunan yang berkelanjutan (Widayati, 2011). Limbah debu yang berada di lingkungan turut serta dalam menentukan kandungan udara bersih. Udara bersih adalah kondisi udara yang mengandung gas yang terdiri dari 78% nitrogen, 20% oksigen, 0,93% argon, 0,03% karbon monoksida dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan dan hidrogen (Prayudi, et al., 2001; Prayitno, 2004). Komponen yang memberikan kontribusi terhadap kualitas udara antara lain Nitrogen dioksida (NO2) dan (SO2) yang umumnya ditemui sebagai kelompok yang utamanya terdiri dari dua komponen yakni gas nitrit oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) dalam atmosfer berbentuk NOx. Penelitian yang dilakukan oleh Prayitno (2004) menunjukkan bahwa kualitas udara di Indonesia lebih buruk dibandingkan kota-kota Asia seperti Malaysia, Thailand, dan Jepang. Pencemaran udara berdasarkan wujud fisiknya yaitu berupa gas dan partikel. Partikel adalah benda padat atau cair yang dimensinya sangat kecil sehingga memungkinkan melayang di udara bebas. Menurut Kristanto (2013) bentuk partikel berupa: a) Kabut (Mist), b) Kabut yang padat atau tebal (fog), c) Asap (Smoke), d) Debu (dust), e) Fume. Secara umum pencemaran udara yang terjadi di industri pengecoran logam berbentuk dust (Moosberg dan Bustnes, 2006). Penentuan titik tempat pengukuran debu dihitung berdasarkan NIOSH Occupational Exposure Sampling Strategy Manual (Moeljosoedarmo, 2008). Total debu tersuspensi di ukur dengan menggunakan Low Volume Sampler (LVS)
29
dengan metode Grafimetri (Kardono, 2008) atau High Volume Sampler (HVS) untuk mengetahui besar kadar debu tersuspensi lingkungan (Nurjazuli, et al., 2010; Prayudi, et al., 2001). 2.2.1
Debu Terhirup Pekerja yang berada di lingkungan berdebu akan mengalami kelainan
fungsi paru, beberapa saran atau rekomendasi pencegahan sudah dilakukan seperti penggunaan masker, namun kurang efektif, karena bekerja dengan masker pekerja merasa kurang nyaman. Beberapa tempat kerja seperti perusahaan genteng dan pematung batu padas telah ditemukan metode menggunakan sistem basah untuk mengurangi debu (Sutjana, 2014b), namun solusi ini tidak dapat dilakukan pada industri pengecoran logam karena berkaitan dengan mutu produk hasil pengecoran baja dengan sifat material propertis permukaan produk logam lebih keras, getas dan sulit dilakukan pada pengerjaan finishing. Debu adalah partikel yang berasal dari proses mekanis yang mempunyai beberapa sifat antara lain; a) pengendapan, b) permukaan basah, c) penggumpalan, d) Listrik Statis, e) Opsis. Karena sifat debu inilah sehingga dapat menyebabkan penyakit
paru-paru
yang
dikenal
dengan
pneumoconiosis.
Kondisi
ini
mempengaruhi efek fisiologis adalah, a) Rate of inhalation, volume penghirupan udara yang mengandung debu, b) Retention of the dust, daya tangkap paru-paru terhadap debu. Ukuran debu menentukan seberapa jauh penetrasi ke dalam sistem pernafasan. Sistem pernafasan mempunyai pertahanan untuk mencegah masuknya debu, seperti bulu hidung untuk partikel debu dalam dimensi besar, sedangkan partikel debu dengan dimensi kecil dicegah oleh membran mukosa yang berada di
30
sepanjang sistem pernafasan (Wahyu, 2002). Partikel debu ini berbahaya jika a) beracun karena sifat kimia dan fisikanya, b) bersifat inert atau tidak dapat bereaksi dengan senyawa lain. Rumus perhitungan kadar debu terhirup pada pekerja adalah sebagai berikut : {
}
(2.5)
Pengambilan sampel debu berada pada daerah atau zona pernafasan pekerja (breathing zone) (Ravichandran, et al., 2005), diukur dengan menggunakan Portable Personal Air Sampler Pump atau disebut juga Personal Dust Sampler (PDS) dengan metode Gravimetri. 2.2.2
Suhu Udara Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata-rata dari gerakan molekul-
molekul yang ada di udara bebas. Suhu suatu benda ialah keadaan yang menentukan kemampuan benda untuk memindahkan atau transfer panas ke suatu benda lain. Suhu lingkungan ditempat kerja yang terlalu panas (heat stress) menyebabkan terjadinya heat stroke menyebabkan kecacatan dan kematian. Suhu lingkungan pada dapur induksi tidak dapat di turunkan, karena berkaitan dengan proses yang harus di lalui untuk mencapai titik lebur baja cair. Oleh karena itu perbaikan lingkungan dilakukan dengan upaya penurunan paparan suhu pada permukaan kulit pekerja. Individu pekerja yang sehat dapat memelihara suhu jaringan dalam tubuh atau suhu inti tubuh dengan rentan 36-370C, apabila terjadi fluktuasi suhu inti tubuh walaupun 1-20C dari nilai normal akan menimbulkan masalah berupa
31
penurunan kenyamanan, gangguan penampilan fisik dan mental. Panas radiasi yang disebabkan oleh proses pengecoran baja cair menyebarkan gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang lebih pendek dan akan diserap oleh benda disekelilingnya termasuk permukaan kulit manusia. Suhu permukaan kulit dapat diukur dengan menggunakan Thermometer. 2.2.3
Kelembaban Kelembaban udara relatif adalah perbandingan jumlah uap air dalam
udara. Kelembaban relative (Relative Humidity) didefinisikan sebagai prosentase perbandingan antara tekanan uap air parsial dengan tekanan uap air jenuh. Pengukuran kelembaban udara relatif dilakukan dengan mengkonversi hasil pengukuran suhu basah dan kering pada Psychometric Chart (Manuaba, 1998a). Kondisi udara yang panas dan lembab berpengaruh terhadap kenyamanan pekerja dalam ruang kerja. Kondisi lembab menyebabkan keringat tidak dapat berevaporasi, kulit tubuh tetap basah, dan panas tubuh meningkat. Menurut Grandjean (1993) menyatakan bahwa batas suhu tinggi antara 35-400C kelembaban 40- 50%; perbedaan suhu permukaan < 40C. 2.2.4
Kecepatan Angin Kecepatan angin adalah kecepatan udara yang bergerak secara horizontal
pada ketinggian dua meter diatas tanah. Kecepatan angin dalam ruang kerja adalah gerakan udara yang dirasakan oleh pekerja. Gerakan udara berpengaruh terhadap suhu dalam ruangan, sehingga agar gerakan udara tidak menimbulkan dampak buruk terhadap pekerja, dianjurkan gerakan udara di dalam ruangan tidak lebih dari 0,2 m/s (Grandjean, 1993).
32
2.2.5
Intensitas Cahaya Intensitas cahaya diatur sesuai dengan jenis pekerjaan, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas kerja. Intensitas cahaya yang kurang baik menyebabkan gangguan visibilitas dan eyestrain. Menurut Tarwaka (2010) beberapa pengaruh intensitas cahaya ditempat kerja antara lain : a) penurunan penglihatan mata terhadap sumber bahaya, b) kelelahan kerja, c) gangguan postur tubuh pekerja akibat sikap paksa, d) pengaruh penglihatan mata bila terjadi cahaya berkedip atau cahaya fliker. Pengukuran intensitas cahaya mempergunakan alatalat seperti photoelectrical cel, foot candel lightmeter, atau lux meter yang dilengkapi dengan brightness meter. Mekanisme pengukuran intensitas cahaya dapat dilakukan berupa: a) pengukuran penerangan rata-rata dari seluruh ruangan (general ilumination), b) pengukuran intensitas penerangan ditempat kerja (local ilumination). 2.2.6
Kebisingan Bising (noise) adalah bunyi yang ditimbulkan dari gelombang suara
dengan frekuensi yang tidak menentu dan berpengaruh terhadap kenyamanan kerja. Frekuensi bunyi dinyatakan dalam satuan getaran/detik atau siklus/detik dalam satuan Hertz (Hz). Bising yang berasal dari aktivitas industri masuk dalam kategori bising nada lebar (wide band noise) yaitu campuran dari berbagai spektrum yang dihasilkan dari berbagai suara seperti bising pada industri karena efek pukulan antar dua benda, bising dari berbagai mesin frais, mesin gerinda dan lain-lain. Bising dibedakan menjadi: a) bising kontinyu, b) bising terputus-putus
33
c) bising impulsif, bising dengan satu atau beberapa puncak intensitas yang sangat tinggi. Pengukuran kebisingan dapat dilakukan dengan: a) sound pressure level meter, menentukan besar pajanan individu bekerja, b) octave band analyzer, memperkirakan frekuensi yang dominan dan membahayakan dalam suatu spektrum bising, c) noise desimeter, mengukur kebisingan pada pekerja yang berpindah-pindah dan memiliki multi aktivitas, alat ini ditempatkan kepada pekerja, atau dibawa oleh pekerja ditempelkan pada badan pekerja. 2.3 Nilai Tambah Limbah Industri Pengecoran Logam Industri pengecoran logam merupakan industri yang memiliki resiko pencemaran lingkungan tinggi (Korol, 2013; Strezov, et al., 2013, dibutuhkan optimalisasi penggunaan produk (Yellishetty, et al., 2011). Label Ekologi (ekolabeling) menjadi syarat pada perdagangan bebas, bahwa proses produksi dari produk yang dihasilkan harus ramah lingkungan. Alasan perlunya memperhatikan hubungan timbal balik industri terhadap lingkungan sekitar antara lain: a) beberapa negara seperti Amerika dan Eropa telah meratifikasi undang-undang lingkungan hidup domestik, menolak produk dagang yang tidak ramah lingkungan, b) Isu lingkungan dalam forum perdagangan internasional penerapan trade measure yang berhubungan dengan lingkungan oleh negara maju (Kristanto, 2013). Teknologi penangkapan partikel debu antara lain: (1) ruang pengendap gravitas, (2) kolektor siklon, (3) penggosok atau sikat basah (wet scrubber), (4) prespirator elektrostatik. Pengembangan teknologi harus memperhatikan produk
34
ramah lingkungan (Luttropp dan Lagerstedt, 2006). Debu sebagai waste produk berpotensi menjadi produk yang mempunyai niai tambah (beneficial waste product). Aktivitas mengolah limbah ini sejalan dengan upaya untuk meningkatkan kesehatan manusia. Tingkat kesehatan adalah status sehat yang ditandai dari kondisi fisiologis berupa; a) proses fisiologis dalam tubuh berjalan normal, b) alat-alat tubuh berfungsi normal, c) fungsi tubuh secara fisik diagnostik normal (Giriwijoyo, 2004). 2.3.1
Perhitungan Benefit Cost Analysis Analisis manfaat biaya (benefit cost analysis) adalah analisis untuk
menaksir kemanfaatan suatu investasi dust collector mempunyai pengaruh positif (benefit) atau pengaruh negatif (disbenefit). Suatu investasi alat atau mesin dikatakan layak apabila rasio antara manfaat terhadap biaya yang dibutuhkan lebih besar dari pada satu (Pujawan, 1995). Proses perhitungan biaya dan manfaat diperlukan pemahaman terhadap penentun nilai atau harga di setiap barang dan jasa yang muncul maupun hilang karena suatu kegiatan tertentu (Suparmoko, 2000). 2.3.2
Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menentukan nilai uang
sekarang dari berbagai aliran kas ke luar maupun aliran uang kas masuk pada waktu tertentu di masa yang akan datang (Brigham dan Daves, 2003; Ristono dan Puryani, 2011). Sebelum menghitung nilai NPV, perlu ditentukan terlebih dahulu B/C Rasio dengan rumus : (2.6)
35
Bila B/C lebih besar dari satu, maka investasi alat dapat diterima, tetapi bila nilai B/C kurang dari satu maka projek tidak dapat diterima, sedangkan bila rasio B/C sama dengan satu maka kondisi projek tidak berbeda (indifferent). Keuntungan merupakan keluaran yang diinginkan untuk diterima, sedangkan kerugian adalah hasil negatif yang sedapat mungkin dihindari (Ristono dan Puryani, 2011). Keuntungan investasi dapat dilihat dari hasil nilai B/C rasio dimana B/C > 1 dilakukan pemilihan investasi, B/C = 1 tidak terdapat perbedaan antara investasi dengan tidak melakukan investasi, B/C <1 lebih baik tidak melakukan investasi karena akan merugi. Rumus dasar dalam analisi biaya dan manfaat adalah sebagai berikut : ∑
∑
(2.7)
Dimana : NPV = Net Present Value ; r = tingkat diskontro; B = Manfaat; t = Waktu; C = Biaya; ∑ = jumlah
Apabila NPV>0, maka projek atau kegiatan itu dianggap layak dan sebaliknya bila NPV<0, projek dinyatakan tidak layak. Guna mempermudah analisa, ada beberapa asumsi sebagai berikut : a) adanya penambahan aktivitas akan berdampak pada pengurangan terhadap debu yang dihasilkan, b) pekerja di lingkungan sekitar akan menilai terhadap suatu usaha yang dimulai dari pengurangan suatu polusi debu lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penilaian pada suatu usaha berikutnya (Reksohadiprodjo dan Brodjongoro, 2000). 2.3.3
Payback Period Payback Period adalah perhitungan yang digunakan untuk mengetahui
berapa lama (tahun) suatu investasi dust collector diperkirakan akan kembali.
36
Perhitungan dengan menggunakan proceed atau net cash flow. Rumus untuk menghitung payback adalah sebagai berikut (Ristono dan Puryani, 2011). (2.8) 2.3.4
Break Even Point (BEP) BEP adalah kondisi dimana perusahaan tidak mendapatkan keuntungan
ataupun kerugian, dengan kata lain impas. Keuntungan yang dimaksud adalah penjualan debu kepada industri lainnya yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan Beton. Perhitungan BEP menurut Giatman (2007) secara matematis sebagai berikut : (2.9) Di mana FC = Fixed Cost, VC = Variable Cost. Menurut Kalangi (2002) bahwa jumlah unit pokok (Q) diperoleh dengan membagi biaya tetap total (FC) dengan selisih antara harga jual per unit ((p) dengan biaya variabel (V), sebaai berikut: (2.10) 2.4 Ekologi Industri Ekologi adalah ilmu yang mengkaji timbal balik makhluk hidup atau kelompok makhluk hidup dengan lingkungan sekitar (Odum, 1971). Sistem industri sebaiknya bertindak seperti suatu ekosistem, limbah dapat dimanfaatkan kembali sebagai sumber daya untuk industri lainnya (Simboli, et al., 2014; Tena, et al., 2014; Acharya, et al., 2014). Konsep EI telah diterapkan di KalundborgDenmark, Brownville Amerika Serikat, Calgary Kanada, sedangkan di negara
37
Indonesia, EI adalah instrumen untuk merancang pembangunan ekonomi yang bekelanjutan dan berwawasan lingkungan (Heldiansyah dan Sarbini, 2012). Sistem industri terbagi menjadi tiga sistem, di antaranya adalah : a. Sistem Industri Type I, sistem industri dengan proses linier. Limbah tidak dilakukan daur ulang namun dilakukan pengolahan, pencemaran menjadi tinggi (find of pipe) dan perlu investasi alat pengolahan limbah. Sistem Industri Type I disebut siklus terbuka. Sumber daya tak terbatas
System Industri
Produk sampingan dan Limbah
Gambar 2.1. Sistem Industri Type I Sumber: Kristanto, 2013 b. Sistem Industri Type II, sebagian limbah didaur ulang untuk dimanfaatkan kembali. Sistem ini disebut sebagai siklus semi tertutup. Komponen System Industri
Energi dan sumber daya terbatas
Limbah Terbatas
Komponen System Industri
Komponen System Industri
Gambar 2.2 Sistem Industri Type II Sumber: Kristanto, 2013 c. Sistem Industri Type III, sistem dengan kesetimbangan dinamik yakni energi dan limbah didaur ulang dan menjadi bahan baku industri lainnya. Sistem industri tertutup. Sistem Industri Type III ini menjadi tujuan akhir dari konsep ekologi industri.
38
Komponen System Industri
Energi
Komponen System Industri
Komponen System Industri
Gambar. 2.3 Sistem Industri Type III Sumber: Kristanto, 2013 Hubungan manusia dan lingkungan mempunyai kaitan erat, pekerja yang berada pada lingkungan terbatas akan mengurangi konsentrasi oksigen yang tersedia untuk menghasilkan kalor, karbondioksida meningkat sehingga suhu dalam ruangan meningkat. Kenaikan suhu ini merangsang pembentukan keringat pekerja sehingga udara dalam ruangan meningkat yang akan mengakibatkan konsentrasi dan kinerja karyawan menurun. Pendekatan yang digunakan untuk memenuhi hubungan manusia dan lingkungan menurut Kristanto (2013) adalah: a) antroposentrisme, memandang manusia sebagai pusat segalanya dan di atas dari segala sesuatu yang terdapat di alam semesta, b) biosentrisme, manusia sebagai bagian dari organisme hidup yang ada di alam semesta. Unsur-unsur yang menyebabkan pencemaran udara lingkungan berdampak pada kesehatan manusia umumnya berasal dari karbonmonoksida (CO), Hidrokarbon (HC), Oksida Nitrogen (NOx), Oksida Belerang (Sox) dan partikulat. Sumber partikel abu terbang (fly ash) adalah dari proses peleburan baja dan proses pembakaran yang tidak sempurna. Pengaruh
39
adanya partikel terhadap kondisi kesehatan manusia adalah gangguan pernafasan. Bulu hidung berfungsi mencegah partikel dengan ukuran besar, sedangkan membran mukosa akan menahan partikel yang lebih kecil. 2.4.1 Teknologi Produksi Bersih (The Clean Production Technology) Teknologi Produksi bersih adalah upaya pengendalian dan pengolahan pencemaran yang difokuskan pada pengurangan polutan, eliminasi polutan pada sumbernya dan mencegah dan meminimalisasi terbentuknya limbah pada seluruh tahapan proses produksi (Kristanto, 2013). Penerapan teknologi produksi bersih dapat dilakukan antara lain: a) bussiness driven technology, adopsi teknologi yang sudah ada dan canggih sehingga keuntungan dari sisi ekonomi dan perbaikan lingkungan dapat tercapai, b) clean technology, mengadopsi teknologi canggih dengan tujuan utama berupa perbaikan lingkungan, c) appropriate technologies, adopsi teknologi sederhana untuk meningkatkan kinerja lingkungan dengan tujuan utama meningkatkan keuntungan, d) low hanging fruit technology adalah adopsi teknologi sederhana dengan tujuan berupa peningkatan kualitas lingkungan (Berkel, 2001). Adopsi teknologi menurut Manuaba (1998d), appropriate technologies adalah pemilihan atau penggunaan teknologi tepat guna dengan menerapkan 6 (enam) kriteria meliputi: a) secara teknis lebih efisien, b) secara ekonomis lebih menguntungkan, c) secara kesehatan dan ergonomi tidak menimbulkan penyakit baru, d) secara sosial budaya tidak menimbulkan gejolak baru, d) tidak merusak lingkungan, e) hemat energi dengan rancangan mengunakan antropometri pemakai.
40
Strategi penerapan teknologi produksi bersih 1E4R yaitu Elimination, Reduce, reuse, Recycle, Recovery menurut United Nations Environment Program (UNEP), sedangkan menurut Kebijakan Nasional teknologi Produksi bersih 5R yaitu Rethink, Reuse, Reduction, Recovery, Recycle (Purwanto, 2009; Kristanto, 2013). Skala penerapan teknologi produksi bersih dibagi menjadi tiga (Berkel, 2000): yakni a) Skala Mikro, penerapann berfokus pada kimia ramah lingkungan, dilakukan analisis efisiensi bahan dan langkah sintesis proses, ekonomi anatomik, pengembangannya berupa proses berwawasan lingkungan atau penggunaan kimia ramah lingkungan, b) Skala Meso, penerapan berfokus pada efisiensi bahan dan energi pada produk, proses produksi dan jasa, menggunakan kajian daur hidup, pengembangan proses dan produk yang eco-efficiency, c) Skala makro, penerapan berfokus pada efisiensi aliran bahan pada jejaring industri, analisis ekonomi akutansi atau lingkungan, pengembangan pada inovasi sistem. 2.4.2 Strategi Penerapan Teknologi Produksi Bersih Fokus penerapan teknologi produksi bersih adalah minimalisasi resiko yang terjadi pada manusia dan lingkungan sekitar. Prinsip dalam penerapan teknologi produksi bersih dikenal dengan istilah 5R (Purwanto, 2005; 2009) atau dengan pendekatan 4R yang diawali aktivitasnya berupa Re-think (Kristanto, 2013). Strategi tersebut dijabarkan menjadi: a) berfikir ulang (Rethink) adalah pola pikir tentang perubahan yang akan dilakukan menuju kondisi lingkungan yang lebih baik dan keuntungan yang meningkat berorientasi perubahan produk atau proses, b) penggunaan kembali atau pakai ulang (Reuse) memungkinan
41
limbah dapat digunakan kembali tanpa mengalami perlakuan fisika, kimia atau biologi, c) pengurangan limbah pada sumbernya (Reduction), d) pungut ulang atau ambil ulang (Recovery) memisahkan bahan dari limbah untuk kemudian dikembalikan pada proses produksi dengan atau tanpa perlakuan fisika, kimia, biologi, e) daur ulang (Recycle) memanfaatkan limbah dengan memprosesnya kembali ke bentuk semula melalui perlakuan fisika, kimia atau biologi. Pada penerapan prinsip teknologi produksi bersih proses perlakuan pencetakan baja tidak melakukan aktivitas Reuse, karena limbah debu yang dihasilkan dapat digunakan kembali memeerlukan perlakuan kimia. 2.5 Penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total Penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total adalah manajemen strategi 5R (Rethink, Reuse, Reduction, Recovery, Recycle) yang menitikberatkan pada penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) melalui pendekatan SHIP (Systemic, Holistic, Interdisiplinary, Participatory) sehingga dapat meningkatkan kinerja karyawan, kualitas lingkungan perusahaan, nilai tambah limbah perusahaan. 2.5.1
Konsep Ergonomi Total Pendekatan Ergonomi Total yang dilakukan secara Sistemik, Holistik dan
melalui lintas disiplin ilmu (interdisipliner) serta pendekatan Partisipatori yang dikenal dengan kajian SHIP, sehingga keinginan dan kebutuhan dari industri akan memberikan alternatif solusi atas masalah yang sedang dihadapi (Sutjana, 1996; Adiputra 1997). Ergonomic balanching secara umum dapat memberikan manfaat
42
terhadap peningkatan kinerja maupun produktivitas secara aman, nyaman, sehat, efektif, efisien dan produktif (Manuaba, 1999). Ergonomi Total mempertimbangkan penyelesaian masalah ergonomi menggunakan 8 unsur, meliputi: energi atau status nutrisi (nutrition), pemanfaatan tenaga otot (musculoskeletal), sikap kerja (posture), kondisi waktu (time), kondisi sosial
(social),
kondisi
lingkungan
(environmental),
kondisi
informasi
(information), interaksi manusia dan mesin (man-machine Interface) (Manuaba, 1992b). Perbaikan atau intervensi yang diterapkan di industri pengecoran logam, didasarkan pada hasil identifikasi masalah dan data penelitian pendahuluan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pendekatan Ergonomi Total merupakan penerapan Teknologi Tepat Guna melalui pendekataan SHIP; Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori (Manuaba, 2004, 2005b). 2.5.1.1 Delapan Aspek Ergonomi a. Energi atau Status Nutrisi (Energy atau Nutrion) Pekerjaan fisik pada kategori sedang sampai dengan berat ditambah tempat kerja dengan lingkungan panas, kebutuhan karbohidrat dan mineral lebih dominan (Grandjean, 1993). Pemberian tambahan nutrisi pada saat istirahat sangat dianjurkan untuk mengembalikan kalori dan memulihkan tenaga yang terpakai. Pekerjaan pada industri pengecoran logam masuk pada kategori sedang sampai dengan berat, perusahaan sudah menyediakan minuman berupa air mineral. Pemberian air minum dapat memulihkan stamina tubuh (Atmaja, 2009; Arsa, 2011).
43
b. Tenaga otot (Use of Muscle) Penggunaan tenaga otot untuk menyelesaikan penuangan baja cair ke dalam cetakan, pembongkaran cetakan dan pembersihan manual pada proses mencetak baja berakibat oklusi intramuskular, sehingga mengurangi produksi ATP menjadi dua mol dan terbentuk asam laktat akibat metabolisme dan anaerobik (Grandjean dan Kroemer, 2000). Penurunan energi dan akumulasi asam laktat akan mempercepat timbulnya kelelahan dan keluhan otot yang apabila terakumulasi akan menimbulkan nyeri otot (Guyton dan Hall, 2000). Penelitian pendahuluan yang dilakukan Susihono (2014a) pekerja mengusulkan perlunya perancangan Ladle yang ergonomis, perancangan dimensi handle yang antropometris. c. Sikap Tubuh (Body Posture) Sikap tubuh sangat berhubungan dengan aspek pembebanan dan kesehatan kerja. Sikap tubuh yang terjadi pada proses mencetak baja antara lain membungkuk, penggunaan otot berlebih saat penggunaan tools berupa Ladle, bekerja dengan menghirup partikel debu pasir cetak. Pekerja pada saat mengoperasikan Ladle terkena radiasi panas baja cair, kondisi kerja yang tidak alamiah menyebabkan nyeri pada tubuh tertentu (Kee dan Karwowski, 2007; Inzumi, 2008), penurunan produktivitas dan efisiensi kerja (Manuaba, 1998b). Pengaturan mekanisme kerja baru dengan mempertimbangkan sikap kerja yang lebih ergonomis perlu dilakukan sehingga perlu penyesuaian SOP yang berorientasi sikap kerja alamiah dan minimalisasi efek panas yang ditimbulkan dari baja cair dalam Ladle. Kondisi serupa juga harus dilakukan pada aktivitas
44
pembongkaran cetakan dan pembersihan manual as cast di mana sikap kerja yang terjadi berupa membungkuk terlalu ekstrim, kemudian menekan tools dengan tenaga otot yang diikuti dengan menahan nafas dan mengirup nafas dengan cepat. Aktivitas ini sangat berbahaya, karena efek samping dari proses pembongkaran cetakan dan pembersihan manual pasir cetak dan pengotor (as cast) menimbulkan debu berupa fly ash, yang berpotensi dihirup secara langsung oleh pekerja. d. Lingkungan Kerja (Work Environment) Aktivitas penuangan baja kedalam cetakan menggunakan Ladle, berdampak pada pekerja terpapar panas baja cair, sehingga jarak dan dimensi handle Ladle perlu disesuaikan antara jarak pegangan, beban dan radiasi panas, sehingga organisasi kerja dapat maksimal. Pekerja dalam aktivitas mencetak baja juga mempunyai potensi berupa menghirup partikel debu secara langsung yang berasal dari efek hasil samping proses pembongkaran hasil cetakan baja. Penelitian pendahuluan (Susihono, 2014a) pekerja mengusulkan perlunya alat yang dapat menangkap debu. e. Kondisi Waktu (Time Condition) Waktu Kerja sering didefinisikan sebagai waktu kerja maksimal di mana seseorang dapat bekerja dengan baik dengan kondisi lingkungan kerja yang normal, pada umumnya dihitung 8 jam/hari termasuk jam istirahat (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993). Waktu kerja yang ada di industri pengecoran logam diberlakukan 6 hari kerja efektif, bekerja mulai pukul 07.30 sd 15.00, waktu istirahat 1 jam pada siang hari mulai pukul 11.30 sampai dengan 12.30.
45
Dibutuhkan waktu istirahat aktif untuk melepaskan lelah sesaat dan mengurangi beban kerja (Susihono, 2014a). f. Kondisi Sosial (Socio-Cultural) Kondisi sosial budaya kerja dapat berupa interaksi; antar pekerja, masyarakat keluarga, perusahaan. Ergonomi harus di aplikasikan dengan mempertimbangkan budaya (Chapanis, 1974). Nilai atau value bersifat turun temurun (heritage), atau merupakan nilai baru yang berkembang dan melekat pada suatu
kelompok seiring dengan berjalannya waktu, (Kaplan, 2004;
Widyanti, 2011). Industri pengecoran logam yang ada di Ceper rata-rata merupakan perusahaan keluarga, sehingga manajemen perusahaan dikelola oleh orang yang mempunyai jalinan persaudaraan. Budaya penggunaan APD pada saat bekerja masih minim, kondisi ini juga terjadi pada industri sejenis lainnya. Keilmuan yang dikembangkan di negara maju seperti Eropa maupun USA, produk-produk yang dihasilkan dari suatu industri maju berdasarkan standar yang sudah ada, padahal dimensi tubuh dan aktivitas fisik dari berbagai negara tidak sama. Penerapan ergonomi memerlukan pertimbangan pada aspek antropomtri pekerja lokal (Widyanti, 2011). Antropometri berkaitan dengan pengukuran dan karakteristik dari tubuh manusia. Pengukuran tubuh manusia dilakukan dalam keadaan statis dan dinamis (Bridger, 1995). Rata-rata industri pengecoran logam di wilayah Ceper adalah warisan yang sudah lama dijalankan, sehingga mulai Top Management industri pengecoran logam di Ceper rata-rata dipegang oleh keluarga dan saudara dekat. Kondisi culture menjadi acuan dalam perbaikan kerja (Manuaba, 1998a).
46
g. Kondisi Informasi (Information) Komunikasi antara pekerja dengan pimpinan menggunakan lisan dan tulisan. Penyampaian jadwal dan target harian yang sudah dilakukan berupa informasi tertulis dan lisan yang disampaikan kepada pekerja. SOP kerja sudah ada, namun belum dijalankan secara optimal, sehigga berpengaruh pada waktu penyelesaian proses pengerjaan produk yang tidak sama antara satu pekerja dengan pekerja yang lainnya. Belum adanya informasi pembagian tugas dan rotasi pekerjaan di stasiun pencetakan pada aktivitas mencetak baja mulai dari penuangan baja cair kedalam cetakan menggunakan Ladle, pembongkaran cetakan, pembersihan manual dari pasir cetak dan pengotor (as cast). Perusahaan juga belum membuat petunjuk arah jalan yang boleh dan tidak boleh dilalui oleh pekerja, garis lantai aman atau tidak aman untuk dilewati pekerja maupun tamu atau orang asing, slogan kerja ergonomis dan keselamatan kerja (susihono, 2014a). Jika dilihat dari proses kerja, kondisi yang belum ada berupa display/papan kendali cor yang ergonomis untuk membantu penyampaian informasi pekerjaan dan target kerja di Stasiun kerja pencetakan. Memudahkan pekerja dalam informasi target atau tugas pekerjaan yang harus diselesaikan pada tiap periodenya, sehingga kelancaran informasi mengurangi kesalahan kerja dan frekuensi bertanya kepada manager produksi. Informasi kerja perlu dipasang di papan pengumuman yang dekat dengan pekerja dan slogan kerja yang dipasang di tempat-tempat strategis, dapat dilihat oleh karyawan setiap saat. (Grandjean dan Kroemer 2000; Manuaba, 1999).
47
h. Interaksi Manusia-Mesin (Human-Machine Interface) Tools yang selalu digunakan pekerja dalam proses penuangan baja kedalam cetakan, adalah mengunakan Ladle. Alat bantu kerja atau mesin sebaiknya dirancang menyesuaikan antara system kerja dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasan manusia (Fitting the job to the man) (Grandjean dan Kroemer, 2000; Manuaba, 2005a). Pegangan dan wadah (Ladle) merupakan satu kesatuan dalam pengoperasian kerja. Terdapat kondisi dimensi handle dengan ukuran yang bervariasi ini berdampak pada sikap kerja yang tidak sama antara satu pekerja dengan pekerja lainnya. Dust Collector yang digunakan sebagai alat bantu menangkap debu pada saat aktivitas pembongkaran cetakan dirancang agar mempermudah dan memberikan kenyamanan kerja, tidak menimbulkan permasalahan baru terhadap kesehatan manusia. 2.5.1.2 Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) Perancangan alat yang ergonomis pada Ladle dan dust collector di industri pengecoran logam memberikan dampak pada perbaikan sikap kerja. Rancangan Teknologi Tepat Guna dapat memberikan manfaat antara lain berupa: a) pemakaian otot atau energi lebih efisien, b) waktu lebih efisien, c) kelelahan berkurang, d) kecelakaan kerja berkurang, e) penyakit akibat kerja berkurang, f) kenyamanan dan kepuasan kerja meningkat, g) efisiensi kerja meningkat, h) mutu produk dan produktivitas kerja meningkat, i)
kesalahan kerja berkurang dan
kerusakan dapat diminimalkan, j) pengeluaran atau biaya untuk mengatasi akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dikurangi dan konsekuensinya biaya operasional dapat ditekan (Manuaba, 2000c).
48
Menurut Manuaba (2004) kajian Teknologi Tepat Guna (TTG) yang diaplikasikan di negara Indonesia sebagai negara berkembang harus memiliki kriteria a) teknis, b) ekonomis, c) ergonomis, d) sosio-kultural, e) hemat energi, f) ramah lingkungan, dan ditambahkan trendi (Sutjana, et al., 2005). Secara lebih rinci penerapan TTG diuraikan sebagai berikut: a. Secara Teknis Bahan baku pembuatan Ladle menggunakan bahan berupa besi yang tersedia di perusahaan, pengerjaan dilakukan oleh pekerja, sedangkan bahan baku cashing dust collector menggunakan seng dan beberapa komponen yang sudah ada di pasaran. Pengerjaan desain ini tidak memerlukan alat atau mesin yang canggih, sehingga dapat dikerjakan pada bengkel manufaktur secara umum. Secara teknis, bila bahan sudah tersedia, dapat dikerjakan oleh setiap bengkel permesinan secara umum. Adanya rancangan Ladle sebagai alat menampung baja cair untuk didistribusi ke dalam cetakan, diharapkan hasil kerja lebih baik dilihat dari mekanisme kerja sesuai dengan SOP, beban kerja berkurang. Perbaikan yang dilakukan pada Ladle adalah perancangan handle yang mempertimbangkan antropometri tangan manusia dengan bahan baku dari besi, pengerjaan menggunakan mesin Bubut, sedangkan pembuatan Dust Collector, cashing menggunakan bahan utama besi, dan perakitan dengan cara manual. Penggunaan Ladle baru diharapkan mekanisme kerja proses penuangan baja cair kedalam cetakan lebih baik, sikap kerja lebih nyaman, tidak banyak cairan baja yang tumpah atau berceceran, pengorganisasian kerja lebih jelas sehingga kesesuaian ukuran dan perhitungan penuangan lebih baik sehingga
49
dihasilkan produk yang lebih bagus dengan mutu yang terstandarisasi. Kedua alat bantu ini mudah digunakan (user friendly), mudah dirawat karena tidak memerlukan
penanganan
khusus
(maintenance
friendly),
dan
karena
pembuatannya tidak menggunakan bahan yang berbahaya terhadap manusia, Ladle dirancang dengan memperhatikan antropometri manusia, serta penempatan dust colector berada pada posisi samping pekerja, sehingga paparan terhadap debu lingkungan berkurang (environmental friendly). b. Ekonomis Karena bahan untuk pembuatan produk Ladle sudah tersedia di perusahaan, secara hitungan biaya, tidak memerlukan investasi yang lebih mahal, sehingga biaya pembuatan alat terjangkau, sedangkan pada pembuatan mesin dust collector beberapa komponen menggunakan bahan yang sudah ada di perusahaan seperti pembuatan rumah blower, baling-baling, cashing baling-baling, Syclone, Troly, penyangga. Komponen yang dibeli antara lain Motor EM 1 Hp 1 Phasa 220 Volt; 2 Pole 2800 Rpm, Roda troli sebanyak 4 buah, Karung atau kantong debu, Selang yang secara hitungan ekonomis masih menguntungkan. Kedua produk ini tidak memerlukan ongkos pengerjaan yang mahal, karena dikerjakan oleh pekerja sendiri. Kisaran biaya atas pembuatan Ladle adalah antara Rp900.000,00 sampai dengan
Rp1.300.000,00
sedangkan
pembuatan
Dust
Collector
antara
Rp3.500.000,00 sampai dengan Rp4.000.000,00 apabila dengan penambahan Cyclone penambahan biaya ± Rp1.350.000,00 Biaya ini lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian peralatan siap pakai.
50
Adanya rancangan Dust Collector memberikan keuntungan tambahan kepada perusahaan melalui penjualan dan pemanfaatan fly ash oleh industri lain. Keuntungan lain dengan adanya rancangan kedua alat bantu ini, yakni Ladle adalah pekerja dapat menyelesaikan penuangan baja cair dengan memperhatikan kemampuan, kebolehan dan keterbatasan yang dimiliki, sehingga tidak terjadi overworking,
pekerja
muskuloskeletal,
tidak
sedangkan
cepat
mengalami
penggunaan
Dust
kelelahan Collector,
dan pekerja
keluan akan
memperoleh keuntungan berupa peningkatan kesehatan dilihat dari penurunan debu yang dihirup. Biaya atas pemeriksaan atau pengobatan akibat adanya debu yang dihirup dapat di saving. c. Ergonomis Redesain Ladle dan Dust Collector dapat dipertanggung jawabkan penggunaanya, karena mengunakan ukuran antropometri manusia. Penggunaan alat bantu ini dapat meningkatkan kenyamanan dan keamanan dalam mengoperasikannya. Redesain Ladle dipertimbangkan jarak handle dengan pusat beban, diameter atau dimensi handle, bentuk handle disesuaikan dengan dimensi genggaman tangan, mengurangi paparan panas baja cair pada pekerja. Desain dust collector mempertimbangkan kemudahan pengoperasian, kekuatan hisap debu, kemudahan dan keamanan dalam pengambilan hasil debu. Penempatan dust collector berada diposisi berlawanan dengan pekerja, sehingga tidak menganggu pekerja menyelesaikan pembongkaran cetakan. Pengoperasian alat dengan sikap yang alamiah, berdampak potensi timbulnya cidera kerja dapat diminimalisasi (Nurmianto, 1996)
51
d. Diterima oleh sosial budaya (Sosio-Kultural) Redesain Ladle dan dust colector berdasarkan keinginan pekerja sebagai pengguna alat pada tiap harinya. Pernyataan terhadap desain dari kedua alat bantu ini dihimpun dengan menggunakan metode Focus Group Discussion. Desain mempertimbangkan tata nilai (value) atau norma, kebiasaan kerja yang selama ini dan telah bertahun-tahun dijalankan di perusahaan. Pengoperasian Ladle baru dengan dua operator, tidak merubah jumlah pekerja dan kebiasaan yang telah dijalankan oleh pekerja pada tiap harinya. Pemasangan dust collector tidak menimbulkan sikap kerja baru dan tidak merubah posisi dan mekanisme pembongkaran cetakan dan pembersihan as cast. Area aktifitas kerja pada saat pembongkaran cetakan tidak berubah. Pertimbangan ini dilakukan dengan tujuan redesain dapat diterima, diaplikasikan, dirawat secara terus-menerus dan tidak menimbulkan masalah yang berdampak sosial lainnya. Karena masyarakat sudah terbiasa dengan pengunaan power listrik, maka Dust Collector dirancang dengan menggunakan power dari listrik dengan pertimbangan adanya kemudahan pengoperasian kerja. e. Hemat Sumber daya Alam atau Energi Penghematan energi yang diperoleh setelah menggunakan Ladle hasil rancangan adalah diharapkan energi yang dikeluarkan oleh pekerja berupa beban otot dapat menurun, sedangkan mesin dust collector dapat mengurangi debu terhirup oleh pekerja sehingga keluhan fisiologis pekerja dapat menurun, energi yang berasal dari luar pekerja berupa pengurangan tenaga fan untuk menyedot debu berkurang, juga pengurangan air yang digunakan untuk membasahi lantai
52
produksi. Bahan bakar listrik untuk mengoperasikan Dust Colector selain mudah diperoleh juga lebih hemat bila dibandingkan dengan menggunakan power lainnya. f. Ramah Lingkungan Bahan yang digunakan untuk pembuatan Ladle dan dust collector tidak ada yang berdampak pada timbulnya reaksi kimia baru pada saat maupun setelah digunakan
sehingga
aman
terhadap
lingkungan
sekitar
(environmental
conservation). Kebisingan yang ditimbulkan oleh kuparan sudu dan mesin Power Dust Collector dirancang seminimal mungkin sehingga tidak menimbulkan bising pada saat pengoperasian. Mekanisme operasi Dust Collector yang terjadi adalah proses mekanik dan tanpa adanya senyawa kimia yang dicampurkan, sehingga ada jaminan ramah lingkungan. g. Trendi Pemilihan rancangan alat memperhatikan fungsi dan kemudahan operasi, serta keinginan pengguna, Ladle dirancang dengan fungsi tetap, namun memberikankan keamanan dan rasa nyaman kepada karyawan yang lebih baik bila dibandingkan dengan rancangan Ladle pada umumnya. Bentuk handle yang mengikuti antropometri tangan pekerja, adanya sekat penopang dan penghambat radiasi panas baja cair ke tubuh pekerja, memberikan tambahan kenyamaan terhadap pengoperasian Ladle. Alat yang dirancang memperhatikan antropometri dan disesuaikan dengan keinginan pengguna tergolong mengikuti trend atau perkembangan zaman saat ini.
53
Sedangkan pada alat Dust Collector dirancang secara portable. Perancangan dust collector pada umunya ditempatkan secara terpisah dan menempel secara tetap pada dinding perusahaan, padahal aktivitas pembongkaran cetakan dan pembersihan manual dikerjakan pada tempat yang berpindah-pindah mengikuti alur cetakan, sehingga perlu alat yang portable untuk membantu dalam menyelesaikan proses kerja. Pertimbangan kemudahan pengoperasian dan kenyamanan pengguna menjadi pilihan produk yang ada di pasaran saat ini, sehingga rancangan dust collector telah mengikuti perkembangan zaman. 2.5.1.3 Pendekatan SHIP (SHIP Approach) Semua kriteria Teknologi Tepat Guna (TTG), harus melalui pendekatan SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori) sebagai upaya perbaikan atau intervensi yang akan diterapkan di industri pengecoran logam. Proses identifikasi masalah dilakukan oleh semua pihak secara bersama-sama, sehingga keberhasilan terhadap solusi yang dipilih dapat dirasakan oleh semua pihak, dan apabila terjadi kendala, merupakan bagian yang dapat dipecahkan bersama-sama pula (Manuaba, 2004) untuk perbaikan terus-menerus (continuous improvement). a. Sistemik Sistemik, artinya semua faktor yang mempengaruhi dari permasalahan harus teridentifikasi tanpa ada yang tertinggal. Sistem interaksi manusia terhadap mesin atau alat dimana proses mencetak baja dimulai dari penuangan baja cair ke dalam cetakan dengan menggunakan Ladle, proses pembongkaran
cetakan,
pembersihan manual bahan setengah jadi dari pasir cetak dan pengotor. Sistem
54
interaksi manusia terhadap penggunaan alat yang ergonomis akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian pekerjaan, sedangkan alat bantu Ladle yang tidak ergonomis akan berdampak pada tidak teraturnya organisasi kerja, kualitas cetakan yang tidak bagus atau produk reject. Pemakaian Dust Collector mengurangi sebagai interaksi manusia terhadap mesin atau alat dapat mengurangi debu yang terhirup pada pekerja sehingga kinerja dan kesehatan kerja dapat meningkat. Target produksi perusahaan berdampak pada target produksi dalam satuan waktu yang harus dikerjakan sebagai target individu pekerja. Suatu sistem kerja akan berjalan dengan baik bila pekerja memperhatikan kemampuan dan keterbatasan kondisi fisiologis tubuh yang dimiliki (Adiputra, 1992). Redesain Ladle mempertimbangkan ukuran antropometris manusia, sikap kerja
yang
nyaman
dan
aman,
begitu
juga
desain
Dust
Collector
mempertimbangkan kemudahan pengoperasian, tidak menimbulkan kondisi kerja baru yang menganggu mekanisme dan sikap kerja yang sudah dirancang secara ergonomis. Interaksi manusia dengan manusia dapat terwujud dengan perbaikan organisasi kerja proses mencetak baja, manusia menjadi perhatian yang utama. Adanya perbaikan interaksi manusia dengan lingkungan kerja, debu fly ash ditangkap dan diolah menjadi bahan baku produk turunan. b. Holistik Holistik artinya masalah dilihat secara menyeluruh dan komprehensif antara satu sistem dan kaitannya dengan sistem yang lainnya. Sistem kerja pada aktivitas mencetak baja yang lebih baik, akan berpengaruh secara langsung pada
55
proses finishing yang lebih baik. Proses kerja juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan berupa iklim, kelembaban, kecepatan angin, intensitas cahaya dan kebisingan. Faktor internal berupa usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, pengalaman kerja dan status kerja. Faktor eksternal hubungan kerja, pola kepemimpinan. Pendekatan secara holistik akan berdampak pada perbaikan sistem dimasa yang akan datang (Kunz, et al., 2013). Sistem yang merupakan satu keatuan pengaruh dari beberapa sub-sistem tidak langsung dengan adanya penerapan prinsip Holistik ini adalah: a) Sistem pengupahan kerja, karena adanya waste yang dapat dinilai secara ekonomis, keuntungan perusahaan akan naik dan adanya pengurangan biaya untuk perawatan gedung, b) Sistem kesehatan lingkungan, yang selama ini perusahaan harus menginvestasikan biaya untuk menganti limbah yang dibuang di udara bebas, c) Sistem asuransi pekerja, yang dapat diminimalkan dengan asumsi paparan debu pada pekerja dapat berkurang, biaya atas kesehatan kerja dapat dialihkan untuk peningkatan atau perbaikan gizi/nutrisi. c. Interdisipliner Interdisipliner artinya semua bidang keilmuan harus turut serta memberikan sumbang saran terhadap penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh industri pengecoran logam. Beberapa bidang ilmu yang berhubungan untuk penyelesaian permasalahan adalah: a) Ahli Ergonomi yang akan menganalisis hubungan atau keterkaitan antara manusia dengan pekerjaannya, b) Teknik Industri untuk menyeleksi berbagai alternatif desain dan merancang desain Ladle dan Dust Colletor secara teknis, c) Ahli Ekonomi untuk menghitung keuntungan
56
perusahaan berupa benefit cost analysis, payback period dan BEP sehingga produk layak jual, d) Teknik Lingkungan untuk menganalisis kondisi lingkungan berupa debu tersuspensi yang ada di perusahaan dan penerapan teknologi produksi bersih (The clean production Technology), e) Teknik sipil untuk menguji dan menganalisis waste produk berupa flay ash yang tertangkap oleh dust collector untuk dijadikan tambahan bahan baku agregat halus pembuatan beton. Para ahli membentuk satu tim dan merumuskan permasalahan secarabersama-sama mulai dari awal pelaksanaan sampai dengan tahapan evaluasi, sehingga dapat meyakinkan intervensi Ekologi Industri berorientasi Ergonomi Total dapat realistis dan dilaksanakan. Masalah yang akan dirumuskan mulai dari aspek Task, Organisasi dan lingkungan kerja pada proses mencetak baja yakni: a) penuangan baja cair kedalam cetakan menggunakan Ladle, b) proses pembongkaran cetakan, c) proses pembersihan manual as cast dari pasir cetak. d. Partisipatori Partisipatori artinya semua orang harus terlibat sejak awal sampai dengan berakhirnya program. Beberapa yang terlibat antara lain pekerja di stasiun pencetakan baja, Manager Produksi, General Manager untuk menentukan permasalahan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan dan pertimbangan penerapan TTG yang akan didesain. Pendekatan partisipatori dalam intervensi ergonomi mampu meningkatkan kualitas hasil pengembangan suatu produk baru, pendekatan partisipatori ini dimulai dari menanyakan langsung kepada pengguna dari beberapa alternatif produk yang digunakan (Sutjana, et al., 1999).
57
Pekerja diberikan waktu dan kesempatan untuk memberikan masukan desain Ladle dan Dust Colelctor, melakukan evaluasi desain Ladle dan Dust Colelctor, bersama-sama memantau proses pembuatan kedua alat ini, sehingga apa yang menjadi keinginan pekerja dapat diakomodir atau diterapkan pada rancangan baru. Kepada semua disiplin ilmu harus terlibat secara bersama-sama pula, dan memberikan sumbang saran pikiran atau masukan yang berkaitan dengan rancangan produk mulai dari desain gambar, desain prototype, uji coba alat baru, pembuatan SOP untuk panduan pengoperasioan mesin dengan sikap kerja yang alamiah, evaluasi dampak setelah penggunaan alat atau pada saat alat dioperasikan,
evaluasi
beban
kerja
maupun
kekuatan
material
bahan.
Permasalahan digali dan ditemukan oleh semua pihak yang terlibat, kemudian diberikan ruang untuk menyumbangkan alternatif penyelesaian masalah. Beberapa yang dapat dilakukan oleh Pekerja, Manager Produksi dan General Manajer untuk memperoleh gambaran permasalahan yang ada di lantai produksi industri Pengecoran logam adalah dengan menerapkan 4 langkah proses, meliputi a) penjelasan dan diskusi awal mengungkap masalah, b) Focus Group Discussion (FGD), c) Role Play, d) Observasi lapangan. Pada akhir aktivitas perlu dilakukan evaluasi secara bersama-sama untuk melanjutkan penyelesiaan permasalahan pada prioritas yang lainnya. Implementasi pendekatan holistik dilakukan pada saat pendefinisian, analisis dan penyelesaian masalah dengan memasukkan Teknologi Tepat Guna (TTG) yang melibatkan secara aktif para pekerja dan stake holder yang lainnya dalam satu tim (Manuaba, 2006).
58
Pada masa adaptasi, Dust collector dan Ladle dioperasikan secara terusmenerus dalam rangka uji coba alat baru, setiap pekerja harus mencoba dan memberikan masukan guna memperoleh perbaikan terhadap rancangan karena pada akhirnya pada pekerjalah alat ini akan dipakai secara terus-menerus. Pekerja dilibatkan sejak awal sampai dengan evaluasi rancangan alat bantu, sehingga secara fisik pekerja hadir untuk memberikan alternatif usulan rancangan (the body), bersama-sama memberikan masukan dengan melakukan proses dan pengawasan pembuatan alat bantu (the mean) serta bersama-sama turut serta mencoba dan memberikan masukan perbaikan alat bantu guna menyempurnakan Dust collector dan Ladle hasil rancangan baru. 2.5.2
Ekologi Industri melalui Penerapan Teknologi Produksi Bersih
2.5.2.1 Kelemahan Ekologi Industri melalui Penerapan Teknologi Produksi Bersih Pemilihan penerapan suatu konsep tidak selalu memberikan dampak yang sempurna, terdapat beberapa kelemahan dalam proses aplikasi di industri. Beberapa kelemahan atau kekurangan yang terjadi, bila suatu perusahaan melakukan adopsi konsep Ekologi Industri (EI) melalui penerapan Teknologi Produksi Bersih yang terdapat pada manajemen lingkungan antara lain berupa: a.
Faktor kesehatan manusia dianggap telah diperbaiki sejalan dengan adanya pengolahan limbah perusahaan (waste to product) yang akan menjadi bahan baku pada industri turunan lainnya.
59
b.
Tuntutan pengetahuan terhadap perkembangan adopsi teknologi terbaru, pimpinan puncak harus memilih dan menentukan fokus strategi pengolahan limbah.
c.
Terkadang perusahaan memerlukan modal yang cukup mahal untuk membeli investasi alat baru yang mampu melakukan operasi dengan efek perlakuan lebih ramah terhadap lingkungan, belum ada kajian Teknologi Tepat Guna (TTG) yang mendalam.
2.5.2.2 Kelebihan Ekologi Industri melalui Penerapan Teknologi Produksi Bersih Perusahaan berkembang mempertimbangkan perlunya penerapan konsep Ekologi Industri melalui Teknologi Produksi Bersih, karena pada aktivitas ini lingkungan menjadi faktor dominan untuk diperbaiki menuju keberlanjutan perusahaan yang ramah lingkungan, sehingga apabila perusahaan menerapkan konsep Ekologi Industri melalui penerapan Teknologi Produksi bersih, akan mempunyai beberapa manfaat atau keuntungan berupa : a.
Tercapainya tujuan utama bisnis perusahaan berupa peningkatan keuntungan dan kualitas lingkungan perusahaan.
b.
Perubahan dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku yang mengarah pada pengaturan diri sendiri (self regulation) dari pada secara command and control dalam pemeliharaan lingkungan.
c.
Sistem industri dipandang sebagai suatu sistem kesatuan, organisasi dalam ekosistem saling interaksi, saling mempengaruhi antar sistem
60
d.
Perbaikan yang dilakukan memaksimalkan perlakuan "produk" dan "proses" yang terjadi pada lantai produksi.
e.
Pengelolaan limbah
merupakan keuntungan tambahan diperusahaan dan
perusahaan sadar terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan f.
Limbah suatu industri menjadi input industri lain menjadi produk baru (waste to product), merupakan aktivitas tertutup (closed loop) membentuk Sistem Industri type II dan Sistem Industri Type III.
g.
Meningkatkan citra perusahaan melalui upaya perusahaan menuju produk yang ramah lingkungan (eco-labeling) sebagai syarat awal produk masuk pada pasar internasional.
2.5.2.3 Kelemahan Ekologi Industri melalui Penerapan Teknologi Produksi Bersih berorintasi Ergonomi. Penyempurnaan dari penerapan Teknologi Produksi Bersih dari konsep Ekologi Industri adalah perlunya mempertimbangkan manusia sebagai subjek atau faktor utama setiap langkah perbaikan lingkungan. Alasan yang paling mendasar adalah bahwa terjadinya suatu bisnis di industri disebabkan oleh keinginan atau harapan manusia, sehingga manusialah yang seharusnya menjadi perhatian dominan, sedangkan lingkungan perusahaan diharapkan dapat mendukung kenyamanan dan keamanan pada semua pekerja atau karyawannya. Pendekatan Ergonomi Total adalah jawaban yang paling tepat guna menyempurnakan kelemahan ini, namun demikian setiap aplikasi atau perpaduan konsep baru
61
tidaklah selalu sempurna, masih terdapat kekurangan atau kelemahan dalam penerapannya, antara lain berupa : a.
Pada awalnya, tugas Tim akan lebih berat karena harus melibatkan berbagai bidang disiplin ilmu yang berbeda-beda yang akan menggali dan memberikan berbagai masukan dan solusi atas berbagai aspek yang berpengaruh antara satu sistem dengan sistem lain, mulai identifikasi masalah sampai dengan perbaikan dijalankan.
b.
Memerlukan waktu persiapan yang relatif lebih lama dibanding dengan metode Top Down
karena dibutuhkan prinsip partisipatori dari berbagai
pihak mulai dari Pekerja, Manajer bagian produksi maupun General Manager atau pemilik perusahaan. 2.5.2.4 Kelebihan Ekologi Industri melalui Penerapan Teknologi Produksi Bersih berorintasi Ergonomi Kondisi lingkungan yang baik akan meningkatkan kinerja karyawan sehingga berdampak pada keberlangsungan perusahaan dimasa yang akan datang. Penerapan Ekologi Industri melalui Teknologi Produksi Bersih berorintasi Ergonomi menyempurnakan pentingnya perbaikan a) kualitas lingkungan, b) perolehan keuntungan perusahaan sejalan dengan c) peningkatan kinerja karyawan. Ketiga variabel terebut harus berjalan beriringan guna mengoptimalkan proses bisnis perusahaan. Manusia atau kinerja karyawan yang meningkat merupakan kunci keberhasilan bisnis perusahaan yang berkelanjutan. Penerapan Ekologi Industri melalui Teknologi Produksi Bersih berorintasi Ergonomi mempunyai keunggulan di antaranya berupa :
62
a.
Menempatkan faktor manusia pada urutan pertama dilihat dari kemampuan, kebolehan dan keterbatasan sehingga keberlangsungan industri dimasa yang akan datang dapat terjamin.
b.
Mempertimbangkan faktor kinerja karyawan dilihat dari; beban kerja, keluhan muskuloskeletal, kelelahan, debu terhirup, kebosanan kerja dan kepuasan kerja; sejalan dengan peningkatan kualitas lingkungan dan keuntungan perusahaan.
c.
Investasi mesin atau alat dapat dilakukan dengan kajian penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) menggunakan 7 kriteria; Teknik, Ekonomi, Ergonomi, Sosial Budaya, Hemat Energi, Ramah Lingkungan, Trendi.
d.
Prinsip Sistemik dan Holistik memberikan gambaran bahwa semua sistem dan permasalahan perlu diidentifikasi, sehingga tidak ada lagi permasalahan baru yang muncul setelah perbaikan dijalankan.
e.
Adanya prinsip Interdisipliner dan Partisipatori dalam ergonomi memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan perbaikan berbasis kebijakan yang dilakukan tanpa adanya keterlibatan semua pihak sebagai pengguna.
f.
Jaminan keberlanjutan bisnis perusahaan, karena perbaikan kualitas lingkungan, peningkatan keuntungan perusahaan sejalan dengan peningkatan kinerja karyawan. Karyawan merupakan kunci penggerak bisnis perusahaan.
2.5.3
Pendekatan Strategi 5R pada penerapan Teknologi Produksi Bersih dan Ergonomi Langkah penerapan teknologi produksi bersih dijabarkan dalam aktivitas
prinsip 5R. Karena debu yang terbentuk memerlukan perlakuan pada proses
63
pemanfaatan kembali atau pemakaian ulang dan tidak dapat langsung digunakan, maka R pada Reuse tidak diisi. Perbandingan langkah-langkah 5R dari teknologi produksi bersih dan ergonomi dapat dijabarkan pada Tabel 2.3. Tabel. 2.3 Penerapan 5R teknologi produksi bersih dan ergonomi pada industri pengecoran logam Aktivitas Re think
Reduction
Teknologi Produksi Bersih 1. Perubahan dilakukan pada proses atau produk 2. Limbah debu ((fly Ash) pada aktivitas pembongkaran cetakan berpotensi untuk diolah menjadi input industri lainnya: Industri Beton, Industri Batako, Industri Semen 3. Kualitas lingkungan meningkat 4. Keuntungan meningkat 1. Pengurangan debu pada sumbernya dilakukan dengan dibongkarnya cetakan setelah 12 jam baja cair dituang dalam cetakan. 2. Perbaikan proses.
Recovery
1. Pemungutan kembali debu dilakukan dengan pembelian mesin dust collector.
Recycle
1. Daur ulang debu (fly ash) hasil tangkapan adalah dengan dijual kepada industri turunan untuk diolah kembali sebagai campuran agregat pembuatan Beton
Ergonomi 1. Manusia menjadi faktor utama dari semua aktivitas perbaikan sikap kerja dan pengolahan limbah, mulai dari awal sampai dengan akhir proses produksi. 2. Redesain alat atau mesin dalam pengelolaan limbah maupun perbaikan sikap kerja dengan penerapan TTG melalui pendekatan SHIP. 3. Peningkatan kualitas lingkungan dan keuntungan perusahaan sejalan dengan peningkatan kinerja karyawan. 1. Pengurangan debu dengan aktivitas pembongkaran dilakukan setelah 12 jam dengan memperhatikan sikap kerja yang aman dan nyaman, menghindari debu terhirup. 2. Minimalisasi debu terhirup oleh pekerja dengan menjalankan alat bantu dust collector bersamaan dengan aktivitas pembongkaran cetakan dan pembersihan as cast 1. Pemungutan kembali debu dengan menggunakan rancangan alat Dust Collector yang dikaji dengan pendekatan 7 kriteria TTG; teknis, ekonomis, ergonomis, sosio-kultural, hemat energi, ramah lingkungan, trendi. 2. ukuran Dust Collector menggunakan data antropometri pekerja . 1. Proses daur ulang debu (fly ash) hasil tangkapan memperhatikan sikap kerja aman, tidak menimbulkan masalah baru bagi kesehatan. 2. Proses packaging debu (fly ash) meperhitungkan kapasitas dan berat karung agar tidak melebihi kapasitas angkat maksimal.
64
2.5.4
Perbaikan Kondisi kerja pada aspek Tugas (Task) Hal yang sangat mendasar yang harus dihadapi manusia adalah
kompleksitas tugas pekerjaan, memenangkan kompetisi, sikap kerja manusia menerima perubahan, informasi, dan substitusi sebagai alternatif jawaban keinginan untuk memperbaiki diri (Manuaba, 2004). Observasi ergonomi dimulai dari task (Guan, et al., 2013). Pekerjaan (task) berupa aktivitas mencetak baja meliputi 3 langkah; a) Penuangan baja cair kedalam cetakan menggunakan Ladle, b) Pembongkaran cetakan, c) Pembersihan manual (as cast). Pada aktivitas penuangan baja kedalam cetakan menggunakan Ladle, perbaikan dilakukan pada ukuran atau dimensi genggaman handle agar pekerja lebih ENASE (Efektif, Nyaman, Aman, Sehat dan Efisien). Kerja yang tidak ergonomis jika tidak ditangani secepatnya, akan menimbulkan masalah terhadap kenyamanan, dan keselamatan kerja (Manuaba, 1998a). Pada aktivitas pembongkaran cetakan dan pembersihan manual dilakukan perbaikan berupa penambahan dust collector untuk menangkap debu sebagai efek yang ditimbulkan oleh pasir kuarsa proses pembongkaran cetakan dan pembersihan manual as cast oleh pekerja dapat diminimalisasi. 2.5.4.1 Redesain Ladle Banyak ditemukan peralatan atau mesin yang sudah didesain sangat bagus, namun belum mempertimbangkan kepuasan pemakainya, sehingga masih berpotensi mempercepat terjadinya kelelahan dan alat tidak nyaman untuk dipakai. Desain harus dapat menutupi kelemahan dan keterbatasan manusia sebagai operator agar dapat tercapai hasil yang maksimal, manusia menjadi urutan
65
pertama dalam desain, tempat kerja dan lingkungan sekitar harus disesuaikan dengan
manusia
(Sutjana,
2014a).
Banyak
desain
yang
menghasilkan
produkitivitas tinggi, mutu produk bagus tetapi kurang manusiawi (Platcheck, et al., 2008), menimbulkan beban bagi pemakai berupa beban fisik dan mental sehingga cepat menimbulkan rasa lelah dan dapat menyebabkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja (Manuaba, 1998c) Redesain Ladle ergonomis dipilih berdasarkan beberapa alternatif. Data antropometri berupa tinggi siku berdiri, genggaman tangan, diukur dengan menggunakan
antropometer
dalam
satuan
mili
meter.
Ukuran-ukuran
antropometri dalam mendesain alat-alat kerja dan tempat kerja akan berpengaruh terhadap respon fisiologis pada tubuh saat mengangkat dan mengangkut beban (Sutjana, et al., 2005). Ladle
dirancang sesuai dengan kriteria yang harus
dipenuhi dalam konsep TTG (Manuaba, 2004; 2006). Hasil penelusuran paten Ladle sampai dengan saat ini, ditemukan bahwa terdapat 4 paten dengan hanya wadah dari Ladle yakni a) Stuart Z. UramUSD280627; b) Phlllp N- Bear-5011120; c) Mark Vincent-US 7204955B2; d) Lou Carolla-US7074361, sedangkan paten Ladle dengan handle untuk satu operator ditemukan dua, yakni a) Daniel F. Davis-US6488886B1; b) Willis Mitchell-US494585. Belum ditemukan patent Ladle yang dioperasikan oleh dua orang pekerja. 2.5.4.2 Desain Dust Collector Desain dust collector menggunakan sistem pengumpul debu mekanis dengan fan sudu-sudu silinder dengan memanfaatkan gaya sentrifugal (Kristanto,
66
2013), desain ini lebih efektif untuk menangkap debu dengan partikel pada pengecoran logam. Agar kinerja mesin optimal maka spesifikasi dust collector dapat digunakan Air flow sebesar 4200 m3/h, Pressure :1471 PA. Syclone dirancang harus memperhatikan kemudahan dan kecepaan penampung dan pemisahan butiran. Duxt Collector dirancang sesuai dengan kriteria yang harus dipenuhi dalam konsep TTG (Manuaba, 2004; 2006). Desain suatu produk menurut Sutjana (2014a) dapat: a) memiliki petunjuk operasional yang sederhana dan jelas, b) memiliki sistem pengamanan yang baik, c) terdapat peringatan atau tanda bahaya mesin bila tidak berjalan dengan baik atau menimbulkan bahaya, d) memiliki standar yang sama untuk tanda yang sama, e) display/papan kendali cor yang sederhana, mudah dimengerti, jelas dilihat dan dibaca, f) kontrol jelas, sederhana, mudah dimengerti dan dioperasikan, g) perawatan mudah dan murah, h) bidang kerja dapat disesuaikan, i) memperhatikan keterbatasan yang dimiliki pemakai. Hasil penelusuran paten dust collector sampai dengan saat ini, ditemukan terdapat 17 paten. Paten dengan menyertakan perancangan Syclone oleh a) Robert M. Witter, US7824457; b) Robert M.Witter, US7550021; sedangkan paten yang lainnya: a) Mao Nan Cheng-USD629575; b) Mao Nan Cheng-USD630391; c) Yuan Tai Cheng-USD629576; d) Tony Lin-USD630392; e) Angela Denise Shelton-US6875248; f) Bryan W Woburn-US7074261; g) Chich Peng LinUS20110219734; h) Chieh Yuan Cheng-USD501964; i) James K ReidUS8460417; j) Kimura-US5159737; k) McDaniel, David-MEP1794330; l) Michael A Bodmer-US5536206; m) Paul J Eckhoff-US6783563; n) Robert
67
M.Witter-US2010-0218467; o) Steve Bures-US6827640B2. Paten rancangan dust collector portable yang difungsikan untuk menghisap debu (fly ash) pada industri pengecoran logam belum ditemukan. 2.5.5
Perbaikan kondisi kerja pada aspek Organisasi Kerja
2.5.5.1 Pengaturan waktu istirahat aktif Pengaturan waktu istirahat aktif dapat menurunkan beban kerja, dihitung berdasarkan nilai denyut nadi yang sudah dikonversi dengan data kategori beban kerja (Adiputra, 1992). Penelitian ini akan dilakukan istirahat selama 15 menit setelah bekerja selama 2 jam. 2.5.5.2 Penyediaan display atau papan kendali cor Kemampuan penglihatan (visual ability) menurut Tarwaka (2010) dapat ditentukan dari beberapa faktor, antara lain ketajaman penglihatan (visual acuity), pemusatan
pandangan
mata
(convergence),
diskriminasi
warna
(color
discrimination) dan adaptasi gelap (dark adaptation). Sudut pandang (Visual angle-VA) dalam menit arc dengan menggunakan rumus : (2.11) Dimana H= Tinggi Stimulus pandang (Height); D= Jarak dari mata (distance). Rasio tebal huruf dengan tinggi huruf atau angka untuk hitam pada putih rasio 1:6 s/d 1:8, putih pada hitam rasio 1:8 s/d 1:10, sedangkan rasio Lebar dan tingi karakter (width-Height Rasio of Characters) digunakan rasio 3:5 (3 elemen lebar dan 5 elemen tinggi). Tinggi huruf atau angka terhadap jarak baca menggunakan rumus : (2.12)
68
Menyediakan display/papan kendali cor pada stasiun pengecoran logam dapat difungsikan sebagai informasi tentang tugas dan target pekerjaan tiap periode. Papan kendali cor dapat memberikan kemudahan informasi, sehingga kesalahan dalam bekerja dapat dihindari. 2.5.5.3 Gizi atau Nutrisi Gizi atau nutrisi adalah gizi yang diperlukan oleh tenaga kerja untuk melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan jenis pekerjaan dan beban kerjanya dengan tujuan untuk pemulihan tenaga. Gizi yang baik dan seimbang berpengaruh terhadap peningkatan taraf kesehatan tenaga kerja guna mencapai produktivitas dan efisiensi kerja yang tinggi (Rival, 2009). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebutuhan gizi seseorang menurut Ichsan (2002) adalah; a) ukuran tubuh atau tinggi dan berat badan, b) usia, c) jenis kelamin, d) kegiatan atau jenis aktivitas kerja, e) kondisi tubuh tertentu, f) lingkungan kerja. Pemberian asupan tambahan pada setiap 2 jam, efisiensi kerja akan tetap tinggi (Ichsan, 2002) karena setelah bekerja dalam waktu ini, kadar gula darah akan mencapai kondisi yang terendah sehingga perasaan lelah akan muncul. Berdasarkan fungsinya gizi dikelompokkan menjadi: a) zat tenaga atau energi berupa karbohidrat dan lemak, b) protein mengandung energi tapi bukan sumber energi, namun berfungsi sebagai penganti jaringan atau sel tubuh yang rusak sehingga disebut zat pembangun, c) zat pengatur berupa vitamin, mineral air. Kecukupan gizi berdasarkan prinsip gizi seimbang untuk orang indonesia antara lain: a) Karbohidrat; 60-70% dari total energi sehari, b) Protein; 1 gram tiap kg berat badan untuk protein dari hewani dan 1,2 gram untuk protein dari
69
tumbuhan dan dibutuhkan 10-15% dari total energi sehari, c) Lemak; 20-25% dari total energi sehari, d) air; 2,8 liter air mineral per hari untuk pekerja berat dan 1,9 liter air per hari untuk pekerja ringan. Makanan tanpa energi masuk pada golongan VIII antara lain berupa agaragar, air kaldu, air mineral, cuka, gelatin, gula alternatif (aspartam, sakarin), kopi, teh (Rival, 2009) karena mengandung kurang dari 20 kalori tiap penukarnya. Energi untuk kebutuhan fisiologis minimal tubuh dalam keadaan basal disebut Metabolisme Basal (BM) adalah energi yang dibutuhkan minimal untuk melaksanakan hajat hidup biologis selama 24 jam. Kondisi basal adalah tubuh tidak dalam keadaan tidur, namun rileks terlentang, tidak melakukan pekerjaan jasmaniah dan rokhaniah dalam kondisi lingkungan yang nyaman, pada akhirnya energi basal dibuang di permukaan kulit (energi thermis). Perhitungan kebutuhan energi untuk melaksanakan pekerjaan menurut (Ichsan, 2002; Rival, 2009) dapat dilakukan dengan: a. Menaksir nilai Basal Metabolisme Rate (BMR) yang sebelumnya telah diketahui umur, jenis kelamin dan berat badan pekerja. Tabel 2.4 Taksiran nilai BMR menurut kelompok umur dan jenis kelamin Umur (th)
Laki-laki
Perempuan
18 s/d 30
15,3 Bb + 679
14,7 Bb + 496
30 s/d 60
11,6 Bb + 897
08,7 Bb + 829
> 60
13,5 Bb + 487
10,5 Bb + 596
Sumber : Ichsan (2002)
70
b. Kebutuhan energi atau kecukupan energi berdasarkan tingkat aktivitas fisik. Tabel 2.5 Angka kecukupan energi dari tiga tingkat aktivitas fisik Kelompok
Faktor
Jenis Kegiatan
Aktivitas
Aktivitas
Ringan
75% dari waktu yang digunakan adalah
- Laki-laki
untuk duduk atau berdiri dan 25% untuk
1,58
- Perempuan
kegiatan berdiri atau berpindah (moving)
1,45
Sedang
25% waktu yang digunakan adalah untuk
- Laki-laki
duduk atau berdiri dan 75% adalah untuk
1,67
- Perempuan
kegiatan
1,55
kerja
khusus
dalam
bidang
pekerjaanya Berat
40% dari waktu yang digunakan adalah
- Laki-laki
untuk duduk atau berdiri dan 60% untuk
1,88
- Perempuan
kegiatan
1,75
kerja
khusus
dalam
bidang
pekerjaanya Sumber : Proceeding WNPG VII (2004) dalam Rival (2009) c. Specific Dynamic Action atau intake dengan penambahan 10%. d. Pembagian kecukupan energi selama 24 jam. Pada 8 jam kerja minimal disediakan makan dan minum 2/5 dari kecukupan energi selama 24 jam dapat dibagi berupa: asupan makan pagi 20%, asupan snack siang dan sore masing-masing 10%, asupan makan siang 35%, asupan makan malam 25%. 2.5.5.4 Induksi kerja Induksi kerja dapat diartikan lain berupa apel pagi. Tujuan dari aktivitas ini selain sebagai presensi, juga media informasi dan komunikasi lisan yang efektif terkait pekerjaan yang harus diselesaikan. Kegiatan ini juga dapat melatih
71
kedisiplinan dan tanggung jawab dalam bekerja. Permasalahan dan kendala pada pekerjaan sebelumnya dapat cepat disampaikan dan dicarikan solusinya. Induksi kerja digunakan sebagai sarana komunikasi dan penyampaian gagasan atau ide perbaikan aktivitas kerja yang akhirnya ide dapat dikonversi menjadi nilai rupiah oleh perusahaan. Induksi kerja paling lama 15 menit pada tiap harinya. 2.5.5.5 Penyuluhan Kerja Penyuluhan kerja disini adalah
penyampaian materi yang berkaitan
dengan pentingnya penerapan ergonomi yang menempatkan manusia sebagai faktor utama dalam seluruh aktivitas di lantai produksi dan role play 5R Teknologi Produksi Bersih. Dilakukan selama sekali yakni pada awal penelitian atau pada saat WOP atau saat sebelum melakukan intervensi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberi informasi tentang konsep ergonomi, merubah pola pikir kerja dengan bekerja menerapkan prinsip ergonomis dan berfikir ulang (re-think) terhadap kondisi limbah yang terbentuk di perusahaan. Tujuan akhir dari intervensi ini adalah permasalahan penelitian dapat ditemukan oleh pekerja, didiskusikan dan dicarikan alternatif solusi yang kemudian dapat dipecahkan secara bersama-sama antara pekerja, manager produksi dan pihak manajemen perusahaan. 2.5.6
Perbaikan Kondisi Kerja pada aspek Lingkungan kerja
2.5.6.1 Penangkapan debu dan pengolahan waste produk Debu yang dimaksud adalah fly ash yang terbentuk sebagai dampak aktivitas pembongkaran cetakan. Sub Stasiun pencetakan terdiri dari tiga (3) jenis proses, yakni a) semen proses yaitu proses pembuatan cetakan menggunakan pola
72
khusus, b) pasir hitam yakni benda kerja yang dibuat berukuran sedang sampai dengan kecil, c) Tapel yakni benda kerja dibuat dengan tidak menggunakan pola khusus. Campuran bahan dari ketiga (3) jenis proses pembuatan cetakan logam ini juga berbeda-beda, sehingga walaupun mekanisme atau cara kerja pembongkaran cetakan hampir sama, namun kadar debu yang dihasilkan akan berbeda. Limbah (waste) ditangkap mengggunakan dust collector. Fly ash yang terkumpul, diuji coba skala laboratorium untuk diolah dan dijadikan sebagai tambahan agregat Beton. Beton yang dihasilkan kemudian dilakuan pengujian berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)-03-2847. Bila sudah memenuhi syarat sesuai dengan standar minimal, debu yang terbentuk dari aktivitas pembongkaran cetakan pada industri pengecoran logam, layak untuk dijual pada industri lainnya. 2.5.6.2 Perancangan Campuran Beton Perancangan campuran Beton ini mempunyai maksud untuk mengetahui komposisi atau material propertis telah memenuhi SNI 03-2834 sehingga dapat memenuhi syarat teknis dan ekonomis. Langkah-langkah perancangan campuran Beton adalah sebagai berikut : a) menentukan tekan beton (f 'c) pada umur 28 hari dan menghitung standar deviasi, b) menentukan faktor air semen (FAS), c) menetapkan slump, ukuran agregat maksimum dan kadar air bebas, d) menentukan susunan butir agregat halus dan kasar dan persentase pasir, e) menghitung berat jenis relatif agregat dan berat isi beton, f) menghitung kadar agregat gabungan yang besarnya adalah berat jenis beton dikurangi jumlah kadar
73
semen dan akadar air bebas, g) menghitung kadar agregat halus dan kasar, h) membuat campuran uji. 2.5.6.3 Pengujian Slump Beton Metode Pengujian Slump Beton bertujuan untuk menentukan concrete slump dengan langkah-langkah pengujian diawali dengan a) membasahi cetakan, b) mengisi cetakan dengan beton dalam 3 lapis, c) meratakan permukaan benda uji, kemudian cetakan dibuat tegak lurus vertikal; pengujian maksimal 2,5 menit, kemudian dibaca perbedaan tinggi cetakkan slump Beton 2.5.6.4 Pengujian Kuat Tekan Beton Pengujian ini untuk menentukan kuat tekan (compressive strength) Beton dengan perlakuan benda uji sebelumnya dibuat berbentuk silinder dan dimatangkan (curing). Pengujian ini dimulai dengan membuat benda uji dengan langkah-langkah sebagai berupa a) mengisi cetakkan dengan adukan beton, dipadatkan dan direndam dalam air pada temberatur 250C untuk proses pematangan (Curing), b) menentukan berat dan ukuran benda uji dengan cara melapisi (capping) permukaan benda uji dengan mortar berlereng, c) melakukan pengujian dengan mesi tekan (Concrete compression machine), kekuatan tekan beton ditentukan dengan rumus : (2.13) Keterangan : P = beban maksimum (kg) ; A = luas penampang benda uji (cm2)
74
2.6 Anthropometri untuk perancangan Ladle dan Dust Collector Antropmetri diperlukan sebagai dasar perancangan Ladle dan Dust Colelctor. Ukuran atau dimensi anthropometri akan memberikan kemudahan dalam perancangan produk dan pada akhirnya kenyamanan dalam bekerja dapat terwujud. Antropometri berasal dari "antro" yang artinya manusia dan "metri"yang mempunyai arti ukuran (Wignjosoebroto, 1995). Anthropometri yang akan digunakan dan sesuai untuk dasar perancangan handle pada Ladle dan dust collector adalah anthropometri tangan manusia.
Gambar 2.4 Dimensi Antropometri Tangan Sumber : (Nurmianto, 1996; Tarwaka, 2010) Anthropometri tangan manusia dan cara pengukurannya dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Panjang Tangan (Pt) adalah jarak vertikal atau tinggi tangan dari ujung jari tengah sampai pergelangan tangan, ketika tangan dibentangkan, 2) Panjang Telapak Tangan (Ptt) adalah jarak vertikal telapak tangan dari bagian pangkal jari hinggga pergelangan tangan, ketika tangan dibentangkan, 3) Panjang Ibu Jari (Pij) adalah jarak vertikal dari ujung ibu jari hingga pangkal ibu jari, ketika tangan dibentangkan, 4) Panjang Jari Telunjuk (Pjl) adalah jarak vertikal dari ujung jari telunjuk hingga pangkal jari telunjuk, ketika tangan dibentangkan,
75
5) Panjang Jari Tengah (Pjt) adalah jarak vertikal dari ujung jari tengah hingga pangkal jari tengah, ketika tangan dibentangkan, 6) Panjang Jari Manis (Pjm) adalah jarak vertikal dari ujung jari manis hingga pangkal jari manis, ketika tangan dibentangkan, 7) Panjang Jari Kelingking (Pjk) adalah jarak vertikal dari ujung jari kelingking hingga pangkal jari kelingking, ketika tangan dibentangkan, 8) Lebar Ibu Jari (Lij) adalah jarak horisontal pada bagian sambungan antar ruas tulang ibu jari, 9) Tebal Ibu Jari (Tij) tebal ibu jari pada sambungan antar ruas tulang ibu jari, 10) Lebar Jari Telunjuk (Ljl) adalah jarak horisontal pada bagian sambungan antar ruas tulang jari telunjuk kearah mendekati tubuh, 11) Tebal Jari Telunjuk (Tjl) adalah tebal jari telunjuk pada sambungan antar ruas tulang jari telunjuk kearah mendekati tubuh, 12) Lebar Telapak Tangan Metacarpal (Ltm) adalah jarak horisontal dari tepi dalam telapak tangan hingga bagian tepi luar telapak tangan (Metacarpal), 13) Lebar Telapak Tangan Sampai Ibu Jari (Ltb) adalah jarak horisontal dari tepi dalam telapak tangan hingga bagian tepi luar ibu jari, 14) Tebal Telapak Tangan Metacarpal (Ttm) adalah jarak vertikal dari punggung tangan sampai dengan telapak tangan pada metacarpal, ketika tangan direntangkan, 15) Tebal Telapak Tangan Sampai Ibu Jari (Ttb) adalah jarak vertikal dari punggung tangan sampai bagian bawah ibu jari pada saat tangan direntangkan, 16) Lebar Maksimum (Lbmax) adalah jarak horisontal terjauh dari ibu jari ke jari kelingking.
76
2.7 Konsep Quality of Work Life (QWL) Kesehatan tidak hanya bebas dari penyakit atau sakit, tetapi juga sehat secara fisik, mental dan sosial. Kualitas hidup adalah suatu bangunan multidimensional yang bersifat subjektif, diantaranya berupa kemampuan fungsional dan kesehatan secara fisik dan psikologis manusia (Sutikno, 2011). Kualitas kehidupan kerja atau Quality of Work Life (QWL) merupakan suatu kondisi kerja hasil dari interaksi antara individu dan pekerjaannya, sehingga membuat pekerja lebih produktif, pekerja merasa ada peran dalam pengembangan organisasi perusahaan, terdapat tanggung jawab dan merasa memiliki (sense of belonging) terhadap pekerjaan (William dan Keith, 1996). Menurut WHO (2004) dalam Sutikno (2011) menyebutkan bahwa tahun 1991 bagian kesehatan jiwa WHO melakukan proyek organisasi kualitas kehidupan dunia atau The World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) dan merumuskan 4 domain kualitas hidup yakni : 1) kesehatan fisik meliputi : penyakit, kegelisahan tidur dan beristirahat, energi dan kelelahan, mobilitas, aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat dan bantuan medis, kapasitas pekerjaan, 2) psikologis meliputi: perasaan positif, berfikir, belajar, mengingat dan konsentrasi, self esteem, penampilan dan gambaran jasmani, perasaan negatif, kepercayaan individu, 3) hubungan sosial meliputi : hubungan pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual, 4) kondisi lingkungan meliputi : kebebasan, keselamatan fisik dan keamanan, lingkungan rumah, sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial, peluang untuk memperoleh ketrampilan dan informasi baru, keikutsertaan dan peluang untuk berekreasi, aktivitas dilingkungan, transportasi.