BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI
2.1
Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan
konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan (Mahsun, 2005:42). Penelitian yang menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian “Numeralia Bahasa Jawa Kuno” ini antara lain: 1. Mardiwarsito dan Kridalaksana (1984) dengan hasil penelitiannya yang berjudul Struktur Bahasa Jawa Kuna. Penelitian ini membahas bahasa Jawa Kuno dari segi fonologi, morfologi dan sintaksis. Numeralia atau kata bilangan yang termasuk ke dalam salah satu kategori kelas kata juga dibahas dalam penelitian ini. Numeralia dibagi menjadi dua yaitu: a. Numeralia Tak Tentu Numeralia ini dibagi menjadi dua yaitu kata dasar dan kata turunan. Tidak ada penjelasan mengenai numeralia ini, masing-masing hanya diberikan satu contoh beserta penggunaannya dalam kalimat. b. Numeralia Tentu Numeralia tentu yang dibahas hanya kata turunan dengan beberapa contoh dan penggunaannya dalam kalimat. Berdasarkan hasil penelitian di atas, pembagian numeralia dalam bahasa Jawa Kuno yang terdiri atas numeralia tentu dan tak tentu digunakan dalam 8
penelitian ini. Selain itu, pembagian numeralia bahasa Jawa Kuno di atas perlu disempurnakan dan dilengkapi data-data hasil penelitian. 2. Soewadji Sjafei (1966) dengan hasil penelitiannya yang berjudul Pūrwaśāstra. Numeralia atau kata bilangan bahasa Jawa Kuno dalam buku ini dibedakan menjadi dua yaitu: a. Kata Bilangan Tentu Kata Bilangan tentu dalam bahasa Jawa Kuno terdiri dari dua bahasa yaitu kata bilangan bahasa Kawi dan kata bilangan bahasa Sansekerta. Selain itu, kata bilangan tentu juga dapat dibagi menjadi tiga yaitu: -
kata bilangan dengan awalan ka-, yang ini berarti ‘semua’, ‘bersamasama’, atau ‘tingkatan’.
-
kata bilangan dengan awalan pa-, yang ini menyatakan arti ‘bagian’
-
kata bilangan dengan awalan ping- (pin-), awalan ping- (pin-) dimuka kata bilangan berarti ‘mempergandakan’.
b. Kata Bilangan Tak Tentu Kata bilangan tentu pada buku ini hanya dinyatakan dengan beberapa kata yaitu pira, sapira, angkén, atau nāngkén dan asing. Berdasarkan hasil penelitian di atas, tidak terdapat penjelasan tentang proses pembentukan numeralia tentu dan tak tentu. Oleh karena itu, perlu disempurnakan dengan menjelaskan proses pembentukan numeralia berdasarkan data-data yang ditemukan dalam penelitian ini.
9
3. P.J. Zoetmulder dan Poedjawijatna (1992) dengan hasil penelitiannya yang berjudul Bahasa Parwa I. Salah satu bab dalam penelitian ini membahas tentang numeralia atau kata bilangan bahasa Jawa Kuno. Numeralia bahasa Jawa Kuno dalam buku ini dibagi menjadi dua yaitu: a. Kata Bilangan Tentu Kata bilangan tentu yang disebutkan hanya kata bilangan asli bahasa Jawa Kuno, tidak ada menyebutkan kata bilangan Sansekerta yang juga dipakai dalam bahasa Jawa Kuno. Selanjutnya kata bilangan bahasa Jawa Kuno ini dibahas berdasarkan awalan yang melekat pada kata bilangan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, kata bilangan tentu bahasa Jawa Kuno dapat dibagi menjadi : -
kata bilangan dengan awalan ka- yang menyatakan ‘semua’ atau ‘bersamasama’ dan juga menyatakan ‘tingkat’.
-
kata bilangan dengan kata saka yang menyatakan ‘segolongan bersamasama’
-
kata bilangan dengan awalan pa- yang menyatakan bagian.
-
kata bilangan dengan awalan ping- (pin-) untuk mempergandakan kata bilangan.
b. Kata Bilangan Tak Tentu Kata-kata yang menyatakan bilangan yang tak tentu yaitu pira, sapira, angkên atau nāngkên, asing.
10
Pembahasan mengenai kata bilangan tentu dengan kata saka dalam hasil penelitian di atas akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian “Numeralia Bahasa Jawa Kuno”. 4. Ni Made Suarni (1984) dengan penelitiannya yang berjudul Sistem Morfologi Kata Bilangan Bahasa Osing di Kecamatan Melaya. Penelitian ini membahas sistem morfologi kata bilangan bahasa Osing atau yang disebut bahasa Jawa Gelodogan (kasar) oleh penuturnya di Kecamatan Melaya. Penjabarannya sebagai berikut : •
Kata bilangan bahasa Osing digolongkan kedalam beberapa tipe yaitu kata bilangan tentu dan kata bilangan tak tentu. Kata bilangan tentu terdiri dari kata bilangan utama, kata bilangan tingkat, kata bilangan kumpulan.
•
Kata bilangan bahasa Osing juga digolongkan kedalam beberapa bentuk yaitu kata bilangan dasar, kata bilangan turunan dan kata bilangan unik. Kata bilangan turunan dapat dibedakan menjadi kata bilangan berafiks, kata bilangan ulang dan kata bilangan gabungan. Selanjutnya kata bilangan ulang dibagi lagi menjadi kata bilangan ulang seluruh dan kata bilangan berimbuhan ulang.
•
Selain pembahasan dari segi tipe dan bentuk, kata bilangan Osing juga dibahas dari segi cirinya.
Beberapa tipe dan bentuk kata bilangan pada hasil penelitian di atas akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian “Numeralia Bahasa Jawa Kuno” dan disesuaikan dengan data yang ditemukan dalam bahasa Jawa Kuno.
11
2.2 Konsep 2.2.1 Morfem, Morf, Alomorf Morfem ialah kesatuan bunyi terkecil yang mengandung arti serta tidak mempunyai bentuk lain sebagai unsurnya. Dengan kata lain dapat pula disebutkan bahwa “Morfem” adalah kesatuan yang ikut serta dalam pembentukan kata dan yang dapat dibedakan artinya (Yasin, 1987 : 21). Lebih lanjut Chaer (2007:147) menyebutkan bahwa morfem adalah bentuk kecil yang berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama dalam satuan bentuk yang lain. Kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan ciri atau identitas sebuah morfem. Yasin (1987: 23) membagi morfem menjadi tiga bagian yaitu morfem bebas, morfem terikat, dan morfem setengah bebas. Yang disebut sebagai morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri sendiri, sebagai morfem bebas, sebuah tuturan atau ucapan mengandung makna leksikal. Morfem bebas tersebut dapat berupa kata dasar, dapat juga berupa pokok kata. Bagian yang kedua adalah morfem terikat, yaitu morfem yang selalu melekat pada morfem lain. Hal ini karena morfem terikat baru mempunyai arti setelah mengikatkan diri pada morfem lain. Bagian yang ketiga adalah morfem setengah bebas, secara gramatik ada beberapa morfem yang tidak dapat berdiri sendiri tetapi mempunyai sifat bebas seperti halnya morfem yang dapat berdiri sendiri atau morfem bebas, morfem yang demikianlah disebut sebagai morfem setengah bebas. Morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya,
12
sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya (Chaer, 2007: 150). Alomorf juga dikatakan sebagai bentukbentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama. Dengan perkataan lain, alomorf adalah perwujudan konkret (di dalam pertuturan) dari sebuah morfem.
2.2.2 Kata Kata adalah satuan gramatikal yang terjadi sebagai hasil dari proses morfologis. Dalam tataran morfologi, kata merupakan satuan terbesar dan dalam tataran sintaksis merupakan tataran terkecil (Chaer, 2008: 7) Kridalaksana (2005 : 35) menyatakan bahwa salah satu ujud gramatikal itulah kata. Satuan gramatikal kata memiliki pelbagai bentuk : ada kata tunggal, ada kata kompleks (hasil derivasi seperti afiksasi, reduplikasi, abreviasi, dan sebagainya), dan ada pula kata majemuk. Semua itu bersumber pada leksem; masing-masing mempunyai bentuknya sendiri sebagai akibat proses morfologis yang dialaminya.
2.2.3 Kelas Kata Kelas kata merupakan perangkat kata yang sedikit banyak berperilaku sintaksis sama. Subkelas kata adalah bagian dari suatu perangkat kata yang berperilaku sintaksis sama (Kridalaksana, 2005: 43). Kategori gramatikal tidak hanya berlaku pada kata, tetapi juga terdapat kelas frase juga klausa. Maka dikenal frase verbal, frase nominal, frase adjektival, klausa verbal, klausa nominal dan lain-lain. Kridalaksana (2008: 116) menyatakan bahwa kelas kata merupakan
13
golongan kata yang mempunyai kesamaan dalam perilaku formalnya. Itu diperlukan untuk membuat pengungkapan kaidah gramatikal secara lebih sederhana. Kelas kata dalam bahasa Indonesia terdiri atas verba, adjektiva, nomina, pronomina, numeralia, adverbia, interogativa, demonstrativa, preposisi, konjungsi, kategori fatis dan interjeksi (Kridalaksana, 2005: 51-121). Tim Penyusun (1996: 72) mengklasifikasikan kelas kata bahasa Bali sesuai dengan model yang termuat dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1993) yaitu verba, nomina (nomina, pronomina, numeralia), adjektiva, adverbia, dan kata tugas (preposisi, konjungtor, interjeksi, artikel, partikel). Menurut Mardiwarsito dan Kridalaksana (1984:39) bentukan-bentukan kata bahasa Jawa Kuno jika dipandang dari sudut kelas kata dapat digolongkan menjadi (1) Nomina, (2) Pronomina yang terdiri dari pronomina orang, pronomina penentu, pronomina tunjuk, pronomina hubung, pronomina tak tentu, dan pronomina tanya, (3) Verba, (4) Adjektiva, (5) Adverbia, (6) Numeralia, (7) Partikel yang terdiri dari partikel depan, partikel hubung/sambung, partikel penentu, partikel tunjuk, partikel penanda orang, partikel seru, partikel penekan, partikel tanya.
2.2.4 Numeralia Numeralia atau kata bilangan ialah kata yang menyatakan jumlah suatu benda, jumlah kumpulan, atau menunjukkan urutan tempat suatu benda dalam deretan nama-nama benda yang lain (Yasin, 1987: 234). Selanjutnya menurut
14
Kridalaksana (2005:79) numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam konstruksi sintaksis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain, dan (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau sangat. Hasil penelitian yang berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Bali oleh tim penyusun (1996: 248) menyatakan bahwa numeralia atau kata bilangan adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud (orang, binatang, atau barang). Menurut Chaer (2002: 93) Numeralia atau kata bilangan adalah kata-kata yang menyatakan bilangan, jumlah, nomor, urutan, dan himpunan.
2.3 Landasan Teori Teori merupakan unsur sentral yang selalu memberi pencerahan terhadap upaya perumusan masalah termasuk jawaban tentatif terhadap masalah (Mahsun, 2005:17). Jendra (1981:26) menyatakan bahwa teori adalah generalisasi korelasi antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan penelitian yang dimaksudkan dan mendapatkan jawaban dari masalah yang muncul maka diperlukan teori tertentu untuk menunjang kelancaran penelitian. Teori yang diperlukan dalam sebuah penelitian harus sesuai dengan objek yang diteliti karena kegunaan teori adalah sebagai pembimbing dan penuntun serta memberi arah bagi peneliti dalam memahami fenomena yang sedang dikaji. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah numeralia bahasa Jawa Kuno, teori yang digunakan adalah teori struktural. Teori linguistik struktural dipelopori oleh Ferdinand de Saussure dalam bukunya yang berjudul Cours de Linguistique Generale. Buku ini diterbitkan pada
15
tahun 1915 sesudah Saussure meninggal dunia. Charles Bally dan Albert Sechechaye menerbitkan buku tersebut berdasarkan catatan kuliah murid-murid Saussure selama Saussure mengajar linguistik di universitas Jenewa (1906-1911). Pandangannya banyak berpengaruh pada perkembangan linguistik di kemudian hari sehingga Saussure dianggap sebagai pelopor linguistik modern. Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep : (1) telaah sinkronik dan diakronik, (2) perbedaan langue dan parole, (3) perbedaan signifiant dan signifie, dan (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik (Chaer, 2007: 346). Di samping itu pandangan Saussure mengenai konsep di atas juga disampaikan oleh Chaer (2007: 347-350) sebagai berikut: 1. Telaah bahasa dibedakan menjadi dua oleh Ferdinand de Saussure yaitu telaah bahasa secara sinkronik dan telaah bahasa secara diakronik. Yang dimaksud dengan telaah bahasa secara sinkronik adalah mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu tertentu. Sedangkan telaah bahasa secara diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa, atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh para penuturnya. 2. Ferdinand de Saussure juga membedakan yang disebut La Langue dan La Parole. Yang dimaksud dengan la langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya abstrak. Sedangkan yang dimaksud dengan la parole adalah pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa, sifatnya konkret.
16
3. Setiap tanda atau tanda linguistik (signe atau signe linguistique) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen signifiant dan komponen signifie. Yang dimaksud dengan signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran. Sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran. 4. Yang terakhir adalah hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Yang dimaksud dengan hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsurunsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linear. Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Namun dalam penelitian tidak menerapkan semua dikotomi yang dijelaskan di atas. Dikotomi yang digunakan dalam menganalisis “Numeralia bahasa Jawa Kuno” antara lain: 1. Pendekatan Sinkronis, karena data bahasa yang diteliti dalam penelitian ini adalah pada kurun waktu tertentu tanpa memandang aspek historis. Penyelidikan sinkronis memusatkan perhatiannya kepada masalahmasalah bahasa sebagaimana terdapat pada kurun waktu tertentu, baik lampau maupun sekarang. Dalam penelitian “Numeralia Bahasa Jawa Kuno” pendekatan sinkronis digunakan untuk mempelajari bahasa Jawa Kuno pada kurun waktu tertentu di masa lampau.
17
2. Langue dan parole, yang menjadi objek telaah linguistik adalah langue akan tetapi melalui parole, karena parole itulah wujud bahasa yang konkret, yang dapat diteliti dan diamati 3. Signifiant dan signifie, karena analisis yang dilakukan dalam penelitian “Numeralia Bahasa Jawa Kuno” tidak terlepas dari dua komponen tersebut. Signifiant adalah bentuk yang dapat ditangkap oleh indra, sedangkan signifie adalah unsur makna atau arti yang dapat ditangkap oleh akal. 4. Hubungan sintagmatik dan paradigmatik, karena analisis yang dilakukan dalam meneliti “Numeralia bahasa Jawa Kuno” didasarkan atas hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Hal ini karena hubungan sintagmatik maupun paradigmatik terdapat pada tataran fonologi, morfologi maupun sintaksis.
18