BAB II KONSEP, KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1
Konsep Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara
abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989:33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.
2.1.1 Masyarakat Tionghoa
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dimana setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1985:60). Masyarakat juga merupakan sistem hubungan sosial (social relation system) yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan manusia. Untuk mencapai persatuan dan integrasi melalui kebudayaan, anggota masyarakat perlu belajar dan memperoleh warisan kebudayaan, termasuk apa yang diharapkan oleh mereka dalam suatu keadaan tertentu. Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia yang berasal dari kata zhinghuo dalam dialek Hokkien dilafalkan sebagai Tionghoa. Suku bangsa Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang dari Tiongkok ke nusantara dan sebaliknya. Suku bangsa Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa di Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebutkan diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi, hanyu pinyin : hanren, bahasa Indonesia :orang Han). Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai adat istiadat. Mereka mengenal bermacam-macam
Universitas Sumatera Utara
perayaan atau festival tradisional. Adat istiadat ini merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari-hari, tradisi, dan mitos yang berkembang di masyarakat. Pada awalnya bermacam-macam perayaan ini mempunyai sejarah sendiri-sendiri, kemudian hal ini mengalami perubahan karena pengaruh dari berbagai agama di sekeliling masyarakat Tionghoa. Secara umum, agama dan kepercayaan masyarakat Tionghoa dapat dikelompokkan (1) Konghucu, (2) Taoisme dan Budha, (3) Kristen Protestan, (4) Kristen Katolik, (5) Islam, (6) Ajaran Tridharma.
2.1.2 Kebudayaan Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, yaitu: (1) Deskriptif,
yang menekan unsur-unsur
kebudayaan, (2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, (3) Normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4) Psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, (5) Struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu system yang berpola dan teratur, (6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia
(P.W.J.Nababan,
1984:49). Menurut Eppink dalam ensiklopedia bebas untuk budaya, ”kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
Universitas Sumatera Utara
pengertian struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat”. Sementara itu, Tylor dalam ensiklopedia bebas untuk budaya mengatakan, “kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuankemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat”. Dari berbagai defenisi tersebut diatas, dapat diperoleh pengertian bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahkluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain yang seluruhnya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.1.3 Sumpit Sumpit adalah alat makan yang berasal dari Asia Timur, berbentuk dua batang kayu sama panjang yang dipegang di antara jari-jari salah satu tangan. Sumpit digunakan untuk menjepit dan memindahkan makanan dari wadah, dari piring satu ke piring lain atau memasukkan makanan ke dalam mulut. Sumpit bisa dibuat dari bahan seperti bambu, logam, gading dan plastik yang permukaannya sudah dihaluskan atau dilapis dengan bahan pelapis seperti pernis atau cat supaya tidak melukai mulut dan terlihat bagus.
Universitas Sumatera Utara
Sumpit digunakan di banyak negara di seluruh dunia untuk menikmati makanan khas Asia Timur. Di beberapa negara Asia Tenggara, terutama Cina, sumpit merupakan alat makan utama yang sama pentingnya seperti sendok dan garpu.
2.2
Landasan Teori
2.2.1
Teori Fungsionalisme Teori merupakan alat terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada
pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan. Untuk melihat fungsi dan makna Sumpit pada Masyarakat Tionghoa, penulis menggunakan teori fungsionalisme dan semioitik. Dimana Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud. Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karier akademik juga.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160). Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski:1944). Bagi Malinowski (T.O. Ihromi, 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa, “semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat”. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, “...fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.”
Universitas Sumatera Utara
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tongkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu: 1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Contohnya: unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang menjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi
Universitas Sumatera Utara
menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat. Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tapi berlainan dengan Malinowski, Radcliffe-Brown (T.O.Ihromi, 2006) mengatakan, “...bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.” Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya mengandung deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail, dan agak banyak membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan, dan mitologi. Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakan RadcliffeBrown, dan dapat dirumuskan mengenai upacara budaya (Koentjaraningrat, 1987), sebagai berikut: 1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berperilaku sosial dengan kebutuhan masyarakat;
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut;
Universitas Sumatera Utara
3. Sentimen itu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat;
4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu;
5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya (1922: 233-234).
Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata, kepada solidaritas sosial dalam masyarakat itu, dan ia merumuskan bahwa: “...the social function of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit from one generation to another the emotional dispositions on which the society (as it constituted) depends for its existence.” Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowski yaitu teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsionalisme struktural, ia mengatakan, “...bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat dan struktur sosial masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada”.
2.2.2
Teori Semiotik
Universitas Sumatera Utara
Teori Semiotik dikemukakan oleh Ronald Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu Semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu populer. (Endaswara, 2008:64). Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.” Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification,” mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik
Universitas Sumatera Utara
perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifiersignified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para mahkluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
2.3
Tinjauan Pustaka Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau
mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912). Putri Agustioko, skripsi (2009) : “Sumpit Sebagai Ikon Budaya Cina”. Penulis mengemukakan bahwa dua hal yang menjadi alasan atau faktor mengapa hingga kini sumpit tetap digunakan, bahkan justru meluas kegunaannya adalah bahwa sumpit memiliki
Universitas Sumatera Utara
bermacam-macam makna yang membuatnya menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Cina. Kemudian yang terakhir adalah, karena sumpit memiliki keunikan-keunikan yang membuat orang tetap menggunakannya. Penulis juga mengatakan bahwa penggunaan sumpit tidak dapat terlepas dari pengaruh Konfusius yang merupakan seorang filsuf Cina yang ajaran-ajarannya sangat berpengaruh dalam seluruh aspek kehidupan bangsa Cina selama ratusan tahun. Henny Tanty, skripsi (2010) : “Penggunaan Sumpit dalam Masyarakat Tionghoa Muda di Surabaya”. Teknik Analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan metode survei, untuk menjelaskan alasan etnis Tionghoa memilih menggunakan sumpit atau tidak. Penulis menggunakan kuisioner menjadi alat bantu utama untuk memperoleh data. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas etnis Tionghoa muda tidak lagi menggunakan sumpit, namun ada sebagian dari mereka yang sebenarnya bisa menggunakan sumpit. Alasan utama mereka menggunakan sumpit karena telah terbiasa sejak kecil. Mereka yang tidak menggunakan sumpit berpendapat penggunaan sumpit sangat sulit dan tidak praktis. Indra, jurnal (2010) : “Meneropong Kebudayaan Tionghoa Saat Ini”. Penelitian dilakukan untuk mencari tahu seberapa besar tingkat kebudayaan masyarakat Tionghoa yang masih ada di masyarakat saat ini. Besar tingkat kebudayaan masyarakat Tionghoa ini dapat dilihat dari nama, budaya, alat sehari-hari, dan sebagainya. Namun komunitas masyarakat Tionghoa masih terbagi -bagi menjadi banyak bagian. Beragamnya komunitas masyarakat Tionghoa tersebut dapat ditemukan di sekitar kita. Sebanyak sembilan komunitas akhirnya dipilih mewakili untuk menjadi bahan referensi penelitian yang diadakan oleh Sally Azaria
Universitas Sumatera Utara
ini. Menurut Sally, “Being A Chinese, menjadi masyarakat Tionghoa di tengah-tengah masyarakat Indonesia, harus tetap menjaga kebudayaan Tionghoa itu sendiri, namun juga harus memiliki jiwa Nasionalisme. Nasionalisme diukur dari memberikan yang terbaik bagi bangsa ini”. Zhou jing ( 周 婧 ), skripsi (2011): Sumpit Dalam Budaya China ( 筷 子 里 中 国 文 化 ). Penelitian ini menjelaskan tentang produksi sumpit di China meliputi proses produksi sumpit hingga pada penggunaan sumpit pada masyarakat China. Li Huiling (李慧玲), skripsi (2008): Etika Penggunaan Sumpit dan Maknanya (筷子的文化 意义与使用禁忌).
Penelitian ini menjelaskan tentang etika dalam tradisi penggunaan sumpit dan
makna yang terkandung yang berkaitan dengan adat istiadat dan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara