11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1 Kajian Pustaka Setiap penelitian dipandang penting untuk mengaitkan penelitian tersebut dengan penelitian sejenis sebelumnya. Berkaitan dengan ruang lingkup Bali dan Indonesia, sejauh ini tidak banyak kajian yang bertalian dengan penelitian majas dan gender. Hal ini menyebabkan pustaka-pustaka yang digunakan dalam penelitian ini lebih didominasi oleh karya-karya yang berasal dari luar negeri. Semuanya bertalian dengan makna gaya bahasa atau majas (makna literal dan non-literal), dan gender. Peninjauan kepustakaan ini pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh gambaran teoretis yang jelas tentang model serta temuan yang telah dicapai dan celah-celah yang dapat dilengkapi dalam penelitian ini. Berikut ini rangkuman dari beberapa sumber yang mengemukakan perbedaan antara makna literal dan non-literal. Pemaparan berikut sekaligus menjelaskan konsep metafora yang menjadi pokok bahasan analisis ungkapan BB. Pertama-tama ungkapan menghadirkan makna eksplisit (literal) dan implisit (nonliteral). Menurut Kerbrat-Orecchioni (1986: 94), semua jenis makna yang mengandung makna implisit (nonliteral) dalam konteks tertentu mencirikan kehadiran majas. Menurut pendapatnya, majas hanya suatu kasus khusus dari fungsi implisit. Dalam majas, bentuk yang implisit bersifat denotatif dan bentuk yang menggantikannya bersifat
12
konotatif. Berkaitan dengan pemahaman makna majas dipandang sangat penting memahami unsur leksikal (UL) yang menampilkan dua makna, yakni literal mengacu makna nyata dan nonliteral mengacu pada makna abstrak. Berikut pernyataan beberapa ahli tentang makna literal dan non-literal, sebagai berikut.
(1) Steen (2002: 24) Steen (2002: 24) mengganti istilah non-literal dengan makna metaforis. Ia mengatakan bahwa makna literal adalah makna yang dapat digunakan secara langsung dalam pembicaraan mengenai pengalaman, sedangkan makna metaforis memerlukan proses pemindahan dari satu ranah ke ranah lain. Seiring dengan Steen, Lee (2001:6) merumuskan metafora sebagai sarana yang melibatkan konsep dari ranah pengalaman satu ke pengalaman lain. Banyak konsep mereka merupakan fondasi dalam pengembangan teori metafora konseptual dengan pendekatan linguistik kognitif.
(2) Tutescu (1979) Tutescu (1979) sependapat dengan pernyataan Steen (2002) bahwa dalam studi semantik ada dua teori yang membahas makna kata, yaitu teori fitur dan teori berdasarkan pengetauan. Artinya, setiap kata mempunyai wilayah makna tertentu yang terdiri atas sejumlah komponen makna, yaitu satuan makna terkecil. Apabila
13
dua kata atau lebih disandingkan, maka ada kemungkinan bahwa satu kata memiliki sejumlah komponen makna penyama dengan wilayah makna dari kata yang dibandingkan dan pasti ada komponen makna yang berbeda pada sisi lainnya (Tutescu, I979: 74--84). Pada dasarnya ada dua macam komponen makna, yaitu komponen makna penyama dan komponen makna pembeda. Hal ini akan membantu uraian penelitian ini untuk menguraikan pemahaman makna ungkapan.
(3) Knowles (2006:4) Secara sederhana dijelaskan sebagai berikut. (1) makna literal mengacu pada sesuatu yang nyata, yaitu sesuatu yang memiliki bentuk di alam semesta, sedangkan makna nonliteral mengacu pada sesuatu yang tidak nyata. Menurut saya, pendapat ini masih naif karena ada hal abstrak yang nyata, seperti udara, kesejahteraan. Sebaliknya, tidak semua makna metaforis mengacu pada sesuatu yang abstrak, misalnya bibir pantai, mata hati, ekor mata, dan lain-lain yang berasal dari kata harfiah. (2) Makna denotatif adalah makna yang secara spontan dikemukakan ketika seseorang menjelaskan makna sebuah UL tanpa konteks; artinya hubungan kata dan konsepnya terpisah dari wilayah makna kata lainnya, sedangkan makna konotatif memerlukan konteks. (3) Makna denotatif ada lebih dahulu daripada makna konotatif; sedangkan makna konotatif merupakan hasil dari proses. Menurut saya, hal ini berkaitan dengan makna samping, artinya makna yang bergerak dari satu makna ke makna lainnya yang merupakan bagian dari kognisi penutur yang diperoleh dari pengalaman (experience). (4) Metafora, yang merupakan salah satu gejala kebahasaan dengan makna
14
nonliteral, melibatkan persamaan. Contoh, “Gadis itu adalah matahariku”, Gadis itu diasosiasikan dengan matahari. Itu berarti bahwa gadis dan matahari memiliki kesamaan ciri.
(4) Evans (2006: 287) Pertentangan makna literal dengan makna nonliteral diajukan oleh Evans (2006: 287). Menurut Evans, konsep literality secara tradisional stabil dan tidak taksa. Jadi, makna literal jelas. Akan tetapi, menurut saya, UL menjadi taksa secara leksikal (lexical ambiguity) karena kata tidak bisa berdiri sendiri dan dapat mengacu lebih dari satu makna sehingga memerlukan konteks. Sebagai contoh, UL pada ‘bunga’ hanya mengacu pada fitur alami yang dimiliki. Akan tetapi, pergeseran makna UL terjadi dalam kalimat “Bunga datang ke kebun untuk memetik bunga”. Demikian juga dalam kalimat “Hati Bunga berbunga-bunga karena bunga tabungannya bertambah”. Kata bunga mengalami pergeseran makna dari makna pusat ke makna samping (Halliday, 1976). Evans setuju dengan Knowles dengan catatan tambahan bahwa konteks tidak hanya berupa konteks sintagmatis, tetapi juga latar belakang pengetahuan ensiklopedis yang kaya dari pengalaman penutur secara individu atau melalui kesepakatan antara mitra tutur untuk dapat memahami konsep metafora.
Selanjutnya, hubungan gender dengan bahasa yang menjadi landasan pokok bahasan analisis gender dalam penelitian ini dapat dirangkum sebagai berikut.
15
(5) Brown (1978) Hubungan perempuan dan laki-laki dalam pemakaian bahasa merupakan variasi stilistik, yaitu orang yang berbicara dengan cara yang berbeda dalam konteks sosial yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor biologis (nature) dan proses belajar (nurture). Brown (1978) menjelaskan bahwa perempuan menggunakan partikel yang lebih kencang ketika berbicara dengan sesama perempuan yang bertujuan untuk mencari perhatian dan ingin dipuji oleh lawan bicaranya. Lebih lanjut, perempuan menggunakan partikel yang lebih melemah ketika mereka berbicara dengan laki-laki untuk tidak diremehkan. Ketika perempuan berbicara dengan perempuan lainnya, mereka cenderung menggunakan lebih banyak partikel daripada bila laki-laki berbicara pada laki-laki. Hal ini disebabkan oleh adanya kealamiahan sikap bahasa yang dipengaruhi oleh budaya atau lingkungan pendukung lainnya.
(6) Coates (1986) Berkaitan dengan pernyataan tentang variasi stilisitik di atas, Coates (1986) menjelaskan bahwa variasi sosial berstruktur yang dijumpai dalam masyarakat bahasa yang berhubungan dengan perlakuan berdasarkan gender dapat diinterprestasikan lebih dari satu cara. Pertama, mengacu pada faktor kodrat (nature) dan lingkungan yang membentuk munculnya isu gender maka muncul dua pendekatan pada perbedaan jenis kelamin dalam bahasa yang mencerminkan dua pandangan status
16
perempuan sebagai sebuah kelompok, yaitu (1) pendekatan perbedaan dan (2) pendekatan dominasi. Pendekatan perbedaan menekankan pada pemikiran bahwa wanita dan pria berasal dari unit budaya yang terpisah yang sering disebut bahasa perempuan (BP) dan bahasa laki-laki (BL). Menurut pendekatan dominasi, di mana wanita sebagai kelompok tertindas tercermin dalam perbedaan kebahasaan dalam bahasa wanita dan pria sebagai cerminan dominasi pria dan ketertindasan wanita. Kedua pendekatan ini memaparkan pandangan yang bernilai tentang kealamiahan perbedaan jenis kelamin dalam bahasa.
(7) O’Barr dan Atkins (1980) Dalam penelitian di Karolina Utara O’Barr dan Atkins (1980) menjelaskan bahwa (1) fitur BP bukan karakteristik ujaran semua perempuan, (2) fitur bahasa perempuan tidak terbatas pada ujaran pembicara perempuan, (3) skor pembicaraan menunjukkan bahwa laki-laki memiliki skor lebih rendah daripada perempuan. Dalam dominant theory dinyatakan bahwa perbedaan gender dalam gaya bahasa mencerminkan BP sebagai bahasa kurang kuat (kuasaless language) dibandingkan dengan perbedaan kuasa fisik dan kekuasaan. Mereka menjelaskan bahwa perspektif gender menempatkan gaya bahasa laki-laki bersifat normative, sedangkan gaya bahasa perempuan bersifat inferior.
17
(8) Tannen (1994)
Tannen (1994:19--46) menjelaskan bahwa penutur dan pendengar memiliki beberapa strategi liguistik. Strategi linguistik tersebut diterapkan untuk menyatakan suatu maksud yang ada dalam dua kontinum, yaitu kuasa dan solidaritas antara penutur laki-laki dan perempuan. Tannen (1994: 10) mengelompokkan beberapa prinsip dasar yang terdapat dalam sosiolinguistik interaksional, yaitu (1) peranan diciptakan dalam pergaulan atau interaksi, (2) konteks terdapat dalam pembicaraan atau aksi tuturan nyata, (3) interaksi tidak bisa berlangsung oleh satu pihak, tetapi melalui interaksi dari individu-individu dalam mengasilkan makna, (4) unsur-unsur linguistik (interupsi, volume pembicaraan, ketidaklangsungan) tidak dapat diluruskan.
Dari semua pandangan tentang makna majas, yakni literal dan nonliteral atau denotatif dan konotatif yang dipaparkan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa pembahasan makna majas merujuk pada hubungan antara pembentuk makna literal dan non-literal melalui hubungan penanda, petanda, dan acuan. Selanjutnya, pemaparan tentang perbedaan gender dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk bahasa yang berdasarkan gender sangat erat berkaitan dengan faktor biologis dan faktor bentukan serta konstruksi budaya penutur bahasa.
18
2.2 Konsep Untuk menghindari kesalahpahaman di pihak pembaca, maka pada bagian ini perlu dibahas beberapa konsep yang merupakan kata-kata kunci, yaitu (1) ungkapan dan (2) wacana. Konsep-konsep tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
2.2.1 Ungkapan Secara umum, ungkapan bahasa atau gaya bahasa dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang digunakan untuk memberikan penekanan dalam menyampaikan pikiran dan perasaan melalui perbedaan bentuk dan struktur dari frasa, klausa, kalimat, bahkan nada yang tersirat dalam wacana dan menunjukkan lebih dari makna harfiah (Keraf, 2009: 112--113). Berkaitan dengan makna yang ditunjukkan, makna bentuk ungkapan yang tersusun dari gabungan dua kata atau lebih tidak dapat diturunkan dari makna kata-kata yang membentuknya, seperti buah bibir. Dalam penggunaan bentuk figuratif tersebut, Leech dan Short (1981) mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu, oleh orang tertentu, dan untuk tujuan tertentu. Bentuk figuratif BB disebut dengan peribasa, yaitu variasi bentuk kata UBB yang digunakan untuk membumbui suatu pembicaraan agar lebih menarik untuk disimak (Ginarsa, 1985). Peribahasa BB dapat dibedakan menjadi wewangsalan ‘tamsil’, peparikan ‘pantun’, sesonggan ‘pepatah’, sesenggakan ‘ibarat’ sesawangan
19
atau bebladbadan ‘metafor’, seloka (bidal), dan lain-lain (Simpen, 1980), seperti dijelaskan di bawah ini. (1) Sesonggan ‘Pepatah’ Sesonggan adalah ungkapan untuk melambangkan sikap atau perilaku manusia dengan barang atau binatang. Misalnya, Abias pasih ‘tak terhitung jumlahnya’, Lelipi ngalih gegitik ‘mencari masalah’ (2) Sesenggakan ‘Ibarat’ Sesenggakan digunakan sebagai perumpamaan atau sindiran tentang perilaku manusia dengan keadaan atau perilaku binatang atau benda. Contoh Buka benange, kadung suba maceluban, yang artinya melakukan sesuatu harus sampai selesai, baik senang maupun tidak. (3) Wewangsalan ‘Tamsil’ Wewangsalan digunakan untuk menyindir perilaku atau keadaan seseorang yang sesungguhnya. Ungkapan ini terdiri atas dua kalimat. Kalimat pertama memiliki arti tersembunyi yang sengaja dibuat oleh pengarangnya, sedangkan kalimat kedua sebagai penjelas dari makna sesungguhnya. Misalnya, Asep menyan majegau, nakep lengar aji kau ‘Menutup-nutupi kesalahan’.
20
(4) Peparikan ‘Pantun’ Peparikan terdiri dari empat baris kalimat yang merupakan karangan dalam bentuk pantun. Peparikan digunakan untuk melukiskan keadaan atau perilaku manusia yang merupakan sindiran dari keadaan nyata. Paparikan disusun dengan pola urutan huruf a-b, a-b, Sebagai contoh, Meli jukut aji lima, meli tabia ane lalah, beli takut melali kema, nyai suba ade ne ngelah’ (5) Sloka ‘Bidal’ Sloka sama dengan bidal dalam bahasa Indonesia. Sloka sama dengan sesonggan yang maknannya masih tersembunyi yang biasanya diawali dengan Buka slokane, Sebagai contoh, Buka slokane apa ane pamula, keto ane kapupu ‘Apa yang ditanam, itulah yang akan dipetik’ 6) Sesawangan ‘Perumpamaan’ Sesawangan berasal dari kata sawangan yang artinya ‘mirip’ yang digunakan untuk melukiskan apa saja yang terlihat, kemudian dirasakan dalam pikiran, dan dibandingkan dengan perilaku manusia. Sesawangan sering diawali oleh kata buka, ‘ibarat’, amunan ‘seperti’, kadi ‘seperti’, tan pendah kadi ‘tiada beda seperti’, waluya kadi ‘bagaikan seperti’, luir ‘seperti’, alah ‘sama’ untuk mengumpamakan keadaan sekeliling lingkungan dengan keadaan manusia. Sebagai contoh, Buka bulane kalemahan; kembang lemlem ‘Seperti bulan kesiangan, pucat pasi’.
21
(7) Papindan ‘Perumpamaan’ Sama
halnya
dengan
sesawangan,
papindan
digunakan
untuk
menggambarkan sesuatu dengan perilaku manusia. Papindan tidak menggunakan kata pembanding, buka, sekadi ‘seperti’, tetapi memakai ‘anu suara’ seperti Alise madon intaran ‘Alisnya seperti daun intaran’ (8) Cecangkitan ‘Olok-olokan’ Cecangkitan merupakan UBB yang sering digunakan untuk bersendagurau bahkan untuk mengolok-olok. Ungkapan ini terdiri atas kalimat yang mengingkari maknanya. Misalnya, Padange sing dadi arit ‘rumputnya tidak jadi sabit’ (9) Raos Ngempelin ‘Lawakan’ Raos ngempelin adalah kalimat yang berhimpitan artinya satu kalimat bermakna ganda. Yang pertama menunjukkan arti sesungguhnya, kalimat yang kedua bermakna berbeda, misalnya, nyelengin memiliki makna menabung uang dalam celengan dan menolong orang yang kepalanya miring. (10) Sasimbingan ‘Sindiran’ Sasimbingan adalah salah satu jenis UBB yang digunakan untuk menyindir mitra tutur sehingga mereka menjadi sedih atau marah. Ungkapan sindiran ini sering menggunakan perumpamaan yang maknanya tersembunyi dengan penggunaan perumpamaan manusia, binatang, atau benda yang makna katanya sering terbalik. Contoh, Semune nyucuk langit ‘sombong’.
22
Bentuk-bentuk ungkapan yang ditemukan dalam GSI adalah sesenggakan, papindan, sesawangan, dan sesimbingan. Bentuk-bentuk ini lebih lanjut dijabarkan dan dijelaskan di bab IV.
2.2.2 Wacana Ada sekian banyak definisi yang diajukan oleh para ahli tentang wacana, tetapi semuanya mengandung makna yang sama tergantung dari sudut mana mereka mengkajinya. Dari sudut pengertian linguistik, wacana adalah kesatuan makna semantis antarbagian di dalam suatu bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Selain dibangun atas hubungan makna antarsatuan bahasa, wacana juga terikat dengan konteks. Konteks inilah yang dapat membedakan wacana yang digunakan sebagai pemakaian bahasa dalam komunikasi dengan bahasa yang bukan untuk tujuan komunikasi. Menurut Hawthorn (1992), wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya. Di pihak lain Fowler (1977) mengemukakan bahwa wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya. Ini berarti bahwa semua jenis komunikasi bersumber pada nilai-nilai yang tertanam pada masyarakat yang disampaikan melalui saluran bahasa, baik lisan maupun tulisan.
23
Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, definisi yang paling mendekati dalam menjelaskan wacana, adalah pendapat yang dikemukaan oleh Badudu (2000) yang memaparkan wacana sebagai rentetan kalimat yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi yang lainnya dalam membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap, tertinggi, atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi. Berdasarkan saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan memiliki ciri adanya penutur dan mitra tutur, bahasa yang dituturkan dan alih tutur yang menandai giliran bicara. Sebaliknya, wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistem ejaan. Berkaitan dengan sumber data yang diteliti, GSI berdasarkan cara pemaparannya merupakan jenis wacana naratif yang menuturkan suatu kisah atau cerita.
2.3 Kerangka Teori Teori-teori relevan yang bisa dijadikan pijakan untuk menjabarkan bentuk, fungsi, makna ungkapan dan bias gender dalam penulisan ini adalah teori fungsional, teori fungsi bahasa, teori semantik, dan teori gender. Semua teori yang diterapkan untuk mengkaji bentuk, fungsi, makna dan ungkapan bernuansa bias gender BB dalam GSI saling berkaitan satu sama lainnya.
24
Ungkapan bahasa dalam karya sastra ini tidak terlepas dari keinginan pengarang untuk menceritakan pengalaman dirinya kepada pembaca melalui makna bahasa yang ditampilkan oleh bentuk-bentuk bahasa tersebut. Makna-makna yang digunakan untuk merepresentasikan maksud yang tersirat dalam ungkapan BB adalah makna metaforis atau makna konotatif yaitu hubungan antara bentuk dan makna harfiah atau makna figuratif. Berkaitan dengan fungsi ungkapan, pemaknaan sebuah bentukbentuk bahasa mencerminkan tujuan pengarang dalam menyampaikan pesan yang bertujuan
mengungkapkan
kesadaran
diri
(ideasional),
menjalin
hubungan
(interpersonal) melalui konteks keadaan dan konteks keindahan pesan atau fungsi tekstual (Halliday, 1978). Selanjutnya, bahasa sebagai sarana untuk menjalin hubungan antara penutur laki-laki dan perempuan memiliki gaya bahasa berbeda sesuai dengan keadaan biologisnya (teori nature) dan porses belajar atau bentukan (teori nurture) dalam usaha memperoleh pengakuan sosial melalui strategi linguistik (Tannen, 1994). Strategi linguistik mengacu pada cara penutur, baik laki-laki maupun perempuan, menunjukkan kuasa dalam mendominasi percakapan dan solidaritas dalam menjaga hubungan. Semua strategi linguistik ini terdapat dalam kehidupan nyata pengarang yang diadopsi melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Adapun strategi linguistik tersebut adalah ketidaklangsungan, interupsi, diam vs banyak bicara, pengajuan topik, dan kekerasan verbal. Penentuan analisis bentuk, fungsi, dan makna UBB bias gender yang terdapat dalam GSI dikaitkan dengan situasi tuturannya, seperti di mana, kapan, dan
25
bagaimana peristiwa tutur itu berlangsung dan budaya Bali yang melatarinya. Dari penjabaran singkat tentang teori yang diterapkan dalam mengkaji bentuk ungkapan BB dalam GSI, dapat disimpulkan bahwa keempat teori ini dapat menjabarkan keempat rumusan masalah penelitian ini. Gambaran penalaran tentang penggunaan kajian bentuk, fungsi, makna, dan bias gender dapat dilihat pada diagram berikut.
Skema Penerapan Teori Fungsional, Fungsi bahasa, Makna dan Gender Geguritan Sampik-Ingtai
UBB BG
Bentuk Majas
Teori fungsional Richards & Rodgers (2001)
Kajian Fungsi
Kajian Makna
Teori Fungsi
Teori Majas Semiotik (de Saussure (1973) Metafora Tutescu (1979: 98) Ogden & Richards (1923: 11)
Wacana
(Halliday, 1978) Fungsi Ideasional Fungsi Interpersonal Fungsi Tekstual
Temuan
Diagram 1
Kajian Gender
Teori Gender Nature/Nurture Indeksikalitas (Budiman1981), Strategi Linguistik (Tannen, 1994)
26
Dari penalaran diagram analisis bentuk, fungsi, makna, dan gender dalam UBB dalam GSI dapat dijabarkan sebagai berikut. GSI disusun dengan beberapa ungkapan majas yaitu sesawangan (simile) sesenggakan (metafora), papindan (simile), dan sesimbingan (ironi). Bentuk ungkapan dijabarkan melalui penerapan teori fungsional yakni pembahasan ungkapan tidak memfokuskan pada unsur gramatikal, tetapi lebih menekankan fungsi bahasa sebagai perangkat komunikasi melalui pemahaman makna semantik. Fungsi ungkapan tersusun dari fungsi ideasional meliputi fungsi ekspresif, fungsi interpersonal mengacu pada direktif, dan fungsi tekstual mengacu pada fungsi keindahan pesan. Kajian makna semiotik, metafora, dan segitiga semantik majas metafora menjabarkan makna yang tersirat dalam ungkapan. Selanjutnya masalah yang mengacu pada ungkapan bias gender dalam wacana percakapan dijelaskan dengan teori nurture dan nature serta strategi linguistik. Tiap-tiap teori dapat dijabarkan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Fungsional Teori fungsional adalah suatu pandangan bahwa bahasa merupakan sarana pengungkapan makna fungsional. Teori ini lebih banyak menekankan dimensi semantik atau makna tuturan dan fungsi komunikatif bahasa daripada karakteristik unsur-unsur gramatikal bahasanya (Richards & Rodgers, 1923: 11). Ini berarti bahwa tujuan akhir dari pengasilan tuturan mengacu pada makna apa yang ingin
27
disampaikan, bukan seberapa rumit susunan sintaksis, gramatikal, atau kaidah fonologisnya. Munculnya teori fungsional dipicu oleh adanya perdebatan antara kelompok penganut paham tradisional dan Transformational Generative Grammar (GTT). Penganut paham fungsional tidak sependapat dengan pandangan kaum strukturalis yang menyatakan bahwa semua pengetahuan linguistik termasuk fonologi dan semantik dikategorikan dalam kerangka struktural (Mey, 1994:21). Teori fungsional diterapkan dalam penelitian ini karena esensi bahasa merupakan alat untuk menyampaikan makna dan memahami maksud pertuturan, baik secara lisan maupun tulisan yang kontekstual. Proses komunikasi akan berlangsung jika antarpenutur saling memahami makna tuturan berdasarkan konteks yang ada, yaitu melibatkan tempat, waktu, dan kepada siapa tuturan ditujukan. Selain itu, teori fungsional lebih banyak berkaitan dengan faktor-faktor sosial dan budaya daripada proses psikologis yang rumit dalam bahasa. Dengan demikian, penggunaan bahasa memiliki ketergantungan terhadap masyarakat penutur bahasa dan sama sekali tidak tergantung pada sistem yang melekat di dalamnya. Salah satu pandangan kaum strukturalis yang sulit diubah, yaitu bahwa gagasan kebahasaan selalu dikaitkan dengan logika atau kognisi penuturnya. Dengan kata lain, penggunaan bahasa harus menyentuh hukum-hukum logika. Penganut paham fungsional menentang pendapat semacam itu karena mereka berkeyakinan bahwa pemaknaan yang dihubungkan dengan hukum logika terkadang tidak
28
berterima. Misalnya, pernyataan ‘Pacaran dan lulus sarjana’. Menurut hukum logika, pernyataan di atas bernilai sama. Demikian juga dengan kalimat berikut, ‘Lulus sarjana dan pacaran’ ‘lebih baik dari pada ‘Pacaran dan lulus sarjana’ Secara logika, kedua kalimat di atas dapat dibenarkan tetapi maknanya berbeda. Kalimat ‘Lulus sarjana kemudian pacaran’ lebih menekankan pada peristiwa ‘pacaran setelah lulus sarjana’ yang artinya tidak akan pacaran kalau tidak lulus sarjana. Sebaliknya, kalimat ‘Pacaran sebelum lulus sarjana’ lebih menekankan peristiwa ‘Sebelum lulus sarjana pacaran dulu’ atau ‘pacaran lebih diutamakan dari pada lulus sarjana’. Makna kalimat tersebut akan berkonotasi edukatif jika dinyatakan ‘Lulus sarjana kemudian pacaran’ lebih baik daripada ‘pacaran dulu dan lulus sarjana’. Penerapan teori fungsional dalam penelitian ini dipercaya dapat menjabarkan makna fungsional ungkapan BB dalam GSI yang bernuansa gender, yaitu dengan lebih banyak menekankan aspek komunikatif dan dimensi semantik gaya bahasa dari pada elemen-elemen pembentuk kebahasaannya.
2.3.2 Teori Fungsi Bahasa Sebuah pendekatan fungsional bahasa berarti mengetahui bagaimana bahasa digunakan. Ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa dapat menunjukkan fungsi bahasa tersebut. Misalnya, bentuk imperatif berfungsi untuk memengaruhi orang lain untuk
29
melakukan sesuatu. Fungsi bahasa dasar ini disebut dengan fungsi regulatori dan fungsi interaksional. Artinya, kedua fungsi ini merupakan alat untuk mengontrol perilaku orang lain (Halliday, 1978: 12). Penjabaran fungsi bahasa dalam kajian ini berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai sarana mengungkapkan perasaan atau pengalaman diri, berinteraksi dengan orang lain yang berhubungan dengan konteks sosial dalam masyarakat bahasa. Halliday dan Hasan memaparkan fungsi bahasa yang dimulai dengan pendapat
Malinowski (1923), Buhler (1934) sampai dengan pendapat Morris (1967) dan menyempurnakan pendapat-pendapat pendahulunya dengan pembagian fungsi bahasa yang lebih terperinci. Paparan Halliday dan Hasan tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut. Pragmatic
Magical
Narrative
Active
Representational
Conative
rd
nd
(3 person)
(2 person)
Bühler (1934)
expressive st
(1 peron)
Transanctional
Expressive
Informative
Poetic
Britton (1970)
Morris (1967)
conative
Information
Grooming
Mood
Exploratory
Talking
Talking
Talking
Talking
Informative uses
Malinowski (1923)
interactive uses Control other
Imaginative uses mutual support
Model Halliday dan Hasan (1985)
Express self
ritual
Poetic
30
Dari tabel di atas, diketahui Halliday (1978: 12) menjelaskan bahwa fungsi bahasa mencakup tiga aspek, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional mengacu pada kemampuan seseorang menggunakan bahasa untuk semua tujuan khusus dan semua jenis konteks yang ada atau dibangun dalam menyampaikan pengalaman. Fungsi ideasional merupakan fungsi makro yang memiliki unsur makna utama pada sistem bahasa dalam semua penggunaan bahasa. Pemahaman dan ungkapan bahasa berasal dari proses yang berbeda dari dunia luar termasuk material, sedangkan proses mental yang bersifat abstrak merupakan unsur ideasional dari tata bahasa. Struktur yang mengungkapkan makna-makna ideasional jelas berasal dari makna asalnya, yaitu unsur-unsur yang tidak berbeda dari tujuan dan hasrat yang ditampilkan dari pemahaman pengalaman. Fungsi interpersonal merupakan fungsi bahasa yang dapat digunakan untuk semua bentuk khusus tentang ungkapan pribadi dan interaksi sosial. Untuk menghubungkan antara seorang penutur dengan penutur lain, kita melibatkan hubungan interpersonal dalam memilih strategi semantik, umpamanya untuk merujuk, membujuk, memikat, meminta, memerintah, menyarankan, menegaskan, memaksa, meragukan, dan sebagainya. Sebagai prasyarat dari kedua fungsi di atas adalah fungsi tekstual, di mana bahasa menjadi teks yang berkaitan dengan bahasa itu sendiri dari konteks
31
penggunaannya. Tanpa makna dari unsur-unsur tekstual, kita tidak akan bisa menggunakan bahasa sama sekali. Dari penjelasan ketiga teori fungsi bahasa dari Halliday (1978) di atas, diketahui bahwa pengarang GSI telah mengadopsi teori tersebut melalui susunan baitbait yang tentunya dapat menjembatani imaji pembaca.
2.3.3 Teori Majas Makna kata dapat dibahas melalui teori fitur dan teori berdasarkan pengetahuan. Kedua teori ini menjabarkan bagaimana kata (penanda) disimpan karena berbagai faktor, yaitu berdasarkan keseringan, ketergambarannya, kemiripan fonetiknya, kedekatan semantiknya, dan kategori sintaktiknya. Fitur semantik memegang peranan penting karena kedekatan antara satu entitas dengan entitas lainnya disebabkan oleh jumlah fitur yang sama atau mirip. Cakupan teori yang digunakan untuk membahas makna ungkapan bahasa Bali dalam GSI yang bernuansa bias gender adalah semiotik, metafora, dan semantik.
2.3.3.1 Semiotik
Semiotik didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan, baik maksud, perasaan, maupun informasi.
32
Ranah semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indra yang kita miliki ketika tandatanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia (Morris, 1979).
Konsep semiotik diperkenalkan oleh De Saussure (1973: 207--208) melalui dikotomi sistem tanda signified ‘petanda’ dan signifier ‘penanda’ yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda. Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa, yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa sehingga tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri sehingga merupakan suatu ranah linguistik. Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) dapat digambarkan sebagai berikut.
33
Signified Signifier
Signified Signifier
signified Signifier
De Saussure (1973: 207--208), menjabarkan bahwa penanda dan petanda dalam diagram bentuk oval di atas memiliki wilayah makna sendiri. Walaupun demikian, tiap-tiap kata juga terikat dengan kata-kata lainnya dalam bahasa yang sama. Wilayah makna sebuah kata tidak hanya berasal dari apa yang dimaknai, tetapi juga dari hubungan dengan kata lain dalam konteks tertentu.
Berkaitan dengan penelitian ini, teori semiotik diterapkan karena pada dasarnya setiap kata merupakan rangkaian dari tanda, penanda, dan petanda yang merupakan kesepakatan penutur.
2.3.3.2 Metafora Metafora merupakan dasar mutlak dari pikiran manusia yang terungkap dalam berbahasa. Lakof dan Johnson (1980:3) menyatakan bahwa metafora meresap di dalam kehidupan sehari-hari manusia, tidak hanya di dalam bahasa, tetapi juga dalam pikiran dan tingkah laku; pikiran manusia tidak hanya berisi unsur inteligensi, tetapi juga berfungsi mengatur hidup manusia sampai ke hal yang sekecil-kecilnya.
34
Penelitian yang berlandaskan kognisi mengatakan bahwa manusia menggunakan pikiran untuk mengatur pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman hidup, antara lain melalui proses metaforis. Salah satu prinsip dasar metafora adalah adanya kesepakatan dalam asosiasi metaforis antara dua konsep, misalnya dalam masyarakat penutur bahasa yang dikenal dengan istilah ‘experential motivation’. Artinya, tidak ada metafora yang dapat dipahami atau ditampilkan secara jelas tanpa dasar pengalaman. Dalam Linguistik Kognitif (LK) metafora merupakan persoalan konsep yang terdapat di dalam pikiran (Steen 2002: 24)). Teori kognitif (TK) menjelaskan metafora dalam kerangka pengalaman hidup (Lakoff dan Johnson, 1980). Pengalaman ini bukan pengalaman individu, melainkan pengalaman yang berkaitan dengan pengalaman sosial budaya dan historis dari suatu komunitas. Sebagai contoh, dalam ungkapan bahasa Bali; Bunga angsana, wawu mekar, kembangnyane nedeng miyik ‘Bunga angsana yang sedang mekar, harum semerbak’. Orang Bali mengasosiasikan ‘bunga’ (petanda awal atau makna pusat) dengan ‘seorang gadis’ (petanda akhir atau makna samping) yang disepakati oleh masyarakat setempat melalui pengamatan dari pengalaman mereka. Jadi, dalam metafora tidak terjadi substitusi makna, tetapi interaksi makna (I.A. Richards dalam Todorov, 1970: 29) seperti yang digambarkan berikut ini.
35
Signifié d’arrivée
Signifié de départ
(Petanda awal)
‘gadis itu’ (Petanda akhir)
[bunga] Intermédiaire
Lingkaran yang berada di sebelah kiri merupakan wilayah makna ‘bunga’ menunjukkan petanda awal (signifié de départ), sedangkan lingkaran yang berada di sebelah kanan merupakan interaksi makna dalam metafora menunjukkan wilayah makna ‘gadis itu’ sebagai petanda akhir (signifié d’arrivée). Ini dapat terjadi berkat adanya perantara (Intermédiaire) yang merupakan komponen makna penyama.
2.3.3.3 Teori Ogden & Richards (Semantik Segitiga Makna ) Untuk menjelaskan hal ini, perlu diingat kembali segitiga semantik yang dikemukakan oleh Ogden & Richards (1923: 11) dengan menambah unsur acuan pada teori penanda dan petanda yang telah dikemukakan oleh De Saussure (1973: 207--208). Penanda adalah imaji akustik atau bentuk bahasa, sedangkan petanda adalah konsepnya. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer, yaitu berdasarkan konvensi masyarakat pendukung bahasa. Acuan sebenarnya berada di luar ranah bahasa, yakni berasal dari dunia pengalaman. Ogden & Richard (1923: 11) menekankan bahwa tidak ada hubungan langsung antara penanda dan acuannya atau antara bahasa dan dunia luar. Hubungan itu harus melalui konsep yang berada dalam
36
pikiran manusia. Hubungan antara penanda, petanda, dan acuannya digambarkan sebagai berikut. Konsep
reference
Lambang
, ……., …….,
Dalam diagram segitiga semantik majas metafora di atas, terdapat hubungan tidak langsung antara penanda dan acuannya yang digambarkan dengan garis terputus-putus. Berdasarkan pemahaman dan pengalaman tentang suatu lambing, maka konsep ini kekecilan untuk menampung sekian banyak acuan. Sebenarnya, dari beberapa tulisan tentang teori linguistik mengenai majas, selalu berkisar antara penanda dan petanda dengan tidak memasukkan unsur acuan. Meskipun demikian, beberapa pakar, antara lain Georges Lakoff dan Mark Johnson (1980: 35--37) menyinggung unsur acuan ini telah dimasukkan ke segitiga semantik majas metafora seperti yang digambarkan berikut. ‘Konsep1’
[Simbol]
‘
‘Acuan 1 ‘
‘Konsep 2’
Acuan 2
Gambar di atas merupakan gabungan dari penanda 1 dan penanda 2. Makna kata pertama ditampilkan dengan segitiga bergaris terputus-putus tidak hilang, tetapi
37
berada di latar belakang makna metaforis. Yang dibandingkan adalah bergaris titiktitik (implisit). Ini berarti bahwa konsep ‘penanda 1’ berinteraksi dengan konsep ‘petanda 2’. Itulah sebabnya dikatakan bahwa dalam metafora terjadi penyimpangan makna. Dengan demikian, bentuk-bentuk bahasa yang tersusun melalui proses kebahasan menampilkan makna harfiah, sedangkan makna ungkapan menyiratkan makna figuratif atau makna kiasan yang bersumber dari makna harfiah. Hal itu terjadi karena metafor merupakan majas yang maknanya melalui proses denominasi, yaitu perluasan makna dari makna harfiah dengan tujuan persamaan makna (Beardsley, 1958). Ungkapan dalam kajian ini hanya memfokuskan pada makna denotatif, konotatif atau metaforis, makna agama, dan makna budaya. Makna budaya adalah makna yang ditangkap oleh pembaca atau pendengar yang memahami tata bahasa Bali dan konteks sosial budaya Bali. Makna budaya terbentuk karena adanya kesepahaman konteks sosial budaya antara pencipta dan pendengar. Makna konotatif atau makna kiasan adalah makna yang muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap apa yang diucapkan, dilihat, atau apa yang didengar. Makna konotatif adalah makna yang muncul dari makna denotatif yang mendapat tambahan komponen lain, seperti unsur-unsur psikis, kondisi sosial, politis, budaya, dan spiritual. Makna-makna konotatif sifatnya lebih profesional dan operasional daripada makna denotatif. Sebagai contoh, ‘Hatinya berbunga-bunga’ bermakna seseorang yang sedang berbahagia.
38
Makna spiritual adalah makna yang ditangkap oleh pembaca dan pendengar GSI karena pengaruh pemahaman pemirsa terhadap nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat Bali, yaitu agama Hindu. Seseorang akan menjadi sulit memahami isi atau makna nilai-nilai jika tidak memahami makna spiritual, seperti Sang Hyang Surya, Semara-Ratih, Kala Rawu, dan lain-lain. Penerapan teori majas dalam menganalisis makna ungkapan bertujuan untuk mengetahui makna-makna kias (konotatif) pada majas dari makna aslinya. Pemaknaan sebuah ungkapan tentu tidak terlepas dari budaya dan agama yang melatarinya.
2.3.4 Teori Gender Beberapa teori yang diterapkan untuk menjabarkan bias gender dari ranah bahasa dan budaya tentu memiliki pandangan berbeda tentang gender sesuai dengan paradigma yang melatar belakanginya. Berkaitan dengan analisis bahasa dan gender dari Brown (1978), O’Barr dan Atkins (1980), dan Coates (1986), teori-teori yang digunakan sebagai dasar untuk menjabarkan fenomena bias gender adalah teori nature (kealamiahan), teori nurture (proses bentukan atau bimbingan), teori fungsional dan indeksikalitas (Arief Budiman, 1981) yang dijabarkan di bawah ini. a.
Teori nature menjabarkan bahwa perbedaan psikologis antara penutur laki-laki dan perempuan disebabkan oleh fakor biologis yang melekat sejak lahir. Ini dapat diartikan apa pun yang dihasilkan atau dikonstruksikan pada mereka
39
mengacu pada kelemahan, termasuk bentuk-bentuk bahasanya (O’Barr dan Atkins, 1980) b. Teori nurture dapat menjelaskan perbedaan psikologis penutur laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi faktor bentukan atau proses belajar. Ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk bahasa dilekatkan pada penutur yang berbeda bukan karena proses kealamiahan (Brown, 1978) c Indeksikalitas menjabarkan penggunaan tanda yang memiliki hubungan mutlak dengan acuannya (referent) (Duranti, 1997). Berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin penutur, pengindeksan bentuk-bentuk lingual sesuai dengan sistem budaya tertentu. Misalnya, sistem budaya patrilineal, di mana laki-laki sebagai pengontrol tindakan (aktor) dalam subjek beberapa verba aktif, sedangkan perempuan sebagai penerima tindakan dalam verba kalimat pasif.
Berhubungan
dengan
gender
dan
wacana,
Tannen
(1994:
20--46)
menjabarkan bahwa memahami maksud suatu ujaran atau ungkapan bahasa tidak bisa ditentukan dari bentuk linguistik saja, tetapi ada faktor lain yang mengikuti bentuk itu misalnya konteks situasi dan konteks budaya dari pendengar dalam berinteraksi. Tannnen, (1994:19--46) menjelaskan bahwa penutur dan pendengar memiliki beberapa strategi liguistik. Strategi linguistik tersebut diterapkan untuk menyatakan suatu maksud yang ada dalam dua kontinum, yaitu kuasa dan solidaritas antara penutur laki-laki dan perempuan.
40
Berkaitan dengan gender dan wacana GSI, teori relativitas strategi linguistik dianggap bisa menjelaskan fenomena bias gender BB dalam wacana percakapan dalam teks tulis. Untuk menguraikan pola-pola gender yang terdapat dalam UBB tersebut diterapkan teori relativitas strategi linguistik yang dicetuskan oleh Tannen (1994: 19--49) dalam ‘Gender and Discourse’. kuasa
dan solidaritas menunjukkan
pola-pola bahasa yang melibatkan perbedaan gender diuraikan melalui penerapan teori
relativitas
strategi
linguistik
dalam
aspek-aspek
ketidaklangsungan
(indirekness), selaan (interruption), diam (silence), pengajuan topik (topic rasing), dan kekerasan verbal (verbal aggression). Pola-pola bentuk bahasa yang memiliki nuansa bias gender dalam BB tersusun karena konteks budaya dan gaya percakapan. Berikut ini adalah model yang menunjukkan posisi strategi linguistik antara penutur laki-laki dan perempuan dalam komunikasi. Model Unidimensional (Tannen, 1994: 27)
Ketidaklangsungan selaan diam VS banyak bicara pengajuan topik kekerasan verbal
kuasa Ketidakselarasan Hirarki Jarak
Solidaritas Keselarasan Kesamaan Kedekatan
41
Seseorang dapat dikatakan memiliki kuasa
atas mitra tutur apabila dapat
mengatur perilaku yang melibatkan paling tidak dua orang dan tidak berlaku timbal balik, artinya penutur tidak dapat mengatur orang lain bersamaan. Satu penutur menunjukkan kuasa, sedangkan mitra tutur lainnya menunjukkan solidaritas, seperti yang digambarkan dalam model bahwa kuasa dan solidaritas berada berseberangan dengan unsur masing-masing. Analisis gender dalam wacana percakapan yang terdapat dalam GSI mengacu pada strategi linguistik untuk menunjukkan kuasa
dan solidaritas serta bentuk-
bentuk linguistik yang menunjukkan ketidaksetaraan dalam penggunaan bahasa oleh penutur laki-laki dan perempuan melalui indeksikalitas.