Bab II
KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pasar Kapitalis dan Swalayan Syariah Ciri ekonomi Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi kepemilikan privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrikpabrik, jalan-jalan, kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif. Perusahaan milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Hal tersebut sangat mempengaruhi distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia. Ini memungkinkan laju pertukaran yang tinggi oleh karena orang memiliki hak pemilikan atas barang-barang sebelum hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain. Kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran kepentingan individu. Menurut Smith, setiap individu seharusnya diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah untuk mencapai yang terbaik di masyarakat maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak nampak (the invisible hand). Kebebasan ekonomi tersebut juga diilhami paham “laissez nous faire“ (jangan mengganggu kita) kata ini kemudian dikenal sebagai laissez faire. Prinsip ini diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah dalam perekonomian sehingga timbullah kebebasan ekonomi dan sifat individualisme. Dalam sistem ekonomi kapitalis berlaku “free fight liberalism“ (sistem persaingan bebas). Peranan swasta
15
Universitas Sumatera Utara
memegang peranan utama. Siapa yang mempunyai, menguasai dan mampu menggunakan kekuatan modal (Capital) secara efektif dan efisien akan dapat memenangkan pertarungan dalam bisnis. Prinsip dasar, kebaikan dan keburukan sistem kapitalis dapat dilihat pada tabel berikut: No Prinsip dasar 1 Kebebasan memilki harta secara perorangan
2
Kebebasan ekonomi dan persaingan bebas
3
Kekuatan modal untuk menikmati hak kebebasan dan mendapatkan hasil yang sempurna
Kebaikan Kebebasan ekonomi akan meningkatkan produktifitas masyarakat yang nantinya dapat meningkatkan kekayaan negara Persaingan bebas akan mewujudkan produksi dan tingkat harga pada tingkat yang wajar Motivasi mendapatkan keuntungan maksimum menyebabkan orang berusaha bekerja keras
4
Keburukan Persaingan bebas mengganggu kapasitas kerja dan sistem ekonomi karena mengakibatkan banyak keburukan dalam masyarakat Menyebabkan ketidak selarasan karena semangat persaingan Hilangnya nilai-nilai moral kemanusiaan, seperti kasih sayang, persaudaran, kerjasama Menghalalkan segala cara untuk keuntungan individu Perbedaan mencolok antara majikan (pemilik modal/kaum borjuis) dan pekerja (buruh) Mengesampingkan masalah kesejahteraan masyarakat banyak
5
6
Ketidakmerataan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme laissez faire telah meningkatkan pamor konsep negara kesejahteraan yang memberikan secercah
16
Universitas Sumatera Utara
harapan pada horizon kapitalis. Bagaimanapun juga, negara kesejahteraan tidak didasarkan pada pandangan dunia yang berbeda dari kapitalisme. Apa yang dilakukan oleh negara kesejahteraan hanyalah mengkombinasikan antara mekanisme harga dan peranan negara yang lebih besar dalam ekonomi untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan stabilitas serta pemerataan yang lebih besar. Tetapi sekarang pertumbuhan ekonomi melambat sementara pengangguran telah menjadi kronis dan problem jangka panjang. Ketidakstabilan ekonomi juga terus memburuk dan secara terus-menerus direfleksikan dalam pasar komoditi, saham, dan pertukaran nilai mata uang. Masyarakat dunia masih diperciki oleh inflasi dan ketidakseimbangan ekonomi makro yang memburuk dan ketidakstabilan ekonomi. Lebih-lebih,
pengeluaran
sektor
pemerintah
untuk
menyediakan
layanan
kesejahteraan bagi si kaya dan si miskin. Satu-satunya pilihan yang masih dapat dilakukan dalam kerangka kerja netralitas nilai, justru malah membantu si kaya lebih banyak daripada membantu si miskin sebab pengeluaran si kaya ternyata begitu besar sementara mereka juga memiliki kemudahan untuk mendapatkan fasilitas. Kesenjangan pendapatan dan kekayaan menjadi makin melebar kendatipun telah diberlakukan pajak progresif dan pelayanan negara kesejahteraan. Hal ini menunjukkan bahwa strategi menambah peran pemerintah lebih besar ke dalam kapitalisme laissez-faire untuk mewujudkan tujuan-tujuan telah terbukti tidak efektif. Ketidakmerataan kapitalisme laissez faire telah menaikkan bukan saja kepada munculnya negara kesejahteraan, tetapi juga kepada sosialisme. Kendatipun sosialisme telah mengajukan sebuah strategi yang berbeda, tetapi didasarkan pada pandangan dunia yang sama seperti sistem pasar, sama persis atau malah lebih
17
Universitas Sumatera Utara
sekuler lagi dalam pandangannya tentang kehidupan. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang tajam dengan sistem pasar. Ia memiliki suatu ketidakpercayaan implisit tentang kemampuan manusia untuk berbuat demi kepentingan masyarakat. Karena itu ia sangat bergantung pada pembelengguan kebebasan individu dan motif memperoleh keuntungan serta eleminasi hak memiliki properti. Karenanya, kepemilikan negara atas semua sarana produksi dan perencanaan sentral menjadi instrumen utama strateginya untuk mendorong efisiensi dan pemerataan penggunaan sumberdaya-sumberdaya. Penghapusan keuntungan sebagai imbalan langsung bagi usaha individu, betapapun, telah mengikis inisiatif dan efisiensi yang merupakan keharusan bagi pertumbuhan. Pembuatan keputusan yang terpusat juga menyebabkan seluruh mesin ekonomi tidak efisien. Lebih-lebih, suatu hal yang tidak realistis adalah bahwa jika manusia pada tataran individu saja tidak dapat dipercaya untuk mengelola bisnis pribadi mereka dalam keseluruhan batas-batas kesejahteraan sosial, maka bagaimana mungkin mereka dapat dipercaya mengelola alat-alat produksi seluruh bangsa untuk tujuan ini. Sosialisme telah gagal di semua negara yang mempraktekkannya. Ia tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok atau mengurangi secara substansial ketidakmerataan sosio-ekonomi kendati negara-negara yang mengadopsi sistem ini memiliki sumberdaya yang melimpah ruah. Lebih lanjut ekonomi sosialis mengalami stagnasi disebabkan oleh kurangnya motivasi di kalangan pekerja dan para eksekutif serta ketidakmampuan sistem ini untuk merespons realitas yang tengah berubah. Utang luar negeri negara sosialis ini juga terus melejit dan diramalkan akan terus melangit dengan percepatan yang tinggi. (Chapra, 2000 : 20-24)
18
Universitas Sumatera Utara
Kenyataan menunjukkan bahwa kedua model ekonomi kapitalis dan sosialis, telah membawa manusia memperbudak manusia lain, mengelola kekayaan alam dengan mengenyampingkan peranan Tuhan. Akibat selanjutnya dari keadaan ini ialah terjadinya dekadensi nilai antara manusia dan Tuhan, dehumanisasi antara manusia dengan manusia, dan disharmonisasi antara manusia dan alam. (Agustianto, 2002 : 16). Diantara dua mode ekonomi dunia yang dipakai saat ini serta diakibatkan oleh kelemahan masing-masing mode muncullah ekonomi Islam sebagai suatu alternatif. Sebagai suatu pedoman hidup, ajaran Islam terdiri atas aturan-aturan mencakup keseluruhan sisi kehidupan manusia. Secara garis besar, aturan-aturan tersebut dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu aqidah, akhlak, dan syari’ah. Dua bagian pertama bersifat konstan. Sedangkan syari’ah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan manusia. Syari’ah terdiri atas bidang muamalah (sosial) dan bidang ibadah (ritual). Ibadah merupakan sarana manusia untuk berhubungan dengan sang penciptanya. Sedangkan muamalah digunakan sebagai aturan main manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. (Supriyatno, 2003 : 1) Menurut At-Thahanawi syari’ah diartikan sebagai hukum-hukum yang disyariatkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh salah seorang Nabi diantara Nabi-Nabi yang lain, baik hukum-hukum tersebut mengenai amal perbuatan maupun mengenai akidah. (Makhalul, 2002 : 6). Dari beberapa definisi disimpulkan bahwa ekonomi Islam itu mempelajari aktifitas atau perilaku manusia secara aktual atau empirikal, baik dalam produksi, distribusi maupun konsumsi berlandaskan syari’ah Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah dengan tujuan untuk mencapai kebahagian duniawi dan ukhrawi. (Agustianto, 2002 :
19
Universitas Sumatera Utara
10) Calvinisme dan Kapitalisme. Keadaannya berubah sebagai akibat dari reformasi. Luther menolak kontras antara religiusitas-massa dan religiusitas-virtuoso. Tuntutan-tuntutan keras harus dibebankan kepada setiap orang. Dalam pendapat ini kehidupan kebiaraan kehilangan maknanya; askese “luar-dunia” digantikan oleh askese “dalam-dunia”. Lain-lainnya berpandangan bahwa pelaksanaan profesi merupakan kesibukan manusia yang terpenting, dan karenanya karya profesi memperoleh penghargaan yang tinggi. Kemuliaan pribadi harus diusahakan dalam profesi. Selain itu unsur-unsur magis dihilangkan, sejak itu hanya keyakinan pribadi sajalah yang penting. Ini lebih kuat lagi di dalam calvinisme, yang juga menggarap sifat askese di dunia ini secara sistematis. Titik tolaknya ialah ajaran mengenai kedaulatan Tuhan yang mutlak dan predestinasi. Tuhan, di dalam otonominya yang mutlak, secara abadi telah mentakdirkan seseorang untuk memperoleh keselamatan abadi dan mentakdirkan seseorang lain untuk memperoleh kutukan abadi, tetapi Tuhan tidak memberitahukan keputusan abadi ini kepada manusia. Selain itu Tuhan telah menyerahkan dunia ini kepada manusia, bukannya sebagai milik pribadi yang dapat digunakan sekehendak hati, melainkan sebagai suatu tugas. Manusia dapat dianggap sebagai petugas Tuhan yang harus mengelola harta benda Tuhan seefektif mungkin, tetapi tidak boleh memanfaatkan harta benda itu untuk dirinya sendiri. Jadi manusia harus bekerja keras dan berdisiplin, dan hidup sederhana serta hemat, sebagaimana sepantasnya bagi seorang pelayan. Cara hidup yang rasional dan metodis, yang dalam Katolisisme
20
Universitas Sumatera Utara
hanya diharapkan dari para biarawan, oleh Calvin diwajibkan bagi umat Kristen biasa. Pola hidup ini diperkuat oleh dua faktor. Pertama-tama ketidakpastian mengenai nasib abadi secara psikolgis sukar tertahankan, maka dapat dipahami mengapa orang mencari pertanda-pertanda mengenai terpilih tidaknya seseorang itu. Berangsur-angsur timbullah pendapat bahwa justru kerja yang tiada kenal henti dan sikap hidup yang asketis dapat berlaku sebagai pertanda-pertanda itu. Tetapi karena cara hidup demikian itu tentu saja juga mempunyai akibat-akibat di bidang ekonomi. Khususnya peningkatan kekayaan pribadi, maka sukses pekerjaan itu juga dipandang sebagai pertanda kesenangan hati Tuhan. Siapa pun yang menghendaki kepastian, akan dapat memperolehnya melalui jalan itu. Sikap hidup keagamaan di atas mempunyai akibat-akibat penting terhadap perkembangan kapitalisme. Pertama-tama, akibat kerja keras dan hidup sederhana, tersedialah modal yang dapat ditanam untuk dapat berproduksi dengan lebih baik. Namun ini bukanlah akibat yang terpenting. Akibat terpenting ini berupa peningkatan kecenderungan rasional yang merupakan syarat kunci bagi perkembangan kapitalisme. Weber menyatakannya dengan sangat tegas “suatu pengaturan yang kuat dan secara tak sadar begitu pandai seperti itu bagi pemupukan individu-individu kapitalis, tidak pernah ada dalam gereja atau agama lain manapun, dan jika dibandingkan dengannya maka mengecillah lain-lainnya itu.” dan “sejauh kekuasaan sikap hidup puritan dapat menjangkau, maka sikap hidup ekonomis-rasional golongan menengah; sikap hidup puritan itu adalah pendorong yang paling penting, dan di atas segalanya merupakan satu-satunya pendukung konsisten perkembangan itu. Sikap
21
Universitas Sumatera Utara
hidup puritan itu hadir pada kelahiran manusia ekonomi modern.” (Weber, 2006 : 314) Sudah jelas bahwa justru kelas-kelas dan golongan-golongan status yang baru muncul itu, yaitu yang kepentingan-kepentingan materialnya terletak dalam cara-cara produksi kapitalis, juga melihat dalam pendapat-pendapat Calvinistis itu suatu pembenaran bagi cara hidup mereka dan karenanya juga bagi pemenuhan kepentingan-kepentingan ideal mereka. Karena itu terdapat suatu afinitas selektif antara kepentingan-kepentingan kelas-kelas serta golongan-golongan
status ini
dengan ajaran Calvinis, dan dapatlah Reformasi berakar justru diantara golongangolongan sosial ini. (Layendecker, 1983 : 339-341)
2.2. Orientasi Konsumen Dalam Pola Konsumsi Parsons mengembangkan kerangka A-G-I-L untuk menganalisa persyaratan fungsional dalam semua sistem sosial. Adapun kerangka A-G-I-L yaitu : A-Adaptation, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Lingkungan, seperti yang sudah kita ketahui, meliputi yang fisik dan yang sosial. Untuk suatu kelompok kecil, lingkungan sosial akan terdiri dari satuan institusional yang lebih besar dimana kelompok itu berada. Untuk sistem-sistem yang lebih besar, seperti misalnya masyarakat keseluruhan, lingkungan akan meliputi sistem-sistem sosial lainnya dan linkungan fisik. G-Goal attainment, merupakan persyaratan fungsional yang muncul dari pandangan Parsons bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya. Namun perhatian yang diutamakan disini bukanlah tujuan pribadi individu melainkan tujuan bersama
22
Universitas Sumatera Utara
anggota dalam suatu sistem sosial. Dalam salah satu dari kedua hal itu, pencapaian tujuan merupakan sejenis kulminisasi tindakan yang secara intrinsik memuaskan, dengan mengikuti kegiatan-kegitan penyesuaian persiapan. Menurut skema alat tujuan pencapaian maksud ini adalah tujuannya sedangkan kegiatan penyesuaian yang sudah terjadi sebelumnya merupakan alat untuk merealisasi tujuan ini. I-integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interalasi antara para anggota dalam sistem sosial itu. Supaya sistem sosial itu berfungsi secara efektif sebagai satu satuan, harus ada paling kurang suatu tingkat solidaritas diantara individu yang termasuk didalamnya. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup yang menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerjasama dikembangkan dan dipertahankan. Ikatan-ikatan emosional ini tidak boleh tergantung pada keuntungan yang diterima atau sumbagan yang diberikan untuk tercapainya tujuan inidividu atau kolektif. L-latent pattern maintenance. Konsep latensi menunjukan ada berhentinya interaksi. Para anggota dalam sistem sosial apa saja bisa letih dan jenuh serta tunduk pada sistem sosial lainnya dimana mungkin mereka terlibat. Karena itu, semua sistem sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem itu sewaktu-waktu kocar-kacir dan para anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem. Teori Parson yang umum sifatnya mengenai tindakan sosial menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Prinsip-prinsip dasar ini menurut Parson
23
Universitas Sumatera Utara
bersifat universal dan mengendalikan semua tipe perilaku manusia, tanpa memandang konteks sosial budaya tertentu. Sebagian besar analisa yang terdapat dalam buku Toward A General Theory of Action meliputi pengembangan pelbagai kategori dan sistem klasifikasi untuk menganalisa orientasi subjektif individu. Diantara sistem-sistem klasifikasi ini, variabel-variabel berpola mungkin yang paling banyak dikenal dan paling sering dikutip. Tetapi, variabel-variabel ini harus dilihat dalam konteks kerangka Parson yang lebih umum sifatnya. Dalam kerangka umum itu, orientasi yang bertindak itu terdiri dari dua elemen dasar : orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Satu segi dari permasalahan ini adalah ikhtiar untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan langsung yang memberikan kepuasan dengan tujuan-tujuan jangka panjang. Orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Masing-masing elemen dalam orientasi individu selanjutnya dibagi lagi ke dalam tiga dimensi yang berbeda-beda, masing-masing ada dalam setiap orientasi individu. Dimensi-dimensi itu adalah sebagai berikut : 1. Orientasi motivasional
2. Orientasi Nilai
a. dimensi kognitif
a. dimensi kognitif
b. dimensi katektik
b. dimensi apresiatif
c. dimensi evaluatif
c. dimensi moral
24
Universitas Sumatera Utara
Dimensi kognitif dalam orientasi motivasional pada dasarnya menunjuk pada pengetahuan orang yang bertindak itu mengenai situasinya, khususnya kalau dihubungkan
dengan
kebutuhan
dan
tujuan-tujuan
pribadi.
Dimensi
ini
mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsanganrangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan dengan rangsangan lainnya. Dimensi katetik dalam orientasi motivasional menunjuk pada reaksi afektif atau emosional dari orang yang bertindak itu terhadap situasi atau pelbagai aspek di dalamnya. Ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam lingkungan itu yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan; dan reaksi yang negatif terhadap aspek-aspek dalam lingkungan itu yang mengecewakan. Dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional menunjuk pada dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau katektif secara alternatif. Ketiga dimensi yang terdapat dalam orientasi nilai tampaknya sama dengan ketiga dimensi dalam orientasi motivasional. Tetapi Parson tetap berpendirian untuk tetap mempertahankan ketiga pembedaan itu dengan mengatakan bahwa meskipun ada saling ketergantungan, dimensi-dimensi itu bisa berdiri sendiri. Perbedaan yang prinsipil adalah bahwa komponen-kompenen dalam orientasi nilai menunjuk pada standar normatif umum, bukan keputusan dengan orientasi tertentu. Jadi dimensi kognitif dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar yang digunakan dalam menerima atau menolak pelbagai interpretasi kognitif mengenai situasi, dimensi apresiatif menunjuk pada standar yang tercakup dalam pengungkapan perasaan atau
25
Universitas Sumatera Utara
keterlibatan afektif. Yang terakhir, dimensi moral dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar abstrak yang digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif menurut implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan (baik individu maupun sosial) dimana tindakan itu berakar. Orientasi nilai keseluruhan mempengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional. (Johnson, Paul Doyle, 1990 : 113-115) Konsumsi dipandang dalam Sosiologi bukan sebagai sekedar pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia tetapi berkait kepada aspek-aspek sosial budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas atau gaya hidup. Sosiologi memandang selera sebagai sesuatu yang dapat berubah, difokuskan pada kualitas simbolik dari barang, dan tergantung pada persepsi tentang selera dari orang lain. Dalam Sosiologi paling tidak terdapat dua sudut pandang dalam melihat selera, yaitu pandangan Weber dan pandangan Veblen. Menurut pandangan Weber selera merupakan pengikat kelompok dalam (in group). Aktor-aktor kolektif atau kelompok status, berkompetisi dalam penggunaan barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber-sumber budaya, akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok dalam. Sedangkan Veblen memandang selera sebagai senjata dalam berkompetisi. Kompetisi tersebut berlangsung antar pribadi, antara seseorang dengan orang lain. Jika dalam masyarakat tradisional, keperkasaan seseorang sangat dihargai; sedangkan dalam masyarakat modern, penghargaan diletakkan atas dasar selera dengan mengkonsumsi sesuatu yang merupakan refleksi dari pemilikan.
26
Universitas Sumatera Utara
Konsumsi dapat dilihat sebagai pembentuk identitas. Barang-barang simbolis dapat juga dipandang sebagai sumber dengan mana orang mengkonstruksi identitas dan hubungan-hubungan dengan orang lain yang menempati dunia simbolis yang sama. Seperti yang disebut oleh Simmel ego akan runtuh dan kehilangan dimensinya jika ia tidak dikelilingi oleh objek eksternal yang menjadi ekspresi dari kecenderungannnya, kekuatan dan cara individualnya karena mereka mematuhinya, atau dengan kata lain, miliknya. Menurut Weber konsumsi terhadap suatu barang, merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok status tertentu. Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi penjenjangan dari kelompok status. Dengan demikian ia dibedakan dari kelas yang landasan penjenjangannya adalah hubungan terhadap produksi dan perolehan barang-barang. Juga ditegaskan oleh Weber jika situasi kelas ditentukan secara murni ekonomi sedangkan situasi status ditentukan oleh penghargaan sosial terhadap kehormatan. Sedangkan Veblen, seperti pembahasan tentang selera di atas, melihat dalam masyarakat luas penghargaan sosial diletakkan atas dasar keperkasaan. Keperkasaan ditunjukkan dengan aktifitas agresif secara fisik, seperti perang. Sedangkan dalam masyarakat industri diperlukan penghargaan lain sebagai pengganti keperkasaan yaitu simbol-simbol yang tampak dari pemilikan kesejahteraan seseorang. Dengan meningkatnya urbanisasi, penggunaan waktu luang tidak lagi tepat sebagai indikator dari status. Dalam masyarakat seperti ini, konsumsi yang menyolok lebih tepat daripada penggunaan waktu luang sebagai indikator dari gaya hidup kelompok status.
27
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkembangan studi tentang gaya hidup, menurut Hans-Peter Mueller (1989) terdapat empat pendekatan dalam memahami gaya hidup yaitu : 1. Pendekatan psikologi perkembangan. Pendekatan ini berasumsi bahwa tindakan sosial tidak hanya disebabkan oleh teknik, ekonomi, dan politik tetapi juga dikarenakan perubahan nilai. Pendekatan ini melihat gaya hidup, atas nilai dan kebutuhan yang dimiliki. 2. Pendekatan kuantitatif sosial struktur. Pendekatan ini mengukur gaya hidup berdasarkan konsumsi yang dilakukan seseorang : sangat berhasil (visible success), pemeliharaan (maintenance), sedang (high-life), dan konsumsi rumah tangga (Home life). Pendekatan ini menggunakan sederetan daftar konsumsi yang mempunyai skala nilai. Dengan membuat skala nilai maka pengukuran kuantitatif dapat dilakukan. 3. Pendekatan kualitatif dunia kehidupan. Pendekatan ini memandang gaya hidup sebagai lingkungan pergaulan (miliu). Ia meletakkan seseorang pada miliu yang ditentukan oleh keadaan hidup dan gaya hidup subyektif yang dimiliki. 4. Pendekatan kelas. Pendekatan ini mempunyai pandangan bahwa gaya hidup merupakan rasa budaya yang direproduksi bagi kepentingan struktur kelas. (Damsar, 1997 : 121-123) . Eduard Spranger, tokoh utama aliran ini adalah guru besar ilmu filsafat dan ilmu pendidikan di Universitas-Universitas Leipzig, Berlin, Tubingen. Karya
28
Universitas Sumatera Utara
utamanya yang mempersoalkan kepribadian manusia ini ialah : Lebensformen, Geistewissenschaft-liche Psychologie und Ethic der Personlichkeit. Kebudayaan (kultur) oleh Spranger dipandang sebagai sistem nilai-nilai karena kebudayaan itu tidak lain adalah kumpulan nilai-nilai kebudayaan yang tersusun atau diatur menurut struktur tertentu. Kebudayaan sebagai sistem atau struktur nilai-nilai ini oleh Spranger digolong-golongkan menjadi enam lapangan nilai. Keenam lapangan hidup ini masih dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok yaitu : (a) Lapangan-lapangan yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, yang meliputi empat lapangan nilai yaitu :
Lapangan pengetahuan (ilmu, teori)
Lapangan ekonomi
Lapangan kesenian
Lapangan keagamaan
(b) Lapangan-lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota masyarakat. Lapangan ini menyangkut manusia dengan kekuatan cinta dan cinta akan kekuasaan. Kelompok ini menyangkut dua nilai yaitu :
Lapangan kemasyarakatan
Lapangan politik
Jadi menurut Spranger dalam kebudayaan itu terdapat adanya enam macam lapangan nilai, atau yang disebut juga bentuk-bentuk kehidupan. Tipe-tipe manusia menurut Spranger itu secara singkat dapat diikhtisarkan dalam tabel berikut ini :
29
Universitas Sumatera Utara
Nilai kebudayaan yang dominan
Tipe
Tingkah laku dasar
Ilmu pengetahuan
Manusia teori
Berpikir
Ekonomi
Manusia ekonomi
Bekerja
Kesenian
Manusia estetis
Menikmati keindahan
Keagamaan
Manusia agama
Memuja
kemasyarakatan
Manusia sosial
berbakti
Politik
Manusia kuasa
Ingin berkuasa / memerintah
Dalam bukunya lebensformen, Spranger memberikan pencandraan (deskripsi) masing-masing tipe itu secara luas. Secara garis besar dapatlah dikemukakan hal yang berikut ini. Seseorang itu corak sikap hidupnya ditentukan oleh nilai kebudayaan mana yang dominan, yaitu nilai kebudayaan mana yang olehnya dipandang sebagai nilai yang tertinggi. Ia akan memandang segala sesuatu, jadi juga nilai-nilai kebudayaan yang lain, dengan kacamata nilai yang dihargainya paling tinggi itu, yaitu dari kacamata nilai-nilai yang dominan itu. Sehingga nilai-nilai kebudayaan yang lain itu akan diwarnai juga oleh nilai yang dominan itu. (1) Manusia teori Seorang manusia teori adalah seorang intelektualis sejati, manusia ilmu. Citacita utamanya ialah mencapai kebenarannya dan hakikat daripada benda-benda. Banyak sekali motifnya mengusahakan ilmu pengetahuan itu hanya semata-mata untuk ilmu pengetahuan tersebut tanpa mempersoalkan faedah atau hasilnya. Tujuan yang dikejar manusia teori adalah pengetahuan yang objektif, sedangkan segi lain misalnya seperti soal-soal moral, keindahan dan sebagainya terdesak ke belakang. Ia adalah ahli pikir yang logis dan memiliki pengertian-pengertian yang jelas serta
30
Universitas Sumatera Utara
membenci segala bentuk kekaburan. Dalam kehidupan sehari-hari ia adalah seorang pecinta kebenaran dan konsekuen. (2) Manusia ekonomi Orang-orang yang termasuk golongan manusia ekonomi ini selalu kaya akan gagasan-gagasan yang praktis, kurang memperhatikan bentuk tindakan yang dilakukannya, sebab perhatiannya terutama tertuju kepada hasil daripada tindakan itu, hasilnya bagi dirinya sendiri. Manusia golongan ini akan menilai segala sesuatu hanya dari segi kegunaannya dan nilai ekonomisnya; dia bersikap egosentris, hidupnya dan kepentingannya sendirilah yang penting, dan orang-orang lain hanya menarik perhatiannya selama mereka masih berguna baginya, penilaian yang dikemukakannya terhadap orang lain, yang dikenakannya terhadap sesama manusia terutama didasarkan kepada kemampuan kerja dan prestasinya. (3) Manusia estetis Manusia estetis menghayati kehidupan seakan-akan tidak sebagai pemain, tetapi sebagai penonton, dia selalu sebagai seorang impresionis, yang menghayati kehidupan secara pasif, disamping itu dapat juga dia sebagai seorang ekspresionis, yang mewarnai segala kesan yang diterimanya dengan pandangan jiwa subjektifnya. Juga manusia estetis itu berkecenderungan ke arah individualisme; hubungan dengan orang-orang lain kurang kekal. (4) Manusia agama Menurut Spranger inti daripada hal keagamaan itu terletak dalam pencarian terhadap nilai tertinggi daripada keberadaan ini; siapa yang belum mantap akan hal ini belumlah mencapai apa yang seharusnya dikejarnya, dia belum mencapai dasar
31
Universitas Sumatera Utara
yang kuat dalam hidupnya. Sebaliknya siapa yang sudah mencapai titik tertinggi itu akan merasa bebas, tenteram dalam hidupnya. Bagi seorang yang termasuk golongan tipe ini segala sesuatu itu diukur dari segi artinya bagi kehidupan rohaniah kepribadian, yang ingin mencapai keselarasan antara pengalaman batin dengan arti daripada hidup ini. (5) Manusia sosial Sifat utama daripada manusia golongan tipe ini adalah besar kebutuhannya akan adanya resonansi dari sesama manusia, butuh hidup diantara manusia-manusia lain dan ingin mengabdi kepada kepentingan umum. Nilai yang dipandangnya sebagai nilai yang paling tinggi adalah “cinta terhadap sesama manusia“ baik yang tertuju kepada individu tertentu maupun yang tertuju kepada kelompok manusia. (6) Manusia kuasa Manusia kuasa bertujuan untuk mengejar kesenangan dan kesadaran akan kekuasaannya sendiri, dorongan pokoknya adalah ingin berkuasa, semua nilai-nilai yang lain diabdikan kepada nilai yang satu ini. Kalau manusia ekonomi mengejar akan penguasaan benda-benda, maka manusia kuasa mengejar penguasaan atas manusia. (Suryabrata, 1998 : 84-92)
32
Universitas Sumatera Utara