BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 2. 1 Kajian Pustaka 2. 1.1 Turnover Intention Harnoto (2002:2) menyatakan, turnover intention adalah keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan timbulnya turnover intention dan di antaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Turnover intention pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan atau keluar dari perusahaan. Turnover karyawan adalah pengunduran diri permanen secara sukarela (voluntary) maupun tidak sukarela (involuntary) dari suatu organisasi (Robbins dan Judge, 2008: 38). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain, sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya (Shaw et al. 1998). Voluntary turnover dapat dibedakan menjadi dua : a. Avoidable turnover (yang dapat dihindari). Hal ini disebabkan oleh upah yang lebih baik di tempat lain, kondisi kerja yang lebih baik di perusahaan lain, masalah dengan kepemimpinan / administrasi yang ada, serta adanya perusahaan lain yang lebih baik. b. Unavoidable turnover (yang tidak dapat dihindari). Hal ini disebabkan oleh pindah kerja ke daerah lain karena mengikuti pasangan, perubahan arah karir individu, harus tinggal di rumah untuk
10
menjaga pasangan atau anak, dan kehamilan. Involuntary turnover diakibatkan oleh tindakan pendisiplinan yang dilakukan oleh perusahaan atau karena lay off. 2. 1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Turnover Intention Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover intention (Novliadi, 2007). 1) Usia Tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda disebabkan karena mereka memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui cara coba-coba tersebut. 2) Lama Kerja Semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan turnovernya. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat. Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan turnover tersebut. 3) Tingkat pendidikan dan intellegensi Dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat intellegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat intellegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka
11
yang tingkat pendidikannya terbatas, karena kemampuan intelegensinya yang terbatas pula. 4) Keterikatan terhadap perusahaan Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran diri positif. Akibat secara langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan. Almigo et.al (2014) menyatakan bahwa banyak faktor yang menyebabkan karyawan berpindah dari tempat kerjanya namun faktor determinan keinginan berpindah diantaranya adalah : 1) Kepuasan Kerja Pada tingkat individual, kepuasan merupakan variabel psikologi yang paling sering diteliti dalam suatu model intention to leave. Aspke kepuasan yang ditemukan berhubungan dengan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi meliputi kepuasan akan upah dan promosi, kepuasan atas supervise yang diterima, kepuasan dengan rekan kerja dan kepuasan akan pekerjaan dan isi kerja. 2) Komitmen organisasional Karena hubungan kepuasan kerja dan keinginan menginggalkan tempat kerja hanya menerangkan sebagian kecil varian maka jelas model proses intention to
12
leave karyawan harus menggunakan variabel lain di luar kepuasan kerja sebagai satu-satunya variabel penjelas. Perkembangan selanjutnya dalam studi intention to leave memasukkan konstruk komitmen organisasional sebagai konsep yang turut menjelaskan proses tersebut sebagai bentuk perilaku, komitmen organisasional dapat dibedakan dari kepuasan kerja. Komitmen mengacu pada respon emosional (affective) individu kepada keseluruhan organisasi, sedangkan kepuasan mengarah pada respon emosional atas aspek khusus dari pekerjaan. 2. 1.3 Jenis Turnover Jenis turnover menurut Mathis dan Jackson (2000: 125): 1) Turnover secara tidak sukarela dan Turnover secara sukarela a) Turnover secara tidak sukarela Pemecatan karena kinerja yang buruk dan pelanggaran peraturan kerja. Turnover secara tidak sukarela dipicu oleh kebijakan organisasional, peraturan kerja dan standar kinerja yang tidak dipenuhi oleh karyawan. b) Turnover secara sukarela Karyawan meninggalkan perusahaan karena keinginannya sendiri. Turnover secara sukarela dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk peluang karier, gaji, pengawasan, geografi dan alasan pribadi ataukeluarga. 2) Turnover fungsional dan turnover disfungsional a) Turnover fungsional Karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah, individu yang kurang dapat diandalkan, atau mereka yang mengganggu rekan kerja meninggalkan organisasi.
13
b) Turnover disfungsional Karyawan penting dan memiliki kinerja tinggi meninggalkan organisasi pada saat yang genting. 3) Turnover yang tidak dapat dikendalikan dan Turnover yang dapat dikendalikan 1) Turnover yang tidak dapat dikendalikan Muncul karena alasan diluar pengaruh pemberi kerja. Banyak alasan karyawan yang berhenti tidak dapat dikendalikan oleh organisasi, contohnya sebagai berikut: a) Karyawan pindah dari daerah geografis b) Karyawan memutuskan untuk tinggal didaerah karena alasan keluarga c) Suami atau istri dipindahkan d) Karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi. 2) Turnover yang dapat dikendalikan Muncul karena faktor yang dapat dipengaruhi oleh pemberi kerja. Dalam turnover yang dapat dikendalikan, organisasi lebih mampu memelihara karyawan apabila mereka menangani persoalan karyawan yang dapat menimbulkan turnover.
2. 2.4 Indikator Terjadinya Turnover Intention Turnover intention dilakukan kebanyakkan karyawan pada suatu organisasi atau perusahaan disebabkan oleh banyak hal, ketidakadilan mengenai sistem penggajian yang diterapkan perusahaan, sistem promosi jabatan dalam perusahaan yang dirasa karyawan tidak adil maupun optimal, rendahnya
14
komitmen karyawan pada organisasi, lingkungan kerja yang tidak kondusif, dan masih banyak lainnya. Hasrat untuk keluar juga dapat pula disebabkan karena adanya tawaran pekerjaan yang lebih baik dari persahaan atau organisasi yang lain Maryanto (2006). Widodo (2010) menyatakan bahwa ada tiga indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya
keinginan karyawan untuk keluar dari organisasi. Ketiga indikator tesebut adalah sebagai berikut: 1) Pikiran untuk keluar dari organisasi yaitu saat karyawan merasa diperlakukan tidak adil, maka terlintas dalam pikiran mereka untuk keluar dari organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakukan yang tidak adil akan menstimuli karyawan berpikir keluar dari organisasi. 2) Keinginan
untuk
mencari pekerjaan
baru yaitu ketidakmampuan
suatu
organisasi untuk memenuhi kebutuhan karyawan dapat memicu karyawan untuk berpikir mencari alternatif pekerjaan pada organisasi yang lain. Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis
saat
suatu perusahaan
tidak mampu
memberikan/memenuhi kebutuhan karyawan seperti kemampuan perusahaan lain memiliki kemampuan yang baik dalam memenuhi kebutuhan karyawan. 3) Keinginan untuk meningalkan organisasi dalam beberapa bulan mendatang yaitu . karyawan memiliki motiavsi untuk mencari pekerjaan baru pada organisasi lain
dalam beberapa bulan mendatang yang
kebutuhan mereka (adil terhadap karyawan).
15
dianggap
mampu
memenuhi
2. 1.5 Work-Family Conflict Kopelman et al. (1983) mendefinisikan work conflict (konflik pekerjaan) sebagai suatu tingkat di mana seseorang mengalami tekanan ketidak-seimbangan dalam bidang pekerjaan. Konflik ini terjadi jika seseorang mengalami stres dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Sedangkan family conflict (konflik keluarga) merupakan tingkat di mana seseorang mengalami tekanan ketidakseimbangan dalam bidang keluarga. Frone et al. (1992) menjelaskan lebih lanjut bahwa workfamily conflict terjadi karena karyawan berusaha untuk menyeimbangkan antara permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun dari pekerjaannya. Cinamon et al. (2002) dalam penelitiannya pada profesi guru menjelaskan bahwa jumlah anak, jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengurus rumah tangga dan pekerjaan serta tidak adanya dukungan dari pasangan dan keluarga merupakan pemicu terjadinya konflik pekerjaan-keluarga. Susanto (2010) menjelaskan work-family conflict dalam penelitiannya adalah sebagai bentuk interrole conflict, peran yang dituntut dalam pekerjaan dan keluarga akan saling mempengaruhi, mempunyai dua dimensi: pertama, work interfering with family (work‐family conflict‐WIF), yaitu pemenuhan peran dalam pekerjaan dapat menimbulkan kesulitan pemenuhan peran dalam keluarga dan
kedua, family interfering with work (family-work conflict‐FIW), yaitu pemenuhan
peran dalam keluarga dapat menimbulkan kesulitan pemenuhan peran dalam pekerjaan, Seperti yang diungkapkan Ghayyur dan Jamal (2012) Work to Family Conflict adalah jenis resistensi tekanan peran yang muncul dari tempat kerja dan mempengaruhi
lingkup
keluarga
dan
16
saling
bertentangan.
Orang-orang
menghabiskan lebih banyak waktu pada tugas-tugas penting dan kurang pada tugas-tugas penting lainnya yang meningkatkan work family conflict. Sedangkan Family to work conflict adalah konflik peran antara keterlibatan individu dalam peran keluarga yang membuat sulit untuk berpartisipasi dalam peran kerja. Peningkatan tanggung jawab karir ganda membuat sulit bagi seorang individu untuk menjaga keseimbangan antara tanggung jawab keluarga dan bekerja seperti memenuhi komitmen keluarga , dan memenuhi kriteria di tempat kerja. 2. 1.6 Sumber-Sumber Work-Family Conflict Greenhaus dan Beutell (1985) mengidentifikasikan tiga jenis Work-family conflict yaitu: 1) Konflik Berdasarkan Waktu (Time-Based Conflict) Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga). Konflik ini secara positif berkaitan dengan : a. Jumlah jam kerja b. Lembur c. Tingkat kehadiran d. Ketidak aturan shif e. Kontrol jadwal kerja
2) Konflik Berdasarkan Tekanan (Strain-Based Conflict) Terjadi tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya. Gejala tekanan, seperti : a. Ketegangan. b. Kecemasan. c. Kelelahan. d. Karakter peran kerja. e. Kehadiran anak baru. f. Ketersediaan dukungan social dari anggota keluarga.
17
3) Konflik Berdasarkan Perilaku (Behavior-Based Conflict) Bentuk terakhir dari work-family conflict adalah Behavior-Based Conflict, di mana pola-pola tertentu dalam peran-perilaku yang tidak sesuai dengan harapan mengenai perilaku dalam peran lainnya. Misalnya, stereotip manajerial menekankan agresivitas, kepercayaan diri, kestabilan emosi, dan objektivitas. Hal ini kontras dengan harapan citra dan perilaku seorang istri dalam keluarga, yang seharusnya menjadi pemberi
perhatian, simpatik, nurturant, dan emosional.
Dengan demikian seseorang dapat mengharapkan bahwa para eksekutif perempuan lebih mungkin untuk mengalami bentuk konflik daripada eksekutif laki-laki, sebagai perempuan harus berusaha keras untuk memenuhi harapan peran yang berbeda di tempat kerja maupun dalam keluarga. Studi yang dilakukan oleh Amstad et al. (2011) menunjukkan bahwa work-family conflict bersumber pada hal - hal yang terjadi dalam lingkungan pekerjaan (work-related outcomes), seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi dan performa kerja. Sedangkan konflik keluarga akan yang terjadi
dalam
lingkungan
keluarga
kepuasan pernikahan, ketegangan dalam
bersumber pada
hal-hal
(family-related conflict) seperti
rumah
tangga
dan
kepuasan
keluarga.
2. 1.7 Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah perasaan positif seorang karyawan yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristik pribadi karyawan, seorang karyawan dengan kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan
18
tersebut, sementara seorang karyawan yang merasakan ketidakpuasan dengan pekerjaan mereka memiliki perasaan-perasaan yang negatif pada pekerjaannya (Robbins & Judge, 2009 : 99). Dampak positif dari seorang karyawan yang merasakan kepuasan kerja salah satunya adalah menurunnya keinginan dari karyawan untuk berhenti dari perusahaan (Suhanto, 2009). Indikator untuk mengukur kepuasan kerja Boles et al. (2007) meliputi : 1) Penilaian dan sikap terhadap beban kerja, merupakan sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh karyawan. 2) Penilaian dan sikap terhadap gaji, merupakan pemberian imbalan terhadap hasil kerja karyawan. 3) Penilaian dan sikap terhadap kenaikan jabatan, merupakan kesempatan bagi karyawan untuk terus maju dan berkembang sebagai bentuk aktualisasi diri. 4) Penilaian dan sikap terhadap pengawas, merupakan kemampuan atasan untuk menunjukkan perhatian dan memberikan bantuan ketika karyawan mengalami kesulitan bekerja. 5) Penilaian dan sikap terhadap rekan kerja, merupakan sejauh mana karyawan mampu menjalin persahabatan dan saling mendukung dalam lingkungan kerja.
2. 1.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan yaitu:
19
1) Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan). Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2) Discrepancies (perbedaan). Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan. 3) Value attainment (pencapaian nilai). Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4) Equity (keadilan). Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya. 5) Dispositional/genetic components (komponen genetik).
Beberapa rekan kerja
atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.
20
Pendapat berbeda dikatakan oleh Mangkunegara (2007: 120) bahwa ada 2 faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu: 1) Faktor Pegawai, yaitu, kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, dan sikap kerja. 2) Faktor Pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan financial, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial dan hubungan kerja. 2. 1.9 Pedoman meningkatkan Kepuasan Kerja Menurut Riggio (2005), peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Melakukan perubahan struktur kerja, misalnya dengan melakukan perputaran pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tipe tugas ke tugas yang lainnya (yang disesuaikan dengan job description). Cara kedua yang harus dilakukan adalah dengan pemekaran (job enlargement), atau perluasan satu pekerjaan sebagai tambahan dan bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktik untuk para pekerja yang menerima tugastugas tambahan dan bervariasi dalam usaha untuk membuat mereka merasakan bahwa mereka adalah lebih dari sekedar anggota dari organisasi. 2) Melakukan perubahan struktur pembayaran, perubahan sistem pembayaran ini dilakukan dengan berdasarkan pada keahliannya (skill-based pay), yaitu pembayaran dimana para pekerja digaji
berdasarkan pengetahuan dan
keterampilannya daripada posisinya di perusahaan. Pembayaran kedua dilakukan
21
berdasarkan jasanya (merit pay), sistem pembayaran dimana pekerja digaji berdasarkan performancenya, pencapaian finansial pekerja berdasarkan pada hasil yang dicapai oleh individu itu sendiri. Pembayaran yang ketiga adalah Gainsharing atau pembayaran berdasarkan pada keberhasilan kelompok (keuntungan dibagi kepada seluruh anggota kelompok). 3) Pemberian jadwal kerja yang fleksibel, dengan memberikan kontrol pada para pekerja mengenai pekerjaan sehari-hari mereka, yang sangat penting untuk mereka yang bekerja di daerah padat, dimana pekerja tidak bisa bekerja tepat waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab pada anak-anak. 4) Mengadakan program yang mendukung, perusahaan mengadakan programprogram yang dirasakan dapat meningkatkan kepuasan kerja para karyawan, seperti; health center, profit sharing, dan employee sponsored child care. Rivai (2011) menambahkan pedoman dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan perusahaan dapat melakukan penempatan karyawan sesuai dengan bakat&keahlian, perusahaan menyediakan perlengkapan yang cukup, perusahaan menyediakan informasi yang lengkap tentang pekerjaan, pimpinan yang lebih banyak mendorong tercapainya suatu hasil tidak terlalu banyak/ketat melakukan pengawasan, perusahaan memberikan penghasilan yang cukup memadai, perusahaan
memberikan
tantangan
yang
lebih
pada
karyawan
untuk
mengembangkan diri, perusahaan memberikan rasa aman & ketenangan dalam bekerja.
22
2. 1.10 Komitmen Organisasional Komitmen organisasional didefinisikan sebagai ikatan psikologis individu dengan organisasi, yang dapat ditunjukan oleh berbagai indikator, seperti memiliki loyalitas terhadap organisasi, internalisasi tujuan organisasi, dan mendedikasikan diri pada tujuan organisasi (Crow et al. 2012). Komitmen organisasional adalah sikap kerja yang penting karena orang-orang yang memiliki komitmen diharapkan bisa menunjukkan kesediaan untuk bekerja lebih keras demi mencapai tujuan organisasi dan memiliki hasrat yang lebih besar untuk tetap bekerja di suatu perusahaan (Kreitner dan Kinicki, 2014: 165). Definisi komitmen organisasional dalam penelitian ini mengarah kepada teori dari Allen dan Meyer (1990) yang mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen akan bekerja penuh dedikasi, yang membuat karyawan memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih untuk menyokong kesejahteraan dan keberhasilan
organisasi
tempatnya
bekerja.
Tiga
Komponen
Komitmen
Organisasional : a) Komitmen Afektif Komitmen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi, dan keterlibatan karyawan di dalam suatu organisasional. Karyawan dengan afektif tinggi masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi.
23
(a) Emosional Komitmen afektif menyatakan bahwa organisasi akan membuat karyawan memiliki keyakinan yang kuat untuk mengikuti segala nilai-nilai organisasi, dan berusaha unutk mewujudkan tujuan organisasi sebagai prioritas utama. (b) Identifikasi Komitmen afektif muncul karena kebutuhan, dan memandang bahwa komitmen terjadi karena adanya ketergantungan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan dalam organisasi pada masa lalu dan hal ini tidak dapat ditinggalkan karena akan merugikan. (c) Keterlibatan karyawan dalam organisasional b) Komitmen normatif Komitmen normatif merupakan perasaan karyawan tentang kewajiban yang harus diberikan kepada organisasional. Komponen normatif berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. (a) Kesetiaan yang harus diberikan karena pengaruh orang lain Komitmen yang terjadi apabila karyawan terus bekerja untuk organisasi disebabkan oleh tekanan dari pihak lain untuk terus bekerja dalam organisasi tersebut. Karyawan yang mempunyai tahap komitmen normatif yang tinggi sangat mementingkan
pandangan
orang
lain
meninggalkan organisasi.
24
terhadap
dirinya
jika
karyawan
(b) Kewajiban yang harus diberikan kepada organisasi Komitmen ini mengacu kepada refleksi perasaan akan kewajibanya untuk menjadi karyawan perusahaan. Karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa karyawan tersebut memang seharusnya tetap bekerja pada organisasi tempat bekerja sekarang. Dengan kata lain komitmen yang ada dalam diri karyawan desebabkan oleh kewajiban-kewajiban pekerjaan karyawan terhadap organisasi. c) Komitmen Berkelanjutan Komponen berkelanjutan berarti komponen yang berdasarkan persepsi karyawan tentang kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan organisasi. Karyawan dengan dasar organisasional tersebut disebabkan karena karyawan tersebut membutuhkan organisasi. (a) Kerugian bila meninggalkan organisasi Komitmen berkelanjutan merujuk pada kekuatan kecenderungan seseorang untuk tetap bekerja di suatu organisasi karena tidak ada alternatif lain. Komitmen berkelanjutan yang tinggi meliputi waktu dan usaha yang dilakukan dalam mendapatkan keterampilan yang tidak dapat ditransfer dan hilangnya manfaat yang menarik atau hak-hak istimewa sebagai senior. (b) Karyawan membutuhkan organisasi Karyawan
yang
tetap
bekerja
dalam
organisasi
karena
karyawan
mengakumulasikan manfaat yang lebih yang akan mencegah karyawan mencari pekerjaan lain.
25
2. 1.11 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasional Menurut
John
dan
Taylor
(1999),
faktor–faktor
yang
mempengaruhi
komitmen organisasional antara lain : 1) Karakteristik pribadi yang berkaitan dengan usia dan masa kerja, tingkat pendidikan,status perkawinan, dan jenis kelamin. 2) Karakteristik pekerjaan yang berkaitan dengan peran, self employment, otonomi, jam kerja, tantangan dalam pekerjaan, serta tingkat kesulitan dalam pekerjaan. 3) Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu kekuatan sosialisasi utama yang mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan ikatan psikologis dengan organisasi. 4) Karakteristik struktural yang meliputi kemajuan karier dan peluang promosi, besar atau kecilnya organisasi, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan. Sopiah (2008:163) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi komitmen organisasional antara lain: 1) Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan kepribadian. 2) Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan. 3) Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi, kehadiran serikat pekerjan, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.
26
4) Pengalaman kerja. Pengalaman kerja seorang karyawan sangat berpengaruh terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja dalam organisasi tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan. 2.2 Kerangka Konseptual Penelitian Berdasarkan definisi dan kajian teori dari beberapa para ahli yang ada, maka dapat disusun suatu kerangka konseptual penelitian sebagai dasar penentu hipotesis pengaruh work-family conflict dan kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional dan turnover intention seperti gambar berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian Pengaruh Work-family Conflict dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasional dan Turnover Intention Karyawan Bank Mandiri Kantor Cabang Veteran Denpasar
Work-family Conflict (X1)
H3 (+) H1 (-)
H2 (+)
Komitmen Organisasional
H5 (-)
(Y2)
(Y1)
Kepuasan Kerja H4 (-)
(X2)
27
Turnover Intention
2. 3 Rumusan Hipotesis 2. 3.1
Hubungan
antara
Work-Family
Conflict
dengan
Komitmen
Organisasional Rehman & Waheed, (2012) dalam penelitiannya pada perguruan tinggi negeri dan swasta di Pakistan menunjukan dampak negatif antara work-family conflict dengan komitmen organisasional dimana anggota fakultas yang sudah menikah memliki tingkat work-family conflict yang lebih tinggi dibandingan dengan yang berstatus lajang, anggota fakultas yang sudah menikah memiliki work-family conflict yang tinggi dapat menurunkan komitmen organisasional. Hal senada juga diungkapkan oleh Boles et al. (2001) dimana work-family conflict menurunkan prestasi kerja karyawan, menurunnya prestasi kerja karyawan dapat memberi dampak pada menurunnya komitmen organisasional. Hal ini diperkuat oleh Balmforth & Gardner, (2006) menunjukkan bahwa work-family conflict memiliki hubungan negatif dengan komitmen organisasional. Hubungan negatif antara work-family conflict dan komitmen organisasional nampak pada karyawan yang mengalami kesulitan dalam menyelaraskan peranannya di keluarga maupun di
pekerjaan akan merasa
kurang berkomitmen kepada
organisasinya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut H1 : Work - Family Conflict memiliki pengaruh negatif terhadap Komitmen Organisasional
28
2. 3.2 Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasional Penelitian terdahulu yang dilakukan Clugston (2000) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan komitmen karyawan. Kepuasan kerja yang tinggi akan mempengaruhi terjadinya komitmen karyawan yang efektif. Hal ini juga di diperkuat oleh penelitian Azeem, (2010) pada 128 karyawan perusahaan industri Oman yang dipilih secara acak menunjukan hubungan positif antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasional, para karyawan yang puas terhadap gaji dan promosi yang diterima akan meningkatkan komitmen organisasional pada diri karyawan. Senada dengan dua penelitian sebelumnya penelitian yang dilakukan Tania dan Sutanto (2013) pada 25 karyawan di PT. DAI KNIFE Surabaya menemukan bahwa pemberian motivasi pada karyawan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan memperkuat komitmen organisasional pada diri karyawan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut : H2 : Kepuasan Kerja memiliki pengaruh positif terhadap Komitmen Organisasional 2. 3.3 Hubungan antara Work-family Conflict dengan Turnover Intention Work-family conflict dapat mempengaruhi turnover intention bergantung pada dimensi work-family conflict itu sendiri. Netemeyer et al. (1996) menemukan bahwa work-family conflict terkait langsung dengan turnover intention. Penelitian yang dilakukan Ghayyur & Jamal (2012) pada karyawan sektor perbankan dan farmasi dengan 200 responden tercatat tingkat respon
29
64,145% menunjukan work-family conflict memiliki pengaruh positif terhadap turnover intention. Hal ini diperkuat oleh Blomme et al. (2010) dalam penelitiannya pada sejumlah besar karyawan yang berpendidikan tinggi tentang niat karyawan untuk meninggalkan organisasi menemukan bahwa work-family conflict memiliki pengaruh positif terhadap turnover intention. Untuk pria dapat dijelaskan oleh kurangnya dukungan organisasi, sedangkan work-family conflict bagi perempuan dapat dijelaskan baik oleh ketidakpuasan dengan fleksibilitas tempat kerja dan kurangnya dukungan organisasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut H3 : Work-family conflict memiliki pengaruh positif terhadap turnover intention. 2. 3.4 Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan Turnover Intention Turnover intention mencerminkan niat karyawan untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain. Robbins (2003) menjelaskan bahwa kepuasan kerja dihubungkan negatif dengan keluarnya karyawan, tetapi faktor-faktor lain seperti pasar kerja, kesempatan kerja alternatif dan panjangnya masa kerja merupakan kendala penting untuk meninggalkan pekerjaan yang ada. Hal ini senada dengan Salleh et al. (2012) dalam penelitiannya menemukan aspek kepuasan kerja yang meliputi promosi, pekerjaan itu sendiri, serta supervisi kecuali rekan kerja terbukti berpengaruh negatif pada turnover intention. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Susiani (2014) pada perusahaan The Stones Entertainment Center yang berlokasi di Kuta, Bali menyatakan bahwa, kepuasan kerja berpengaruh negatif pada turnover intention. Aspek kepuasan kerja seperti pembentukan suasana kekeluargaan serta kesempatan memperoleh
30
kenaikan jabatan meningkatkan kepuasan kerja yang membuat karyawan untuk tetap bekerja pada perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut H4 : Kepuasan Kerja memiliki pengaruh negatif terhadap turnover intention. 2. 3.5 Hubungan antara Komitmen Organisasional dengan Turnover Intention Jehanzeb et al. (2013) dalam
penelitiannya pada 251 responden dari
organisasi swasta terkemuka di Saudi Arabia menunjukan adanya pengaruh negatif antara komitmen organisasional terhadap turnover intention. Memberikan wawasan tentang dampak komitmen organisasional pada turnover intention bagi para manajer untuk lebih mengakrabkan para karyawannya dengan tujuan dari perusahaan untuk meningkatkan komitmen organisasional pada diri karyawan. Hal senada diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Safitri dan Nursalim (2013) komitmen organisasional tidak berhubungan signifikan dengan turnover intention. Semakin diperhatikannya kesejahteraan para guru membuat komitmen organisasional meningkat dan turnover intention dapat ditekan. Hal ini diperkuat oleh penelitian Indraprasti (2011) pada karyawan alih daya BRI Cabang Sleman dan BRI Cabang Muntilan menunjukkan bahwa variabel komitmen organisasional seperti kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari organisasi memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap turnover intention. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut H5 : Komitmen Organisasional memiliki pengaruh negatif terhadap turnover intention.
31