BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian ini merujuk pada penelitian perilaku konsumen yang mengeluh atau complaint behaviour karena kegagalan layanan (Blodgett dan Tax, 1993; Davidow, 2003; Kim et al., 2009; Nikbin et al., 2010b; Badawi, 2013). Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini meneliti tentang wisatawan yang mengeluh karena terjadi kegagalan layanan di destinasi pariwisata Bali. Penelitian konsumen yang mengeluh karena kegagalan layanan telah dilakukan beberapa pemerhati antara lain oleh Valenzuela (2005), Yuksel et al. (2006), Kau dan Loh (2006), Donoghue dan Klerk (2006), Ndubisi dan Tam (2007); Ekiz (2009), dan Zain (2011). Valenzuela et al. (2005), yang melakukan penelitian di Chili Amerika Selatan menemukan bahwa perilaku komplain atau mengeluh menjadi topik yang sangat penting diteliti, untuk mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan konsumen mengeluh. Penelitian dilakukan pada industri jasa di kota Chili, yaitu departement store, special store, supermarket, telephone, dan bank, serta jasa transportasi. Penelitian ini membagi konsumen di Chili menjadi dua bagian yaitu konsumen yang mengeluh dan tidak mengeluh. Hasil penelitiannya menemukan konsumen yang mengeluh memiliki sikap yang positif terhadap keluhan yang disampaikan, seperti ingin melakukan pembelian ulang apabila mendapatkan kepuasan pasca pemulihan layanan. Ndubisi dan Tam (2007) menyatakan pentingnya manajemen keluhan atau complaint management pada industri perbankan. Keluhan terjadi sebagai 16
17
konsekuensi dari ketidakpuasan pelanggan karena apa yang diharapkan tidak sesuai
dengan
kenyataan.
Lebih
lanjut,
dinyatakannya
usaha
untuk
mempertahankan pelanggan sangat penting, yaitu dengan cara memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Keluhan yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan kehilangan pelanggan atau losing customer (Ndubisi dan Tam, 2007). Selanjutnya, Ekiz (2009) melakukan studi perilaku mengeluh wisatawan yang berkunjung pada suatu destinasi pariwisata. Penelitiannya bertujuan untuk mengetahui faktor yang menjadi hambatan dalam menyampaikan keluhan. Ada lima faktor yang menjadi hambatan dalam menyampaikan keluhan yaitu waktu (time), keterlibatan (involvement), komunikasi (communication), keakraban (familiarity), dan suasana hati ketika berlibur atau holiday mood (Ekiz, 2009). Penelitian perilaku mengeluh juga dilakukan Yuksel et al. (2006). Hasil penelitiannya menemukan bahwa ada persamaan dan perbedaan perilaku mengeluh wisatawan yang menginap pada industri hotel, yang berasal dari empat negara, yaitu Turki, Belanda, Inggris, dan Israel. Ke-empat negara memiliki kesamaan dalam perilaku mengeluh, yaitu akan menyampaikan keluhan bila terjadi kesalahan atau kegagalan layanan (Yuksel et al., 2006). Lebih lanjut dinyatakan, wisatawan yang memiliki tanggapan negatif terhadap keluhan sering tidak menyampaikan keluhannya. Untuk itu, perlu didorong konsumen agar bersedia menyampaikan keluhannya, seperti menyediakan kotak saran atau buku kesan dan pesan.
18
Beberapa pemerhati menggunakan dimensi keadilan dalam mengevaluasi perilaku organisasi maupun individu, diantaranya Tjahyono (2007), Ponnu dan Chuah (2010), Rawls, (2011: 77-99), Pai et al. (2012), Ghalandari et al. (2012), Ghalandari (2013), dan Ghalandari et al. (2013). Beberapa pemerhati menggunakan tiga dimensi keadilan, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional dalam mengevaluasi respon konsumen adanya interaksi antara konsumen dengan penyedia jasa (Blodgett dan Tax, 1993; Lovelock dan Wirtz, 2007: 394; Radzi, et al., 2009; Gautam, 2011; Ghalandari et al., 2012; Ghalandari, 2013). Lebih lanjut, Pai et al. (2012), meneliti hubungan antara persepsi keadilan distributif dan interaksional dengan kepuasan pasca pemulihan layanan atau service recovery satisfaction dan konsekuensinya terhadap niat berperilaku yaitu negative Word of Mouth (WOM), serta niat membeli kembali pada industri penerbangan. Hasil penelitian menemukan keadilan distributif dan interaksional berpengaruh terhadap kepuasan konsumen yang menggunakan jasa penerbangan (Pai et al., 2012). Lebih lanjut dinyatakannya, semakin baik keadilan distributif dan interaksional, maka semakin baik tingkat kepuasan pelanggan. Sebagai contoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan salah satu bukti penerapan keadilan distributif, dan diharapkan menyebabkan kepuasan yang semakin meningkat (Pai et al., 2012). Pada penelitian ini juga ditemukan pengaruh signifikan antara kepuasan pasca pemulihan layanan, dengan negative
19
WOM. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan akan mengurangi informasi yang negatif atau negative WOM. Hal senada juga dinyatakan Maxham III dan Netemeyer (2002) bahwa proses pemulihan layanan yang dilakukan dengan semangat (respect), jujur (honesty), bersifat edukasi, dan bermartabat (dignity), diangggap memenuhi rasa keadilan konsumen, yang dapat dilakukan dengan permohonan maaf (apology) dan empati (empathy) kepada konsumen. Bahkan, penelitian yang dilakukan Gautam (2011), pada industri penerbangan di India, menemukan persepsi keadilan distributif, prosedural, dan interaksional berpengaruh terhadap kepuasan pasca pemulihan layanan secara keseluruhan. Selanjutnya, Chen (2008) melakukan penelitian hubungan antara kepuasan dan niat berperilaku, pada Koashiung International Airport di Taiwan pada bulan Desember 2004. Penelitiannya menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kepuasan dengan niat berperilaku penumpang pesawat di Taiwan (Chen, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen yang semakin puas dapat meningkatkan niat berperilaku penumpang, yaitu keinginan untuk terbang lagi dimasa yang akan datang dan memberikan rekomendasi positif kepada orang lain atau positive WOM (Chen, 2008). Hal serupa dilakukan Kozak dan Remmington (2000), dengan meneliti wisatawan Inggris yang berkunjung ke Mallorca di Prancis. Mereka menemukan adanya pengaruh positif antara kepuasan yang dialami wisatawan dengan niat untuk berkunjung kembali dimasa mendatang dan niat memberikan rekomendasi kepada orang lain. Hal ini berarti, semakin puas wisatawan yang berkunjung pada
20
suatu destinasi pariwisata akan semakin besar keinginan untuk berkunjung kembali dan memberikan rekomendasi positif kepada orang lain (Kozak dan Remmington, 2000). Penelitiannya memiliki keterbatasan karena hanya meneliti persepsi wisatawan yang berasal Inggris saja, padahal wisatawan yang berkunjung ke destinasi pariwisata seperti Mallorca berasal dari beberapa negara (Kozak dan Remmington, 2000). Terhadap fenomena WOM, Teo dan Lim (2001) melakukan penelitian pada perusahaan retail komputer, menemukan persepsi keadilan distributif, prosedural dan interaksional berpengaruh positif terhadap kepuasan pemulihnan layanan dan menggambarkan adanya hubungan yang positif antara kepuasan retailer dengan WOM yang negatif. Adanya kepuasan yang semakin baik akan menyebabkan berkurangnya WOM yang negatif dari pelanggan. Pelanggan akan menceriterakan hal-hal yang positif kepada orang lain karena mendapatkan pemulihan layanan yang memuaskan oleh penyedia jasa. Terakhir, Nikbin et al (2010b) melakukan penelitian pada industri penerbangan di Iran, yang berkaitan dengan dimensi keadilan, kepuasan pasca pemulihan layanan dan citra perusahaan. Hasil penelitiannya menemukan hanya dua dari dimensi keadilan, yaitu persepsi keadilan distributif dan interaksional berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pasca pemulihan layanan, sedangkan keadilan prosedural tidak berpengaruh signifikan. Lebih lanjut dinyatakan, pengaruh persepsi keadilan distributif lebih kuat dibandingkan keadilan interaksional dalam proses pasca pemulihan layanan. Respon konsumen terhadap pasca pemulihan layanan pada industri penerbangan menjadi lebih baik dan
21
memuaskan apabila diberikan ganti rugi seperti diskon dibandingkan dengan permintaan maaf atau memberikan penjelasan kepada penumpang pesawat. Citra perusahaan penerbangan hanya memoderasi pengaruh persepsi keadilan interaksional, dan tidak memoderasi pengaruh persepsi keadilan distributif dan prosedural terhadap kepuasan pasca pemulihan layanan pada industri penerbangan (Nikbin et al., 2010b). 2.2 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori pertukaran soaial atau social exchange theory yang dikembangkan oleh Homan (1958) sebagai teori utama dan teori keadilan yang sering disebut dengan justice theory atau fairness theory (Rawls, 2011) sebagai teori terapan (Bungin, 2011: 27) selengkapnya dijelaskan sebagai berikut. 2.2.1 Teori pertukaran sosial Penelitian ini menggunakan teori pertukaran sosial atau social exchange theory (SET) sebagai teori utama atau grand theory. Dalam konteks interaksi manusia, teori pertukaran sosial berkonsentrasi pada permasalahan perasaan atau feeling dan emosi atau emotion (Yoda dan Kumakura, 2007). Homans (1958) dan Homans (1961 dalam Yoda dan Kumakura, 2007) menyatakan bahwa transaksi manusia sosial sama halnya dalam dunia bisnis, manusia memiliki perilaku mencari keuntungan atau kepuasan dengan cara membandingkan antara biaya yang dikeluarkan dengan keuntungan yang akan diperoleh. Apabila biaya yang dikeluarkan tidak sesuai dengan keuntungan yang diharapkan, maka akan menjadi ketidakpuasan. Demikian juga sebaliknya, apabila harapan sesuai dengan
22
kenyataan akan menimbulkan kepuasan. Interaksi manusia dalam konteks teori pertukaran sosial mengandung makna bahwa konsumen akan selalu melakukan evaluasi terhadap biaya yang telah dikeluarkan terhadap apa yang akan diperoleh. Dikaitkan dengan penelitian ini, interaksi wisatawan dan penyedia jasa pada suatu destinasi pariwisata adalah implementasi teori pertukaran sosial. Wisatawan selalu mengharapkan keuntungan atau manfaat dari uang yang dikeluarkan untuk membiayai perjalanan wisata. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa penyedia jasa harus memberikan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau kepuasan kepada konsumen. Kepuasan yang diperoleh dari interaksi tersebut dalam konteks teori keadilan dimaknai sebagai keadilan atau fairness atau sering juga disebut dengan justice dan sebaliknya ketidakpuasan atau kegagalan layanan sebagai ketidakadilan atau unfairness, apabila harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Sejarah teori pertukaran berasal dari paham perilaku atau behaviorisme yang banyak dikenal dalam bidang psikologi (Ritzer, 2012; 708), namun belakangan ini mulai dikembangkan dalam dunia sosial, sehingga dikenal istilah pertukaran sosial, atau teori pertukaran sosial. Lebih lanjut dinyatakan, teori pertukaran sosial mengkaji dampak perilaku seseorang terhadap lingkungan dan dampaknya terhadap perilaku berikutnya atau konsekuensi yang dapat memodifikasi perilaku (Ritzer, 2012: 708). Teori pertukaran sosial mengevaluasi hubungan antar individu sebagai suatu aksi yang menghasilkan konsekuensi atau risiko-risiko tertentu, seperti puas dan tidak puas serta niat berkunjung kembali dan WOM. Perilaku manusia bukan aksi yang spontan namun diperoleh dari proses belajar (Schiffman dan Kanuk,
23
2008: 179; Ritzer, 2012: 708). Perilaku manusia dipelajari dari perilaku sebelumnya, dan menghasilkan perilaku yang sama atau mungkin berbeda. Jika reaksi memberikan penghargaan yang besar, kemungkinan akan menghasilkan perilaku yang besar pula. Demikian pula sebaliknya, bila penghargaan yang diberikan sangat rendah menghasilkan konsekuensi yang negatif (Ritzer, 2012: 708). Teori pertukaran sosial dikembangkan dari berbagai konsep seperti imbalan (reward), biaya (cost), dan resiprositas atau reciprocity (Haryanto, 2012: 171). Kemudian konsep tersebut dikembangkan menjadi konsep-konsep lain seperti aktivitas, sentimen, interaksi, frekuensi, dan nilai yang menggambarkan situasi pertukaran antara dua orang (Haryanto, 2012: 171). Proposisi-proposisi yang merupakan dasar dari teori pertukaran sosial adalah: (1) setiap orang akan melakukan perilaku tertentu, (2) adanya reaksi seseorang sebagai akibat dari perilakunya, (3) proses pilihan antara perilaku-perilaku alternatif (Haryanto, 2012: 171). Dikaitkan dengan penelitian ini, interaksi wisatawan di daerah tujuan wisata menimbulkan reaksi atau konflik, seperti terjadinya ketidakpuasan atau ufairness sebagai kegagalan layanan. Reaksi selanjutnya adalah diperlukan aksi untuk memulihkan kegagalan layanan menjadi kepuasan. Kepuasan ini disebut dengan kepuasan pemulihan layanan atau kepuasan pasca pemulihan layanan (post service recovery satisfaction). Selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan kepuasan pasca pemulihan layanan. Kepuasan pasca pemulihan layanan membawa konsekuensi timbulnya niat berperilaku wisatawan (perilaku pilihan), seperti keinginan untuk berkunjung atau tidak berkunjung kembali dan
24
memberikan rekomendasi WOM yang positif ataupun negatif, bahkan kunjungan ulang yang berkali kali atau tidak berkunjung kembali sama sekali. Beberapa
pemerhati
yang
menggunakan
teori
pertukaran
sosial
diantaranya Lovelock dan Wirtz (2007 391), Yoda dan Kumakura (2007), Badawi (2012), Rawls (2011: 7), Gautam (2011), Ghalandari et al. (2013). Yoda dan Komakura (2007) menggunakan teori pertukaran sosial untuk mengevaluasi perilaku konsumen yang menggunakan jasa rumah sakit fakultas di Jepang. Ghalandari et al. (2013) melakukan penelitian pada perusahaan penjulan online di Iran, sedangkan Badawi (2012) melakukan penelitian tentang persepsi keadilan pada rumah makan di Cirebon menggunakan teori pertukaran sosial sebagai teori utama. Selanjutnya, Smith et al. (1999) melakukan penelitian pada jasa layanan yang berbeda, yaitu hotel dan restoran menggunakan pendekatan gabungan yaitu ekperimen dan metode survei yang menghasilkan model pasca pemulihan layanan berbasis keadilan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsumen menginginkan adanya pemulihan layanan apabila terjadi kegagalan layanan. Beberapa hasil penelitian mengindikasikan bahwa teori pertukaran sosial (teori keadilan) dapat diaplikasikan pada berbagai desiplin ilmu, seperti sosial, psikologi, dan pariwisata.
2.2.2 Teori keadilan Teori keadilan adalah teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini, yang merupakan teori aplikasi, dari tingkatan teori, yaitu grand theory, middle theory dan application theory (Bungin, 2011: 27). Teori keadilan sering disebut dengan fairness theory (Li, 2011) atau justice theory (Davidow, 2003; Susila,
25
2011; Rawls, 2011: 7; Ghalandari et al., 2012). Teori ini berasal teori pertukaran sosial yang dikembangkan oleh Homans (1958); Homans (1961 dalam Chen et al, 2007; Yoda dan Kumakura, 2007; Ritzer, 2012: 715); Ghalandari, (2012); Ghalandari et al.(2013), teori keadilan disebut juga teori ekuitas atau equity theory yang dikembangkan oleh Adams (1965 dalam Ghalandari et al., 2013). Teori ekuitas menekankan pada sisi kompensasi yang bersifat material, seperti gaji yang tinggi, diskon, dan ganti rugi yang bernilai ekonomi. Selain dengan penelitian, pembahasan keadilan dibicarakan dalam forum formal seperti seminar, konferensi, serta berbagai hasil penelitian empiris dan konseptual, yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah yang dilakukan oleh Blodgett dan Tax (1993), Teo dan Lim (2001), Neale, dan Murphy (2007), ; Chang et al.(2008), Sun et al.(2012), Nikbin et al.(2010a,2010b), Pai et al. (2012) dan buku referensi yang dilakukan oleh Rawls (2011: 3), Lovelock dan Wirtz, (2007: 391), Ritzer (2012: 708). Hasil telaah jurnal dan buku referensi mengindikasikan pentingnya keadilan dalam konteks organisasi maupun individu. Selanjutnya keadilan menurut Rawls (2011: 3) berperan sebagai kebajikan utama dalam intitusi sosial yang memberikan hak dan kewajiban kepada masyarakat untuk mendapatkan dan menentukan pembagian keuntungan sosial. Proposisi yang terkandung dalam keadilan adalah kebajikan dan kebenaran, sehingga keadilan tidak dapat diganggu gugat (Rawls, 2011: 12). Subjek keadilan menurut Rawls (2011: 7) tidak hanya dalam bidang hukum, institusi, sistem sosial, dan tindakan tertentu, namun juga termasuk didalamnya keputusan, penilaian, dan tuduhan. Lebih lanjut dinyatakannya, subjek keadilan adalah
26
struktur dasar masyarakat atau lembaga-lembaga sosial yang mendistribusikan hak dan kewajiban serta pembagian keuntungan. Dewasa ini ada kecenderungan pelanggan mengukur seberapa besar keadilan atau fairness suatu layanan yang diberikan oleh para penyedia jasa, baik konteks individu maupun organisasi (Rawls, 2011: 3; Pai et al., 2012; Ghalandari, 2013). Konstruk yang biasanya digunakan dalam mengukur keadilan layanan yang diberikan oleh para penyedia jasa kepada pelanggan adalah persepsi keadilan atau perceived justice (Radzi et al., 2009; Ponnu dan Chuah, 2010; Nikbin et al., 2010a; Fan et al., 2010; Gautam, 2011; Pai et al., 2012), terdiri atas persepsi keadilan distributif, prosedural, dan interaksional. 2.2.2.1 Persepsi keadilan distributif Keadilan distributif merupakan salah satu dari dua tipe keadilan yang muncul pada awal perkembangan teori keadilan organisasi (Lind & Tyler, 1988 dalam
Tjahjono,
2003).
Pada
awalnya,
penelitian
keadilan
organisasi
berkonsentrasi pada keadilan distributif, kemudian penelitian tersebut mengalami perkembangan dengan munculnya keadilan prosedural dan keadilan interaksional. Keadilan distributif menurut Ghlandari et al. (2013) menyatakan bahwa keadilan distributif adalah berkaitan dengan kompensasi yang seharusnya diterima oleh konsumen yang mengalami kegagalan layanan dalam bentuk diskon, kupon, pengembalian, cendera mata, dan alternatif lainnya yang disediakan penyedia jasa. 2.2.2.2 Persepsi keadilan prosedural Keadilan prosedural didefinisikan sebagai cara perusahaan dalam menangani permasalahan yang muncul ketika keluhan disampaikan konsumen, dalam bentuk aksesibilitas, waktu, kecepatan, proses, kontrol, keterlambatan, dan
27
fleksibilitas (del Rio-Lanza et al., 2009). Selanjutnya, Davidow (2003) menyatakan bahwa keadilan prosedural meliputi kebijakan, prosedur, dan alat yang digunakan oleh perusahaan serta mendukung komunikasi dengan konsumen secara khusus. Hal ini juga berkaitan dengan waktu yang digunakan dalam menangani keluhan dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, Teo dan Kim (2001) menggambarkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara keadilan prosedural dan kepuasan konsumen bisnis eceran perusahaan komputer. Adanya pelayanan yang baik menyebabkan konsumen semakin puas. Bahkan, digambarkan bahwa pelayanan yang baik melebihi dari produk yang baik. Sebagai contoh ketika pesanan menggunakan telepon dilakukan, hanya beberapa jam saja komputer yang dipesan telah diantarkan dengan cepat (Teo dan Kim, 2001). Hal ini mengindikasikan pelanggan selalu menginginkan layanan yang serba cepat dan penyedia jasa wajib memberikan layanan yang cepat pula. Sejalan dengan itu, Fan et al. (2010) melakukan penelitian pada konsumen retail on line. Penelitian tersebut menemukan adanya pengaruh positif persepsi keadilan prosedural terhadap pemulihan kepuasan konsumen dan niat untuk repatronase. Hal ini berarti kecepatan pasca pemulihan layanan selain menyebabkan kepuasan, secara tidak langsung dapat meningkatkan niat berperilaku pelanggan. 2.2.2.3 Persepsi keadilan interaksional Keadilan interaksional adalah suatu proses penanganan pasca pemulihan layanan yang dilakukan oleh perusahaan kepada konsumen karena adanya kegagalan layanan (Kim et al., 2009; Maxham III dan Netemeyer, 2002). Maxham
28
III dan Netemeyer, (2002) menyatakan proses pemulihan layanan dilakukan dengan semangat (respect), jujur (honesty), bersifat edukasi (education) dan bermartabat (dignity). Untuk dapat memenuhi rasa keadilan konsumen dari adanya kegagalan layanan, perusahaan dapat melakukan permohonan maaf (apology) dan empati (empathy) kepada konsumen. Blodgett dan Tax (1993) menyatakan konsep keadilan telah mengalami evolusi dari keadilan distribusi dan prosedural. Saat ini, berkembang keadilan interaksional dalam bentuk kualitas interaksi atau quality of interaction (Blodgett dan Tax, 1993). Berkaitan dengan keadilan, Gautam (2011) menyatakan bahwa keadilan interaksional merupakan interaksi interpersonal dari proses penyampaian layanan. Lebih lanjut dijelaskannya, ketiga dimensi keadilan, yaitu keadilan distributif, prosedural, dan interaksional memiliki hubungan positif dengan kepuasan pemulihan layanan kepada konsumen secara keseluruhan (Gautam, 2011). 2.2.3 Kegagalan layanan dan perilaku mengeluh Mengacu pada teori pertukaran sosial, interaksi antara wisatawan dan penyedia jasa pada suatu destinasi pariwisata, maka kegagalan layanan tidak dapat dihindari dan pasti akan terjadi, baik pada industri manufaktur maupun industri jasa (Lovelock dan Wirtz, 2007: 390). Studi kegagalan layanan relatif baru, dan kegagalan layanan atau service failure biasanya dikaitkan dengan perilaku mengeluh (complaint behaviour), dan pasca pemulihan layanan atau service recovery (Valenzuela et al., 2005; Bhandani dan Polonsky, 2007). Keluhan memiliki makna ganda (double edge). Hal ini berarti dalam jangka pendek, keluhan merupakan kompensasi biaya, sedangkan dalam jangka
29
penjang menjadi biaya karena kehilangan konsumen (Neale dan Murphy, 2007). Adanya keluhan seharusnya menjadi informasi yang berguna bagi proses bisnis, karena akan dapat menciptakan dan menjaga loyalitas konsumen, serta menyebabkan WOM yang positif. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Lovelock dan Wirtz (2007: 391) bahwa setiap orang pasti akan pernah mengalami keluhan ketika pelayanan dirasakan tidak baik atau tidak sesuai dengan harapan. Seorang manajer perlu memahami ketidakpuasan atau keluhan konsumen yang dimulai dengan memahami pertanyaan seperti: (1) mengapa konsumen mengalami keluhan, (2) proporsi orang yang mengeluh, (3) siapa yang suka mengeluh dan (4) dimana konsumen mengalami keluhan (Lovelock dan Wirtz, 2007: 392). Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi keluhan tersebut adalah dengan melakukan pemulihan layanan atau service recovery (Chebat dan Slusarczyk, 2005; Kau dan Loh, 2006; Ndubisi dan Tam, 2007; Ekiz, 2009) Berbagai pernyataan kepuasan dan ketidakpuasan
menyiratkan bahwa
menangani konsumen tidak mudah. Untuk itu, penanganan
konsumen
memerlukan berbagai keahlian untuk memahami perilaku konsumen, sehingga kepuasan atau pengalaman yang terbaik dapat dirasakan (Kotler et al, 2010: 23). Lovelock dan Wirtz (2007: 391-394) menyatakan bahwa konsumen tidak selalu mendapatkan kepuasan dari layanan yang diterima. Berbagai reaksi ditunjukkan mereka ketika menerima ketidakpuasan seperti emosional (emotional) dan menggerutu (grumble) dengan teman atau keluarga. Hasil penelitian Barlow dan Moller (1996: 43 dalam Valenzuela, 2005) menunjukkan perilaku konsumen yang tidak puas karena kegagalan layanan dapat
30
dibagi menjadi empat kelas, yaitu: (1) voicer (37 persen), (2) passive (14 persen), (3) irates (21 persen), dan (4) activies (28 persen). Kelompok yang disebut dengan voicer akan menyampaikan keluhan kepada perusahaan. Kelompok kedua disebut dengan passive, adalah orang yang tidak menyampaikan keluhan, namun akan tetap membeli dalam kurun waktu tertentu. Ketiga adalah orang yang disebut dengan irates atau marah, adalah mereka yang akan menyampaikan informasi yang negatif kepada orang lain, yang disebut dengan istilah rekomendasi Word of Mouth (WOM) yang negatif. Kelompok keempat disebut dengan activies, adalah mereka yang menginginkan ganti rugi bahkan menjadi dendam apabila pasca pemulihan layanan tidak ditangani dengan baik. Penelitian yang dilakukan Barlow dan Moller (1996: 43 dalam Valenzuela, 2005), mengindikasikan bahwa hanya 37 persen konsumen yang mengalami kegagalan layanan menyampaikan keluhan dan mungkin akan membeli kembali. Sebanyak 14 persen adalah mereka yang tidak menyampaikan keluhan dan mungkin akan bertahan pada perusahaan yang sama, serta sisanya sebanyak 49 persen adalah mereka yang akan menyampaikan hal-hal yang negatif kepada orang lain bahkan menjadi kebencian dan dendam. Berdasarkan pandangan tersebut konsumen yang mengalami kegagalan secara umum dapat dibagi tiga, pertama mereka yang tidak menyampaikan keluhan sama sekali, kedua adalah mereka yang menyampaikan keluhan secara langsung dan ketiga adalah mereka yang menyampaikan hal-hal negatif kepada orang lain. Untuk itu, indikator respon pelanggan terhadap pasca pemulihan layanan suatu barang atau jasa dapat dilihat dari perilaku ketika menyampaikan keluhan
31
atau tidak. Fenomena penyampaian keluhan seharusnya tidak menjadi entitas yang negatif namun sebaliknya sebagai bagian dari proses layanan untuk dapat memberikan solusi untuk perbaikan dimasa mendatang. Hal yang menyebabkan keluhan pelanggan diantaranya karena layanan yang terlalu lama dan birokrasi yang berbelit-belit (Lovelock dan Wirtz, 2007: 392). Selanjutnya kegagalan layanan atau service failure didefinisikan sebagai suatu keadaan yang terjadi ketika penyedia jasa tidak dapat memenuhi janjinya kepada konsumen (Bhandari dan Polonsky, 2007), kinerja layanan dibawah harapan pelanggan (Hess et al., 2003). Lovelock dan Wirtz (2007: 392), menyatakan bahwa pelanggan yang merasakan ketidak nyamanan dari layanan yang diberikan, hanya 5-10 persen dari mereka akan menyampaikan keluhannya, bahkan mungkin bisa lebih rendah. Ini berarti tidak semua pelanggan menyampaikan keluhannya bila terjadi kesalahan atau kegagalan layanan. Adanya keluhan yang tidak disampaikan oleh konsumen menyebabkan konsumen tidak mendapatkan penanganan atas keluhannya, sehingga konsumen masih memendam ketidaknyamanan dari adanya kegagalan layanan. Hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi penyedia jasa, karena penyedia jasa tidak mengetahui jenis keluhan dan cara penanganannya. Padahal pelanggan yang mengalami keluhan semestinya mendapat penanganan dengan baik. Karena keluhan yang tidak ditangani dengan baik akan berakumulasi dengan keluhan yang tidak disampaikan oleh konsumen. Sebagai alternatif, penyedia jasa harus mengupayakan agar konsumen mau menyampaikan keluhannya, sehingga dapat
32
menangani dengan baik keluhanan yang disampaikan (Lovelock dan Wirtz, 2007: 393) Banyak alasan yang menyebabkan pelanggan mengalami kegagalan layanan namun tidak menyampaikan keluhan, diantaranya karena malas menulis, tidak tahu kemana harus mengadu, tidak percaya akan ditangani dengan baik, dan tidak ingin konfrontasi (Lovelock dan Wirtz, 2007: 393). Disampaikan atau tidak disampaikannya keluhan dipengaruhi oleh peran persepsi dan norma sosial dalam masyarakat. Seseorang yang memiliki persepsi karena dirinya tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat akan cenderung tidak mengadukan keluhannya, dibandingkan dengan mereka yang memiliki pengaruh atau persepsi positif (Lovelock dan Wirtz, 2007: 393). Penelitian konsumen yang mengeluh dilakukan beberapa pemerhati seperti Valenzuela (2005), Yuksel et al. (2006), Kau dan Loh (2006), Donoghue dan Klerk, (2006), Ndubisi dan Tam (2007), Ekiz (2009), dan Zain (2011). Ndubisi dan Tam (2007) menggambarkan pentingnya manajemen penanganan keluhan pada industri perbankan. Keluhan terjadi sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan pelanggan karena apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Lebih lanjut dinyatakan usaha untuk mempertahankan pelanggan sangat penting, yaitu dengan cara memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Keluhan yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan kehilangan pelanggan atau losing customer (Ndubisi dan Tam, 2007). Hasil penelitian Abdullah (1996) dalam Ndubisi dan Tam, 2007) juga menemukan perilaku mengeluh konsumen Malaysia yang masih kurang terbuka dalam menyampaikan keluhan.
33
Berkaitan dengan penyampaian keluhan, Ekiz (2009) menyebutkan lima faktor yang menjadi hambatan, yaitu waktu (time), keterlibatan (involvement), komunikasi (communication), keakraban (familiarity), dan suasana hati ketika berlibur atau holiday mood (Ekiz, 2009). Orang tidak ingin menyampaikan keluhan karena memiliki waktu yang terbatas sehingga mengurungkan niat untuk menyampaikan keluhan dan tidak ingin melibatkan diri walaupun sebenarnya mengalami keluhan. Berikutnya, minimnya komunikasi yang disampaikan kepada konsumen, konsumen akan lebih berminat menyampaikan keluhan apabila diinformasikan bahwa penyedia jasa menerima keluhan dan menyediakan tempat yang representatif. Terakhir adalah holiday mood, yaitu kelompok yang tidak memiliki mood untuk menyampaikan keluhan, mereka lebih baik diam daripada menyampaikan keluhan. Terhadap perilaku, Yuksel et al. (2006) menyatakan bahwa ada persamaan dan perbedaan perilaku mengeluh wisatawan yang menginap pada industri hotel, yang berasal empat negara, yaitu Turki, Belanda, Inggris dan Israel. Keempat negara memiliki kesamaan dalam perilaku mengeluh, yaitu keluhan disampaikan bila terjadi kesalahan atau kegagalan layanan. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa wisatawan yang memiliki tanggapan negatif terhadap keluhan sering tidak menyampaikan keluhannya. Dengan demikian, konsumen perlu didorong agar mau menyampaikan keluhannya, seperti penyediaan kotak saran atau buku kesan dan pesan.
34
2.2.4 Kepuasan konsumen Kepuasan konsumen menurut (Holloway et al., 2005 dalam Ghalandari, 2013). berperan sebagai entitas sangat penting dalam pasca pemulihan layanan dan secara langsung berdampak pada sikap dan niat konsumen. Penelitian kepuasan dilakukan beberapa peneliti seperti Bougie et al. (2003), Wu dan Ding (2007), Chen (2008), Gures et al. (2009) dan Manimaran et al. (2010). Rodriguez dan Martin (2008) menyatakan kepuasan tidak hanya terbatas pada aspek koqnitif namun juga emosional. Lebih lanjut, dinyatakan kepuasan dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu kepuasan sebagai transaksi yang spesifik dan kepuasan sebagai keseluruhan atau overall
satisfaction. Kepuasan yang spesifik
mengandung makna kepuasan pasca pembelian sebagai reaksi afektif dari pengalaman dengan penyedia jasa atau pengalaman yang dirasakan ketika berinteraksi dengan penyedia jasa atau pada destinasi pariwisata. Kepuasan secara keseluruhan adalah kepuasan sebagai hasil evaluasi akhir pasca pembelian yang dilakukan dengan penyedia jasa. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur kepuasan konsumen seperti: (1) daya tarik wisata, (2) pemandangan alam, (3) transportasi, dan (4) kemudahan mengelilingi kota (Mohamad et al., 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan, diantaranya citra destinasi pariwisata (Chi, 2005: 13), dalam penelitiannya menemukan adanya pengaruh citra destinasi pariwisata tehadap atribut kepuasan dan kepuasan keseluruhan. Kepuasan konsumen menurut World Tourism Organization, 1985 (dalam Chi, 2005: 48) adalah konsep psikologis yang melibatkan perasaan sejahtera dan
35
menyenangkan yang dihasilkan dari apa yang orang harapkan atau diharapkan dari barang dan jasa. Ini berarti kepuasan adalah perasaan yang menyenangkan dari seseorang yang mendapatkan layanan yang sesuai dengan harapan. Gures et al. (2009) melakukan penelitian kepuasan pelanggan industri penerbangan. Model penelitian ini mengkaji kepuasan pelanggan penumpang yang berasal dari Eropa terhadap Bandar Udara Turki. Penumpang yang terbang dengan tujuan perjalanan kesehatan menyatakan lebih tidak puas dibandingkan dengan penumpang dengan tujuan berwisata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bandar Udara Turki menurut pandangan penumpang dari Eropa belum memberikan layanan bidang kesehatan dengan baik, sehingga fasilitas kesehatan bagi penumpang yang menggunakan Bandar Udara Turki perlu ditingkatkan. Selanjutnya, Chen (2008) melakukan penelitian hubungan kepuasan dengan niat berperilaku. Penelitian dilakukan pada Koashiung International Airport di Taiwan, pada bulan Desember 2004 dengan meyebarkan 300 kuesioner, sebanyak 245 kuesioner memenuhi syarat untuk diolah atau mencapai 81,6 persen. Penelitian menggunakan metode convenience sampling dengan analisis Structural Equation Modeling (SEM), menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kepuasan dan niat berperilaku penumpang pesawat di Taiwan. Dengan demikian, bila semakin puas wisatawan, maka meningkatkan niat berperilaku penumpang, yaitu keinginan untuk terbang lagi dimasa yang akan datang dan memberikan rekomendasi kepada orang lain atau WOM. Hal senada dinyatakan Kozak dan Remmington (2000) yang menemukan adanya pengaruh positif antara kepuasan yang dialami wisatawan dengan niat
36
untuk berkunjung kembali dimasa mendatang dan niat untuk memberikan rekomendasi kepada orang lain. Ini berarti semakin puas wisatawan yang berkunjung pada suatu destinasi pariwisata akan semakin besar keinginan untuk berkunjung kembali dan memberikan rekomendasi positif kepada orang lain. Penelitian dilakukan terhadap wisatawan Inggris yang berkunjung ke Mallorca di Prancis. Lebih lanjut dinyatakan penelitiannya memiliki keterbatasan karena hanya meneliti persepsi wisatawan yang berasal Inggris saja, padahal wisatawan yang berkunjung ke destinasi pariwisata seperti Mallorkan berasal dari beberapa negara. 2.2.5 Pemulihan layanan Pemulihan layanan atau service recovery adalah istilah yang sering digunakan dalam upaya menangani kegagalan layanan yang disampaikan dalam bentuk keluhan kepada penyedia jasa dan sering disebut dengan pasca pemulihan layanan. Pemulihan layanan didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan penyedia jasa ketika terjadi kegagalan untuk mempertahankan kepercayaan pelanggan. Lebih lanjut dinyatakannya bahwa usaha meningkatkan kepuasan konsumen bukan dengan cara promosi tapi dengan cara penanganan kegagalan layanan yang efektif. Seperti memberikan motivasi kepada karyawan agar dapat menangani keluhan dengan baik (Lovelock dan Wirtz, 2007: 391-395). Pemulihan layanan juga didefinisikan sebagai aksi yang dilakukan penyedia jasa dalam menangani kegagalan layanan atau keluhan. Lebih lanjut dinyatakannya perusahaan menangani keluhan menggunakan tiga dimensi keadilan sebagai suatu srategi untuk meningkatkan kepuasan pasca pemulihan
37
layanan dan keinginan untuk berkunjung kembali dan WOM. Tiga dimensi tersebut adalah: (1) persepsi keadilan distributif, (2) persepsi keadilan prosedural, dan (3) persepsi keadilan interaksional (Ghalandari et al., 2013). Pada hakekatnya pemulihan layanan adalah tindakan yang dilakukan penyedia jasa atau service provider untuk mengatasi keluhan pelanggan kerena adanya kegagalan layanan atau kegagalan produk (Smith dan Bolton, 2002). Pemulihan layanan atau service recovery menjadi perhatian serius dewasa ini dikaitkan dengan usaha untuk mengantisipasi adanya kegagalan layanan atau service failure (Smith dan Bolton; 2002; Lovelock dan Wirtz, 2007: 390). Pentingnya fenomena pemulihan layanan ditunjukkan dengan perhatian pemerhati pada berbagai industri seperti penjualan on line (Ghalandari, 2012; Ghalandari et al., 2013), industri penerbangan (Nikbin et al., 2011), industri perhotelan (Ekiz., 2009; Riadzi et al., 2009; Nikbin et al., 2010; Kim et al., 2009). Penelitian
pemulihan layanan sebelumnya hanya dilakukan pada industri
manufaktur, seiring dengan perkembangan industri jasa penelitian pada bidang ini juga mengalami peningkatan, termasuk dalam bidang pariwisata, walaupun jumlahnya terbatas (Ekiz, 2009). Pemulihan layanan dinyatakan oleh Lovelock dan Wirtz (2007: 394-395) pemulihan layanan sebagai terminologi umum yang sistematis digunakan oleh perusahaan untuk memperbaiki kegagalan layanan dan mempertahankan kepercayaan pelanggan. Lebih lanjut dinyatakan pemulihan layanan berperan sebagai elemen penting untuk mencapai kepuasan pelanggan. Pemulihan layanan yang efektif memerlukan prosedur yang benar dalam menangani berbagai keluhan
38
Hampir 60 persen pelanggan yang pindah disebabkan karena tidak efektifnya penanganan keluhan, sebanyak 25 persen disebabkan oleh produk utama, 19 persen karena tidak puas dengan karyawan, dan 10 persen karena prioritas penanganan serta 4 (empat) persen karena etika dalam penanganan keluhan oleh penyedia jasa. Untuk itu, produsen perlu melakukan usaha pemulihan layanan, karena dampak dari penanganan keluhan adalah konsumen menjadi puas dan berakibat pula pada loyalitas konsumen (Lovelock dan Wirtz, 2007: 394). Selain itu, pemulihan juga menimbulkan niat untuk berperilaku seperti keinginan untuk berkunjung kembali dan memberikan rekomendasi WOM yang positif kepada orang lain (Kozak dan Remmington, 2000). Penelitian pemulihan layanan atau service recovery secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu penelitian yang menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan empiris. Penelitian pasca pemulihan layanan yang menggunakan pendekatan konseptual dilakukan beberapa peneliti seperti Nguyen dan Kennedy (2005), Kuenzel dan Katsaris (2009), Najjar et al. (2010), dan Abdullah et al. (2011). Penelitian yang bersifat empiris diantaranya dilakukan oleh Bhandari dan Polonsky (2007) dan Lee et al., (2012). Dalam konteks teoretis, penelitian pemulihan layanan berguna untuk pengembangan model konseptual peran pemulihan layanan dalam pertemuan layanan (service encounter) produsen dan konsumen (Kuenzel dan Katsaris, 2009). Dalam konteks manajerial, pasca pemulihan layanan merupakan suatu strategi dalam menangani keluhan pelanggan sehingga konsumen merasa puas dan
39
dapat meningkatkan WOM yang positif serta niat untuk membeli kembali (Kozak dan Remmington, 2001; Smith dan Bolton, 2002) Penelitian pasca pemulihan layanan tidak terbatas pada sektor
jasa dan sektor pariwisata seperti yang
dilakukan Teo dan Lim (2001), Neale dan Murphy (2007) dan Fan et al. (2010). Penelitian pada industri perhotelan dan restoran dilakukan beberapa peneliti diantaranya O’Neill dan Mattila (2004), Chang et al. (2007), Bhandari dan Polonsky (2007), serta Smith dan Bolton (2002). Namun, penelitian pemulihan layanan di destinasi pariwisata masih terbatas (Furutani dan Fujita, 2005). Berbagai upaya dilakukan sebagai usaha pasca pemulihan layanan, seperti penerapan sistem umpan balik (feedback). Adanya umpan balik berupa kesan– kesan yang disampaikan konsumen dapat menjadi salah satu sumber informasi tentang berbagai hal, yang dialami wisatawan ketika melakukan kunjungan wisata (Lovelock, dan Wirtz, 2007: 390; Gregoire dan Fisher, 2008). Adapun respon pelanggan terhadap adanya kegagalan layanan atau ketidakpuasan, seperti disajikan pada Gambar 2.1 berikut. Mengeluh kepada perusahaan
Reaksi umum Pertemuan layanan: Ketidakpuasan
Reaksi pribadi Tidak ada reaksi
Mengeluh kepada pihak ketiga Menempuh jalur hukum: ganti rugi
Pindah perusahaan
WOM negatif
Respon : salah satu atau kombinasi
Gambar 2.1 Respon Pelanggan Terhadap Kegagalan Layanan (Adopsi dari Lovelock dan Wirtz, 2007: 391)
40
Gambar 2.1 memperlihatkan betapa pentingnya penanganan kegagalan layanan atau ketidakpuasan pelanggan ketika terjadi interaksi pelanggan dan penyedia jasa. Perilaku konsumen ketika terjadi permasalahan layanan dibagi menjadi tiga reaksi; reaksi umum, reaksi pribadi dan tidak ada reaksi (Lovelock dan Wirtz, 2007: 391). Perilaku konsumen yang tidak melakukan reaksi menjadi
permasalahan serius bagi penyedia jasa, karena penyedia jasa tidak mengetahui jenis keluhan, dan cara menangani. Tiga reaksi reaksi umum yang dilakukan
konsumen ketika terjadi
kegagalan layanan atau ketidakpuasan. Pertama, pelanggan yang mengalami kegagalan layanan akan menyampaikan komplain atau keluhan kepada penyedia jasa. Kedua, mereka akan menyampaikan keluhan kepada pihak ketiga. Seperti kepada temannya atau keluarganya. Ketiga, pelanggan akan menyampaikan keluhan kepada pihak yang berwajib atau mengadukan melalui jalur hukum karena tidak sesuai dengan harapan dan tidak mendapatkan tanggapan (Lovelock dan Wirtz, 2007: 391). Dua reaksi pribadi dari konsumen adalah dengan melakukan tindakan pindah pada penyedia jasa lain. Konsumen akan pindah kepada penyedia jasa yang lain atau membeli produk yang sama apabila penanganan kegagalan layanan tidak sesuai dengan harapan. Reaksi pribadi kedua adalah menyampaikan informasi yang negatif, atau yang dikenal dengan negative WOM. Konsumen akan menyampaikan informasi negatif kepada orang lain, seperti keluarga dan teman, apabila yang bersangkutan tidak mendapatkan penanganan keluhan dengan
41
baik (Yuksel et al, 2006; Lovelock dan Wirtz, 2007: 39; Ekiz, 2009; Chen, 2009; Mostert et al., 2009). Kehilangan pelanggan tidak hanya berpengaruh bagi perusahaan dalam jangka pendek, namun menjadi ancaman bagi masa depan penyedia jasa (Ekiz, 2009). Pasca pemulihan layanan atau yang lebih dikenal dengan service recovery adalah tindakan pemulihan yang dilakukan organisasi karena adanya kegagalan sehingga dapat merubah ketidakpuasan menjadi kepuasan (Mostert et al., 2009). Pasca pemulihan layanan dikaitkan konsekuensi dari kegagalan layanan (Smith dan Bolton, 2002; Neira et al., 2010; Lee et al., 2012), komplain atau keluhan pelanggan (Zain, 2011), kepuasan pelanggan (Smith dan Bolton, 2002; O’Neil dan Mattila, 2004; Kau dan Loh, 2006). 2.2.6 Kepuasan pasca pemulihan layanan Kepuasan pasca pemulihan layanan adalah pemulihan layanan yang dilakukan penyedia jasa, pasca terjadinya kegagalan layanan (Ghalandari, 2013). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kepuasan pasca pemulihan layanan berbeda dengan kepuasan konsumen sebagai first encounter, namun sebagai kepuasan kedua atau second satisfaction. Kepuasan pemulihan layanan atau disebut pula dengan istilah pasca pemuluhan layanan atau post recovery satisfaction. Lebih lanjut kepuasan pasca pemulihan layanan didasarkan pada prevalensi konsep orientasi kepada pelanggan. Karena semua penyedia jasa memandang kepuasan sebagai suatu kebutuhan untuk keberlangsungan perusahaan dan menghadapi persaingan yang semakin ketat.
42
Model penanganan keluhan dan proses pasca pemulihan layanan digambarkan
dengan peran tiga dimensi persepsi keadilan (fairness), seperti
disajikan pada Gambar 2.2.
Penanganan Keluhan dan Proses Pemulihan Layanan
Keadilan Prosedural
Keadilan Interaksional
Keadilan Hasil
Pelanggan Puas dengan Pemulihan Layanan
Gambar 2.2 Model Proses Penanganan Keluhan dan Pasca Pemulihan Layanan (Adopsi dari Lovelock dan Wirtz, 2007: 391) Lovelock dan Wirtz (2007: 391) menggambarkan bagaimana menangani keluhan dan proses pemulihannya. Kepuasan dan ketidakpuasan pasca pemulihan layanan sangat tergantung dari rasa keadilan yang diterima pelanggan. Apabila proses penanganan keluhan dilakukan dengan cepat maka akan dirasakan lebih adil dari proses layanan yang lambat (keadilan prosedural). Apabila penyedia jasa meminta maaf atas terjadinya kegagalan layanan, maka penanganan keluhan layanan dianggap lebih adil dibandingkan tanpa meminta maaf (keadilan interaksional). Bila penanganan kesalahan layanan disertai dengan ganti rugi,
43
seperti pemberian penggantian dan diskon akan dirasakan lebih adil dibandingkan dengan tidak diberikan, yang merupakan bentuk keadilan distributif. Tingginya rasa keadilan yang dialami pelanggan akan dapat menyebabkan meningkatnya kepuasan konsumen. Demikian sebaliknya, semakin rendah rasa keadilan yang dirasakan, akan menyebabkan ketidakpuasan (Wirtz dan Mattila, 2002; Yoda dan Kumakura, 2007; Lovelock dan Wirtz, 2007: 391; Mostert et al., 2009; Badawi, 2012). Tax dan Brown menemukan sebanyak 85 persen variasi dalam kepuasan pasca pemulihan layanan disebabkan oleh tiga dimensi keadilan (Lovelock dan Wirtz, 2007: 394). 2.2.7 Citra destinasi pariwisata Citra atau image digambarkan sebagai pengembangan konstruk mental yang didasarkan beberapa impresi yang diperoleh dari berbagai informasi seperti brosur, poster, teman, agen perjalanan wisata, dan juga berbagai media seperti televisi, majalah, dan buku (Reymond, 1965 dalam Echtner dan Ritchie, 2003). Lebih lanjut, citra juga merupakan salah satu elemen penting yang menyebabkan orang memutuskan untuk melakukan perjalanan. Citra masing-masing orang terhadap tempat tertentu bersifat unik, seperti kenangan atau memori, asosiasi dan imajinasi (Jengkins, 1999). Citra menurut Moutinho (2000: 48) didefinisikan sebagai deskripsi sikap wisatawan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan atribut destinasi pariwisata. Citra sebagai konstruk mental mengandung makna bahwa citra adalah sesuatu yang dibayangkan dan dipersepsikan tentang sesuatu atau tempat. Citra dibentuk oleh dua elemen penting, yaitu: demand atau permintaan dan supply atau
44
penawaran (Stabler, 1988 dalam Jengkins, 1999). Citra dikaitkan dengan tempat, dalam konteks pariwisata sering disebut dengan destinasi atau
destinasi
pariwisata. Destinasi pariwisata dipersepsikan sebagai kumpulan atribut yang membentuk destinasi pariwisata, dikenal dengan istilah 4A, yang terdiri atas atribut attraction, access, amenities, dan ancillary (Cooper et al., 1993: 81). Destinasi pariwisata juga dibentuk dari atribut daya tarik wisata (attraction), fasilitas (facilities), infrastruktur (infrastructure), transportasi (transportation), dan hospitalitas (hospitality), yang dikenal dengan istilah AFITH (Mill dan Morrison (2009; 2012: 18). Pendekatan untuk mengukur suatu destinasi pariwisata juga dikembangkan World Tourism Organization (2007), yang merupakan pengembangan dari konsep Cooper et al. (1993), terdiri atas enam (6) elemen sebagai berikut: (1) berbagai sarana pariwisata (amenity), (2) aksesibilitas (access), (3) daya tarik wisata (attraction), (4) sumber daya manusia (human resources), dan (5) citra dan karakter (image and character), serta (6) harga atau price (World Tourism Organization, 2007: 1). Beberapa konsep destinasi pariwisata digambarkan bahwa destinasi pariwisata adalah suatu tempat dan atau atribut yang menyediakan berbagai entitas yang dibutuhkan oleh wisatawan, namun juga dapat digambarkan sebagai citra atau image, seperti di persepsikan sebagai citra yang baik dari sisi human resources atau sebagai hospitalitas penyedia jasa dan Morrison 2009, 2012: 18).
masyarakat (Mill dan
45
Studi citra destinasi pariwisata pertama kalinya dilakukan pada tahun 1970 an, salah satunya karya Hunts pada tahun 1970-an (Della Corte dan Micera, 2007; Pike, 2008: 200) yang membahas manajemen dan citra destinasi pariwisata. Penelitian selanjutnya disusul oleh pemerhati lainnya, seperti Crompton (1979), Pike (2002), Gover dan Kumar (2007), Molina et al. (2010), Rodrigues et al. (2011), Mohamad et al. (2011), Lertputtarak (2012), Jamaludin et al. (2012) dan Zahra, (2012). Sejalan dengan penelitian tersebut Della Corte dan Micera (2007) menyatakan citra destinasi pariwisata, sebagai keseluruhan kepercayaan, ide, dan impresi seseorang terhadap suatu tempat. Selanjutnya Echtner dan Ritchie (2003) membuat model konseptual citra destinasi pariwisata, yang didasarkan pada hasil penelitian retail store. Model tersebut terdiri atas: elemen holistik dan atribut, fungsional dan psikologi, serta elemen umum dan unik seperti disajikan pada Gambar 2.3.
Fungsional Umum
Atribut
Holistik
Keunikan Psikologi
Gambar 2.3 Komponen Citra Destinasi Pariwisata (CDP) (Adaptasi dari Echtner dan Ritchie, 2003)
46
Elemen holistik dan atribut menggambarkan bahwa sebuah destinasi pariwisata dinilai oleh wisatawan berdasarkan elemen holistik. Ini berarti bahwa citra sebuah destinasi pariwisata dinilai secara keseluruhan, sebagai sebuah destinasi pariwisata. Atribut berarti citra sebuah destinasi pariwisata dievaluasi menggunakan atribut-atribut tertentu, seperti pemandangan alam, akomodasi, dan nilai-nilai budaya, serta keramahan masyarakat. Elemen vertikal terdiri dari fungsional dan psikologi, elemen fungsional berarti citra destinasi pariwisata dinilai dari elemen fungsional atau yang bersifat fisik, seperti daya tarik wisata, akomodasi, biro perjalanan. Sedangkan elemen psikologi menggambarkan bahwa destinasi pariwisata dievaluasi dengan menggunakan pendekatan psikologi seperti perilaku wisatawan. Kelompok elemen lainnya adalah umum dan unik. Umum berarti setiap destinasi pariwisata dipersepsikan sebagai tempat yang umum dan mengandung makna dapat dikunjungi oleh siapa saja, mulai dari anak-anak, dewasa dan orang tua dengan berbagai tujuan. Berbeda dengan destinasi pariwisata yang memiliki keunikan tertentu seperti memiliki keunikan budaya, sehingga lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan yang menyukai keunikan budaya. Indikator untuk mengukur citra suatu destinasi pariwisata menurut Echtner dan Ritchie (2003), meliputi 34 atribut yang terdiri atas: (1) pemandangan atau daya tarik alam, (2) harga atau biaya, (3) iklim, (4) tempat atau aktifitas wisatawan, (5) kehidupan malam dan hiburan, (6) fasilitas atau aktifitas olah raga, (7) aktifitas taman nasional atau aktifitas liar, (8) transportasi atau infrastruktur lokal, (9) bangunan atau arsitektur, (10) tempat bersejarah atau museum,
47
(11) pantai, (12) fasilitas belanja, (13) fasilitas akomodasi, (14) kota, (15) pameran, eksibisi, dan festival, (16) pusat informasi wisata, (17) kemacetan, (18) kebersihan, (19) keamanan pribadi, (20) perekonomian, (21) aksesibilitas, (22) tingkat urbanisasi, (23) komersialisasi, (24) stabilitas politik, (25) keramahan dan bersahabat, (26) perbedaan kebiasaan atau budaya, (27) perbedaan makanan dan minuman, (28) relaksasi dan santai, (29) atmosfir yang eksotik, (30) peluang untuk berpetualang, 31) peluang untuk meningkatkan pengetahuan, (32) orientasi keluarga, (33) kualitas layanan, dan (34) reputasi. Sementara itu, Chi dan Qu (2008) menyatakan citra destinasi pariwisata yang positif,
menyebabkan kepuasan wisatawan dan mempengaruhi niat
berperilaku seperti menjadi lebih loyal. Coban (2012) membagi citra destinasi pariwisata menjadi dua elemen utama yaitu kognitif
dan emosional. Aspek
kognitif dari citra destinasi pariwisata adalah sebagai kepercayaan dan informasi yang diperoleh orang tentang suatu tempat. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa aspek kognitif datang dari hasil evaluasi seseorang terhadap suatu tempat yang dikunjungi. Lebih lanjut Lee et al. (2012), mendefinisikan citra sebagai ide atau konsep yang bersifat individual atau kolektif dari penilaian suatu destinasi pariwisata. Citra digambarkan sebagai representasi mental atau atribut dan manfaat dari produk yang dinikmati oleh konsumen. Bentuk citra destinsi pariwisata menurut Gunn (1998) dalam Pike, 2008: 205) dibagi menjadi dua jenis yaitu organic dan induced. Lebih lanjut dinyatakan citra destinasi terbentuk karena wisatawan telah mengunjungi tempat tersebut, yang dikenal dengan organic image, sedangkan citra induced (induced image) adalah citra yang terbentuk karena pengaruh berbagai sumber informasi
48
seperti internet, majalah, koran, termasuk brosur dan informasi dari biro perjalanan wisata. Berdasarkan klasifikasi citra dari Gunn (1972) dalam Pike, 2008: 2005; Echtner dan Ritchie, 2003), mengindikasikan bahwa citra destinasi pariwisata dapat terbentuk dari salah satunya atau keduanya. Wisatawan yang sudah pernah melakukan perjalanan wisata menandakan mereka sudah mendapatkan informasi dari kedua sumber tersebut. Bila wisatawan belum pernah berkunjung ke suatu destinasi pariwisata dan mendapatkan informasi dari brosur, biro perjalanan wisata dan media lainnya maka citra suatu destinasi pariwisata dipersepsikan sebagai citra organik. Menurut Lai dan Li (2012) citra destinasi pariwisata diukur dengan menggunakan 26 indikator yaiitu: (1) tempat bersejarah, (2) arsitektur, (3) keamanan pribadi, (4) perbedaan budaya, (5) tempat wisata, (6) bentang alam, (7) komersialisasi, (8) fasilitas olah raga, (9) tingkat urbanisasi, (10) infrastruktur umum, (11) perkembangan ekonomi, (12) tempat yang terkenal, (13) hospitalitas, (14) eksibisi, dan festival, (15) aksesibilitas, (16) fasilitas belanja, (17) gastronomi, (18) kemudahan komunikasi, (19) kualitas layanan, (20) kehidupan malam dan entertainment, (21) Informasi pariwisata, (22) kesehatan, (23) fasilitas akomodasi, (24) biaya, (25) iklim, dan (26) kemacetan. Secara berurutan peran citra destinasi digambarkan sebagai faktor yang mempengaruhi keputusan untuik melakukan perjalanan wisata. Sepuluh (10) indikator sebagai pembentuk citra sebuah destinasi pariwisata adalah: (1) tempat bersejarah, (2) arsitektur, (3) keamanan pribadi, (4) perbedaan budaya, (5) tempat wisata, (6) bentang alam, (7) komersialisasi, (8) aktifitas olah raga, (9) tingkat urbanisasi, dan (10) infrastruktur (Lai dan Li, 2012).