BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan didefinisikan sebagai penilaian pelanggan atas
keunggulan atau keistimewaan suatu produk atau layanan secara menyeluruh (Zeithaml, 1988: 3). Parasuraman et al., (1988: 15) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai suatu bentuk sikap, berkaitan tetapi tidak sama dengan kepuasan, sebagai hasil dari perbandingan antara harapan dengan kinerja. Storey dan Wood (1998: 1) berpendapat bahwa manajemen harus memahami keseluruhan layanan yang ditawarkan dari sudut pandang pelanggan. Barata (2006: 36) menyatakan bahwa ukuran kualitas pelayanan bukan hanya ditentukan oleh pihak yang melayani saja tetapi lebih banyak ditentukan oleh pihak yang dilayani, karena merekalah yang menikmati layanan sehingga dapat mengukur kualitas pelayanan berdasarkan harapan-harapan mereka dalam memenuhi kepuasannya Selanjutnya, bila kinerja pelayanan ini kita kaitkan dengan harapan (expectation) dan kepuasan (satisfaction) maka gambarannya adalah sebagai berikut (Barata, 2006: 38): 1)
Kinerja < Harapan (Performance < Expectation) Bila kinerja pelayanan menunjukkan keadaan di bawah harapan pelanggan, maka pelayanan kepada pelanggan dapat dianggap tidak memuaskan.
9
10
2)
Kinerja = Harapan (Performance = Expectation) Bila kinerja pelayanan menunjukkan sama atau sesuai dengan harapan pelanggan, maka pelayanan dianggap memuaskan, tetapi tingkat kepuasannya minimal karena pada keadaan seperti ini dapat dianggap belum ada keistimewaan pelayanan. Jadi pelayanan dianggap biasa atau wajar-wajar saja.
3) Kinerja > Harapan (Performance > Expectation) Bila kinerja pelayanan menunjukkan lebih dari harapan pelanggan, maka pelayanan dianggap istimewa atau sangat memuaskan, karena pelayanan yang diberikan ada pada tahap yang optimal. Dalam salah satu studi mengenai kualitas pelayanan oleh Parasuraman (1988) dalam Lupiyoadi (2009) yang melibatkan 800 pelanggan (yang terbagi dalam empat perusahaan) berusia 25 tahun ke atas menytakan bahwa terdapat lima dimensi kualitas pelayanan sebagai berikut: 1) Berwujud (Tangible), yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan yang dapat diandalkan dan keadaan lingkungan sekitarnya merupakan bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan lain-lain), perlengkapan dan peralatan
yang
pegawainya.
dipergunakan
(teknologi),
serta
penampilan
11
2) Keandalan
(Reliability),
yaitu
kemampuan
perusahaan
untuk
memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi. 3) Ketanggapan
(Responsiveness),
yaitu
suatu
kebijakan
untuk
membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan. 4) Jaminan (Assurance), yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Hal ini meliputi beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy). 5) Empati (Emphaty), yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Di mana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
12
2.2 Kepuasan Pelanggan Kepuasan merupakan tingkat perasaan di mana seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk (jasa) yang diterima dan yang diharapkan (Kotler,1997 dalam Lupiyoadi, 2009). Sedangkan menurut Fonell dalam Tjiptono (2007), kepuasan pelanggan adalah evaluasi purnabeli keseluruhan. Tse dan Wilton dalam Tjiptono (2007) menjelaskan kepuasan pelangan sebagai respon konsumen pada evaluasi persepsi terhadap perbedaan antara ekspektasi awal (atau standar kinerja tertentu) dan kinerja aktual produk sebagaimana dipersepsikan setelah konsumsi produk. Menurut Wilkie dalam Tjiptono (2000), kepuasan pelanggan merupakan suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman komsumsi atas suatu produk atau jasa. Sementara itu Cadotte et al., dalam Tjiptono (2007) menjelaskan kepuasan pelanggan sebagai perasaan yang timbul setelah mengevaluasi pengalaman pemakaian produk. Menurut Peter (2000), jika konsumen merasa puas dengan suatu produk atau merek, mereka cenderung akan terus membeli dan menggunakannya serta memberitahu orang lain tentang pengalaman
mereka
yang
menyenangkan
dengan
produk
atau
merek
tersebut. Jika mereka tidak dipuaskan, mereka cenderung akan beralih produk atau merek serta mengajukan keberatan pada produsen, pengecer, dan bahkan menceritakannya kepada konsumen lainnya. Menurut Oliver dalam Peter (2000), kepuasan adalah rangkuman kondisi psikologis yang dihasilkan ketika emosi yang yang mengelilingi harapan yang tidak cocok dilipatgandakan oleh perasaan-perasaan yang terbentuk dalam
13
konsumen tentang pengalaman pengkomsumsian. Supranto (2001) menyatakan, pelanggan memang harus dipuaskan, sebab kalau tidak puas akan meninggalkan perusahaan dan menjadi pelanggan pesaing, hal ini akan menyebabkan penurunan penjualan dan pada gilirannya akan menurunkan laba dan bahkan kerugian. Menurut Engel et al. (1995: 23) kepuasan pelanggan diwujudkan dalam bentuk kognitif dan afektif indikator yang digunakan untuk mengukur variable kepuasan pelanggan, meliputi: 1) Atribut pelayanan adalah penyampaian pelayanan yang tepat waktu, akurat dengan perhatian dan keramahan. 2) Garansi pelayanan adalah ganti rugi yang diberikan sektor pelayanan untuk mengurangi resiko atau kerugian di pihak pelanggan sebelum dan sesudah pembelian atau pemanfaatan pelayanan. 3) Penanganan keluhan adalah tindakan dalam mengantisipasi agar tidak terjadi kekecewaan pelanggan atau tindakan penyelesaian masalah (keluhan). 4) Kemudahan dihubungi, sektor pelayanan publik selalu membuka kesempatan kapanpun,
menemui
siapapun untuk
menampung
komentar, saran, kritik, pertanyaan maupun keluhan dari pelanggan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kunci keberhasilan suatu perusahaan sebenarnya sangat tergantung kepada pelanggan/konsumen, di mana perusahaan dikatakan sukses dan berhasil apabila perusahaan tersebut dapat memuaskan kebutuhan para pelanggannya.
14
2.3 Loyalitas Konsumen Loyalitas konsumen dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku pembelian pengulangan yang telah menjadi kebiasaan, yang mana telah ada keterkaitan dan keterlibatan tinggi pada pilihan konsumen terhadap obyek tertentu, dan bercirikan dengan ketiadaan pencarian informasi eksternal dan evaluasi alternatif (Engel et al., 1995: 144). Keputusan pelanggan untuk bersikap loyal atau tidak bersikap loyal merupakan akumulasi dari banyak masalah kecil dalam perusahaan (Kotler, 2009). Loyalitas secara harfiah diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu objek. Mowen dan Minor (1998) dalam Lupiyoadi (2009) mendefinisikan loyalitas sebagai kondisi di mana pelanggan mempunyai sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen terhadap merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa medatang. Ini berarti loyalitas selalu berkaitan dengan preferensi pelanggan dan pembelian aktual. Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan kelanjutan dari kepuasan konsumen dalam menggunakan fasilitas maupun jasa pelayanan yang diberikan oleh pihak institusi, serta untuk tetap menjadi konsumen dari institusi tersebut. Loyalitas adalah bukti konsumen yang selalu menjadi pelanggan, yang memiliki kekuatan dan sikap positif atas institusi itu. Menurut Porter dalam David (2009) menyatakan kunci keunggulan bersaing dalam situasi yang penuh persaingan adalah kemampuan perusahaan dalam meningkatkan kesetiaan pelanggan. Kesetiaan pelanggan akan menjadi kunci sukses, tidak hanya dalam jangka
15
pendek tetapi keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Hal ini karena kesetiaan pelanggan memiliki nilai strategik bagi perusahaan. Menurut Aaker (1991) dalam David (2009), kesetiaan pelanggan memiliki nilai strategik bagi perusahaan, antara lain: 1)
Mengurangi biaya pemasaran Aplikasi perusahaan memiliki pelanggan setia yang cukup besar, maka hal ini dapat mengurangi biaya pemasaran. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biaya untuk mendapatkan pelanggan baru 6 kali relatif lebih besar dibandingkan dengan biaya untuk mempe rtahankan pelanggan yang ada. Iklan dan bentuk-bentuk promosi yang dikeluarkan dalam jumlah besar belum tentu dapat menarik pelanggan baru karena tidak gampang membentuk sikap positif terhadap merek.
2) Trade Leverage Kesetiaan terhadap merek menyediakan trade leverage bagi perusahaan. Sebuah produk dengan merek yang memiliki pelanggan setia akan menarik para distributor untuk memberikan ruang yang lebih besar dibandingkan dengan merek lain di toko mereka karena mereka tahu bahwa konsumen ataupun pelanggan akan berulang kali membeli merek tersebut bahkan mengajak konsumen lain untuk membeli merek tersebut. 3) Menarik Pelanggan Baru Pelanggan
yang
puas
dengan
merek
yang
dibelinya
dapat
mempengaruhi konsumen lain. Bixler dan Scherrer (1996) dalam
16
Peter (2000) menyatakan bahwa pelanggan yang tidak puas akan menyampaikan ketidakpuasannya pada 8 hingga 10 orang. Sebaliknya bila pelanggan puas, maka pelanggan akan menceritakan bahkan merekomendasikan kepada orang lain untuk memilih produk/jasa yang telah memberikan kepuasan. 4) Waktu untuk Merespon Ancaman dari Pesaing Kesetiaan terhadap merek memungkinkan perusahaan memiliki waktu untuk merespon tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pesaing. Jika pesaing mengembangkan produk yang lebih superior, perusahaan memiliki kesempatan untuk membuat produk yang lebih baik dalam jangka waktu tertentu karena bagi pesaing relatif sulit untuk mempengaruhi pelanggan pelanggan kita yang setia. Mereka butuh waktu yang relatif lebih lama. Pedersen dan Nysveen (2001) dalam Ferrinadewi dan Djati (2004) menggunakan konsep loyalitas, yang terdiri atas 3 (tiga) tahap yaitu: 1) Cognitively Loyal, tahap di mana pengetahuan langsung maupun tidak langsung akan merek, dan manfaatnya, dan dilanjutkan ke pembelian berdasarkan keyakinan dan superioritas yang ditawarkan. Pada tahap ini dasar kesetiaan adalah informasi tentang produk atau jasa yang tersedia bagi konsumen. Bentuk loyalitas ini merupakan bentuk yang terlemah. 2) Affectively Loyal, sikap favorable konsumen terhadap merek yang merupakan hasil dari konfirmasi yang berulang dari harapannya
17
selama tahap cognitively loyal berlangsung. Pada tahap ini dasar loyalitas adalah pada sikap dan komitmen konsumen terhadap produk atau jasa sehingga pada tahap ini telah terbentuk suatu hubungan yang lebih mendalam antara konsumen dengan penyedia produk atau jasa dibandingkan pada tahap selanjutnya. Affectively Loyal bukanlah prediktor yang baik dalam mengukur kesetiaan karena meskipun konsumen merasa puas dengan produk tertentu bukan berarti ia akan terus mengkomsumsinya di masa depan. 3) Conatively Loyal, intesi membeli ulang yang sangat kuat dan memiliki keterlibatan tinggi yang merupakan dorongan motivasi. Berdasarkan ketiga bentuk loyalitas di atas, maka conatively loyal merupakan prediktor yang terbaik. Menurut Lupiyoadi (2009) pelanggan yang loyal akan menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Repeat, apabila pelanggan membutuhkan produk atau jasa akan membeli produk tersebut pada perusahaan tersebut. 2) Retention, pelanggan tidak terpengaruh kepada pelayanan yang ditawarkan oleh pihak lain. 3) Referral jika produk atau jasa baik, pelanggan akan mempromosikan kepada
orang
lain,
dan
jika
buruk
memberitahukannya pada pihak perusahaan.
pelanggan
diam
dan